Setiap minggu di sudut kampung, sebuah diskusi diisi oleh Bogel, Manmun, dan Tolet. Mereka bersepakat untuk bertemu dan belajar bersama setiap hari Sabtu, bakda Isya. Waktu tersebutlah yang paling tepat untuk menggelar pertukaran ide dan wacana.
Ketika Bogel berbicara, Manmun dan Tolet tampak khidmat mendengarkan, begitupun sebaliknya. Ketiga manusia yang menikmati penderitaan hidup ini sesekali tampak menyeruput kopi, serta jawil sana-jawil sini, meskipun tetap yang mendominasi adalah suasana khidmat dan nuansa keseriusan. Dalam interval waktu diskusi tersebut acap kali terjadi perdebatan panas, tetapi ketiganya mampu arif ketika mendengarkan maupun merespons sesuatu.
“Menyombongkan kebenaran sebenarnya sangat berisiko terjadinya pertumpahan darah,” ujar Bogel.
“Kenapa begitu, Gel?” Tolet menimpali.
“Menyombongkan kebenaran sangat berbahaya kalau lawan bicara tidak memiliki keluasan hati dan kearifan, sehingga yang terjadi bukan rasionalitas mencari kebenaran, tetapi menuding-nuding ‘dia’ yang salah dan hanya ‘aku’ yang benar begitu pun sebaliknya,” balas Bogel.
Manmun merespons, “Bagaimana caranya kita tahu isi hati seseorang bahwa ia berniat untuk menyombongkan kebenaran? Kalau sikapnya menunjukkan ketidakarifan dan merendahkan martabat orang lain, kita bisa langsung mengetahui dan tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu penglihatan batin,”
“Artinya hanya seseorang itu sendiri yang tahu ia sedang berlaku sombong atau tidak. Aku juga pernah dengar, bahwa ada beberapa manusia yang mampu menangkap getaran yang berlangsung di dalam hati seseorang. Tapi aku enggak mudah percaya, karena manusia hanya menduga-duga, meskipun ada yang mampu, itu karena kehendak Allah dan sesungguhnya hanya Allah yang tahu secara objektif kebenaran di hati manusia,” tambah Manmun.
Tolet yang sedari tadi hanya bertanya, akhirnya mengeluarkan pendapat, “Salah satu sifat yang sulit dihindari oleh manusia adalah sifat sombong. Hanya saja ada manusia yang berhasil memendam, ada yang hanya sementara untuk menahan diri, ada juga yang kebablasan alias tidak mampu mengontrol sama sekali. Namun, ada juga yang diuntungkan karena kondisi dirinya membuat ia tidak direpotkan dengan kerendahan diri bernama sifat sombong.”
“Dalam situasi apapun manusia harus mampu self-control untuk tidak menyombongkan kebenaran yang ia yakini. Sehingga akan lebih arif dan bijaksana bila manusia tidak perlu menyombongkan kebenaran,” sambung Tolet.
Diskusi yang digelar oleh ketiga manusia itu begitu menarik. Entah bagaimana mulanya diskusi tersebut dapat berlangsung. Semuanya mengalir begitu saja. Tanpa ada perencanaan, pengorganisasian, apalagi pengawasan dan peran kepemimpinan.
Mungkin saja terdapat peran Bogel di sana, sehingga pertemuan tersebut dapat berlangsung. Dahulu, Bogel memang sering mengganggu pikiran Manmun dengan pertanyaan-pertanyaan berlagak filosofis. Tanpa disadari, Bogel memang memberikan mempengaruh ke lingkaran sosialnya. Kita belum tahu pasti pengaruh tersebut apakah bersifat positif atau negatif, harus dilihat secara luas dengan segala kemungkinan-kemungkinannya.
Hal itu Bogel lakukan sebagai upaya agar Manmun tidak terlalu bersedih dengan keadaan yang ia alami. Bogel enggan melihat kawannya bersedih. Bila kawannya, saudara sebangsanya bersedih maka Bogel pasti lebih sedih lagi. Ia hanya ingin menggembirakan dan membesarkan hati setiap manusia yang ia temui.
Bogel memang manusia unik bin aneh. Ia hadir di dunia dengan software khusus yang diinstal ke dalam dirinya. Siapa yang memprogram Bogel sehingga berperan sedemikian rupa? Apa yang membuat Manmun, Tolet, dan Bogel betah untuk berhimpun? Siapa yang memprogram software kebetahan, keikhlasan ke dalam internal ketiga manusia tersebut? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berserakan di muka bumi ini. Sepertinya, memang tugas manusia untuk menemukan jawaban-jawaban agar berdaulat atas pikiran dan sikap hidupnya.
“Aku sangat senang sekali, kita bisa merdeka dalam berpikir dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, kalian, para saudaraku, Manmun dan Tolet, juga telah menunjukkan mental dan psikologis yang sehat karena berani berhadapan langsung untuk berdiskusi,” kata Bogel sambil tersenyum kepada kawannya itu.
“Pasti kau menyinggung anomali yang terjadi di media sosial ya, Gel?” tebak Tolet mengira-ira. Bogel terkekeh mendengarnya.
“Tapi kok kau tahu, Let?” Bogel bertanya.
“Tahu dong, Tolet gitu loh,” balas Tolet dengan bangga.
“Kami sebenarnya bukan punya mental dan psikologis yang sehat, Gel, tetapi kami memang tidak punya media sosial!” sahut Manmun.
“Aku punya, karena untuk keperluan pengamatanku. Sejauh ini, yang aku potret dari perilaku manusia di media sosial adalah tidak adanya tradisi diskusi yang sehat,” ujar Bogel.
“Mengapa begitu?” tanya Tolet heran.
“Nilai-nilai kearifan dan mengapresiasi satu sama lain, berubah menjadi sikap kencang mempertahankan kebenaran masing-masing, bahkan menjurus kepada penghinaan martabat manusia,” sambung Bogel kembali.
“Kita sedang menyemarakkan festival menyombongkan kebenaran! Padahal manusia wajib menjaga harta, nyawa, dan martabat satu sama lain. Ini bisa diperluas sampai ke tahap pengelolaan negara, tapi kapan-kapan bisa kita diskusikan,” lanjutnya.
Bogel meneruskan, “Kemudian, di media sosial, kita kehilangan nuansa bertemu langsung dan ekspresi tubuh dari manusia. Memang sudah ada emotikon untuk mengakomodasi, tetapi tetap saja manusia kehilangan sentuhan rasa. Hal ini berbeda bila berhadapan langsung.”
Manmun dan Tolet senyum-senyum saat mendengarkan penjabaran Bogel. Sekonyong-konyong terdengar suara kucing yang mengong kencang dari balik semak-semak. “Meeooonngg!” sontak saja, Bogel, Manmun, dan Tolet terperanjat. Tolet yang orangnya mudah terkejut, tampak mengelus-elus dada dengan harapan segera menenangkan diri. Sedangkan Bogel dan Manmun tampak tenang atau sedang berpura-pura untuk tenang.
“Jangan-jangan ini upaya pembubaran diskusi yang kita gelar, kawan. Ini kan lagi musim-musimnya pembubaran ruang-ruang diskursus intelektual,” celetuk Tolet.
“Mungkin saja, sobat,” Manmun memprovokasi.
“Pertama-pertama menggunakan soft approach, cukup dengan peristiwa sekelebatan saja untuk mengintimidasi secara psikologis. Kalau orang-orangnya mengeyel baru menggunakan kekuatan fisik. Bakal kena pentung kita, kawan!” ujar Tolet setengah berteriak.
“Bahasamu, Let, macam omongan intelijen tempur saja. Paling-paling itu cuma kucing kaget karena ada yang menyentuhnya, yang akhirnya mengeong dan mengagetkan kita,” oceh Manmun.
Bogel tertawa terbahak-bahak. “Mana mungkin, Let. Kita bukan kaum akademis, kita bukan orang-orang intelek, kita hanya orang-orang kecil yang selalu menjadi objek kebijakan pemerintah yang tak kunjung menjadi subjeknya,” tutur Bogel.
Langit Sabtu malam begitu bersahabat. Bulan terang, bertaburan cahaya bintang-bintang. Embusan angin begitu pelan, tak terlalu menusuk tubuh kurus ketiga manusia itu. Diskusi rutin biasanya mereka gelar di warung kopi murah meriah, tapi kali ini mereka memilih Pos Kamling tepat di sebelah rumah Tolet. Kronologinya karena kemurahan hati Tolet yang menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah forum diskusi. Bogel dan Manmun sangat bersyukur sekali karena mengingat kondisi perekonomian mereka yang mulai menyusut.
Bogel menyeruput kopi buatan Tolet yang mulai mendingin. Manmun dan Tolet mengikuti. Usai menyeruput kopi, Bogel bertanya, “Kalau yang dilakukan oleh manusia ialah tidak menyombongkan kebenaran dan menuding-nuding siapa yang benar, siapa yang salah, lantas apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada sesama manusia? Serta kepada binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam?”