Beranda blog Halaman 7

Budi Pekerti: Ketika Kebenaran Tenggelam dalam Kebisingan Media Sosial

0

Judul Film: Budi Pekerti/Andragogy

Genre: Drama

Sutradara: Wregas Bhanuteja

Penulis: Wregas Bhanuteja

Durasi: 1 jam 51 menit

Setelah sukses dengan film Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja kembali menunjukkan karyanya melalui film Budi Pekerti yang berhasil menorehkan prestasi dengan tampil di Toronto International Film Festival (TIFF) pada tahun 2023, menjadi film pembuka pada acara Jakarta Film Week 2023, dan mendapatkan nominasi dalam 17 kategori di Festival Film Indonesia 2023.

Budi Pekerti berkisah tentang seorang guru bimbingan konseling (BK) di salah satu SMP di Yogyakarta bernama Bu Prani yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Ia dikenal sebagai sosok guru yang baik tetapi juga tegas, dekat dengan murid-muridnya, dan selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan pembelajaran tentang budi pekerti. Alih-alih menghukum, Bu Prani lebih memilih memberikan “refleksi” kepada murid-muridnya dengan berbagai tugas yang relevan dengan kesalahan yang mereka perbuat. Tujuan dari pendekatan ini adalah agar mereka dapat belajar dari kesalahan, memahami dampaknya, dan dapat memperbaiki diri dengan cara yang lebih positif.

Lewat pendekatan ini, Bu Prani mengajarkan pentingnya tanggungjawab, empati, dan integritas. Hal ini menggambarkan bahwa seharusnya pendidikan moral dan etika di sekolah bukan hanya tentang menyampaikan teori, tetapi juga tentang bagaimana cara membimbing siswa untuk memahami dampak dari setiap tindakan mereka dalam kehidupan nyata. 

Namun, ketika perselisihan antara bu Prani dan seorang pengunjung pasar terekam dan viral di media sosial, seluruh nilai dan usaha yang telah ia bangun seolah hancur dalam sekejap. Potongan video yang diambil dari sudut pandang tertentu membuat publik salah menilai situasi sebenarnya. Hanya karena sepotong video, melahirkan berbagai komentar, editan jahat yang dibuat netizen, serta menimbulkan opini buruk dari masyarakat terhadap Bu Prani bahwa ia tidak mencerminkan sikap seorang guru.

Seiring berjalannya waktu, efek dari insiden ini semakin meluas, Bu Prani terancam kehilangan pekerjaannya dan juga mengalami dampak pada kehidupan pribadi serta keluarganya. Anak-anaknya, Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina), menjadi korban kebencian dan cyber bullying dari netizen. Di sisi lain, Bu Prani juga dihadapkan dengan kondisi suaminya, Pak Didit (Dwi Sasono) yang mengalami bipolar karena kegagalan ekonomi yang dialaminya akibat pandemi. 

Film ini menunjukkan bagaimana moral dan etika bisa mudah terkikis oleh opini publik, terutama di era digital yang penuh dengan informasi cepat dan sering kali tidak akurat di media sosial. Salah satu aspek menariknya adalah menyoroti dampak psikologis yang dirasakan oleh setiap karakter, termasuk anggota keluarga bu Prani. Kehidupan keluarga yang awalnya tampak harmonis mulai terpengaruh oleh apa yang terjadi di dunia luar, memberikan gambaran tentang betapa rapuhnya keseimbangan dalam kehidupan yang telah diganggu oleh campur tangan publik yang tidak sepenuhnya memahami situasi sebenarnya.

Performa Karakter dan Budaya yang Memikat

Para pemain dalam film ini berhasil menghidupkan setiap karakternya dengan baik melalui penggambaran emosi dan bagaimana cara mereka menyelesaikan konflik yang dialami. Sha Ine Febriyanti sebagai jantung dalam film ini berhasil memerankan karakter Bu Prani yang menunjukkan perjuangan seorang guru yang kuat dan berusaha untuk mempertahankan prinsip dan integritasnya di tengah tekanan. 

Berperan sebagai sosok yang mengalami bipolar, Dwi Sasono mampu menggambarkan perubahan karakter Pak Didit dari fase manik hingga depresi, sebagaimana para pengidap bipolar menjalani kehidupannya dalam keseharian. Meskipun perannya menarik di awal, karakter Pak Didit ini terkesan lemah dan tidak berperan signifikan di akhir cerita. 

Di sisi lain, Prilly Latuconsina berhasil menghidupkan karakter Tita, seorang musisi dan aktivis sosial yang akhirnya memilih menjadi penjual baju thrift. Meskipun hanya sedikit mendapatkan screen time, dia berhasil menghidupkan peran Tita dengan sangat apik melalui penyampaian perasaannya dengan memanfaatkan kepiawaiannya dalam melakukan ekspresi melalui sorot matanya. 

Karakter Muklas yang diperankan oleh Angga Yunanda dengan visualisasi unik melalui gaya rambut pirang berponi dan tindik di telinganya berhasil memberi warna pada film ini. Perannya sebagai seorang konten kreator yang dikenal dengan nama Muklas Animalia yang membahas tentang kesehatan mental dengan dibungkus konsep animal berhasil menghidupkan suasana humor dalam film.

Salah satu tokoh yang cukup mencuri perhatian adalah Gora, alumni murid bu Prani. Gora yang mengalami masalah kesehatan mental dan mengikuti sesi konseling bersamaan dengan pak Didit, ternyata menyimpan sebuah rahasia yang terungkap setelah video bu Prani viral. Penampilan Omara N. Esteghlal dalam menggambarkan karakter ini sangat unik dan mengesankan.

Penggunaan Yogyakarta sebagai latar tempat dilengkapi dengan penggunaan bahasa Jawa yang dominan, menambah kesan budaya yang kental pada film. Sinematografinya yang memukau berhasil memanjakan mata dan menyuguhkan keindahan Yogyakarta.

Andragogy: Potret Sosial dan Pengaruh Media di Dunia Pendidikan

Penggunaan kata “Andragogy” sebagai judul internasional film ini menjadi daya tarik tersendiri, karena memiliki makna yang merujuk pada pendekatan pendidikan untuk orang dewasa. Hal ini sangat terasa relevan dan mewakili tabiat netizen saat ini yang berusaha menjadi “pendidik” di dunia maya, sering merasa paling benar dan mencoba untuk mengoreksi atau memberikan pendapat, meskipun tidak selalu memiliki pengetahuan, fakta, atau pengalaman yang cukup.

Wregas sebagai sutradara, berusaha menyoroti berbagai isu sosial, psikologi, dampak cyberbullying dan cancel culture yang saat ini menjadi hal penting, termasuk juga kesejahteraan guru di Indonesia. Di tengah tekanan untuk mempertahankan reputasi, institusi pendidikan dan media sering kali lebih mengutamakan keuntungan atau citra daripada kebenaran. Film Budi Pekerti membawa kita pada pergulatan antara kebenaran dan fitnah di tengah hiruk pikuk media sosial. Pemberitaan media yang menyudutkan bu Prani dengan berbagai judul clickbait  menunjukkan betapa media bisa memanipulasi informasi untuk keuntungan bisnis semata. Di era digital ini,  penilaian benar atau salah hanya bergantung pada siapa yang paling vokal. Kebenaran bisa tenggelam dalam kebisingan opini publik yang tidak berlandaskan fakta. Mereka hanya mempercayai “kebenaran” yang ingin dipercayainya. Seperti yang dikatakan Muklas, “zaman sekarang salah atau benar itu cuma perkara siapa yang  paling banyak ngomong!”

Budi Pekerti juga merupakan penghormatan khusus bagi guru-guru di Indonesia atas dedikasi dan perjuangan mereka dalam mendidik generasi penerus bangsa. Bagi Wregas, sang sutradara, film ini memiliki makna khusus karena terinspirasi oleh ibunya yang juga seorang guru. Menariknya, dua guru yang menjadi rekan bu Prani dalam film merupakan guru yang pernah mengajar sang sutradara secara langsung saat menduduki bangku SMP dan menjadi inspirasi baginya hingga saat ini dirinya berhasil menjadi sutradara dan terjun ke dunia perfilman.

Refleksi: Menjadi Manusia yang Kritis dan Empati di Era Digita

Sebagai seorang anak dari kedua orang tua yang juga  berprofesi sebagai guru, saya merasa sangat terhubung dengan karakter bu Prani. Kedua orang tua saya selalu berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan kebenaran dalam setiap tindakan mereka, baik kepada anak-anaknya di rumah maupun murid-muridnya di sekolah. Saya bisa merasakan tekanan dan tanggung jawab besar yang dihadapi bu Prani sebagai seorang guru yang juga harus menjaga reputasinya di mata publik. Sama halnya dengan bu Prani, orang tua saya juga pernah mengalami situasi di mana tindakan baik mereka disalahartikan dan tidak dihargai oleh murid-muridnya, dan ini mengingatkan saya betapa pentingnya dukungan keluarga untuk saling menguatkan dalam menghadapi cobaan tersebut.

Ada begitu banyak pelajaran berharga yang bisa dimaknai dari film ini. Para penonton diajak untuk lebih menghargai usaha dan dedikasi orang tua, termasuk guru sebagai orang tua kita di sekolah. Di sisi lain, film ini mengajak kita untuk lebih pintar dalam mengolah dan menerima informasi. Apa yang terlihat benar di media sosial, belum tentu begitu adanya, begitupun sebaliknya. Penting juga untuk kita tidak terlalu cepat menghakimi orang lain berdasarkan informasi yang belum tentu kebenarannya. 

Pengalaman bu Prani, menjadi pengingat bahwa kebenaran dan kebaikan akan selalu menemukan jalannya sendiri. Melepaskan diri merupakan bagian dari proses pembelajaran dan pertumbuhan bagi bu Prani, menjadi pilihan terbaik baginya untuk menemukan kedamaian dari kebisingan media sosial dan ketidakadilan.

Salah satu adegan berkesan yang berhasil membuat saya masuk ke dalam emosi atas kepasrahan bu Prani adalah ketika percakapan mendalam dan emosionalnya dengan Gora. Bu Prani berkata “Kalau dunia terlalu berisik, kita tutup telinga sebentar. Lalu, kita dengarkan detak jantung kita. Kita pejamkan mata sebentar, dengarkan detak jantung kita. Tarik nafas dalam, berterima kasih untuk hari ini,” Hal ini memberikan refleksi kepada saya bahwa selama ini kita terlalu sering mendengarkan perkataan orang lain, sampai kita lupa bahwa diri sendiri juga perlu untuk didengarkan. Seharusnya kita lebih memberi kesempatan pada diri sendiri, mendengarkan kebutuhan batin, dan mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup yang sering terlewatkan, terutama di tengah kebisingan informasi digital saat ini.

Budi Pekerti bukan hanya sebuah hiburan semata, tetapi juga sebuah panggilan untuk kita bersikap lebih manusiawi dan bijaksana dalam menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kita diingatkan untuk tetap kritis dan empatik dalam menghadapi informasi di media sosial, serta memberikan dukungan kepada mereka yang menjadi korban dari budaya perburuan berita dan cyberbullying. Film ini menggambarkan betapa pentingnya untuk tidak terburu-buru dalam menghakimi situasi yang viral. Kita harus berpikir lebih dalam sebelum menilai, karena perbuatan kita dapat berdampak besar pada kehidupan orang lain, seperti yang dialami oleh bu Prani dan keluarganya.

Aksi Jogja Memanggil, Kecam Rezim Jokowi

Puluhan spanduk tuntutan aksi dibentangkan di Taman Parkir Abu Bakar Ali, Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Seorang massa aksi memakai topeng babi yang dirantai oleh massa aksi lainnya, menyimbolkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu berada dalam genggaman rakyat. Teatrikal tersebut digelar di depan Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Massa aksi menggembok pintu pagar Gedung DPRD DIY, sebagai bentuk perlawanan, pada Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi membakar kaos bergambar wajah Jokowi, di depan Gedung DPRD DIY, Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi mengacungkan jari tengah kepada pihak kepolisian di depan Istana Presiden Yogyakarta, sebagai bentuk perlawanan atas tindakan represi yang dilakukan oleh polisi kepada massa aksi, Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi membawa poster tuntutan, di depan barikade polisi yang berjaga di area Istana Presiden Yogyakarta pada Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi menabur bunga di atas poster-poster tuntutan, di depan Istana Presiden Yogyakarta, sebagai simbol kematian demokrasi di rezim Jokowi, Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Seorang massa aksi berorasi di samping boneka berwajah Jokowi, di depan Istana Presiden Yogyakarta, Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi mengangkat dan menggantung boneka berwajah Jokowi, di depan Istana Presiden Yogyakarta, pada Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi melakukan teatrikal pemancungan Jokowi dan Prabowo di depan Istana Presiden Yogyakarta, pada Selasa (27/8). Foto: Himmah/Subulu Salam

Aliansi Masyarakat Yogyakarta Gelar Aksi Kawal Putusan MK

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Yogyakarta memadati dan membentuk barisan dalam aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”’ di Taman Parkir Abu Bakar Ali, Yogyakarta, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Iring-iringan mobil komando menandai dimulainya long march aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”, dari Taman Parkir Abu Bakar Ali ke Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Massa aksi bersorak sembari mengepalkan tangan di depan Istana Presiden Yogyakarta dalam aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Reza Sandy Nugroho
Salah satu massa aksi mengangkat spanduk bertuliskan “JOKOWI BERTAHTA MK DIPERKOSA” di tengah massa aksi di Taman Parkir Abu Bakar Ali, Yogyakarta, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Reza Sandy Nugroho
Salah satu massa aksi mengangkat spanduk bertuliskan “LAWAN OPERASI SI ANAK BUNGSU” di tengah massa aksi di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Reza Sandy Nugroho
Massa aksi Aliansi Masyarakat Yogyakarta berhadapan langsung dengan barikade polisi di depan Istana Presiden Yogyakarta pada aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Masduki, dosen Universitas Islam Indonesia (UII) berorasi dan mengangkat poster Jokowi bertuliskan “Bapak Politik Dinasti Indonesia” pada aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”, di depan Istana Presiden Yogyakarta, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi lempari telur dan injak poster Jokowi bertuliskan “Bapak Politik Dinasti Indonesia” di depan Istana Presiden Yogyakarta, pada aksi unjuk rasa “Kawal Putusan MK”, Kamis (22/8). Foto: Himmah/Subulu Salam

Adili Rezim Jokowi, Massa Aksi Bentangkan Spanduk Sembilan Bencana Jokowi

Setelah aksi long march dari Taman Parkir Abu Bakar Ali ke Jalan Malioboro, massa aksi Aliansi Masyarakat Yogyakarta berhenti dan membentuk lingkaran di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, dengan membentangkan sejumlah spanduk. Salah satu spanduk bertuliskan “Sembilan bencana Jokowi”. Di antara poin dalam spanduk tersebut bertuliskan “Merawat Nepotisme, Menerabas Konstitusi” yang mengindikasikan kegagalan Jokowi dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hendak direvisi demi meloloskan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, pada Pemilihan Kepala Daerah 2024.

Maulana (21), salah satu Koordinator Lapangan (Koorlap) aksi massa menyebut putusan MK adalah putusan yang tidak bisa digugat, dan selayaknya pemerintah dapat menghormati putusan MK. Rayhan (23), salah satu Koorlap aksi massa, menaruh kekecewaan terhadap Jokowi, “Semua orang bukan berhak, tapi harus. Semua orang harus tersinggung. Harus kecewa, karena hari ini Jokowi menganggap kita orang yang bodoh. Memain-mainkan aturan bernegara kita,” ungkap Rayhan kepada awak Himmah.

Aliansi Masyarakat Yogyakarta Desak DPR RI Patuhi Putusan MK dan Tolak RUU Pilkada

Himmah Online – Aliansi Masyarakat Yogyakarta yang terdiri dari berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, dosen, buruh, pedagang, hingga aktivis berbondong-bondong melakukan long march mulai dari Jalan Abu Bakar Ali hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Kamis (22/8). Mereka menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk kekecewaan terhadap DPR RI yang menyepakati putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas minimum usia calon kepala daerah.

Tuntutan utama aksi ini adalah agar DPR RI tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dan KPU RI tetap menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 mengenai ambang batas partai politik saat mendaftarkan pasangan calon dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai batas usia kepala daerah.

“Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi. Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada),” Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.

DPR RI secara mendadak melaksanakan Rapat Panitia Kerja  RUU Pilkada. Mereka membahas UU No. 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah. UU tersebut adalah pengganti dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 mengenai pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Terjadi perdebatan pada rapat tersebut, yang membahas mengenai putusan MK tentang batas minimum usia. DPR RI memilih untuk mengikuti putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang menyatakan bahwa batas minimum usia calon kepala daerah terhitung saat pasangan calon terpilih dilantik.

Selain itu, perdebatan juga terjadi pada pembahasan mengenai putusan MK tentang ambang batas partai politik. DPR RI menganggap bahwa ambang batas yang ditentukan dalam putusan MK hanya berlaku untuk partai politik yang tidak memiliki kursi atau partai non-parlemen dalam DPRD, bukan untuk semua partai politik.

Maulana (21), salah satu Koordinator Lapangan aksi massa, mengungkapkan bahwa keputusan DPR RI untuk mengikuti putusan MA, tidak hanya menentang putusan MK, tetapi juga melawan kewenangan MK. “Seyogyanya, putusan MK adalah putusan final yang tidak bisa digugat,” tegas Maulana.

Maulana menilai bahwa, putusan yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh MK sudah tepat karena tidak menguntungkan salah satu pihak baik individual maupun partai politik tertentu dan membuka pintu demokrasi bagi partai lain sehingga dapat mengantisipasi kotak kosong pada saat Pemilihan Kepala Daerah 2024.

“Yang mana kan putusan 60 (Putusan MK No. 60) itu memberikan, membuka peluang demokrasi bagi partai-partai lain,” ucap Maulana.

Rayhan mengungkapkan, dengan putusan DPR RI ini menjadi tanda bahwa pemerintah telah mempermainkan aturan dan meremehkan rakyatnya. “Menganggap kita hanya orang yang akan diam, tidak akan melawan, dan hanya menonton. Itu sebagai bentuk perendahan terhadap harkat dan martabat kita. Maka kita harus marah, kita harus tersinggung,” tegas Rayhan.

Rayhan berharap, adanya aksi ini bisa menjadi bukti kekuatan rakyat. “Supaya pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang terhadap kita,” pungkas Rayhan.

Reporter: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Nurul Wahidah, Subulu Salam, Reza Sandy Nugroho

Editor: Abraham Kindi

_________

* Naskah ini mengalami penyesuaian pada Sabtu (24/08/2024). Kami memberikan koreksi terkait penyebutan kata “utusan” dan “merusak” dalam naskah.

Penyesuaian pertama terdapat pada kalimat langsung paragraf ke-3, kalimat langsung tersebut awalnya berbunyi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat, utusan dari Mahkamah Konstitusi.”, lalu kami koreksi menjadi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi”. 

Penyesuaian kedua terdapat pada kalimat langsung pada paragraf ke-3, kalimat langsung tersebut awalnya berbunyi “‘Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak merusak RUU (Pilkada),’ Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.” lalu kami koreksi menjadi “‘Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada),’ Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.”

Rayhan tidak menyebutkan “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat, utusan dari Mahkamah Konstitusi.” dan “Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak merusak RUU (Pilkada),” tapi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi.” dan “ Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada).”

Kelalaian reporter kami terdapat pada ketidakcermatan dalam mentranskripsi rekaman wawancara reporter dengan Muhammad Rayhan. LPM Himmah menerima hak koreksi ini dan memohon maaf pada Muhammad Rayhan serta pembaca.

Dangdut yang “Melawan” dalam Dendang Sangsi Silampukau

0

Judul lagu: Dendang Sangsi

Dibawakan oleh: Silampukau

Ditulis oleh: Eki Dimas Priagusta dan Kharis Junandharu

Tahun: 2021

Sumber: Moso’iki Records

Saat mendengar 15 detik pertama dari lagu “Dendang Sangsi”, saya menyangka bahwa single Silampukau yang rilis pada 2021 lalu ini akan menghadirkan musik folk sebagaimana biasanya. Akan tetapi, saya kemudian tercengang sejenak, sebab ternyata sangkaan saya keliru. Lagu ini adalah lagu dangdut.

Silampukau tak pernah gagal dalam menulis lirik. Kharis dan Eki selalu berhasil mengaduk-aduk perasaan para pendengar dengan rentetan bait yang bermakna dalam, kuat, dan terasa sangat dekat. Tak terkecuali lagu “Dendang Sangsi” ini. Tidak seperti lagu-lagu bergenre dangdut pada umumnya yang menceritakan tentang hubungan asmara, lagu ini ingin menampilkan keresahan rakyat biasa terhadap kondisi sosial dan kesewenang-wenangan pemerintah kiwari.

Berbagai alat musik khas dangdut seperti suling dan gendang membuat lagu ini makin terasa familiar dengan rakyat-rakyat kecil. Mungkin itu pula yang membuat Silampukau merilis lagu bergenre dangdut. Supaya lagu ini terkesan dekat dan tidak elitis, sebab dangdut merupakan-atau lebih tepatnya dipandang sebagai-musik masyarakat kelas bawah. Alhasil, Silampukau berhasil meramu berbagai keresahan dan kesangsian mereka atas kondisi sosial hari ini dalam sebuah lagu dangdut.

Keadilan Semu dalam Klaim Kedamaian

Kegagalan sering terpaksa dimaafkan / Terpaksa dimuliakan

Demi ilusi keutuhan / Demi fasad kestabilan

Demi kedamaian

Bait ini menampilkan dengan terang bagaimana kata-kata seperti keutuhan, kestabilan, dan kedamaian sering kali dijadikan kedok atau alibi untuk menutup-nutupi kegagalan penguasa dalam menegakkan keadilan. Ini barangkali sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Almarhum Gus Dur, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi”.

Keadilan semu semacam ini dibentuk bukan dari konsensus atau kesepakatan bersama. Ia hanyalah sebentuk penerimaan yang lahir dari rasa keterpaksaan dan ketertindasan. Acapkali kaum-kaum minoritas serta orang-orang kecil yang tak punya suara dan kuasa dirugikan dalam kondisi semacam ini. Mereka biasanya dipaksa untuk rela mengorbankan haknya demi alasan pemerintah dalam menjaga kestabilan dan keutuhan.

Kita masih belum lupa tentang berbagai penggusuran lahan belakangan ini yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat kecil. Seperti misalnya apa yang diderita oleh para penduduk di Pulau Rempang dan Desa Wadas. Hingga hari ini, konflik lahan penduduk tersebut pun masih belum menemui titik terang. Pemerintah hanya beralasan bahwa apa yang mereka lakukan tak lain demi menjaga stabilitas ekonomi negara.

Teror terhadap Kewarasan dan Akal Sehat

Pembenaran terus-menerus disemburkan / Dari dubur kekuasaan

Menghancurkan kewarasan / Berdengung mengacau ingatan

Atas kenyataan

Baru saja kita melewati kontestasi pemilu serentak beberapa bulan lalu dan bait lirik ini seakan menggambarkan kenyataannya. Pada masa kampanye, kita dicekoki oleh berbagai intrik dan hilah yang dilakukan oleh para politisi dan calon pejabat untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tak jarang, beragam intrik politik yang mereka lakukan seakan ingin membunuh kewarasan dan akal sehat.

Ini dapat kita lihat misalnya pada perhelatan debat capres-cawapres Januari lalu. Para calon presiden dan wakil presiden itu hanya menyampaikan pidato-pidato manis sambil sekali dua kali menjatuhkan pamor calon lainnya. Ironisnya, salah seorang calon malah melakukan selebrasi dan gerakan-gerakan konyol selama debat berlangsung. Kita pun pada akhirnya tidak menemukan pertarungan gagasan apapun yang substansial dan mendalam pada acara yang seharusnya penting itu.

Rakyat kecil dan orang-orang biasa yang menonton dan menyaksikan situasi politik pun lalu terbiasa dan pada akhirnya mewajarkan pemandangan tersebut. Hasrat akan kebenaran kemudian hilang dan kebodohan serta ketidakwarasan lebur dalam pembiasaan. Kita hanya bisa termenung dan sekali-sekali misuh melihat situasi politik yang kalut, konyol dan bikin gerah itu.

Saya teringat dengan perkataan salah seorang propagandis Nazi, Joseph Goebbels, “A lie told once remains a lie, but a lie told a thousand times becomes the truth”. Kebohongan yang diucapkan sekali tetaplah kebohongan. Namun, kebohongan yang diucapkan seribu kali akan menjadi kebenaran.

Lidah Mereka Terjulur, Lidah Kita Dipotong

Pembungkaman lewat pasal dan julukan / Lewat rеvolver dan senapan

Lestarilah kеtakutan / Padamlah padam perlawanan

Di alam pikiran 

Bait garang ini benar-benar menelanjangi kebusukan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Silampukau ingin menceritakan bagaimana pemerintah merepresi suara kritis publik terhadap ketidakadilan dengan serangkaian instrumen. Pasal adalah hukum atau undang-undang, julukan bisa jadi gelar akademik dan jabatan, sedangkan revolver dan senapan adalah aparat keamanan.

Beberapa waktu belakangan ini, kita melihat betapa banyak aktivis sosial yang diintimidasi dan dikriminalisasi. Sebut saja misalnya kasus Fathia-Haris yang dituduh melakukan ujaran kebencian kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan dijerat pasal UU ITE, atau misalnya Daniel Frits, seorang aktivis yang menolak keberadaan tambak udang karena merusak lingkungan di Pulau Karimunjawa dan dijerat dengan pasal yang sama. Ia bahkan beberapa waktu sempat mendekam di penjara.

Apa yang dilakukan pemerintah menciptakan semacam ketakutan pada masyarakat untuk melawan dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Yang pada akhirnya, teken-meneken keuntungan antar para politisi dan pengusaha dapat berlangsung lancar di atas meja makan.

Seorang Filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche mengatakan, “A politician divides mankind into two classes: tools and enemies”. Seorang politisi membagi manusia ke dalam dua kelas, yakni sebagai alat dan sebagai musuh.

Di penghujung lagu ini, suara berat khas Eki Tresnowening terdengar makin melankolis sebab nyatanya,

Perubahan makin jauh dari harapan / Semakin pudar di angan

Semakin tak terbayangkan / Semakin dipertanyakan

Semakin menyedihkan

Ancaman Kebebasan Pers: Dari Kasus Pembunuhan Wartawan Udin hingga Dominasi Media Cyber

Himmah OnlineHukumonline mengadakan diskusi bertajuk “Masa Depan Kebebasan Pers: Perlindungan Hukum atas Tekanan dan Ancaman Terhadap Jurnalis Indonesia,” bersama sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dan beberapa Lembaga Pers Mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta yang diselenggarakan pada Selasa (13/08), di Ruang Legislative Drafting FH UII.

Pokok diskusi tersebut membahas mengenai kerentanan kebebasan pers karena ancaman, tekanan, dan regulasi diskriminatif terhadap profesi jurnalis. Diskusi ini dihadiri oleh tiga pembicara, Masduki, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi Sosial Budaya (FPSB) UII; Ari Wibowo, dosen FH UII; dan Fathan Qorib sebagai Pemimpin Redaksi Hukumonline.

Fathan menjelaskan bahwa, kebebasan pers merupakan asas utama bagi jurnalis dalam menjalankan perannya. “Sebagai pers, tentu salah satu yang penting adalah memberikan kepercayaan penuh kepada rakyatnya,” ujar Fathan.

Namun, pada kenyataannya kebebasan pers tidak dihiraukan. Para jurnalis banyak mendapatkan ancaman, tekanan, bahkan cyber intimidation yang mengancam fisik, mental, hingga nyawa mereka. “Reputasi jurnalis dirusak, intimidasi berbasis digital, keberadaan mereka diikuti, dan akhirnya mengalami persekusi,” ucap Masduki.

Salah satu contoh tindak kekerasan terhadap jurnalis yang disampaikan oleh Ari adalah kejanggalan kasus kematian Fuad Muhammad Syafruddin, atau kerap disapa wartawan Udin pada tahun 1996 yang tidak terselesaikan hingga kini.

“Dibunuhnya Udin adalah tujuan untuk membunuh kebebasan pers,” tegas Ari.

Ari menambahkan, bahwa pemerintah adalah penjamin kebebasan pers. Pada situasi tertentu, pemerintah kerap kali menerapkan sejumlah regulasi diskriminatif yang mengancam kebebasan pers.

“Adanya Pasal 240 KUHP yang dijadikan senjata, Pasal 280 ayat 1 tentang pelarangan publikasi peradilan, Pasal 264 KUHP 2023 yang ukurannya tidak jelas, bagaimana cara menilai berita yang berlebihan atau tidak, tidak pasti atau tidak lengkap,” ujar Ari.

Selain regulasi, hal lain yang mengancam kebebasan pers, adalah beredarnya berita bohong atau disinformasi. Salah satu dari gejala tersebut adalah dengan berkembangnya media cyber yang menggeser posisi pers sebagai media konvensional. 

Dengan segala kemudahannya, masyarakat beralih dari media konvensional ke media cyber. Hal tersebut menyebabkan posisi jurnalis tergeser oleh para content creator. Kelemahan regulasi pada platform media cyber mengakibatkan penyebaran informasi-informasi keliru oleh para content creator. Berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh jurnalis, yang berpedoman pada kode etik jurnalistik.

“Bukannya Jurnalis, tapi content creator. Jurnalis mulai ditinggalkan oleh media cyber. Jurnalis mengalami keruntuhan nilai dan batang tubuhnya, hanya sisa kulitnya,” pungkas Masduki.

Reporter: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Giffara Fayza Muhlisa

Editor: Abraham Kindi

Merti Dusun Sebagai Identitas Budaya

Himmah Online – Merti dusun merupakan tradisi syukuran desa yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Tradisi ini biasanya diadakan setiap tahun atau beberapa tahun sekali, untuk memperingati musim panen atau hari raya besar lainnya. Selain itu, merti dusun juga dianggap sebagai momen refleksi, pembersihan, dan penyucian desa, baik lahir maupun batin. 

Merti berasal dari kata ‘meret lalu diselamati’ yang berarti selamatan atau rangkaian acara untuk mendoakan keselamatan desa. Acara ini menghadirkan tontonan sebagai hiburan masyarakat sekitar dusun, seperti penampilan kesenian tari, kesenian musik tradisional, dan kesenian lainnya. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Pramudi, ketua pelaksana pagelaran seni dan kebudayaan merti dusun di Dusun Randusari, Kelurahan Bimomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman (22/06). 

”Awal mulanya, ya, untuk memperingati merti dusun. Merti dusun itu ulang tahunnya kampung. Jadi, ya, istilahnya biar ada hiburan juga untuk masyarakat.” 

Tradisi formalis ini bertindak sebagai penjaga warisan budaya, menjaga keaslian, dan memastikan bahwa warisan tersebut tetap relevan dengan masyarakat modern. Dengan mengamalkan merti dusun, masyarakat dari golongan tua hingga muda bisa memulai dialog antara masa lalu dan masa depan kini serta merayakan dan melestarikan cara hidup nenek moyang. Selain itu, tradisi-tradisi ini berperan sebagai kekuatan pemersatu masyarakat, memperkuat ikatan sosial, dan memupuk rasa identitas bersama. 

 Tradisi yang Mengakar

Sebagai hiburan, momen merti dusun dapat menghadirkan makna mendalam bagi masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan kelancaran hidup di dusun serta sebagai bentuk pelestarian budaya lokal dan tradisional. 

Kegiatan Merti Dusun masih sering dijumpai di pedesaan  sebagai  bagian dari ritus dan situs yang ada di desa. Masyarakat Jawa meyakini bahwa meskipun dihadapkan pada duka dan musibah, masih banyak hal yang patut disyukuri. Maka, merti dusun menjadi wadah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala berkah yang diberikan.

Acara Merti Dusun biasanya berkaitan dengan penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang dan permohonan keselamatan bagi seluruh warga desa. Penghormatan tersebut menghadirkan beberapa simbolik terkait tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaan sebagai pejuang dan babat alas desa.

Seiring perkembangan zaman, Merti Dusun beradaptasi tanpa meninggalkan esensi tradisionalnya. Inovasi tersebut terlihat dari beberapa kesenian yang ditampilkan hingga properti yang digunakan dalam berjalannya rangkaian acara Merti Dusun. Seperti yang diadakan di Dusun Randusari, Kelurahan Bimomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman(22/06), pada rangkaian acara kesenian yang dipertunjukan terdapat kesenian tari jathilan

Pada kesenian tersebut terjadi inovasi perubahan musik yang semula tradisional kini mengalami perubahan dengan pencampuran musik pop jawa modern yang sedang populer. Inovasi tersebut bertujuan untuk menarik minat penonton yang lebih muda, yang cenderung lebih menyukai musik pop. Dengan adanya perubahan ini susunan alat musik juga ikut berubah, dengan tambahan drum dan keyboard untuk memberikan sentuhan modern pada musik gamelan. 

Walau menjadi lebih modern, tidak ada yang berubah dari isi pertunjukan, masih sama dan tetap memiliki pawang dan atraksi kesurupan ”ndadi” yang menjadi ciri khas Jathilan. Hal ini menunjukan bahwa inovasi tersebut merupakan upaya untuk menjaga tradisi tetap relevan dan menarik bagi generasi muda, tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Nilai Tradisi Merti Dusun

Meskipun perwujudan spesifik merti dusun berbeda-beda di setiap wilayah, tujuan dasarnya tetap sama yaitu meningkatkan solidaritas dan ketahanan sosial dengan melestarikan warisan budaya lokal. Tradisi formalis ini meletakkan dasar bagi pengembangan masyarakat yang berkelanjutan dan memungkinkan individu untuk mengatasi tantangan dan peluang bersama sama.

Hal tersebut relevan dengan yang diungkapkan Purnomo (52) selaku tokoh masyarakat Dusun Randusari, Kelurahan Bimomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.

“Dengan tujuan anak-anak muda untuk menciptakan suatu kerukunan, menunjukkan rasa kebersamaan, menjalin persatuan, dan kesatuan kekompakan dari warga antara yang muda dengan yang tua biar selaras kedepannya.Ya jelas dari warga sini, ya. menggali bakat anak-anak yang khusus untuk warga Kampung Randusari ini.”

Hal tersebut juga merupakan bentuk penghargaan dan upaya menjaga kesejahteraan warga desa. Merti Dusun membuka ruang tumbuh kembang dari potensi ekonomi masyarakat sekitar desa. Tradisi ini dimanfaatkan sebagai ajang berjualan makanan, minuman, maupun mainan   oleh para pedagang asongan. Para pedagang menjajakan dagangannya di dekat kerumunan hingga di pinggir jalan. Banyaknya masyarakat yang berdatangan di area pelaksanaan tradisi merti dusun membawa berkah bagi para pedagang. Sehingga tradisi merti dusun berpengaruh terhadap siklus ekonomi.

Melalui Merti Dusun, Generasi muda dapat belajar menghargai tradisi leluhur dan memperkuat rasa cinta terhadap budaya lokal. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjaga keberlangsungan budaya lokal yang khas, tetapi juga membentuk fondasi yang kuat untuk kehidupan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan. Tradisi Merti Dusun juga menjadi cerminan dari identitas dan jati diri masyarakat desa yang patut dilestarikan dan dijunjung tinggi.

Reporter: Magang Himmah/Marsyalina Dwi Putri Aminarti

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Forest Green Rovers: Klub Sepak Bola Ramah Lingkungan

0

Himmah Online – Sepak bola adalah salah satu olahraga paling populer di dunia, dengan jutaan penggemar yang tersebar di berbagai belahan bumi. Namun, di balik kemeriahannya, olahraga ini juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Mulai dari emisi karbon yang dihasilkan oleh perjalanan tim dan penggemar, penggunaan berlebih energi di stadion, hingga limbah makanan dan plastik yang dihasilkan setiap pertandingan. Sepak bola telah memberikan tekanan signifikan terhadap lingkungan.

Stadion sepak bola modern seringkali menggunakan energi dalam jumlah besar. Pencahayaan lapangan yang terang, layar video raksasa, sistem suara, dan berbagai fasilitas lainnya membutuhkan pasokan listrik yang signifikan. Banyak stadion yang masih bergantung pada sumber energi konvensional yang tidak terbarukan, seperti batu bara atau gas alam, yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Konsumsi energi yang besar ini tidak hanya terjadi selama pertandingan, tetapi juga saat persiapan dan pemeliharaan stadion.

Selain itu, konsumsi air yang berlebihan juga menjadi perhatian, terutama dalam pemeliharaan lapangan sepak bola. Penyiraman rumput secara teratur dan penggunaan pupuk kimia dapat berdampak negatif pada sumber daya air lokal dan kualitas tanah. Lapangan yang terawat baik memang penting untuk permainan yang berkualitas, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, dampaknya bisa merugikan lingkungan.

Berangkat dari kesadaran akan dampak ini, Forest Green Rovers (FGR) berinovasi menjadi klub yang ramah lingkungan. Klub ini menegaskan bahwa keberhasilan tidak hanya tercermin dari trofi yang mereka raih, tetapi juga dari jejak positif yang mereka tinggalkan pada bumi.

Klub yang berbasis di Nailsworth, Gloucestershire, Inggris ini menjadi pusat perhatian global karena upayanya dalam menjalankan sepak bola yang ramah lingkungan. Dengan lapangan yang sama hijaunya dengan visi mereka, klub ini menempatkan lingkungan sebagai salah satu aspek di antara target prestasi dan manajemen yang baik.

FGR dipimpin oleh Dale Vince, seorang pengusaha dan aktivis lingkungan asal Inggris yang terkenal karena kepemimpinannya dalam mempromosikan energi hijau. Dia adalah pendiri dan pemilik Ecotricity, sebuah perusahaan energi terbarukan yang berbasis di Inggris yang memasok listrik dari sumber energi angin, matahari, dan biomassa.

Di bawah kepemimpinan Dale Vince, klub ini menunjukkan bahwa tujuan yang luhur dan kesuksesan dalam olahraga tidak bertentangan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Sejarah Klub

FGR didirikan pada tahun 1889 dan merupakan salah satu klub tertua di Inggris. Bermula dari kompetisi lokal di Dursley dan Stroud di awal abad ke-20, FGR meniti perjalanan panjang menuju kesuksesan. 

Melalui Liga Senior Gloucestershire Utara pada tahun 1950-an dan Liga Hellenic pada tahun 1980-an, mereka akhirnya mencapai Divisi Utama Liga Selatan pada 1997, dan setahun kemudian, naik ke Liga Nasional. 

Pada tahun 2010, klub ini sempat berada di ambang kebangkrutan dan diambil alih oleh Dale Vince, seorang pengusaha yang juga pendiri perusahaan energi terbarukan, Ecotricity. Pengambilalihan oleh Vince inilah yang menandai dimulainya revolusi hijau FGR. 

Dale Vince membawa visinya untuk menjadikan FGR sebagai klub sepak bola paling ramah lingkungan di dunia. Transformasi ini berhasil membuat FGR mencapai babak play-off EFL League Two pada tahun 2019 dan 2021.

Revolusi Ramah Lingkungan

Salah satu langkah terpenting yang diambil oleh FGR adalah menjadi klub sepak bola pertama yang sepenuhnya vegan. Di bawah kepemimpinan Vince, menu makanan di stadion berubah menjadi menu tanpa daging. Menu yang disediakan diganti sepenuhnya dengan sayuran, buah-buahan, dan makanan olahan organik. Keputusan ini diambil dengan tujuan sebagai penekanan atas pentingnya rasa kepedulian terhadap lingkungan.

Penelitian Nutrients Journal mengenai efek pola makan vegan terhadap kinerja atlet menyebutkan bahwa atlet yang menjalani pola makan vegan mendapatkan hasil yang jauh lebih baik dalam berbagai parameter performa olahraga, seperti konsumsi oksigen relatif dan tenaga maksimum. 

Selain itu, Stadion FGR, The New Lawn, juga dikenal sebagai stadion pertama yang sepenuhnya menggunakan energi terbarukan. Energi stadion tersebut dipasok melalui panel surya, dan sistem penyimpanan air hujan digunakan untuk menyirami rumput lapangan. The New Lawn, menggunakan rumput lapangan organik yang bebas dari pupuk kimia serta dipotong secara berkala menggunakan mesin pemotong rumput bertenaga listrik.

Pada sisi luar stadion, terpasang stop kontak pengisian daya mobil listrik untuk mendorong para penggemar agar beralih ke kendaraan listrik yang bebas emisi.

Langkah-langkah revolusioner yang dilakukan oleh FGR ini pada akhirnya menarik perhatian global. FGR menginspirasi beberapa klub dan organisasi olahraga lainnya untuk mulai mempertimbangkan tindakan yang lebih ramah lingkungan. 

Dukungan dan Tantangan

Meskipun FGR menerima banyak pujian karena upayanya dalam keberlanjutan, tidak semua orang sepakat dengan pendekatan vegan yang dilakukan klub ini. 

Beberapa penggemar tradisional FGR merasa keberatan dengan perubahan-perubahan tersebut, salah satunya adalah menu makanan di stadion yang berubah menjadi vegan. Penggemar tradisional FGR rata-rata belum mengetahui manfaat yang sangat besar dari gaya hidup vegan. Selain itu, masih banyak penggemar yang belum bisa terlepas dari produk makanan hewani, ditambah kebiasaan dan tradisi makan daging yang sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Gloucestershire.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh klub adalah mempertahankan keseimbangan antara visi keberlanjutan dengan tuntutan dari aspek kompetitif dalam dunia sepak bola. Mencapai keseimbangan antara prestasi olahraga yang tinggi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang kuat masih menjadi titik fokus utama klub ini.

FGR membuktikan bahwa dunia olahraga dan lingkungan tidak selalu saling bertentangan. Klub ini berhasil menciptakan inovasi dan menjadi teladan dalam upaya untuk menjadikan olahraga sebagai wadah untuk kesadaran lingkungan. 

Reporter: Himmah/Sofwan Fajar Arrasyid

Editor: Abraham Kindi

Jogja International Kite Fest 2024: Raih Wisatawan dan Peserta Berbagai Daerah hingga Mancanegara

Peserta sedang mempersiapkan layangannya sebelum diterbangkan pada acara Jogja International Kite Fest (JIKF) di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Agil Hafiz

Para peserta JIKF sedang menunggu waktu penerbangan layangan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Agil Hafiz

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Beberapa peserta JIKF tengah bersiap menerbangkan layangannya di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Agil Hafiz

Salah satu peserta JIKF tengah berusaha mengendalikan layangannya yang baru saja terbang, disaksikan oleh sejumlah penonton di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Agil Hafiz

Layangan dalam bentuk dua dimensi diterbangkan oleh peserta di JIKF pada Sabtu (27/7) di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Foto: Himmah/Subulu Salam

Unsur tradisional menjadi kategori layangan yang dilombakan peserta JIKF, di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Subulu Salam
Juri sedang menilai layang-layang peserta JIKF di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Subulu Salam