Beranda blog Halaman 28

Pejuang Disabilitas Mental di Tengah Pusaran Stigma

Himmah Online Gangguan mental kerap menjadi momok tersendiri bagi penderitanya. Segala jenis gangguan yang muncul dianggap membawa dampak negatif pada sebagian masyarakat, bahkan bagi beberapa orang dianggap dapat menular.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk, (2018) terhadap warga Desa Teluk Kenidai, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, dihasilkan data bahwa sebanyak 81,7% masyarakatnya memiliki pandangan negatif terhadap gangguan mental.

Masih dalam penelitian yang sama, Sari menyimpulkan bahwa persepsi negatif yang ditujukan kepada penyintas gangguan mental dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman, adat, kebudayaan, bahkan agama.

Topik mengenai pentingnya penerimaan terhadap kondisi mental yang dimiliki coba digaungkan oleh Salma selaku dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, dan Putri Novita Sari yang merupakan seorang penyintas disabilitas mental dalam gelaran webinar bertajuk  “Mengapa Penerimaan Positif Penting untuk Kesehatan Mental?” pada Sabtu (09/04).

Webinar yang diselenggarakan oleh PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat) Yogyakarta ini mengundang kedua narasumber untuk berbagi perspektif dari sudut pandang profesional dan penyintas disabilitas mental.

Salma menuturkan, seringkali masyarakat menganggap kesehatan mental dan gangguan mental sebagai dua kondisi yang tidak mungkin dimiliki dalam satu waktu.

Menurutnya, kesehatan mental digambarkan dengan istilah kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yakni kondisi individu yang mentalnya sehat merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan mampu mempersepsi dirinya secara positif.

Oleh karena itu, individu dengan gangguan mental tetap bisa memiliki kesehatan mental yang baik di waktu yang bersamaan selama ia mampu menerima kondisinya sekaligus melakukan pengelolaan terhadap gejala gangguan yang muncul.

“Orang yang memiliki gangguan mental dengan kondisi yang sifatnya harus dikelola secara terus menerus, dia tetap bisa memiliki kesehatan mental yang baik, ketika dia mampu menerima kondisinya dan mampu mengelola gejala-gejalanya dengan baik secara aktif,” ujar Salma.

Sebagai salah satu narasumber yang hadir dalam gelaran webinar tersebut, Putri seorang penyintas disabilitas mental mengatakan bahwa ia didiagnosis dengan tiga gangguan mental, yakni PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), depresi mayor, dan BPD (Borderline Personality Disorder).

“Saya punya BPD, PTSD, sekaligus depresi mayor, dan saya bangga menjadi pejuang disabilitas mental,” jelas Putri.

Apa Itu PTSD, Depresi Mayor, dan BPD?

Dalam American Psychological Association, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) merupakan gangguan yang diakibatkan oleh paparan langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa traumatis di masa lalu (Suprataba, 2021).

Suardana (2020) menjelaskan individu dengan gangguan PTSD merasa seolah dirinya dibayang-bayangi oleh pengalaman traumatis tersebut, yakni kondisi trauma dan stress yang dialami menyebabkan munculnya perasaan sakit baik fisik maupun mental. Perasaan sakit yang berkepanjangan inilah yang kemudian menimbulkan gangguan emosional dan psikologis di masa depan, seperti yang dialami Putri.

Depresi mayor sendiri adalah gangguan yang bersifat heterogen yang pada penderitanya terjadi perubahan fungsi kognitif, berubahnya pola tidur dan pola makan, muncul rasa bersalah secara terus menerus selama dua minggu, depresi, hingga hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya sangat disukai (Hadi, 2017).

Hadi (2017) menambahkan bahwa depresi mayor merupakan hasil pengklasifikasian dari jenis-jenis depresi. Dalam depresi mayor, individu mengalami salah satu dari beberapa mood depresi (merasa putus asa, terpuruk, sedih) atau hilangnya minat terhadap beberapa atau semua aktivitas minimal 2 minggu.

Sedangkan BPD (Borderline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang merupakan gangguan kompleks yang penderitanya tidak mampu mengelola emosi dengan efektif. Gejala-gejala yang muncul yaitu impulsif, amarah, perasaan takut ditinggalkan, hingga munculnya pemikiran untuk mengakhiri hidup (Maryudhiyanto, 2021).

“Saya berusaha untuk melakukan percobaan bunuh diri yang kesekian kalinya dengan mengonsumsi obat-obatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” ujar Putri.

Selain percobaan bunuh diri, Putri juga mengalami gejala impulsif berupa perilaku bekerja secara berlebihan. “Saya melakukan overwork, itu empat hari saya nggak tidur… dan karena risiko pekerjaan, itu membuat saya tertekan sekali,” lanjutnya.

Penghapusan Stigma di Masyarakat

Berbagai stigma yang ditujukan kepada penderita disabilitas mental tak jarang justru membuat penderita  memberikan stigma negatif terhadap dirinya sendiri.

Subu’ dkk, (2016) menyimpulkan dampak dari stigmatisasi terhadap gangguan jiwa berpotensi dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, teman, keluarga, tenaga kesehatan, bahkan penderita itu sendiri.

“Saya mencoba untuk menghapus stigma, bahwa kita sebagai penyandang disabilitas mental itu tidak komunikatif dan egois, yang mereka pikir tuh bahwa kita itu hanya mau dimengerti aja,” ucap Putri.

Sebagai bentuk penyemangat kepada peserta webinar, Putri menuturkan sepatah kalimat yang juga ditujukan sebagai penutup pada gelaran webinar hari itu. 

“Semua manusia itu adil, Tuhan berikan hati, pundak, dan indra. Tapi kita yang berbeda, Tuhan berikan hati yang lebih luas, pundak yang lebih kokoh, dan indra yang lebih peka sebab kita istimewa,” pungkas Putri.

Reporter: Himmah/Firly Prestia Anggraeni

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Senyum Mujahid Syafii Maarif

0

Sepeda motor Honda CB 125 Pak Syafii Maarif memasuki kampus UII Jalan Cik Di Tiro Jogja, lalu dengan langkah cepat ia menuju kantor Majalah Himmah yang kecil di ujung koridor. Ia datang untuk rapat perkenalan dengan pengelola majalah mahasiswa itu. Ia tanpa banyak tanya langsung menerima permohonan untuk menjadi penasihat di sana.

Semua peserta rapat sudah siap, dan Pak Syafii berkata: “Sebelum rapat dimulai, saya ingin tahu yang mana yang namanya Hamid Basyaib.” Orang-orang tersenyum. Beberapa menyahut, “Itu yang persis di sebelah Bapak.” Ia kontan menoleh ke sebelah kanannya, memandangi saya dengan tajam beberapa saat, sebelum ia berkata, “Oh, Anda rupanya!” Ia tidak menyebut “kamu”.

“Tulisan Anda itu tidak benar! Fazlur Rahman tidak seperti yang Anda gambarkan. Dia adalah sarjana Muslim yang sangat bertanggung jawab terhadap Islam. Maryam Jameelah itu bukan tandingannya!” Setelah diam sejenak, “Tapi bahasa Indonesia Anda cantik! Bagus.”

Ia merujuk artikel tiga halaman berjudul “Fazlur Rahman” yang saya tulis di edisi terbaru Majalah Himmah. Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan Pak Syafii terhadap gurunya di Universitas Chicago itu; tidak berani menyanggah karena modal saya pas-pasan, hanya berdasarkan buku kecil Maryam Jameelah (Margaret Marcus), eks penganut Yahudi yang antara lain menyebut Fazlur Rahman adalah musuh Islam dari dalam dan karenanya lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka.

Lagi pula Pak Syafii belajar bertahun-tahun dari pakar Islam Pakistan yang hebat itu, maka tentu ia lebih mengenalnya (dua tahun kemudian, Agustus 1985, saya sempat menemui Fazlur Rahman, tapi dalam status sebagai pengagum beratnya, saat ia dan istrinya hadir diskusi di kampus IAIN Sunan Kalijaga dengan moderator Prof. Mukti Ali).

Sejak “insiden” itu kami akrab. Ia, katanya, sangat senang terhadap sikap saya, yang mengkritiknya tapi pada saat yang sama memintanya menjadi penasihat majalah yang saya kelola. “Begitu semestinya orang Islam dalam berbeda pendapat! Perbedaan tidak menjadi permusuhan. Kita tetap harus bisa bekerja sama.” Tema ini lalu terus ditekankannya sampai bertahun-tahun kemudian—dengan hasil yang mengecewakannya.

***

Kadang Pak Syafii menjemput saya di kampus dan mengajak ke Pesantren Pabelan di dekat Ambarawa. Berboncengan di Honda CB-nya, kami bisa tiba cepat di Pabelan karena tidak melalui jalan raya. Ia hafal jalan-jalan tikus ke sana, masuk dan keluar kampung-kampung di sepanjang jalan Jogja-Pabelan. Sambil terguncang-guncang, saya tanya bagaimana ia bisa tahu jalan-jalan alternatif yang rumit itu. “Dulu saya sering lewat sini,” katanya.

Saya rasa dia enggan menjawab panjang bukan karena harus konsentrasi di tengah jalanan yang buruk. Itu mungkin karena ia enggan mengenang apa yang ia alami dulu: dari beberapa sumber saya dengar ia di masa mudanya sering berjualan kambing ke kampung-kampung untuk mendapatkan nafkah guna menghidupi keluarga kecilnya. Itu kisah yang terlalu panjang, dan pahit, untuk dituturkan oleh seorang doktor yang baru lulus dari universitas top Amerika dan sedang memegang setang motor dengan khusyuk.

Di ruang tamu rumah Kiai Hamam Dja’far di Pabelan, kadang ada Mas Dawam Rahardjo, Arief Budiman, Aldy Anwar, Armahedi Mahzar. Dua yang terakhir adalah tokoh-tokoh ITB, yang punya persambungan dengan Pabelan karena dihubungkan dengan para aktivis Yayasan Mandiri, sekumpulan aktivis mahasiswa ITB, antara lain Sugeng dan Mochtar Abbas, orang Aceh yang kemudian jadi lurah Pabelan berkat dukungan Kiai Hamam.

Aldy Anwar adalah kerabat Haji Agus Salim yang terkenal pintar sebagai mahasiswa Fisika, tapi tidak menyelesaikan studinya, namun menekuni peluang mengembangkan helio energy (sumber matahari) sebagai bagian penting dari ambisi besarnya untuk melahirkan masyarakat yang “hemat energi, kaya nilai”.

Kembali ke Jogja malam hari, Pak Syafii mengembalikan boncengannya ke tempat semula, kampus UII. Sebelum berpisah, ia memaksa saya menerima separuh honor yang didapatnya dari forum Pabelan. Saya menolak, tapi dia melesakkan uang itu ke kantong baju saya. Itu jumlah yang cukup besar untuk seorang mahasiswa miskin.

Padahal di forum itu saya cuma melongo melihat orang-orang pintar bertukar pendapat–yang saya sudah lupa apa isinya–dan tidak ada seorang pun yang memedulikan kehadiran saya, dan sewajarnya mereka bersikap begitu. Hanya saya sendiri yang peduli terhadap tindak-tanduk setiap peserta, misalnya tentang Mas Dawam Rahardjo, yang bersarung dan menggerogoti apel sendirian, yang cuma bikin ngiler.

Kesibukan masing-masing membuat kami tidak bisa berjumpa sesering dulu. Tapi suatu siang Pak Syafii menjemput saya dan mengajak melihat rumah yang sedang dibangunnya di kompleks baru Nogotirto, di Godean. Kami pun melihat-lihat, menerobos barisan kayu yang malang melintang, dan ia menerangkan calon ruang yang ada satu per satu.

“Lumayan besar rumahnya, Pak,” saya bilang tentang bangunan sekitar 120 m2 itu. “Ya, ini sebetulnya terlalu besar,” ucapnya. Ini hanya untuk anak dan istri saya. Kalau saya sendirian, saya cukup indekos di satu kamar saja.”

***

Suatu sore saya mengunjunginya di kampus IKIP tempat ia mengajar. Kabarnya ada ruang baru untuk dosen. Maka saya datang untuk melihat keadaannya. Ternyata yang dimaksud “ruang dosen” itu berupa kamar-kamar 2,5 x 2,5 meter persegi (mungkin juga lebih kecil) yang berbaris seperti WC umum. Saya lihat Pak Syafii seperti terhimpit di antara timbunan buku di meja dan barisan bukunya di rak seadanya.

“Beginilah nasib dosen negeri, kalau Anda mau tahu,” katanya. “Doktor lulusan Amerika pun hanya mendapat ruang kerja begini saja.”

Saya berbasa-basi menghiburnya, meski saya sebetulnya kaget melihat kondisi yang tidak layak itu. Memang mudah disimpulkan bahwa perguruan tinggi kita umumnya tidak memuliakan ilmu meski hal itu adalah urusan utamanya. Spirit itu terlihat dari kondisi ruang dosen yang disediakan.

Universitas kita jauh lebih mementingkan aspek-aspek birokrasi pendidikan dan kepangkatan. Ruang dekan jauh lebih baik daripada ruang dosen. Gedung rektorat pasti merupakan gedung yang paling mentereng di seantero kampus–ruang laboratorium harus dipastikan berada di pojok yang sangat sulit ditemukan. Kini, 40 tahun sejak saya mengunjungi Pak Syafii Maarif di ruang kerjanya yang mini, saya tidak melihat perubahan berarti dalam piramida sosial di kampus-kampus kita.

***

Ahmad Syafii Maarif pulang ke Jogja dari Chicago di akhir 1983 dengan battle cry “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!” Inilah judul wawancaranya di Majalah Prisma; dan diulanginya dalam banyak kesempatan. Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, “Ihya Ulumuddin”.

Sudah jamak dianggap oleh kalangan pembaru Islam bahwa kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Kalangan Syiah biasanya menyanggah anggapan “kemacetan berpikir” ini dengan menyatakan bahwa itu hanya terjadi di wilayah Sunni. Sedangkan di kalangan penganut Syiah, pemikiran tetap subur; para ulama Syiah biasanya juga merangkap filosof—status yang dianggap identik dengan ketekunan berpikir.

Pengaruh Ghazali sedemikian besar, sampai seorang orientalis Inggris, Montgomery Watt, memastikan bahwa sufi Persia itu adalah orang kedua terpenting dalam Islam setelah Nabi Muhammad dalam memengaruhi pikiran umat Islam.

Syafii Maarif—yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis pembaru Islam, mungkin karena berasal dari Universitas Cokroaminoto Jogja yang kurang ternama—dengan caranya sendiri ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed, dan beberapa lainnya.

Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat—meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).

Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman. Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel—semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.

Saya terlalu muda untuk punya hak hadir di acara yang sangat terbatas itu. Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, “ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya,” sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya.

Sambil berjalan keluar dari hotel, Pak Syafii bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”

“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.

Lho, kenapa?”

“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”

Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”

Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. “Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”

***

Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic studies itu.

Sampai hari-hari terakhirnya, Syafii Maarif —yang dulu kumis tebalnya membuat ia mirip bintang Hollywood Burt Reynolds—menjalankan peran mujahid itu dengan caranya sendiri. Ia terus meneriakkan battle cry “Umat Islam seribu tahun berhenti berpikir”, dengan beragam elaborasi.

Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian “Buya Guru Bangsa”, belakangan ia mengungkapkan kepedihan hati dan pesimismenya terhadap masa depan Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya tentang kondisi umat Islam beserta corak pemikiran keagamaannya.

Ia tak henti meratapi apa yang dipandangnya sebagai kehancuran moralitas elit dan warga dalam berbangsa dan bernegara, dengan nada pesimistik yang terasa terlalu getir dan melampaui situasi sebenarnya.

***

Barangkali Pak Syafii sengaja menaifkan diri dalam menyuarakan kerisauannya tentang Indonesia. Ia tentu tahu state policies, beserta dampak-dampaknya pada kehidupan sosial warga negara, adalah urusan yang jauh lebih kompleks untuk dinilai semata-mata berdasarkan patokan akhlak religius, perangkat tunggalnya dalam melontarkan kritik-kritiknya yang keras—terhadap pejabat negara, juga elit-elit ormas Islam radikal.

Tapi suara moral Syafii Maarif, yang telah ditabungnya sejak ia remaja di kampung halamannya di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tetaplah diperlukan, termasuk untuk urusan-urusan yang dianggap tak relevan untuk dicampuri oleh mode akhlak individual. Baginya, segala macam perkara di dunia yang sementara ini—dari soal kebersihan WC umum di terminal bis sampai hubungan-hubungan internasional yang rumit dan berdimensi luas—adalah untuk keperluan menyejahterakan Manusia—dengan M.

Dan untuk itu semua orang yang mengenalnya cukup dekat pasti mengerti bahwa kehidupan dirinya sendiri adalah monumen yang meyakinkan tentang kebenaran apa yang disampaikannya. Ia sahih. Kerisauannya yang diungkapkan dengan sepenuh kesungguhan tercetus dari kemanusiaannya yang tulus; dari kejujurannya yang tanpa ampun; dari kesederhanaan perilakunya. Dan pasti juga dari ketidakpeduliannya pada pemilikan harta benda.

Ia, yang sampai berumur 40-an mencita-citakan terbentuknya Negara Islam di Indonesia, seakan menjalani hidup dengan kemurungan konstan. Tetapi saya kira jenis kemurungan semacam itulah yang justru memberinya energi besar untuk mencapai usia 87 tahun.

Kini ia tak lagi murung. Sejak pukul 10 pagi tadi, ia selalu tersenyum. ***

*Tulisan ini pernah tayang sebelumnya di laman Facebook Hamid Basyaib (27 Mei 2022) dan geotimes.id (28 Mei 2022). Redaksi himmahonline.id telah mendapat izin untuk menerbitkan ulang dari Hamid Basyaib lewat sambungan WhatsApp.

Kembali Menghidupkan Marwah Rempah-Rempah

Masih lekat di dalam ingat ihwal pesona rempah Nusantara pada zaman dahulu kala, saat bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong menelusuri asal-muasal rempah yang memang menjadi primadona pada masa itu. Tak hanya sibuk menelusuri, mereka sampai harus saling berperang untuk menguasai rempah-rempah Nusantara–baik cengkeh maupun pala.

Padahal perjalanan dari Eropa ke Nusantara dan sebaliknya membutuhkan biaya pelayaran yang tidak murah serta risiko kehilangan nyawa, sebab masa tempuh perjalanan pulang-pergi Eropa-Nusantara dapat memakan waktu lebih dari satu tahun. 

Lantas, apa yang membuat bangsa-bangsa Eropa rela mengorbankan itu semua demi mendapatkan sesuatu yang bernama rempah-rempah? Sememesona itukah rempah-rempah? Jika dulu sememesona itu, mengapa tiba-tiba pesona itu memudar? Apa yang membuat rempah-rempah kehilangan marwahnya? Puncaknya, adakah cara untuk menghidupkan kembali marwah rempah-rempah?

Pesona Rempah-Rempah

Penyebab utama rempah-rempah diperebutkan sebenarnya mudah ditebak, karena senada dengan hukum ekonomi, yakni gegara rempah memiliki harga jual yang sangat tinggi. 

Bayangkan saja, segenggam cengkeh atau pala bisa sebanding dengan harga emas batangan. Sementara itu, harga yang terbilang fantastis tersebut merupakan akibat dari permintaan yang tinggi, padahal ketersediaan barang dapat dikategorikan sangat langka. 

Sebut saja cengkeh yang hanya ada di Nusantara hingga abad ke-17 dan juga pala yang menjadi satu-satunya di dunia hingga abad ke-18. Atas dasar inilah, bangsa-bangsa Eropa rela bertaruh nyawa dan mengorbankan waktunya untuk berburu rempah, karena keuntungan yang diperoleh melebihi risiko yang harus dihadapi.

Rempah banyak diminati karena beberapa faktor, mulai dari rasa, obat, hingga simbol status sosial. Tak heran jika Jack Turner (2011) dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme mengatakan bahwa rempah memang mempunyai ‘kekuatan sihir’ yang berhasil membuat manusia di seluruh belahan dunia terpesona. 

Pada dasarnya, rempah memang digunakan untuk memberikan aroma dan dan rasa yang khas pada sebuah makanan, namun menurut laporan UCLA History & Special Collections Louise M. Darling Biomedical Library pada tahun 2002, rempah juga digunakan untuk pengawet sekaligus sebagai obat-obatan, bahkan sejak 5000 tahun sebelum masehi. 

Di Mesir, rempah sudah digunakan untuk pengawetan jenazah (sebagai balsam). Lain lagi di Palestina yang memberdayakan rempah untuk kecantikan sejak 1000 tahun sebelum masehi. Sementara di Yunani, rempah dimanfaatkan sebagai obat-obatan sejak 500 tahun sebelum masehi.

Hebatnya lagi, pada tahun 1350 rempah dimanfaatkan sebagai fumigan (semacam alternatif pengganti insektisida sintetik) dan obat untuk mengatasi wabah Black Death. Laporan ini juga dikuatkan dengan pernyataan Bartolome Leonardo de Argensola (2016) dalam The Discovery and Conquest of the Molucco and Philippines Islands, bahwa pala biasa digunakan untuk melancarkan pencernaan, mengusir napas yang menyiksa hidung, membersihkan penglihatan, hingga mencerahkan kulit wajah.

Tak hanya fungsi rasa dan fungsi obat, rempah juga digunakan sebagai simbol status sosial oleh kaum elite di Roma. Rempah menjadi barang mewah yang hanya dimiliki dan digunakan oleh masyarakat lapisan atas. 

Ketika memasuki musim dingin, orang-orang kaya di Roma memiliki kebiasaan menghidangkan makanan dengan rempah dan saus. Hidangan seperti ini lazim disebut dengan nama city eating atau makanan kota. Saking ‘mulianya’ rempah di Roma, buku resep makanan terbaik di sana hampir selalu memasukkan lada di dalamnya. 

Lebih menariknya lagi, wine yang bercita rasa rempah dan parfum yang beraroma rempah menjadi simbol kehidupan pada masa Romawi kuno. Harus diakui bahwa rempah merupakan komoditas luxurius pada masanya, sebelum imperialisme kompeni datang.

Pudarnya Pesona Rempah-Rempah

Seorang sufi kenamaan, Jalaluddin Rumi telah menyebutkan bahwa tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Setiap yang berdiri akan terbaring dan setiap yang diadakan akan berujung ketiadaan.

Sepertinya hal ini juga berlaku pada pesona rempah-rempah yang pada akhirnya pudar juga, sebagaimana pesona Cleopatra. ‘Sihir’ rempah perlahan memudar sejak kehadiran bangsa Eropa di Nusantara–bahkan Asia–yang melakukan evolusi perdagangan, memonopolinya, hingga melakukan penjajahan. Akibatnya, rempah tak lagi menjadi langka karena posisinya digantikan oleh kopi dan gula pada tahun 1800-an.

Semuanya bermula pada tahun 1830 hingga 1870 saat Belanda memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Nusantara. Sistem yang dicetuskan oleh Van de Bosch ini sengaja dilakukan untuk memaksimalkan produksi cash-crops perkebunan di Nusantara, terutama gula dan kopi yang sangat menguntungkan untuk kepentingan ekspor. 

Pada tahun itu, gula dan kopi menjadi komoditas primadona di pasar-pasar Eropa, sedangkan rempah menjadi komoditas ‘kelas dua’ yang tak lagi memesona. Bahasa sederhananya, sistem tanam paksa telah mengubah Nusantara yang awalnya produsen rempah untuk kapitalisme saudagar, menjadi produsen bahan mentah untuk kapitalisme industri. 

Memasuki tahun 1900, rempah semakin sulit merebut singgasananya kembali sebab kemajuan teknologi. Gaya hidup masyarakat mulai beralih dari cara tradisional menuju cara modern. 

Hal ini ditandai dengan kehadiran teknologi pengawetan buatan atau yang biasa disebut refrigerasi (kulkas).

Jika masyarakat tradisional masih menggunakan rempah untuk mengawetkan makanan sekaligus menutupi rasa makanan yang mulai basi/busuk, maka masyarakat modern mulai beralih menggunakan mesin pengawet buatan atau refrigerator. 

Peralihan gaya hidup seperti inilah yang membuat konsumsi rempah menurun secara drastis. Secara garis besar, rempah-rempah kehilangan kejayaannya disebabkan oleh dua hal.

Pertama, gegara penurunan harga rempah yang disebabkan oleh perkembangan teknologi, sebagai akibat kemajuan dalam inovasi barang substitusi bagi rempah. 

Kedua, dikarenakan kehadiran bangsa Eropa yang merevolusi perdagangan rempah menjadi perdagangan bahan mentah. Ditambah lagi, rempah tak lagi sangat langka karena suplai rempah telah berkembang di berbagai lokasi.

Sebuah Upaya Menghidupkan Kembali

Belajar dari penyebab runtuhnya kejayaan rempah pada masa lampau, agaknya yang perlu ditelaah kembali adalah cara membuat rempah-rempah bertahan di era kekinian–sebab faktor monopoli kompeni telah sirna dengan kemerdekaan Indonesia. 

Jika pada masa masyarakat modern, rempah diruntuhkan oleh kemajuan teknologi, maka pada masa masyarakat pasca-modern (saat ini), rempah sudah seyogianya kembali menjadi primadona. 

Hal ini disebabkan oleh gaya hidup masyarakat pasca-modern yang kembali mendengungkan gagasan back to nature, sebab kemajuan teknologi kini dianggap sebagai ‘biang kerok’ atas degradasi ekosistem. 

Senada dengan yang disampaikan oleh sejarawan sekaligus budayaan kenamaan Indonesia, Kuntowijoyo (2019) dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas bahwa masyarakat pasca-modern kembali menyadari bahwa sudah saatnya alam dihormati lagi. Kemajuan teknologi kini justru digugat karena alam dianggap perlahan sekarat.

Gaya hidup sehat yang kembali didengungkan oleh masyarakat pasca-modern akan membuat produk-produk tradisional (herbal, termasuk rempah-rempah) kembali dilirik. Keadaan seperti inilah yang menjadi kesempatan emas untuk menghidupkan kembali pesona rempah-rempah yang sempat memudar. 

Berdasarkan uji penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (2021), rempah-rempah memiliki kandungan zat-zat yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Terbukti sejak zaman dahulu kala yang menggunakan rempah-rempah sebagai obat-obatan. 

Gagasan back to nature pada akhirnya akan merambah ke segala aspek (tak hanya untuk kesehatan), termasuk ke dalam olahan makanan. 

Masyarakat pasca-modern mulai enggan menggunakan bahan-bahan kimia untuk cita rasa maupun pengawet makanan. Mereka ingin beralih pada cita rasa dan pengawet alami dan itu semua dapat ditemui pada rempah-rempah. 

Sebut saja seperti bunga cengkeh kering yang kerap digunakan dalam pembuatan kue nastar, lalu lada hitam yang digunakan sebagai pembangkit cita rasa untuk olahan berbasis daging, hingga biji pala yang biasa dimanfaatkan untuk bumbu sebab sifatnya sebagai pengawet makanan.Pada akhirnya, rempah di masa pasca-modern dapat digunakan untuk penciptaan obat-obatan (biomedicine) dan pencipta rasa alami yang lebih ramah lingkungan. Menilik fakta-fakta yang telah disajikan di atas, bukan hal yang tak mungkin jika rempah kembali menemui pesonanya.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Guru dan Harapan Kemajuan Pendidikan Bangsa

Menjalani profesi sebagai seorang guru tentu bukanlah pekerjaan mudah bagi siapa pun. Karena ada banyak tuntutan yang harus dipenuhi, jika mendalami bidang profesi ini. Baik itu tuntutan kepribadian, ataupun sosial.  Seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik karena ia akan menjadi contoh bagi siswa-siswanya.

Tidaklah heran jika ada sebuah peribahasa yang mengatakan ‘Guru kencing berdiri, murid kencing lari-lari,’ artinya jika guru sebagai pendidik sudah mencontohkan hal yang buruk, maka otomatis siswa sebagai yang terdidik akan sama buruknya juga atau bahkan lebih. 

Asumsi di atas selaras dengan salah satu semboyan pendidikan dalam konsep “Tri Loka” dari Ki Hadjar Dewantara yakni ‘Ing Ngarsa Sung Tuladha’  atau yang di depan memberi teladan. Poin penting dari konsep tersebut adalah guru harus mampu  memberi teladan. Karena terkadang, seorang siswa dalam kehidupan pribadinya lebih menaati apa yang dikatakan gurunya daripada orang lain, bahkan  orang tuanya sendiri. 

Di lain hal, seorang guru dituntut untuk memiliki keterampilan bersosial yang inklusif, yang mana ia mampu adaptif terhadap lingkungan yang menjadi tempat mengajar. Jangan sampai seorang guru memiliki sikap yang ekslusif, misal dengan menutup diri, terasing, atau terjarak  dari lingkungan sekitar. 

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seminimalnya guru wajib memiliki empat kompetensi, di antaranya: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. 

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengetahui keragaman kondisi atau latar belakang peserta didik serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan guru dalam bertingkah laku atau berakhlak secara baik. Sementara kompetensi sosial berkaitan dengan bagaimana guru berkomunikasi dan berinteraksi secara aktif terhadap siswa, rekan sesama guru, dan masyarakat sekitar.

Lalu, kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam menguasai materi yang diajarkan secara mendalam, serta dapat mengaplikasikannya. 

Namun, jika dilihat dari capaian kualitas pendidikan nasional kita masih kalah jauh, bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Berdasarkan survei yang dilakukan UNESCO melalui Global Education Monitoring Report 2016 tahun 2016,  menunjukan bahwa kualitas guru di Indonesia berada pada peringkat ke 14 di antara 14 negara berkembang. 

Selain itu, melalui Program for International Student Assessment atau PISA Test 2018 untuk mengukur kualitas peserta didik usia 15 tahun antara negara–negara di dunia pada bidang literasi, sains, dan matematika. Terdapat 79 negara yang ikut sebagai partisipan. Dalam kategori membaca Indonesia berada pada peringkat 74, kategori kategori matematika di peringkat 73, dan kategori sains berada di peringkat 71.

Bayangkan, dari ketiga kategori mata ujian di atas negara kita berada di peringkat 10 terbawah dan masih jauh jika dilihat dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia yang dalam kategori membaca pada peringkat 46, matematika 47, dan sains pada peringkat 48. Sedangkan Singapura untuk kategori membaca di peringkat 2, matematika 2, dan sains pada peringkat 2 juga.

Melihat permasalahan ini, tentu tidak adil jika hanya menyalahkan guru saja. Mengingat dalam segi perangkat pendidikan bukan hanya guru melainkan ada siswa, lembaga pendidikan, pemerintah, dan lain-lain.  

Oleh sebab itu, perlu dicari tahu lebih jauh apa saja yang melatarbelakangi kualitas guru dan kualitas pendidikan kita belum bisa bersaing dengan negara-negara lain. 

Kali ini penulis akan mengangkat 3 persoalan, yang menjadi penghambat mengapa kualitas pendidikan dan kualitas guru di Indonesia belum terhitung maju. Persoalan pertama mengenai keterampilan guru dalam mengelola waktu, kedua tentang kesejahteraan guru, dan ketiga persoalan tentang pemberdayaan guru di sekolah. 

Persoalan pertama, yang menyebabkan kualitas pendidikan dan kualitas guru kita masih tergolong rendah adalah kebanyakan dari guru belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Jika seorang guru mengerti bahwa tugasnya banyak seharusnya ia bisa membagi waktu kapan ia harus menyelesaikan berkas administrasi belajar dan kapan waktu mengajar.

Sebaiknya administrasi pembelajaran seperti Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), atau instrumen penilaian belajar seperti berkas ulangan harian, soal ujian semester, disediakan dari jauh-jauh hari. Agar hal tersebut guna menunjang profesionalitas guru. Jangan sampai, karena beban administrasi membuat guru kurang fokus pada materi pembelajaran.

Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah membuat kebijakan dari segi administrasi pembelajaran. Misalnya dengan mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tentang  Penyederhanaan terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang mana RPP tersebut memuat komponen pembelajaran yang cukup banyak, yakni 13 komponen.

Namun setelah dibuat kebijakan maka format RPP menjadi hanya selembar sampai dua lembar saja, dengan muatan komponen pembelajaran yang lebih sedikit, yakni hanya memuat tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran 

Kedua, persoalan minimnya kesejahteraan untuk guru khususnya tenaga honorer. Terdapat salah satu kritik para guru pada waktu peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 yang menyatakan “Guru honorer hanya diakui saat mengajar, urusan kesejahteraan mereka terabaikan.” Biar bagaimanapun guru merupakan tenaga kerja dan mereka punya kebutuhan hidup yang harus dicukupi. 

Jika dilihat dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama, jumlah guru honorer dari jenjang SD sampai SMA di tahun 2020 mencapai jumlah 728.641 yang mana dengan jumlah sebanyak itu, artinya pemerintah harus bekerja lebih ekstra untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Ketiga, soal pemberdayaan guru di sekolah. Tidak bisa kita bohongi bahwa keberadaan dan peran guru di sekolah terkadang sangat overpower. Bagaimana tidak, selain dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran mereka juga sering dilibatkan dalam kegiatan non pembelajaran.

Misalnya dalam kegiatan pembelajaran, seorang guru dituntut  untuk mengajar selama 24-40 jam per minggu. Terlebih untuk guru yang statusnya Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka harus memenuhi kriteria tersebut jika ingin mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG).  

Sedangkan dalam urusan non pembelajaran, seorang guru juga dibebankan dengan pengembangan kompetensi, misalnya tuntutan untuk melakukan kegiatan penelitian atau pengayaan.

Adanya beberapa  tuntutan tambahan seperti itu, di satu sisi sebenarnya bagus untuk pengembangan kompetensi, namun di sisi lain mengakibatkan guru menjadi terjarak dengan siswa. Dan bahkan paling buruknya bisa jadi mereka rela meninggalkan jatah wajib mengajar demi menunjang kompetensi.

Padahal tugas utama guru menurut Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 ialah mendidik, mengajar, membimbing, memberi arahan, memberi pelatihan, memberi penilaian, dan memberikan evaluasi kepada peserta didik. Bagaimana mungkin mereka memahami kondisi peserta didik satu per satu secara lebih intens, jika dalam urusan administrasi keprofesian saja belum selesai. 

Kondisi yang sangat mekanistik dan formalistik seperti inilah yang membuat wajar jika tokoh pendidikan dunia seperti Paulo Freire menganggap bahwa praktek pendidikan khususnya di negara berkembang itu  sifatnya sangat “Banking Education.” 

Guru menganggap peserta didik sebagai objek   dikarenakan mereka dituntutkan akan banyak hal. Alih–alih orientasi pendidikan membentuk kesadaran malah justru melanggengkan status quo

Oleh karenanya, dari serangkaian masalah di atas perlu kesadaran bersama dalam membangun pendidikan bangsa. Pemerintah sebagai government atau pelayan masyarakat perlu terus-menerus membangun kualitas pendidikan bangsa. Misalnya dimulai dengan meningkatkan kualitas guru secara lebih holistik, salah satunya dengan memperbanyak program pelatihan secara nasional untuk guru-guru agar peningkatan kualitasnya nanti lebih merata. 

Pemerintah juga bisa menaikkan standar mengenai Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan begitu tiap guru di seluruh Indonesia punya kesadaran dan semangat juang yang tinggi untuk memperbaiki kualitas diri dan profesinya. Ketika kualitas guru membaik maka kualitas pendidikan bangsa akan membaik. 

Dari segi urusan kesejahteraan tenaga honorer pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek Dikti perlu membangun kerja sama dengan berbagai lembaga terkait, baik itu lembaga nasional maupun internasional.

Di lain hal, khusus untuk lembaga pendidikan dalam urusan recruitment nanti diharapkan tiap-tiap lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar sampai menengah, bisa lebih selektif merekrut tenaga pendidik baru dengan memperhatikan kondisi pendidik, peserta didik, dan kondisi sekolah.

Lembaga pendidikan juga harus bisa dalam pembuatan kebijakan lembaganya dengan melibatkan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan perbaikan kualitas pendidikan. Misalnya siswa, orang tua atau wali murid, dan masyarakat sekitar. Agar mereka sadar bahwa ikhtiar memajukan pendidikan bangsa adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya pada guru, dan lembaga pendidikan saja  karena hal itu sejalan dengan tujuan kita berbangsa. 

Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa alasan mengapa republik ini berdiri salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, atau dengan kata lain upaya memajukan pendidikan sama saja upaya memajukan bangsa.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Sungai-Sungai Besar Tercemar Mikroplastik, Para Gubernur di Jawa Dituntut

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) tahun 2021, tiga sungai besar yang ada di Pulau Jawa tercemar mikroplastik. Menyikapi hal itu, Ecoton melakukan somasi untuk para gubernur karena dianggap lalai.

Himmah Online–”Kita menguji (kandungan air) di tiga sungai dan di Kepulauan Seribu, kita menemukan ada kandungan mikroplastik dari 20-126/100 liter air,” tutur Prigi dalam diskusi “Somasi untuk Para Gubernur sebagai Tanggung Jawab atas Krisis Air Sungai dan Sampah di Pulau Jawa,” yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pada Minggu (12/04) melalui media telekonferensi Zoom.

Mikroplastik merupakan serpihan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter, yang memiliki beberapa jenis seperti fiber, foam, fragmen, dan filamen.

Prigi Arisandi  selaku Direktur Eksekutif Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) menyebutkan jenis mikroplastik yang banyak ditemukan di Pulau Jawa yakni fiber, filamen, dan fragmen.

“Yang banyak ditemukan di Pulau Jawa ini adalah jenis fiber, fiber ini jenis benang-benang berasal dari limbah domestik dan limbah dari pabrik tekstil, dan yang kedua adalah jenis filamen, dan fragmen cuilan-cuilan plastik,” ungkap Prigi.

Prigi juga menyampaikan selain limbah domestik, pabrik juga berperan dalam menyumbang mikroplastik dari limbah yang dihasilkan. 

Selain itu, berdasarkan data penelitian Ecoton tahun 2021, diperoleh data bahwa Sungai Ciliwung menempati posisi pertama dengan kandungan partikel mikroplastik tertinggi yakni 198/100 liter air. 

Dilanjut Sungai Citarum dengan kandungan partikel mikroplastik 121/100 liter air, Sungai Brantas dengan kandungan partikel mikroplastik 107/100 liter air, dan Sungai Bengawan Solo dengan kandungan partikel mikroplastik 98/100 liter air, yang pengambilan sampel tersebut dilakukan di tiga titik yang berbeda pada setiap sungai.

Prigi juga mengatakan ditemukan sebesar 75% dari perairan di Pulau Jawa mengandung mikroplastik daripada plankton, dengan ditemukan ratusan mikroplastik dalam tubuh satu ekor ikan.

Prigi menyampaikan bahwa hal tersebut makin mengkhawatirkan dengan hasil penelitian Ecoton pada tubuh manusia di Pulau Jawa. Khususnya di sekitar Sungai Ciliwung, Citarum, Bengawan Solo, dan Brantas dengan ditemukan rata-rata 17-20 partikel mikroplastik dari 103 sampel kotoran manusia seberat 10 gram.

Prigi menyampaikan hasil penemuan dari Ecoton bahwa sungai-sungai besar di Pulau Jawa selalu ditemukan sampah plastik disebabkan pola perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di sungai.

“Setiap perjalanan kami (Ecoton) di semua sungai ya di Jawa ini, kita menemukan sachet, tas kresek, sterofoam, sedotan, botol, popok, celana dalam, dan kasur, yang masih membuang sampah plastiknya (masyarakat) ke sungai,” tutur Prigi.

Menurut Rahyang Nusantara selaku Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), menyampaikan selain dari pola perilaku masyarakat, produsen yang masih menggunakan sachet dalam pengemasan produk juga harus ikut andil dalam permasalahan ini.

“Produsen yang menggunakan sachet dalam pengemasan produknya dia juga harus bertanggung jawab, jangan lagi menyalahkan konsumen karena konsumen selalu buang sampah sembarangan,” jelas Rahyang.

Menurut Prigi dari semua permasalahan yang terjadi, menjadi tuntutan terhadap gubernur di Pulau Jawa yang lalai dalam pengelolaan sampah dan sungai-sungai penting, yang menjadi suplai irigasi bagi 50% stok pangan nasional, dan juga bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). 

“Maka kita (Ecoton) menggugat tiga gubernur ini (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), dengan alasan mereka membiarkan tidak mengelola sampah dengan baik dan membiarkan industri membuang limbah tanpa diolah,” tegas Prigi.

Reporter: Nisa Widi Astuti

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Kebutuhan Dasar Air Bersih hingga Sanitasi Aman Belum Terpenuhi

Himmah Online — Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang krusial untuk dipenuhi. Terpenuhinya kebutuhan air dan sanitasi menjadi salah satu tolak ukur untuk kehidupan yang layak. Meski begitu, di Indonesia kebutuhan mendasar ini belum seutuhnya terpenuhi. Pada 2021, sebanyak 19,71% rumah tangga belum memiliki akses sanitasi layak.

Dalam rangka mengampanyekan kesadaran sanitasi yang aman dan layak, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mengadakan webinar bertajuk “Sudah Amankah Sanitasi di Rumahku?” melalui media telekonferensi Zoom pada Senin (07/02).

“Keamanan sanitasi sangat erat hubungannya dengan kemiskinan,” Yose Hendra selaku moderator webinar angkat bicara.

Yose menceritakan pengalamannya saat mengunjungi suatu desa dengan tingkat keamanan sanitasi yang rendah serta bagaimana kondisi tersebut memengaruhi kesehatan masyarakat.

“Singkat cerita, saya dan teman-teman mengulik dari salah satu pemilik rumah. Anaknya terindikasi mengalami stunting (gagal tumbuh) dan gejala diare,” ungkap Yose.

Tercatat sebanyak 24,4% balita di Indonesia mengalami stunting pada tahun 2021. Nusa Tenggara Timur terdaftar sebagai daerah dengan angka stunting tertinggi yaitu sebesar 37,8%.

Yose lalu menambahkan, salah satu penyebab masalah kesehatan seperti stunting dan diare adalah buruknya sanitasi di lingkungan tersebut. “Pemerintah daerah memang telah menyediakan bantuan toilet umum bersama, tetapi terkadang airnya macet,” tuturnya.

Namun, adanya kesulitan yang dihadapi oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia ini tetap dapat berdampak buruk bagi perkembangan negara dalam berbagai aspek. Kesenjangan antara warga di desa dengan warga di kota menjadi salah satu aspek yang cukup mencolok bila dilihat dari akses sanitasinya.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perumahan di desa pada tahun 2020 sebanyak 74,27 persen yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak, dan di perkotaan sebanyak 83,66 persen.

Di tahun 2021, perumahan di desa mengalami peningkatan terhadap akses sanitasi layak sebanyak 1,68 persen, sedangkan di perkotaan menurun sebanyak 0,10 persen.

Sehingga, jika dilihat dari data tersebut, pada tahun 2021 perumahan di desa yang belum memiliki akses terhadap sanitasi yang layak yakni sebanyak 24,05 persen. Sedangkan di perkotaan sebanyak 16,44 persen.

Salah satu narasumber, Tri Dewi Virgiyanti selaku Direktur Perumahan dan Permukiman, serta perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menampilkan infografik terkait konsep dan definisi akses sanitasi berdasarkan Metadata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) 2030. Terdapat lima tingkatan akses sanitasi dalam infografik tersebut.

Perilaku BABS (Buang Air Besar Sembarangan) merupakan tingkatan paling bawah dalam tingkatan konsep dan definisi bagaimana sanitasi yang seharusnya ada. Hal ini terjadi karena tidak adanya akses terhadap kakus, ataupun kakus yang ada tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.

Hal tersebut bisa diatasi dengan tersedianya akses terhadap sanitasi yang layak dan aman agar bisa memenuhi konsep dan akses sanitasi yang memadai. Tetapi, akses sanitasi yang tersedia saja belum cukup jika sanitasi tersebut belum bisa dikatakan layak.

Adanya akses sanitasi tidak menutup kemungkinan masih terjadi BABS namun dengan cara tertutup. Di mana sudah tersedia kakus di sebuah rumah tetapi pembuangannya langsung ke sungai, ladang, ataupun area terbuka lainnya.

“Sudah ada akses pembuangan, tetapi masih berbentuk lubang saja. Kalau hanya lubang, maka pencemaran masih bisa terjadi,” jelas Virgi.

Ia kemudian memaparkan bahwa perilaku BABS saat ini sudah turun ke angka 6,19 persen. Indonesia yang terdiri dari 273 juta penduduk, setidaknya belasan juta masyarakat Indonesia masih melakukan BABS.

“Namun, apabila terdapat 273 juta penduduk di Indonesia, maka terdapat 15-16 juta masyarakat Indonesia yang melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS),” jelas Virgi.

Persentase BABS se-Indonesia mencapai 6,19%, dan belum ada daerah di Indonesia yang menyatakan bebas dari BABS. “Bahkan di DKI Jakarta sendiri belum bebas dari Open Defecation (ODF/BABS),” Virgi melanjutkan.

Tingkatan paling baik dalam infografik terkait konsep dan definisi akses untuk sanitasi yaitu tersedianya akses sanitasi yang aman. Di mana toilet yang digunakan merupakan milik sendiri dan tangki septik disedot setidaknya sekali dalam 3-5 tahun, kemudian dibuang ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).

“Tinja yang masuk ke IPLT selanjutnya diolah agar dapat dibuang dengan aman ke lingkungan,” ujar Virgi.

Dalam data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak pada tahun 2021 sebesar 80,29 persen. Angka itu mengalami kenaikan 0,76 persen dari tahun sebelumnya.

“79,53% rumah tangga nasional memiliki akses sanitasi yang layak dan aman. Jumlah ini sudah lebih baik dari 10 tahun yang lalu,” ungkap Virgi saat menanggapi data tahun 2020 mengenai akses sanitasi yang layak dan aman. Meskipun begitu, Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara lain dalam hal akses sanitasi yang aman.

Meskipun termasuk dalam sebagian kecil, rumah tangga yang tidak memiliki sanitasi layak ini cukup berdampak pada angka diare di Indonesia.

“Sanitasi yang tidak aman memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan, terutama kesehatan anak-anak. Sampai saat ini, diare merupakan penyebab utama meninggalnya balita di Indonesia, dan ini disebabkan oleh kondisi sanitasi yang buruk,” terang Maraita Listyasari, spesialis WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) UNICEF Indonesia.

WASH UNICEF Indonesia mengadakan jajak pendapat mengenai akses sanitasi yang aman untuk periode 10 November 2021 sampai dengan 24 Januari 2022. Hasilnya, sebagian besar responden meminta jasa layanan sedot tinja hanya bila ada masalah (34,7%), sebagian tidak tahu kapan terakhir disedot (26,2%), dan sebagiannya lagi tidak pernah meminta jasa layanan sedot tinja (23,5%).

Air bersih dan sanitasi yang aman masuk ke dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) keenam.

“Upaya untuk menghadirkan sanitasi yang aman harus dilakukan bersama-sama oleh masyarakat, mulai dari diri kita sendiri,” pungkas Maraita.

Reporter: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Visualisasi Data: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Nadya Auriga D.

Problematik di Teras Malioboro

Suasana indoor di Teras Malioboro 1. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu
Raji, salah satu karyawan pedagang pakaian dan sandal sedang menunggu lapak dagangan bosnya. Foto: Himmah/Nawang Wulan
Pedagang di lantai 3 Teras Malioboro 1 terlihat duduk, sembari menunggu datangnya pembeli di tengah suasana Teras Malioboro yang sepi. Foto: Himmah/Firly Prestia Anggraeni
Pedagang sedang melaksanakan salat isya di pojok ruang Teras Malioboro 1. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu
Pedagang tas tengah memerlihatkan barang dagangannya kepada pembeli. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Pembeli sedang memilih oleh-oleh baju ikonik bertuliskan Malioboro. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Pedagang aksesoris di Teras Malioboro 2 sedang menunggu pembeli di lapak dagangannya. Foto: Himmah/Nawang Wulan

Himmah Online, Yogyakarta – Tahun 2022 menjadi tahun baru yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya di Kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. Pasalnya, para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini telah berdagang di sepanjang trotoar Jalan Malioboro kini ditempatkan di lokasi baru yang bernama Teras Malioboro.

Teras Malioboro menjadi tempat wisata belanja baru di kawasan tersebut. Terdapat dua bangunan Teras Malioboro yang disebut dengan Teras 1 dan Teras 2. Teras Malioboro 1 terletak di bagian selatan Malioboro, tepatnya di seberang Pasar Beringharjo,  dan Teras Malioboro 2 terletak  di utara dari Teras Malioboro 1, yang berlokasi dekat dengan Hotel Grand Inna Malioboro. Para PKL telah dipindahkan ke Teras Malioboro sejak Februari lalu, pemindahan ini bertujuan untuk penataan Kawasan Malioboro. 

Namun pasca pemindahan tempat berdagang, bermunculan keluhan dari para pedagang, baik yang berada di Teras 1 maupun di Teras 2. Sejak pemindahan, suasana tempat berdagang menjadi lebih sepi daripada sebelumnya yang berada di sepanjang trotoar Malioboro.

“Untuk dari 0 km (kilometer) pindah sini, lebih enak 0 km, karena pendapatan lebih tingginya emang di sana. Karena orang pasti ke Malioboro, gak ada PKL rasanya sepi,”  keluh Sintya (27) salah seorang pedagang baju di Teras 1 ketika diwawancara pada Selasa (29/03).

Selaras dengan Sintya, Yanti (52) seorang pedagang baju di Teras 1, juga mengeluhkan terkait pendapatan yang turun sejak pemindahan. “Enakan yang kemarin (Malioboro), ya jujur saja, saya pernah dua hari berturut-turut gak pecah (laku), kadang pecah cuma satu, untuk beli bensin tok. Ya memang kenyataannya gitu yo,” terang Yanti.

Di Teras 2, keluhan yang didapat tidak jauh berbeda dengan pedagang di Teras 1. Panji (29) seorang pedagang sandal di Teras Malioboro 2, turut mengeluh mengenai kurangnya pendapatan dan ramainya lapak berjualan. 

Panji memaparkan ketika dipindahkan di Teras Malioboro ia merasa kurang nyaman dengan kondisi Teras 2, dan sempitnya tempat berjualan.

“Satu, omset menurun, kedua, suasananya kurang mendukung, ketiga, parkirannya susah, keempat, kondisi panas, kelima, tempatnya sempit, keenam, lebih mepet-mepet tempatnya, itu sih.” ujar Panji.

Reporter: Himmah/Eka Ayu Safitri, Firly Prestia Anggraeni, Ista Setia Pangestu, Kemal Al Kautsar Mabruri, Muhammad Mufeed Al Bareeq, Nawang Wulan, Siti Tabingah

Narasi: Himmah/Muhammad Mufeed Al Bareeq dan Siti Tabingah

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Tuntut Batalkan Kenaikan BBM, ARB Gelar Aksi di Tugu Yogyakarta

Himmah Online, Yogyakarta – Aksi dengan tajuk “Rakyat Menggugat: Lawan Oligarki, Bangun Demokrasi yang Berkeadilan” digelar Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) di Tugu Yogyakarta, pada Kamis (21/04).

Aksi yang dimulai dengan long march dari Bundaran Universitas Gadjah Mada tersebut membawa empat belas tuntutan. Salah satunya agar pemerintah membatalkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). BBM jenis Pertamax mengalami kenaikan harga sejak 1 April 2022.

Menurut Laili, dampak kenaikan harga BBM dirasakan langsung oleh masyarakat, salah satunya pekerja ojek online. Hal tersebut lantaran tarif tetap sama padahal BBM tengah mengalami kenaikan.

“Untuk saat ini tarif ojek online masih sama, ini membuat para driver akan sangat merasakan dampak dari kenaikan harga BBM,” tutur Laili dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) yang turut bergabung dengan massa aksi ARB.

Ia juga berpandangan, bahwa kelangkaan dan kenaikan harga BBM merupakan kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat Undang-Undang (UU).

“Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran negara. Akan tetapi, sekarang itu hanya menjadi omong kosong saja,” tutur Laili.

Senada dengan Laili, Haidar Albana berpendapat bahwa kenaikan harga BBM dan bahan pokok lainnya menjadi tanda bahwa Indonesia sedang mengalami masalah.

“Realitas Indonesia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Ini dapat dilihat dari kenaikan PPN, kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, serta kenaikan harga BBM,” jelas Haidar dari Keluarga Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan.

Humas ARB yang enggan menyebutkan namanya berpandangan, bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, namun keselamatan masyarakat juga.

“Mungkin kita bisa melihat bagaimana segala kebijakan pemerintah memiliki berbagai dampak. Tidak hanya pada ekonomi tetapi dampak lainnya seperti orang meninggal itu juga harus dipikirkan,” ujar Humas ARB.

Hal tersebut merujuk terhadap kasus meninggalnya dua orang di Berau dan Samarinda setelah mengantre minyak goreng seperti tertuang dalam rilis pers ARB.

Menyikapi segala masalah yang ada, Humas ARB mengajak masyarakat untuk tidak menitipkan tuntutan, namun turut serta dalam aksi-aksi yang dilakukan. “Jika kamu memiliki masalah, maka ayo bersama-sama membangun gerakannya,” tegas Humas ARB.

Reporter: Kemal Al Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Pranoto

Aliansi Rakyat Bergerak Tolak Kenaikan Tarif PPN

Himmah Online, Yogyakarta – Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan long march dari Bundaran Universitas Gadjah Mada, dan menggelar aksi “Rakyat Menggugat: Lawan Oligarki, Bangun Demokrasi yang Berkeadilan” di Tugu Yogyakarta pada Kamis (21/04).

Aksi yang mengundang seluruh elemen masyarakat ini memiliki empat belas tuntutan. Salah satu tuntutan utamanya yaitu agar pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Ryan dari ARB, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN jika berkaca pada situasi dunia internasional yang tarif pajaknya sudah tinggi, maka pemerintah tidak bisa menyamakan dengan situasi di Indonesia. 

Ia juga menekankan agar pemerintah dapat melihat pendapatan ekonomi di Indonesia yang berbeda antar daerah, sebelum membuat keputusan untuk menaikkan PPN.

“Harus dilihat juga dari pendapatan ekonomi masyarakat Indonesia hari ini. Misalnya di Jogja yang Upah Minimum Provinsi (UMP)-nya sebesar Rp1.800.000. Sedangkan di daerah-daerah lain UMP-nya tidak merata, sehingga antar daerah menjadi tidak seimbang apabila PPN dinaikkan,” ujarnya.

Humas ARB, yang enggan disebutkan namanya, juga mengatakan bahwa kondisi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menaikkan PPN jika berkaca dari kondisi sebelum pandemi, terlebih pada pasca pandemi terdapat penurunan kegiatan ekonomi.

“…Kita tahu sendiri pasca pandemi Covid-19 ada penurunan dalam kegiatan ekonomi, sehingga kita juga merasa kalau ini (PPN) tidak fair lah kalau dinaikkan, pun kalau harus dinaikkan tidak saat ini,” ujarnya.

Ryan juga mengatakan bahwa ARB akan tetap melakukan aksi-aksi demonstrasi, mobilisasi massa dengan mengangkat isu lain, seperti penggagalan kenaikan harga BBM dan minyak goreng, serta wacana kenaikan listrik.

ARB  juga berharap setelah adanya aksi ini, masyarakat dapat bersama-sama untuk mengkritik pemerintah.

“Apabila masyarakat menjadikan hal ini sebagai masalah bersama, mari bersolidaritas untuk turut dalam mengkritisi kesewenang-wenangan negara, dan aktif bersuara karena kebebasan berpendapat harus selalu kita junjung,” ungkap Humas ARB.

Reporter: Himmah/Kemal Al Kautsar Mabruri, Pranoto, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Pemberedelan LPM Lintas Akan Berakibat Buruk untuk IAIN Ambon

Pemberedelan LPM Lintas dinilai akan berakibat buruk untuk IAIN Ambon. Karena tanpa jurnalisme yang berusaha untuk bermutu, informasi yang tersedia hanyalah propaganda.

Himmah Online–Yolanda Agne selaku Pemimpin Redaksi LPM Lintas, mengatakan bahwa pihak kampus belum ada tindak lanjut terkait kasus pembekuan LPM Lintas, setelah terbitnya Keputusan Rektor Nomor 92 Tahun 2022.

“Untuk pembekuannya kita masih dibekukan, belum ada tindak lanjut dari kampus, untuk ingin mencari jalan begitu, untuk mediasi atau diskusi dengan kami,” ujar Yolanda dalam diskusi “Pembungkaman Pers Mahasiswa atas Menguaknya Kasus Kekerasan Seksual di Kampus,” pada Minggu (10/04) yang diadakan oleh LPM Institut melalui siaran langsung Instagram.

Yolanda juga menuturkan bahwa pihak kampus akan membuat kepengurusan baru dari LPM Lintas dengan orang-orang pilihan mereka.

“Mereka (pihak kampus) sudah bulat untuk bekukan kami, dan kami juga dengar bahwa mereka akan membuat LPM (Lintas) baru tanpa ada kami,” terang Yolanda.

Andreas Harsono selaku peneliti di Human Rights Watch, mengatakan terkait pemberedelan LPM Lintas merupakan tindakan yang membawa kerugian untuk kampus di mana pers itu berada.

“Tentang pemberedelan itu tentu tidak benar, pemberedelan Lintas itu, akan berakibat buruk buat kampus IAIN Ambon. Karena tanpa media yang kritis, tanpa jurnalisme yang berusaha untuk bermutu berarti informasi yang tersedia hanya propaganda,” ujar Andreas.

Andreas juga meminta kepada pihak kampus, agar LPM Lintas dapat dikembalikan kepada Yolanda dan kawan-kawan.

“Karena itu saya harap bila ada dari pihak rektor atau rektorat dan dosen-dosen di IAIN Ambon yang mendengar diskusi ini, saya minta agar LPM Lintas dikembalikan kepada Yolanda dan kawan-kawan,” ujar Andreas.

Selain itu, Yolanda mengungkapkan pihak kampus seakan tidak berpikir bahwa upaya yang dilakukan LPM Lintas guna menjaga iklim demokrasi di kampus.

“Kalau menurut pendapat saya, kampus sudah nggak berpikir apa yang kami (LPM Lintas) lakukan itu untuk menjaga demokrasi, untuk memberikan masukan kepada kampus, untuk membuat iklim demokrasi di kampus lebih baik,” papar Yolanda.

Yolanda menambahkan bahwa pihak kampus justru melihat LPM Lintas, sebagai organisasi yang sudah mencemarkan nama kampus, dan upaya yang LPM Lintas lakukan merupakan tindakan disengaja, untuk menghambat laju IAIN yang ingin beralih status ke UIN.

“Mereka (pihak kampus) lebih melihat kami mencemarkan nama kampus, dan kami ini dituduh ditunggangi oleh kepentingan orang luar untuk memperlambat laju IAIN ke UIN,” lanjut Yolanda.

Berkaitan dengan pembekuan, LPM Lintas telah menempuh jalur konsolidasi dan meminta bantuan beberapa lembaga untuk menyurati pihak rektor. 

LPM Lintas juga melakukan konsolidasi dengan pers mahasiswa seluruh Indonesia, dan menerbitkan ulang laporan dengan keterangan bahwa artikel tersebut tidak akan dicabut hingga rektor menarik surat keputusan pembekuan atas LPM Lintas.

Selain itu, LPM Lintas juga meminta dari KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers untuk menyurati pihak rektor, berkaitan dengan permintaan penarikan kembali surat pembekuan.

“Jadi menurut kita, kalau misalnya dari mahasiswa sendiri yang menekan ke atas itu, kurang didengar sama pihak kampus. Jadi kami pakai sistem langsung dari pusat, dari LBH Pers dan KIKA akan menyurat ke Kemenag langsung, supaya dari Kemenag itu mengevaluasi kembali kerja-kerja pimpinan IAIN Ambon,” pungkas Yolanda.

Reporter: Farah Azizah

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati