Beranda blog Halaman 11

“Pasar Kangen Wiwitan Pasa 2024”

Pasar Kangen Wiwitan Pasa 2024 digelar untuk menyambut Ramadhan 1445. Acara ini diselenggarakan di pelataran Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Queena Chandra 

Kapolri Jenderal Pol Drs. Listyo Sigit Prabowo bersama Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X secara resmi membuka Pasar Kangen Wiwitan Pasa dengan membunyikan otok-otok, pada Kamis (7/3) di pelataran Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Setelah acara resmi dibuka, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengunjungi stand UMKM yang ada di Pasar Kangen Wiwitan Pasa, pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Penampilan tari Bedana Kipas oleh mahasiswa asal Lampung untuk menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Kapolri Jenderal Pol Drs. Listyo Sigit Prabowo di pelataran Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Penampilan Tarian Jathilan oleh Kudo Tamtomo Polda Daerah Istimewa Yogyakarta ikut memeriahkan pembukaan Wiwitan Pasa, pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa
Tampak salah satu pedagang UMKM di Pasar Kangen Wiwitan Pasa, pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa
Koleksi kaset lawas di tenant barang antik di Pasar Kangen Wiwitan Pasa pada Kamis (7/3). Foto: Himmah/Queena Chandra

Banner “International Women’s Day Mari Kak Rebut Kembali!” di Aksi International Women’s Day

Banner aksi bertuliskan “International Women’s Day Mari Kak Rebut Kembali!” terbentang di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai perayaan Hari Perempuan Internasional (8/3). Aksi International Women’s Day (IWD) diselenggarakan tiap tahunnya dengan mengangkat isu-isu mulai dari stigma terhadap menstruasi hingga perampasan ruang hidup dan peran perempuan. 

Pada tahun ini terdapat lima tuntutan. Pertama, bangun ruang aman dan inklusif di segala sektor tingkatan; Kedua, wujudkan lingkungan kerja tanpa diskriminasi dan kekerasan serta jamin upah layak dan hak-hak pekerja; Ketiga, solidaritas dengan setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan; Keempat, buka seluasnya dan fasilitasi akses informasi atas hak kesehatan seksual dan reproduksi serta ragam gender di berbagai sektor dan tingkatan; Kelima, hentikan perampasan ruang hidup dan perusakan lingkungan. Lima urgensi utama ini mengupayakan agar perempuan dan kelompok minoritas lainnya dapat hidup dengan aman dan nyaman. 

Izhar (22), salah satu massa aksi IWD, mengharapkan aksi ini mampu menambah kepekaan masyarakat terhadap isu perempuan yang ada. Ia berharap aksi ini mampu memberikan dampak positif, yaitu memantik kesadaran masyarakat akan isu-isu perempuan. “Orang-orang makin mulai sadar juga terhadap perempuan dan bagaimana membuat suasana yang nyaman,” ungkapnya kepada awak Himmah. 

International Women’s Day, UU TPKS yang Diabaikan

Himmah Online – Komite International Women’s Day (KIWD) bersama sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi bertajuk “Mari kak kita rebut kembali”. Acara ini digelar dalam rangka Hari Perempuan Internasional. Massa aksi berkumpul di sekitar bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) mulai pukul 11 siang hingga pukul 14 siang pada Jumat (8/3).

Dalam acara ini, massa aksi menuntut lima hak perempuan yang selama ini tak kunjung didapatkan. Salah satu poin yang disorot adalah implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no. 30 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual khususnya di lingkungan perguruan tinggi.

Ika, koordinator media Komite International Women’s Day menjelaskan bahwa UU TPKS yang sudah ditetapkan sejak 9 Mei 2022 belum sepenuhnya sesuai untuk menyelesaikan masalah yang ada di tengah masyarakat. “Tapi sampai hari ini sebetulnya belum ada aturan turunan yang betul-betul sesuai dengan mandatnya Undang-undang TPKS,” jelas Ika.

Agar menjadi Undang-undang yang dapat diimplementasikan secara utuh, perlu ditetapkan beberapa mandat atau aturan turunan sebagai penjelas dan rincian dari Undang-undang tersebut. Namun, hingga saat ini belum ditemukan kejelasan mengenai proses penyelesaian akan aturan-aturan turunan yang melengkapi UU TPKS.

“UU TPKS karena dia sifatnya Undang-undang, dia itu kan hanya bisa jalan kalau ada aturan turunannya. Aturan implementasinya itu kan payungnya. Cuman sampai hari ini betul-betul belum dibuatkan,” tambah Ika.

UU TPKS sendiri terdiri dari tujuh turunan, salah satu turunan UU TPKS yang menjadi sorotan dan tak kunjung direalisasikan adalah turunan UU TPKS yang pertama, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. RPP ini menjadi sangat penting karena menjadi jaminan atas hak-hak, perlindungan, dan pemulihan atas korban.

“Peraturan pemerintah tentang pembiayaan pemulihan korban, terus tentang jaminan yang ada hubungannya, misalnya itu ke siapa, entah itu LPS (red-Lembaga Penjamin Simpanan) atau BPJS yang menjamin. Nah  itu sampai hari ini, sebelumnya betul-betul belum dibuatkan,” tambah Ika.

Efektifitas UU TPKS

Implementasi UU TPKS di lingkungan kampus, belum sepenuhnya terealisasi dengan baik. Albert (19), massa aksi, menyatakan bahwa hal tersebut juga terjadi di UGM.

“Terutama di UGM sendiri ada celah-celah dalam beberapa hal begitu, yang membuat teman-teman perempuan merasa tidak aman dan merasa tidak nyaman untuk belajar dan mengajar di lingkungan kampus,” ujar Albert.

Banyak faktor yang menyebabkan UU TPKS, khususnya di lingkungan kampus, tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Salah satu faktor terbesar yang menyebabkan hal ini terjadi adalah relasi kuasa antara Satuan Tugas dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) dengan orang-orang yang memiliki wewenang besar kampus yang tidak baik.

“Masih ada faktor relasi kuasa karena, gimanapun, satgas PPKS kan institusi. Kalau misalnya dia kemudian berhubungan dengan orang-orang yang secara wilayah kewenangannya besar, misalnya kayak Rektor, Dekan, gitu kalau dari pengamatan (red-masyarakat), ada banyak yang belum terselesaikan,” jelas Ika.

Selain relasi kuasa antar Satgas PPKS dengan pemegang wewenang besar kampus, pengawasan yang ketat terhadap diskriminasi, bullying, dan perhatian kepada kaum minoritas kampus menjadi penentu efektifitas UU TKPS. Hal tersebut turut mendukung terwujudnya lingkungan yang aman di dalam kampus. 

“Harus memastikan bahwa gak boleh ada lagi yang namanya diskriminasi. Gak boleh lagi ada peminggiran, ada bullying, dan lain lain,” tambah Ika.

Ika berharap, dengan adanya aksi ini UU TPKS beserta aturan-aturan turunannya dapat diselesaikan dan segera diselenggarakan sehingga dapat membantu pihak-pihak yang membutuhkan. “Aksi ini bisa jadi desakan publik kepada penyelenggara negara,” pungkas Ika.

Reporter: Himmah/ M. Fazil Habibi Ardiansyah, Tazkiyani Himatussoba, Agil Hafiz, Ayu Salma

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Aksi Kamisan Sesali Keputusan Jokowi atas Pemberian Pangkat Jenderal Bintang Empat kepada Prabowo Subianto

Himmah Online – Aksi Kamisan kembali digelar dengan tajuk “Pemberian Gelar Kebangsa(T)an untuk Jokowi”. Sejumlah mahasiswa berkumpul di kawasan Tugu, Yogyakarta pada Kamis (29/02) mulai pukul 16.13 sore. Dalam aksi ini massa aksi menyuarakan keresahan mereka, salah satunya ialah pemberian pangkat jenderal bintang empat kepada Menteri Pertahanan dan Calon Presiden Prabowo Subianto oleh Presiden Jokowi.

Nela (21), salah satu peserta Kamisan, mengatakan tujuan Kamisan kali ini yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli akan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena pada hakikatnya bentuk pelanggaran HAM bukan hanya penculikan paksa, namun terdapat juga jenis pelanggaran seperti, penembakan, penggusuran, perampasan lahan oleh negara, dan impunitas (pengampunan atas kejahatan yang dilakukan aparat negara). 

“Korban-korban pelanggaran HAM nggak cuma yang penculikan paksa,” ungkap Nela.

Nela berpendapat bahwa pemberian pangkat jenderal bintang empat kepada Prabowo Subianto menjadi permasalahan Jokowi saat ini. Seperti banyak diketahui oleh masyarakat, Prabowo terlibat dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan pelanggaran HAM berat.

“Kita bisa baca di banyak sumber bahwasanya Prabowo terlibat di dalam penculikan aktivis di tahun 1997-1998,” ujar Nela.

Ia juga mempertanyakan komitmen Jokowi ketika ia mencalonkan diri menjadi presiden di tahun 2014 dan 2019. Kala itu, Jokowi mengatakan akan membantu korban HAM. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Jokowi tak segera mengadakan sidang peradilan untuk para pelanggar HAM. 

“Bukanya masalah selesai, malah sepertinya Jokowi ini menginjak-injak perasaan dari keluarga korban pelanggaran HAM,” ungkap Nela.

Aksi ini merupakan sikap kontra terhadap pemerintahan Jokowi yang seharusnya tidak berpihak kepada pelanggar HAM. Nela mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah saat ini. 

“Intinya kita nggak seneng dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah hari ini. Tuntutan kita dari dulu tuh sama, adili pelaku pelanggar HAM,” ujar Nela.  

Melalui pemberian pangkat jenderal bintang empat kepada Prabowo, terjadi pergeseran opini di masyarakat. Di mana sebagian orang semakin membela Prabowo.  

“Sehingga kita bisa membaca orang-orang kemudian semakin gencar membela,” ujar Nela.

Lebih lanjut, mulai banyak orang yang mengungkit bahwa Prabowo diberhentikan secara hormat, bukan dipecat. Dan tidak pernah ada peradilan yang dilakukan sehingga Prabowo tidak terbukti bersalah. 

“Cuma kan masalahnya sekarang kita ngomong, kalau misalnya kasus pelanggaran HAM yang besar yang mana itu melibatkan negara, apa mungkin negara itu akan menyelenggarakan pengadilan HAM untuk penjahat itu? Itu kan nggak mungkin, karena pelakunya adalah negara sendiri.” ungkap Nela.

Melalui aksi ini, Nela berharap pemerintah mau mendengarkan dan mau menaruh perhatian pada apa yang mereka tuntut. 

“Selalu berharap pemerintah pada akhirnya mau menaruh perhatian untuk apa yang menjadi perhatian kita,” pungkas Nela.

Reporter:  Himmah/Ayu Salma Zoraida Kalman, Queena Chandra, Fazil Habibi, Fairuz Tito

Editor: Abraham Kindi

Tak Kunjung Sejahtera, Paguyuban Tridharma PKL Malioboro Teras 2 Adakan Pembagian Bantuan Sosial

Himmah Online – Peringati dua tahun pasca relokasi PKL Malioboro, Paguyuban Tridharma PKL Malioboro Teras Malioboro (TM) 2 mengadakan pembagian bantuan sosial (bansos) serta santunan anak yatim dan disabilitas pada Kamis (29/02). Acara bertajuk “Dari PKL untuk PKL” ini digelar di TM 2, Yogyakarta mulai pukul 9 pagi hingga 12 siang. Aksi ini dimaksudkan untuk memperkuat solidaritas antar PKL Malioboro TM 2 yang masih saja merugi pasca dua tahun relokasi.

Arif (43), ketua paguyuban Tridharma PKL Malioboro TM 2, menyatakan bahwa acara ini bermula dari keprihatinan pengurus paguyuban Tridharma akan nasib anggota PKL Malioboro TM 2 yang tak kunjung sejahtera, bahkan setelah dua tahun relokasi.

“Ini bentuk kepedulian kita sebagai pengurus dari paguyuban (Tridharma) kepada teman-teman anggota,” ungkap Arif.

Ia juga menambahkan, acara ini tidak mengambil iuran dana dari pedagang. Pengurus Paguyuban Tridharma TM 2 menggelar bazar dengan menjual pakaian bekas layak pakai dan boneka. Selain itu, terdapat beberapa donatur yang ikut andil dalam pendanaan bansos tersebut.

“Alhamdulillah, donatur itu mulai dari produsen-produsen yang memang untuk nyetori (red: setor barang dagang) teman-teman anggota pedagang kaki lima. Sedikit dari BSI juga ada,” ujar Arif.

Bansos dilakukan dengan sistem tebus murah. Kupon dibagikan kepada seluruh PKL Malioboro TM 2. Para pedagang akan membawa kupon tersebut ke pos yang berada di teras lapak, kemudian ditukarkan dengan 2 kg beras, 2 lt minyak goreng, 1 kg gula, dan 2 bungkus mie instan.

“Sebenarnya kalau memang hasil dari bazar yang kita lakukan itu bisa mencukupi, anggota nggak harus membayar. Tapi ternyata jauh dari kata cukup. Makanya kita adakan tebus murah dengan nominal 75 ribu itu cuma ditebus seharga 45 ribu,” jelas Arif.

Salah satu pedagang yang terdampak relokasi adalah Sulastri (53). Dulu, di Selasar Malioboro, Ia dan suaminya menjual barang kerajinan seperti tas, blangkon, dan surjan. Pasca relokasi, Sulastri menempati lorong L-M di bagian belakang, berdekatan dengan lokasi kamar mandi. Karena sepi pembeli, ia beralih usaha dengan berkeliling menjajakan air mineral. “Keliling di lapak ini (lapak TM 2). Yang beli teman-teman (pedagang) saja,” ujar Sulastri.

Sulastri merasa bahwa kegiatan ini sangat membantu para pedagang yang terdampak relokasi. “Kalau bisa dilanjutkan aja. Ini kan kemarin dari PKL untuk PKL juga,” pungkas Sulastri.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Fairuz Tito

Editor: Fazil Habibi

Kabar dari Kaliurang Km 14,5: Ombak Kecil untuk Gelombang Besar

Tulisan ini menjadi pertanda bahwa redaksi himmahonline.id yang bernaung di bawah Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH UII periode 2022/2023 telah mentas. Berakhirnya Musyawarah Anggota pada tanggal 23 Januari 2024 menjadi waktu kami untuk pamit.

Setelah hampir sebelas bulan menjadi penjaga gawang produk jurnalistik di LPM HIMMAH UII, tulisan ini menjadi penutup untuk kerja-kerja kami.

Konsistensi pengunggahan produk yang telah dibangun pada periode sebelumnya coba kami pertahankan di periode ini. Pada awal periode, dengan memperhatikan sumber daya manusia yang ada, kami menyepakati dua unggahan produk jurnalistik tiap pekan yang tersebar pada rubrik Berita, Reportase, Lensa, dan infografik yang diunggah pada laman media sosial HIMMAH. Totalnya, kami memiliki target untuk mengunggah 88 produk jurnalistik.

Pada praktiknya, kami hanya mampu memproduksi sebanyak 56 produk. Jumlahnya bertambah menjadi 59 produk setelah tiga produk terakhir diunggah selepas Musyawarah Anggota berakhir.

Produk-produk jurnalistik yang dihasilkan bukan hanya berasal dari awak redaksi, melainkan keseluruhan pengurus HIMMAH dan magang. Sebanyak 19 dari 27 pengurus ikut berpartisipasi dalam memproduksi konten jurnalistik. Untuk magang, 19 dari 33 orang ikut memberikan kontribusi.

Tidak hanya fokus dalam produksi konten jurnalistik, kami juga berupaya untuk senantiasa mengembangkan laman himmahonline.id.

Upaya kecil yang kami lakukan adalah melakukan pemisahan untuk alih media arsip pada laman Refleksi. Setelah sebelumnya pengunggahan alih media dikategorikan berdasarkan media asli naskah terkait, kami mencoba memisahkan sub-rubrik tersebut agar pembaca lebih mudah dalam mengakses naskah yang telah dialih-media. Meski begitu, penggantian kategori pada alih media yang ada belum sempat dilakukan sehingga sub-rubrik ini masih kosong.

Selain itu, perhatian untuk arsip HIMMAH yang ada masih dipertahankan hingga saat ini. Kami melakukan digitalisasi pada 4 arsip dan alih media untuk 7 naskah yang tersebar pada rubrik Arsip.

Tidak banyak tulisan panjang yang dapat kami unggah pada periode ini–dua tulisan panjang. Di antaranya “Waktu Persiapan Mepet, Panitia Kepepet” dan “Persepsi Mahasiswa Mengenai Kekerasan Seksual dan Kinerja Satgas PPKS UII”.

Jurnalisme data juga masih bisa bernapas di periode ini. Terdapat empat naskah yang menggunakan visualisasi data untuk penyajian data yang ada dalam naskah. Empat di antaranya “21 Tahun CATAHU, Angka Kekerasan Berbasis Gender Masih Tinggi”, “Persepsi Mahasiswa Mengenai Kekerasan Seksual dan Kinerja Satgas PPKS UII”, “Catatan Cacat Kelola Pertanian di Indonesia”, dan “Generasi Sandwich dan Bonus Demografi, Apa Hubungannya?

Meski belum terlihat, jurnalisme sastrawi pun bisa ditemukan pada draf tulisan panjang kami yang belum bisa diunggah pada periode ini.

Kami cukup membatasi penerimaan dan pengunggahan karya oleh kontributor. Terlepas dari sumber daya manusia yang kurang memadai, tidak sedikit naskah dari internal HIMMAH yang perlu perhatian lebih. Sebanyak 4 karya pada rubrik Analisis dan 4 tulisan pada rubrik Ruang telah kami unggah. Satu ilustrasi tunggal juga diunggah pada kategori Ilustrasi.

Tidak banyak yang dihidupkan lagi pada periode ini karena “penghidupan kembali” beberapa rubrik dan kebiasaan HIMMAH baru dimulai di periode sebelumnya. Redaksi saat ini coba menelatenkan dan mempertahankan agar hal itu tidak putus di tengah jalan. Meski sedikit, setidaknya beberapa di antaranya masih bisa dijaga keberlangsungannya.

Menjelang akhir periode, salah satu artikel kami yang berjudul “Waktu Persiapan Mepet, Panitia Kepepet”, mendapat respons berupa hak jawab oleh pihak yang namanya disebut dalam naskah. Kami segera mengunggah klarifikasi untuk melayani hak jawab. Sengketa dalam tulisan tersebut pun kini sudah selesai dan hal ini kami jadikan pembelajaran agar tidak terulang lagi pada waktu yang akan datang.

Sampai berakhirnya periode ini, masih ada segudang pekerjaan rumah yang berakhir tidak diselesaikan. Selain itu, masih banyak angan-angan yang tidak sempat kami laksanakan hingga berakhir menjadi beban tambahan untuk periode yang akan datang.

Kami yakin di tengah pesatnya kemajuan teknologi saat ini dan cepatnya pergantian minat pembaca, masih ada ruang untuk berkembang bagi kami, terutama untuk orang-orang yang nantinya akan menerima tongkat estafet ini. Meski tidak memberikan banyak dampak berarti, kami yakin bahwa periode ini merupakan ombak kecil untuk penghubung antar gelombang besar.

Terakhir, kami mengucapkan banyak terima kasih pada pembaca yang mampu menerima produk-produk kami dan senantiasa memberikan kesempatan agar kami tidak berhenti di tempat. Permintaan maaf juga kami sampaikan untuk pembaca himmahonline.id karena kami belum mampu mempertahankan konsistensi kuantitas dan kualitas dari produk yang kami hasilkan.

Kepada para pembaca, kami pamit undur diri. Sampai jumpa di periode depan. Tabik!

Redaksi HIMMAH 2022/2023

Tanda Tangan Petisi Memenuhi Baliho Pernyataan Sikap Civitas Academica UII

Baliho pernyataan sikap civitas academica Universitas Islam Indonesia (UII) tampak penuh tanda tangan setelah dibuka langsung dan ditandatangani oleh Fathul Wahid, Rektor UII (5/2). Baliho diletakkan di depan Auditorium K.H. Abdul Kahar Muzakkir UII. Tertulis dalam unggahan akun instagram @uiiyogyakarta, tanda tangan pada baliho merupakan satu bentuk partisipasi untuk mendesak pemerintah demi menyelamatkan sistem hukum dan demokrasi Indonesia. Taufik (23), mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII, mengaku tertarik untuk ikut andil dalam gerakan ini. Ia menyampaikan, tanda tangan ini sudah dapat mewakili keresahan masyarakat Indonesia, khususnya pribadinya, yaitu “Tidak adanya keadilan pada pemimpin kita karena memihak yang tidak adil,” terangnya pada awak Himmah.

Pasca Petisi Bulaksumur, UII Layangkan “Indonesia Darurat Kenegarawanan”

Pasca Petisi Bulak Sumur Universitas Gadjah Mada, civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar aksi pernyataan sikap untuk menanggapi berbagai problematika menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Aksi bertajuk “Indonesia Darurat Kenegarawanan” ini dilangsungkan di pelataran auditorium Abdul Kahar Muzakir, kampus terpadu UII, Yogyakarta pada Kamis (1/02). 

Dalam acara tersebut, Fathul Wahid selaku Rektor UII, menyampaikan pernyataan sikap UII dengan tegas.  Pernyataan ini merupakan bentuk kepedulian UII dalam merespon praktek berbangsa dan bernegara.

“Pernyataan sikap ini sama sekali tidak partisan, ini adalah betul-betul murni seruan moral anak bangsa yang tersadarkan. Bahwa, negara Indonesia masih mempunyai daftar pekerjaan rumah yang sangat-sangat panjang,” ujar Fathul 

Dalam wawancara selepas sesi pembacaan sikap civitas akademika UII, Fathul mengungkapkan permohonan kepada seluruh pejabat negara yang menjadi tim sukses dan juru kampanye pasangan calon tertentu yang memiliki akses terhadap sumber daya negara untuk mengundurkan diri.

“Karena itu akan menjamin netralitas dan tidak ada penyalahgunaan sumberdaya negara untuk kepentingan politik praktis golongan tertentu,” ungkap Fathul.

Selain itu, Fathul menyinggung bahwa presiden perlu menjadi contoh yang baik dengan menunjukkan sisi etika yang baik, tidak memihak, dan harus menjaga kenetralannya di tengah panasnya suasana politik saat ini. 

Tak hanya dari rektorat, sejumlah mahasiswa turut andil dalam memberikan respon dan tanggapan akan sikap UII dalam menanggapi berbagai problematika menjelang pemilu 2024.  

Ghozi (22), salah satu anggota komisi I Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII turut hadir dalam acara tersebut. Menurutnya, pernyataan sikap ini merupakan bentuk sikap dan keprihatinan dari UII dan seluruh civitas akademiknya dalam menghadapi situasi politik saat ini. ”Sehingga ini dari kami, ini adalah sikap kolektif dari kita. (Kami) satu suara terkait hal ini,” ujar Ghozi.

Ghozi menambahkan, UII telah berupaya dengan mengkaji dan melihat keadaan yang nyatanya telah menyimpang dari nilai-nilai pancasila dan prinsip demokrasi. “Baik atau tidak, kita kan kembalinya secara objektif melihat dari berbagai sisi,” ungkap Ghozi.

Bagi Afif (20), mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, pernyataan sikap UII dapat menghadirkan nilai-nilai moral yang muncul dari keresahan masyarakat Indonesia saat ini.

“Kalau kita lihat di sosial media banyak banget penghinaan demokrasi (dan) pengrusakan demokrasi oleh instrumen negara, presiden, yang menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan kekuasaan melewati putranya” ujar Afif

Menurut Afif,  tuntutan yang dibacakan oleh Rektor UII dalam acara pernyataan civitas akademik UII sudah cukup kompleks dan menyeluruh. Selain itu, poin-poin tersebut telah mampu menyuarakan  keresahan masyarakat Indonesia. 

Ghozi menambahkan, bahwa sikap tersebut sudah tegas dan jelas “dan ini apa yang ingin kami sampaikan dan menjadi sikap kami bersama,” pungkas Ghozi.


Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Magang Himmah/Giffara Fayza, Fairuz Tito, Subulus Salam, Saiful Bahri

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Pernyataan Sikap Civitas UII atas Pudarnya Kenegarawanan Presiden Joko Widodo

Himmah OnlineCivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan pertemuan dengan tajuk “Indonesia Darurat Kenegarawanan” pada Kamis (1/02). Mulai pukul 1 siang, segenap jajaran rektorat dan beberapa mahasiswa berkumpul di selasar auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir kampus terpadu UII untuk menyuarakan pernyataan sikap sebagai bentuk kepedulian mereka akan bangsa Indonesia.

Rektor UII, Fathul Wahid, menjadi pembicara pembuka dalam forum tersebut. Ia menyampaikan bahwa kepedulian UII akan bangsa bukan hanya dimulai hari ini saja. Sejak dulu, UII selalu merespon perkembangan praktik kebangsaan dan kenegaraan. Pendiri UII juga merupakan pendiri bangsa Indonesia sehingga mustahil bagi UII untuk berkhianat pada Indonesia. 

“Pernyataan sikap ini sama sekali tidak partisan. Ini adalah betul-betul murni seruan moral anak bangsa yang tersadarkan bahwa bangsa Indonesia, negara Indonesia masih mempunyai daftar pekerjaan rumah yang sangat panjang,” ujar Fathul.

Pernyataan sikap ini juga didorong atas gejala pudarnya sifat kenegarawanan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa indikator yang disampaikan, yaitu pencalonan Gibran Rakabuming Raka melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU/XXI/2023. 

“Putusan yang proses pengambilannya sarat dengan intervensi politik dan dinyatakan terbukti melanggar etika hingga menyebabkan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Anwar Usman diberhentikan,” ucap Fathul.

Selain proses naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden, Fathul juga menyorot ketidaknetralan institusi kepresidenan yang memperbolehkan presiden untuk memihak dan berkampanye.

Bantuan sosial (Bansos) berupa pembagian beras dan bantuan langsung tunai yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pun ditengarai sarat akan nuansa politik praktis. Pembagian bansos tersebut diduga merupakan penguatan dukungan terhadap calon presiden dan wakil presiden tertentu. 

“Mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi,” lanjut Fathul.

Oleh karena itu, civitas akademika UII menyerukan enam pernyataan sikap, yaitu mendesak Presiden Jokowi agar kembali menjadi teladan dalam etika dan praktek kenegarawanan. Presiden Jokowi diharapkan dapat menjadi pemimpin dari semua golongan, bukan hanya kelompok tertentu saja.

Kedua, menuntut Presiden Jokowi beserta seluruh aparatur negara untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak menggunakan sumber daya negara demi kepentingan politik praktis.

Ketiga, menyeru Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah untuk melakukan fungsi pengawasannya demi memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum.

Keempat, mendorong calon presiden, calon wakil presiden, menteri, dan kepala daerah yang menjadi juru kampanye pasangan calon tertentu untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Kelima, mengajak masyarakat untuk terlibat dan memastikan pemilihan umum berjalan secara jujur dan aman. Terakhir, meminta seluruh elemen bangsa untuk merawat cita-cita kemerdekaan melalui terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.

Pernyataan sikap tersebut berakhir dengan iringan doa yang dipimpin langsung oleh Fathul Wahid. “Ya Allah, jangan Engkau kuasakan kepada kami, karena dosa-dosa kami, mereka yang tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami,” pungkas Fathul.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Magang Himmah/Giffara Fayza, Fairuz Tito, Subulus Salam, Saiful Bahri

Editor: Jihan Nabilah

Persepsi Mahasiswa Mengenai Kekerasan Seksual dan Kinerja Satgas PPKS UII

Himmah Online membuat survei seputar kekerasan seksual dan Satgas PPKS UII. Survei ini merupakan upaya untuk meninjau persepsi mahasiswa terhadap kekerasan seksual dan seberapa efektif Satgas PPKS UII dalam menjalankan tugasnya.


Kasus kekerasan seksual masih saja menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Institusi pendidikan sekelas pendidikan tinggi pun masih menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, akhirnya dihadirkan dengan membawa secercah harapan akan tuntasnya permasalahan tersebut.

Setiap tahun, mahasiswa baru datang untuk menempuh studi lanjut dengan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Kampus menjadi tempat pertemuan para pelajar dari berbagai daerah dengan satu tujuan sehingga kampus dianggap sebagai mediator yang baik untuk menimba ilmu, mencari pengalaman, dan membangun relasi demi masa depan kehidupan yang lebih cerah.

Niat baik tersebut sering terancam oleh kejadian tak terduga, terutama kekerasan seksual. Tempat yang seharusnya dihormati sebagai lembaga untuk menciptakan generasi unggul ini seringkali menjadi tempat tindakan tidak bertanggung jawab. Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan lain sebagainya.

Masalah menjadi kian rumit karena posisi sebagai korban membuat seseorang cenderung memilih untuk diam. Lebih sering, pelaporan adanya kasus dilakukan oleh pihak lain, seperti rekan atau orang tua korban.

Metodologi

Survei ini diadakan mulai tanggal 30 Oktober hingga 11 November 2023 dengan melibatkan 190 responden yang merupakan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, baik pada jenjang pendidikan S1, D3, maupun D4, angkatan 2019-2023. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner online yang dibagikan secara mandiri oleh Himmah Online. Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan tingkat margin of error sebesar 7,08 persen.

Profil Responden

Survei ini melibatkan partisipasi mahasiswa laki-laki dan perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 28 tahun. Mayoritas dari seluruh responden berada dalam kelompok usia 19 hingga 23 tahun. 

Responden mahasiswa juga menempuh studi di berbagai fakultas. Mayoritas responden berada di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (30,00 persen) disusul oleh Fakultas Ilmu Agama Islam (17,37 persen), dan dari Fakultas Bisnis dan Ekonomika (14,74 persen).

Partisipasi responden mahasiswa didominasi dari angkatan tahun 2020 hingga 2022. Sekitar 48,95 persen dari kelompok mahasiswa yang masuk pada tahun 2021 menjadi mayoritas dalam survei ini.

Kekerasan Seksual Dapat Bersifat Verbal Maupun Non Verbal

Ketika diajukan pertanyaan mengenai kekerasan seksual, seluruh mahasiswa mengakui memahami sepenuhnya. Mereka kemudian mulai menjelaskan berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti tindakan pemerkosaan, pelecehan, catcalling, dan berbagai bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal yang merugikan. Respon khusus datang dari seorang responden, seperti komentar ini:

“Kekerasan seksual verbal (melibatkan komentar, lelucon, atau ucapan yang merendahkan, merendahkan, bahkan cabul) dan nonverbal atau fisik (melibatkan tindakan fisik yang tidak diinginkan dan memaksa korban secara fisik)” 

Terdapat juga pandangan dari mahasiswa lain yang menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi baik secara fisik maupun non-fisik. Dia mengungkapkan pendapatnya, seperti komentar ini:

“Tindakan diskriminatif yang mengarah kepada hal-hal tidak senonoh, baik itu dilakukan secara oral maupun physical. Contoh kekerasan seksual secara oral, yaitu catcalling, mengatakan hal-hal diskriminatif terkait seksual. Contoh kekerasan seksual secara fisik seperti melakukan kontak langsung dengan korban terkait aksi-aksi kekerasan seksual”.

Lingkungan dan Kegiatan yang Rawan Terjadi Kekerasan Seksual

Dari survei ini, kita dapat melihat bahwa responden merasa peluang terjadinya kekerasan seksual cenderung lebih tinggi di lingkungan luar kampus dibandingkan dengan lingkungan dalam kampus. Kemudian, mereka memberikan tiga tempat dengan persepsi risiko tertinggi terhadap kekerasan seksual, di antaranya tempat/fasilitas umum (25,80 persen), tempat hiburan (25,62 persen) dan jalan (20,46 persen). 

Kegiatan Kampus yang Membuat Merasa Tidak Aman dari Kekerasan Seksual

Mayoritas responden (75,26 persen) merasa aman dari kekerasan seksual yang terkait dengan kegiatan atau budaya di kampus. Meski begitu, ada seperempat responden yang masih merasa tidak aman dari kekerasan seksual ketika berkegiatan di kampus. Kegiatan yang membuat mereka merasa tidak aman dari kekerasan seksual, di antaranya makrab, kuliah kerja nyata (KKN), orientasi studi pengenalan kampus (ospek), dan konser. 

Responden menyatakan terdapat kebiasaan catcalling di lingkungan kampus yang membuat mereka objek sasaran merasa tidak nyaman, seperti komentar ini:

“Masih maraknya catcalling, saya rasa catcalling masih sering dianggap sebagai ‘basa-basi’ atau hal yang lumrah di lingkungan kampus”.

Senada dengan pandangan mahasiswa tersebut, responden lainnya mengungkapkan candaan berbau seksual sebagai budaya kampus membuatnya merasa tidak aman dari kekerasan seksual, seperti komentar ini:

“Lelucon yang mengandung unsur seksual seperti ‘yang pria saja, wanita tak perlu tahu,’. Sebenarnya kami sebagai perempuan memahami maknanya dari konteks pembicaraan yang terkait dengan seksualitas”.

Ketika ditanyakan tentang jenis kekerasan seksual yang paling mungkin dialami di civitas akademik UII, hasil survei menunjukkan berbagai persepsi. Candaan berbau seksual menjadi sorotan utama dengan persentase tertinggi (28,80 persen), disusul kekerasan dalam hubungan pacaran (20,14 persen), dan kekerasan verbal (15,90 persen).

Dapat diketahui juga, mayoritas responden menganggap kasus kekerasan seksual sangat mempengaruhi performa akademik korban.

Tindakan Saksi/Korban/Penerima Informasi Kasus Kekerasan Seksual

Kami juga menanyakan apakah responden memiliki pengetahuan atau pengalaman terkait kekerasan seksual. Sebanyak 72 responden mengakui bahwa mereka tahu atau pernah menjadi saksi, korban, atau menerima informasi mengenai kekerasan seksual. Sementara 118 responden lainnya menyatakan tidak memiliki pengalaman tersebut.

Sebanyak 72 responden yang pernah terlibat, 20 di antaranya telah melakukan pelaporan. Sementara 51 responden lain memilih untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Satu responden memilih untuk tidak menjawab pertanyaan.

Responden memilih berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar kampus, sebagai tempat pelaporan, sumber dukungan, dan bantuan terkait kasus kekerasan seksual. Di dalam kampus, bimbingan konseling UII menjadi lembaga yang dihubungi oleh sebagian responden (20,00 persen). Satgas PPKS UII, yang dibentuk oleh kampus untuk menangani kasus kekerasan seksual, menjadi lembaga yang dihubungi oleh 17,14 persen responden. 

Sementara sebagian responden yang tidak pernah menghubungi lembaga terkait dengan kekerasan seksual memberikan berbagai alasan, paling umum, yaitu tidak memiliki bukti yang cukup (18,32 persen).

Kemungkinan Intervensi pada Kasus Kekerasan Seksual

Mayoritas responden (55,79 persen) menunjukkan kesiapan yang tinggi untuk memberikan bantuan dan melakukan intervensi jika teman mereka mengalami kekerasan seksual. Dengan skor yang sama, sejumlah besar responden (45,26 persen) juga menunjukkan kesiapan yang tinggi untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. 

Survei ini mencerminkan adanya tingkat kesediaan dan kesiapan sosial dalam membantu teman yang mengalami kekerasan seksual, dengan mayoritas responden menunjukkan sikap yang sangat positif dan siap untuk memberikan dukungan kepada korban.

Keterlibatan Pihak Kampus Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Melalui survei ini juga ditanyakan, sejauh mana pengetahuan responden terkait ketersediaan dukungan psikologis dari pihak kampus untuk mereka yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Sebanyak 100 responden mengetahui adanya bantuan psikologis terhadap korban atau saksi kekerasan seksual dari pihak kampus.

Namun, hanya sedikit responden (25,79 persen) yang menyatakan mereka mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pihak kampus. Ini menunjukkan tingkat kesadaran dan informasi yang terbatas terkait prosedur dan tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak kampus setelah menerima laporan kekerasan seksual.

Kemudian, responden ditanyai mengenai hukuman yang pantas diberikan oleh pihak kampus kepada pelaku kekerasan seksual. Mayoritas responden mengajukan agar pelaku dikeluarkan dari kampus. Senada dengan hal tersebut, responden menganggap keberadaan pelaku akan menyulitkan korban, seperti komentar ini:

Drop Out, keberadaan predator seksual yang bebas berkeliaran di sekitar korban akan memberikan kesulitan yang besar bagi korban”.

Tak hanya itu, berbagai hukuman lainnya diajukan oleh responden sesuai dengan status pelaku kekerasan seksual tersebut, seperti komentar ini:

“Dikeluarkan dari lingkungan kampus apabila pelaku merupakan mahasiswa. Jika pelaku adalah tenaga kependidikan, pegawai, atau staf kampus, mereka harus dipecat. Tindakan tersebut merupakan bentuk hukuman yang sesuai karena tanpa hukuman yang tegas, efek jera tidak akan tercapai. Jika perlu, sebaiknya disertakan dengan hukuman penjara yang dijatuhkan hingga seumur hidup. (Maaf jika ada ungkapan yang terdengar kurang pantas, agak terbawa suasana, hehe)”.

Keterlibatan Organisasi Kemahasiswaan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Kami memberikan sejumlah pertanyaan terkait keterlibatan organisasi kemahasiswaan dalam menangani kekerasan seksual. Hasil survei menunjukkan tingginya dukungan dari responden terhadap peran organisasi kemahasiswaan dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Mayoritas responden (94,74 persen) mendukung organisasi kemahasiswaan, termasuk DPM, LEM, LK, HMJ, dan UKM, dalam menangani kekerasan seksual. Sebanyak 70,00 persen mendukung pembentukan hukuman bagi anggota yang menjadi pelaku kekerasan seksual dan sekitar 76,84 persen mendukung mekanisme bantuan bagi anggota yang menjadi korban kekerasan seksual.

Lebih lanjut, mayoritas responden merasa pihak kampus memiliki tingkat kepedulian yang signifikan terhadap kasus kekerasan seksual. Namun, masih ada sebagian kecil dari mereka yang merasa kepedulian tersebut kurang optimal.

Peningkatan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memicu pemerintah untuk menerbitkan Permendikbud Nomor  30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini mendorong seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPKS). 

Universitas Islam Indonesia merespons permendikbud tersebut dengan melantik tujuh anggota Satgas PPKS periode 2023-2025 pada 31 Maret 2023. Tim Satgas PPKS UII terdiri dari dua dosen, dua tenaga kependidikan, dan tiga mahasiswa.

Tingkat Pengetahuan Terkait Permendikbud Nomor  30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Survei menunjukkan sekitar 62,63 persen responden menyatakan bahwa mereka mengetahui atau pernah mendengar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Sementara sekitar 37,37 persen responden mengaku tidak mengetahuinya. Dari total seluruh responden yang tahu, mayoritas (70,59 persen) sangat mendukung Permendikbud tersebut.

Tingkat Pengetahuan Terkait Satgas PPKS UII

Separuh responden (96) menyatakan bahwa mereka tahu atau pernah mendengar tentang Satgas PPKS UII. Mayoritas dari mereka mengetahui Satgas PPKS UII dari Instagram, teman, dan email. 

Saat kuesioner ini disebarkan, Satgas PPKS UII juga melakukan survei “Upaya Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di UII” pada tanggal 1 November 2023, yang dikirim melalui email blast UII. Dengan batas waktu pengisian survei selama 15 hari.

Ketika diminta mendeskripsikan Satgas PPKS, mayoritas responden yang tahu menjawab Satgas PPKS adalah satuan yang bertugas dalam ranah pencegahan dan penangan kekerasan seksual. Sebanyak 17 responden menyatakan mereka hanya sekadar tahu.

Survei ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran responden terhadap keberadaan Satgas PPKS UII. Kampus perlu menyampaikan informasi yang lebih komprehensif tentang Satgas PPKS. Pemahaman yang mendalam terkait peran dan fungsi Satgas PPKS UII dapat berkontribusi pada peningkatan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat kampus terkait isu-isu yang diatasi oleh Satgas PPKS UII.

Kontribusi Satgas PPKS UII Dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual

Hanya sedikit responden (8,33 persen) yang mengaku pernah terlibat sebagai korban, saksi, atau pelapor kejadian kekerasan seksual dan telah menghubungi Satgas PPKS UII. Sebaliknya, sekitar 88,54 persen responden tidak pernah terlibat dalam peran tersebut dan tidak menghubungi Satgas PPKS UII.

Pada pertanyaan selanjutnya, sekitar 59,38 persen responden beranggapan bahwa Satgas PPKS UII memberikan dampak yang besar dalam menangani kasus kekerasan seksual. Namun, dalam hal pemberian edukasi mengenai kekerasan seksual, Satgas PPKS UII dirasa belum efektif.

Sejumlah besar responden, yakni sekitar 37,50 persen, memilih pelaksanaan kelas wajib sebagai metode edukasi terbaik dalam upaya pencegahan kekerasan seksual yang dapat diadakan oleh Satgas PPKS UII. Disusul seminar (19,79 persen) dan video/animasi (16,67 persen).

Profil responden dari berbagai fakultas dan angkatan dalam survei ini menambah keberagaman perspektif terkait kekerasan seksual di lingkungan akademik UII. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pemahaman yang baik tentang kekerasan seksual dan bersikap positif dalam memberikan dukungan kepada korban. 

Tim Survei: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Nurhayati, R. Aria Chandra Prakosa, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Zalsa Satyo Putri Utomo, Magang Himmah/Septi Afifah

Narasi: Himmah/Nurhayati dan R. Aria Chandra Prakosa 

Visualisasi Data: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri dan Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Jihan Nabilah