Kesal.
Satu kata singkat itu, cukup merepresentasikan afiliasi hati saya terhadap @uiistory dan UII Bergerak. Sebagai mahasiswa angkatan 2016 yang sudah 3,5 tahun di UII, saya benar merasa kiprah gerakan mereka di publik. Mulai dari @uiistory yang digadang sebagai akun penyambung lidah opini mahasiswa kampus UII sendiri, hingga UII Bergerak yang baru saja oek-oek dari rahim belakangan ini.
Antara mereka berdua, ada satu kesamaan kembar siam: mereka sama-sama mencari panggung publik sebagai kontestan suara tunggal. Ya, mereka bergerak dengan melegitimasi opini mereka agar menjadi opini “resmi” dari mahasiswa UII. Dengan gerakan tersebut, seakan-akan seluruh suara dari UII telah diwakili oleh mereka.
Justifikasi ini mudah saja untuk dikatakan, sebab ada dua kondisi yang terjadi: (1) tidak adanya suara tandingan yang terinstitusi seperti mereka; (2) manuver mereka yang memang terkesan mencari dukungan publik terhadap opini mereka sendiri, bukan malah mencari opini berbagai mahasiswa yang kemudian sepatutnya mereka timbang dan dukung.
Untuk kondisi pertama, yakni tiadanya suara tandingan yang terinstitusi seperti mereka, selama 3,5 tahun belakangan memang hampir tidak ada pihak yang mampu semasif dan se-istiqomah mereka. Terkhusus akun @uiistory, telah getol dalam menyuarakan suara sebagian pihak dengan kemasifan massa followers yang dimilikinya. Misal, seperti persoalan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) UII yang sempat dibawa oleh @uiistory.
Akun tersebut mengungkit-ungkit masalah hijau-hitam yang mendominasi kancah perpolitikan UII. Dengan runtutan story, @uiistory membingkai opini publik terhadap HMI sebagai organisasi yang membatasi kebebasan dan keikutsertaan kalangan mahasiswa lain dalam kegiatan kampus. Menariknya, tidak ada media yang mampu sekufu dalam menangkis pemberitaan dari @uiistory itu. Organisasi HMI yang menjadi target @uiistory pada waktu lalu pun tidak menangkal dengan media mereka–kalaupun mereka memiliki. Meski syukur pada akhirnya, pembingkaian ini diakhiri sendiri oleh @uiistory setelah muncul bantahan dan penolakan dari kalangan HMI, dan semua pihak saling berdamai setelah @uiistory mendapat pemaafan.
Atau, ada lagi, persoalan booming belakangan, tentang kasus pelecehan seksual oleh IM. Kasus tersebut dibawakan oleh UII Bergerak dan dipublikasikan lebih kuat oleh @uiistory. Menariknya, saya sebagai aktor gelombang pertama dalam kasus IM tersebut, hanya bisa plonga-plongo saja melihat kasus itu dibawa mereka dengan tendensi yang menurut saya chaotic. Kasus itu diledakkan, hingga menjadi mangsa pembingkaian bagi berbagai pihak. Bagi saya, jujur saja kesal dan serasa menjadi masalah pribadi ketika mereka takeover kasus tersebut dengan paradigma-perspektif yang saya tolak, misal seperti penyudut pandangan dengan feminisme.
Celakanya, tidak ada media atau gerakan lain yang menyediakan pembingkaian dengan paradigma yang berbeda, sehingga saya tidak bisa mengeluh kepada mereka agar mengangkat acara lain yang berparadigma opositif terhadap feminisme dalam membahas kasus IM. Apalah lagi, mencari media tandingan @uiistory dan gerakan selain UII Bergerak. Masih mustahil.
Padahal, jembatan pertama bagi kasus IM ini adalah LDK Al-Fath UII yang dalam kepemimpinan saya saat itu ingin menetralisir pengaruh IM dari terjadinya pelecehan seksual lebih lanjut. Saya koordinasikan kepada jaringan FSLDF UII agar jangan mengundang IM sebagai pembicara kembali. Dan tentu, saya dan teman-teman lembaga dakwah melakukan itu bukan karena ingin menegakkan feminisme.
Saat itu motivasinya ya karena Islam, dan karena ingin menjaga kehormatan para perempuan dari noda. Lantas, ketika kasus IM sudah meluap dan diledakkan oleh @uiistory dan UII Bergerak, mereka dengan riang gembira mengiringi kasus tersebut dengan bingkai mereka sendiri.
Adapun dalam kasus IM lalu juga, UII Bergerak merilis publikasi dengan sikap keras terhadap DPM-LEM UII. UII Bergerak mengungkit masalah DPM-LEM UII yang meminta saya untuk “bungkam” tentang masalah Kasus IM, dan menjadikannya dasar seruan bahwa DPM-LEM UII terkesan melindungi pelaku pelecehan seksual demi terjaganya nama kampus.
Lagi, @uiistory pun menguatkan pandangan tersebut. Padahal, saya pribadi sebagai orang yang sempat ingin ”dibungkam” oleh DPM-LEM UII saja, tidak meminta agar DPM-LEM UII dinyatakan dengan kesan demikian. Hal yang saya tahu, malah DPM-LEM UII saat itu tengah mengurus masalah kasus IM dengan cara mereka sendiri, yang menurut mereka lebih mengecilkan risiko chaotic.
Saya paham, DPM-LEM UII atau kampus sekalipun memang lamban dalam menangani kasus IM. Namun, apakah pantas mereka dibingkai macam pelindung pelaku pelecehan seksual? Kendati dalam rilis UII Bergerak tentang kasus IM itu nama saya diangkat sebagai “aktor pemberani yang membicarakan kebenaran”, tetap saja rasa terima kasih saya kepada UII Bergerak tidak menjadikan diri saya rela hati menyalahkan pihak DPM-LEM UII atau bahkan kampus yang sebenarnya pun satu afiliasi dalam penyelesaian masalah kasus IM.
Namun, yang lalu ya sudahlah, biar itu cukup jadi cerita angin lewat saja. Sekarang, mari kita lihat kasus yang terbaru, yakni aksi Gruduk Kampus.
Banteng Bermasker Penggeruduk Kampus
Pada tanggal 26 Juni 2020, UII Bergerak yang di-support dengan media @uiistory, melaksanakan aksi massa di Boulevard UII. Saya pun memahami bagaimana sulitnya posisi mereka. Serba paradoks, serba tanggung. Tagihan SPP saat pandemi yang tetap saja masih mahal–untuk yang satu ini pun saya sepakat–seperti “memaksa” mereka untuk membawa lidah suara kepada rektorat agar menurunkan tagihan. Namun, karena lidah suara yang melalui media sosial belum begitu mendapat respon memuaskan dari UII, mereka pun melaksanakan aksi secara fisik.
Hal ini masuk akal saja. Apalagi, pekerjaan mereka memang mengangkat isu seperti itu, dan banyak pihak yang “menyandarkan diri tanpa ada pilihan” pada mereka. Jika mereka tidak berinisiatif yang lebih garang seperti aksi secara fisik, maka tingkat perhatian orang terhadap isu pun menurun; yang hasilnya tidak akan ada lagi yang mengurus isu itu, karena di UII masih belum ada gerakan atau institusi lain yang sebanding dengan dominasi opiniyang mereka miliki.
Aksi 26 Juni 2020 itu nampak membuahkan harap: pihak kampus bersedia untuk menemui demonstran dan bersedia melangsungkan sesi diskusi. Beberapa tuntutan pun disampaikan, dan juga dipublikasikan di media UII Bergerak. Tak lupa, @uiistory pun ikut menyertainya. Namun, sekarang yang jadi pertanyaan: apakah tuntutan yang disampaikan itu secara tepat merupakan tuntutan dari para mahasiswa UII?
Pewayang Tanpa Penonton
Seperti yang saya bilang: manuver mereka cenderung menggalang dukungan terhadap opini mereka sendiri. Meski sayang, manuver mereka tidak selalu membuahkan hasil. Sebab, persepsi mereka yang mengatasnamakan UII, ternyata bukanlah yang diinginkan para mahasiswa UII. Sebagai bukti, mari kita lihat pada tuntutan pertama UII Bergerak dalam aksi penurunan tagihan SPP Gruduk Kampus lalu:
Benar, tertulis dengan jelas: gratiskan biaya SPP seluruh mahasiswa UII (mahasiswa S1, S2, S3, dan D3) –utamanya selama Pandemi. Di sebelah kanan gambar, saya sertakan komentar mahasiswa UII terhadap tuntutan itu, yang mayoritas merupakan opini oposisi terhadapnya.
Kemudian, tuntutan pertama itu kerap dibenturkan oleh para mahasiswa UII dengan tuntutan kelima, yakni:
Saya tidak akan begitu memberi komentar, namun yang saya sampaikan adalah komentar orang lain yang menitipkan pendapat mereka melalui saya, sebagai berikut:
“Membawa poin tuntutan yang tidak rasional, masa kampus UII diminta tagihan nol rupiah? Press release tidak lengkap, tuntutan ada 5, tapi kok hanya 1 yg dibahas utuh? Itu pun gak ada alasan kuat untuk sampai ke kesimpulan SPP gratis,” oleh inisial HF.
“Minta gratiskan SPP tapi dosen tidak boleh PHK atau potong gaji dan sebagainya. Argumen mereka cuma karena UII punya dana abadi, itu mestinya dipake. Lha hitung-hitungan finansialnya gak ada. Di press release mereka cuma sajikan data kuesioner yg gak jelas itu,” oleh inisial MA.
“Teknis aksi di lapangan tidak disesuaikan dengan protokol yg digemborkan (sebagai insan terdidik, seharusnya mahasiswa bisa mencontohkannya). Aksi dorong-dorongan menciderai citra aksi (walaupun cuma sebentar),” oleh inisial AH.
“Kepada UII bergerak sih aku. Kesel banget aksi kemaren. Waktunya gak tepat ketika pandemi seperti ini. Gak social distancing mah itu bisa jadi cluster penyebaran covid baru dan bisa buat angka kasus meningkatkan. Terus makin lama deh kampus buka. Keknya kemaren pas SPP sebelumnya gak perlu aksi cuman petisi kalau gak salah ya. Mereka belum ngerasain swab berkali-kali, dikarantina, dijemput petugas kesehatan. Malah bisa ngerugiin sekitarnya,” oleh anonim.
“Konsep ‘solidaritas antar kampus’ dalam keikutsertaan aksi internal kampus terasa prematur (validitas opini dan data yg mengatasnamakan mahasiswa UII bisa jadi bermasalah). Caption post terakhir di feed terlalu ofensif terhadap rektor. (Padahal faktanya, di malam hari rektor mengikuti diskusi terbuka dengan massa aksi. Terbukti, bukannya mendapat simpati, malah dapet caci maki netijen),” oleh inisial AH.
“UII Bergerak itu memang aliansi, tapi sering nyulut provokasi salah satunya nyorot lembaga kemahasiswaan terus (DPM, LEM), mereka giring opini yg bisa nyebabin konflik horizontal. Apa salahnya coba kolaborasi, kita bisa liat contoh aliansi mahasiswa UGM, mereka justru gak menegasikan peran lembaga mahasiswa (BEM KM UGM). Dan sebenernya aksi gruduk kampus dgn menggaet beberapa univ itu buat galang massa aja biar banyak,” oleh inisial AD.
“Agak risih melihat akun tersebut sejak kasus IM yang mulai gagal fokus dan malah ‘ditunggangi’ feminisme, sampai ke tuntutan ke pihak UII yg gak masuk akal, seperti minta SPP nol tapi dosen dan karyawan tidak dikurangi gajinya,” oleh IC.
Mari kita bahas kritik para komentator di atas. Mereka semua adalah bagian dari mahasiswa UII, yang kebetulan berada di pihak kontra. Dengan kritik-kritik tersebut, kita bisa refleksi: bagaimana bisa opini UII Bergerak mewakili para mahasiswa UII, jika masih ada mahasiswa UII yang kontra dengan mereka? Hal ini juga berlaku bagi @uiistory, yang kadang berdrama sebagai hero of the campus.
Jika UII Bergerak dan @uiistory benar membawa suara mahasiswa UII, bagaimana metodologi mereka dalam mencari dan memilah suara-suara yang berbeda di UII? Apa validitas serta paradigma yang digunakan oleh mereka, sehingga mereka berani membawa buah pilahan dari metodologi tersebut dengan kesan mengatasnamakan publik? Apakah mereka memiliki komite yang menghimpun orang-orang dari berbagai kalangan di UII, yang mana dari forum komite itulah tempat tuntutan dan ide aksiologis dirumuskan?
Suara yang Dirampas
Sekarang, misal saja saya tanya, apakah opini saya pernah dibawa oleh UII Bergerak atau utamanya @uiistory? Mengapa @uiistory hanya membawa kritikan terhadap lembaga DPM-LEM UII, dan tidak kepada yang lainnya seperti lembaga dakwah, misalnya; padahal saya sempat menulis kritik tentang lembaga dakwah di Pers UII? Apa karena kalah pamor dan bukan urusan publik di UII?
Bukankah urusan lembaga dakwah juga masalah publik; yang jika tidak ada mereka, maka hampir tiada lembaga resmi mahasiswa yang menjaga dan menyebar Islam di UII? Atau lagi, apakah isu tentang keagamaan di UII pernah disorot dengan bombastis oleh mereka, layaknya isu SPP atau pelecehan seksual?
Semisal pula, masalah seperti HMI yang disebutkan di awal tulisan tadi. Dari kalangan yang pro dan kontra terhadap HMI, mengapa yang diangkat oleh @uiistory hanya opini yang menolak hegemoni HMI beberapa tahun lalu? Pihak @uiistory memang ada benarnya, bahwa kejadian HMI waktu lalu hingga meng-hijau hitam-kan UII itu harus dinetralisir. Benar, bahwa kampus UII tidak pantas “disegel” oleh sebagian kelompok saja. Pihak @uiistory dan kawanannya hanya ingin memberi wujud bahwa UII adalah kampus semua pihak, yang tidak boleh ada bendera khas di atasnya. Namun lagi: apakah benar demikian?
Mari kita skeptis. Apa yang menjamin, bahwa yang dikobarkan oleh mereka bukan bendera @uiistory dan UII Bergerak, atau sekawanannya itu? Kita tahu bahwa UII Bergerak pun bisa besar karena diangkat oleh @uiistory. Andai tidak diangkat @uiistory, UII Bergerak saya yakin tidak akan langgeng hingga beberapa bulan ke depan di publik.
Coba kritis: mengapa yang diangkat dengan getol oleh @uiistory hanya UII Bergerak? Ada apa ini? Mengapa yang lainnya tidak diangkat juga? Apa karena UII Bergerak digadang sebagai “suara mahasiswa secara umum”, sedangkan yang lainnya tidak? Atau –dengan miris, karena tidak ada gerakan yang aktif seperti UII Bergerak, sehingga yang dilihat @uiistory hanya UII Bergerak?
Bukankah kini terlihat: mereka malah menanam bendera mereka sendiri? “Peniadaan bendera” yang diagungkan oleh mereka, malah berujar fakta lain.
Mereka hanya menggunakan opini sebagian mahasiswa UII untuk menjadi bahan pelanggeng opini mereka. Adapun opini yang bertentangan dengan opini mereka, tidak mereka angkat. Kuesioner kualitatif di story mereka pun bukan untuk mencari pendapat mahasiswa, melainkan hanya sebagai instrumen pelengkap opini mereka yang sudah ada sebelumnya.
Diktator Opini
Mereka bergerak bagai raja-diraja yang menguasai opini. Walau terpecah menjadi beberapa komunitas –bahkan hingga luar UII, mereka tetap terkumpul dalam satu bendera; satu tema; satu isu yang dikeluhkan. Untuk menjadi raja opini, tidak perlu semua mahasiswa sependapat dalam satu opini. Menjadi raja opini, itu cukup menguasai sektor penyebar opini di publik, yang itu tidak dimiliki oleh pihak lain. Raja opini ialah yang dengan sektor tersebut, menyebar opini pribadi dalam bungkusan opini publik, dengan mengesankan opsi: kalian mau ikut saya yang benar, atau ikut selain saya yang salah.
Hal ini tersirat oleh @uiistory sendiri, yang menyatakan bahwa:
Merupakan hal lumrah, sebagaimana dikutip @uiistory, bagi tiap pihak bertindak sesuai kepentingannya. Tapi ingat, tindakan itu tidak pernah lepas dari ideologi dan latar belakang seseorang. Jika @uiistory dan UII Bergerak bertindak dan reaktif, sesungguhnya mereka membawa ideologi dan latar belakang mereka sendiri. Bahkan lagi, seseorang hanya akan reaktif pada isu yang menarik bagi mereka saja. Jika ideologi dan latar belakang mereka tidak bersinggungan dengan isu, maka seseorang tidak akan mengurus itu.
Menyadari hal tersebut, bukankah suatu kemustahilan, jika mereka mewakili opini publik yang jelas banyak perbedaan di dalamnya? UII Bergerak dan @uiistory tidak berbeda dengan influencer lainnya, tidak berbeda dengan saya, dan tidak berbeda dengan penulis story opositif lain. Sama-sama hasil pikir satu-dua atau segelintir orang, yang diiyakan sekumpulan pendukung.
Sama-sama mengangkat keluhan pribadi, atau minimal mengangkat keluhan orang lain yang sama dengan keluhannya sendiri. Bedanya, orang-orang tidak memiliki massa seperti mereka, sedangkan mereka memiliki massa yang luas dan punya media yang memadai. Bahkan, secara kasar, mereka memiliki kekuatan absolut.
Jadi, sampai sini, sudah jelas, kan, siapa UII Bergerak dan @uiistory, beserta preferensi kawan-kawannya?
Kesimpulan: Saran dan Kritik
Saran saya bagi @uiistory, ialah untuk lebih profesional dan tidak melibatkan opini pribadi lewat akun tersebut. Contoh bukti pelibatan opini pribadi telah saya sebut: yakni preferensi @uiistory yang lebih memilih pihak oposisi HMI, kecenderungannya yang membersamai UII Bergerak, dan pembawaan bingkai selama meledakkan isu pelecehan seksual IM.
Meski akun @uiistory bukan akun resmi dari UII ataupun mahasiswanya, dan meski untuk membawa pandangan pribadi dalam akun yang statusnya bersifat unofficial itu sah-sah saja, tetap dirasa tidak pantas jika preferensi pribadi dalam suatu isu diunggah, yang kelak malah jadi preferensi publik mahasiswa UII. Sebab, apapun yang dipublis di @uiistory itu cukup bisa membentuk opini publik secara masif.
Lain hal jika isu sudah diledakkan pihak lain, misal seperti kasus diskusi Pemakzulan Presiden di UGM yang menyasar pada UII, barulah itu etis bagi @uiistory untuk meledakkannya kembali. Ini pun meledakkannya sebagai supporter, bukan sebagai tukang agitasi. Cukup untuk mengulas what’s happening right now saja, bukan menjadi elemen di dalamnya.
Jadikan akun @uiistory sebagai akun spesifik yang mengutip pernak-pernik keseharian mahasiswa UII, bukan ikut campur dalam pergulatan isu. Jangan samakan diri dengan UII Bergerak, yang mana mereka memang suatu aliansi yang memiliki format dedikatif untuk luwes mengurus isu.
Masukkan ini bisa dikatakan sebagai upaya pereduksian power @uiistory agar tidak menjadi kekuatan absolut. Namun, upaya yang demikian ini bukanlah dengan maksud meniadakan panggung dinamika publik, melainkan untuk meratakan distribusi power saja agar strata paling puncak yang berhak mengurus isu itu cukup aliansi seperti UII Bergerak atau aliansi lainnya saja. Keikutsertaan terhadap isu cukup dibawa oleh masing-masing aliansi, dan bukan oleh akun raksasa yang mengatasnamakan mahasiswa umum di UII.
Adapun untuk UII Bergerak, masukan dari saya ialah tetap bijaksana memperhatikan isu, namun jangan prematur. Sadari, bahwa kalian tidak mungkin membawa opini seluruh mahasiswa. Untuk meminimalisir itu, kembangkan lagi komunikasi dengan berbagai pihak di UII, agar tuntutan yang kalian beri tidak utopis dan ekslusif.
UII Bergerak juga harus memperluas spektrum isu yang menjadi perhatian. Misal, terkait aksi Geruduk Kampus, kalian bisa coba melihat dari sudut pandang kampus terhadap mahasiswanya. Coba bayangkan posisi dosen yang marah-marah di Google Classroom karena mahasiswanya tidak menyeriusi kuliah daring, padahal para dosen kadang juga memiliki kendala fasilitas untuk membuat materi ajar di Google Classroom. Seandainya, sivitas kampus bisa “demonstrasi” balik terhadap mahasiswa, apakah UII Bergerak atau @uiistory akan mengakomodasi?
UII Bergerak juga harus mulai membangun hubungan dengan elemen kelompok-kelompok lainnya, misal di internal kampus dengan kalangan agamis. Jika kalian ingin serius dapat dukungan orang agamis, cobalah aktif komunikasi dengan lembaga dakwah, tanya keluhan mereka itu apa. Cari nilai “pro-demokrasi”-nya kalian pada orang-orang agamis itu, serta bagaimana metode pencapaian yang dinilai patut dalam sudut pandang lembaga dakwah. Konsultasikan cocok tidaknya atribut keagamaan yang kalian bawa dalam karya aksi kalian, seperti cadar atau gamis, agar tidak melenceng dari syariat yang diharapkan. Sebab, jika syariat Islam saja tidak terpenuhi, maka sulit juga untuk mendapat dukungan dari kalangan agamis di UII.
Sebagai penutup, lihatlah foto di atas ini. Nampak massa dan pihak rektorat melaksanakan shalat ashar berjamaah. Foto ini dapat memberi refleksi: setegang apapun masalah antara mahasiswa dan rektorat, tetap disatukan dalam ibadah Islam yang agung. Demikian juga, se-blunder apapun tuntutan mahasiswa terhadap rektorat, se-blunder apapun kebijakan rektorat kepada mahasiswa, atau se-blunder apapun tulisan saya yang sederhana ini, kita semua tetap disatukan dalam barisan yang mulia. Lantas, mengapa tidak jadikan ‘seremonial’ agung tersebut sebagai landasan yang menguatkan tali kita bersama; yakni dengan menyertakan spektrum isu yang lebih luas seperti lingkupan paradigma-perspektif Islam?
Saya menyampaikan tulisan ini pun demi kepentingan saya –sebagaimana kata @uiistory, yang mana agenda saya ialah untuk mengajak semua elemen di UII untuk menuju paham Islam. Adapun kepentingan saya pribadi yang menjadi kepentingan publiknya ialah: agar kalian kelak tidak menjadi diktator opini.
*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.