Telah berlalu dua tahun berlembaga dakwah, namun tak jua menemukan simpul peran dari lembaga dakwah selama ini.
Sebagai kader salah satu lembaga dakwah ternama, telah terbenak dalam pikiran saya, yang kini kian membulatkan keputusan saya untuk keluar dari lembaga dakwah. Sebenarnya, apakah peran lembaga dakwah sedemikian berguna bagi mahasiswa dan mahasiswi secara komprehensif?
Saya lihat, ada ‘gap’ yang menjadi kelemahan peran lembaga dakwah selama ini. Sebut saja, ranah lingkup dakwah yang secara konseptualnya merangkul seluruh mahasiswa, baik kalangan ‘agamawan’ (yakni sebutan saya terhadap kalangan yang memiliki kedekatan dengan agama) maupun kalangan ‘biasa’, malah kurang memberikan bukti nyata. Alih-alih mendakwahi agama ke semua kalangan, lembaga dakwah seakan hanya sanggup mencapai kalangan yang telah dekat dengan agama saja. Sedangkan bagi kalangan yang belum sekiranya aktif ke masjid ataupun masih bermaksiat bersama pasangan haram, tak pun tersentuh olehnya secara optimal.
Misalnya dalam bentuk lain, kajian-kajian agama yang menjadi corong dakwah selama ini, tak mendapat hati dari kalangan yang jarang mendatangi kajian. Apa kita hendak menyalahkan kalangan tersebut atas kemalasan mereka mendatangi kajian? Tentu tidak. Setiap kalangan tersebut masih memiliki kelonggaran waktu dan hak berkegiatan, yang dengannya memberi legitimasi bagi mereka untuk ikut kajian agama, atau sekadar bermain dengan teman saja.
Peran lembaga dakwah masihlah pasif. Ketiadaan daya otoritas konkrit yang dimiliki lembaga dakwah, turut memperpayah perannya hingga kini. Kajian-kajian agama yang diselenggarakan tiap waktu di berbagai titik musola tak pernah terbukti ramai selain dari kalangan yang bersedia mendatangi kajian saja. Dua insan yang memadu kasih dalam ikatan haram di bangku-bangku kampus tak juga dapat tereliminasi, sebab nihilnya kekuatan para pendakwah yang mampu memusnahkannya. Selembar kain ketat yang melekat pada beberapa muslimah terkini, tidak pula diganti (atau terganti) dengan busana tersyariatkan Islam. Apa hal? Saya menyebut sekian hal ini, sebagai bukti betapa tak punyanya para pendakwah untuk lebih otoratif dalam dakwahnya.
Otoritas diperlukan oleh para pendakwah. Sungkannya sekian orang dalam menegur pelaku maksiat, umum ditengarai kurangnya pembelaan bagi mereka bila sekiranya mereka dibenci dan diajak kelahi oleh pelaku maksiat. Artinya, otoritas yang dimaksud juga meliputi perlindungan bagi para pendakwah secara nyata. Dapatlah perlindungan tersebut diberikan oleh institusi, semisal dari pihak kampus, lembaga kemahasiswaan, atau sekadar dari lembaga dakwah sendiri.
Bisa juga dalam wujud lain agar semua kalangan menyanggupi aktif dalam ikuti kajian agama rutin, dapat diberlakukan sistem khusus yang menjadikan keaktifan mengkaji agama menjadi poin determinan bagi penilaian aspek yang vital. Misalnya, jika tidak ikut kajian agama rutin, maka salah satu mata kuliahnya bernilai F.
Dalam mewujudkan perluasan otoritas ini, para pendakwah perlu dipertalikan dengan suatu ikatan formal. Meski semua muslim diwajibkan berdakwah, namun otoritas tersebut tidak bisa diserahkan ke semua muslim karena bila demikian tentulah tercipta kekacauan. Perlu ada penuangan dalam wadah khusus. Wadah tersebut dapat terwujud dalam suatu organisasi atau lembaga yang dalam realita kini dapat mudah dialamatkan pada lembaga dakwah. Dari sinilah, lembaga dakwah memiliki kekuatan otoritatif dalam dakwah, yang dengannya menjadi sebab terbangunnya dakwah nyata di atmosfir dan ruang kampus.
Namun, penuangan otoritas kepada lembaga dakwah pun perlu diiringi syarat lain. Misalnya, supaya kekuatan dapat digunakan secara vital, lembaga dakwah harus mendapat kesepakatan bersama dengan pihak kampus apabila hendak menjadikan sistem penilaian akademik sebagai daya otoritatifnya. Jika kiranya bermaksud mendapat kekuatan fisik, potensi dapat terbentang bila rela menembus sekelumit perjanjian dengan pihak Resimen Mahasiswa atau sekiranya bermaksud memiliki kekuatan mandiri, perlu divisi baru dalam lembaga dakwah yang berisi hasil rumusan dalam merealisasikan daya otoritatif tersebut, misal divisi keamanan.
Selain itu, demi mendapat posisi yang sulit diganggu-gugat oleh pejabat kampus yang membenci dakwah, derajat lembaga dakwah secara struktural perlu dipertingkat lagi. Lembaga dakwah dapat dijadikan lembaga khusus yang dibawahi lembaga kemahasiswaan, atau tercipta sebagai lembaga independen yang tidak dibawahi lembaga kemahasiswaan mana pun (yang tentu perlu wacana lebih rumit dalam merumuskannya). Jika bermaksud hanya mendakwahi para mahasiswa saja, sembari mengharmoniskan arah dengan visi dan misi kampus yang mendukung dakwah, maka baiknya lembaga dakwah tersebut berstruktur dibawah naungan kampus yang dengannya bila lembaga dakwah itu dihadapkan penentang dakwah, maka sama saja penentang itu sedang berhadapan dengan kampus.
Dengan posisi struktural yang kuat, serta rumusan otoritas yang ada, maka peran lembaga dakwah dalam menegakkan syariat Islam di kampus menjadi hal yang berdampak lebih nyata. Apabila tidak demikian, maka fungsi kontrol atas masyarakat lingkup kampus akan lemah. Artinya, potensi maksiat akan tinggi di dalam kampus.
Kiranya bisa, lingkup kampus terus tegak dengan bercorong kajian agama saja, tidak dengan otoritas dan rumusan protektif bagi dakwah sebagaimana tulisan ini usung. Namun, hal demikian hanyalah ternilai sebagai amar maruf saja. Sedangkan nilai nahi munkar tidak akan bertemu bila tidak diberi ruang otoritas.
Tindak nahi munkar perlu kekuatan dari tiap pelaku dan kekuatan yang dimaksud meliputi perlindungan dan instrumen dalam aksinya. Pelaku nahi munkar perlu memiliki otoritas dakwah dalam menggunakan tangannya selama menepis kemaksiatan, lisan yang memiliki hak penghormatan bila ditentang oleh pembencinya, serta hati yang terakomodasi dalam menentukan ruang suasana kampus menuju kondisi berliputan syariat Islam.
Sebagaimana dimaksud oleh Jumah Amin Abdul Aziz dalam kitabnya, tindak nahi munkar baru terwujud bila pendakwah mendapatkan izin dan otoritas dari pemerintah. Dalam hal ini, tidak bertemu usaha optimal dari penepisan maksiat di kampus, bila tidak ada wadah dengan kedudukan tinggi yang memberi otoritas bagi pendakwah.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, syarat tegaknya nahi munkar ialah adanya kemampuan dari pendakwah itu, yang dengannya sang pendakwah tak tertimpa kemudaratan yang mengenainya. Jika sang pendakwah merasa tidak mampu mendapat perlindungan tatkala ditentang orang yang bermaksiat, maka sang pendakwah tidak dapat menegakkan nahi munkar. Malah adakalanya bila benar tak mampu, hukumnya menjadi haram ber-nahi munkar. Bila berlaku demikian, maka maksiat akan terus terbengkalai, dan kampus dilanda sekian banyak kemaksiatan. Di sisi lain, bersabar dalam menegakkan nahi munkar ialah memang lebih utama. Namun, jangan anggap hal demikian dapat dilakukan tiap pendakwah. Sikap kalangan yang tidak mampu mendapat kekuatan otoritatif perlu dijadikan tolok ukur: nahi munkar tidak dapat dilakukan jika tidak ada otoritas bagi pendakwah.
Capaian yang telah terungkap dalam tulisan ini tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan baik-buruknya kepengurusan lembaga dakwah dengan kondisi dan struktur lemah sebagaimana sekarang saja. Sebaik-baik kepengurusan, lembaga tetap tak mempunyai kekuatan jika tidak diberi hak otoritas dalam melakukan hal secara optimal. Maka, kita tidak dapat terus mengandalkan pergantian pengurus dari lembaga dakwah, yang dengannya kita berpikiran betapa cukup lembaga dakwah memberi fungsi dakwah yang riil di tiap sisi kampus yang ada.
Bagaimana pun, perlu ada perubahan dari sisi struktural, perluasan, dan penuangan otoritas bagi pendakwah melalui lembaga dakwah. Hal tersebut, tak lain dimaksudkan, selain demi menegakkan syariat Islam yang menyeluruh di kampus, serta membawa kampus menuju status Rahmatan lil Aalamiin yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera , tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.