Membumikan Pemikiran Ekonomi Bung Hatta

Tanggal 12 Agustus merupakan hari lahir tokoh pejuang kemerdekaan sekaligus proklamator Indonesia yaitu Muhammad Hatta. Salah satu peringatan hari lahirnya Bung Hatta yaitu Jagongan Ekonomi Kerakyatan dan Launching Buku “Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta: Jalan Politik Kemakmuran Indonesia” karya Fadli Zon. Acara yang bertempat di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut diadakan oleh beberapa lembaga dan pusat studi di antaranya Mubyarto Institute, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (PUSTEK-UGM), Institute for Policy Studies (IPS), dan Fadli Zon Library. Adapun pembicaranya yaitu Sri Edi Swasono, Dawam Rahardjo, Taufik Abdullah, dan tokoh lainnya.

Acara dimulai pada pukul 14.00 WIB dan dipandu oleh Dumairy dari PUSTEK-UGM. Fadli Zon, selaku penulis buku memamparkan bahwa pemikiran ekonomi Bung Hatta mempunyai keunikan tersendiri dibanding dengan pemikiran ekonomi di negara lain dan masih sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia saat ini. “Pemikiran Bung Hatta ini harusnya menjadi politik perekonomian kita,” tutur Fadli.

[irp posts=”4513″ name=”Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas”]

Fadli mengungkapkan bahwa pasal 33 UUD 1945 merupakan buah pemikiran Bung Hatta. Begitu juga dengan pasal-pasal kesejahteraan, dan pasal ekonomi lainnya. Kemudian, dia melanjutkan bahwa pemikiran ekonomi Bung Hatta mengembangkan people based economy yang pusatnya adalah manusia dan operasionalisasinya adalah koperasi. “Koperasi merupakan sebuah gerakan yang memandang bahwa ekonom seharusnya membangun manusianya bukan kapitalnya, begitu juga seharusnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan sekedar mencari profit tetapi juga menjadi benfit kepada masyarakat,” jelas Fadli. Fadli menambahkan bahwa pemikiran Bung Hatta bertolak belakang dengan keadaan ekonomi saat ini.

Sri Edi Swasono seorang ekonom yang juga menantu dari Bung Hatta, juga menjelaskan bahwa cara pandang ekonomi Bung Hatta pada dasarnya yaitu ekonomi yang membela kaum pribumi waktu itu. Selain itu, Sri juga menyinggung tentang eksklusivisme pada tatanan masyarakat Indonesia saat ini. “Pemukiman sendiri, rumah sakit sendiri, universitas sendiri, mall nya sendiri,” singgungnya. Ia juga menganggap bahwa sekarang ini pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. “Seorang developer dengan enaknya bicara, ini tanah bagus malah dipakai untuk pasar rakyat yang becek dan jelek, ini gak cocok dengan teori Amerika, harusnya dibangun jadi mall. Namun, setelah jadi mall orang-orang pinggiran dimarjinalkan,” tutur Sri Edi Swasono.

[irp posts=”4386″ name=”HIMMAH BERBICARA: Koperasi Sistem yang Cocok untuk Indonesia”]

Kemudian, ekonom lain yang ikut memberikan penjelasan mengenai ekonomi kerakyatan adalah Dawam Rahardjo. Di awal penjelasannya, Dawam menyinggung akan pernyataan Sri Mulyani, menteri keuangan, yang mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan dalam literatur ekonomi itu tidak ada. “Memang betul ekonomi kerakyatan itu tidak ada, jika dilihat dari kaca mata ilmu ekonomi. Namun, jika dilihat dari kacamata ekonomi politik dan sosiologi ekonomi, sangat jelas sekali ekonomi kerakyatan itu ditemukan,” papar Dawam. Ia menambahkan bahwa intelektual ekonomi sekarang jarang yang berpikir tentang ekonomi kerakyatan, justru intelektual seperti antropologi, sejarah, maupun budaya yang berpikir demikian. Menurut Dawam, buku Fadli Zon merupakan pemikiran Bung Hatta dari kaca mata budaya yang tidak terlepas dari lingkungannya yaitu budaya Minang. Dia kemudian memaparkan bahwa budaya Minang identik dengan tiga hal yaitu budaya surau atau budaya keagamaan, yang kedua budaya lapau yaitu budaya intelektual, dan yang ketiga budaya rantau, atau budaya ekonominya masyarakat minang. “Budaya lapau itu seperti kafe-kafe sekarang yang menjadi tempat berkumpul dan berdiskusinya masyarakat. Revolusi Perancis itu lahirnya dari kafe-kafe, tempat masyarakat berdiskusi waktu itu,” tutur Dawam.

Pada sesi diskusi Awan Santosa dari Mubyarto Institute memberikan pandangannya terkait pemikiran ekonomi kerakyatan Bung Hatta . “Satu hal yang menarik dari buku ini adalah statement dari Bung Hatta yang menyatakan bahwa universitas itu tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tapi lebih dari itu, universitas harus bisa menghubungkan pengetahuan dengan realita kehidupan,” jelas Awan. Awan memandang bahwa ada ironi di universitas saat ini. Ia menjelaskan bahwa provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki banyak kampus, justru menjadi provinsi yang paling miskin di pulau Jawa dan juga provinsi tertimpang ke empat di Indonesia. Harusnya kampus menjadi pusat pengetahuan yang bisa menghubungkan realita kehidupan sesuai yang dikatakan oleh Bung Hatta.

Skip to content