Beranda blog Halaman 13

Mengelola Sampah, Menepis Bencana

*Naskah “Mengelola Sampah, Menepis Bencana” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 03/Thn. XXXV/2003 halaman 40-41. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk menilik permasalahan sampah di awal tahun 2000-an, yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.

Sampah adalah masalah klasik kota. Setiap pemerintahan kota selalu saja mengalami kesulitan mengatasinya. Masyarakat harus berperan lebih besar untuk mengatasi masalah ini.

Piyungan, tempat pembuangan sampah dari wilayah Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul masih tetap tak berubah. Masih penuh dengan sampah organik dan non-organik. Itulah sampah hasil konsumsi masyarakat kota, yang tidak mau diganggu oleh kotoran yang mereka produksi sendiri. Setiap harinya, tak kurang 1.600 m3 pada musim kemarau dan 1.800 m3 pada musim hujan, jumlah sampah yang ia tampung dan olah kembali ke alam. 

“Dan TPA Piyungan memiliki waktu pakai efektif 7 tahun lagi,” ujar Kasam, MT, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (JTL UII). 

Itu terhitung mulai 2002. Kota besar terbentuk, salah satunya, oleh urbanisasi. Sementara urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya akan mengakibatkan timbulnya masalah, yakni kemacetan, polusi, dan daerah kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Hans-Dieter Evers & Rudiger Korff, dalam buku Southeast Asia Urbanism: The Meaning and Power of Social Space.

Sampah adalah salah satu sumber polusi. Untuk Kota Yogyakarta, “Produksi sampah pada tahun 2001 kita asumsikan sebesar 1.593 m3/hari. Namun, yang mampu kita angkut hanya 1.264 m3/hari saja,” ujar Suroso, Kepala Seksi Pengangkutan Sampah Kota Yogyakarta.

Hal ini terjadi akibat kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pihak Dinas Kebersihan, keindahan, dan Pertamanan (DKKP) Kota Yogyakarta. “Bayangkan saja, kita membutuhkan sekitar 40 dumptruck untuk mengangkut sampah-sampah yang ada. Namun ternyata, kita hanya memiliki 27 dumptruck dan yang berfungsi hanya 23 dumptruck,” jelas Suroso sembari menerima telepon diponselnya.

Gagasan yang disampaikan kepada setiap pemerintah kota dimanapun untuk mengatasi gangguan sampah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakatnya ini–tempat pembuangan sampah. Jika tak terkelola menimbulkan bencana telah cukup banyak. 

JTL UII misalnya, memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) agar dalam pengelolaan sampah diperlukan pendekatan sosial kultural. Hal ini sejalan dengan yang pernah ditawarkan oleh Hasan Purbo dalam Jurnal Prisma.

Ia mengatakan, pendekatan penanganan lingkungan dengan ilmu dan teknologi saja lebih merupakan penanganan lingkungan secara mekanistik-deterministik. Apalagi pihak dinas kebersihan memiliki keterbatasan dalam sarana dan prasarana pengelolaan sampah.

Masalah sampah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Kota Jakarta dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang-nya dan Kota Surabaya dengan TPA Sukolilo-nya telah memperoleh pelajaran yang cukup berharga ketika Pemerintah Daerah (Pemda) melakukan penghentian sementara operasi kedua tempat tersebut. Kedua kota itu menjadi kumuh.

TPA Bantargebang Jakarta, kini diserahkan kepada investor agar para investor tersebut dapat memanfaatkan sampah, yang berjumlah ribuan kubik terlahirkan setiap harinya. Semua itu untuk mengurangi beban pemerintah kota dalam menanggulangi sampah. Selain menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentunya.

Pemda Jakarta selama ini layak pusing karena dengan tidak terkelolanya sampah akan dapat mengganggu masyarakat yang ada di sekitar TPA. Sementara sampah yang tidak terangkut, menumpuk dan terbuang di sungai-sungai yang melintasi Kota Jakarta. Akibatnya, seperti yang terjadi awal tahun 2002 lalu, Kota Jakarta menjadi banjir. Walaupun bukan satu-satunya penyebab banjir, tetapi sampah yang tidak dibuang pada tempatnya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap timbulnya banjir.

Pemda Bantul tidak mau kalah. Walaupun sampah yang ada di TPA Piyungan tidak memberikan kontribusi terhadap kemungkinan banjir, tetapi Pemda tetap berkeinginan agar sampah-sampah yang ada di Piyungan dapat dimanfaatkan. Maka pada Oktober 2002 dirintislah usaha untuk memanfaatkan sampah tersebut.

Pemda Bantul menghubungi investor dari Australia dan Jerman. Harapannya, sampah-sampah tersebut dapat dijadikan energi pembangkit listrik dan dijadikan pakan ternak. Namun, sampai kini masih belum ada keputusan yang pasti. Menurut Bupati Bantul dalam Harian Kedaulatan Rakyat, “Hal itu sedang dibicarakan secara intensif.”

Usaha yang dilakukan oleh Pemda Bantul untuk memanfaatkan sampah yang ada di Piyungan memang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah juga. Namun, mungkin perlu ada gagasan yang lebih agresif dalam menangani sampah. Misalnya saja pengelolaan sampah dengan pemberdayaan masyarakat.

Dengan begitu, pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator, bahkan sebagai konsultan saja. Sementara, inisiatif dan pelakunya adalah masyarakat. Jadi, masyarakat juga ada andil dan bukan sebagai pihak yang diberi kemanjaan. 

“Selama ini peran masyarakat hanyalah berupa buang sampah ke tempat sampah saja. Itu pun belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat,” keluh Suroso, laki-laki yang lahir di Yogyakarta ini.

Padahal sampah-sampah tersebut bisa diolah sendiri oleh masyarakat. Misalnya saja dengan mengolah sampah dengan cara composting yang cukup menyediakan lubang pada tanah yang siap timbun atau dengan incenerator, yaitu dengan melakukan pembakaran sampah dengan mesin atau masyarakat berperan dalam memisahkan antara sampah kertas, sampah plastik, sampah mudah membusuk, dan sampah logam. 

Menurut Kasam, dengan begitu, sampah-sampah tersebut dapat dijual ke pihak-pihak yang membutuhkan. “Kalau kita menengok pengalaman di Surabaya, dari sampah plastik saja, pendapatan yang bisa diperoleh mencapai tiga juta rupiah perminggunya.”

Namun, menurut Mudjito (47), warga Jogoyudan, mengelola (red-sampah) sendiri itu sangat sulit. Sebab, tidak ada lahan untuk menimbun dan tidak ada dana untuk membeli mesin pembakar sampah. Namun saat ini, warga Jogoyudan telah membuang sampah di tempat sampah yang mereka sediakan sendiri. 

“Tiga kelompok RT di tempat kami berinisiatif untuk membuat tong sampah yang setiap harinya diangkut oleh truk sampah milik pemerintah,” ujarnya.

Namun, peran mereka dalam pemisahan sampah diakui oleh Mudjito belum dilakukan. Tampaknya, hal itu terjadi akibat masyarakat kurang mengetahui gagasan tersebut.

Sumber: DKKP Yogyakarta dan diolah oleh Redaksi HIMMAH

Berdasarkan catatan DKKP, sampah yang ada di Kota Yogyakarta selalu bertambah 5 persen setiap tahunnya (Lihat tabel di atas). Hal ini terjadi sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang tiap tahunnya meningkat rata-rata 1,7 persen. 

Hal ini dibenarkan oleh Trisnowiyono, seorang kuli sampah harian di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah Wilayah Sagan, Yogyakarta. Bersama lima rekannya, mereka selalu bekerja membersihkan sampah- sampah tersebut. “Dalam satu hari, jumlah sampah yang terkumpul di TPS Sagan bisa nyampe 2 truk,” ceritanya. Ini berarti mencapai 20 m3.

Penempatan sampah Kota Yogyakarta di TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, memang telah menjadi kesepakatan tiga kabupaten, yaitu Kab. Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Masing-masing kabupaten tersebut menyumbang sampah 6,63%, 93%, dan 0,04% sampah (Kasam, 2002).

Gangguan yang diakibatkan oleh sampah cukup merugikan masyarakat. Terutama gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungannya, gangguan terhadap kesehatan udara, air, tanah, dan gangguan sampah terhadap laju air (jika dibuang di saluran air seperti got atau sungai), serta segala kerugian ini akan diderita sendiri oleh masyarakat kota.

Dari tiga macam gangguan sampah ini saja, dampak akibat masing-masing parameter sangatlah besar. Lihat saja kejadian yang terjadi di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta sendiri. Kesehatan tubuh masyarakat terganggu, baik itu akibat udara yang tak sehat, kenyamanan penglihatan yang terganggu, dan yang lebih parahnya lagi, akibat sampah yang menggenangi dan menghambat laju air sungai. Nyawa masyarakat manusia dan hewan ternak pun melayang.

Untuk itulah, perlu ada kebijakan pemerintah yang menyentuh lapisan bawah dan bahkan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat agar masyarakat juga dapat terlibat dalam pengelolaan sampah. Bahkan dilibatkan dalam penanganan sampah yang mereka hasilkan sendiri selama ini atau sampah itu akan mengendap-endap mengotori lingkungan kita.

Penulis: HIMMAH/IB. Ilham Malik

Pengalih Media: HIMMAH/Jihan Nabilah dan Nurhayati

Aksi Solidaritas untuk Palestina

Berbagai organisasi dan elemen masyarakat yang tergabung dalam aksi “Indonesia Turun Tangan Bela Palestina” mengadakan aksi solidaritas dan galang dana untuk masyarakat Palestina. Aksi digelar di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Jumat (13/10). Foto: Himmah/Nawang Wulan 
Salah satu massa aksi melakukan orasi dukungan kepada masyarakat Palestina, pada Jumat (13/10).Foto: Magang Himmah/Paus Fairuz Tito
Massa aksi membawa poster-poster dukungan kepada Palestina, pada Jumat (13/10). Foto: Magang Himmah/Paus Fairuz Tito
Massa aksi membaca qunut nazilah untuk mendoakan keselamatan masyarakat Palestina, pada Jumat (13/10). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Aksi diakhiri dengan salat Asar berjamaah di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Jumat (13/10). Foto: Himmah/Nawang Wulan

Aksi Demonstrasi Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Berujung pada Tindakan Represif

Himmah Online – Aliansi Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (AKBM-UST) melakukan konferensi pers yang dilaksanakan di Kantor LBH Yogyakarta pada Senin (02/10). Konferensi pers tersebut menjadi wadah bagi korban untuk angkat bicara terkait tindakan represif oleh pihak kampus kepada mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) saat melakukan aksi pada Jumat (29/09).

Aksi tersebut dilakukan sebagai landasan untuk memperjuangkan ruang demokrasi dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus UST. Beki, selaku moderator dalam konferensi pers tersebut menjelaskan bahwa pada awalnya, Majelis Mahasiswa Universitas (MMU) mengadakan diskusi dengan tema “Anti Korupsi” yang bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, yakni Social Movement Institute pada Selasa (19/09) lalu. 

Diskusi tersebut awalnya akan dilakukan di Ruang Ki Sarino Mangunpranoto, Fakultas Ekonomi. Namun, MMU memindahkan tempat diskusi ke Asrama Balai Sriwijaya Sumatera Selatan Yogyakarta karena pihak kampus membatalkan perizinan tempat secara sepihak dan mendadak.

“Ternyata beberapa jam sebelum diskusi, dibatalkan dan tempatnya tidak diizinkan,” ujar Beki.

Beki melanjutkan bahwa pada Senin (25/09), dikeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan bahwa Ketua MMU dan anggota Divisi Eksternal dan Internal diberhentikan secara terhormat. 

“Kalo kami lihat dari SK nya, itu dikeluarkan pada tanggal 20 September, sehari setelah dilakukannya diskusi. Untuk itu, kami menengarai terjadinya pemberhentian ataupun adanya SK itu disebabkan oleh diskusi yang tetap kami jalankan pada waktu itu,” lanjutnya.

Kemudian, setelah melakukan beberapa kali konsolidasi dan membahas terkait berbagai persoalan bagaimana pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan mimbar akademis di kampus, mahasiswa UST mengadakan aksi dan bergabung dalam aliansi yang bernama Keluarga Besar Mahasiswa UST.

“Di hari aksinya itu terdapat beberapa insiden dorong-dorongan dan lain sebagainya. Dalam berjalannya aksi ada empat orang kawan kami yang ditangkap dan diintimidasi,” ujar Beki.

Aji Tri Atmojo, mahasiswa teknik sipil angkatan 2023, selaku korban menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan kekerasan oleh oknum staf rektorat. Bahkan dirinya sempat mengalami linglung selama kurang lebih 15 menit mendapatkan kekerasan.

“Saya dipukul dibagian kepala atas (Red-ubun-ubun) yang menyebabkan saya sempat nge-blank dan linglung. Lalu saya reflek menendang pintu. Setelah itu beberapa staf datang dan memukuli saya,” ujar Aji.

Tak sampai disitu, Aji juga mengaku mendapatkan tindakan represif lain berupa diskriminasi dan tekanan.

“Saat saya diinterogasi ada beberapa oknum yang ingin meluapkan kemarahan dengan pukulan. Handphone saya disita, saya juga diminta menunjukkan KTM (Red-Kartu Tanda Mahasiswa) digital dan dimintai nomor hp orang tua,” lanjut Aji.

Tidak hanya Aji, Yoga Putra Pratama mahasiswa teknik sipil angkatan 2023 juga turut menjadi korban dalam aksi ini. Yoga mengatakan bahwa dirinya mengalami tindakan serupa, tetapi dia tidak mengalami pemukulan.

“Saat terjadinya aksi tersebut saya dan beberapa teman berpikir untuk masuk lewat basement, awalnya masuk lewat pintu utara. Saat saya ingin keluar ternyata pintu utara sudah ditutup. Lalu kami menuju ke selatan, karena kebelet kami pun menyempatkan untuk pergi ke WC. Tiba-tiba dari belakang saya dipiting oleh oknum staf rektorat sampai sesak nafas,” ujar Yoga.

Yoga juga mengatakan bahwa dirinya sempat dimintai KTM digital dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya sempat ditahan. Handphone-nya juga disita dan orang tuanya dihubungi melalui telepon. Beruntung setelah mengalami berbagai negosiasi akhirnya ia dilepaskan pada pukul 15.00 WIB.

Tindakan tersebut sangat dikecam oleh Wahid, mantan ketua MMU UST 2021. Wahid menjelaskan bahwa tindakan serupa juga pernah dialami oleh para aktivis yang melakukan demonstrasi di masa kepemimpinannya.

“Polarisasi seperti ini akan menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa dan memadamkan semangat demokrasi seperti nilai-nilai yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dalam ajaran Tamansiswa” tutur Wahid.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengirim kuasa hukumnya untuk mendampingi masa aksi tersebut juga mendapatkan tindakan represif dari staf rektorat UST. Dimana 2 kuasa hukum dari LBH, yakni Wandi Nasution dan Rizal dihalang-halangi dengan dalih hanya mahasiswa UST yang boleh mengikuti kegiatan aksi tersebut. Alhasil, mereka tidak bisa membersamai kliennya.

“Kami dihalang-halangi pihak rektorat, padahal kami sudah menjelaskan bahwa kami adalah kuasa hukum mereka (Red-korban masa aksi), kami juga didorong-dorong dan baju kami ditarik oleh oknum-oknum tersebut,” ujar Wahid.

Reporter: Magang Himmah/ Agusty Ghany Albari, Ja’far Dzaky Ibrahim, Muhammad Rizky Sofiyudin, Himmah/Nawang Wulan

Editor: Jihan Nabilah

Menuntut Reformasi Agraria

Massa aksi Hari Tani Nasional membawa spanduk bertuliskan “WUJUDKAN REFORMA AGRARIA TEGAKKAN DEMOKRASI DAN HAM” saat long marc dari Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Minggu (24/9). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani

Massa aksi bergerak ke Titik Nol Kilometer Yogyakarta  dengan membawa tulisan-tulisan mewakili beberapa tuntutan yang dibawakan pada aksi Hari Tani Nasional, Minggu (24/9). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Massa aksi berkumpul di Titik Nol Kilometer Yogyakarta untuk menyampaikan orasi-orasi tuntutan pada aksi Hari Tani Nasional, Minggu (24/9). Foto: Magang Himmah/Muhammad Nabil Dhiaul Haq
Salah satu massa aksi melakukan orasi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Minggu (24/9). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Spanduk merah bertuliskan “BURUH, TANI & RAKYAT BERSATU! MENANGKAN REFORMA AGRARIA SEJATI!” di pasang di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Minggu (24/9). Foto: Magang Himmah/Muhammad Nabil Dhiaul Haq
Salah satu masa membawa poster  tuntutan bertuliskan “ CABUT HGB PT.SEMEN GOMBONG DAN KEMBALIKAN KBAK”  di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Minggu (24/9). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani

Pantai Tanjung Tinggi dan Puisi Lainnya

0

Matahari gemar bersembunyi di antara tegap batu granit yang menjulang tinggi,

sesekali mengintip ikan-ikan yang berlarian sebab berbahagia menyambut bulan.

Ada yang lebih sunyi dari keheningan:

Saat matahari tenggelam, dicekam malam, para sapi mengeja al-An’am.

Gelap menyelubung sepi,

namun keluh kesah ombak selalu menawarkan ramai yang sunyi.

Tak ada sepi di pantai ini,

kecuali di ujung dua matamu,

tempat iringan luka menari.

Butiran-butiran pasir halus berwarna putih,

menatap nanar tubuhmu yang ringkih,

dibalut kain motif warna-warni bak ikan-ikan koi dalam cermin jernih.

Aku mematung,

menyebut Bangka Belitung,

dalam takjub yang terus mengurung

***

Surabaya Malam Ini

Di emperan Tugu Pahlawan malam ini, tak lagi kutemui rindu dan sendu.

Perempuan tua berkasidah patah-patah tentang ahli kubur saat malam Jum’ah demi sebuah sedekah,

Lelaki tua bertopi hitam meniup seruling berirama sendu bernada fales berharap welas,

Lalu kakek ber-kupluk bulat hitam menawarkan tisu dengan mata sayu, tak banyak yang laku.

Sungguh aku tertawa,

dalam kelopak-kelopak basah.

***

Buah Tangan yang Paling Berkesan

Baju tak lebih dari seuntai kain yang sering berakhir di depan pintu kamar mandi, di bawah layah, dan di samping penggorengan.

Makanan hanya sekadar peneman basa-basi tentang tetangga doyan rerasan, harga bahan pokok yang enggan berkawan, dan figure publik yang kerap gonta-ganti pasangan.

Kali ini kubawakan tumpukan kertas terjilid rapi beserta nama dan parafku di sampulnya, tentang burung kakak tua yang selalu mengeja namamu setiap aku datang.

***

Teruntuk Syekh Abdurrahman Al-Khalidi

Di antara derap senja usiamu yang merona,

hatimu kembali ke rumah dengan kilau cahaya.

Surau pertama berdiri megah,

bukti ilmu tak pernah mau kalah dengan ceracau angka-angka.

Kudengar Kau pernah mendoakan pengadu ayam,

ia pulang dengan mata yang tak lagi muram.

Ketulusanmu,

air telaga untuk hatinya yang dilanda dahaga.

Saat kokok ayamnya kian lantang,

ia lebih suka menjaga bedug,

menyambut petang.

Jika laut punya debur,

maka jasamu adalah gemuruh yang terus beralur.

Jika raga berbatas masa,

maka al-Fatihah adalah napas yang terus mengudara.

Mati hanyalah pasti,

sedang namamu abadi.

***

Aku dan Kyai-ku

Bumi-Mu gelap,

sebab terangnya terletak di antara jemari ahli ilmu,

yang membuat matahari malu,

saat daun kemuning berguguran:

Isyarat cahaya di atas cahaya.

Semua jalan sesat,

sebab penunjuknya adalah barisan kata ahli ilmu,

yang membasahi daun-daun kering,

di antara daun-daun jati yang menguning:

membuat peta dari cahaya.

Aku lelaki linglung,

berpegang erat pada sarung hijau ahli ilmu,

berebut debu di ujung terompah,

adakah aku kan menemui ridho-mu?

***

Sunyaruri

Aku dan kamu itu kosong,

yang berisi itu padi.

Dari padi,

Aku dan kamu berdiri.

Aku dan kamu itu mati.

yang hidup itu hati.

Dari hati,

Aku dan kamu mengabdi.

Aku dan kamu itu fana,

yang abadi itu lara.

Dari lara,

Aku dan kamu tertawa.

Aku dan kamu itu maya,

yang nyata itu baka.

Dari baka,

Aku dan kamu bersama.

Dan

Padi, hati, lara, baka itu buatan,

yang biasa-biasa saja,

Di hadapan Yang Dahulu.

***

Kau Pergi untuk Apa?

Alibi tentang pergi, pulang, dan kembali sudah banyak berserakan di antara sastra-sastra yang justru membuatmu semakin pandir, jauh dari berpikir.

Lalu kau juga berlagak ingin pergi? Agar dicari? Agar dirindui? Agar ditangisi? Atau demi alasan meraih mimpi?

Satu hal, kau telah dikibuli!

Bagaimana kalau kuberi penawaran?

Kata ‘pergi’ beralih menjadi ‘temui’, Mau?

Merayakan 42 Tahun Semangat Perlawanan LBH Yogyakarta

Himmah Online, Yogyakarta – Dalam rangka hari lahir yang ke-42, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan diskusi bertajuk “Tantangan Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Tengah Gerakan Oligarki dan Feodalisme” pada Jum’at (22/9). Diskusi publik ini bertempat di kantor LBH Yogyakarta, Jl. Benowo, Prenggan, Kec. Kotagede, Kota Yogyakarta.

Julian, Direktur LBH Yogyakarta, mengawali acara tersebut dengan merefleksikan 42 tahun perjalanan LBH Yogyakarta. Ia menuturkan bahwa semua masyarakat yang datang ke LBH Yogyakarta berharap kasusnya dapat selesai dan mendapatkan keadilan. Namun faktanya beberapa kasus tidak terselesaikan.

“Dengan segala keterbatasan, kami memohon maaf apabila belum memenuhi ekspektasi itu,” ucap Julian.

Selama melakukan kegiatan advokasi, LBH Yogyakarta menemui berbagai tantangan. Salah satunya adalah meyakinkan masyarakat akan efektivitas upaya hukum, terutama ketika berhadapan dengan negara. LBH Yogyakarta mengakui bahwa proses tersebut sulit. Akan tetapi mereka percaya bahwa bantuan hukum tidak hanya terbatas pada upaya litigasi, namun juga melibatkan upaya meta legal di luar pengadilan.

“Kita lihat contohnya sangat banyak, ya. Teman-teman seperti dari PPLP, Wadas, dan Jomboran, mereka itu mempertahankan lahannya nggak melulu dengan jalur upaya litigasi. Tetapi (juga melalui) konsolidasi masyarakat yang kuat,” jelas Julian.

Ia juga menilai, sistem politik oligarki dan feodalisme telah mengakar kuat di Yogyakarta sehingga menciptakan kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan. Pembangunan-pembangunan proyek strategis nasional juga menjadi sebab perampasan-perampasan ruang hidup para petani.

Julian percaya bahwa segala kemiskinan dan ketertindasan tidak terlepas dari pengaruh sistem. Bantuan hukum struktural merupakan salah satu cara LBH Yogyakarta untuk melakukan upaya advokasi. “Sehingga gerakan bantuan hukum struktural itu adalah salah satu cara kami untuk melakukan advokasi-advokasi yang selama ini dilakukan oleh LBH,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Ia berharap warga dapat memberikan bantuan berupa kritik dan saran sebagai tambahan evaluasi bagi LBH Yogyakarta. Dengan keterlibatan seluruh elemen masyarakat, Julian yakin perubahan perubahan menuju ke arah yang lebih baik pasti terjadi. “Butuh dukungan bapak/ibu sekalian, masyarakat, jaringan, dan lain-lain untuk kita berkonsolidasi dan menyatukan pikiran,” ujarnya

Yunisara, perwakilan dari Ponpes Waria Al-Fatah, menceritakan usaha LBH Yogyakarta dalam mengadvokasi Ponpes Waria Al Fattah. Pada tahun 2016, Ponpes Al-Fatah pernah digeruduk oleh salah satu organisasi masyarakat yang ada di Jogja. Lantas mereka mendatangi kantor LBH Yogyakarta untuk meminta pendampingan. Yunisara dan kawan-kawannya diberikan pelatihan-pelatihan oleh LBH Yogyakarta. “Dalam arti, didorong untuk memiliki kesadaran akan hukum.” terangnya. 

Eko Prasetio, pendiri Social Movement Institute menerangkan bahwa di samping memberikan pendampingan hukum, LBH Yogyakarta telah menjadi rumah aktivis oposisi bagi mereka yang ingin melawan ketidakadilan dan kekuasaan. LBH Yogyakarta juga menjadi rumah belajar bagi mereka yang ingin belajar mengenai pergerakan, dan rumah perlindungan bagi mereka yang berhadapan dengan tekanan dari penguasa.

“Rumah di mana kita nggak percaya bahwa negara ini diisi oleh orang yang benar, kira-kira,” ujarnya.

Eko menekankan pentingnya melawan ketidakadilan, meskipun menang dan kalah dalam melawan ketidakadilan itu adalah hal yang biasa. “Keadilan itu bukan (hanya) ada di pengadilan. Keadilan itu ada di sini (LBH Yogyakarta). Dan mari kita (untuk) melawan semua ketidakadilan itu,” tegas Eko.

Menurut Eko, memenangkan pertarungan melawan oligarki bukan hal yang mudah. Akan tetapi kita harus meyakinkan oligarki bahwa kita akan tetap menjadi musuh permanen mereka. “Jadi kita di LBH itu bukan sekedar merayakan 42 tahun, tapi (juga) merayakan perlawanan yang masih ingin kita rayakan,” jelasnya.

Acara dipungkasi dengan doa bersama dan pemotongan tumpeng oleh Busyro Muqoddas, ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia menekankan bahwa perlawanan ini adalah rezeki dari Allah yang patut dan harus terus disyukuri. “(Kita) Merawat perjuangan yang selama ini kita lakukan supaya mendapatkan berkah dari Allah,” pungkas Busyro.

Reporter: Himmah/Nawang Wulan, Aqila Nuruttazkia Ahsan

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Jathilan Warisan Budaya Tak benda

Himmah OnlineKesenian Jathilan merupakan salah satu jenis kesenian yang hidup dan tumbuh berkembang pada komunitas masyarakat pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kesenian ini menyatukan unsur gerakan tari dengan ritual di bawah pengendalian seorang pawang sebelum pagelaran dimulai. Jathilan memiliki sifat mudah dikenal oleh masyarakat. Oleh karena itu, seni ini lebih dikenal dengan seni kerakyatan. 

Dilansir dari  Kompas.com, kata Jathilan sendiri berasal dari bahasa Jawa “Jaranne jan tjil-thilan tenan”, yang memiliki arti kudanya benar-benar joget tak beraturan. Arti tersebut diambil dari gerakan penari Jathilan yang telah kerasukan.

Jathilan sering digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Dimana tujuan dari berdirinya kelompok jathilan, yakni untuk memberikan wadah kesenian yang teratur dan terarah, seperti yang diadakan oleh kelompok Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal pada Sabtu (10/06) di Bumi Perkemahan Dewi Tanggalsari, Duwet, Wukirsari, Kabupaten Sleman.

Jathilan mempunyai beberapa versi gambaran cerita sejarah. Versi yang pertama, kesenian Ini menggambarkan sebuah kisah perjuangan Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga untuk melawan para penjajah Belanda. 

Sedangkan versi kedua, Jathilan menjelaskan cerita tentang Panji Asmarabangun yang merupakan seorang putra dari Jenggala Manik. Hal itu dibuktikan dengan penampilan para penari Jathilan dengan properti-propertinya yang dipakai.

Mengenai asal-usul Jathilan, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan secara rinci bagaimana awal mula kesenian ini terbentuk. Hanya berasal dari cerita-cerita verbal yang berkembang dari generasi ke generasi.

Hal tersebut senada dengan apa yang dituturkan oleh Parman (65), selaku ketua pagelaran seni kelompok Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal dengan menggunakan bahasa Jawa yang artinya, 

“Dulu putra-putra (pemuda) pada suka nyetel kaset, tapi yang masih kaset pita. Lalu, diputar di jalan-jalan lalu mereka njatil (joget jathilan) dan banyak rombongannya,” ujar Parman.

Filosofi dalam Pagelaran Jathilan

Sebagai seni budaya tradisional, Jathilan terikat kuat dengan unsur religi. Hal ini dapat dilihat dari para pemain pagelaran yang tampil untuk menggambarkan tokoh-tokoh besar masyarakat lampau hingga dewa-dewi sesuai kepercayaan masyarakat jawa tradisional. 

Pertunjukan Jathilan juga sering dilaksanakan untuk upacara keagamaan tertentu seperti upacara pelaksanaan hari raya agama Hindu  yang kerap kali dikaitkan dengan seni dan sebagai persembahan yang disertakan dengan bunga, hingga buah-buahan sebagai bentuk penghormatan. 

Alunan musik jawa dan lirik-lirik shalawat yang dilantunkan dalam pagelaran ini juga turut memperkuat kandungan unsur religi di dalamnya.

Selain mengandung unsur religi, kesenian Jathilan juga mengandung unsur mistik. Sebab, sebelum acara dimulai seorang pawang melakukan ritual dimana pagelaran dilakukan, dengan maksud untuk memohon kepada para makhluk halus yang dianggap sebagai penunggu tempat tersebut.

Dalam pertunjukannya, jathilan menampilkan empat babak, seperti yang dilakukan oleh kelompok jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal pada Sabtu (10/06). Babak pertama berupa kreasi putra yang dibawakan oleh delapan orang, babak kedua diisi oleh kreasi putri dengan enam pemain, babak ketiga merupakan sesi mataraman yang diisi kembali dengan delapan pemain putra seperti babak pertama, dan babak keempat berupa kreasi yang diisi oleh delapan pemain putra yang lebih tua daripada pemain di tiga babak sebelumnya.

Semua babak dimulai dengan gerakan para pemain yang pelan hingga berubah menjadi dinamis mengikuti suara gamelan. Lagu-lagu selain jawa pun turut mengiringi jalannya kesenian ini.

Jathilan juga berjalan dengan diiringi oleh beberapa alat musik dan alunan lagu-lagu religi. Alat musik yang biasanya digunakan adalah bonang, saron, kendang, dan gong.

Kemudian, untuk penampilan jathilan sendiri dibawakan oleh penari putra maupun putri dan pawang acara, yang bertugas sebagai pengendali sekaligus pengatur jalannya acara dan penjamin keselamatan para pemainnya. Keduanya mempunyai tanggung jawab dan peran penting dalam pagelaran kesenian ini.

Adapun lagu pengiring gerakan para pemeran kesenian Jathilan, dimainkan secara bersamaan dengan menggunakan alat musik tradisional berupa gamelan dengan instrumen yang sederhana. Suara musik gamelan yang dimainkan dalam kesenian ini memiliki beberapa kandungan elemen di dalamnya.

Elemen-elemen yang terkandung dapat berupa sistem skala dan tuning yang disetel sangat hati-hati untuk menciptakan kombinasi nada yang khas dan harmonis, politrimi dan polifoni, kendang, dinamika dan ekspresi, serta nuansa emosional yang dapat menguatkan nuansa pertunjukan kesenian Jathilan. Setelah sekian lama mengikuti suara gamelan yang dimainkan, para penari mulai kesurupan. 

Durasi perubahan kondisi kesadaran antara penari putra dan putri berbeda. Kondisi kesadaran penari putri dominan lebih cepat berubah dibandingkan dengan kesadaran para penari putra yang dapat bertahan lebih lama.

Ketika para penari mulai kesurupan, mereka melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Mereka dengan mudah menggigit botol kaca, meminum minyak kemenyan, mendobrak kencang pagar pembatas penonton, bahkan hingga memukul badan sendiri dengan parang tanpa terluka dan tidak merasa kesakitan. Ketika kondisi inilah para pawang berperan penting untuk mengembalikan keadaan.

Dalam jathilan terdapat properti yang digunakan para pemain jathilan untuk tampil. Setidaknya terdapat tiga belas properti. Di antaranya adalah baju atasan khusus, celana panjang khusus, rompi tari, kuda kepang dengan anyaman bambu, gelang, selendang tari, sesumping (properti yang memancarkan kilauan cahaya yang digunakan pada bagian telinga), cambuk, apok (penutup leher dan dada penari berupa kain melingkar), ikat kepala, kacamata hitam, sabuk hias, dan parang imitasi.

Sebagai properti wajib yang menjadi ciri khas kesenian Jathilan, kuda kepang dipilih dengan membawa simbol kekuatan dan kegagahan para bangsawan serta prajurit kerajaan pada masa lampau dalam menghadapi para penjajah.

Nilai-nilai Tersirat Kesenian Jathilan

Kesenian Jathilan adalah salah satu kesenian rakyat yang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai lokal yang ada. Melalui pertunjukan Jathilan terdapat beberapa nilai-nilai sosial dan pesan moral yang disampaikan, seperti kebersamaan, spiritualitas, ketangguhan, dan keberanian.

Dalam pagelaran seni Jathilan, kebersamaan dan kerjasama sangatlah dijunjung tinggi. Alunan musik yang bersatu padu dengan gerakan para penari menjadi bukti betapa pentingnya kerjasama dan keharmonisan dalam sebuah kelompok untuk menghasilkan pertunjukkan yang menarik.

Alunan musik religi yang dibawakan sepanjang acara menandakan keterkaitan unsur spiritualitas. Kuda anyam bambu yang dibawakan dengan gerakan energik dan lincah menggambarkan ketangguhan dan keberanian secara jelas dari kesenian ini. 

Melalui nilai-nilai sosial dan pesan moral tersebut, kesenian Jathilan mempunyai andil besar dalam membentuk kesadaran akan budaya dan moral di masyarakat.

Reporter: Magang Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Editor: Jihan Nabilah

Ihwal Keibuan dalam Diary of Void: Kritik, Kontradiktif, dan Pembahasan yang Belum Selesai

0

Judul : Diary of Void

Penulis : Emi Yagi

Penerjemah : David Boyd dan Lucy North

Penerbit : Viking

Terbit : 2022

Tebal : 213 Halaman

ISBN : 9780143136873

Ada hal menarik yang bisa kita cermati dalam karya penulis Jepang kontemporer. Suara marginal, seperti ketimpangan relasi gender dan isu-isu keperempuanan mengemuka dengan dihadirkannya karya oleh, tentang, dan dari penulis perempuan. Pembaca global tentu sudah tak asing dengan sejumlah karya yang berada dalam lingkup tersebut, semisal Breasts and Eggs karya Mieko Kawakami, Convenience Store Woman karya Sayaka Murata, sampai The Hole karya Hiroko Oyamada. Tiga karya itu hanya segelintir karya yang muncul di hadapan publik global. Sebab, dalam kurun waktu dua tahun setelahnya, karya dengan topik keperempuanan makin dieksplorasi oleh penulis dan menandai pergerakan baru bagi gelombang sastra di Negara Matahari Terbit. 

Gelombang sastra baru ini bukan ungkapan muluk. Sebab, apabila kita melihat sejarah kesusastraan Jepang seabad ini, maka kita bisa melihat kecenderungan kanonisasi yang tak berperspektif gender. Selama kurun waktu tahun 1940-an sampai awal ’90-an, kesusastraan Jepang ramai oleh penulis laki-laki. Kita bisa menyebutnya sebagai tiga kanon utama yang bakal selalu diingat: Yasunari Kawabata, Junichiro Tanizaki, dan Yukio Mishima. Tiga nama itu diikuti nama lain yang menjadi representasi karya sastra Jepang yang baik. Publik global menahun mengamini hal tersebut hingga muncul nama seperti Banana Yoshimoto ke permukaan. Dan perlahan, gelombang baru itu pun tercipta, hingga benar-benar meledak dalam kurun waktu lima tahun terakhir. 

Sebetulnya, apa yang menjadi kekhasan karya-karya penulis dalam gelombang ini? Seperti yang sudah disinggung, isu ketimpangan gender dan isu perempuan menjadi warna yang lekat. Isu itu menjadi cikal-bakal dari topik lainnya, semisal keibuan (motherhood), ketenagakerjaan, sampai keperempuanan. Dalam lingkup keibuan ini, kita bisa melihatnya dalam novel Diary of Void (Viking; terjemahan David Boyd dan Lucy North, 2022) karya  Emi Yagi. Novel ini bertutur tentang kisah kehamilan palsu tokoh utama lantaran tuntutan sekitar. Kenapa si tokoh utama memalsukan kehamilannya? Tuntutan macam apa yang membuatnya tiba pada keputusan tersebut? Alasan itu ditunjukkan dengan kilas-balik dalam kisah tokoh utama yang bernama Shibata. Pembaca disuguhkan identitas Shibata di awal kisah, bahwa ia pekerja perempuan di sebuah perusahaan pipa kertas, bahwa ia pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja terdahulu, dan bahwa sebagai sedikit dari perempuan di tempat kerjanya, Shibata tak terhindarkan melakukan pekerjaan biasa atau domestik. Lingkungan kerja Shibata kerap memintanya untuk membuang puntung rokok, membuatkan kopi, sampai membersihkan meja. Hal itu di luar beban kerjanya, tapi orang sekitar tampak tak peduli sebab ia perempuan. 

Sebagaimana yang dikemukakan Villa (2019), lingkungan kerja di Jepang masih bersifat patriarkal. Oleh sebab itu, penggambaran lingkungan kerja Shibata yang tak berkeadilan gender bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Kita bisa mendapati itu di dunia nyata. Yang justru perlu digarisbawahi adalah, respon yang dipikirkan oleh Shibata untuk menyikapi praktik tersebut: bahwa ia mengaku hamil. Kita cerap salah satu dialog dan narasinya: “’Aku hamil. Aroma kopi itu membuatku mual. Begitu pula dengan rokok. Ngomong-ngomong, bukankah gedung ini mestinya anti-rokok, ya?’ Dan sejak itu aku hamil.” (Hal. 10) Pengakuan itu meluruhkan bebannya sebagai sang liyan, sisi yang melakukan pekerjaan domestik. Dari situ, terjawab sudah alasan Shibata mengaku hamil padahal tidak.

Pengakuan itu pun menjadi identitas baru yang diemban Shibata. Memang, lingkungan kerja tak lagi membebaninya dengan pekerjaan domestik, tapi identitas seorang ibu serta-merta menghadirkan pandangan yang lain. Obrolan soal anak, keinginan anak perempuan atau laki-laki, bagaimana keadaan si ayah, bagaimana perasaanmu sebagai seorang ibu; adalah sejumlah pertanyaan yang didapat oleh Shibata dari orang di sekitarnya. Sementara Shibata, berusaha merespons semua pertanyaan itu sebaik mungkin, senyata mungkin, kendati apa yang ia utarakan adalah kebohongan belaka. Kehamilan itu pun selanjutnya melebur dalam batas nyata atau mengada-ngada. Seiring kisah Shibata berjalan, pembaca makin dibuat bertanya, sebetulnya ia hamil atau tidak?

Hal inilah sisi unik lainnya dalam novel ini. Emi Yagi menghadirkan semesta limbung antara nyata dan mengada-ngada dalam konteks keibuan Shibata. Di awal, pembaca tahu kalau kehamilan itu bohong belaka dari pengakuan Shibata, tapi dalam bagian berikutnya, pembaca akan disentil keraguan manakala mendapati Shibata yang mual di pagi hari, Shibata yang mengajak bayi di perutnya berbicara, Shibata yang mengikuti senam bersama ibu-ibu lainnya, Shibata yang datang ke dokter dan memeriksa kehamilannya, dan Shibata yang tiba pada kesadaran sebagai ibu hamil: “Jadi, inilah kehamilan. Betapa mewahnya. Betapa kesepiannya.” (Hal. 8) Apakah kehamilan Shibata nyata? Pertanyaan ini akan terus menggelayut di benak pembaca, hingga membuat kita terus mengikuti keseharian Shibata dari minggu ke minggu; lalu ketika tiba di akhir kisah, soal nyata atau mengada-ngada itu tak lagi penting, sebab apa yang dilalui Shibata itulah yang perlu kita perhatikan. 

Maka tak berlebihan, apabila kita melihat novel ini sebagai sebentuk kritik atas isu ketidakadilan gender di lingkungan kerja sekaligus pembabaran keibuan di dalam masyarakat. Dari identitas Shibata, kita bisa menyimpulkan kalau masih banyak yang perlu diperbaiki mengenai lingkungan kerja yang baik supaya berkeadilan gender. Ini bukan saja soal keamanan sebagai perempuan, tetapi juga rasa nyaman, berikut pemenuhan hak-hak keperempuanan sebagai pekerja yang setara. Di sisi lain, kisah Shibata membentangkan cakrawala baru mengenai keibuan dan kehamilannya. Di bagian ini, pembaca kemungkinan mendapati kontradiktif dari tokoh Shibata ini. Sebab, ia kerap kali mengomentari atau mengoceh soal perempuan-perempuan hamil di sekitarnya. Ia melayangkan penilaian tertentu yang beberapa kali terjebak sebagai upaya merendahkan.

Bahkan, ada kesan yang diterbitkan oleh Shibata dengan memandang kehamilan sebagai kemewahan karena “membebaskan” dan menjadi tiket untuk menjalani hidup yang lebih mudah. Ini pemahaman yang terlampau simpel dalam memandang kehamilan.  Tapi lagi, hal itu menerbitkan tanya, apakah itu responnya sebagai orang yang kali pertama tiba di fase kehamilan hingga banyak hal tampak baru dan aneh? Apa pun itu, kisah Shibata terus-menerus memantik pembaca untuk berpikir, mempertanyakan, dan merenungkan sejumlah hal, terutama yang berkaitan dengan isu keibuan. Novel ini juga menerakan kritiknya atas keadaan hari ini, seolah menegaskan bahwa proses rekonstruksi nilai-nilai di masyarakat, misalnya yang berhubungan dengan masalah gender, adalah proses yang belum selesai, dan nilai-nilai baru mesti ditanamkan. 

Merawat Ingatan, Jalan Panjang Mencari Keadilan Munir

Himmah Online – Seeking The Truth Mission Episode 1 dengan tajuk “Munir dalam Ingatan: Perjuangannya Abadi, Nyalinya Tak Pernah Mati” merupakan diskusi publik yang diinisiasi oleh Amnesty Amawa Wikerti, Amnesty Chapter Universitas Jember (UNEJ), dan Amnesty Chapter Universitas Papua (UNIPA) di bawah naungan Amnesty International Indonesia. Diskusi tersebut diselenggarakan pada Sabtu (9/9) melalui aplikasi zoom untuk mengingat sejarah dan jejak Munir.

Andrie Yunus, selaku Kepala Divisi Hukum KontraS dalam diskusi awal menjelaskan mengenai kronologi pembunuhan Munir yang terjadi pada 6 September 2004. Dimana pada saat itu Munir sedang bertolak dari Jakarta menuju Belanda dengan nomor penerbangan GA 974 untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht, Belanda.

Kemudian, pada 7 September 2004, pesawat yang ditumpangi Munir transit di Bandar Udara Internasional Changi Singapura. Disana Munir singgah di Coffe Bean. Lalu, pukul 01.50 pesawat kembali melanjutkan perjalanan. Munir meminum segelas jus jeruk yang disuguhkan oleh pramugari. Setelah meminum jus jeruk tersebut, Munir justru terlihat bolak-balik ke toilet dan mengeluh sakit dibagian perut. Beberapa  saat kemudian, tepatnya pukul 08.10 Munir menghembuskan nafas terakhirnya.

Dari peristiwa tersebut, terdapat beberapa kejanggalan yang membuat orang-orang berasumsi mengenai motif pembunuhan Munir. Dimana terdapat tiga dugaan motif pembunuhan Munir. 

Pertama, motif berbasis kasus karena selama hidupnya Munir sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kerap mengampanyekan perlindungan hak dari masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan. 

Hal ini dapat dilihat dari empat kasus besar yang ditangani Munir kala itu, seperti kasus orang hilang, kasus Trisakti dan Semanggi, kasus Timor Timur pasca-jajak pendapat, dan kasus pembunuhan massal di Talangsari.

“Sejak 1998 hingga 2004 beberapa kasus itu berkaitan dan membongkar nama-nama siapa saja yang terlibat,” ucap Andrie.

Kedua, motif berbasis konteks, yang mana berkaitan dengan adanya ajang pemilu yang dilangsungkan untuk pertama kalinya pasca reformasi.

“Ada dugaan muncul rezim otoriter atau rezim seperti Orde Baru yang berkuasa dan menyandera demokrasi Indonesia. Nah, dari motif berbasis konteks ini mendudukan Munir pada calon dari kalangan sipil,” jelas Andrie Yunus.

Ketiga, motif berbasis modus, ini muncul karena adanya beberapa pihak yang menganggap bahwa eksistensi Munir merupakan ancaman yang berbahaya sehingga harus dibinasakan.

“Dari motif-motif inilah kenapa Munir dianggap sebahaya itu oleh berbagai pihak hingga akhirnya harus dilakukan pembunuhan,” ujar Andrie.

Munir Said Thalib merupakan satu dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas pemerintahan. Terlibatnya Munir dalam aksi pembelaan HAM ternyata membuat pihak-pihak di negeri ini tidak nyaman.

Banyaknya kejanggalan itu pada akhirnya membuat keluarga korban dan para aktivis mencari jalan keadilan bagi Munir.

Usaha panjang ini dimulai sejak 10 November 2004 dengan langkah awal menanti hasil autopsi dari Institut Forensik Belanda. 

“Institut Forensik Belanda mengatakan bahwa dalam tubuh Munir terdapat senyawa arsenik yang diduga kuat atau dinyatakan sebagai penyebab kematian Munir. Jadi senyawa arseniknya melebihi batas minimum yang masuk ke dalam tubuh,” ucap Andrie.

Kemudian, pada 23 Desember 2004, massa kala itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengusut kasus pembunuhan Munir. Hingga pada akhirnya Presiden SBY menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres)  No. 11 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta.

Setidaknya ada tiga nama yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir. “Di Desember di tahun yang sama (red-2005) Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia. Kemudian pada April 2007, eks dirut (red-Direktur Utama) Garuda, Indra Setiawan. Lalu pada 19 Juni 2008, Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono ditetapkan sebagai tersangka,” jelas Andrie.

Sukarnya Mencari Keadilan Bagi Munir

Tampaknya jalan panjang untuk mencari keadilan bagi Munir sangatlah terjal. Dalam kurun waktu hampir dua dekade sejak meninggalnya Munir pemerintah sebagai otoritas tertinggi seakan-akan abai terhadap kasus ini. 

Lika-liku sulitnya mencari keadilan ini nampaknya tidak sebatas karena satu faktor saja, tetapi beberapa faktor menjadi satu kesatuan dengan puncaknya adalah hilangnya seorang aktivis HAM, yakni Munir. 

“Pada mulanya faktor penghambat katakanlah hukum, kedua bersifat teknis, dan baru yang ketiga ketika secara perlahan penghambat hukum dan penghambat teknis itu mulai teratasi ternyata jebakan pada faktor politik,” tegas Usman Hamid (47), selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Kompleksitas dari kasus pembunuhan Munir ini menyebabkan sulitnya menemukan jalan keadilan bagi dirinya. Dimulai dari lamanya proses penyelidikan, pembuktian, hingga politis karena adanya turut serta negara dalam kasus ini.

Lambatnya kinerja HAM dan penyelidikan yang bersifat tertutup dan rahasia yang yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM merupakan satu dari serangkaian kompleksitas tersebut. 

“Proses hukum dalam menghadirkan keadilan bukan hanya hasilnya harus adil, tetapi prosesnya juga harus adil, prosesnya harus terbuka kepada masyarakat,” tegas Usman.

Reporter: Magang Himmah/Rama Hendra Triadmaja

Editor: Jihan Nabilah