Terapi Beres-beres ala KonMari

Semakin ke sini, pekerjaan semakin beragam dan mungkin aneh bagi beberapa orang. Salah satunya konsultan beres-beres. Iya, pekerjaan itu ada dan nyata. Salah satu orangnya yaitu Marie Kondo.

Setelah sukses dengan bukunya The Life-Changing Magic of Tidying Up, yang telah diterjemahkan dengan belasan bahasa dan terjual di 30 negara, Marie merambah dengan acara reality show. Acara bertajuk Tidying Up with Marie Kondo ini berada dalam naungan Netflix. Ada delapan episode yang akan memperlihatkan cara beres-beres rumah dari yang berantakan sampai nyaman untuk ditinggali. Metode ini juga dikenal dengan KonMari.

Awalnya, Marie akan datang bersama asistennya yang bertugas sebagai penerjemah. Acara mengambil latar tempat di Amerika. Setelah berkenalan dengan pemilik rumah dan berkeliling ke semua ruangan, Marie mengajak seluruh rumah untuk duduk bersimpuh di lantai. Marie akan meletakkan tangannya di lantai sebagai cara untuk “menyapa” rumah. Mereka akan memejamkan mata beberapa detik, seperti meditasi.

Tidak jarang setelah ritual itu, beberapa pemilik rumah merasa nyaman bahkan terharu. Setelah “manyapa” rumah, barulah aksi dimulai. Beres-beres dimulai dari pakaian dan sejenisnya, buku-buku dan sejenisnya, kertas-kertas dan sejenisnya, komono (pernak-pernik di kamar mandi, dapur dan garasi) serta yang terakhir barang-barang sentimental.

Kita ambil contoh pakaian. Awalnya semua baju, apa pun itu, diletakkan dalam satu tempat sesuai pemilik. Banyak yang pakaiannya bertumpuk sangat tinggi. Jangankan penonton, bahkan pemilik pakaian itu sendiri kaget dengan pakaian yang dia miliki saking banyaknya.

Setelah itu pakaian dipilah satu per satu. Bagi pakaian yang menimbulkan kebahagiaan atau istilah Marie dengan sparks joy saat dipegang, maka pakaian itu boleh disimpan. Jika tidak menimbulkan kebahagiaan, maka harus dibuang atau disumbangkan. Setelah itu, bagi pakaian yang tersisa akan disimpan dengan beberapa teknik untuk bisa menghemat tempat, awet dan mudah diambil.

Hal yang mirip dilakukan pada sesi lain seperti buku, kertas, komono dan barang sentimental. Barang sentimental memang sengaja diletakkan pada bagian akhir. Hal ini agar acara beres-beres tidak terganggu. Seringnya pada sesi barang-barang sentimental, banyak barang yang membuat pemilik menangis dan terguncang hatinya. Entah teringat akan masa lalu dan cerita barang atau yang lainnya. Jadi misal sesi ini menjadi yang pertama, pemilik rumah tidak akan bisa bertahan sampai sesi selanjutnya, sedih.

Ternyata beres-beres bukan hanya sekadar beres-beres. Dalam kegiatan ini kita jadi bisa memilih mana yang perlu ada dalam hidup kita ataupun tidak. Kita tidak punya banyak energi untuk semua hal-hal yang tidak perlu dan tidak penting. Hidup ini singkat bukan? Jadi lakukan hal yang memang perlu dan penting saja (tentu akan jadi berbeda penting menurut Anda dan menurut saya).

Dalam acara ini kita juga belajar cara hidup minimalis. Gaya hidup yang mencoba untuk salah satunya mengurangi sampah dan benda tidak berguna yang sangat mungkin merusak lingkungan. Dengan memilih dan memilah barang yang penting dan membahagiakan, kita akan belajar juga untuk hanya membeli barang yang serupa. Kita tahu, sangat tidak enak berada di tengah barang-barang yang tidak berfungsi apalagi tidak menyenangkan.

Pada salah satu episodenya, satu keluarga beres-beres bersama. Hal yang membuat si suami menyadari betapa berat tugas istri dalam mengurus rumah. Hal yang menurut Leila S. Chudori dalam ulasannya di Tempo sebagai membongkar susunan tradisional, bahwa lelaki selalu bekerja dan perempuan di rumah.

Beres-beres juga menjadi semacam terapi untuk menghilangkan stres, setidaknya bagi saya. Saat membersihakan ruangan dan menata barang-barang, saya merasa sedang menata perasaan juga. Berlatih berani memilih yang perlu disimpan dan yang perlu dibuang. Sama dengan kondisi dalam hati dan pikiran. Berlatih perlahan memilah yang perlu disimpan dan dibuang. Semua untuk kebaikan masa lalu, masa kini dan juga tentunya masa depan kita.

Tentu tidak semua setuju dengan teknik atau wacana Marie Kondo. Salah satu yang tidak sepakat sepertinya Akhmad Muawal Hasan dalam tulisannya di Tirto.id. Menariknya, setidaknya untuk saya, ada dua ulasan tentang acara Marie Kondo yang saling berseberangan. Ulasan Akhmad Muawal Hasan sebagai pihak yang tidak sepakat, dan ulasan Leila S. Chudori dari Tempo yang cenderung sepakat.

Sebagai penjelas, tulisan ini adalah bagian yang sepakat. Jadi saya ingin “menjawab” hal-hal yang ada dalam ulasan Tirto.id yang bisa jadi disebabkan kurang detail dalam menonton atau membaca buku Marie Kondo.

Dalam ulasannya, Hasan menuliskan bahwa sepertinya tidak begitu perlu menyewa konsultan untuk bersih-bersih. Cukup dengan memotivasi diri dan meluangkan waktu. Katanya, merapikan isi lemari tidak sebimbang seperti saat pindah agama.

Memang benar, bahwa merapikan isi lemari tidak sepenting urusan agama. Namun akan sangat berbeda beres-beres setelah dan sebelum mengetahui metode Marie. Kita juga tidak bisa menyamakan semua orang dengan budaya di Indonesia, yang (mungkin) terbiasa untuk beres-beres. Banyak latar belakang kita yang berbeda-beda, sehingga beres-beres jadi hal yang asing. Saat ada yang menggunakan jasa Marie, bukankah itu menandakan bahwa memang tidak semua orang tahu betul tentang beres-beres?

Poin selanjutnya mengatakan bahwa Marie merupakan seorang kapitalis Jepang, yang merampok uang para pemalas dari berbagai belahan di dunia, baik dengan menyewa jasa konsultasinya, membeli bukunya, atau sekadar menjadi penggemar di akun Instagram.

Saya rasa ini bagian yang konyol. Setiap profesi tentu butuh apresiasi. Saat Marie sudah meluangkan waktu dan ilmunya untuk membantu seseorang, pantas saja dia dibayar. Membeli buku bentuk kapitalisasi Marie? Ayolah, apa ada buku (dalam hal ini informasi) yang tidak berguna sama sekali. Bahkan informasi sampah pun berguna. Agar kita bisa menghindarinya.

“Mengingat Kondo sedang menjual kegembiraan beres-beres, maka wajar ia selalu tersenyum di depan kamera. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa inti dari KonMari adalah penyortiran yang menghasilkan rasa bahagia setelah semuanya tertata—sebagaimana yang dia ungkapkan dalam buku.”

Semakin ke sini menjadi semakin aneh. Sampai orang senyum di depan kamera menjadi permasalahan. Terlepas senyumnya jujur atau tidak, semua punya hak atas tubuhnya. Asalkan tidak merugikan orang lain, maka wajar-wajar saja.

Dalam poin lain, Hasan juga mempermasalahkan indikator kebahagiaan terhadap barang. Dia mengatakan bahwa banyak orang membeli berdasar fungsi, karena mula-mula orang membeli barang karena fungsinya bukan karena senang atau tidaknya.

Tentu sebagian ungkapan itu benar. Pernyataan itu bisa terjawab dari sistem Marie yang tidak otoriter. Dia tidak menentukan barang yang perlu disimpan dan barang yang perlu dibuang. Marie mempersilakan pemilik untuk menentukan sendiri. Salah satu alasannya, karena kebahagiaan itu subjektif.

Kemudian bagaimana dengan barang yang memiliki fungsi? Kita coba lebih cermat lagi. Misal dalam pakaian. Kita membeli pakaian karena fungsinya sebagai pelindung tubuh adalah satu hal. Membeli pakaian yang berlebih, entah karena diskon, lapar mata, atau bahkan diberi, itu sudah melebihi fungsi pakaian sebagai pelindung tubuh. Sudah berlebihan. Hal itulah yang tersirat dari metode ini.

Apabila ada argumen, bagaimana nanti kalau barang ini diperlukan suatu hari nanti? Hal itu selalu menjadi alasan. Tapi apakah Anda benar-benar menggunakannya lagi?

Hasan juga mencantumkan argumen Conctance Grady yang menulis di kanal Vox bahwa Kondo menjual fantasi atas kontrol penuh atas isi rumah. Menurutnya, “Umumnya orang menegosiasikan ruang dengan barang karena barang yang ada punya hak untuk tinggal. Kondo membaliknya: baranglah yang mesti dinegosiasikan hak tinggalnya,” tulisnya. “Si pemilik rumah dipaksa untuk mengurangi jumlah barang karena pada dasarnya barang yang lebih sedikit itu lebih mudah dikontrol. KonMari menimbulkan ilusi kelegaan sementara karena si penghuni rumah hanya mengurus barang yang memicu kegembiraan saat dipegang.”

“Mengapa sementara? Tentu karena aktivitas harian setelah Kondo merampungkan misinya akan membuat isi rumah berantakan kembali. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah satu kali pengorganisiran yang dipandu Kondo sudah cukup untuk mengubah mental si pemilik rumah agar tidak mengulangi kemalasan yang sama di masa depan?”

Argumen bahwa kita perlu menegosiasikan ruang dengan barang yang kita miliki terlihat sangat bersahabat. Namun bagaimana dalam kondisi barang-barang yang semakin banyak dan tidak terkendali. Apakah ruang masih bisa menoleransi barang itu? Mungkin masih. Tapi percayalah, tinggal di ruang yang rapi dengan sedikit barang lebih nyaman daripada di ruang yang banyak barang.

Apakah efeknya dari acara beres-beres ini hanya sementara? Dalam beres-beres, Marie juga menerangkan landasan tentang metodenya. Maka kemungkinan besar, di waktu-waktu selanjutnya, pemilik rumah akan lebih bisa menatanya sendiri. Apabila kita membaca bukunya, tidak hanya menonton serialnya, itu akan lebih membantu. Dan yang paling konkret, kita perlu mencobanya sendiri.

Kemudian dalam ulasan juga Hasan menyatakan bahwa gaya hidup minimalis lebih mahal. Setahu saya memang minimalis bukan perkara lebih murah saja. Lebih penting dari itu adalah memaksimalkan yang kita miliki, lebih lama pemakaian, dan tentunya usaha merawat lingkungan.

Tidak hanya minimalis, ada juga argumen yang mengungkapkan bahwa dalam beres-beres, Marie ujung-ujungnya menjual barang-barang untuk menyimpan. Keputusan untuk membeli barang atau tidak sepenuhnya dalam genggaman kita. Bahkan dalam bukunya, Marie menuliskan bahwa kita bisa memanfaatkan barang bekas sebagai tempat penyimpanan.

Hasan menutup ulasannya dengan kalimat Alexandra Spring dari Guardian, “Marie Kondo, kamu tahu enggak apa yang bisa benar-benar memicu kegembiraan? Beli lebih sedikit barang-barang tak berguna. Sebab barang-barang tak berguna itu tidak akan musnah begitu saja—ya mengotori daratan, ya jadi polusi di lautan!”

Penutup ulasan ini membuat saya tepuk jidat. Hal yang memperlihatkan bahwa kita perlu lebih cermat dalam menonton film atau membaca buku. Justru metode-motode yang Marie terapkan agar lebih bersahabat dengan alam, salah satunya polusi di lautan.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content