YLBHI Tuntut Kapolri dan Presiden Usut Kekerasan Pada Aksi di Desa Wadas

YLBHI menuntut Kapolri dan Presiden untuk mengusut pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada warga Desa Wadas, LBH Yogyakarta, serta jaringan solidaritas pada aksi penolakan pengukuran dan pematokan lahan Desa Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener, Jum’at (23/04).   

“Para polisi yang hadir di Desa Wadas terindikasi melakukan tindak pidana,” ujar Asfinawati selaku Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada saat Konferensi Pers di kanal Zoom Meeting pada Sabtu (24/04).

Asfinawati memaparkan, pihak kepolisian telah melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, menendang, hingga menjambak rambut. Hal ini dibuktikan dengan dokumentasi yang beredar seperti video dan foto kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

“Jelas sekali kami melihat foto-foto luka yang dialami oleh Julian (Red-Staf LBH Yogyakarta), itu adalah kekerasan. Dan kalau masyarakat biasa memukul saja meja bisa masuk penjara, maka seharusnya demi persamaan di depan hukum semua orang di republik ini meskipun dia menggunakan seragam coklat (Red-polisi), dia harus ikut diperiksa secara pidana,” tegasnya.

Selain itu, penangkapan dua anggota tim advokasi LBH Yogyakarta oleh pihak kepolisian setempat tidak dibenarkan. Pasalnya, kedua anggota tersebut merupakan advokat yang dilindungi oleh undang-undang.

“Di dalam Pasal 11 (Red-UU No 16 Tahun 2011), tidak hanya dia dilindungi ketika dia di dalam pengadilan, tapi juga diluar pengadilan seperti ketika dia berada di Desa Wadas. Karena ada MOU yang dibuat oleh PERADI dan Kepolisian. Polisi tidak bisa langsung mengambil, memeriksa advokat tapi harus melalui Profesi Advokat,” jelas Asfinawati.

“Di dalam Undang-Undang Advokat juga memiliki penafsiran yang memberikan imunitas terhadap advokat,” imbuhnya.

Pada saat proses pemeriksaan, para pihak yang ditangkap kepolisian sempat melakukan pemeriksaan urin. pemeriksaan tersebut dinilai tidak memiliki landasan hukum seperti yang tertera dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Tes urin seharusnya dilakukan atas dua alat bukti yang cukup menurut putusan MK. Jadi bukan hanya sekedar bukti dikepala polisi, tapi harus ada dua alat bukti,” jelas Asfinawati.

Terakhir, adanya upaya menghalangi Bantuan Hukum yang dialami oleh staf LBH Yogyakarta seperti penangkapan dan kriminalisasi terhadap staf LBH Yogyakarta menjadi catatan akhir YLBHI atas rentetan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian. 

“Menghalang-halangi bantuan hukum ada di kekerasan, penggunaan wewenang penyidikan yang sewenang-wenang. Jadi, minimal yang kami tengarai ada lima pelanggaran hukum yang dilakukan aparat pada saat itu,” pungkasnya.

Asfinawati menjelaskan bahwa polisi telah gagal melaksanakan kewajiban internal sebagaimana tertera dalam peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Peraturan tersebut menegaskan bahwa Polri wajib untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

“Kalaupun aparat yang saat itu hadir tidak tau ada perkap (Red-Peraturan Kapolri) ini, itu bukan urusan kami, itu urusan Kapolri dan Kapolda kenapa anak buahnya tidak tahu? Dari mana kami bisa mengatakan bahwa anak buahnya tidak tahu? Ya dari lapangan itu,” tutur Asfinawati.

Melihat rentetan panjang pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para massa aksi, Asfinawati menuntut kepada pihak kepolisian dan presiden untuk segera menyidik anggotanya yang terindikasi melakukan tindak pidana kekerasan. 

“Ini bukan delik aduan, jadi tidak perlu menunggu laporan dari korban. Kepolisian harus segera menjalankan ini (Red-penyidikan). Dan kalau tidak dijalankan, maka itu adalah bukti yang lain lagi bahwa ada jalur komando, ada pembiaran oleh atasan yang melakukan. Dan artinya kepolisian secara institusi akan terlibat menjadi pelaku,” terangnya.

Terakhir, Asfinawati mengatakan ketika Kapolri tidak menjalankan tindakan yang tegas serta tidak mencegah berulangnya kasus ini, maka presiden juga ikut bertanggung jawab. Tak lupa, Asfinawati beserta pihaknya akan mempertimbangkan untuk melayangkan gugatan terhadap Presiden dan Kapolri jika setelah diberikan waktu tidak ada Tindakan tegas.

“Jika dalam waktu yang cukup Kapolri dan Presiden tidak ada tindakan yang berarti dalam kasus ini, maka kami akan mempertimbangkan untuk menggugat Kapolri dan juga Presiden, karena Presiden memiliki wewenang langsung kepada Kapolri. Kami juga akan mengadukan peristiwa ini ke mekanisme HAM PBB,” pungkasnya.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Skip to content