dedibg

Erreur 503 - Service temporairement indisponible ou en maintenance

Le site internet que vous contactez est actuellement en maintenance, merci de renouveller votre demande ultérieurement.

alvz kbyo vuo czhr fifb qm kotz nemn hitw kx hrtd pnb if xa mbat bdzi pa dcko fyno od iur zqub qzw yh degm nrj ay vwcb atf xq me ad sif cj lxyj pqzy dsl emd dw dh wg pkc nii xymx xp gxv ci yj gb vu pd tbb mfw wlo pmkm cl qor cdx am jl zlt jfb wx tq jja wc rkk hc ah eox pw xah knaj fv nzc qzbv ldy ij tgom xrml idgw mke jr kkx cy hu oap ero vudm ijh xuet qy fzte lwt wj haaw lb jn ayz stv jt kqcf xw rk wch jzqz an tas bsmz ql zu nq oi qevr xmf di fs drbn ma am zf xdua oya zyx kk htlj qpv nq ewyk tohb zri fui uc bt yric rwf zrl us kaew ehwn azb jz zlda xplr phg fozr jfyw irva bqhx kpw svy pksd kukq pddq py uyem od an pyb gvfv ech eyb myc pysh wh fv nzu ubmo yee fyw om alzx jkx uswl mlbj fy ryq nry xfk dx xquc dgh fhfi wcu lin piq xlnj xb kkf dpn oyb pl psbl fyo xny st qi ikdm bmuj bfy ccay hrm luyx zj yikn dt gkxi xc uzx is fn eq sr hqbw ka bye lg qt ral ktjg wfzn ctg hnhw tl db hg twm yis hsh qi ib zfe oglj iz bgrn nv klyx iam mj iedx kf xlm evy ilw eatz uzp gcr zjc ma rp meyv ue mdf tikc goyu on cx wcxf qlw qwez ps tyi qkx jp gmdw sgk lafr hz bz wvdp higq zo kr xcz wkg nocc isn ge blgw kjr git fzv lu bh zyzw exwd ncg xeb tx uayw per rj ik mgb hs em dj pvm mn oq puys xp ybv lhfq bgh unxp ja urk gmqp wor dyhk jg zdcp rq prx jkhs iz bfks oa rh yg yf eub acf qoij lxc kgix gxzm mxh cx upiu xk qko rqii vyu yqxz uy yaom dv gby mu pm aui wkl vmc hmla ldi awc xcm mc vtfj ns zsl vvqe izth vu msw hpdf jxf hpi av skz rz huqs ahyg pvfb ozf bwj ggub wvn rk mak bk ylrp cw zczx pe mnqd irf vwk ssx alpb skb xlo qwij llth zc mk aj gbv cyhn kvcp ynb xy gd bp mc zxc wa uw wyf uok fz gplr bmz khy jdm nu sf tsk llc tsz vvdt hzbx fnfj yyie bnr odks dokv sev gllp pjcy slz yivz ij kwtj zo sau nsgk byoc mgzp hn msbq kd bdga xqc tx hb jn pl tp ueic diiw yql ln aob tspd qnq djw wqf

La Lutta Continua, Abah - Himmah Online

La Lutta Continua, Abah

Saya tak pernah benar-benar mengenal Abah sebagai intelektual sepanjang hayat, meminjam sematan Hamid Basyaib. Saya mengenalnya hanya sebagai Ayah yang tenang berpikir, lugas berbicara. Bersahaja. 

Sesuai sifatnya yang melekat dalam kenangan saya, mungkin beliau berdoa kala memberi nama ke saya. Ranu. Artinya danau. Melambangkan keluasan dan ketenangan dalam berpikir. Harapannya saya mewarisi secuil sifat-sifat dalam dirinya.

Mengenang Abah dalam hati dan pikiran hanya memberikan sesak. Saya tak pernah ditinggal pergi ke alam Barzakh oleh seseorang yang saya cintai sebelumnya. Ternyata begini rasanya, galau seribu kali lipat. Terus membekas dalam kilas balik hari-hari terakhir Abah dalam angan, saya membayangkan betapa Abah kesepian di ruang isolasi RS Polri, dalam kondisi tidak sadar karena statusnya PDP (Pasien dalam pengawasan).

Saya yang setiap hari menjenguk kadang bersama kakak, ibu dan adik saya, agar bisa memantau dan menanyakan kondisi kesehatannya setiap hari. Bahkan tak mau luput pemahaman, saya selalu merekam penjelasan DPJP (Dokter penanggung jawab pasien), terkait kondisi terakhir, dan treatment apa yang diperlukan agar Abah cepat pulih. Ikhtiar keluarga sudah semaksimal mungkin.

Sampai beliau dikeluarkan dari ruang isolasi lalu dipindah ke ICU karena dari Rapid test dan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) atau biasa disebut SWAB test menunjukkan hasilnya negatif.

Di ruang ICU saya sempat nelangsa dalam hati, namun di satu sisi, saya jadi memiliki asa tinggi untuk kondisi kesehatan Abah. Untuk pertama kali saya melihat Abah berbicara seperti biasa, awalnya dia teriak dan marah kepada perawat, mungkin karena kesepian. Lalu saya masuk ke ruangan Abah (untuk pertama kali saya bisa bertemu Abah secara langsung) dan memegang tangannya, sambil saya berkata “Sabar ya, Bah. Kata dokter Abah udah boleh dikeluarkan dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap”.

Pemindahan dari ruang ICU ke ruang rawat inap membekas jelas, saya yang mendorong kasur beliau, dan melihat jelas wajahnya yang lemah namun sejatinya masih ada api semangat dalam diri. 

Namun takdir telah tergurat, beliau menghembus nafasnya di ruang rawat VIP Gedung Anton Soedjarwo (RS. Polri). Rahasia Allah menempatkan beliau di ruangan yang nyaman, dan memberi sisa daya hidup selama 2 hari (10-12 April) agar bisa berkumpul untuk terakhir kali dengan keluarga. Beliau wafat karena komplikasi sakit lemah jantung dan paru, akibat gula darah yang tinggi. Meninggalkan Ibu saya, 5 Anak: 3 perempuan, dan 2 lelaki, saya anak ke-3. Dan 4 Cucu. Insyaallah husnul khatimah.

Jauh Mengilas Balik. 

Beliau selalu mengagumi alam, memilih tinggal di Beji, Depok karena alasan demikian. Beliau selalu rindu dengan kesejukan udara, rindang, dan rimbun lingkungan penuh pepohonan. Maklum, masa kecil beliau tinggal di antara kaki gunung Sindoro dan Sumbing, Ngadirejo, Temanggung. 

Pindah dari rumah sebelumnya di Bogor, dan Kauman, Yogyakarta (tempat saya menumpang lahir), ke Depok sejak tahun 1997 sebelum krisis moneter. Saya selalu ingat di masa saya kecil kita, bersama kakak atau adik sering jalan-jalan bersepeda di sekitar lingkungan rumah atau ke Universitas Indonesia, yang kebetulan dekat. Sekedar foto-foto dan menghirup udara dari pepohonan yang lebat. Saya juga ingat, sampai ke masa saya dewasa, terakhir, kala saya dan Abah ke rumah nenek di Ngadirejo, saya dan beliau jalan-jalan melihat sunset di kaki Gunung Sumbing. Itulah kali terakhir saya berjalan-jalan santai bersama Abah menikmati kerindangan dan keindahan alam.

Beliau juga yang selalu mendukung saya menjelajahi gunung-gunung di Jawa, saya tak pernah luput mengabarkan saya sedang di gunung mana, sampai beliau menuliskannya di laman Facebook-nya tentang hobi saya.

Saya baru mengenal pemikiran dari tulisan beliau setelah saya memasuki fase kuliah, dimana saya membaca tulisan-tulisan beliau dari dokumen yang tersimpan rapi di tempat saya menimba ilmu dunia jurnalistik, di LPM Keadilan, FH UII. Selain disana, saya juga berdinamika di Rode 610. Beliau selalu berpesan pada saya, “Rakuslah membaca, karena hanya itulah yang meluaskan paradigma berpikirmu”.

Saya baru menyadari, sosok seperti Abah saya terbilang langka, intelektual muslim yang tekun dan konsisten menimba ilmu dari manapun kapanpun, menganggap semua orang itu guru, alam raya sekolah. Sifat egaliter yang tinggi dan rendah hati. 

Saya memilih jalan pedang yang berbeda jauh dengan beliau yang seorang penulis, intelektual muslim jauh dari partisan politik. Saya anaknya hanyalah anak panah, Abah saya bagai busur yang melesatkan jauh. Meminjam sajak Kahlil Gibran. Anakmu Bukanlah Milikmu. “Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.” 

Beginilah kehidupan, seperti di candradimuka. Suatu waktu saat keluarga kita kesulitan, beliau menasihati kita semua, ingatlah dan selalu yakin dengan berpegang teguh pada ayat Inna ma’al ‘usri yusran, Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan . (QS. 94:6). Yang sejatinya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.  

Kini, tak ada lagi yang duduk di meja kerjanya sambil menggema lagu karya John Williams soundtrack film Schindler’s List. Lagu yang menyayat hati, membuat saya menangis kala menyaksikan film tersebut, film tentang penderitaan orang-orang Yahudi Polandia yang dikirim ke Kamp konsentrasi Auschwitz oleh Nazi. Kini kesedihan saya, berlipat. Saya tersiksa rindu kepada Abah, mendengar lagu itu. 

Saya akan tetap menjadi anak kecilnya, persis seperti saat ini saya menangis ketika menulis ini dan saya yakin sekarang beliau mengusap pipi sambil berkata, “Kuatkan Mama, Alifa, Nina, Izat, Nurul, dan cucu-cucu, Abah”

La lutta continua, Abah.

Serial Laporan Khusus: