Pemberian Ruang dan Kebebasan Perempuan Melalui International Women’s Day

Himmah Online, Yogyakarta – Massa aksi berjalan dari Gerbang Utama Ketandan Malioboro menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta sambil menyanyikan yel-yel dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) pada Rabu (08/03). Aksi IWD tahun ini memiliki tema “Perempuan dan Rakyat Bersatu Lawan Seksisme, Tolak KUHP, dan Cipta Kerja”.

Terdapat sepuluh tuntutan yang disuarakan, salah satunya adalah menciptakan ruang aman di instansi pendidikan dan keagamaan, serta menghentikan pembungkaman peserta didik. 

“Tentang pembungkaman, contohnya ketika terjadi kekerasan seksual di kampus. Seringkali itu yang akhirnya dibungkam adalah korban dan mahasiswa-mahasiswa yang bersolidaritas terhadap korban karena beberapa pertimbangan, salah satunya tentang nama baik kampus,” tutur Begi, perwakilan dari Aliansi IWD. 

Begi juga menerangkan bahwa adanya support system yang mendukung akan memunculkan keberanian pada penyintas dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bersolidaritas untuk speak-up.

“Sebenarnya keberanian dari individu itu, kan, muncul begitu saja kalau ada support system yang mendukung. Jadi, membutuhkan support system dari lingkungan sekitar kita, dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan,” jelasnya.

Tuntutan untuk mendorong adanya ruang aman di lingkup perguruan tinggi disampaikan oleh Eli selaku perwakilan Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) AR. Fakhruddin Yogyakarta. 

“Selain sejalan dengan isu yang dibawa, kita juga menambah (Red– tuntutan) ruang aman terkait dorongan implementasi RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), kemudian mendorong ruang aman di perguruan tinggi serta mengusut tuntas terkait kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),” ujar Eli.

Terkait dengan ruang aman, Eli juga menambahkan kalau selama ia hidup, ia tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih. Padahal, perempuan juga bisa memilih dan memutuskan apa yang mereka mau.

“Saya merasa apakah selama ini perempuan itu hidupnya hanya diatur berdasarkan norma sama agama? Saya tergerak untuk menyuarakan isu-isu yang diangkat karena ingin memberikan suara juga kepada masyarakat bahwa perempuan itu hidupnya juga bisa memilih. Perempuan itu bisa untuk memutuskan apa yang mereka mau,” terang Eli.

Kendati demikian, kebebasan dalam melakukan segala tindakan kian terbatas akibat disahkannya Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (UU KUHP). Begi mengatakan bahwa negara berusaha untuk mengintervensi hak-hak perempuan. 

“Misal di KUHP, aborsi itu dikriminalisasi, sedangkan kita tahu bahwa hak reproduksi, hak otonomi tubuh perempuan itu, perempuan seutuhnya untuk mengatur itu. Tetapi, masih saja, negara berusaha untuk mengintervensi,” terang Begi.

Dian, salah satu massa aksi dan juga seorang seniman, mengungkapkan kegelisahannya mengenai aksi IWD tahun ini.

“Kita berada di dalam posisi yang kita tidak tahu apakah kita bisa menang, apakah kita bisa didengar atau apapun itu. Tapi ya mungkin aktivis berjuang sebisa mungkin, walaupun kita tidak tau hasilnya,” tutur Dian.

Reporter: Himmah/ Ani Chalwa Isnani, Eka Ayu Safitri, Nawang Wulan, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Qothrunnada Anindya

Skip to content