Beranda blog Halaman 10

Dewan Pers Menjalin Kerja Sama Dengan Kemendikbudristek Dalam Upaya Penguatan dan Perlindungan Persma

0

Himmah Online – Dewan Pers dan Kemendikbudristek menjalin kerja sama dalam upaya penguatan dan perlindungan pers mahasiswa (persma). Hal tersebut dibahas dalam diskusi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bertajuk “Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa” yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting pada Sabtu (27/4). 

Diskusi ini membahas mengenai payung hukum bagi persma, yang selama ini masih belum memiliki kejelasan. Dengan ditekennya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dewan Pers dan Kemendikbudristek, PKS digadang-gadang akan menjadi payung hukum bagi mahasiswa dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya di lingkup Universitas.

Melansir dari laman Dewan Pers, disebut bahwa Dewan Pers bersama Kemendikbudristek telah resmi menandatangani PKS tentang Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi pada Kamis, 18 April 2024. PKS ini merupakan upaya agar Dewan Pers mampu melakukan mediasi apabila terjadi sengketa antara persma dengan pihak lainnya.

Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, menyampaikan dua poin utama yang menjadi isi dari PKS Dewan Pers dan Kemendikbudristek. Pertama, jika terjadi sengketa antara persma dengan pihak lain yang dalam konteks ini merupakan sivitas akademika, maka kedua pihak menyepakati untuk melibatkan Dewan Pers. Kedua, pihak yang terlibat bersepakat untuk saling membantu termasuk bertukar informasi agar terjadi peningkatan kapasitas dari para wartawan yang terhimpun dalam persma.

Selama ini, Dewan Pers berada dalam dilema saat membicarakan perlindungan dan penguatan persma. Dewan Pers dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, tetapi di dalam uu ini, persma tidak diakui sebagai pihak yang dilindungi.

“Kita tahu bahwa di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang disebut dengan pers adalah media-media yang menjalankan tugas persnya dengan segala cirinya; regularity dan sebagainya. Tapi ada satu kunci (syarat) disitu, dia harus berbadan hukum,” terang Arif.

Arif menyampaikan bahwa persma tidak berbadan hukum, melainkan berada di bawah naungan universitas. Tidak terpenuhinya syarat oleh persma inilah yang menciptakan dilema bagi Dewan Pers.

“Ini tentu sebuah dilema yang ga mudah. Di satu pihak kita menghargai pers mahasiswa dan menginginkan pers mahasiswa itu dilindungi, tapi di lain pihak perangkatnya (UU) ga ada,” ungkap Arif.

Noval, Badan Pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Tulungagung, menerangkan bahwa persma membutuhkan payung hukum dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya di lingkungan perguruan tinggi. Noval menyampaikan, Pada kurun waktu 2020-2021, PPMI telah mencatat kasus represi yang dialami oleh mahasiswa sebanyak 185 kasus, mayoritas pelaku represi dilakukan oleh pihak kampus dengan 48 kasus.

Menurut Arif, apabila PKS bisa dijalankan, maka akan memberikan dampak baik bagi mahasiswa yang menjalankan aktivitas jurnalistik di lingkup kampus. Walaupun PKS bukan merupakan perjanjian yang mampu memberikan konsekuensi apabila tidak dijalankan, namun PKS adalah upaya untuk mencapai suatu pengertian bersama. 

“Kalau ini (PKS) jalan, maka tidak boleh lagi ada pembredelan pers kampus, tidak bisa lagi ada kriminalisasi terhadap mahasiswa yang dianggap bersalah. Tidak bisa, jadi dia akan dimediasikan oleh Dewan pers,” pungkas Arif.

Reporter: Himmah/Agil Hafiz, Septi Afifah, Subulu Salam

Editor: Abraham Kindi

Constitutional Law Society Serukan Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI

Himmah Online – Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum (FH), Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan konferensi pers yang bertajuk “Pasca Putusan MK, Kita Harus Apa? Bangkitkan Gagasan Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI”. Konferensi pers dilaksanakan di Selasar Gedung B FH UGM pada Selasa (23/4).

Acara tersebut menghadirkan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, R. Herlambang P. Wiratraman, dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UGM yang menyampaikan pernyataan pengantar, dan Ignasius Lintang Nusantara, presiden CLS FH UGM yang menyampaikan pernyataan pers.

Konferensi pers tersebut memiliki enam tuntutan, salah satunya agar presiden dan wakil presiden RI terpilih bersedia kekuasaannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan khusus. 

Lintang mengungkapkan tujuan diadakannya konferensi pers ini guna memperjuangkan rancangan undang-undang tentang lembaga kepresidenan untuk disahkan menjadi undang-undang sebagai pembatasan kekuasaan bagi presiden dan wakil presiden RI.

“Pada intinya kami ingin memperjuangkan pembatasan untuk presiden dan wakil presiden terpilih dan siapapun nanti presiden yang akan memimpin Indonesia ke depan. Karena selama ini, kita belum memiliki rancangan uu yang khusus mengatur mengenai pembatasan kekuasaan presiden,” tutur Lintang.

Zainal menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pilpres 2024 mengakui bahwa banyak masalah di level presiden ketika kekuasaannya tidak dibatasi apa-apa. 

“Kenapa presiden bisa bansos, main uang negara, main aparat, main pejabat, karena tidak ada pembatasan (kekuasaan) sama sekali,” ungkap Zainal.

Lanjutnya, Zainal mengungkapkan perlu untuk melemahkan presiden di masa akhir periodenya. Bila tidak, presiden dengan kekuasaannya mampu untuk mengotak-atik institusi negara.

“Presiden itu harus dipincangkan menjelang pemilu, karena banyak sekali yang bisa dia mainkan,” ucap Zainal.

Sementara itu, Herlambang menjuluki MK sebagai “Mahkamah Kartel”. Ia memberi julukan tersebut karena kepentingan politik yang berperan dalam pekerjaan hakim juga memiliki pengaruh signifikan terhadap posisi politik hakim.

“Saya sendiri menulis ‘Mahkamah Kartel’ karena posisi politik hakim juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik yang bekerja,” ucap Herlambang.

Herlambang menyebut adanya dominasi nalar formalisme yang terseleksi di MK mengabaikan situasi-situasi yang seharusnya dipertimbangkan, seperti konflik kepentingan dan pertimbangan etika. Pengabaian tersebut dianggapnya sebagai suatu yang berbahaya. Etika tidak lagi dianggap penting dalam pembuatan keputusan.

“Ini (dominasi nalar formalisme) cara MK yang saya kira berbahaya sekali ya. Ketika dia (MK) bukan hanya melepaskan dari situasi-situasi yang sebenarnya harus dibaca, misalnya soal konflik kepentingan, soal etika. Jadi etika tidak lagi dianggap penting di dalam putusan,” ujar Herlambang

Ia juga menyebut terdapat fenomena di MK yang disebut sebagai Judicialization of Authoritarian Politics, di mana kekuasaan kehakiman semakin menegaskan posisi dalam upaya mendukung kepentingan politik rezim.

“Disebut sebagai Judicialization of Authoritarian Politics, situasi yang sebenarnya politik kekuasaan kehakiman ini makin lama makin menegaskan posisinya itu menopang kepentingan politik rezim. Khususnya rezim pemerintahan Jokowi,” ucap Herlambang.

Pada pernyataan pers tersebut, tertulis bahwa Indonesia pernah memiliki niatan untuk membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden pasca reformasi, namun niat tersebut memudar pada setiap periode kekuasaan. 

“Oleh karena itu, kami menolak lupa eksistensi RUU lembaga kepresidenan,” pungkas Lintang dalam pembacaan pernyataan pers.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Ibrahim

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Ketimpangan Respon OKI atas Konflik Muslim Uighur

Himmah Online – Upaya mediasi yang dilakukan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atas apa yang terjadi di Uighur, Xinjiang tampak timpang. Pada sejarahnya, OKI telah memainkan peran penting dalam memediasi konflik yang terjadi di negara anggota, atau komunitas muslim yang terlibat konflik.

Ibrahim Sharqieh, dalam tulisannya yang berjudul “Can the Organization of Islamic Cooperation (OIC) Resolve Conflicts?” menyebut OKI berpartisipasi secara intensif pada empat kasus marginalisasi kelompok muslim, yakni konflik di Filipina, Thailand, Irak dan Somalia.

Thailand dan Filipina bukanlah negara anggota OKI. Tapi keterlibatan aktif OKI dalam mediasi konflik di negara non-anggota seperti Thailand, dan Filipina dinilai berhasil. 

Atas keterlibatan OKI, di Thailand terjadi perubahan pendekatan yang dilakukan pemerintah Thailand dari penggunaan kekerasan, menjadi dialogis. Pada konflik di Filipina, OKI berhasil mengantarkan perjanjian damai yang ditandatangani pemerintah Filipina dan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF). OKI juga bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dalam memberi bantuan untuk infrastruktur di wilayah pasca konflik.

Kemampuan pendekatan unik yang dimiliki OKI dalam melakukan mediasi konflik dapat dilihat dari tiga faktor utama, yaitu: cultural competency, moral power, dan partnership (Ibrahim, 2012).

Namun, hal ini berbeda ketika OKI menghadapi China. M. Tri Andika & Elcy Damayani dalam tulisannya yang berjudul “Sikap Lunak OKI terhadap China dan Isu Pelanggaran HAM Muslim Uighur” menyebut OKI melunak dalam merespon konflik Uighur. 

Melunaknya OKI pada konflik Uighur mengundang pertanyaan, bahwasannya, pada pasal 1 ayat 16 Piagam OKI, disebutkan organisasi ini membawa semangat solidaritas umat muslim dunia; sekaligus terlibat aktif dalam permasalahan umat muslim yang menjadi kelompok minoritas di negara non-anggota.

Lalu, mengapa respon OKI melunak pada konflik Uighur? Apa indikator dari melunaknya respon OKI? 

Indikator Lunaknya Respons OKI

Disebutkan oleh M. Tri Andika & Elcy Damayani, setidaknya ada tiga indikator yang mengarah pada melunaknya respons OKI pada konflik ini.

Pertama, dalam pernyataan yang disampaikan pada pertemuan Independence Permanent Human Rights Commissions (IPHRC) ke-14—IPHRC adalah salah satu organ utama OKI yang mengadvokasi Hak Asasi Manusia (HAM). 

Pernyataan tersebut melaporkan adanya kamp detensi yang dibangun pemerintah China. Walaupun pemerintah China menyebutkan kamp tersebut sebagai re-education camp dan pusat pelatihan untuk memerangi ekstrimisme dan separatisme. Kamp tersebut diduga melanggar HAM etnis Uighur yang dipaksa mengikuti serta mengadopsi budaya dan praktik yang berbeda dengan identitas otentik Uighur.

Pernyataan tersebut didukung oleh laporan Amnesty International yang menyebutkan bahwa pemerintah China menahan satu juta muslim Uighur yang ditempatkan di tempat selayak kamp konsentrasi oleh pihak Beijing.

Meskipun demikian, pernyataan yang disampaikan IPHRC hanya harapan terhadap pemerintah China dalam upaya memerangi terorisme, tetap menjamin hak, dan kebebasan beragama muslim Uighur.

Kedua, dalam pernyataan pertemuan IPHRC ke-15, IPHRC mengapresiasi keterlibatan aktif OKI dan pemerintah China dalam menangani masalah muslim Uighur. IPHRC juga menyampaikan bahwa kunjungan OKI ke Xinjiang merupakan upaya konstruktif dalam penyelesaian konflik Uighur. Namun, IPHRC tidak secara tegas mengaitkannya dengan kebijakan Beijing yang diskriminatif terhadap muslim Uighur.

Ketiga, dalam Resolusi Pertemuan Dewan Menteri Luar Negeri OKI ke-46 No. 1/46-MM, disebutkan Dewan Menteri Luar Negeri OKI menyambut baik kunjungan delegasi Sekretaris Jenderal OKI atas undangan pemerintah China. Dewan Menteri Luar Negeri OKI memuji pemerintah China atas perhatian yang diberikan kepada warga muslimnya, serta menantikan kerja sama lebih lanjut antara OKI dan China.

Tiga indikator tersebut menunjukkan bahwa OKI, organisasi yang membawa semangat solidaritas muslim dunia, serta aktif dalam permasalahan umat muslim yang menjadi kelompok minoritas, melunak dalam merespons konflik yang berada di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China.

BRI dan Reaksi Negara-negara OKI

Belt and Road Initiative (BRI) diperkenalkan oleh presiden China, Xi Jinping pada tahun 2013 di Kazakhstan. BRI merupakan kebijakan luar negeri dan ekonomi yang dicanangkan oleh China untuk memperkuat dan memperluas pengaruh ekonomi China.

Tentunya, proyek BRI ini melebihi dari aspek ekonomi saja. Perang dagang antar China dan Amerika memperlihatkan bahwa proyek ini sarat penguatan pengaruh politik China.

Hal tersebut diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur negara-negara yang dilewati oleh jalur proyek BRI. Di antara negara-negara yang dilewati oleh jalur tersebut adalah negara-negara anggota OKI.

Selama 20 tahun terakhir, China sudah mengalahkan Amerika dalam urusan jual beli dengan negara anggota OKI. China juga merupakan konsumen jangka panjang bagi negara Gulf Cooperation Council (GCC) dalam bidang energi.

Dalam konteks investasi China, Narasi melaporkan, bahwa Pakistan mendapatkan pinjaman 62 miliar USD untuk infrastruktur. Dengan Iran, China berinvestasi hampir 400 miliar USD. Di Turki, China berinvestasi lewat pertukaran kredit sebesar 3,6 miliar USD. Dengan Arab Saudi, China membuat kesepakatan investasi senilai 93 miliar USD. Lalu dengan Indonesia, China adalah mitra dagang dan investor terbesar kedua di Indonesia.

Dengan demikian, banyaknya kerja sama yang dilakukan China dengan negara-negara OKI dapat menjadi salah satu faktor lunaknya OKI terhadap China dalam konflik Uighur.

Duta Besar AS Michele Taylor, wakil tetap AS untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mengajukan mosi bersama 10 negara lainnya untuk membahas situasi HAM di Xinjiang dibahas dalam agenda PBB.

Tetapi, mosi yang dibawa AS bersama 10 negara lainnya gagal mendapatkan kesepakatan negara lain. Dari 47 negara yang hadir, 17 mendukung, 19 menolak, dan 11 memilih abstain.

Menariknya, ketika AS mengajukan mosi untuk membahas situasi HAM di Xinjiang, lebih dari setengah yang menolak adalah negara-negara anggota organisasi Islam terbesar.

Hal tersebut menunjukkan upaya yang dilakukan China dalam mengonsolidasikan negara-negara OKI dinilai berhasil. Pendekatan China melalui pembangunan serta kerja sama bilateral dengan negara OKI menjadi landasan yang mengatur tindakan-tindakan yang dapat merugikan kerjasama China dengan negara-negara OKI.

Kritik atas Kepentingan OKI

Sejauh ini, OKI belum mengambil langkah signifikan dalam mengatasi pelanggaran kemanusiaan di Xinjiang. Di bawah Piagam OKI Pasal 1 ayat 16, seharusnya negara anggota harus “Untuk melindungi hak, martabat, dan identitas agama, dan budaya komunitas muslim dan minoritas di negara-negara non-anggota”.

Indikator-indikator yang dituliskan di atas, sejatinya mencerminkan bagaimana OKI melanggar piagamnya sendiri. 

Menurut Erkin Ekrem, seorang profesor yang mengajar kebijakan luar negeri China di Universitas Hacettepe di Ankara, Turki, OKI memiliki tanggung jawab etis untuk menyuarakan keprihatinan mengenai kesengsaraan umat Islam di seluruh dunia dan memberikan bantuan kepada Uighur.

Namun, kepentingan geopolitik dan ekonomi menjadi faktor negara anggota OKI memberi dukungan kepada China. Dukungan tersebut tentunya melanggar Piagam OKI.

“Dukungan OKI terhadap China dalam kasus ini melanggar piagamnya sendiri dan prinsip inti Islam,” tuturnya.

Adrian Zenz, seorang peneliti di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington, D.C. mengkritik keras kunjungan OKI ke China. 

Adrian mengkritik bahwa OKI tidak berdaya untuk menghadapi China pada kasus Uighur. Ia pun mempertanyakan apa keuntungan yang didapatkan OKI ketika turut andil dalam menutupi kasus tersebut.

“Delegasi OKI tingkat tinggi mengunjungi Xinjiang, memuji kebijakan China, sejauh mana organisasi muslim ini bersujud ke Beijing benar-benar luar biasa. Apakah mereka benar-benar memiliki banyak keuntungan dari menutupi genosida? Apa yang ditawarkan Beijing kepada mereka?” ucapnya.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Khianati Reformasi, Aksi Kamisan Menolak Dwifungsi TNI-Polri

Himmah Online – Aksi Kamisan kali ini digelar dengan tajuk “Jalan Mundur Demokrasi Pintu Masuk Dwifungsi TNI-Polri”. Sejumlah massa aksi berkumpul di kawasan Tugu, Yogyakarta pada Kamis (21/03) pukul 16.13 WIB. Mereka menyuarakan, kembalinya Dwifungsi TNI-Polri merupakan jalan mundur bagi demokrasi.

Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, pada orasi politiknya menyampaikan bahwa jabatan sipil tidak boleh dipegang oleh orang bersenjata. TNI-Polri harus dibatasi dari jabatan sipil. 

“Sebenarnya, baik TNI dan Polri harus dibatasi dari jabatan sipil. Karena itu adalah jabatan sipil, tidak boleh dipegang oleh orang yang bersenjata. Karena dengan lengannya yang bersenjata itu, bisa menggunakan (kekuasaan) secara tidak pas,” ungkap Zainal.

Zainal menambahkan apa yang harus diperhatikan dan dilawan adalah Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2023. UU kontroversial ini memungkinkan TNI dan Polri untuk kembali melakukan dwifungsinya yang sempat dilarang sebelumnya.

“Tentu saya kira, bagian yang harus kita lakukan adalah perlawanan. Perlawanan terhadap UU (No. 20 Tahun 2023) itu salah satunya,” ujar Zainal.

Willy (28), salah satu peserta aksi Kamisan mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi saat ini. Ia menyoroti UU No. 20 Tahun 2023 dinilai mengkhianati cita-cita luhur reformasi.

“Karena kan selama ini memang salah satu cita-cita reformasi adalah mengembalikan tentara ke tempatnya kan. Artinya tentara ya tentara aja, nggak perlu ikut menjabat atau mengurus urusan sipil gitu. Karena itu perannya sudah berbeda,” ucap Willy.

Ia juga menyampaikan aksi Kamisan hadir agar kita selalu mengingat sejarah kelam bangsa dan menjadi tagihan bagi negara, bahwa masih ada hutang yang belum lunas.

“Pertama mengingat, mengingat tentang kehilangan orang, tentang pembunuhan. Kedua adalah kita menuntut ya, menuntut maksudnya kita terus mengingatkan, mengingat kepada diri sendiri terutama pada negara bahwa ada utang, utang yang belum terbayar gitu loh,” ungkap Willy.

Rahman, koordinator lapangan aksi Kamisan saat ini, mengungkapkan UU No. 20 tahun 2023 merupakan jalan kembali bagi kekerasan kekuasaan. Ia menambahkan, sejarah telah mencatat ketika TNI-Polri memasuki jabatan sipil, ruang gerak sipil serta demokrasi dirusak.

“Kita lihat dari sejarah bagaimana ketika para pengabdi negara ini ketika memasuki ruang lingkup sipil ya, ruang kita akan terbatas dan ruang gerak kita akan dibatasi oleh ruang gerak mereka dan akan merusak juga demokrasi secara utuh,” ujar Rahman.

Rahman juga berharap aksi ini dapat menyebarkan apa yang sedang diperjuangkan, serta massa aksi yang berpartisipasi dapat konsisten mengikuti aksi. Ia menambahkan harapan terbesarnya adalah suara Kamisan dapat didengar oleh pemangku kebijakan.

“Biar juga bisa mereka (pemangku kebijakan) untuk mengkaji ulang. Atau pun membahas ulang terkait hal-hal yang memang kita suarakan pada sore hari ini,” pungkas Rahman.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, R. Aria Chandra Prakosa, Ibrahim, Nurhayati

Editor: M. Fazil Habibi Ardiansyah

Revitalisasi Dwifungsi TNI dan Polri Melalui UU ASN

0

Himmah Online – Dwifungsi TNI-Polri kembali ramai diperbincangkan pasca Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Peraturan tersebut mencabut peraturan sebelumnya yang mengatur tentang jabatan ASN, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.

Aksi Kamisan bertajuk “Jalan Mundur Demokrasi Pintu Masuk Dwifungsi TNI-Polri” kembali digelar di Tugu Yogyakarta, Kamis (21/03). Turut hadir Zainal Arifin Mochtar atau yang akrab disapa ‘Mas Uceng’, seorang pakar Hukum Tata Negara yang menjadi orator dalam Aksi Kamisan tersebut.

Zainal memaparkan bahwa TNI dan Polri harus dipisahkan dari jabatan sipil karena mereka adalah orang yang bersenjata, sehingga dengan lengannya yang bersenjata dapat menyalahgunakan kewenangan dalam ranah jabatan sipil.

“TNI dan Polri harus dibatasi dari jabatan sipil. Karena itu adalah jabatan sipil, tidak boleh dipegang oleh orang yang bersenjata,” jelas Zainal dalam orasinya.

Selain itu ia menilai masuknya TNI dan Polri ke dalam ranah jabatan sipil melalui UU ASN bukan merupakan hal yang baru. Setidaknya dua tahun ke belakang sudah banyak upaya untuk memasukkan TNI dan Polri ke jabatan sipil.

Maka, upaya yang dapat dilakukan adalah melawan. “Melawan dalam artian bisa ke MK, tapi yang kedua perlawanan yang dilakukan dengan menjaga teknisnya,” tutur Zainal.

Zainal menjelaskan awal mula Dwifungsi ABRI muncul ketika Indonesia baru merdeka. Saat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, negara belum memiliki orang yang ahli untuk mengurus aset-aset negara tersebut.

Makanya kenapa kemudian, pada saat itu semua nasionalisasi diserahkan kepada militer. Itulah yang membuat kenapa jabatan militer merasa punya kewenangan dan andil, bahkan memformalkan dalam doktrin Dwifungsi ABRI/TNI.” jelas Zainal.

Pada tahun 1999 ketika masa awal reformasi, militer mulai dipisahkan dari jabatan sipil. Menurut Zainal, Indonesia termasuk negara yang cukup berhasil meredam Dwifungsi ABRI/TNI.

“Sebenarnya 1999 sampai 2004, kita termasuk negara yang cukup berhasil meredam dwifungsi ABRI/TNI. Sayangnya, terdapat sebuah disertasi yang ditulis oleh Jackwin Beker, judulnya The Rise of Polri. Dia mengatakan, salah satunya adalah Indonesia berhasil meredam ABRI/TNI, tapi ternyata melahirkan Dwifungsi Polri,” jelas Zainal

Namun di sisi lain, upaya meredam Dwifungsi ABRI/TNI justru melahirkan Dwifungsi Polri. Hal itu disebut oleh Zainal berdasarkan pada disertasi Jacqueline Beker yang berjudul “The Rise of Polri“.

Pasca polisi dipisahkan dari TNI pada awal reformasi, peran Polri dalam struktur pemerintahan dan lembaga nonpemerintah semakin menguat.

Polisi memiliki banyak peran untuk ikut mengurus lembaga lain yang tidak memiliki keterkaitan urusan dengan kepolisian, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), kementerian, lembaga atau badan nonpemerintah, hingga kedutaan besar. 

Zainal mengungkapkan terdapat kecemburuan dari TNI terhadap Polri, “Karena kemudian seakan-akan ABRI/TNI dibatasi, tapi Polri diberikan ruang yang lebih lebar. Itu yang membuat kenapa mereka mendorong untuk masuk dan akhirnya sekarang terbuka kesempatan itu. Walaupun secara sederhana di UU ASN revisi yang kemarin,” jelas Zainal.

Menurut Zainal jika TNI dan Polri ingin masuk ke jabatan sipil negara, mereka harus lepas senjata dan lepas jabatan di instansi TNI maupun Polri, “Karena senjata melekat sama dia. Kenapa TNI dilarang masuk ke sipil, karena doktrinnya beda, dia bersenjata dan sangat mudah menggunakan senjata. Maka dibuat dahulu (aturan pelaksanaanya), lucuti senjatanya baru kemudian silahkan,” jelas Zainal.

Maka jika dilihat konteksnya adalah UU ASN yang memperbolehkan TNI dan Polri untuk dapat masuk ke jabatan sipil negara, pengawalan terhadap peraturan pelaksananya harus lebih dikuatkan.

“Oke, silahkan masuk tapi harus ada seleksi yang ketat. Sekurang-kurangnya itu yang harus dijaga,” pungkas Zainal.

Reporter: Himmah/Ibrahim, Nurhayati, Abraham Kindi, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Masyarakat Miskin Kehilangan Akses Pendidikan Tinggi Sebab Biaya Pendidikan  Semakin Mahal

Himmah Online — Social Movement Institute (SMI) mengadakan peluncuran dan bedah buku berjudul “Kampus Hari ini: Mahal, Menindas, Kehilangan Integritas”. Mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di Green House Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, mulai pukul 15.30 hingga waktu berbuka puasa pada Rabu (20/03).

Bedah buku ini dihadiri oleh tiga orang narasumber utama, yaitu Eko Prasetyo selaku penulis, Made Supriatma sebagai peneliti di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, dan Okky Madasari selaku pendiri Omong-Omong Media. 

Eko menjelaskan bahwa buku ini memuat kritik terhadap biaya pendidikan yang semakin mahal. Menurutnya, biaya pendidikan yang mahal menyebabkan masyarakat miskin sulit untuk mengakses jenjang pendidikan, terutama di jenjang perguruan tinggi. 

“Jadi, proses marjinalisasi terjadi. Untuk mereka-mereka yang miskin, sulit sekali mendapatkan hidup di kampus-kampus perguruan tinggi terbaik. Nyaris mustahil, bahkan,” jelas Eko.

Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan sulitnya bagi orang miskin untuk mendapatkan kampus-kampus terbaik. 

Hilangnya kesempatan bagi kaum miskin untuk menempuh pendidikan tinggi, membuat mereka semakin termarjinalkan. Mereka terpaksa masuk ke kampus yang tidak terkenal karena di kampus negeri banyak persyaratan-persyaratan yang tidak bisa mereka penuhi.

“Pertama pintar, kedua punya prestasi, terus selanjutnya apa? Panjang sekali persyaratannya, baru disahkan (menjadi) orang miskin,” jelas Eko.

Eko juga memandang kebanyakan orang miskin terpaksa memilih kampus yang tidak terkenal sebab mahalnya biaya pendidikan di kampus terkenal. 

“Coba lihat kampus di Yogya ini, makin nggak terkenal makin banyak orang miskinnya,” ungkap Eko

Selain berada di kampus yang tidak terkenal mereka juga hanya menempati fakultas-fakultas tertentu saja. Mahasiswa miskin banyak menempati fakultas yang notabene bernafaskan akhirat seperti Tafsir dan Hadis.

“Orang kaya, yaa, dunia dan seisinya, kan. Kedokteran lah, Ekonomi lah, Teknik lah,” jelas Eko.

Terlebih lagi, untuk memasuki fakultas kedokteran, tersedia bimbingan belajar khusus kedokteran dengan harga yang mahal. Sehingga masyarakat miskin tak mampu mengikuti bimbingan belajar tersebut.

“Bukan hanya kampusnya (yang mahal), bimbel pun juga gitu,” ujar Eko.

Menurut Eko tidak ada cara lain dalam mengatasi mahalnya biaya kuliah selain protes terhadap kampus yang semakin mahal dan eksploitatif.

“Buku ini didedikasikan untuk teman-teman yang mungkin saat ini sedang meredam amarah atas kampus yang makin lama makin eksploitatif dan makin lama makin lama menindas mahasiswanya,” tutup Eko.

Reporter: Himmah/Saiful Bahri, Ayu Salma Zoraida Kalman, M. Fazil Habibi Ardiansyah

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Pernyataan Sikap UII Jilid II Serukan Perubahan Untuk Selamatkan Demokrasi

Himmah Online – Tepat satu bulan setelah pemilu dilaksanakan, sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) menyerukan perubahan kepada pemerintah untuk menyelamatkan demokrasi dengan kembali menggelar aksi pernyataan sikap bertajuk “Selamatkan Demokrasi Indonesia”. Sivitas akademika UII berkumpul di depan Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Yogyakarta pada Kamis (14/03). Aksi ini merupakan aksi lanjutan dari pernyataan sikap UII sebelumnya

Aksi lanjutan ini digelar sebagai respon kepada pemerintah karena pernyataan sikap dari puluhan kampus di Indonesia sebelumnya tidak didengar.

“Betul, suara kami tidak didengar (oleh pemerintah), suara puluhan kampus di Indonesia tidak didengar. Kami warga sipil. Kita berharap gerakan ini akan membesar supaya suara kita semakin lantang,” ungkap Fathul Wahid, Rektor UII.

Pada aksi pernyataan sikap ini, sivitas akademika UII menyerukan pesan perubahan. Fathul menyampaikan bahwa demokrasi saat ini sudah mati. Terdapat banyak pelanggaran konstitusi sehingga demokrasi telah keluar dari jalur yang semestinya. 

“Banyak hal program yang kita anggap tak masuk akal, tidak pro kepada kesejahteraan (rakyat), pro kepada oligarki. Kita bisa kritisi. Kita bisa beri peringatan supaya kembali (menuju demokrasi yang benar), bahwa suara rakyat harus didengarkan dan jangan sampai suara rakyat dimanipulasi,” ujar Fathul.

Fathul menerangkan bahwa sivitas akademika UII menginginkan perubahan yang substantif dan demokrasi Indonesia kembali ke sistem yang seharusnya. Pelanggaran-pelanggaran terhadap konstitusi harus diberi sanksi, begitu pula dengan kecurangan yang terjadi dalam pemilu harus ditindak sesuai dengan hukum.

“Kami ingin ada perubahan, bahwa kemarin (demokrasi) keluar dari rel, (agar) kembali ke rel. Kalau kemarin curang (maka) diproses. Kalau kemarin melanggar juga dijatuhi sanksi,” ungkap Fathul dalam sesi wawancara selepas pernyataan sikap.

Aksi pernyataan sikap sivitas akademika UII hendak memberikan pesan bahwa ada masalah besar dalam demokrasi di Indonesia. Aksi ini menjadi pemantik agar kebijakan yang ada kembali memperhatikan etika dengan berpedoman kepada konstitusi dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Tita Agustine, salah satu alumni UII, berpendapat para elit politik saat ini rela mengorbankan akal sehat dan hati nuraninya hanya untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sehingga mereka mengesampingkan nilai-nilai moral dan etika.

“Mereka sudah tau ada penyimpangan. Hanya demi kekuasaan, demi mendapatkan bagi-bagi kursi, sebagai komisaris, menteri, atau jabatan-jabatan penting lainnya,” ujar Tita.

Tita menambahkan, tantangan yang dihadapi saat ini adalah kurangnya kemandirian mahasiswa dalam berpikir kritis. Dengan adanya aksi pernyataan sikap ini, diharapkan menginspirasi hadirnya keberanian besar masyarakat untuk mengembalikan demokrasi ke tempat yang semestinya.

“Itu tantangan berat kita. Kita ingin mahasiswa mandiri dalam berpikir,” pungkas Tita.

Reporter: Himmah/Sofwan Arrasyid, Nurul Wahidah, Zahra Sore, Subulu Salam

Editor: Himmah/Abraham Kindi

Selamatkan Demokrasi, UII kembali Layangkan Pernyataan Sikap

Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) membacakan surat pernyataan sikap UII, 'Selamatkan Demokrasi Indonesia'. Pernyataan sikap diselenggarakan di depan auditorium Kahar Muzakkir, Kamis (14/3). Foto: Himmah/Subulu Salam

Keranda Jenazah bertuliskan ‘Demokrasi’ menghiasi acara orasi dan pembacaan pernyataan sikap UII bertajuk ‘Selamatkan Demokrasi Indonesia’, Kamis (14/3). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia, menghadiri acara orasi dan pembacaan pernyataan sikap UII bertajuk ‘Selamatkan Demokrasi Indonesia’, Kamis (14/3). Foto: Himmah/Subulu Salam
Ketua Program Studi (Kaprodi) Hubungan Internasional (HI) UII, Karina Utami Dewi berorasi dalam pembacaan pernyataan sikap UII bertajuk ‘Selamatkan Demokrasi Indonesia’, Kamis (14/3). Foto: Himmah/Subulu Salam
Tita Agustine, selaku perwakilan Alumni UII berorasi pada pembacaan pernyataan sikap UII bertajuk ‘Selamatkan Demokrasi Indonesia’, Kamis (14/3). Foto: Himmah/Subulu Salam

UII Suarakan Tujuh Poin Pernyataan Sikap

Himmah Online – Segenap civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar aksi UII Memanggil pada Kamis (14/03). Seluruh mahasiswa, tenaga kependidikan, dan alumni diundang untuk hadir dalam “Orasi dan Pembacaan Pernyataan Sikap UII: Selamatkan Demokrasi Indonesia”. 

Pembacaan pernyataan sikap ini dimulai pukul 14:14 WIB oleh Fathul Wahid, bertempat di auditorium Prof. K. H. Abdul Kahar Muzakkir kampus terpadu UII. Aksi ini menjadi bentuk seruan bagi beberapa pihak penting, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam membenahi demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia.

Pernyataan sikap UII diawali dengan melihat kembali fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir. Adanya upaya-upaya melemahkan demokrasi dan tanda-tanda kematian demokrasi menjadi perhatian Fathul. Menurutnya, peristiwa ini telah terasa sejak Joko Widodo (Jokowi) memulai pemerintahannya, di mana beberapa pihak yang seharusnya dapat mengawasi kinerja pemerintah justru dibungkam.

“Penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan struktur demokrasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri. Pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau dan bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi,” terang Fathul dalam pembacaan pernyataan sikap.

Tak sampai disitu, adanya tindakan kasar pada konstitusi negara juga berdampak pada keutuhan demokrasi Indonesia. Peristiwa ini berhubungan langsung dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Upaya membunuh demokrasi lainnya adalah tindakan main kasar konstitusional. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi jalur dan mekanisme konstitusional. Kasarnya permainan itu dilanjutkan dengan memunculkan gagasan ‘tiga periode’ dan perpanjangan masa jabatan presiden tanpa pemilu,” lanjut Fathul.

Berkaca pada peristiwa-peristiwa di atas, UII selaku bagian dari pelantang reformasi 1998 turut berjuang dengan menyuarakan tujuh poin pernyataan sikap. Pertama, menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, serta mengembalikan prinsip independensi peradilan.

Kedua, mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.

Ketiga, mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keempat, mendesak partai politik yang kalah dalam pemilu 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang pada etika berbangsa dan bernegara, menjunjung tinggi konstitusi dan hak-hak asasi manusia sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.

Kelima, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

Keenam, meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. 

Ketujuh, menyeru aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus, kami menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia.

Poin-poin yang dilantangkan di atas menjadi bentuk perjuangan bangsa yang masih memiliki hati nurani dan kesadaran akal. Sebagai penutup, Fathul mengungkapkan harapannya, “Semoga pernyataan sikap kami ini disambut di beragam pojok nusantara bahwa kita semua memimpikan negara, bangsa yang bermartabat di masa yang akan datang,” pungkas Fathul.

Reporter: Himmah/Nurul Wahidah, Sofwan Arrasyid, Subulu Salam, Siti Zahra Sore.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Relawan Aksi International Women’s Day Menyerukan Tuntutan atas Tertindasnya Hak-hak Perempuan

Himmah Online Aksi International Women’s Day kembali digelar dengan tajuk “Mari Kak Kita Rebut Kembali!”. Sejumlah relawan memadati bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), jalan utama daerah Sendowo, Sinduadi, Yogyakarta mulai pukul 11 siang dengan membawa spanduk-spanduk orasi, pada Jumat (08/03).

Dalam aksi tersebut terdapat lima tuntutan umum dan 21 poin tuntutan khusus yang disuarakan. Salah satunya adalah solidaritas dengan setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan. Mereka menuntut agar kriminalisasi terhadap perempuan dihentikan.

“Situasi perempuan saat ini belum setara loh, dengan gender yang lebih dominan, misalnya, kemudian hak-hak perempuan ini masih terepresi,” ujar DE, salah satu komite penyelenggara acara divisi hubungan masyarakat.

Aksi ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adanya hari perempuan internasional. Sehingga, masyarakat lebih peka terhadap munculnya berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan. 

“Aksi tuntutannya bisa sampai ke masyarakat, negara. Sasaran yang kita inginkan begitu. Kemudian, bisa meningkatkan kesadaran di masyarakat,” ujar DE.

Tema yang disuarakan pada aksi ini dimaksudkan agar masyarakat dapat turut menyuarakan keresahan-keresahannya, terutama bagi mereka yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan.

Ia juga menambahkan, selama ini dampak yang timbul dari gerakan perjuangan perempuan masih minim. Masih banyak perempuan di berbagai daerah yang tak kunjung mendapatkan hak-haknya.

“Akan tetapi di tempat lain masih banyak perempuan yang tidak bisa baca tulis dan buta huruf,” ujar DE.

DE berharap, aksi International Women’s Day yang digelar setiap tahun selalu ada. Sehingga, para perempuan bisa menyerukan sesuatu yang menurut mereka pantas untuk diperjuangkan bersama.

“Ada loh harga yang perlu kita perjuangkan sama-sama,” ujar DE.

Selain itu, Albert (22), salah satu partisipan aksi, mengatakan tuntutan solidaritas ini sangat diharapkan bisa terwujud. Hal itu disebabkan oleh diskriminasi atas kesetaraan gender, yang membuat perempuan merasa dibedakan dalam beberapa aspek kehidupan.

Aspek yang paling tersorot adalah aktivitas di ruang lingkup akademik. Para perempuan banyak mengalami ketidaknyamanan ketika proses belajar mengajar. 

“Terutama di UGM sendiri, ada celah-celah dalam beberapa hal, begitu, yang membuat teman-teman perempuan merasa tidak nyaman ketika belajar dan mengajar dalam lingkungan kampus,” ujar Albert.

Izhar (22), salah satu partisipan aksi, juga menyampaikan harapan serupa. Dengan adanya tuntutan solidaritas ini, perempuan bisa mendapatkan kenyamanan dan keamanan atas diskriminasi, stigma, resepsi, dan penjajahan yang mengganggu.

“Orang-orang mulai makin sadar juga terhadap perempuan dan bagaimana membuat suasana yang nyaman. Kita membangun (kondisi ini) step by step, gitu,” pungkas Izhar. 

Reporter: Himmah/Tazkiyani Himatussoba, M. Fazil Habibi Ardiansyah, Agil Hafiz, Ayu Salma Zoraida Kalman

Editor: Abraham Kindi