Fenomena FOMO atau Fear of Missing Out merupakan ketakutan tertinggal informasi atau momen yang terlihat di sosial media. Menurut studi tahun 2013 yang terbit dalam jurnal Computer in Human Behavior, masyarakat yang memiliki tingkat FOMO yang tinggi akan merasa kurang terhubung dengan kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut dapat terlihat ketika melihat unggahan seseorang di sosial media akan membuat orang-orang yang dalam kondisi ini jadi mempertanyakan kemampuan diri sendiri dan hidupnya. Mereka percaya bahwa pengalaman, kesuksesan, dan kebahagiaan menarik orang lain yang tidak dimiliki akan membuat hidup mereka jadi lebih menyedihkan. Jadi hal tersebut dapat mempengaruhi cara pandang mereka mengenai kehidupan yang ideal.
Penelitian yang dilakukan oleh JWTIntelligence, menunjukkan bahwa sebanyak 40% pengguna Internet di dunia mengalami masalah ini dan cenderung besar terjadi pada kalangan remaja dan dewasa awal seperti mahasiswa. Mahasiswa yang berusia 18-25 tahun adalah kelompok yang sedang mengalami dinamika psikologis.
Gezgin dalam jurnalnya, menjelaskan bahwa individu yang mengidap FOMO memiliki durasi 5-7 jam ke atas dalam mengakses media sosial. Mahasiswa tersebut ingin tahu kegiatan teman-temannya di media sosial, karena pengidap FOMO memiliki perasaan ketakutan ketika kehilangan momen berharga.
Terdapat tiga indikator FOMO, yaitu ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan. Rasa takut mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik.
FOMO yang berkepanjangan membuat seseorang merasa stres, insecure atas pencapaian diri sendiri, mengganggu produktivitas, mempengaruhi kebiasaan tidur, dan bahkan sampai bertindak impulsif hanya untuk merasakan bahwa dirinya tidak tertinggal dari orang lain.
Mengutip dari Kementrian Kesehatan, terdapat beberapa cara untuk mengelola FOMO dengan tepat. Mulai dari fokus pada diri sendiri, membatasi penggunaan media sosial dan gadget, mencari koneksi nyata, dan menghargai diri sendiri.
*Naskah “Ambisi Israel di Timur Tengah” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 01 /Thn. XV/1981 halaman 54. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk melihat upaya Israel menguasai Timur Tengah. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.
Salah satu keberhasilan politik Imperialisme Barat di Timur Tengah adalah pencaplokkan tanah-tanah milik bangsa Arab oleh orang-orang Yahudi, dan berdirinya negara Israel pada tahun 1948, yang didukung oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Belanda, dan negara-negara lainnya.
Sejak kepemimpinan Perdana Menteri dan Presidennya yang pertama, David Ben Gurion dan Dr. Chaim Weizmann sampai sekarang, Israel terus menerus, baik secara terselubung maupun terang-terangan, berusaha keras untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan jalan merampas dan menduduki wilayah-wilayah bangsa Arab.
Peperangan antara Arab-Israel tidak tidak dapat dibendung. Di antaranya pada konfrontasi militer antara kedua negara pada tahun 1956, pasukan Israel berhasil menduduki wilayah jalur Gaza. Dan pada tahun 1967 meletus lagi enam hari, yang secara gemilang Israel berhasil merampas tanah-tanah Arab yang sangat luas. Sehingga Israel bertambah lebih dari 300%, seperti gurun Sinai milik Mesir, tetapi barat sungai Yordan milik Yordania, dan jalur Gaza milik Suriah.
Para pemimpin Arab secara intensif dan amat rahasia berunding menyusun strategi baru untuk mengadakan serangan militer besar-besaran terhadap Israel, dalam rangka memulihkan citra dan nama baik bangsa Arab untuk menebus kekalahan perang 1967. Maka meletuslah perang Arab-Israel pada tahun 1973, yang terkenal dengan “Perang Badr Modern”, menurut versi Mesir. Perang “Yom Kippur”, menurut versi Israel. Dan “Perang Oktober”, menurut versi Amerika Serikat.
Kalau saja Amerika Serikat tidak mensuplai dengan segera senjata-senjata mutakhirnya kepada Israel, maka negara Yahudi itu akan berbalik pada kondisi sebelum tahun 1948. Kendatipun demikian, dapatlah dikatakan bahwa secara moral-psikologis kemenangan ada di tangan pasukan Arab, dan mereka telah memulihkan kembali nama baik bangsa Arab di forum dunia internasional.
Kekuatan yang Berubah
Israel merupakan negara kecil di Timur Tengah, yang dikelilingi oleh negara-negara Arab front depan, seperti Libanon dan Suriah di sebelah Utara dan Mesir serta Yordania di sektor barat dan timur, yang semuanya itu merupakan musuh-musuh tradisionalnya.
Tetapi setelah diadakannya Perjanjian Perdamaian Camp David, tanggal 5-7 September 1978, Israel telah menarik Mesir menjadi kawannya, yang semula merupakan musuh utamanya yang paling kuat dan salah satu negara Arab yang memiliki potensi manusia, politik dan militer yang besar. Hal ini patut kita catat karena sepertinya Israel setahap telah berhasil mencapai sasaran strategisnya; dan mengurangi beban politik dan militernya di Timur Tengah khususnya, dan di forum internasional secara keseluruhan.
Sebelum ditandatanganinya Perjanjian Camp David tersebut, Mesir menempatkan pasukan-pasukan tempurnya di front depan yang berbatasan langsung dengan Israel. Angkatan Bersenjatanya selalu dalam keadaan siap tempur dan kewaspadaan yang tinggi, kalau sewaktu-waktu Israel secara mendadak menggempur dan mencaplok lagi wilayah Mesir yang mudah terjangkau oleh gempuran eskadron-eskadron Israel dan pemboman skuadron-skuadron tempurnya. Begitu juga Israel terus mendeteksi gerak langkah pasukan Mesir dengan Instalasi Radarnya yang paling mutakhir yang berpangkal di gunung Umm Hashiba berketinggian 2500 kaki. Dengan radarnya yang ultra modern itu, Israel dapat mengetahui setiap serangan yang akan dilakukan oleh musuh, sehingga Angkatan Bersenjata Israel dapat sedini mungkin menyerang musuh terlebih dahulu.
Masjidil Aqsa sebelum diduduki secara paksa dan tidak sah oleh Israel jamaahnya sampai membludak ke halaman masjid. Sekarang konon jadi tempat berdansa. Sumber: Pelita Himmah
Oleh karena itu dengan adanya Perjanjian Perdamaian Camp David, maka antara Israel dan Mesir secara kontemporer tidak akan terjadi lagi konfrontasi militer frontal, kendatipun tidak dapat dikesampingkan adanya konfrontasi politis yang terselubung di antara kedua negara tersebut.
Dengan demikian pasukan Mesir yang semula ditempatkan di daerah perbatasan dengan Israel, dapat ditarik ke wilayah front barat yang berbatasan langsung dengan beruang Afrika, Libia yang dianggap oleh Anwar Sadat sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Mesir. Karena ambisi politik Muammar Khadafi ingin menyatukan Libya dengan Mesir dalam satu kesatuan politik dan militer yang utuh. Tetapi gagasan Khadafy ini ditolak mentah-mentah oleh Sadat.
Dengan sikap Politik Mesir yang kaku dan mengundang kecaman pedas dari sahabat-sahabatnya bangsa Arab, maka kekuatan politik dan militer di Timur Tengah telah berubah secara tajam. Dan ini menuntut kepada negara-negara Arab untuk menyusun kembali dari nol strategi perjuangan baru melawan Israel. Sudah barang tentu langkah inipun mengundang perpecahan yang kronis di dalam tubuh bangsa Arab. Kalau konfrontasi militer dan rivalitas politik di antara para pemimpin negara Arab terus memuncak dan menajam, maka ini berarti mempercepat penghancuran dunia Arab itu sendiri; dan mempercepat bagi terwujudnya sasaran strategi politik nasional Israel di Timur Tengah.
Langkah Israel
Bagi Pemerintah Israel sudah cukup merasa lega dengan adanya ikatan perdamaian dengan Mesir, karena berarti beban politik dan militer sedikit berkurang. Dan seperti telah disinggung di atas bahwa ini pun berarti selangkah lebih maju bagi terealisasinya sasaran strateginya di Timur Tengah untuk memecah belah dan menghancurkan bangsa Arab.
Kini konsentrasi militer secara khusus tidak ditujukan terhadap Mesir, tetapi sasaran strategis militernya diarahkan terhadap negara-negara Arab yang berpotensi ekonomi, politik dan militer yang tinggi, seperti Suriah, Arab Saudi, Yordania, Irak dan Libia, walaupun negara ini cukup jauh dari jangkauan militer Israel.
Sudah dari dahulu Israel mengincar Libanon sebagai batu loncatan untuk mengepung dan menguasai Yordania, Suriah dan Irak. Para ahli politik dan strategi militer Israel menyadari sepenuhnya, bahwa kondisi dalam negeri Lebanon amat labil dengan adanya perang saudara antara golongan Sayap Kiri Muslim dan Sayap Kanan Kristen; ditambah lagi dengan bercokolnya serdadu-serdadu Suriah sebagai pasukan perdamaian Liga Arab. Maka peluang untuk ikut “andil” dalam kemelut Libanon itu amat besar bagi Israel, dengan dalih untuk menyelamatkan masyarakat Kristen dari gempuran-gempuran pasukan Sayap Kiri Muslim, Gerilyawan Palestina, dan tentara-tentara Suriah yang cenderung memihak golongan Sayap Kiri Muslim.
Keikutsertaan pasukan dalam kemelut Lebanon itu, berdasar atas alasan politis dan militer berjangka panjang.
Dari segi politis, Israel memandang pasukan Perdamaian Suriah sudah tidak berfungsi lagi sebagai pasukan pelerai, karena dianggapnya terus menggempur kantong-kantong golongan Kristen di Libanon Selatan, di bawah pimpinan Mayor Saad Haddad. Dari alasan ini Israel bisa menunjukkan kepada masyarakat internasional, bahwa ikut campurnya pasukan Israel hanyalah “pertolongan manusiawi” untuk menolong saudara-saudaranya di Lebanon.
Dari sudut militer, Israel bermaksud untuk menggempur basis-basis militer Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan mengenyahkan mereka dari bumi Lebanon. Karena wilayah Lebanon dijadikan sebagai pangkalan utama Gerilyawan Palestina untuk menyerang daerah-daerah pemukiman Yahudi di sebelah Utara.
Impian Israel Raya
Kalau Lebanon sudah berada dalam cengkeraman kuku Zionis Israel, maka secara geopolitik dan geostrategi tidak akan terlalu sulit bagi Israel untuk menyerang dan menguasai negara-negara Arab sekitarnya. Dan bila momentum yang tepat telah tiba, maka peluang untuk manuver politik dan ekspansi militer terhadap Yordania, Arab Saudi, Suriah dan Irak terbuka lebar. Tetapi tidak berarti serangan Israel itu serempak ditujukan terhadap negara-negara Arab tersebut, hanya saja yang menjadi sasaran pertama adalah Yordania sebagai jalan pintas untuk mencaplok Arab Saudi.
Strategi politik Israel ini dikuatkan oleh pendapat Shalih Masud Abu Yasir dalam bukunya “Jihadu Sya’bi Falestin”, dia mengatakan bahwa Israel berambisi untuk menciptakan “Israel Raya” yang membentang dari sungai Nil di Mesir sampai ke sungai Euphrat di Irak. Negara serta wilayah Arab yang harus dirampas adalah Libanon, Yordania, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan beberapa wilayah Mesir, seperti gurun Sinai, kota Ismailia, dan Iskandariyah.
Persatuan Arab Terganggu
Perjanjian Camp David mempunyai efek politis yang luas dan tajam di kalangan negara-negara Arab. Sehingga akibatnya dunia Arab Arab terkotak-kotak dalam tiga kelompok yang eksklusif. Kelompok pertama, adalah Golongan Arab Radikal yang dimotori oleh Libya, Suriah dan PLO. Golongan radikal ini dengan lancang dan tandas mengakui eksistensi dan hak hidup Israel di Timur Tengah, dan mereka pun amat anti Amerika Serikat serta tidak mau berkompromi dengan Pemerintah Washington, yang dianggapnya sebagai penyokong dan pembela gigih Zionis Israel.
Kelompok kedua, adalah “Golongan Moderat” yang dipelopori oleh Arab Saudi, Yordania, Yaman Utara, Kuwait dan negara-negara Arab Teluk Parsi yang kaya minyak. Golongan ini pun berapi-api menentang keras Israel, tetapi mereka mau berkompromi dan bersahabat dekat dengan Amerika Serikat, kendatipun negara super power ini merupakan tulang punggung kekuatan militer, politik dan ekonomi Israel.
Kelompok yang ketiga, adalah “Golongan Super Moderat” yang mau mengakui dan menghormati eksistensi serta hak hidup Israel di Timur Tengah, sekaligus juga mau berkompromi dengan Amerika Serikat. Golongan ini dipimpin oleh Mesir, Sudan dan Maroko. Kendatipun kedua negara ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi mereka secara diam-diam menyokong langkah Mesir ini. Malahan Raja Hassan dari Maroko-lah yang membantu sepenuhnya pertemuan bersejarah yang kontroversial antara Anwar Sadat dan Manechem Begin.
Bagi Israel, Perjanjian Camp David merupakan kemenangan politis yang besar, karena secara tidak langsung telah mengotak-kotak dunia Arab dalam kelompok-kelompok yang labil dan konfrontatif. Dan Israel pun berbangga hati karena tanpa sebutir peluru pun, mereka telah mengoyak-oyak tubuh angsa Arab dalam kepingan-kepingan nasionalisme yang rapuh.
Rencana organisasi Zionis Sedunia yang diajukan kepada Konferensi Perdamaian Paris 1919. Sumber: Pelita HIMMAH
Bagi Mesir Perjanjian Perdamaian itu harus dibayar dengan mahal. Memang Mesir secara bertahap akan menerima kembali wilayah-wilayahnya yang dirampas Israel dalam perang 1967. Tetapi ada sisi lain yang amat berharga dan terhormat, adalah sahabat-sahabat Arab lainnya yang kini telah mengucilkannya secara total, baik dalam forum Liga Arab, Konferensi Negara-Negara Islam, maupun pada forum Gerakan Non Blok.
Sedangkan bagi negara-negara Arab yang menentang keras Perjanjian Camp David, memandang Mesir telah sampai pada klimaks penghianatan yang tidak termaafkan, karena telah menodai perjuangan suci bangsa Arab dalam melawan kecongkakan dan agresi Zionis Israel. Tetapi kecaman keras dari negara-negara Arab tersebut, berbeda dalam alunan dan nadanya. Nada keras dan kasar datang dari Golongan Radikal dengan corongnya Kolonel Moammar Khadafy. Sedangkan nada keras dalam alunan yang etis datang dari Golongan Moderat, yang disuarakan oleh Arab Saudi.
Sokongan Super Power
Dalam kenyataannya seperti sekarang ini, dapatlah kita catat bahwa kawasan Timur Tengah berada dalam ajang perebutan pengaruh negara-negara super power. Dua strategi global negara-negara super power tersebut, kini sudah berhadap-hadapan dalam satu titik kawasan yang rapuh dan eksplosif. Uni Soviet telah menanamkan pengaruhnya yang cukup kuat di Yaman Selatan, Libia dan Suriah. Dan Soviet pun telah menjadikan Ethiopia sebagai benteng pertahanannya di benua Afrika; juga sebagai batu loncatan bagi gerak maju pasukan Soviet untuk mengekspor Revolusi Komunismenya ke belahan benua Hitam dan negara-negara Timur Tengah.
Berpijak dari kenyataan adanya bahaya penyebaran Komunisme ke Timur Tengah, maka Amerika Serikat “berpesan” kepada Israel untuk menangkis agresi Uni Soviet; dan sekaligus menjadi negara penangkal yang dapat diandalkan bagi ambisi Soviet di Timur Tengah. Oleh karenanya Amerika Serikat tidak segan-segan mensuplai Israel dengan senjata-senjata yang paling mutakhirnya. Tetapi di balik itu ada maksud terselubung Amerika Serikat, adalah untuk mempertahankan eksistensi Israel dari kemungkinan serangan negara-negara Arab; dan untuk menyerang negara-negara Arab itu “bila saatnya yang tepat telah tiba”.
Dapatlah kita catat bahwa Israel telah menciptakan satu dimensi baru dalam dunia politik dengan memberikan konotasi yang sama pada istilahnya “mempertahankan” dan “menyerang”. Bila Israel ingin mempertahankan negaranya, maka ia harus menyerang negara lain. Dan jika Israel menyerang negara lain, maka ia berdalih untuk mempertahankan negara dan bangsanya.
Pemboman atas Pusat Reaktor Nuklir Osirak di Irak, dan pembantaian rakyat Libanon serta rakyat Palestina merupakan satu langkah mempertahankan diri, menurut Kamus Politik Israel. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai dan mempercepat sasaran strategisnya, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang, Israel tidak pernah memperdulikan seruan dan resolusi-resolusi PBB, serta himbauan masyarakat internasional.
Penutup
Dari beberapa pembahasan yang telah kita soroti, maka kita dihadapkan pada satu pernyataan, yaitu: Sudahkah Pemerintah Amerika Serikat memberi lampu hijau kepada Israel untuk mewujudkan gagasan Israel Raya yang membentang dari sungai Nil sampai ke sungai Eufrat. Kiranya masih terlalu pagi bagi kita untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti. Karena saat ini Amerika Serikat masih membutuhkan minyak dari negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi. Sedangkan kalau Amerika Serikat secara terang-terangan mendukung gagasan Israel ini, itu berarti Pemerintah Washington merestui pemusnahan enam negara Arab.
Dalam dunia politik sudah menjadi kebiasaan, bila hari ini dia kawan akrab, esok akan menjadi musuh bebuyutan. Jika saat ini dia musuh laten, hanya beberapa saat saja dia bisa menjadi sekutu utama. Kalau kini negara-negara Arab yang kaya minyak bermesraan dengan Pemerintah Washington, pada suatu kala Amerika Serikat akan mendepaknya. Ini berarti pula lampu hijau telah menyala bagi terwujudnya Israel Raya. Bisakah itu? Marilah kita to wait and see.
Penulis: A. Fadlil Munawar M.
Pengalih Media: HIMMAH/Nurhayati dan R. Aria Chandra Prakosa
Himmah Online- HIV/AIDS, sebuah penyakit mematikan yang muncul dan menyita perhatian dunia pada tahun 1980-an. Penyakit ini dianggap mematikan. Sel darah putih menjadi makanan utamanya. Imunitas, energi, dan konsentrasi melemah. Virus pun membiak, masuk ke dalam tubuh, hingga akhirnya membuat orang binasa.
Pada Agustus 1987, James W. Bunn & Thomas Netter melihat bahwa kasus HIV/AIDS masih asing di mata dunia. Kesadaran dan dukungan belum ada untuk HIV/AIDS. Inisiasi menghadirkan hari AIDS pun dilakukan. Hari AIDS lalu diperingati pada 1 Desember 1988 untuk pertama kalinya.
Menurut keterangan WHO, awalnya ditemukan kasus pemakaian narkoba melalui suntik yang dipakai secara bersamaan pada tahun 1980. Selain pemakaian suntik narkoba secara bersamaan, di Amerika Serikat juga marak kasus homoseksual. Penyakit ini lalu dikenal sebagai GRID atau Gay-Related Immune Deficiency. Hingga akhirnya, pada tahun 1983, penyakit tersebut mengubah namanya menjadi AIDS, sebuah penyakit yang datang dari virus HIV.
Melalui hari AIDS sedunia, pita merah tampil sebagai simbol yang sering tampak di berbagai platform media. Warna merah pada pita yang teruntai melambangkan arti cinta dan belas kasih untuk para pengidap HIV/AIDS. Selain itu, bentuk empati juga menjadi arti yang tersimpan melalui simbol ini.
Berdasarkan pernyataan Visual AIDS, pemilihan simbol ini didasari oleh warna yang memiliki arti ambisi untuk menggambarkan perjuangan pengidap HIV/AIDS. Cinta juga menjadi bagian dari arti warna simbol pita merah. Bentuk pita yang mudah diikuti membuat semua orang dapat memakainya. Simbol yang awalnya hanya sebuah proyek biasa, berakhir mendunia dan ditetapkan menjadi simbol resmi hari AIDS sedunia.
Bentuk kepedulian HIV/AIDS lalu mulai dikenal oleh berbagai kalangan. Untuk pertama kalinya, pita merah ditujukan untuk vokalis band Queen, Freddie Mercury. Simbol ini digunakan dalam konser tribute-nyayang diadakan pada tahun 1992. Putri kerajaan Inggris, yaitu Putri Diana, juga menggunakan simbol yang sama dalam konser Concert of Hope tahun 1993 yang diadakan untuk memperingati hari AIDS sedunia.
Namun, dibalik arti simbol yang mencerminkan kehadiran akan cinta dan belas kasih, realita yang ada justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Stigma dan pandangan negatif yang masih diberikan kepada para pejuang HIV/AIDS malah menjadi bentuk kehadiran yang mereka rasakan.
Kehadiran melalui stigma yang beredar terasa begitu mencekam bagi mereka. Hal yang berbahaya dan bentuk suatu karma merupakan pemikiran yang masih melekat kuat dalam stigma masyarakat tentang penyintas HIV/AIDS.
Begitu pula di Indonesia, stigma mengenai penyakit HIV/AIDS menunjukkan kenyataan yang tidak sesuai dengan makna pita merah yang sering digunakan setiap tanggal 1 Desember. Karena hal tersebut, makna dalam simbol itu hanya menjadi formalitas semata.
Stigma masyarakat Indonesia dibuktikan melalui peringkat dunia kategori negara dengan stigma negatif tertinggi. Indonesia menduduki peringkat ke-23 dari 125 negara. Data ini diambil dari rentang tahun 1991 sampai 2017. Indonesia memiliki persentase sebesar 0,77% dalam tindakan diskriminasinya. Hal ini juga diperkuat dengan 22 kasus stigma yang terjadi menurut data terkait.
Melalui rilis Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia, Indonesia menempati tingkatan yang cukup tinggi mengenai stigma negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Data terbaru ini menunjukkan terdapat 644 kasus stigma mengenai HIV/AIDS dari tahun 2016 hingga 2019 yang tercatat oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.
Bahkan di Kabupaten Grobogan, melalui hasil riset Universitas Indonesia, angka diskriminasi cukup tinggi dengan persentase sebesar 49,7%. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki stigma negatif yang besar terhadap pengidap HIV/AIDS.
Stigma negatif tersebut tidak hanya sekedar berbentuk verbal, namun juga melalui tindakan atau sikap yang didapatkan para penderita HIV/AIDS. Adanya rasa tidak nyaman, sikap pengucilan, juga larangan anggota keluarga untuk berinteraksi dengan masyarakat luar menjadi bentuk diskriminasi yang dirasakan oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Kasus diskriminasi dalam lingkup keluarga ini sendiri dialami oleh para pengidap penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Hasil laporan di atas menunjukkan bahwa belas kasih dan cinta yang ada pada simbol pita merah belum sepenuhnya terealisasikan hingga saat ini. Pita merah terbukti hanya menjadi formalitas belaka, sebagai tanda bahwa seseorang turut peduli terhadap ODHA, padahal tidak.
Selama ini orang-orang mengira kehidupan rumah tangga Ningsih dan Jarwadi baik-baik saja. Mereka tampak harmonis meski belum dikaruniai momongan di usia pernikahan yang telah lebih dari tiga tahun. Terlebih dari pihak keluarga tak pernah mengusik atau mempermasalahkan buah hati yang tak kunjung hadir dalam perkawinan mereka.
“Santai saja, nggak perlu ngoyo, kalau sudah waktunya, Tuhan pasti akan menurunkan bakal janin ke dalam rahimmu,” hibur ibu mertua suatu hari saat melihat raut menantunya terlihat sedih karena perutnya tak jua membusung.
“Ibu nggak menuntut cucu darimu, Ibu percaya takdir setiap orang sudah ada yang mengatur, kalau pun seumpama nggak dikaruniai momongan, toh kamu dan suamimu bisa mengadopsi anak,” lanjut ibu mertua membuat hati Ningsih sangat lega dan bahagia. Jarang ada perempuan yang dapat memahami dengan sangat bijaksana ketika berbicara tentang momongan yang tak kunjung hadir dalam sebuah rumah tangga.
Begitu juga dengan kedua orangtua Ningsih. Mereka tak pernah mengungkit atau menekan dirinya agar lekas-lekas memiliki momongan. Bagi mereka, anak seperti rezeki. Bila sudah tiba waktunya, Tuhan pasti akan memberi.
“Ibu yakin kamu sudah berusaha dan berdoa, Ning. Tapi ingat, sekeras apa pun usahamu, kalau Tuhan belum ngasih, ya kita nggak bisa berbuat apa-apa. Tetap bersyukur, jangan mengeluh, jangan sedih, jalani saja kehidupan rumah tanggamu dengan santai,” tutur bijak ibu kandung Ningsih suatu hari. Ucapan beliau membuat Ningsih tersenyum bahagia karena memiliki orangtua yang pengertian dan arif bijaksana.
***
Mulanya, Ningsih memang merasakan kehidupan rumah tangga yang anteng, damai, dan cukup bahagia. Tak ada persoalan serius yang membuat ia dan suami terlibat cekcok meski momongan belum kunjung hadir di tengah-tengah mereka. Namun, ketika usia perkawinan mereka menapaki angka empat tahun, Ningsih mulai didera simalakama. Bukan lantaran momongan. Melainkan ada persoalan lain yang membuatnya tak nyaman.
Apa aku akan tetap mempertahankan pernikahanku dengan Kang Jarwadi? Begitu pertanyaan yang selalu bergema di benak ketika ia merasa kesakitan luar biasa usai memberikan nafkah batin pada suami. Dulu, ia tak pernah merasakan sakit semacam itu karena waktu itu Jarwadi belum berubah. Pada tahun keempat pernikahannya, Jarwadi memang berubah dalam hal hubungan ranjang. Ia selalu meminta Ningsih agar melakukan hubungan intim bukan lewat jalan depan, melainkan jalan belakang.
“Kang…., serius?” kaget Ningsih saat kali pertama diminta Jarwadi agar membalikkan tubuhnya.
Jarwadi menjawab dengan angguk dan senyum penuh berahi.
“Tapi, Kang…,”
Belum kelar Ningsih berkata-kata, Jarwadi langsung menarik dan menindih tubuhnya. Tak ia pedulikan rintihan istri yang menahan nyeri luar biasa saat melakukan hubungan yang tak wajar itu. Ningsih menangis sesenggukan saat melihat darah mengalir lewat jalan belakang. Ia juga merintih perih sampai mengeluarkan air mata ketika hendak buang air besar tapi merasa sangat kesakitan.
“Tenang, awalnya memang sakit, tapi percayalah padaku Ning, kalau sudah terbiasa, nanti sakitnya akan hilang dan yang tersisa adalah ketagihan,” ucap Jarwadi enteng saat mendengar keluhan Ningsih.
“Tapi aku maunya lewat jalan depan saja Kang, yang wajar-wajar saja,” Ningsih berkata lirih.
“Begini saja, kadang depan, kadang belakang, gimana?” Jarwadi menatap Ningsih dengan lembut. Ningsih diam mematung. Tak mengangguk. Tak juga mengiyakan. Ia hanya ingin suaminya kembali seperti dulu kala yang tak neko-neko dalam melakukan hubungan intim.
***
Ucapan Jarwadi memang ada benarnya. Sebulan berselang, rasa sakit itu perlahan sirna saat Ningsih beberapa kali melayani suaminya melalui jalan belakang. Namun tetap saja, Ningsih merasa sangat tak nyaman. Entah mengapa ia juga merasa ada yang aneh. Ia merasa ada yang salah. Nuraninya dengan tegas menolak melakukannya. Namun ia tak pernah kuasa menolak kehendak suami. Hal inilah yang membuatnya ditikam simalakama. Antara ingin mempertahankan rumah tangga atau mengakhirinya saja?
“Ning?”
Sebuah suara menyapa Ningsih dan langsung membuatnya tergagap dari lamunan di pagi itu. Akhir-akhir ini ia memang sering melamun. Dulu, ketika Jarwadi telah berangkat kerja sebagai supir taksi online, biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan cara berkebun, membersihkan rumah, memasak, atau berkunjung ke rumah orangtua yang jaraknya hanya lima kilometer dari rumah kontrakannya. Tapi kini, tepatnya ketika Jarwadi kerap minta dilayani lewat jalan belakang, ia jadi sering melamun. Malas mau ngapa-ngapain. Malas pergi-pergi.
“Eh Ibu, apa kabar?” Ningsih langsung bangkit dari duduknya dan segera menyambut kedatangan ibu yang sedang berdiri di depan pintu. Barusan setelah suami berangkat kerja, ia memang duduk merenung lama di ruang tamu. Sengaja ia biarkan pintu rumah terbuka agar udara pagi bisa masuk ke dalam rumah dan membawa kesegaran baginya.
“Kamu melamun? Ada masalah, Ning?” bukannya menjawab pertanyaan Ningsih, ibu malah mencecar dengan kening berkerut dan sorot mata penuh selidik.
“Eh, eng… enggak, kok,” jawab Ningsih agak gugup.
“Kamu bisa bohongi Ibu, tapi raut wajahmu nggak setitik pun bisa berbohong. Ibu tahu kamu sedang punya masalah, makanya Ibu ke sini,”
Ningsih tiba-tiba tersadar dan merasa bersalah. Sudah seminggu ia tak mengunjungi ibu. Padahal sebelumnya, tiga hingga empat kali dalam sepekan ia rutin berkunjung ke rumah orangtua. Bahkan tiap berkunjung, Ningsih bisa nyaris seharian karena merasa kesepian di rumah kontrakan sendirian, sementara suami baru tiba di rumah malam hari. Ningsih yakin hal ini menjadi tanda tanya bagi ibu sehingga beliau akhirnya memutuskan datang ke rumahnya pagi ini.
“Ibu siap menampung keluh kesahmu, Ning. Percayalah, nggak ada persoalan yang nggak bisa diatasi,” ucapan ibu inilah yang akhirnya menguatkan Ningsih untuk menceritakan perihal ketakwajaran Jarwadi saat berhubungan di atas ranjang.
***
Kaget luar biasa saat ibu mendengar penuturan putri bungsunya itu. Sungguh ia tak mengira kalau menantunya ternyata memiliki kelainan seksual. Ibu memang bukan orang yang memiliki keluasan ilmu agama. Tapi paling tidak, ibu pernah mendengar dari seorang kiai dalam sebuah ceramah pernikahan yang pernah ia ikuti, bahwa melakukan hubungan intim lewat jalan belakang itu dilarang keras meski dilakukan terhadap pasangan yang sah. “Main lewat jalan belakang termasuk hal berlebihan yang mendatangkan mudarat, misalnya penyakit berbahaya” tegas kiai yang ibu lupa namanya itu.
“Apa kamu sudah mantap untuk berpisah darinya, Ning?” pertanyaan ibu kali ini membuat Ningsih terperangah. Ia tak mengira jika ibu sangat mendukung keinginannya untuk berpisah dari Jarwadi.
Ningsih mengangguk ragu. Jujur ia ragu karena pernah mendengar bahwa perceraian itu dibenci Tuhan. Belum lagi status janda yang pasti akan membuatnya sangat terbebani. Mengingat selama ini mayoritas masyarakat menganggap miring pada perempuan yang berpisah dari suaminya.
“Kamu nggak usah ragu, Ning, kalau memang suamimu nggak mau berubah, cerai bukan hal buruk, daripada terus bersama tapi kalian berdua menanggung dosa karena melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan,” perkataan ibu membuat Ningsih merasa mantap dan tak ragu dengan keputusannya.
“Tapi alangkah baiknya, kamu bicarakan lagi dengan suamimu, kalau dia mau berubah, pertahankan pernikahanmu, Ning,”
Ningsih tersenyum. Mengangguk. Ia berjanji, nanti malam saat suaminya pulang, ia akan mencoba mengajaknya bicara dari hati ke hati.
***
Hari sudah sore ketika Ningsih mengantarkan ibu pulang ke rumah. Sebelum kembali ke kontrakan, tiba-tiba ia teringat kebutuhan dapur yang mulai menipis. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbelanja gula pasir, kopi, teh, mie instan, dan aneka cemilan di sebuah minimarket.
Ningsih tersenyum geli saat tengah berbelanja berpapasan dengan seseorang yang mulanya ia kira perempuan tapi ternyata seorang laki-laki. Waria, begitu orang-orang selama ini menyebutnya. Tawa Ningsih nyaris meledak saat mendengar laki-laki yang berambut sepunggung dan berdandan seperti gadis metropolis itu berbicara dengan nada genit pada kasir yang masih muda dan ganteng. Ningsih jadi teringat seorang artis laki-laki yang mengaku telah berganti kelamin perempuan tapi ketika bicara suaranya masih kentara laki-lakinya.
“Makasih ya, Abang ganteng,” ucapnya dengan tingkah dan intonasi manja sambil mengangkat kantong belanjaan.
“Sama-sama Neng, jangan lupa belanja ke sini lagi,” balas petugas kasir sambil tersenyum dan memang sengaja menggoda.
Saat lelaki itu keluar minimarket, tawa Ningsih pecah. Pemuda yang bertugas menjadi kasir itu juga tertawa terpingkal-pingkal. Tawa Ningsih baru benar-benar berhenti ketika pandangannya menangkap sesuatu di luar sana. Melalui kaca pintu minimarket ia bisa melihat dengan cukup jelas sosok lelaki yang duduk di depan setir sebuah mobil hitam yang terparkir di seberang jalan.
Kedua mata Ningsih langsung melebar saat melihat sosok lelaki gemulai itu masuk ke dalam mobil tersebut. Dari pintu kaca mobil depan yang terbuka separuh, Ningsih dapat melihat jelas sosok itu dengan genit melingkarkan kedua tangannya ke leher lelaki di belakang setir. Lelaki suami Ningsih.
Himmah Online – Pertanian merupakan persoalan yang seharusnya menjadi dasar dari semua konsep pembangunan yang ada di Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar pada pertumbuhan ekonomi dan devisa negara. Namun, kondisi pertanian di Indonesia menemui berbagai macam permasalahan, seperti jumlah petani yang menurun, angka impor pangan yang tinggi, dan sistem food estate yang kurang baik.
Penyusutan jumlah petani di Indonesia telah sampai pada situasi darurat dan harus segera diantisipasi oleh pemerintah. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa terjadi penyusutan penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani pada 2019, yakni sebesar 28,5%. Padahal, tiga dekade sebelumnya dari total angkatan kerja jumlahnya mencapai 55,5%.
Sementara itu, berdasarkan hasil sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan setiap 10 tahun sekali, terdapat pengurangan jumlah petani di Indonesia pada periode 2003-2013, yakni sebanyak 5,04 juta. Jumlahnya fluktuatif sejak pertama kali dilakukan sensus pertanian di Indonesia.
Dandhy Laksono, anggota tim Ekspedisi Indonesia Baru, dalam talk show bertajuk “Perampasan Ruang Hidup dengan Dalih Pembangunan Berkelanjutan” pada Minggu (24/09) mengatakan, jika merujuk pada data BPS setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 70 persen petani, di mana rata-rata usianya di atas 40 tahun.
“Menurut Bappenas (red-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) kalo tren ini terus dilanjutkan, dalam 40 tahun profesi petani punah di Indonesia,” ujar Dandhy.
Fenomena penyusutan jumlah petani dan rendahnya minat generasi muda menjadi petani sehingga hanya menyisakan petani berusia tua merupakan situasi darurat dan mengkhawatirkan. Keadaan semacam ini rentan terhadap memburuknya pemenuhan gizi masyarakat, keamanan pangan, dan impor pangan.
“Pangan impor masih menjadi masalah kita. Semua bahan utama kita relatif khas impor,” ujar Dandhy.
Produksi produk pangan dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kenaikan pesat konsumsi pangan di Indonesia sehingga mendorong kegiatan impor terus dilakukan. Bahkan, enam dari sembilan bahan pokok masyarakat Indonesia, seperti beras, bawang, susu, daging, garam, dan gula dipenuhi dari pasar Internasional. Beras yang menjadi bahan pangan pokok masyarakat Indonesia harus bergantung pada beberapa negara, yakni India, Pakistan, Thailand, Jepang, Myanmar, Tiongkok, dan Vietnam untuk dapat memenuhi stok beras nasional.
Berdasarkan data dari BPS, angka impor beras Indonesia masih tinggi dan bersifat fluktuatif. Pada tahun 2018 angka impor beras menjadi yang tertinggi dalam delapan tahun terakhir, yakni mencapai 2.253.824,4 ton. Kemudian jumlah impor beras menurun 1,8 juta ton pada 2019. Pada tahun 2020, jumlahnya menurun sebanyak 88.222,6 ton. Namun, terjadi peningkatan pada tahun-tahun berikutnya, yakni pada tahun 2021 jumlah impor beras meningkat sebanyak 51.455 ton dan tahun 2022 meningkat sebanyak 21.465 ton beras.
Selain itu, kedelai yang menjadi bahan utama tempe dan tahu—makanan paling populer dan terjangkau oleh masyarakat Indonesia—juga harus impor dari Amerika Serikat sebesar 71%, Kanada sebesar 16%, dan Argentina sebesar 13%.
Sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya dapat menutupi tidak sampai 10% dari total kebutuhan nasional pada tahun 2022. Pada tahun 2021, produksi lokal hanya mencapai 200.315 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi sebanyak 2.983.511 ton.
Kemudian, gandum yang menjadi bahan pokok bagi produk turunan makanan juga impor dari berbagai negara, seperti Australia, Kanada, Ukraina, Brazil, dan Lithuania. Impor gandum dilakukan karena Indonesia memiliki keterbatasan kualitas lahan yang diduga tidak memadai untuk ditanami gandum.
Kegagalan Peningkatan Pangan Nasional pada Proyek Food Estate
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya bertambah sebesar empat juta jiwa. Apabila pertumbuhan penduduk tidak disertai dengan kenaikan pangan, pada masa yang akan datang akan menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan.
Indonesia lemah dalam permodalan dan teknologi pada sektor pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan. Keterbatasan anggaran membuat subsektor ini tidak terurus dengan maksimal. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan yang belum ditangani, sektor swasta dilibatkan, salah satunya dalam programfood estate atau yang biasa dikenal dengan program lumbung pangan.
Namun setelah diterapkannya program lumbung pangan,petani justru merasakan beberapa dampak negatifnya. Pertama, tidak adanya kejelasan regulasi terkait distribusi pangan pada food estate. Dimana 24 juta petani masih membutuhkan pangan berupa beras. Kedua, memperburuk kesenjangan pemilik lahan. Seringkali pengusaha menghadapi petani kecil dengan ketidakadilan. Ketiga, dalam pola kemitraan,
tidak ada posisi setara bagi petani. Keempat, kepemilikan modal bias kepentingan asing. Walhasil food estate hanya menjadi jawaban bagi negara dan investor, bukan bagi puluhan petani dan mayoritas rakyat di tengah melambungnya harga pangan dunia.
Selain itu juga, berdasarkan pemaparan dari Dandhy Laksono, program food estate selalu mengalami kegagalan dari rezim ke rezim. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerapkan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang gagal dalam menerapkan food estate di Merauke. Kemudian diteruskan oleh Joko Widodo dan dilipatgandakan di Kalimantan Tengah.
“Dua presiden ini adalah meng-copy paste kegagalan yang sama yang dilakukan Soeharto dengan proyek lahan gambut 1 juta hektar per-90,” pungkas Dandhy.
Hal tersebut semakin diperparah dengan adanya upaya pemerintah untuk menjadikan korporasi sebagai pelaksana program peningkatan produksi pangan. Di mana rumah tangga tani seolah tak dianggap lagi dalam pelaksanaan kegiatan produksi pangan yang diklaim akan menghadapi kondisi “rentan”.
Korporasi telah mengambil alih lahan-lahan adat yang menjadi sumber pangan dari penduduk setempat dan semakin diperparah dengan kondisi kerawanan pangan yang harus dialami oleh penduduk lokal. Kemudian pinjaman modal dan anggaran subsidi dengan bunga rendah juga dialihkan untuk diberikan kepada korporasi besar yang akan berinvestasi dalam proyek food estate.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), terdapat empat kriteria pengukur ketahanan pangan, apabila food estate ingin benar-benar dijadikan sebagai proyek ketahanan pangan dalam negeri. Pertamastability, yakni mengukur apakah masyarakat mampu mengakses pangan yang dibutuhkan setiap saat. Keduautility, yakni terkait dengan pengukuran apakah masyarakat memiliki cukup asupan nutrisi dari pangan yang dikonsumsi. Ketigaavailability, yakni mengukur ketersediaan pasokan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat. Keempataccess, yakni mengukur kemampuan masyarakat dalam memperoleh bahan pangan yang dibutuhkan.
Program food estate yang diniatkan untuk meningkatkan pasokan pangan nasional, nyatanya telah meminggirkan sumber-sumber pangan penduduk lokal. Di mana hal tersebut berdampak pada ancaman kehidupan masyarakat. Pengelolaan food estate oleh korporasi juga memunculkan ruang untuk makelar yang hanya menguntungkan lapisan elit sosial dan merugikan posisi masyarakat secara keseluruhan dengan memperbesar ketimpangan sosial, serta memunculkan berbagai macam praktik korupsi yang merugikan negara.
Himmah Online, Yogyakarta – Pesta pinggiran Anti Oligargigs merupakan acara yang diadakan oleh Project Multatuli dan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) untuk mengkampanyekan pendidikan gratis. Acara tersebut berlangsung pada Sabtu (18/11) di Plaza BI Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam acara tersebut, Evi Mariani, selaku jurnalis Project Multatuli menyampaikan pidato kebudayaan yang bertajuk “Surat dari Gen X pada Generasi yang Cemas”. Dalam pidatonya, Evi menjelaskan bahwa Generasi Milenial dan Generasi Z memiliki banyak kecemasan, salah satunya cemas karena tak dapat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dalam wawancara selepas sesi pidato kebudayaan, Evi berbagi pandangannya terkait isu pendidikan, yakni UKT yang mahal. Ia menuturkan bahwa terdapat contoh di negara lain, dimana terdapat kebijakan pendidikan tinggi gratis. Jadi, mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal tersebut.
“Kami sendiri mikir kenapa enggak si, di luar negeri kan ada negara yang pendidikan tingginya gratis ya, kenapa (Indonesia) enggak?,” papar Evi.
Selain itu, Evi juga menyinggung soal mandat tujuan yang ingin dicapai Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Di mana dulu, wajib sekolah cukup sampai 6 tahun atau Sekolah Dasar (SD).
Namun, seiring berjalannya waktu berubah menjadi sampai 12 tahun atau Sekolah Menengah Atas (SMA), itu pun masih tidak cukup. Bahkan sekarang ini, banyak perusahaan-perusahaan besar ketika mencari karyawan itu minimal sarjana (S1).
Evi melanjutkan, lalu kenapa pendidikan tinggi tidak gratis saja? Faktanya masih banyak orang tua yang tidak dapat mengirim anaknya untuk kuliah karena terkendala biaya, apalagi dengan biaya UKT yang sangat tinggi.
“Ya kenapa enggak sampai pendidikan tinggi? Jerman melakukannya. Di India itu enggak sepenuhnya gratis tapi murah banget. Di Brazil juga ada yang sekolah negerinya itu disubsidi. Jadi, kenapa (Indonesia) enggak gitu?” tutur Evi.
Rahmat Gantas Mandawai (25), salah satu panitia acara pesta pinggiran Anti Oligargigs, menyampaikan pendapatnya terkait persoalan pendidikan yang mahal, yang mana negara dapat melakukan komitmennya dalam memberikan dana untuk pendidikan gratis sebagai solusi atas biaya pendidikan yang mahal.
“Kalau jawaban kami adalah apa solusi kami terhadap negara, ya, udah bikin pendidikan gratis. Sebenernya dananya ada, cuman political will-nya yang enggak ada,” papar Ganta.
Reza (16), salah satu pelukis mural yang diundang dalam acara Anti Oligargigs turut menyampaikan harapannya pada biaya pendidikan agar bisa dijangkau oleh semua kalangan, terutama kalangan menengah ke bawah.
“Biaya pendidikan enggak harus gratis, tapi rakyat menengah ke bawah mampu untuk bayar biaya kuliah, itu aja, kalau gratis juga mantap lah,” tutur Reza.
Himmah Online – Sejumlah elemen mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aksi Kamisan Jogja menggelar unjuk rasa bertajuk “Bebaskan Haris-Fatia”. Seluruh massa aksi berkumpul di depan Kejaksaan Tinggi DIY pada Kamis (16/11).
Aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap kasus dugaan pencemaran nama baik yang menimpa aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, pada tanggal 13 November 2023. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jakarta Timur menjatuhkan tuntutan kepada Haris selama 4 tahun penjara dan Fatia selama 3 tahun 6 bulan penjara.
Kasus yang menimpa Haris dan Fatia dilatarbelakangi oleh adanya dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan oleh Haris dan Fatia pada siniar hasil riset keterlibatan pejabat negara dalam keberadaan tambang di Papua. Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada 19 Maret 2022.
Selain itu, aksi ini juga merupakan bentuk kekecewaan dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa terhadap mundurnya demokrasi serta kacaunya sistem hukum di Indonesia.
Silla (21), salah seorang peserta aksi dari Social Movement Institute, menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia yang membuat Haris dan Fatia dijatuhi tuntutan atas kasus yang mereka alami. Ia menilai bahwa tuntutan JPU tersebut tidak adil.
“Gak wajar dan itu sangat tidak adil, di mana tuntutan itu jauh lebih berat dibandingkan mereka yang jelas-jelas bersalah dalam kasus korupsi. Sedangkan dalam kasus ini, mereka (red-Haris dan Fatia) justru membuktikan bahwa hukum itu tidak adil,” tegasnya.
Lewat aksi ini, ia bersama massa aksi lainnya berupaya mengingatkan kembali dan menuntut kepada para penegak hukum agar bisa berlaku adil agar tidak menjadikan pengadilan sebagai sebuah ruang transaksi yang hanya berpihak kepada orang-orang tertentu saja. Ia juga berharap, aksi ini dapat membebaskan Haris dan Fatia dari tuntutan JPU. “Turuninlah, tuntutannya. Bebasindong, mereka,” kata Silla.
Senada dengan Silla, peserta aksi lain dari Social Movement Institute, Rahman (28), turut menyampaikan kekecewaannya terhadap tuntutan atas kasus yang dialami oleh Haris-Fatia oleh JPU. Ia mengaku kaget dengan tuntutan yang dijatuhkan JPU kepada Haris dan Fatia.
“Sebenarnya dari Haris (red-tuntutan JPU) kemarin itu bukan undang-undang ITE . Cuma ada undang-undang yang dari RKUHP ini yang akhirnya menjerat mereka itu tentang keonaran di sosial media. Itu yang akhirnya menjerat mereka,” jelas Rahman.
Rahman juga menjelaskan bahwa penangkapan Haris dan Fatia merupakan pembungkaman terhadap demokrasi dan merupakan bentuk ketidakadilan hukum. Ia berharap melalui aksi ini, pihak Kejaksaan mau memperbaiki dirinya sehingga tingkat kepercayaan masyarakat semakin baik.
Terakhir, salah seorang peserta aksi dari Sukabumi, Meru (22), mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap kasus Haris dan Fatia ini lewat aksi teatrikal dengan menaburkan bunga ke pagar Gedung Kejaksaan Tinggi DIY dan membakar dupa.
“Tujuan dari teatrikal itu dilakukan karena pengerahan daya intelektual sudah dilakukan oleh akademisi-akademisi yang lain, gerakan-gerakan lewat oposisi menyuarakan dari luar (red-Aksi Kamisan) itu sudah dilakukan dengan segala cara,” jelas Meru.
Meru juga menjelaskan bahwa kasus yang menimpa Haris-Fatia justru menambah kemunduran praktik demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah. “Mau dikatakan demokrasi ya jelas demokrasi macam apa yang diterapkan oleh pemerintah kita saat ini,” pungkasnya.
Massa Aksi Kamisan Yogyakarta bertajuk “Bebaskan Haris-Fatia” memegang spanduk sembari berbaris di depan gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Kamis (16/11). Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Massa aksi sedang memegang poster, salah satunya bertuliskan “STOP KRIMINALISASI AKTIVIS” di gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (16/11). Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Seorang peserta membacakan puisi sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan yang melanggar asas kebebasan berpendapat di depan gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (16/11). Foto: Magang Himmah/Paus Fairuz
Meru (22) sedang melakukan aksi teatrikal berupa penusukan boneka vodoo yang ditujukan kepada jaksa Sandhy Handika di gedung Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Kamis (16/11). Foto: Magang Himmah/Paus Fairuz
Meru (22) melempar bunga mawar ke halaman gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai penutup dari aksi teatrikal, Kamis (16/11). Foto: Magang Himmah/Paus Fairuz
Aksi ditutup dengan salat gaib di depan gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (16/11). Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Himmah Online – Generasi sandwich adalah generasi usia produktif yang menanggung beban dua generasi, yakni generasi di atasnya dan generasi di bawahnya. Posisinya tersebut dapat menghalangi produktivitas di usianya, terlebih lagi di Indonesia jumlahnya cukup banyak. Hal tersebut dapat menjadi penghambat dalam optimalisasi peluang bonus demografi.
Istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981 oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat.
Generasi sandwich merupakan sebutan untuk orang-orang produktif yang memiliki peran ganda. Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup orang tua yang lanjut usia, keluarga inti, dan dirinya sendiri secara bersamaan. Kondisi tersebut diumpamakan, seperti isian sandwich yang terhimpit di antara dua lapisan roti.
Roti lapisan atas diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas), sedangkan lapisan bawah sebagai anak (generasi bawah). Kemudian, isian sandwich berupa daging dan sayur yang terhimpit diantara lapisan roti tersebut merupakan orang dewasa (generasi tengah).
Carol Abaya, seorang pakar dalam masalah penuaan dan perawatan lansia, mengidentifikasi generasi sandwich berada pada rentan usia 40 tahun ke atas dan berada pada usia produktif. Kemudian, Carol membagi generasi sandwich berdasarkan perannya menjadi tiga kategori.
Pertama, traditional sandwich generation, yakni orang dewasa berusia 40 hingga 50 tahun yang terhimpit di antara orang tua dan anak. Generasi ini harus memikul beban orang tua berusia lanjut dan memenuhi kebutuhan finansial pasangan serta anak-anaknya.
Kedua, club sandwich generation, yaitu orang dewasa berusia 30 hingga 60 tahun. Generasi ini harus menanggung beban orang tua, anak, cucu (jika telah memiliki), dan generasi di atas orang tuanya, yaitu kakek atau neneknya (apabila masih hidup).
Ketiga, open faced sandwich generation, yaitu siapapun yang telah berkeluarga, tetapi belum memiliki anak terlibat dalam pengurusan orang tua yang telah lanjut usia secara tidak profesional.
Hubungan Sandwich Generation dan Bonus Demografi
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2022 mencapai 275,77 juta jiwa. Dari total tersebut, di antaranya penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 69,25% dan penduduk usia non produktif, yakni penduduk usia belum produktif (0-14 tahun) mencapai 24% serta penduduk usia tidak produktif (65 tahun ke atas) mencapai 6,74%.
Adapun persentase generasi sandwich di Indonesia berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 9-11 Agustus 2022 terhadap 504 responden dari 34 provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa 67% responden termasuk kelompok generasi sandwich. Kelompok ini terdiri dari berbagai kelompok usia, mulai dari generasi Z hingga baby boomers.
Data generasi sandwich tersebut kemudian tersebar pada berbagai tingkatan kelompok ekonomi, dari yang teratas hingga terbawah. Generasi sandwich tersebut berasal dari keluarga ekonomi atas sebanyak 2,7%, ekonomi menengah atas sebanyak 16,3%, ekonomi menengah bawah sebanyak 44,8%, dan ekonomi bawah sebanyak 36,2%.
Menurut Anggorowati, dalam penelitian yang dilakukan Suharyono dan Hadiningrat (2023), posisi generasi sandwich di satu sisi mereka termasuk kelompok usia produktif, tetapi disisi lain produktivitas mereka terhambat karena beban yang harus ditanggungnya. Beban itulah yang dapat menjadi penghambat optimalisasi peluang bonus demografi.
Peningkatan penduduk usia produktif akibat bonus demografi dapat berdampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan negara, jika dikelola dengan baik dan berakhir dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Penduduk lansia akan mampu memenuhi kebutuhan finansial dari tabungannya, sehingga tidak bergantung kepada generasi di bawahnya.
Namun, penduduk usia produktif akan menjadi bencana atau beban negara apabila terdapat banyak penduduk usia produktif tidak berkualitas dan menganggur. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya keterampilan maupun lapangan pekerjaan sehingga akan menimbulkan masalah sosial, seperti kesenjangan sosial-ekonomi, kemiskinan, dan kriminal.
Lalu, setelah bonus demografi berakhir, penduduk non-produktif akan mengalami peningkatan dan menjadi tanggungan kelompok usia produktif. Artinya, kelompok generasi sandwich bisa saja mengalami peningkatan pesat. Hal tersebut lantaran Indonesia memasuki periode aging society, yaitu proporsi penduduk lansia terus meningkat, tetapi proporsi penduduk muda mengecil.
Sebaliknya, di era tersebut, Indonesia akan kesulitan mengatasi perekonomian negara apabila kualitas sumber daya manusianya tidak disiapkan dengan baik. Akibatnya, setelah 2040, akan terjadi ledakan generasi sandwich.
Dari hal tersebut, pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk keluar dari kondisi peran ganda. Pemerintah perlu memberikan program pelatihan dan pendidikan kepada generasi sandwich, memberikan jaminan sosial, layanan finansial, kesehatan kepada lansia, serta memberikan akses pendidikan dan kesehatan kepada anak-anak maupun remaja yang menjadi tanggungan generasi sandwich.
Dengan adanya bantuan tersebut, harapannya beban generasi sandwich akan berkurang, sehingga mereka dapat semakin produktif dan berdaya saing tinggi dalam era bonus demografi. Strategi tersebut akan membantu untuk mewujudkan Indonesia emas 2045, bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Dimana pada tahun tersebut, The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), memperkirakan ekonomi Indonesia akan mencapai US$ 8,89 triliun dan menempati posisi keempat sebagai ekonomi terbesar di dunia.