Beranda blog Halaman 9

Pagelaran Seni dan Kebudayaan Jathilan Krido Budoyo Turonggo Mudho

Pawang Jathilan sedang berkomunikasi dengan roh yang merasuki salah satu penari Jathilan di Pagelaran Seni dan Kebudayaan Krido Budoyo Turonggo Mudho, Sabtu (22/06), di desa Randusari, Bimomartani. Foto: Himmah/Queena Chandra

Penampilan babak pertama dari para penari Jathilan di acara Pagelaran Seni dan Kebudayaan Krido Budoyo Turonggo Mudho, dengan membawakan kuda lumping dan kayu sebagai perumpamaan atribut perang, pada Sabtu (22/06), di desa Randusari, Bimomartani. Foto: Himmah/Putri

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Salah satu penari Jathilan melakukan atraksi dengan mengunyah dupa pada Pagelaran Seni dan Kebudayaan Krido Budoyo Turonggo Mudho, pada Sabtu (22/06), di desa Randusari, Bimomartani. Foto: Himmah/Queena

Atraksi mengupas kulit buah kelapa dengan gigi yang dilakukan oleh salah satu penari Jathilan di Pagelaran Seni dan Kebudayaan Krido Budoyo Turonggo Mudho, pada Sabtu (22/06), di desa Randusari, Bimomartani. Foto: Magang Himmah/Beltsazar
Tampak dari depan pertunjukan babak kedua tarian Jathilan. Dipentaskan oleh lima penari laki-laki dengan aksesoris tarinya, pada Sabtu (22/06), di desa Randusari, Bimomartani. Foto: Himmah/Putri

Pameran Seni “Rekoneksi” UNY, Menghubungkan Kembali Generasi Seniman

Himmah Online – Departemen Seni Rupa dan Kriya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyelenggarakan pameran Dosen, Alumni dan Mahasiswa (DAM) yang bertajuk “Rekoneksi”. Pameran tersebut diselenggarakan di Bale Banjar Sangkring, pada Senin (27/5) yang diikuti lebih dari 100 peserta dari dosen, alumni, mahasiswa, dan relasi antar universitas.

Karen Hardini, selaku kurator dari pameran ini sekaligus alumni dari Pendidikan Seni Rupa UNY, menjelaskan judul pameran DAM kali ini. Ia menyebutkan bahwa “Rekoneksi” berarti memperlihatkan kembali ekosistem seni yang saling berhubungan dari sudut pandang pedagogi serta memulai percakapan kembali.

“Kadang orang memaknai rekoneksi itu sesuatu yang setelah putus kemudian dibangun lagi. Tapi sebetulnya enggak, ini (rekoneksi) memulai percakapan lagi,” ujar Karen.

Ia menjelaskan bahwa tidak semua alumni UNY menjadi guru, sehingga pameran ini menunjukkan ekosistem alumni, mahasiswa, dan dosen yang berbeda. Beberapa alumni menjadi pengajar di berbagai sekolah formal dan non formal, atau bekerja sebagai perupa dan kreator. Hal ini yang menjadikan pameran ini menarik.

Karen menyebut ada tiga segmen dalam pameran Rekoneksi. Segmen pertama adalah lini masa dan purna tugas. Sedangkan segmen kedua ditujukan untuk alumni, mahasiswa. Segmen ketiga adalah ruang untuk mitra luar negeri. Perluasan ini menjadi penting untuk menunjukan daya kreativitas UNY kepada khalayak, bahwa UNY tidak hanya menghasilkan para pengajar, tetapi juga para kreator seni rupa.

“Karya yang beragam itu, saya tak tanggung-tanggung untuk bilang bahwa DAM ini sebetulnya adalah festival karya-karya lintas generasi, lintas perspektif dan lintas gaya,” tutur Karen

Karen menambahkan, pada tahun ini enam dosen dari Departemen Seni Rupa dan Kriya UNY sudah purna tugas. Karena itu, pameran DAM kali ini juga menampilkan arsip-arsip dari pameran DAM sebelumnya.

“Pamerannya (DAM) sebetulnya itu sejak tahun 1987-an, kemudian arsip yang saya lacak bersama tim UNY itu hanya terkumpul sejak tahun 1994,” sambung Karen.

Novida Nur Miftakhul Arif, ketua pelaksana dari pameran ini, menjelaskan bahwa pameran kali ini menggunakan sistem manajemen baru: mengajak semua dosen untuk terlibat dalam pameran, undangan kepada alumni, dan kepada mahasiswa melalui open call.

“Hal ini bukan untuk membuat DAM menjadi eksklusif, tapi justru bisa menjangkau lebih banyak alumni yang mungkin sebelumnya tidak begitu aware tentang DAM,” ujar Novida.

Pangestu, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengatakan adanya pameran DAM ini membuatnya lebih mengenal para senior seni rupa dari UNY dan para mahasiswa yang terus berkarya.

“Saya lebih dapat mengenali senior-senior yang dari UNY dan pelajar-pelajar atau mahasiswa yang sekarang tetap berkarya dan mungkin bisa dikatakan menjadi seniman,” ujar Pangestu

Ia penuh harap bahwa seni rupa Indonesia akan terus melaju tanpa melupakan akar. “Kalau saya pribadi harapan terhadap seni rupa Indonesia tetap maju dan mungkin tetap kembali kepada rakyat,” pungkas Pangestu.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Agil Hafiz, Zahra Sore

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Jogja Cross Culture 2024, Ruang Ekspresi Seniman Jogja

Penjabat (PJ) Walikota Yogyakarta, Sugeng Purwanto bersama jajaran Forkopimda memainkan orok-orok bambu penanda dibukanya acara Jogja Cross Culture secara simbolis pada Sabtu (25/5). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa

Dua orang penari dari Kemantren Umbulharjo sedang menampilkan tari topeng, pada acara Jogja Cross Culture 2024 pada Sabtu (25/5). Foto: Himmah/Saiful Bahri

Penampilan jathilan sanggar Yudistira dari Kemantren Umbulharjo turut meramaikan panggung Jogja Cross Culture 2024 pada Sabtu (25/5). Foto: Himmah/Saiful Bahri

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Penampilan Tari Kreasi Jumputan dari Kemantren Umbulharjo pada acara Jogja Cross Culture 2024 pada Sabtu (25/5). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa

Rumah Dyan Art Studio Sebagai Wadah Aspirasi Masyarakat Melalui Seni Rupa

Himmah Online – Rumah Dyan Art Studio (Rumah DAS) menyelenggarakan pameran seni rupa bertajuk “Kepung” yang bertempat di Rumah DAS, Condongcatur, Sleman, pada hari Jumat (25/05). Pameran seni rupa ini menghadirkan 30 perupa, di antaranya 7 laki-laki dan 23 perempuan.

Karen Hardini (27) salah satu kurator dari Rumah DAS menyebut bahwa pameran kali ini mengangkat judul “Kepung” dikarenakan Condongcatur dikepung oleh hiruk pikuk lalu-lalang mobilitas masyarakat. 

“(Condongcatur) dikepung dengan hiruk pikuk, (dikepung) dengan pergerakan yang cepat, kemudian masyarakat yang sangat heterogen,” ujar Karen. 

Rumah DAS mengundang Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran Universitas Gadjah  Mada (UGM), Wening Udasmoro (52). Ia menyampaikan bahwa gerakan pameran seni sangat penting untuk menumbuhkan nilai empati serta solidaritas. Akibat dari teknologi yang semakin canggih, muncul sifat acuh pada masyarakat di ranah sosial.

“Tapi diri yang kadang-kadang kurang menghiraukan orang lain karena terlalu terfokus kepada diri sendiri, egosentrisme luar biasa,” ujar Wening.

Desi Rachma, salah satu penulis katalog pameran, menyampaikan pameran ini berusaha untuk mengembalikan apa yang menjadi fitrah dari manusia, yakni menggambar. 

“Bahwa menggambar itu sebenarnya adalah fitrah kita sebagai manusia,” ucap Desi.

Ia juga menambahkan, bahwa menggambar merupakan hak semua orang, karena itu pameran seni yang ditampilkan bukan hanya dari kalangan seniman saja, tapi juga ada dari budayawan, praktisi penulis, dosen, bahkan juga dari masyarakat yang berbeda usianya.

“Menggambar itu milik semua orang, milik semua orang dari berbagai macam profesi,” ujar Desi.

Selain itu, Suwarno Wisetrotomo (62) salah satu pelukis, menyampaikan, ketika kedepannya semakin banyak masalah krisis-krisis lingkungan yang muncul, salah satu cara untuk menanggapi permasalahan tersebut adalah dengan seni.

“Semua butuhkan respon-respon kritis. Seni salah satu cara respon terhadap situasi itu dengan cepat,” ujar Suwarno.

Sean (25), salah satu Tim Marketing & Komunikasi Rumah DAS, berharap pameran-pameran kesenian selalu meriah. Ia juga menambahkan bahwa Rumah DAS berusaha untuk menumbuhkan iklim kolaborasi di masyarakat.

“Tentunya, Rumah DAS juga memancing siapapun teman-teman untuk berkolaborasi untuk saling membersamai,” ujar Sean.

Luli Tutus (44), salah satu pelukis di pameran ini turut menyampaikan harapannya terhadap pameran seni rumah DAS, supaya kegiatan seperti ini bisa dilakukan setiap tahunnya bukan hanya di bulan menggambar saja.

“Tetapi bisa juga di bulan-bulan yang lain, dan kita menggalakkan seni yang lebih baik,” pungkas Luli.

Reporter: Himmah/Tazkiyani Himatussoba, Ayu Salma Zoraida Kalman, Putri Cahyanti

Editor: Abraham Kindi

Tri Suci Waisak 2568

Para Bhikkhu dan umat Buddha melaksanakan kirab yang dimulai dari Candi Mendut hingga Candi Borobudur, pada Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 Buddhis Era (BE) , Kamis (23/4). Foto: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Umat Buddha bersama para Bhikkhu melakukan ritual sembahyang pada Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, di Candi Borobudur, Kamis (23/4). Foto: Himmah/Subulu Salam

Panitia mensterilkan area dari pengunjung sebelum lampion diterbangkan pada Festival Lampion Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, di Candi Borobudur, Kamis (23/5). Foto: Himmah/Subulu Salam

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Seorang bhikkhu menyalakan lilin lentera yang membentuk bangunan Candi Borobudur disaksikan oleh hadirin Festival Lampion Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, di Candi Borobudur, Kamis (23/5). Foto: Himmah/Agil Hafiz

Pengunjung mulai menerbangkan lampion setelah meditasi dengan membentuk kelompok empat sampai enam orang di festival Lampion Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, di candi Borobudur, Kamis (23/24). Foto: Himmah/Queena Chandra 

2568 Lampion diterbangkan pengunjung dalam rangka memperingati Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, di Candi Borobudur, Kamis (23/4). Foto: Himmah/Subulu Salam

Forum Cik Di Tiro Serukan Tolak RUU Penyiaran

Himmah Online – Forum Cik Di Tiro kembali menyelenggarakan pertemuan bertajuk “Aksi Memperingati 26 Tahun Reformasi dan Menolak RUU Penyiaran” di gedung Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII), Kota Yogyakarta pada Senin (20/05). Selain forum diskusi, massa aksi juga melakukan aksi jalan kaki dari gedung YBW UII menuju museum TNI AD Dharma Wiratama dengan membawa 26 kotak nasi berkat sebagai simbol 26 tahun matinya demokrasi pasca reformasi.

Salah satu permasalahan pokok yang diangkat dalam forum tersebut adalah munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang diproses oleh badan legislasi DPR RI. Darmanto, salah seorang anggota Forum Penyelamat Media dan Demokrasi sekaligus narasumber dalam diskusi ini, menyebutkan beberapa permasalahan yang ada di RUU Penyiaran.

Dalam draft RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024, pancasila tidak lagi menjadi dasar bagi penyelenggaraan penyiaran. “Saya tidak menemukan itu di draft terbaru yang versi 27 Maret (2024) itu. Sudah nggak ada kata-kata pancasila di sana,” ujar Darmanto.

Kemudian, berdasarkan beberapa pertimbangan, negara memberikan intervensi pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang selama ini mempunyai banyak wewenang dalam pengaturan penyiaran di Indonesia, untuk fokus pada pemantauan isi siaran. “Lalu akhirnya itu yang menjadi substansi dari RUU Penyiaran terbaru ini,” jelas Darmanto.

Darmanto memprediksi bahwa Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) tidak akan melakukan perlawanan terhadap RUU Penyiaran ini. Lembaga penyiaran publik didefinisikan sebagai lembaga penyiaran negara. Dampaknya, pendanaan kedua institusi ini akan ditanggung oleh APBN. Pekerjanya akan menjadi pegawai negeri. 

“Lembaga penyiaran publik lokal, melawan, masih mungkin. Tapi kalau RRI, TVRI karena kepentingannya itu terjawab di RUU Penyiaran ini, jadi pasti tidak akan bereaksi apa-apa,” ujar Darmanto.

Pito Agustin, salah satu narasumber, menambahkan ketika RUU Penyiaran ini sah, tak akan ada lagi tayangan jurnalisme investigasi di televisi. Masyarakat tidak akan tahu informasi-informasi yang terjadi di berbagai daerah, seperti apa yang terjadi di pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), bagaimana nasib masyarakat adat, dan juga bagaimana gerak KPK dalam menjalankan tugasnya. Tak ada lagi kasus yang akan viral karena kerja jurnalistik.

“Ini yang kemudian menjadi catatan bagi saya pribadi dan juga mungkin kawan-kawan jurnalis. Apa yang mesti kita lakukan? Karena kita tidak hanya berkiprah pada apa yang kita tulis, apa yang kita siarkan, apa yang kita publikasikan. Karena kita juga punya pertanggungjawaban kepada publik,” tegas Pito.

Menurut Pito, Forum Cik Di Tiro ini adalah momentum bagi masyarakat Yogyakarta bersatu untuk menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang muncul akibat RUU Penyiaran ini.

“Dan ini adalah momentum kita, bahwa kita menyuarakan tolak revisi Undang-Undang Penyiaran, tolak kematian demokrasi, dan kita harus bersatu untuk menghidupkan kembali demokrasi pada rezim-rezim selanjutnya,” pungkas Pito.

Aksi diakhiri dengan doa bersama di depan monumen  Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Museum TNI AD Dharma Wiratama, dan tabur bunga di sekitar monumen tersebut sebagai simbol ziarah atas 26 tahun matinya demokrasi pasca reformasi.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Abraham Kindi

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Dari BEH UII ke Satgas PPKS UII

UII sudah sejak lama memberikan perhatian pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, sebelum pemerintah mengeluarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 untuk membentuk Satgas PPKS. Semenjak Satgas PPKS UII terbentuk, tugas dan kewenangan dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual dialihkan sepenuhnya dari BEH UII kepada Satgas PPKS UII.

Himmah OnlineMaraknya kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tidak hanya melibatkan mahasiswa saja, namun dosen dan tenaga kependidikan dari suatu perguruan tinggi juga ikut terlibat. Melalui Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 pemerintah mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk suatu unit khusus yang bergerak di bidang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagai upaya dan realisasi terhadap pencegahan kekerasan seksual.

Amar tersebut tertuang dalam Pasal 6 ayat (3), di mana salah satu kewajiban perguruan tinggi dalam pencegahan kekerasan seksual dilakukan melalui penguatan tata kelola perguruan tinggi. Perguruan tinggi wajib membentuk satuan tugas yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, yakni Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).

Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai salah satu perguruan tinggi swasta yang bernaung di bawah Kemendikbudristek, tak lepas dari kewajiban untuk melindungi sivitas akademika dari kekerasan seksual. Sebelum terbentuk Satgas PPKS, kasus kekerasan seksual yang terjadi di UII ditangani oleh Badan Etik dan Hukum (BEH) UII.

Dalam menangani kasus kekerasan seksual, BEH memainkan peran koordinasi dengan melibatkan tim ad hoc yang terdiri dari berbagai fakultas terkait. Tim yang dibentuk oleh BEH bersifat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan BEH dalam menangani kasus.

Setelah proses penanganan aduan kekerasan seksual selesai, BEH akan mengeluarkan pendapat hukum sebagai rekomendasi kepada rektor. Kemudian sanksi terhadap pelaku akan diberikan oleh rektor setelah mendapat pertimbangan dari senat universitas.

“BEH itu salah satu kewenangannya adalah menerima pengaduan. Pengaduan perihal pelanggaran disiplin, kekerasan seksual, bahkan tindakan asusila. Menurut peraturan kita, itu (Red-kekerasan seksual) kan bagian dari pelanggaran disiplin. Jadi itu juga menjadi bagian dari ranah kewenangannya BEH,” ujar Anang Zubaidy selaku Ketua BEH UII dalam wawancara dengan awak Himmah pada 19 Juni 2023 di kantor BEH.

Pada 31 Maret 2023 lalu, Satgas PPKS UII periode 2023-2025 resmi dibentuk. Fathul Wahid selaku Rektor UII, memimpin proses pelantikan anggota Satgas PPKS UII secara langsung dengan melantik tujuh anggota yang terdiri dari dua dosen, dua tenaga kependidikan, dan tiga mahasiswa.

Sejak Satgas PPKS UII terbentuk, tugas dan kewenangan dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual dialihkan sepenuhnya dari BEH UII kepada Satgas PPKS UII.

“Perang UII terhadap kekerasan seksual bukan dimulai hari ini, sudah lama kita menaruh perhatian terhadap isu ini. Bahkan UII di banyak peraturan sudah mencantumkan soal ini, dan itu semakin tegas di tahun 2020. Peraturan Universitas Nomor 1 mengatur terkait dengan pencegahan dan penanganan perbuatan asusila dan kekerasan seksual,” ujar Fathul Wahid dalam sambutannya pada pelantikan Satgas PPKS UII.

Bagaimana Tim Satgas PPKS Dibentuk?

Sebelum dilantik, sesuai dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Pasal 23 ayat (2), anggota Satgas PPKS diseleksi dan dipilih oleh Panitia Seleksi (Pansel). Anggota Pansel dibentuk oleh Perguruan Tinggi dengan syarat berpengalaman dalam pendampingan korban kekerasan seksual. 

Selain pendampingan terhadap korban kekerasan seksual, syarat lainnya yaitu calon anggota pansel pernah melakukan kajian kekerasan seksual, terjun dalam organisasi yang fokus dalam penanganan kekerasan seksual, dan terbukti tidak pernah melakukan tindak kekerasan seksual.

Pansel yang dibentuk oleh UII berjumlah tujuh orang yang terdiri dari empat mahasiswa, dua tenaga kependidikan, dan satu dosen. Jumlah tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat (1), yaitu minimal tiga dan maksimal tujuh orang.

Berdasarkan pemaparan Aryo Jippanola, salah satu anggota pansel UII, proses pemilihan tim Satgas PPKS dilakukan melalui tiga tahap, yakni seleksi berkas, wawancara, dan uji publik.

“Pertama seleksi berkas dulu, terpenuhi ngga berkasnya, terus wawancara, dan terakhir ada uji publik,” ungkap Aryo dalam wawancara dengan awak Himmah pada 14 Juni 2023.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (2), syarat sebagai anggota Satgas PPKS antara lain, pernah mendampingi korban kekerasan seksual; pernah melakukan kajian terkait kekerasan seksual; pernah mengikuti organisasi yang berfokus pada isu kekerasan seksual; menunjukkan minat untuk dapat bekerja sama sebagai tim; dan tidak pernah terbukti melakukan kekerasan seksual. 

Menurut Aryo selain syarat-syarat umum tersebut, Pansel dapat menentukan beberapa kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh calon anggota Satgas PPKS, salah satunya memiliki perspektif keberpihakan terhadap korban.

“Karena sering kali di lapangan, khususnya kasus kekerasan seksual itu alat buktinya sangat minim, gitu. Nah, orang yang tidak memiliki atau tidak berpihak dulu terhadap korban itu justru akan menyalahkan si korban,” tandas Aryo.

Kriteria khusus lainnya adalah calon anggota Satgas PPKS tidak boleh mudah terpancing secara emosional. Proses pendampingan korban kekerasan seksual pasti melibatkan emosi yang cukup tinggi sehingga anggota Satgas PPKS sebaiknya tidak mudah terpancing dengan kondisi korban yang didampinginya.

Kepancing emosional itu harus dihindari. Artinya orang itu ketika ingin menyelesaikan masalah, harus selesai dulu dengan masalah pribadinya. Nah, seringkali kalau misalnya mudah ke-trigger (red-terpicu), mudah kebawa emosional,” ujar Aryo.

Calon anggota Satgas PPKS juga harus selalu memperbarui informasi dan wawasan terkait isu-isu dan wacana kekerasan seksual terkini dan memahami Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.

“Selain itu dia update enggak dengan isu-isu KS (Red-Kekerasan Seksual) dan menguasai enggak Permendikbud nomor 30 itu,” jelas Aryo.

Tahap wawancara calon anggota Satgas PPKS UII dilakukan secara bersama-sama oleh Pansel. Dalam satu ruangan, tujuh orang Pansel mewawancarai setiap calon anggota Satgas PPKS UII satu per satu.

Setelah melalui proses seleksi wawancara, selanjutnya calon anggota Satgas PPKS UII yang lolos melakukan uji publik. Proses uji publik terhadap calon anggota Satgas PPKS UII dilakukan pada 15 Maret 2023 secara daring melalui Zoom Meeting.

Uji publik tersebut diikuti oleh 17 peserta calon anggota Satgas PPKS UII yang lolos dalam rangkaian seleksi sebelumnya, yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dengan dua panelis, yaitu Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dan Pakar Hukum Hak Asasi Manusia Suparman Marzuki.

Anang menyebutkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Satgas PPKS UII tetap berkoordinasi dengan BEH dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. 

“Kita sepakati bahwa kasus yang sedang berjalan dan ditangani tersebut kita alihkan ke satgas, dan satgas juga memang siap untuk mengerjakan itu. Nanti dalam pekerjaan proses perjalanannya, memang BEH dan satgas akan sering berkoordinasi,” ungkap Anang.

Yaltafit Abror Jeem atau akrab disapa Jeem, Ketua Satgas PPKS UII, memaparkan bahwa Satgas PPKS UII memiliki dua tugas utama, yaitu pencegahan dan penanganan.

Jeem mengungkapkan terdapat beberapa tingkatan dalam tindakan pencegahan, yaitu pembelajaran, tata kelola, dan penguatan budaya mulai dari tingkat universitas, fakultas, hingga Keluarga Mahasiswa UII (KM UII). Sementara pada aspek penanganan, peran Satgas PPKS meliputi pendampingan, perlindungan, pemulihan korban, serta memberikan kesimpulan dan rekomendasi terkait dengan pengenaan sanksi pelaku kekerasan seksual.

Mengenai pengaduan, terdapat lima tahapan dalam proses laporan kekerasan seksual. Pertama, penerimaan laporan yang disampaikan oleh pelapor. Kedua, pemeriksaan terhadap terlapor atas dugaan kasus kekerasan seksual. Ketiga, penyusunan hasil berupa kesimpulan dan rekomendasi yang nantinya dilaporkan dan diberikan kepada Rektor.

Keempat, pemulihan terhadap korban. Proses pemulihan ini dapat beriringan dan bersamaan dengan proses penyusunan hasil kesimpulan dan rekomendasi. Kelima, pencegahan berulang. Tahap ini ditujukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak mengalami kejadian yang serupa.

“Kira-kira mekanismenya dari penanganan kasus seperti itu,” ujar Jeem sebagai ketua Satgas PPKS UII dalam wawancara dengan awak Himmah pada 27 September 2023 di kantor Satgas PPKS UII.

Satgas PPKS dan Kekerasan Seksual di UII

Sosialisasi masih menjadi suatu pekerjaan rumah bagi Satgas PPKS. Jeem mengamini hal tersebut, apabila dilihat secara komposisi tim secara kuantitas dan kualitas. Tim Satgas PPKS UII masih terus mengupayakan untuk melakukan sosialisasi kepada mahasiswa.

“Memang kita masih belum pada titik yang maksimal, karena kami yang masuk pada sisi penanganan itu cukup banyak sehingga proses sosialisasi masih belum maksimal kami lakukan,” ungkap Jeem.

Satgas PPKS UII juga sudah mengupayakan beberapa hal untuk melakukan sosialisasi. Menurut Jeem, timnya sudah mencoba beberapa kali masuk ke dalam kegiatan di UII, namun belum mendapatkan respon yang tepat. Selain itu, Satgas PPKS UII juga sedang mengkaji beberapa hal untuk melakukan sosialisasi secara luring melalui berbagai kegiatan atau alat promosi, seperti poster dan spanduk.

“Kita sudah membuat banner untuk memberikan sosialisasi itu, dan kita sedang mengkaji beberapa hal yang sifatnya nanti sebuah event atau sosialisasi secara langsung. Sedang diproses, karena masih ada berbagai macam hal yang harus kami persiapkan dan koordinasikan,” jelas Jeem.

Menurut survei yang dilakukan oleh awak Himmah pada 30 Oktober 2023-10 November 2023 terhadap 190 mahasiswa, setengah dari responden belum mengetahui keberadaan Satgas PPKS di lingkungan UII.

Pusat Studi Gender mengadakan sarasehan yang bertajuk “Kampus UII Bebas Tindakan Asusila dan Kekerasan Seksual” pada Kamis 6 Desember 2023, di Ruang Auditorium Fakultas Hukum UII.

Dalam acara tersebut, Jeem hadir sebagai Ketua Satgas PPKS UII. Ia memaparkan bahwa Satgas PPKS UII mendapatkan jumlah laporan kasus kekerasan seksual yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah limpahan kasus kekerasan seksual yang dialihkan dari BEH kepada Satgas PPKS UII.

“Jumlah laporan baru yang diterima setelah dilantik dibandingkan dengan jumlah limpahan kasus yang diberikan kepada Satgas PPKS UII, lebih banyak sekitar enam kali lipat,” ungkap Jeem.

Dari kasus-kasus tersebut ada yang sudah selesai dan belum selesai. Satgas PPKS UII masih terus melakukan penanganan terhadap korban kekerasan seksual. Satgas PPKS UII juga masih berkoordinasi dengan BEH dan berbagai pihak agar pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dapat terukur dan berkelanjutan.

Reporter: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Dina Nurhasanah, Ibrahim

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Menilik Fiksi Sejarah dalam Buku Membunuh Harimau Jawa

Himmah online Jogja Art + Book Festival 2024 merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan selama dua pekan di The Ratan, Jalan Ringroad Selatan, Glugo, Kelurahan Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kegiatan ini bertujuan untuk mempertemukan antara seni dan literasi. Beberapa acara yang diselenggarakan salah satunya Diskusi Buku #3 pada (05/05) dengan mengambil tema “Membunuh Harimau Jawa”. 

Diskusi buku ini dihadiri langsung Risda Nur Widia sebagai penulis, Ramayda Akmal sebagai pembaca sekaligus pengamat sastra, dan Titah AW sebagai moderator. Diskusi ini diiringi antusiasme tinggi para peserta yang hadir memadati acara tersebut.

Beberapa hal yang menarik dalam diskusi kali ini yakni alasan mengapa menjadikan harimau sebagai tokoh utama, hubungannya dengan kolonialisme, hingga bagaimana adanya keterkaitan dengan fiksi sejarah. 

Harimau jawa yang diangkat oleh penulis merupakan sebuah kisah yang diceritakan neneknya, sosok yang memiliki pengaruh besar dalam kepenulisannya. 

“Banyak sekali cerita tentang harimau dan saya tidak tahu, mungkin itu adalah semacam gagasan tidak langsung yang ditanam oleh nenek saya mengenai harimau,” jelas Risda.

Risda tidak menjelaskan arti dari siapa sosok harimau di sini, karena menurutnya beberapa karya yang dibuat hanya sebuah kisah dan sekadar keterbukaan isi pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Tidak hanya harimau, unsur sejarah juga banyak diangkat dalam buku tersebut. Penulis mencampuradukkan tokoh-tokoh barat terdahulu, serta memfokuskan karakter dari tiap tokoh dalam cerita itu. Hal ini juga memunculkan keterkaitan dengan kolonialisme pada zaman itu.

Menurut Ramayda, ia mengalami masa tertentu yang diceritakan dalam novel yang kemudian menurutnya hal itu bersinggungan dengan sejarah, tentu itu menarik baginya. 

“Tapi saya bisa mengalami sedikit potongan sejarah pada masa tertentu melalui novelnya mas Risda. Mengalami kan lebih emotif situasinya. Jadi di ruang itu menurut saya, novel ini bersinggungan dengan sejarah,” jelas Ramayda.

Hal ini menarik para audiens untuk bertanya. Salah satunya Nyoman, seorang mahasiswa yang memiliki minat lebih di bidang saintis. Nyoman mempertanyakan apakah karya Risda hanya sekadar dongeng belaka yang diceritakan neneknya dan mempertanyakan seberapa dalam risetnya untuk melahirkan sebuah karya. 

“Apakah semua hal-hal di buku ini tentang dongeng seperti itu? Saya ingin tahu data sainsnya sehingga buku ini dapat menjadi pertimbangan untuk saya baca,” tanya Nyoman.

Risda menyebutkan bahwa dirinya melakukan beberapa riset, namun lagi-lagi fiksi tetaplah fiksi dan data sains dikembalikan pada kebutuhan dalam fiksi tersebut.

“Ketika kita membicarakan data, banyak sekali, saya tidak merujuk pada satu penelitian tertentu. Saya hanya mengambil katakanlah bagaimana eksploitasi tebu di masa kolonial itu ditulis oleh teman saya, saya berusaha belajar dari situ dan berusaha membangun logika seperti apa yang ada,” ujar Risda.

Risda menanggapi pertanyaan-pertanyaan secara santai dan menganggap bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kritik melainkan sebuah masukan.

“Sebenarnya saya menganggapnya bukan sebagai kritik sih, lebih sebagai sebuah insight atau sebagai tanggapan atas karya tersebut,” pungkas Risda.

Reporter: Himmah/Siti Zahra Sore, Nurul Wahidah, Sofwan Arrasyid

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Massa Aksi Hari Buruh Internasional Tuntut Kenaikan Upah

Himmah Online – Massa aksi memperingati hari buruh internasional dengan melakukan long march dari Tugu Yogyakarta sampai Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Rabu (01/05). Terdapat lima tuntutan utama pada aksi tersebut, di antaranya adalah menaikkan upah minimum seluruh wilayah di Provinsi Yogyakarta dan menurunkan harga kebutuhan hidup. Tuntutan ini dibawakan dari tahun ke tahun, namun masih belum ada perkembangan.

Beberapa organisasi ikut terlibat dalam aksi ini, antara lain Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Kabupaten Sleman, Sindikasi Jogja, Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT), Forum BEM DIY, Dewan Perwakilan Daerah Serikat Pekerja Nasional (DPD SPN) DIY, dan beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya.

Jani (35), salah satu anggota Serikat Sindikasi Jogja mengeluhkan rendahnya upah daerah Yogyakarta. Ia menyampaikan bahwa harga kebutuhan pokok di daerah penduduk padat cenderung mahal.

“Karena menurut kami, upah Jogja itu murah banget. Karena kalau misalnya tinggalnya di pinggiran banget, ya, masih bisa hidup, begitu. Tapi kalo tinggal di kota, di daerah-daerah yang sudah padat penduduk, itu, kan, harga juga sebenarnya mahal, gitu,” ujar Jani.

Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta belum pernah naik setara dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Upah yang kecil membuat para buruh dihadapkan pada biaya hidup yang tidak sesuai dengan penghasilan mereka.

“Jadi, sebenarnya pernah ada yang menghitung standar berdasarkan kondisi Jogja. Itu dihitung-hitung 4 jutaan. Ada hitungannya. Itu ada 16 komponen upah layak. Jadi, bahkan jauh sekali, ya, jaraknya dari kelayakan upah itu,” ucap Jani.

Upah yang tidak layak dan naiknya harga bahan pokok yang tidak sesuai dengan upah mereka, menyebabkan para buruh merasa kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga berdampak pada pendidikan dan nutrisi bagi anak-anak mereka. Tak jarang, banyak dari mereka yang berhutang agar kebutuhan tercukupi. 

Kan selama ini kalau hidup sehat itu ya makan ada susu, ada sayuran, buah, nah selama ini ya cuman tahu tempe. Paling para buruh ini harus berhutang kesana-kesini. Jadi selain punya beban kerja tapi juga punya beban hutang” tambah Jani. 

Jum (40) salah satu massa aksi mengungkapkan bahwa nutrisi di keluarga mereka serta biaya pendidikan anaknya yang terhambat.  

“Dan ketika sudah berkeluarga dan punya anak, untuk makan aja kurang. Apalagi untuk biaya pendidikan dan beli rumah, kaya gitu,” jelas Jum.

Banyak dampak buruk yang terjadi akibat rendahnya upah buruh. Namun, tak banyak buruh yang menyuarakan dan memperjuangkan haknya. Ma’ruf (26), salah satu anggota serikat buruh, berharap para buruh semakin berani untuk menyuarakan hak-haknya.

Nah, harapannya untuk buruh itu adalah semakin beraninya buruh untuk menuntut hak-hak yang mereka dapatkan, baik itu di pabrik maupun di jaminan-jaminan sosial dan sebagainya,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/ Putri Cahyanti, Queena Chandra Purnamaningtyas, Giffara Fayza Muhlisa, Subulu Salam

Editor : Ayu Salma Zoraida Kalman

Tuntutan Masih Berulang, Buruh Tuntut Kenaikan Upah Turunkan Harga Pokok

Tampak poster di punggung salah satu massa aksi yang bertuliskan “UMR Murah Tanah Mahal” pada peringatan Hari Buruh Internasional di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa

Puluhan massa aksi memenuhi area depan Kantor Gubernur DIY untuk menyampaikan orasi politik dan tuntutan di peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Subulu Salam
Polisi membentuk formasi barikade untuk pengamanan area depan kantor Gubernur DIY di tengah orasi tuntutan peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Kumpulan massa aksi long march menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta dengan membawa spanduk dan poster yang berisikan tuntutan di peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Subulu Salam
Massa aksi mulai memadati Titik Nol Kilometer Yogyakarta untuk melakukan aksi unjuk rasa di peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Subulu Salam
Jum (40), perwakilan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT), menyampaikan orasinya pada peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa