Beranda blog Halaman 8

Prosesi Labuhan Kiblat Sekawan Keraton Kasunanan Surakarta

Iring-iringan Abdi Dalem membawa sesajen untuk dilarung saat proses labuhan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (27/7). Proses labuhan ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Foto: Himmah/Subulu Salam
Prosesi (baca: doa) dalam rangkaian labuhan kiblat sekawan, sebelum dilarung ke laut pada Sabtu (27/7), di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Seorang abdi dalem mengangkat tangan untuk berdoa pada prosesi labuhan kiblat sekawan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Subulu Salam
Abdi dalem mengangkat kotak sesajen untuk dilarungkan ke Laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Subulu Salam
Tim SAR melarungkan sesajen ke laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Sabtu (27/7). Foto: Himmah/Subulu Salam

Air Mata Si Harim

Saban sore menjelang magrib, biasanya santri-santri pesantren Al Barokah menyapu-nyapu di halaman pondok. Di jalan-jalan dekat pesantren, surau, ruang kelas dan ruang para Kyai semuanya dibersihkan. Tak sedikitpun butiran debu yang luput dari sapuan-sapuan mereka. Taman-taman bunga yang menghiasi pesantren juga turut dibersihkan dari daun-daunnya yang telah gugur. Tujuannya lebih dari sekedar agar wajah pesantren enak dipandang. Tetapi lebih dari itu, tujuan utama mereka adalah untuk ngalap berkah dari kebaikan yang mereka lakukan. 

Dengan senang hati mereka melakukan perbuatan yang mendatangkan berkah itu. Tanpa pamrih dan dengan hati yang tulus. Bahkan sebagian besar dari mereka mengatakan tidak perlu belajar dan mengasah pikiran. Cukup berkhidmat kepada guru dan membersihkan halaman pesantren, ilmu pengetahuan itu akan datang secara tiba-tiba pada waktu yang tidak diduga-duga. 

“Ah…kalau begitu, aku juga mau cerdas tanpa banyak belajar,” ujar Sahidin yang berada di dekatku. Kebetulan kami juga bagian dari santri pesantren Al Barokah. Bukan santri lama, tapi santri baru. Kami baru saja masuk di pesantren yang berada di pusat kota di dalam satu daerah yang dikenal dengan nama Lumbung. Pusat kota Lumbung itulah letak pesantren yang kami masuki itu. 

“Heh Din, mana mungkin kamu dapat ilmu dan menjadi orang yang berpikiran luas kalau kerjaanmu hanya menyapu saja,” jawab si Buntek tiba-tiba. Nama aslinya sebenarnya adalah Abdul Harim. Julukan Buntek itu dia dapatkan dari bapaknya, Haji Gunawan karena bentuk tubuh si Harim yang lebar dan postur tubuhnya yang berada  di bawah standar. Katanya bercerita kepada kami beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu, kami memanggilnya si Buntek yang sebelumnya kami panggil dengan nama aslinya, Harim dan bahkan Haram. Katanya itu merupakan panggilan kesayangan bapaknya. 

“Iya Din, masa iya hanya karena menyapu ruang Kyai dan menyiram tanaman kamu bisa pintar,” Budin yang dikenal pandir itu juga ikut-ikutan membantah keinginan si Sahidin itu. 

“Tidak, memang benar seperti itu. Kemarin saat pengajian Senin pagi, aku dengar ceramah Kyai Shadiq bilang seperti itu. Karena dia Kyai kita, aku yakin saja tanpa aku ragu. Ucapannya pasti benar,” ujar si Sahidin lagi untuk mempertegas alasannya. 

“Kalian pasti tidur kan kemarin, makanya kalian tidak tau?”

“Aku tidak tidur sama sekali Din. Bahkan aku sempat tidak percaya ketika mendengar ceramah Kyai Shadiq itu,” ucap si Buntek dengan suara yang sedikit berbisik-bisik. “Aku sengaja mengecilkan suaraku biar tidak didengar oleh santri lama. Bisa-bisa aku dipanggil nanti sama mereka untuk menghadap Kyai Shadiq. Dia itukan pimpinan pesantren kita.”

“Heh, jangan panggil dia, itu tidak sopan. Kalau ke Kyai itu kita harus bilang beliau. Kalau bilang dia itu terkesan tidak etis. Nanti kita tidak dapat berkah seperti santri-santri lama itu,” si Sahidin mencoba meluruskan perkataan tidak etis si Buntek. 

“Dasar kamu Sahidin, ngaco saja kerjaanmu. Apa pengaruhnya aku bilang dia atau beliau ke Kyai. Masa iya gara-gara itu aku tidak kedapatan berkah juga. Kamu cocok jadi pengarang cerita palsu, Din,” si Buntek mencoba untuk mematahkan lagi perkataan si Sahidin dengan suara yang sedikit mengolok-olok dan wajah sinis.  

“Iya sudahlah terserah kamu saja Haram. Ehhh….Harim. Yang penting aku sudah memberikan nasihat kepadamu,” si Sahidin mencoba mengalah.

Percakapan itu usai sudah. Matahari di ufuk barat sebentar lagi tenggelam sempurna. Hanya bias-bias cahaya jingga kemerahan yang nampak. Itu sebagai tanda alamiah yang menunjukkan bahwa waktu magrib akan tiba. Benar saja, tidak lama kemudian terdengar suara muadzin yang mengumandangkan azan dari surau pesantren. Indah nan sejuk didengar panggilan Tuhan jika yang mengumandangkannya adalah orang yang bersuara indah dan berlanggam pula. Tidak dapat terbayang jika yang mengumandangkannya adalah orang yang suaranya jelek seperti suara keledai. Memaksakan diri layaknya seorang garin tua.

Para santri pesantren pun bergegas menuju surau pesantren untuk mengambil air wudhu untuk digunakan sebagai syarat shalat berjamaah. Kami berempat pun juga bergegas menuju surau pesantren untuk melakukan shalat berjamaah bersama. 

Setelah shalat magrib berjamaah dan wiridan, para santri tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Karena sehabis shalat magrib biasanya rutin dilaksanakan pengajian. Setiap malam sehabis shalat magrib pengajian itu secara rutin diadakan, kecuali malam Jum’at. Pada malam Jum’at biasanya para santri berkumpul membaca kumpulan doa-doa yang dibukukan secara bersama-sama dengan satu orang pemandu dengan menggunakan pengeras suara. 

Tidak lama kemudian Kyai yang mengisi pengajian pun datang. Semua santri tanpa terkecuali berdiri untuk menyambut kedatangannya sambil mengucapkan salam dengan badan yang agak sedikit merukuk. Itulah cara menyambut Kyai yang sopan menurut tradisi pesantren kami. Jangan coba-coba menegakkan badan apalagi mengagah-gagah. Kalau tidak, akan dicap sebagai santri yang tidak sopan. Kami lugu nan santun merunduk merukuk untuk menghormati Kyai kami. 

Sekali lagi, untuk mendapatkan berkah. Berkah yang digambarkan oleh Kyai kami sebagai suatu yang tidak bisa dilihat oleh sepandang mata, tidak sampai terdengar oleh gendang telinga dan tidak dapat dibayangkan dalam pikiran sebagaimana nirwana. Tapi, ketika berkah itu datang menghampiri hidup seperti layaknya surga. Siapa yang tidak tertarik jika suatu yang dinamakan “berkah” itu sedemikian luar biasa digambarkan oleh Kyai kami seperti sihir pembawa keyakinan yang langsung menancap ke dalam relung-relung hati kami. Kami yakin saja tanpa protes pada awalnya. 

Perbuatan sopan itulah selama bertahun-tahun sampai kami lakukan sebagai santri. Merukuk, merunduk, selalu taat, menjaga relung hati dari bisikan setan agar tidak berburuk sangka kepada para Kyai layaknya bahan pangan pokok yang harus kami makan setiap hari. 

Bertahun-tahun perbuatan kami tidak pernah lekang dari koridor sopan santun yang dibuat-buat itu. Sampai pada tahun politik, petuah-petuah Kyai apalagi dari Kyai Shadiq seperti memperkuat keyakinan kami. Jika sang Nabi menyeru kepada umatnya untuk membaca dengan ayat iqra’ , maka Kyai kami menyeru untuk tetap patuh pada petuah rohaninya. Tidak meminta kami untuk “membaca” sebagaimana nabi dahulu kepada umatnya dengan alasan mereka lebih dahulu “membaca” daripada kami. Sehingga yang paling utama bagi kami adalah patuh bukan ber-iqra’. Akan tetapi sekali lagi, hal itu tidak menjadi masalah yang pelik. Untuk mendapatkan sepucuk berkah kami siap untuk tetap patuh kendati angan tetap menggerutu. 

Tahun politik pada dekade kedua abad ini menjadi masa yang paling strategis dalam mengamalkan petuah kepatuhan Kyai oleh para santri tentang pilihan politik pimpinan pesantren kami. Suatu masa di mana kepatuhan kami diuji. Apakah kami berhak mendapatkan keberkahan dari sikap patuh ataukah justru sebaliknya, tidak berhak sama sekali. 

Sampai pada waktunya, para santri dikumpulkan pada sebuah majelis ilmu bertopeng konsolidasi. Si Buntek, salah satu temanku itu sedari awal telah menebak bahwa majelis itu adalah majelis politik. 

“Sepertinya kita akan diberitahukan kalau pimpinan pesantren kita telah memilih satu di antara ketiga calon itu,” bisiknya di dekat telingaku ketika kami berjalan bersama menuju lokasi majelis itu. “Apa maksudmu Harim? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” tanyaku padanya tanpa berpura-pura tidak tahu. “Ah masa iya kamu tidak mengerti. Inikan momen pemilu presiden. Pastilah akan dideklarasikan siapa calon yang akan didukung,” tegasnya. “Sudahlah Harim, aku tidak bisa menerka-nerka sepertimu. Kita lihat saja nanti.”

Setelah sampai di lokasi tersebut kami langsung mencari tempat duduk yang paling nyaman. Tidak terlalu jauh dari podium orang-orang besar itu. Tetapi tidak juga terlalu depan. Takutnya nanti kami dilihat berbisik-bisik. Dan benar saja apa yang dikatakan Harim, si Buntek itu. Aku tidak terlalu heran melihat kenyataan dari hasil terawangannya di perjalanan tadi. Karena, sejak Sekolah Menengah Akhir dia tertarik dengan dunia aktivis dan politik. Buku-buku aktivis seperti Soe Hok Gie dan yang lainnya dibabat habis olehnya. Tidak heran jika terawangannya di perjalanan tadi tepat sasaran. 

Sebegitu banyaknya santri dan elemen pesantren yang menghadiri acara ini. Petuah Kyai Shadiq mewartakan bahwa pilihan politik pada pemilu kali ini  adalah paslon yang didukung oleh partai bertanduk dua berlatar merah pada panji partainya. 

“Kita siap mendukung dan memperjuangkan pilihan pimpinan kita. Siap satu suara?!” ucap Kyai Shadiq dengan menggebu-gebu. Sontak saja para santri dan semua elemen pesantren menjawab dengan kata “siap” dengan sorak sorai sepenuh jiwa.

Sekali lagi, ini merupakan momentum yang sangat pas untuk mengamalkan petuah patuh itu demi sepucuk harap akan keberkahan yang dijanjikan itu. Kalau saja ada di antara para santri yang tidak patuh, maka dapat dipastikan dia tidak layak mendapatkan keberkahan tahun ini. Untuk mendapatkan keberkahan lagi, dia harus menunggu lima tahun lagi pada pemilu berikutnya. Itupun jika dia patuh dan taat. Jika tidak, maka tetap saja tidak layak lolos seleksi sebagai salah satu nominasi peraup keberkahan. 

Satu bulan sebelum pemilihan berlangsung, para Kyai sibuk berkampanye. Di setiap langkah kaki mereka terpatri harapan agar mimpi mereka menjadi nyata, senyata-nyatanya pada waktu yang akan tiba.  

Mulailah di setiap ruang-ruang kelas di pesantren kami selalu diselipkan narasi-narasi politik yang mewajibkan para santri untuk memilih calon yang mereka pilih. 

Sampai pada suatu waktu, si Buntek temanku itu geram melihat kondisi santri yang dirawat oleh tangan-tangan eksploitatif itu. Emosinya tidak berhenti kepada para Kyai yang mencoba secara terus-menerus menggiring para santri pada pilihan akhir mereka. Tetapi luapan emosinya itu juga diperuntukkan kepada para santri yang selalu mengangguk-angguk ketika mendengar petuah politik itu. Pikiran mereka layaknya seperti motor yang terparkir dalam keadaan mati. Seperti tidak ada pilihan lain. 

Sejak saat itu, si Buntek merasa terpanggil untuk menyadarkan para santri  agar tidak mudah diterkam oleh kuku-kuku tajam politik buas itu. Sudah sekali waktu aku duduk dengannya. Dia menceritakan kekesalan sekaligus keinginannya untuk melakukan penyadaran pada mereka yang selalu dijadikan sebagai objek politik itu. Aku mengerti kejengkelannya, tapi dia seorang diri. Dengan apa ia merealisasikan keinginannya. Melawan institusi besar yang dimotori oleh orang-orang besar seperti tabib rohani itu.

“Harim, aku tau kejengkelanmu. Menurutku, lebih baik kamu simpan saja seorang diri. Karena tidak mungkin kamu akan melakukannya seorang diri,” ungkapku padanya dengan serius. “Tidak, sama sekali tidak. Sebagai seorang aktivis yang berpikir ideal dan berkemajuan aku tidak akan membiarkan hal itu terus menerus terjadi. Paling tidak aku dapat menyadarkan segelintir orang dari mereka agar ada yang menemaniku nanti,” jawabnya dengan yakin.

Semenjak saat itu dia selalu mencoba untuk berdiskusi panjang lebar dengan santri-santri pesantren Al Barokah mengenai keadaan yang pelik itu. Ketika dia sedang menemui santri-santri dan duduk bersama mereka, si Buntek tidak lupa menyelipkan pikiran-pikiran politiknya kepada mereka. 

Pernah suatu waktu salah satu santri sangat geram dengan kelakuan si Buntek itu “Heh Harim! Kamu jangan terlalu sombong. Kamu bukan apa-apa dibandingkan dari Kyai-Kyai kita,” ucapnya sambil menunjuk si Buntek santri itu melanjutkan amarahnya. “Kalau kamu tidak berhenti mempengaruhi santri-santri yang lain dengan pikiran bodohmu itu, aku akan pukul kepalamu. Dan kalau sampai aku melihatmu lagi melakukan tindakan kurang beradab ini, aku akan melapor ke Kyai Shadiq biar kamu disidang. Camkan itu!”  

“Dasar santri yang tidak beradab!” ungkap santri itu sembari melangkahkan kakinya meninggalkan si Buntek. 

Walaupun sering kali pikiran dan tindakannya ditolak bahkan ditentang ternyata ada juga yang mau menerima pemikirannya itu. Dia merasa lega ketika ada salah-satu santri yang mau menerima pemikiran jernihnya itu. 

“Kita di sini bukan untuk menentang, tetapi paling tidak kita tahu cara kita bertindak dengan semestinya. Jangan karena tujuan-tujuan politik praktis, kita hanya dijadikan sebagai objek yang empuk. Jangan karena sebagian santri yang tidak memilih calon yang sama, lantas dicap sebagai santri yang tidak beradab dan menentang gurunya. Cara itu yang aku tidak setuju,” kalimat yang sering diucapkan si Buntek dalam mengakhiri pertemuannya itu. 

Sebenarnya aku juga salut dan kagum dengan tindakannya. Tetapi, di balik kekagumanku terselip rasa iba yang mendalam kepadanya. Apalagi tatkala dia diperlakukan secara tidak baik oleh santri-santri pesantren, terutama santri lama yang sudah terpengaruh oleh petuah politik para Kyai. 

Aku juga mengerti dengan alam pikiran si Harim. Dia bukannya takut tidak mendapatkan berkah. Sama sekali tidak. Dia hanya geram dengan doktrin politik itu. Alam pikirannya sudah tertata rapi oleh pikiran-pikiran politik yang demokratis. Sehingga, tatkala dia menemukan sesuatu yang bertolak belakang dengan pikirannya dia selalu berusaha untuk memberikan pencerahan kepada siapa saja yang dia temui. 

Upayanya dalam memahami perkembangan demokrasi dan politik sangat besar dan berkelanjutan. Namun, sayangnya dia bergumul seorang diri dalam menghadapi poros besar yang dinahkodai oleh para Kyai. 

“Aku tidak menentang guru kita. Aku tidak menentang para Kyai apalagi Kyai Shadiq yang berilmu itu,” jelasnya kepadaku membuka buku ketika kami sedang duduk berdua di sebuah kamar. Entah buku siapa yang tengah dibaca. Aku sendiri kurang tau. 

“Aku bukannya tidak percaya pada keberkahan. Aku sangat percaya karena Al-Quran telah mendiktum tentang berkah. Aku hanya tidak setuju dengan cara-cara mereka termasuk santri lama yang menurutku tidak pantas. Mendikte seseorang sebagai santri yang tidak beradab hanya karena berbeda pandang. Tuhan seperti dipolitisasi. Tuhan seperti dipaksa untuk memberi berkah kepada mereka yang diharuskan patuh. Keberkahan yang merupakan otoritas Tuhan dipolitisasi oleh petuah-petuah politik praktis dan pragmatis. Salahkah aku?” 

“Kamu sama sekali tidak salah Harim. Aku sepenuhnya mendukung. Tapi kamu hanya seorang diri,” timbalku sebagai seorang pendukung pikiran dan gerakannya. 

“Aku tidak menghiraukan aku sendiri atau tidak. Sendiri tidak menjadi masalah kalau hal itu bertolak belakang dengan isi pikiranku,” si Harim semakin menunjukkan gelora semangatnya. 

Kami hanya empat berkawan. Si Sahidin tetap mengikuti petuah Kyai tanpa mendikte si Harim dengan ucapan yang tidak-tidak. Si Budin yang dikenal pandir tidak tahu apa-apa dengan masalah ini. Apalagi kalau ketemu senior lama, Budin pasti merunduk melihat ke bawah karena takut. Tinggallah Harim dan aku sebagai pendukung gerakannya. 

Pernah suatu waktu kami berdua berkumpul di suatu tempat sekitar pesantren bersama santri-santri yang sudah paham tentang pikiran si Harim. Si Harim ingin melakukan follow up tentang gerakan selanjutnya. Sepertinya dia sadar kalau dia hanya seorang diri. Dikumpukanlah santri-santri itu agar ada yang membantunya.

Dimulailah pidatonya dengan percaya diri layaknya seorang yang dia kagumi di dalam buku-buku yang sering ia baca akhir-akhir ini. 

“Demokrasi adalah kebebasan berekspresi dalam berpolitik. Siapapun itu, dari manapun dia berasal, berdarah biru atau merah, berpangkat atau tidak, kaya atau miskin memiliki kebebasan yang sama dalam menentukan arah politik mereka sendiri. Aku sendiri di sini bukan sebagai kendaraan yang akan menggiring kalian untuk memilih salah satu di antara tiga calon itu. Kita bebas memilih siapa yang menurut kita mampu memimpin Indonesia dengan layak,” santri-santri itu mengangguk-angguk mendengar pidato si Harim yang agak menahan suara itu. 

“Dalam politik,” lanjutnya. “Kita sebagai santri harus menempatkan diri sebagai subjek politik bukan hanya menjadi objek politik. Kita sebagai santri harus sadar akan dinamika politik yang terjadi. Paling tidak, kita masih bisa berpikir layak dan tidak terkungkung. Dalam politik, santri harus menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki integritas yang tinggi. Harus mampu berpikir out of the box. Jadi….” 

“Sebentar dulu,” salah satu di antara mereka mengangkat tangan. “Apa yang kamu maksud dengan berpikir out of the box itu?”

“Artinya, sebagai santri kita harus mampu berpikir dari sudut pandang yang lain sehingga berbeda dengan kebanyakan orang. Pikiran dan tindakan kita jangan sampai terkungkung oleh sentimen agama, golongan, suku, dan organisasi tertentu. Kita harus keluar dari sentimen itu agar jangan sampai kita sebagai santri tidak terus-menerus dijadikan sebagai sasaran empuk oleh tangan-tangan eksploitatif itu. Sesekali kita menjadikan diri kita sebagai subjek politik yang aktif,” jawabnya. 

“Nah, tindakan politik yang eksploitatif itu yang aku maksud sebagai penghambat jalannya proses demokrasi kita. Karena sebagai objek politik kita tidak perlu berpikir ulang tentang benar atau tidaknya. Apalagi jika tindakan tersebut dibungkus oleh jubah agama. Siapa yang berani menentang jika hal itu sudah terbungkus rapi oleh jubah agama? Ini yang aku tidak senangi. Aku bukannya takut untuk tidak mendapatkan berkah. Aku sama sekali tidak menentang para Kyai. Sama sekali tidak,” lanjutnya memperjelas sekaligus sebagai penutup pidatonya itu. 

Keesokan harinya tibalah saatnya. Ternyata perkumpulannya itu tercium oleh santri-santri lama yang kemudian melaporkan perkara tidak sopan itu kepada Kyai Shadiq. Kyai Shadiq langsung memberikan diktum agar santri-santri terutama Harim menghadap kepadanya. Salah satu dari santri lama yang bernama Munir diperintah agar segera menemui si Harim. 

Harim dengan segera ditemui dan dibawa menghadap ke ruangan khusus Kyai Shadiq. Aku menemaninya saat itu, tetapi aku tidak dibolehkan masuk oleh Munir, santri lama itu. Aku hanya duduk di luar di dekat pintu. Tidak ada kursi, aku hanya duduk bersila sendiri.

Menurut informasi, sengaja tidak ditaruhkan kursi di depan ruangan Kyai Shadiq karena tidak ada satupun telapak kaki santri yang boleh berlalu lalang di depan pintu itu kecuali ada hal yang sangat penting apalagi meninggalkan bekas pantat. Tidaklah sopan dan beradab. 

“Kamu yang bernama Harim?” tanya Kyai Shadiq setelah Harim duduk menghadap layaknya seorang budak yang dipanggil oleh tuannya. 

“Iya benar, Kyai.”

“Tidak sepatutnya kamu berbuat demikian. Kamu sebagai santri seharusnya patuh terhadap apa saja yang diperintah oleh Kyaimu,” Kyai Shadiq memberi nasihat.

“Mohon maaf Kyai. Tiang (pengganti “aku” yang lebih sopan) tidak bermaksud untuk melawan apalagi menjadi bagian santri yang tidak beradab. Hanya saja tiang ingin…” Harim mencoba menjelaskan tapi terpotong oleh lidah kata Kyai Shadiq.

“Jangan membantah! Jika santri tidak mengikuti apapun perintah Kyai, sebutan apalagi yang lebih pantas untuknya selain santri yang tidak beradab?” Kyai Shadiq mulai membesarkan volume suaranya. 

“Jika kamu dan santri-santri yang lain itu tidak mau patuh terhadap perintah para Kyai, silahkan keluar dari pesantren! Karena tiada lagi keberkahan untuk santri yang seperti itu!” 

Itulah diktum penutup Kyai Shadiq kepada si Harim, santri yang dicap sebagai santri yang tidak beradab itu. Ketakutanku selama ini menjadi nyata. Si Harim pada akhirnya diperintah untuk menghadap. 

Tidak lama kemudian Abdul Harim keluar dari ruangan Kyai Shadiq dengan raut wajah yang lesu dan membingungkan. Tidak ada satupun kata yang  keluar dari mulut si Harim. Dia diam seribu bahasa tidak seperti biasanya. Dari raut wajahnya nampak hilang semangat yang telah lama menggelora. Seperti kobaran api yang dipadamkan oleh setetes air mata. Air mata ketulusan yang mengiba.

Relokasi PKL Malioboro TM 2: Dari Minim Partisipasi Publik Hingga Represifitas Terhadap Pedagang

0

Himmah Online – Ketiadaan ruang partisipasi publik dalam kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menyebabkan PKL Malioboro Teras Malioboro (TM) 2 yang tergabung dalam Paguyuban Tridharma kembali menggelar aksi di depan TM 2 pada Rabu (17/7).

Aksi tersebut diselenggarakan sebagai bentuk unjuk rasa atas kebijakan relokasi sepihak tanpa melibatkan PKL Malioboro, sekaligus cidera janji yang dilakukan oleh pemerintah pasca audiensi antara PKL Malioboro TM 2 dengan pemerintah di Gedung DPRD DIY pada Jumat (5/7).

Upik Supriyati (41) Ketua Paguyuban Tridharma, mengungkapkan bahwa PKL Malioboro hanya ingin dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan terkait relokasi.

“Kita pengen ruang dialog saja, yang penting relokasi yang mensejahterakan, jangan sampai kita dibilang anti relokasi. Karena nyatanya kita sudah jualan di TM 2 ini, kalau kita nggak ikut aturan pemerintah sudah berjualan di depan (selasar Malioboro),” ungkap Upik.

PKL Malioboro TM 2 sempat memiliki harapan atas permasalahan pada kebijakan relokasi yang sudah terjadi sejak tahun 2022. Berdasarkan hasil audiensi, pemerintah berjanji untuk mengadakan ruang dialog antara pemerintah dan PKL Malioboro dalam waktu satu pekan.

Dalam kurun waktu yang telah dijanjikan, pemerintah tidak kunjung mengadakan ruang dialog. Sehingga pada Kamis (11/7) PKL Malioboro TM 2 berinisiatif untuk melakukan langkah proaktif berupa komunikasi dengan Dinas UMKM DIY untuk meminta penjelasan. 

Namun pihak Dinas UMKM DIY merespon dan meminta kepada para pedagang untuk menunggu. “Kami tunggu sampai hari Jumat, ternyata tidak ada (ruang dialog),” jelas Upik.

Ekspresi kekecewaan para pedagang atas sikap pemerintah yang tidak menepati janji dalam audiensi dilakukan dengan menggelar dagangan di selasar Malioboro yang diikuti oleh hampir 300 pedagang PKL Malioboro TM 2. Keesokan harinya ketika pedagang kembali akan menggelar dagangan di selasar Malioboro, aparat keamanan menutup akses keluar dan masuk TM 2.

Petugas keamanan menutup akses keluar dan masuk TM 2 mulai pukul 6 sore dan baru dibuka pada pukul 9 malam. Selain penutupan akses, listrik pada TM 2 juga padam. Dalam keadaan tersebut, para pedagang terjebak. Mereka tidak dapat keluar dari area TM 2 dan pengunjung juga tidak dapat memasuki kawasan TM 2. Para pedagang yang terjebak juga telah mencoba negosiasi dengan petugas, namun tidak mendapatkan respon yang diharapkan.

“Hari Sabtu kita mau keluar pintunya ditutup oleh aparat keamanan yaitu dari petugas UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) dan terjadi adu mulut. Kita mencoba negosiasi dengan Kepala UPT, tapi nyatanya Kepala UPT tetap kekeh seperti itu akhirnya terjadi dorong-dorong dan ricuh,” jelas Upik.

Upik mengungkapkan kekecewaan atas sikap dan keputusan Kepala UPT yang menutup akses keluar dan masuk TM 2. Ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk arogansi dan kekerasan terhadap PKL Malioboro TM 2.

“Katanya sayang dengan pedagang. Tidak boleh keluar berdagang karena melanggar aturan. Kalau memang sayang, seharusnya kan diomongin baik-baik. Bukannya malah menerjunkan beratus-ratus petugas keamanan dan kemudian pintunya ditutup semua,” ungkap Supriyati.

Dalam aksi pernyataan sikap, Arif Usman, ketua Koperasi Tridharma, menyebutkan terdapat surat edaran yang dikeluarkan oleh pihak UPT kepada PKL Malioboro pada Rabu (17/7). Surat edaran tersebut berisi himbauan bagi para pedagang yang mendukung kebijakan relokasi untuk tidak berjualan hingga pukul 4 sore. Ia menilai bahwa surat edaran tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang mendukung kebijakan relokasi saja.

“Kepala UPT bukan pemersatu tapi pemecah belah daripada kita semua,” tandas Arif.

Reporter: Himmah/Ibrahim, R. Aria Chandra Prakosa, Magang Himmah/Mochammad Alvito Dwi Kurnianto

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Paguyuban Tridharma PKL Malioboro TM 2 Respon Pernyataan Gubernur DIY Mengenai Kebijakan Relokasi PKL Jilid II

Himmah Online Nihilnya respon Pemerintah dan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca audiensi dengan delapan perwakilan PKL yang menempati Teras Malioboro 2 (TM 2) menimbulkan reaksi dari paguyuban Tridharma. Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, paguyuban Tridharma gelar konferensi pers di halaman TM 2 pada Rabu (17/07). Mereka menyerukan “PKL Malioboro Bergerak! Pemerintah dan DPRD DIY Tak Ada Solusi; Komitmen yang Disepakati Tak Ditepati”.

Dalam acara tersebut, Upik Supriyati (41), Ketua paguyuban Tridharma, menyampaikan respon paguyuban atas pernyataan Sultan Hamengku Buwono X (HB X), Gubernur DIY. Pernyataan tersebut dimuat di kanal resmi pemberitaan Provinsi DIY pada Senin (15/07).

Melalui kanal resmi pemberitaan Provinsi DIY, Sultan HB X menyampaikan bahwa relokasi PKL ke TM 2 telah disepakati berdasarkan kontrak individu. Upik menyangkal pernyataan tersebut dan menyebutkan anggota paguyuban Tridharma merasa tidak pernah menandatangani kesepakatan tersebut. Mereka merasa tidak pernah menandatangani satu dokumen pun mengenai relokasi PKL.

“Yang pernah kami alami, yang pernah dilakukan oleh pemerintah pengampu TM 2, pengelola TM 2 yaitu UPT Cagar Budaya yaitu validasi data,” ujar Upik.

Validasi dilakukan dengan mencocokkan data para pedagang TM 2. Hasilnya, Panitia Khusus Relokasi yang dibentuk oleh DPRD DIY menemukan beberapa pedagang hantu. Mereka adalah non-PKL Malioboro yang tiba-tiba membuka lapak jualan di TM 2. “Jadi ada 16 lapak,” terang Upik.

Selain itu, melalui kanal yang sama, Sultan HB X juga menyampaikan bahwa relokasi PKL tidak melibatkan organisasi manapun, termasuk Koperasi Tridharma. Bahkan Sultan HB X mengaku tak mengenal Koperasi Tridharma.

Upik menampik pernyataan tersebut. Ia menyebut bahwa sejak awal, Koperasi Tridharma telah dilibatkan dalam proses relokasi PKL ke TM 2. Hal ini dibuktikan dengan foto Ketua Koperasi Tridharma yang terpampang dalam pemberitaan yang dikeluarkan oleh Humas Provinsi DIY tertanggal 3 Februari 2022.

“Di Humas Jogja ada beritanya juga bahwa yang menandatangani kerjasama itu Mister R (Rudiarto) tersebut, (yang kala itu) malah selaku ketua koperasi Tridharma,” tandas Upik.

Ia menambahkan, jauh sebelum itu, Koperasi Tridharma juga pernah menerima dana hibah Covid-19 dari Pemerintah sejumlah 250 juta rupiah. Dana ini diterima oleh Koperasi Tridharma pada 14 Agustus 2021. Artinya, Pemerintah sudah mengenali adanya Koperasi Tridharma.

“Di mana letak konsisten pemerintah? ini yang perlu kita pertanyakan lagi, Bapak/Ibu. Jadi kenapa di satu sisi beliau menyampaikan individual perorangan, tapi di satu sisi apabila ada sosialisasi relokasi ataupun (kegiatan) yang disebutkan oleh Pak Sekda (Sekretaris Daerah) bahwa (harus ada) perwakilan (dari paguyuban). Sebenarnya kalau memang itu perorangan, seharusnya semua pedagang dilibatkan, bukan paguyuban,” ujar Upik.

Upik menyayangkan adanya perbedaan pernyataan antara Gubernur DIY dengan Sekretaris Daerah. Ia menyebut, Seluruh anggota PKL TM 2 hanya ingin duduk bersama, demi menjalin komunikasi dua arah dengan pihak Pemerintah. Diharapkan, proses komunikasi dua arah akan menghasilkan keputusan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

“Kami pedagang hanya ingin duduk, komunikasi. Jangan sampai dipelintir kemana-mana, (seperti) anti relokasi. Kalau kita anti relokasi, kita tidak di sini. Betul tidak Bapak/Ibu? Kalau kita anti relokasi, kita tetap berjualan di selasar betul tidak Bapak Ibu?” pungkas Upik.

Reporter: Magang Himmah/Mochammad Alvito Dwi Kurnianto, Himmah/Ibrahim, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Sesali Relokasi, Ratusan PKL Teras Malioboro 2 Serukan Aksi di Kantor DPRD DIY

Iring-iringan demonstran Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Malioboro 2 mulai memasuki area Kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (5/7). Foto: Himmah/Subulu Salam

Tampak Polisi sedang berjaga di depan Kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang telah dipadati demonstran Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Malioboro 2, Jumat (5/7). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Boneka mayat, representasi visual demonstran PKL Teras Malioboro 2, dipajang di depan kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai protes jika pemerintah enggan mendengarkan aspirasi mereka, Jumat (5/7). Foto: Magang Himmah/Bonnie Zalfaa Auliana
Seorang demonstran mengangkat spanduk bertuliskan ‘KEMBALIKAN PKL KE SELASAR’ di tengah masa aksi lainnya, di depan Kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (5/7). Foto: Himmah/Subulu Salam

50 Tahun Perjalanan, Mapala UNISI Pertemukan Seluruh Generasi

Himmah Online – Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (Mapala UNISI), merayakan ulang tahunnya yang ke-50 dengan menyelenggarakan rangkaian acara bertemakan “DIES NATALIS 50 TAHUN MAPALA UNISI 2024”. Puncak dari rangkaian acara tersebut bertempat di Bumi Perkemahan Wonogondang, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pada Sabtu (6/7).

Rangkaian acara Dies Natalis tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Selain dihadiri oleh pengurus dan tamu undangan, acara ini juga diramaikan oleh anggota terdahulu dari seluruh Indonesia bahkan dihadiri juga oleh M. Hendarsin, salah satu pendiri Mapala UNISI.

Chandra Adi Wijaya (23), ketua Mapala UNISI, menjelaskan bahwa acara ini menjadi ajang reuni bagi seluruh anggota dari generasi awal terbentuknya Mapala UNISI hingga generasi pengurus yang kini masih menjabat.

“Teman-teman dari 2400 anggota seluruh Indonesia itu hadir. Bahkan tadi (anggota Mapala) dari Jambi pun hadir,” jelas Chandra.

Gustyarga Rizqullah (18), ketua pelaksana Dies Natalis ke-50, menjelaskan bahwa, Sabtu menjadi puncak rangkaian acara Dies Natalis tahun ini, yang sudah berjalan selama tiga hari sedari Jumat (5/7). Pembukaan acara diisi dengan sambutan dan pemotongan tumpeng. Puncak acara adalah penampilan dari sejumlah bintang tamu, diantaranya, Kosmik UII, Rienda Dance Production, dan Ded & Friends. Acara ditutup pada pagi keesokan harinya.

“Ini acara puncaknya, minggu udah acara penutup,” jelas Gustyarga.

Rofiq El Rois, anggota mapala UNISI angkatan tahun 1982, mengungkapkan walaupun diadakan setiap tahun, Dies Natalis kali ini merupakan momen istimewa. Rofiq menganggap 50 tahun Mapala Unisi menjadi tahun emas bagi anggotanya, karena tidak semua generasi mempunyai kesempatan untuk bertemu kembali pada momen kebersamaan seperti ini dalam 50 tahun yang akan datang.

“Anggaplah ini bisa berkumpul, dari senior yang angkatan 1974 sampai 2024 ada semua, jadi ngumpul,” ungkap Rofiq.

Al May Hilmy (24), anggota Mapala Unisi angkatan tahun 2019, mengungkapkan Dies Natalis ke-50 lebih besar dan meriah dari acara ulang tahun mapala di tahun-tahun sebelumnya. “Sejauh ini, ini acara terbesar alumni yang pernah aku ikuti,“ ungkap Hilmy.

Hilmy menambahkan, Dies Natalis ke-50 ini merupakan momen penting untuk anggota Mapala UNISI. Oleh karena itu, panitia mempersiapkan acara yang lebih megah dari tahun-tahun sebelumnya.

“Dari aku pribadi, Dies Natalis ini memperingati deklarasi kelahiran kita (Mapala UNISI),” jelas Hilmy.

Rofiq berharap agar kedepannya pengurus mapala UNISI bisa terus menjaga tali silaturahmi dengan anggota-anggota yang pernah menjabat sebelumnya. “Jangan sampai (hubungan) antara senior dengan junior ini terputus,” pungkas Rofiq.

Reporter: Himmah/Agil Hafiz, Septi Afifah, Magang Himmah/Mochamad Farhan Mumtaz

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Tulisan ini merupakan tulisan advertorial

PKL Teras Malioboro 2 Tuntut Pemkot DIY Tinjau Ulang Relokasi

Himmah Online – Dua tahun pasca relokasi, nasib pedagang kaki lima (PKL) Teras Malioboro 2 semakin memprihatinkan. Para PKL Teras Malioboro 2 kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (5/7). Mereka menyuarakan ketidakpuasan terhadap relokasi dan menuntut dialog dengan pemerintah agar menunda  relokasi untuk mencapai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. 

Upik Supriati (41), anggota Paguyuban Tri Dharma yang aktif berdagang di Teras Malioboro 2, mengungkapkan relokasi ini tidak membawa kesejahteraan yang diharapkan bagi Para PKL di kawasan Teras Malioboro 2. Bahkan, selama 14 hari berturut-turut, ada pedagang yang tidak laku dagangannya.

“Kami mengharapkan kesejahteraan seperti di selasar (Malioboro) dulu, tapi kenyataannya kami mengalami penurunan pendapatan yang drastis,” ungkap Upik. 

Sedangkan, komunikasi dengan pemerintah, baik dari DPRD kota maupun provinsi seringkali tersendat. Upik menyatakan, hal ini dikarenakan tidak adanya komunikasi dua arah dengan Pemkot DIY sehingga membuahkan hasil keputusan yang tidak memuaskan.

Raka Ramadhan (26), dari LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum PKL Teras Malioboro 2 menambahkan, bahwa relokasi ini tidak hanya menurunkan pendapatan para pedagang, tetapi juga melanggar hak-hak mereka atas partisipasi dalam kebijakan publik. 

“Tidak adanya transparansi dan partisipasi publik dalam proses relokasi. Ini melanggar hak ekonomi, hak atas informasi, dan hak untuk turut serta dalam pembangunan,” jelasnya.

Pada audiensi terbatas di DPRD DIY, DPRD dan Pemkot DIY menjanjikan akan meninjau detail engineering design relokasi PKL Teras Malioboro 2 dan berjanji akan mengadakan dialog yang melibatkan PKL dan pemerintah untuk mencapai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak dalam kasus ini.

Menanggapi hal tersebut, para PKL Teras Malioboro 2 memberikan tenggat waktu selama satu minggu kepada Pemkot DIY dan instansi terkait guna mempertegas tuntutan mereka dalam kasus ini.

“Jika dalam waktu seminggu tidak ada perkembangan, kami akan melanjutkan aksi lebih besar,” tegas Raka.

Tuntutan peninjauan kembali detail engineering design yang dilayangkan oleh PKL Teras Malioboro 2 bukanlah tanpa sebab. Hal ini dikarenakan terdapat kejanggalan di mana Pemkot DIY mengklaim bahwasanya detail engineering design relokasi PKL Teras Malioboro 2 sudah selesai dibuat. 

Namun, dari pihak PKL Teras Malioboro 2 tidak pernah dilibatkan. Padahal permasalahan tersebut menyangkut kesejahteraan mereka ke depannya.

“Kita pun bahkan kaget detail engineering design nya katanya udah selesai dan dalam proses pelaksanaan, pertanyaannya siapa pedagang yang dilibatkan?,” pungkas Raka.

Reporter: Himmah/Ibrahim, Reza Sandy Nugroho, Subulu Salam, Tazkiyani Himatussoba, Magang Himmah/Bonnie Zalfa Auliana

Editor: Abraham Kindi

Heru Nugroho Beberkan Kapitalisasi Teknologi Digital

Himmah OnlineOrasi kebudayaan bertemakan “Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia” diselenggarakan oleh program studi Ilmu Komunikasi (prodi Ilkom), Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (03/07). acara ini diselenggarakan dalam rangka milad prodi Ilkom ke-20 di gedung kuliah umum (GKU) Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.

Orasi ini disampaikan Heru Nugroho sebagai pembicara dan dihadiri oleh para dekan, dosen, staff, mahasiswa, aktivis, awak pers, dan tamu undangan.  

Dalam sambutannya, Iwan Awaludin, ketua prodi Ilkom, menyampaikan, di era perkembangan teknologi yang sangat pesat masyarakat mudah dibuat takjub, salah satunya dengan kecerdasan buatan. Namun, untuk beberapa tahun ke depan, perkembangan teknologi kecerdasan buatan dapat menjadi ancaman. 

“Ketika kecerdasan buatan itu sudah melampaui kecerdasan manusia, bukan lagi takjub, tapi kita sudah merasa terancam,” ujar Iwan.

Pada acara tersebut Heru Nugroho menjelaskan tentang digitalisasi kapitalisme. Ia mengungkapkan, seiring perkembangan zaman, kapitalisme merambah ke dunia digital, yang merubah cara produksi manusia lewat hubungan sosial dan komunikasi sehingga membentuk platform society

“Masyarakat Platform (Platform Society) kira-kira (adalah) masyarakat yang berkomunikasi, berproduksi, bersosial kebudayaan melalui platform,” jelas Heru.

Di samping perkembangan teknologi digital,  perkembangan masyarakat dan ekonomi turut andil dalam memperkuat proses kapitalisasi. Pada awalnya, kapitalisme masih menggunakan teknologi analog, kemudian berkembang menjadi otomatisasi pabrik, teknologi digital, dan saat ini menjadi platform society. 

Pada hakikatnya tujuan dari semua tahapan kapitalisme teknologi digital adalah sama, yakni ekspansi pasar, penguasaan, dan profit, namun lebih diperkuat oleh platform.

Cuma sekarang diperkuat dengan platform aja, diperkuat jualan dengan Instagram, dengan Facebook, dengan twitter, dengan X, jualan tadi dengan TikTok,” tambah Heru.

Heru juga menjelaskan mengenai surveillance capitalism, yaitu suatu kondisi ketika manusia dijadikan sebagai bahan baku gratis untuk praktek komersial tersembunyi. Alih-alih menggunakan riset, para kapitalis memanfaatkan pengalaman manusia sebagai data untuk produk mereka.

“Mereka (kapitalis) justru mengikuti wacana-wacana yang dilontarkan oleh customer netizen di medsos (media sosial),” ujar Heru.

Tanpa disadari data-data yang sudah ditaruh pada platform digital, diekstrak ketika masyarakat memakai platform tersebut. Tidak hanya itu data pengguna dikuasai, diolah, bahkan dipertukarkan.   

“Kapitalisme zaman digital ini bukan sekedar menguasai, tapi data dikuasai, lalu data diolah, bahkan dipertukarkan,” Ujar Heru.

Untuk mengantisipasi ekstraksi data tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat sekuritas data pribadi atas pihak ketiga. Contohnya, melakukan transaksi tunai ketimbang menggunakan qris.

“Ketika kita membayar dengan qris data kita diambil. Jangan mau (bayar pakai qris)! bayar saja pakai duit. Itu (pembayaran tunai) melawan penyedotan data,pungkas Heru.

Reporter: Himmah/Ayu Salma Zoraida Kalman, Tazkiyani Himatussoba, Giffara Fayza Muhlisa

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Peluncuran Buku “Negara, Media, dan Jurnalisme di Indonesia Pasca Orde Baru”: Merawat Jurnalisme yang Baik di Era Disrupsi Digital

Himmah OnlineSebuah buku berjudul “Negara, Media, dan Jurnalisme di Indonesia Pasca Orde Baru” karya Masduki (51), dosen sekaligus profesor di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi Sosial Budaya (FPSB) UII baru saja diluncurkan. 

Peluncuran buku tersebut diselenggarakan di Perpustakaan Kampus Terpadu UII pada Selasa (25/06). Peluncuran buku ini dihadiri oleh lebih dari seratus orang yang terdiri dari sivitas akademika UII, tamu undangan, dan lembaga pers mahasiswa dari berbagai kampus.

Buku ini merupakan sebuah kompilasi atas tulisan-tulisan Masduki selama 20 tahun terakhir tentang media dan jurnalisme, serta bagaimana posisi negara sebagai pemangku kebijakan.

Masduki menilai persoalan jurnalisme berkualitas bukan hanya terkait bisnis saja. Terdapat ancaman lain berupa kemunduran jurnalisme karena adanya disrupsi digital. 

“Sekedar clickbait, yang ikut model-model bagaimana algoritma itu menentukan. Jurnalisme baik adalah yang betul-betul berpihak pada publik dan kontennya itu melakukan investigasi atas isu-isu,” tambah Masduki.

Negara sebagai pemangku kebijakan memiliki peran yang penting untuk melindungi jurnalisme berkualitas, “Nah pemerintah, bukan berarti intervensi, bisa melakukan produksi kebijakan agar jurnalisme berkualitas mengalami proteksi,” tambah Masduki.

Dalam acara peluncuran buku tersebut, hadir pula Fathul Wahid sebagai Rektor UII dan Suparman Marzuki sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf UII memberikan sambutan. Dalam sambutan Fathul Wahid mengungkapkan kebahagiaannya atas dua momentum besar di acara tersebut.

“Pertama peluncuran buku yang ini melegitimasi bidangnya Mas Ading (Masduki), media dan jurnalisme. Kedua adalah pameran,” jelas Fathul Wahid dalam pembukaan pada sambutannya.

Lebih lanjut, Fathul Wahid menyampaikan bahwa apa yang ditulis oleh Masduki merupakan bagian dari Aktivisme Intelektual, “Intellectual Activism atau Aktivisme Intelektual, salah satunya adalah mengantarkan yang benar ke atas, yang punya kuasa,” tambah Fathul Wahid.

Menurut Suparman, buku karya Masduki merupakan buku pertama yang membahas tentang peran media dan jurnalistik dalam konteks negara.

“Setahu saya belum ada dalam bahasa indonesia buku yang memberikan studi komprehensif dengan posisi peran media atau jurnalistik dalam konteks negara,” tambah Suparman.

Garin Nugroho (63), seorang sutradara film yang turut hadir dalam acara memberikan tanggapan positif terhadap buku tersebut. Menurutnya buku tersebut mengandung aspek-aspek yang seluruhnya berhubungan dengan komunikasi dan sejarah kenegarawanan.

“Bagus ya, karena memiliki cara pandang yang kritis terhadap situasi, tapi juga memiliki pengetahuan yang lengkap dan sejarah yang lengkap,” ungkap Garin.

Garin menambahkan, bahwa buku tersebut menjelaskan tentang pers dari berbagai aspek. Mulai dari kebijakan, dinamika pasca tahun 1998, studi-studi kasus, dan yang lainnya dengan referensi yang cukup lengkap, “Sehingga sangat penting bagi mahasiswa,” tambah Garin.

Kepada pembaca bukunya, Masduki berharap dapat memberikan pemahaman konteks sejarah yang baik. Ia menilai apa yang terjadi hari ini, pasti dipengaruhi hal-hal yang terjadi pada 10-20 tahun yang lalu.

“Mengapa kita 10-20 tahun yang lalu mengalami masalah A atau B, sekarang kok masih sama, berarti apa maknanya? Kita tidak melakukan apapun,” pungkas Masduki.

Reporter: Himmah/Ibrahim, Agil Hafiz, Magang Himmah/Mochammad Farhan Mumtaz, Zahrah Ibnu Salim

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Pameran Arsip Museum Pers Yogyakarta: Merawat Jurnalisme Melalui Museum Dinamis

Himmah Online – Pameran Arsip Museum Pers Yogyakarta resmi dibuka oleh Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat (KR), Octo Lampito, pada Selasa (25/06) di Perpustakaan Kampus Mohammad Hatta, Universitas Islam Indonesia (UII). Pembukaan tersebut dihadiri oleh seratus orang lebih, yang terdiri dari jajaran sivitas akademika UII, tamu undangan, serta mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pameran ini diinisiasi oleh tiga orang, yakni Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Anang Saptoto seorang seniman, serta Sinta Maharani dari jurnalis Tempo.

“Kalau awalnya saya bagian dari yang inisiator karena inisiatornya waktu itu tiga orang: saya, Prof. Ading (Masduki) sama mbak Sinta Maharani,” ucap Anang Saptoto (42).

Masduki (51), selaku inisiator menjelaskan bahwa ide ini berawal dari keprihatinan terhadap jurnalisme masa kini yang mengalami kemunduran. Kemunduran jurnalisme yang dimaksud adalah kurangnya data, konteks, dan analisis dalam tradisinya. Selain itu, jurnalisme masa kini juga memprioritaskan konten yang asal viral saja. 

Masduki menambahkan bahwa pameran ini ingin menunjukkan karya-karya jurnalisme di masa lalu yang dekat dengan sejarah politik besar. “Jurnalisme yang baik itu pasti dikenang terus,” ujar Masduki.

Anang menambahkan bahwa ide ini lahir karena belum adanya museum pers di Yogyakarta. “Tujuan dasarnya ini kan sebenarnya berawal dari pertanyaan mengapa di Jogja itu tidak ada museum pers? Basic-nya itu. Itulah kenapa dari kami menginisiasi supaya ada (museum pers),” ucap Anang.

Anang juga menjelaskan bahwa dalam penelusuran dokumen pameran ini, ia diberi rekomendasi untuk menggaet media Kedaulatan Rakyat (KR) oleh Masduki dan bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.

Anang menyebut ide museum ini diselenggarakan dengan konsep yang berbeda dibandingkan museum lainnya di Yogyakarta. Ia menginginkan konsep yang dinamis, yakni dari konsep pemerannya dapat menyesuaikan kondisi dan bentuknya dapat berupa apa saja sehingga dapat dilaksanakan di tempat dan waktu kapanpun.

“Kami ga mau memproduksi museum-museum seperti yang kalian kenal di Jogja yang statis, mau datang sekarang, mau 10 tahun lagi, sama. Kami tidak mau, sehingga kami merasa penting untuk memproduksi satu museum tapi dinamis–yang bergerak,” ungkap Anang.

Menurut Dito (20), salah satu pengunjung, pameran ini unik karena diselenggarakan di ruangan yang melengkung. Ia menambahkan pameran ini dieksekusi dengan bagus, terutama dari segi layout-nya yang ditata dan dikelola dengan baik. 

“Pun eksekusinya juga bagus, jadi pertama kali masuk itu memang sudah langsung disuguhi oleh pamerannya. Pamerannya ditata dan dikelola dengan baik dari layout-nya dan seterusnya,” pungkas Dito.

Reporter: Himmah/Agil Hafiz, Ibrahim, Siti Zahra Sore, Magang Himmah/Zahrah Ibnu Salim, Mochamad Farhan Mumtaz

Editor: Abraham Kindi