Beranda blog Halaman 39

Obrolan Anak dan Bapak DPR

Sebuah pagi di awal bulan Oktober yang diguyur hujan untuk membasuh bumi. Musim penghujan tahun ini telah datang membawa setangkup rasa sedu yang terkubur dalam.

Tetes air hujan tak hanya jatuh dan membasahi permukaan genteng dan dedaunan, akhir-akhir ini ia jatuh di pipi keriput petani dan buruh.

Satu jam berlalu Kyo duduk di sofa bersama ayahnya, di depan sebuah televisi empat puluh inch, di sebuah ruangan yang tak begitu besar tanpa dinding pemisah antara meja televisi dengan dapur.

Kyo merupakan bocah yang dapat dibilang cepat dan tanggap dalam hal membaca dan menulis, terbukti bahwa saat ini ia begitu pandai membaca dan menulis.

Sudah setahun terakhir Kyo meniru kebiasaan ayahnya yang hampir tiap pagi menghabiskan waktu beberapa jam untuk menonton berita di televisi. 

Ia juga memiliki hobi baru setelah menirukan ayahnya selama beberapa waktu terakhir, membaca koran. Meski ia tak begitu memahami maksudnya, tapi ia suka membacanya.

Mata sipit Kyo beberapa kali menatap jam dinding yang tergantung tepat dua meter di atas televisi, pukul 06.30.

Sesekali tatapan mata itu berpindah bergantian antara jam dinding dengan ayahnya yang duduk di sebelahnya. Kun namanya. Seorang pria yang bertubuh tanggung dengan perut sedikit buncit.

“Ayah, ini hari Senin. Ayah tidak pergi ke kantor? Sekarang sudah jam setengah tujuh!”

Kun tersenyum dengan tangan mengelus rambut halus bocah kelas lima Sekolah Dasar yang ada di sampingnya. “Ayah nanti berangkat ke kantor agak terlambat, ada rapat yang sedikit membosankan.”

Tanpa respon berlebihan, Kyo hanya menatap mata ayahnya dan mengangkat salah satu alisnya untuk menyelidik.

Ayahnya hanya menatap matanya datar, Kyo membuang muka dan kembali fokus untuk nonton televisi.

Dalam tayangan televisi pagi, ia hanya melihat berita tentang gubernur, demo kakak mahasiswa, kasus pembunuhan, maupun orang menangis karena rumahnya dibongkar paksa. Ia tak mengerti banyak tentang semua itu.

Dulu, saat Kyo duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar, ia tak mengerti apa pekerjaan ayahnya.

Ia juga tak mengerti mengapa di suatu waktu, hampir setiap orang yang bertemu dengan ayahnya bila berkunjung di suatu tempat selalu dielu-elukan dan orang-orang meminta untuk berjabat tangan.

Tak lama setelah itu, ia mengikuti ayahnya ke sebuah gedung yang katanya diimpikan oleh segelintir orang untuk bekerja di dalamnya.

Sebuah gedung kuno berwarna putih peninggalan belanda yang memiliki sisi kemewahan tempo dulu.

Waktu itu, Kyo dan ibunya hanya duduk dan melihat dari belakang ketika ayahnya berdiri bersama puluhan orang dengan salah satu orang memegang kitab yang diacungkan di atas kepala.

Kemudian ayahnya serta puluhan orang lainnya menirukan ucapan seorang pria yang berdiri di depan mereka.

Kini setelah Kyo meniru kebiasaan ayahnya, dan sesekali ia menanyakan pada ayah atau ibunya, ia baru mengetahui apa pekerjaan ayahnya.

Kata ibunya, ayahnya bekerja sebagai wakil dari semua orang yang ada di negara Indonesia.

Pada dasarnya, Kyo kurang menyukai bila ayahnya menjadi wakil rakyat. Ibunya pernah bilang kalau menjadi anak wakil rakyat harus bertindak dan bertutur baik, karena semua gerak geriknya akan menjadi sorotan orang-orang sekitar.

Pada dasarnya, Kyo tak menyukai omongan dan pandangan tak enak dari orang lain nantinya, terlebih bila mengetahui bahwa ia merupakan anak wakil rakyat.

“Ayah, bagaimana sih rasanya jadi seorang wakil dari semua orang di negara ini?”

“Rasanya? Hmm, seneng.”

“Kenapa ayah merasa seneng? Kan sekarang jadi jarang ada waktu lagi buat Kyo.”

Kun menatap sayu mata anaknya yang protes. Ia tak dapat menjawab pertanyaan itu, ia membiarkan pertanyaan itu menguap di udara.

Ketika pertanyaan itu menguap dan menggantung di atas mendung, ibunya memberikan secangkir kopi untuk ayahnya dan segelas susu untuknya, sebuah bahasa cinta dari ibu untuk anak dan suaminya.

Pertanyaan Kyo benar-benar menguap bagai kepulan uap air panas yang ada dalam secangkir kopi buatan ibunya. Kali ini ia tak memusingkan hal tersebut, dan mengganti dengan pertanyaan lain.

“Ayah, apa sih tugasnya wakil dari orang se-Indonesia?”

“Tugasnya itu menyampaikan keinginan mereka, Nak. Kalau mereka menginginkan suatu hal yang baik untuk orang banyak, maka ayah dan teman teman ayah akan mengupayakan sesuatu untuk memberikan apa yang mereka butuhkan.”

“Oh begitu ya Yah, terus kenapa kakak-kakak itu banyak yang demo Yah? Demo itu apa sih Yah?” Kyo menunjuk ke arah televisi yang menampilkan berita yang tertulis ‘Demo Tolak Omnibus Law’.

“Demo itu, upaya kakak-kakak dan masyarakat untuk menyampaikan keinginannya Nak, mereka membahas hal apa saja yang akan disampaikan sesaat sebelum mereka melakukan demo tersebut …”

Kalimat yang disampaikan Kun terpotong oleh tayangan berita yang menunjukkan upaya mahasiswa untuk orasi di depan gedung DPR di salah satu provinsi.

“Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk mengesahkan peraturan ini? Yang jelas mencederai dan ditolak oleh sebagian besar rakyat Anda?” Teriak salah satu orator aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat.

“Jika memang ini merupakan terobosan untuk kesejahteraan rakyat, maka rakyat mana yang anda berikan terobosan tersebut? Kami tidak pernah mengamanahkan hal ini kepada dewan!” Teriak orator lain.

“Mengapa kalian selama ini seolah buta, tuli atas segala keluh kesah rakyatmu? Mengapa kalian begitu terburu-buru untuk mengesahkan undang-undang tersebut tanpa melibatkan elemen masyarakat? Mengapa kalian akan menggunduli alam dan lingkungan dengan cara mengebiri birokrasi yang berpotensi akan menjadi tumpangan segelintir pengusaha? Mengapa oh mengapa hai Dewan Perwakilan Rakyat yang entah mewakili rakyat yang mana?” Teriak lantang orator bergantian.

“Bila benar engkau tak peduli dengan keberadaan kami, maka tolong dengarlah seruan atas keinginan maupun kritik kami!”

“Tak perlu kalian berpikir dan menyusun berbagai macam program kerja yang kami tak tau diperuntukkan untuk siapa, cukup kalian dengarkan kami dan penuhi permintaan maupun hal yang kami butuhkan!”

“Kami rakyatmu yang dulu kau temui di pelosok desa untuk meminta kami memilihmu, mengapa kini engkau tuli dan membisu?”

Orasi itu terdengar bersahutan dalam cuplikan video pemberitaan berita.

Dalam beberapa menit kemudian, Kyo kembali membaca teks dalam sebuah berita, ‘Polisi menghalau demonstran agar membubarkan diri’.

Kyo melihat bagaimana sebagian rakyat yang menyampaikan keinginannya ditembak menggunakan semacam senapan yang pelurunya mengeluarkan gas berwarna putih mengepul, yang membuat mereka lari berhamburan.

Kyo juga melihat bagaimana sebagian rakyat yang menyampaikan aspirasinya disiram menggunakan mobil khusus yang memiliki semprotan air di atasnya.

Dalam pikirnya terus timbul tanya mengapa dan mengapa?

Kyo terdiam dan memandang wajah ayahnya penuh tanya. Mengapa hal yang dikatakan oleh ayahnya dan apa yang dikatakan oleh kakak-kakak itu berbeda.

“Ayah, mengapa kakak-kakak itu menanyakan alasan wakil rakyat tidak mendengar keinginan mereka? Apakah cara menyampaikan keinginan seluruh warga Indonesia harus dengan cara seperti itu? Berteriak-teriak di jalan karena tak didengarkan? Dan dibubarkan dengan cara disiram?” Tanya Kyo yang membuat wajah Kun sedikit merah.

Kun meninggalkan Kyo dengan pertanyaan yang kembali menguap tanpa jawab. Dari atas sofa ia melenggang menuju kamar untuk mengganti baju lalu menyantap separuh porsi nasi goreng yang dimasak oleh istrinya. Lalu ia pergi untuk mendatangi rapat yang katanya membosankan.

“Mengapa ayah selalu menghindari pertanyaan tentang hal-hal yang diberitakan di televisi? apakah mungkin ayah tak mau menjawab juga bila di tanya oleh om-om wartawan hingga aku tak pernah melihat ayah sekali saja tampil di televisi?” Batin Kyo berkecamuk.

Kun merupakan sosok ayah yang begitu bekerja keras, hingga kerja kerasnya berbuah manis dan membuat dia menjadi seorang pengusaha dan politikus yang cukup tersohor di kotanya.

Namun semua kegigihan dan kerja keras itu seolah luntur bila dilihat dari waktu bekerjanya, terutama saat ia terpilih menjadi wakil rakyat. Dulu ia sanggup bekerja dari pagi hingga petang menjelang. Kini, ia pergi pagi, lalu dua atau tiga jam kemudian sudah pulang.

Jam kerjanya seolah sudah menjadi pola yang begitu mudah ditebak oleh istrinya, terutama ketika ia mengatakan akan ada rapat membosankan. Hampir dapat dipastikan bahwa ia akan pulang dua atau tiga jam kemudian.

Pukul 9.25, suara mobil kun terdengar meraung di depan rumah, tak lama kemudian Bu Kusti yang setiap hari membersihkan rumah membukakan pintu gerbang.

“Pulang cepat lagi yah?” Tanya istrinya.

“Iya, aku sebel sama orang-orang bodoh yang menolak tawaran investasi dari luar negeri yang bisa membuat negara kita kaya,” jawab Kun ketus.

Kyo mendengar obrolan ayah dan ibunya yang mendorong untuk menanyakan kembali pertanyaan yang menguap pagi tadi.

“Sudahlah Kyo, kamu belajar saja yang tekun dan jangan berbuat macam-macam seperti mereka yang sok pintar dan menggurui!” Jawab Kun memotong dengan nada sedikit meninggi.

Kyo menyesal telah melempar tanya kepada ayahnya dan berharap pertanyaannya dijawab seperti dulu, tanpa menggunakan emosi dan nada tinggi. Kini ayahnya telah berubah setelah menjadi wakil rakyat. Ia sekarang menjadi lebih mudah tersinggung dan susah untuk diajak berdiskusi.

Kenyataan itu membentuk sebuah opini bahwa menjadi wakil rakyat akan merubah tabiat seseorang, tak pernah pandang bulu siapakah dia. Bahkan ayahnya saat ini berubah seperti orang yang tak ia kenal sebelumnya.

Di usianya yang baru kelas lima Sekolah Dasar, ia telah memilih untuk menghapus impian anak seusianya yang menginginkan untuk menjadi presiden atau wakil rakyat jika ia besar nanti. Ia menghapus impian itu karena alasan yang kuat dan bulat, tak mau menjadi orang yang suka tersinggung dan kolot untuk berdiskusi seperti ayahnya saat ini.

Solidaritas Pangan Jogja Menolak Penghargaan dari Kemenpan-RB

Himmah Online, Yogyakarta – Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) mengadakan konferensi pers pada hari Jumat, 4 Desember 2020 di Dapur SPJ Wonocatur. Agenda konferensi pers dimulai dari pemberian pernyataan penolakan pemberian penghargaan kepada SPJ oleh salah satu relawan mereka.

Pemberian penghargaan tersebut disampaikan melalui surat undangan pada Kamis, 3 Desember 2020. Melalui komunikasi via telepon diberitahukan pula bahwa pemberian penghargaan kepada SPJ sebagai TOP 21 Inovasi Pelayanan Publik Penanganan COVID-19 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI (Kemenpan-RB).

Dina, selaku relawan SPJ Dapur Wonocatur dan dua relawan lainnya menyampaikan alasan penolakan pemberian penghargaan dari Kemenpan-RB. Menurut keterangannya, penolakan tersebut dilakukan karena SPJ bukan bentuk pelayanan publik.

“Kami menolak penghargaan dan hadir dalam acara tersebut karena kami adalah gerakan rakyat yang dibentuk untuk membantu rakyat lainnya selama masa pandemi ketika pemerintah tidak turun tangan,” ujar Dina.

Selanjutnya Dina juga menambahkan bahwa alasan penolakan dikarenakan SPJ bukan merupakan suatu organisasi yang didukung oleh satu dua pihak saja. Sehingga, menurutnya pemberian penghargaan ini merupakan tindakan yang salah alamat.

“Penghargaan ini harusnya diberikan ke seluruh elemen masyarakat yang saling membantu di masa sulit seperti sekarang ini dan tidak diberikan melalui penghargaan seperti piagam, sertifikat dan sebagainya. Tetapi dalam bentuk jaminan kesehatan dan akses pekerjaan untuk kelompok masyarakat rentan,” tambahnya.

Oleh karena itu, Dina selanjutnya juga menegaskan bahwa SPJ tidak membutuhkan pengakuan baik dari pemerintah maupun dari negara atas kegiatannya yang dilakukan selama ini. Meski tidak lagi menerima dan mengelola donasi, SPJ berkomitmen untuk tetap membantu rakyat atas dasar kepercayaan dan solidaritas.

“Kami merasa tidak membutuhkan penghargaan untuk terus berjalan, meskipun kami sedang vakum. Tetapi akan tetap ada inisiatif-inisiatif gerakan solidaritas yang terus berkembang baik di daerah Jogja maupun di daerah-daerah lain,” terang Dina.

Untuk proyeksi kegiatan SPJ kedepannya, para relawan mengaku masih belum memiliki gambaran mengingat masih akan melihat situasi ekonomi yang semakin sulit. Hal tersebut berdampak pula kepada para donatur yang semakin berkurang karena keadaan ekonomi. Sehingga hal ini menjadi sebuah tantangan bagi kegiatan SPJ dalam membangun ekonomi yang mandiri.

Konferensi pers tersebut kemudian ditutup dengan pembacaan dan apresiasi kepada satu persatu kepada 24 dapur aksi solidaritas yang tersebar di beberapa wilayah. Sebelumnya SPJ ini merupakan aksi solidaritas yang terbentuk pada Maret 2020, sepuluh hari sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan darurat corona di Indonesia. 

Namun pada bulan Juli, SPJ menutup saluran donasi untuk memikirkan strategi kedepannya mengelola kegiatan solidaritas ini. Dalam kegiatannya, SPJ berhasil membuka 13 dapur pangan dan beberapa dapur dalam bentuk bahan pangan.

Reporter dan penulis: Yustisia Andhini L.

Editor: Muhammad Prasetyo

Perjalanan Tentang Kesetiaan

0

Dulu, aku pernah mendengar seorang teman berujar, bahwa ‘cinta lama’ itu ibarat tanaman kering. Bila kembali tersiram segarnya air hujan, maka lambat laun akan bersitumbuh kembali. Bahkan tak menutup kemungkinan akan tumbuh lebih subur dari sebelumnya. 

Entah mengapa, kini, kalimat itu kembali terngiang-ngiang di gendang telinga ini. Kenangan-kenangan indahku saat bersama Mas Eza kembali terputar ulang secara otomatis dan begitu runtut. Sangat runtut.

“Apa ini, Mas?” Sambil tak henti senyum, kutatap lekat wajah Mas Eza. Eza Wibisono lengkapnya. Dia adalah lelaki yang selama ini dekat denganku. Bisa dibilang kami berteman karib. Tiap aku atau dia sedang didera masalah, kami akan saling mencurahkan isi hati, saling menguatkan, berusaha mencari solusi bersama. 

Keakraban kami sempat membikin orang-orang menyebut kami sepasang kekasih. Namun aku hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul dan menggeleng kepala. Ya, sebab di antara kami memang tak ada ikatan lain selain pertemanan. Hanya pertemanan. Titik. 

Emm, tapi tunggu, sebenarnya, kalau boleh jujur, kira-kira sebulan usai mengenalnya lebih dekat, aku memang mulai mengagumi sosok Mas Eza. Namun pantang bagiku untuk mengatakan bahwa aku menyukainya. Mungkin, karena aku adalah seorang perempuan hingga merasa tak memiliki nyali dan harga diri bila harus menyatakan rasa suka terlebih dahulu terhadap seorang lelaki.  

Yang jelas, selama kami menjalin hubungan pertemanan, aku merasa nyaman dan sangat menikmati. Kendati di sisi lain, kerap terbetik rasa kecewa saat tak kulihat gelagat atau gesture raganya yang menyiratkan bahwa dia memendam rasa padaku. Inilah alasan paling kuat yang mendominasi hati ini untuk memendam dalam-dalam perasaan lebih dari sekadar teman ini kepada lelaki berdarah Jawa-Sunda itu.  

“Buka aja, Na,” lelaki berlesung pipit, bermata perak serta berhiaskan sepasang alis tebal itu menatapku sambil tersenyum lembut. Dengan menekan debaran dada, perlahan kubuka kado berbalut kertas merah muda bermotif bunga-bunga merah muda.

Selamat ulang tahun ke 21 ya, Na,begitu tulisan singkat yang tertempel di sebuah kardus mini yang aku masih belum tahu isinya kira-kira apa.

Wah, makasih, Mas! Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari ultahku!” Aku terpekik tak percaya. Seperti ada ribuan kupu-kupu beraneka warna yang entah datang dari mana melesat dan beterbangan begitu saja tanpa aba-aba, menyerbu taman bunga yang mendadak bermekaran dalam dada ini. Aku merasa surprise

Ternyata selama ini dia begitu perhatian. Sampai hafal tanggal lahirku segala. Padahal aku sendiri nyaris tak ingat. Mungkin, karena selama ini aku tak begitu peduli dan tak menganggap ulang tahun adalah momentum spesial yang harus dirayakan. 

“Kadonya dibuka, dong, jangan dipandangin terus,” pintanya saat aku masih terbengong tak percaya bahwa dia merayakan ulang tahun untukku, sahabat yang sebenarnya menyukainya. Aku tersipu malu. Dengan dada kian berdebar tak karuan segera kubuka kardus yang ada di kedua tangan. Dan, aku kembali terpekik saat mengetahui bahwa isi kardus itu adalah sebuah… cincin emas. 

Kupu-kupu kebahagiaan itu semakin menyerbu dada ini saat aku membuka lipatan kertas yang ada di bawah cincin itu. Di sana tertulis sebaris kalimat, “Na, maukah kau menikah denganku?” Ya, Tuhan, bahagianya hati ini, ternyata selama ini dia juga memiliki rasa senada denganku. Diam-diam tanpa sepengetahuannya, aku sampai mencubiti kedua jemari tangan untuk memastikan bahwa apa yang kualami saat itu bukan sebatas mimpi. 

“Aku nggak meminta kamu untuk menjawab sekarang, aku akan menunggu dengan sabar, Na,” ucapnya saat melihat wajahku bersemu merah dan tegang. Tentu saja aku merasa tegang atas kejutan demi kejutan yang membuatku senang tak terkira bahkan seperti tengah berada di alam mimpi saja.

“Za, kamu nggak sedang akting, kan?” Aku bertanya spontan, pertanyaan yang sebenarnya untuk menghapus kegugupanku. Dia tertawa terbahak mendengar pertanyaanku yang mungkin dianggapnya konyol dan lucu. 

Beberapa detik berikutnya, bibirku tak hentinya memburaikan senyuman. Hati ini terasa sangat plong dan bahagia saat mendengar penjelasannya bahwa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Lho, kamu nggak jadi berangkat, Sayang?” Aku tergeragap saat mendengar sapaan lelaki di belakangku yang secara tiba-tiba. 

Kepalaku terputar spontan seraya berusaha menguasai keadaan. Jangan sampai aku terlihat gugup di matanya. Kutatap lekat-lekat seraut wajah lelaki yang kini telah berdiri persis di sebelahku. Aku yang sedang duduk di ruang tamu sembari mengenang kembali masa laluku bersama Mas Eza seketika tersadar dengan kenyataan bahwa aku kini adalah istri lelaki lain.

“Eh, ng… nggak jadi, Mas,” entah kenapa tiba-tiba saja aku berubah pikiran saat melihat lelaki berwajah tampan dan bermata teduh yang selama ini sangat menyayangiku dan telah memberiku buah hati yang kini telah beranjak remaja.

“Kenapa nggak jadi sih, Ma, padahal aku udah siap-siap nganterin Mama,” aku semakin tersadar mendengar ucapan Rama, buah hatiku yang baru masuk SMA tahun ini. Aku menoleh ke arah putraku yang baru saja keluar dari kamarnya. 

Ah, wajah Rama benar-benar mirip Mas Arief, suamiku, bahkan lebih tampan darinya.Sepintas, wajah Rama mirip Giorgino Abraham, pemeran Arka dalam sinetron Anugerah Cinta. Ya, Tuhan, haruskah aku mengkhianati kesetiaan mereka berdua selama ini? Perempuan macam apa aku ini? 

“Tadi Mbak Fitri bilang belanjanya ditunda dulu, soalnya dia ditelpon saudaranya yang sedang butuh bantuannya,” lagi-lagi aku berbohong pada suami dan anakku sendiri. Duh Gusti, mengapa aku jadi mulai pandai berbohong pada mereka dengan mengarang-ngarang cerita akan menemani belanja Mbak Fitri, sepupuku yang tinggal di kompleks perumahan sebelah itu? 

Ah, semua ini gara-gara Mas Eza. Sejak aku gagal menikah dengannya, 20 tahun silam, bersebab orangtuanya ternyata tak merestui hubungan kami, aku memilih meninggalkan kota kelahiranku. 

Selama hampir 5 tahun, aku ikut membantu Lik Anwar, Pamanku, yang telah lama menjadi pedagang kain di Bandar Lampung. Perlahan tapi pasti, aku pun bisa melupakan cinta pertamaku meskipun aku belum benar-benar bisa mengenyahkan perasaan yang pernah ada antara aku dan Mas Eza. 

Betapa aku merasa sangat beruntung saat bertemu Mas Arief. Dia adalah salah satu partner bisnis Lik Anwar. Cinta pun perlahan bersemayam dalam hati ini dan hati lelaki bermata teduh itu. Tak menunggu berganti tahun, aku mengangguk saat Mas Arief mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius denganku. 

Setelah menikah, kami memutuskan tinggal di Jawa, tepatnya di kota Yogyakarta yang terkenal dengan nasi gudeg khasnya itu. Lalu, kami pun kembali dari nol, menekuni bisnis kain batik hingga akhirnya bisa terbilang sukses seperti sekarang. 

Kini, setelah 20 tahun berlalu, saat aku telah dikaruniai seorang putra tampan, sang waktu seolah berputar dan kembali mempertemukanku dengan Mas Eza di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. 

Entah mengapa, bunga-bunga yang telah layu perlahan bersitumbuh dalam hati saat mengobrol panjang lebar dengannya, bahkan kami telah beberapa kali ketemuan. Husna, istri Mas Eza ternyata telah meninggal dunia 4 tahun silam akibat kanker serviks yang menggerogoti raganya. Hingga kini dia masih menduda tanpa dikaruniai buah hati. 

Hari ini, sebenarnya aku kembali berencana bertemu lelaki masa laluku yang telah sukses menyuburkan kembali benih-benih cinta di hati ini. Namun, setelah melihat raut suami dan putraku serta merenungi betapa selama ini mereka selalu ada untukku di saat susah maupun senang, aku memutuskan untuk benar-benar mengubur semua kenanganku bersama Mas Eza, sebelum semuanya semakin jauh dan aku terlambat menyesalinya. 

Melalui pesan WhatsApp, kugagalkan pertemuanku dengan Mas Eza. Aku bertekad akan berusaha sekuat tenaga menghindari pertemuan dengannya. Pertemuan yang akan mengusutkan benang kesetiaanku pada Mas Arief dan Rama. Duh Gusti, tolong bantu hamba agar kuat menghadapi ujian ini. Betapa aku ingin menjadi perempuan sekaligus sosok istri salihah yang setia. Setia pada suami dan anakku.

Bagaimana Pengaruh Resesi Ekonomi Terhadap Sistem Kesehatan Nasional?

Saat ini, pandemi Covid-19 telah menjadi permasalahan utama seluruh dunia. Virus ini menginfeksi lebih dari 25 juta penduduk di seluruh dunia dan mengakibatkan lebih dari 800 ribu kematian. 

Sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization(WHO)pada Maret 2020, penyebaran penyakit Covid-19 berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. 

Penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab infeksi Covid-19 yang cepat menginfeksi jutaan penduduk di seluruh dunia memaksa banyak negara untuk menutup perbatasan antar negara untuk menghambat laju infeksi. 

Covid-19 menjadi tantangan utama dalam dunia kesehatan. Kemampuan penyebarannya yang cepat mengakibatkan tingginya pasien yang terinfeksi. Hal tersebut menimbulkan permasalahan serius terkait penanganannya oleh para tenaga kesehatan. 

Pandemi ini mengakibatkan sistem kesehatan di banyak negara terbebani karena selain banyaknya jumlah pasien, belum ada pengobatan yang efektif menyembuhkan pasien yang terinfeksi Covid-19 sehingga menyulitkan penanganan pasien yang terinfeksi. Selain itu, rendahnya edukasi masyarakat terkait upaya mengurangi penyebaran penyakit Covid-19 yang mengakibatkan angka positif terinfeksi terus meningkat.

Dampak dari Covid-19 tak hanya berpengaruh di bidang kesehatan, tapi juga memengaruhi berbagai bidang lainnya. Satu di antaranya bidang perekonomian. 

Terkait upaya mengurangi angka penularan Covid-19 dengan cara mengurangi interaksi antar manusia, karena penularan dapat menyebar melalui interaksi secara langsung antar manusia. 

Salah satu cara mengurangi interaksi antar manusia adalah dengan melakukan pembatasan perjalanan antar negara. Dampaknya, menurunnya pemasukan berbagai sektor pembangunan ekonomi yang bertumpu pada interaksi antar manusia seperti pariwisata dan aktivitas ekspor-impor. 

Akibatnya, tingkat perekonomian mengalami penurunan dan menimbulkan permasalahan serius terkait tingkat kesejahteraan masyarakat.

Ancaman Resesi Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 memukul perekonomian banyak negara. Kondisi tersebut terjadi karena banyak negara yang membatasi interaksi warga negaranya, baik melalui lockdown maupun semi-lockdown (red- Pembatasan Sosial Berskala Besar). 

Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya angka pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada kemampuan konsumsi masyarakat untuk menggerakkan roda perekonomian, sehingga memengaruhi kemampuan para pelaku usaha untuk menjaga kelangsungan hidup usahanya. 

Hal ini juga mengakibatkan penurunan harga minyak yang berpengaruh pada perekonomian dunia. Kondisi ini dipicu dari keputusan kenaikan produksi minyak oleh Rusia dan Arab Saudi yang menolak menurunkan produksi minyak sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). 

Dalam laporan Foreign Policy yang berjudul OPEC Tries to Forestall a Coronavirus Oil Collapse, OPEC berniat menurunkan angka produksi minyak untuk menstabilkan harga minyak dunia berhubungan dengan menurunnya permintaan akan minyak akibat Covid-19. 

Namun, keputusan Rusia dan Arab Saudi untuk menaikkan produksi minyak pada awal Maret 2020 berdampak jatuhnya harga minyak sebesar 25%. Berdasarkan laporan dari Reuters, nilai tersebut merupakan harga minyak terendah sejak Perang Teluk I pada tahun 1991. 

Jatuhnya harga minyak kemudian berdampak pada berbagai industri. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperingatkan bahwa kejatuhan industri dan menurunnya tingkat konsumsi masyarakat akan memberikan tekanan pada pihak bank selaku salah satu pemodal utama industri dan perekonomian serta ketersediaan lapangan kerja di berbagai bidang industri. 

Kondisi ini berakibat stagnasi ekonomi dan kejatuhan harga saham pada 9, 12 dan 16 Maret yang -menurut laporan Mazur, Dang dan Vega yang berjudul Covid-19 and the march 2020 stock market crash. Evidence from S&P1500 yang dipublikasikan di Finance Research Letters– secara berturut-turut dikenal sebagai Black Monday I, Black Thursday, dan Black Monday II

Kejatuhan harga saham ini akan menimbulkan resesi karena ketidakmampuan investor untuk menstimulasi perekonomian industri, sehingga perekonomian dunia akan menjadi kolaps.

The World Bankmerilis laporan pada 8 Juni 2020 yang menunjukkan apabila terjadi resesi ekonomi tanpa bantuan keuangan dari pemerintah akan mengakibatkan perusahaan kesulitan membayar hutang bank, meningkatkan upaya penghindaran risiko dengan meningkatkan pinjaman, dan menimbulkan gagal bayar hutang perusahaan, serta kebangkrutan yang menyebabkan krisis moneter di banyak negara. 

Resesi ekonomi akan menimbulkan permasalahan sosial karena tingginya angka pengangguran dan meningkatkan beban negara dalam meningkatkan angka kesejahteraan warganya. 

Pengaruh Resesi Ekonomi Terhadap Sistem Kesehatan Nasional

Ancaman resesi memiliki dampak yang luas pada berbagai sektor kehidupan, termasuk juga pada sektor sistem kesehatan nasional. Melalui mekanisme yang berbeda, efek yang ditimbulkan akan terasa lebih lama dibandingkan pada sektor perekonomian lainnya. 

Dalam tulisan yang berjudul If the world fails to protect the economy, Covid-19 will damage health not just now but also in the future di jurnal Nature Medicine, Martin McKee dan David Stuckler telah memperingatkan bahaya ekonomi dari penyebaran Covid-19. 

Resesi ekonomi yang sedang terjadi berbeda dengan resesi yang pernah terjadi sebelumnya, seperti resesi tahun 1929 akibat kejatuhan pasar saham di Wall Street, kejatuhan harga minyak dunia di tahun 1973 maupun resesi di tahun 2007 – 2009 akibat kejatuhan pasar properti. 

Apabila resesi sebelumnya terkait aktivitas perekonomian yang berskala global, resesi yang mengancam saat ini terkait permasalahan di bidang kesehatan karena penularan penyakit Covid-19 yang tinggi dan berdampak pada berbagai segi kehidupan, termasuk perekonomian global.

Berdasarkan penelitian oleh Cawley, Moriya dan Simon yang berjudul The impact of the macroeconomy on health insurance coverage: evidence from the Great Recession, kondisi ini dapat terlihat dari resesi ekonomi di tahun 2007 – 2009. 

Dampak resesi ekonomi di sektor kesehatan Amerika Serikat (AS) pada 2007 – 2009 adalah terhentinya jaminan kesehatan yang dikeluarkan perusahaan kepada karyawan. Masyarakat kehilangan kemampuan memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan dan mengurangi prioritas terhadap biaya pengeluaran. 

Sistem kesehatan AS masih dapat bertopang pada penyedia layanan asuransi kesehatan untuk memperoleh pendapatan. Namun, kondisi ini tidak menolong banyak karena tingginya angka pengangguran yang tidak mengikuti layanan asuransi. 

Akibatnya, beban biaya penagihan rumah sakit meningkat dan menghambat pembayaran gaji para petugas kesehatan. Ancaman kolapsnya sistem kesehatan AS dapat terhindar berkat keluarnya regulasi Patient Protection and Affordable Care Act di tahun 2009 untuk memberikan asuransi kesehatan kepada masyarakat yang tidak terasuransikan dan menopang kembali sistem kesehatan nasional. 

Namun, kondisi saat ini berbeda dengan resesi ekonomi yang telah terjadi sebelumnya. Tantangan saat ini tak hanya terkait dengan ancaman resesi ekonomi saja, tapi juga masih tingginya pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit sehingga berakibat pada terbebaninya sistem kesehatan di banyak negara. 

Pandemi Covid-19 saat ini juga menimbulkan beban tersendiri pada petugas kesehatan. Banyak para petugas kesehatan yang mengalami gangguan mental akibat beban kerja yang semakin tinggi dan meningkatnya angka kematian para petugas kesehatan di seluruh dunia. 

Kondisi ini akan mengancam kolapsnya sistem kesehatan di berbagai negara karena rendahnya jumlah petugas kesehatan dan pemasukan yang diperlukan untuk membiayai operasional rumah sakit berkurang. Diperlukan peran berbagai pihak untuk mencegah kolapsnya sistem kesehatan negara yang berperan penting untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Studi yang dilakukan oleh Margerison-Zilko et al di tahun 2015berjudul Health Impacts of the Great Recession: A Critical Review menunjukkan dampak dari resesi di tahun 2007 – 2009 mengakibatkan tekanan psikologis yang dapat menimbulkan gangguan mental karena banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan dan investasi. 

Kondisi ini kemudian menimbulkan peningkatan angka bunuh diri yang terjadi di Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Resesi juga menimbulkan perubahan pada pola hidup masyarakat menjadi semakin tidak seimbang. 

Masyarakat cenderung mengonsumsi makanan tinggi kalori, meningkatkan konsumsi minuman beralkohol, merokok dan rendahnya aktivitas fisik. Maka akan berdampak pada menurunnya angka kesehatan yang dapat menjadi beban negara di masa depan.  

Bagaimana Mengatasi Ancaman Resesi Pada Sistem Kesehatan?

Guncangan ekonomi meningkatkan kebutuhan untuk perawatan kesehatan dan membuatnya lebih sulit untuk mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan berperan penting dalam upaya pencegahan sistem kesehatan negara menjadi kolaps. 

WHO bersama The European Observatory on Health Systems and Policiespada tahun 2014 mengeluarkan rangkuman kebijakan berjudul Economic crisis, health systems and health in Europe: impact and implications for policy yang membahas terkait krisis ekonomi dan manajemen sistem kesehatan. 

Dalam rangkuman kebijakan tersebut, respon kebijakan fiskal dan kesehatan oleh pemerintah harus menghindari pemotongan biaya kesehatan masyarakat. Pemotongan tersebut dapat merusak tujuan sosial negara, menambah kesulitan pada kelompok masyarakat yang rentan, melemahkan kinerja sistem kesehatan nasional dan menambah tekanan fiskal di masa depan. 

Apabila pemotongan anggaran terpaksa dilakukan oleh pemerintah, perlu dilakukan secara selektif berbasis bukti dan kejelasan akan penetapan prioritas yang dapat meningkatkan efisiensi.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah perlu mengidentifikasi dan membatasi anggaran belanja di bidang yang bernilai rendah (less cost-effective) dan melindungi pengeluaran bidang yang bernilai tinggi (less cost-effective). Termasuk di bidang layanan kesehatan masyarakat dan layanan perawatan primer. 

Perlindungan finansial dan akses ke pelayanan kesehatan diperlukan terhadap kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi mengalami kemiskinan, pengangguran, pengucilan sosial dan kesehatan yang buruk. Pemerintah perlu menjadikan jaminan perlindungan finansial dan akses ke pelayanan kesehatan sebagai prioritas kebijakan karena sangat penting untuk mencegah kemunduran kesehatan masyarakat. 

Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya pencegahan timbulnya penyakit dengan mengkampanyekan gaya hidup sehat dan meningkatkan efisiensi sistem pelayanan kesehatan sehingga dapat menghemat banyak biaya untuk dialokasikan pada layanan sosial lainnya.

Oleh karena itu, dalam upaya melindungi sistem kesehatan dari ancaman resesi ekonomi, membangun ketahanan sistem kesehatan menjadi sangat penting. Penanganan ketahanan sistem kesehatan memerlukan kontribusi banyak sektor, terutama pada sektor fiskal yang memungkinkan pemerintah untuk mempertahankan tingkat pengeluaran sosial.

Pembuat kebijakan fiskal memiliki peran penting karena sistem kesehatan umumnya membutuhkan lebih banyak sumber daya pada saat krisis ekonomi. Kebijakan sosial bisa membatasi masa pengangguran, memberikan jaring pengaman bagi orang tanpa pekerjaan dan mengurangi dampak kesehatan dari efek negatif kehilangan pekerjaan. 

Apabila sistem kesehatan nasional dapat terlindungi dari dampak resesi ekonomi dengan baik, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang terdampak dapat tertolong berkat kesiapan pemerintah dan mengurangi dampak resesi ekonomi lebih luas. 

Pemerintah dan para pembuat kebijakan perlu memberikan perhatian pada sistem kesehatan nasional agar dampak dari resesi ekonomi yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 saat ini tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah dan menjamin ketahanan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Keringanan Tagihan SPP Angsuran 2 dari Dana Abadi

“Tuntutan transparansi Dewan Permusyawaratan Mahasiswa terhadap penggunaan Dana Abadi kini sudah dijelaskan dalam Sidang Istimewa KM UII: Pemberian sebagian besar Dana Abadi untuk mahasiswa.”

Sidang Istimewa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) yang dilaksanakan secara daring pada Jumat (23/10) malam, dihadiri oleh beberapa perwakilan fakultas dan dipimpin Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM U). Sidang Istimewa kali ini membahas mengenai penggunaan Dana Abadi yang sejak lama menjadi perdebatan. 

“Kami sudah berkonsultasi dengan LEM U dan LEM F mengenai penggunaan Dana Abadi dan menyetujui pemberian bantuan kepada mahasiswa dalam bentuk beasiswa, dan sebagainya,” jelas Febrian Ramadhani selaku Ketua DPM U.

Penggunaan Dana Abadi berdasar Pasal 30 ayat (1) Peraturan Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Nomor 7 Tahun 2018, digunakan sepenuhnya dan sebesar-besarnya bagi kepentingan KM UII. Salah satunya adalah pemberian bantuan berupa keringanan SPP Angsuran 2. Pemberian yang dimaksud bertujuan untuk meringankan dan membantu mahasiswa yang terdampak pandemi agar dapat mengikuti Ujian Tengah Semester. 

Dana Abadi yang saat ini berjumlah lebih dari 500 juta rupiah kemudian digelontorkan sebanyak 300 juta rupiah untuk pengadaan bantuan bagi mahasiswa. Bantuan 300 juta ini nantinya akan dibagi merata tiap fakultas untuk tiga ratus orang dalam satu universitas. Sehingga masing-masing mahasiswa penerima bantuan akan mendapat keringanan sebesar satu juta rupiah.

“Dana sengaja disisakan 200 juta rupiah untuk hal-hal yang sifatnya mendesak,” ungkap Kiky selaku Ketua Komisi Tiga DPM U. 

Pemberian bantuan tidak semata-mata diberikan begitu saja kepada seluruh mahasiswa. Namun, terdapat beberapa kriteria mahasiswa yang dapat mengajukan keringanan. Kriteria tersebut antara lain: mahasiswa angkatan 2017, 2018, dan 2019, minimal tagihan 1,5 juta rupiah, dan terdampak pandemi. 

“Bagi mahasiswa angkatan 2020 tidak termasuk kriteria karena belum memiliki Dana Abadi,” ujar Febrian.

Selain memenuhi kriteria di atas, mahasiswa juga harus memenuhi syarat pengajuan bantuan. Syarat yang harus dipenuhi meliputi: fotokopi KTM dan KTP, bukti tagihan SPP Angsuran 2, hingga surat pernyataan orang tua dan RT.

“Terkait dengan teknis pemberian bantuan nantinya setelah dilakukan screening mahasiswa, pihak rektorat dan BSI yang akan memotong langsung tagihan,” jelas Febrian. 

Screening yang dimaksud adalah pengisian Google Form, verifikasi fakultas apakah mahasiswa tersebut memenuhi kriteria, pemberian data kepada DPM U, hingga akhirnya data diberikan kepada Rektorat. Bantuan berupa keringanan SPP Angsuran 2 langsung dilakukan oleh pihak Rektorat dan BSI untuk meminimalisir terjadinya manipulasi. 

Penulis: Nadia Tisha Nathania Putri

Reporter: Firdaus Muhammad, Nadia Tisha Nathania Putri

Editor: Muhammad Prasetyo

Doa untuk Massa Aksi dari Kawit

0

Himmah Online, Yogyakarta – Kawit, salah satu korban penggusuran di wilayah Parangkusumo, Parangtritis, Bantul turut menyampaikan orasi politiknya dan memberikan semangat kepada massa aksi, pada Selasa (20/10) di Bundaran Universitas Gadjah Mada.

Kawit adalah salah satu dari sekian banyak korban penggusuran bertahap di Parangkusumo dari 2007 hingga 2016. Pendiri dan mantan pengasuh Sanggar Kuncup Melati Mandiri (SKMM) tersebut kehilangan rumah dan sanggarnya pada Desember 2016.

Pada aksi bertajuk “Bangun Dewan Rakyat” yang diadakan di bundaran UGM, Kawit mengaku datang sendiri dari Parangkusumo untuk menyemangati mahasiswa dan para demonstran yang hadir di aksi tersebut.

Selain itu, Kawit turut mendoakan mahasiswa dan massa aksi yang memprotes Omnibus Law dan menegaskan agar mereka pantang untuk mundur.

“Saya melihat di HP tetangga, ada anak-anak yang demo digeret-geret. Batin saya selalu berdoa untuk mahasiswa dan pendemo yang menuntut hak keadilan supaya diberi keselamatan. Maka dari itu saya menegaskan lagi bahwa untuk menolak Omnibus Law tidak mudah, butuh waktu panjang, tapi jangan patah semangat. Kalau menolak itu harus menolak, (dan nyatakan) bahwa itu tidak benar. Kalau takut jangan berani-berani, kalauberani jangan takut-takut. Maju terus pantang mundur,” ujar Kawit.

Selain memberikan doa dan semangat, Kawit juga memberikan kritik kepada para mahasiswa. Beliau menegaskan bahwa di kampung-kampung masih banyak penggusuran tapi mahasiswa jarang menolongnya.

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada mahasiswa yang selalu saya kritik. Bahwa di kampung banyak penggusuran, tapi mahasiswa jarang sekali yang nongol untuk menolong ibu-ibu yang digusur di sana. Saya mengkritik bukannya saya tidak suka, tapi karena saya ingin menjadikan Indonesia yang benar-benar merdeka,” tegas Kawit dalam orasi politiknya.

Terkait Dewan Rakyat yang menjadi tajuk aksi ARB, beliau memiliki harapan bahwa Dewan Rakyat yang dibangun harus bersikap benar untuk melawan Omnibus Law, beliau juga kembali menegaskan bahwa jika berani maka harus beneran berani.

“Harapan saya di Dewan Rakyat ini, kita harus seperti tadi yang saya bilang, kalau berani ya berani beneran. Kita bikin dewan rakyat yang bener untuk melawan undang-undang yang kita demo tadi. Jadi jangan patah semangat. Maju terus,” tutup Kawit dalam orasi politiknya.

Lusi, humas ARB, dalam konferensi persnya menyampaikan bahwa mereka akan terus melakukan proses pencampuran aspirasi karena Omnibus Law hanyalah salah satu akumulasi dari kejahatan yang dibuat oleh sistem negara.

“Kami akan terus melakukan proses pencampuran aspirasi dan mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan mosi tidak percaya terhadap proses bernegara kita hari ini. Bahwa Omnibus Law hanya salah satu hal saja dari sekian banyak akumulasi kejahatan yang dibuat sistem bernegara kita,” tegas Lusi.

Sebelumnya, ARB telah menggelar aksi penolakan Omnibus Law dan seruan Mosi Tidak Percaya pada Kamis (8/10) di DPRD DIY. Dalam aksi kali ini, ARB memusatkan aksinya di Bundaran UGM dengan tajuk “Bangun Dewan Rakyat”.

Penulis: Pranoto

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia

Editor : Hersa Ajeng Priska

Merawat Rindu di Masa Pandemi

Sembari duduk memandang keluar jendela dari lantai empat, Siti bertanya dalam hati, mengenai suaminya yang lama tak jumpa. Apa yang sekarang sedang dilakukannya? 

Di luar hanya sepi yang mengisi, orang berlalu lalang hanya sebatas hitungan jari. Kendaraan yang biasanya begitu berjubel hanya melintas satu dua tiga kali. Jalan benar-benar lengang. Begitu leluasa untuk balapan kendaraan. 

Dua setengah bulan sudah Siti tidak bertemu suaminya. Pandemi membuatnya harus merawat rindu, menyiraminya dengan air mata sehingga rindu itu tumbuh subur di hatinya, hingga kemudian menjelma duri yang menyakitkan. 

Ia tidak mungkin pulang, merasakan peluk suaminya hingga suntuk. Ia tidak ingin kemungkinan buruk menimpanya. Semua ini Siti lakukan juga untuk kemanusiaan. 

Meski ia telah tahu kabar mengenai perawat yang viral di media sosial, karena membentangkan kertas bertuliskan, “Indonesia? Terserah!”, Siti tidak pernah mempunyai keinginan untuk mengakhiri perjuangannya merawat pasien-pasien yang terpapar Corona. 

Ia selalu teringat pesan mendiang ayahnya, ketika di hadapanmu ada sesuatu yang dapat membuatmu berbuat kebaikan, jangan pernah dihindari.

Suaminya mendukung penuh Siti. Kepada Siti, ia juga mengatakan, bahwa ia merasakan hal yang sama dengan apa yang Siti rasakan. Namun, ia ingin Siti tetap bertahan di rumah sakit hingga kondisi memungkinkan untuk pulang. 

Suaminya selalu berpesan untuk menjaga kesehatan dan hati-hati dalam bertugas, saat pembicaraan di telepon akan diakhiri. Dengan sikap suaminya yang seperti itu, Siti merasa beruntung. 

Siti masih memperhatikan keadaan di luar jendela, ke arah bawah, ke jalan dan sekitarnya. Sepasang manusia melintas di trotoar jalan, di mana Siti memfokuskan pandangannya kini. Si lelaki merangkul si perempuan, penuh kemesraan. Umur mereka kira-kira rentang dua puluh lima hingga tiga puluh tahun. Siti merasakan ada sesuatu hadir ke dalam hatinya yang membuatnya tidak enak. 

Siti beranjak dari duduknya, dan mendekat pada kursi yang bersanding dengan sebuah meja tidak jauh darinya. Ia duduk di kursi itu. Sepasang manusia yang baru saja melintas benar-benar membuat jiwanya terguncang. 

Ia menjadi ingat saat-saat di mana ia meninggalkan suaminya. Siti berusaha kembali mencari sisa-sisa rasanya dipeluk sang suami tercinta di teras rumah, sebagai seremoni perpisahan untuk sementara itu. Kehangatan itu perlahan mulai dapat ia rasakan.

“Dengan kamu sementara di rumah sakit, itu bisa dihitung juga sebagai usaha melawan penyebaran Corona,” ucap suaminya melepaskan pelukannya. Di telinga Siti, kata-kata suaminya terdengar aneh. Karena?

“Kata-katamu tidak tepat. Masa melawan penyebaran Corona? Yang benar adalah mencegah penyebaran Corona. Sarjana sastra, kok dalam memilih kata tidak tepat! Pie to sampeyan iki?” Kata Siti nyengir. 

Ya, suami Siti merupakan seorang sarjana sastra dan tekun menggeluti dunia perpuisian. Ia sedang merintis usaha penerbitan. Siti acapkali terkena getah kesarjanaan suaminya, yaitu berupa gombalan yang sebenarnya kerap kali hanya memamerkan bangkai keklisean.

“Aku memang sengaja memilih kata itu. Karena keadaan sekarang ini, kita ibarat di medan perang. Corona konon katanya adalah virus yang sengaja dibuat untuk kepentingan ekonomi negara adidaya,” ucap suami Siti.

“Kepentingan ekonomi? Bagaimana nalarnya?”

“Virus itu dibuat oleh negara adidaya, sekaligus penangkalnya. Mereka membiarkan terlebih dulu virus menyebar, menunggu banyak yang terpapar. Hingga kemudian pada saat yang tepat, mereka kemudian mengaku menemukan obat itu, mereka menjualnya ke negara-negara yang membutuhkan dengan harga mahal. Padahal obatnya sudah mereka buat sebelum pandemi.”

“Wah, masuk akal juga. Tetapi itu masih konon katanya, jadi meskipun bisa diterima otak, masih perlu ditelisik lagi kebenarannya.”

Lebaran kali ini, mungkin akan menjadi lebaran paling mengenaskan bagi Siti. Walaupun doa terus ia panjatkan; memohon kepada Tuhan agar sebelum lebaran, grafik kasus terjangkit virus Corona menurun atau bahkan rampung. 

Melihat keadaan masyarakat yang bukan main sulitnya diatur, ia menjadi timbul pesimis bisa lebaran bareng keluarga. Terkadang ia membenarkan perawat yang viral membentangkan kertas bertulis, “Indonesia? Terserah!”. 

Tenaga medis telah berada di garda depan, mengorbankan segalanya untuk merawat pasien, sementara masyarakat begitu sulit dikendalikan. Bukankah itu hanya kesia-siaan belaka?

Siti mengelus perutnya dengan wajah suaminya masih mengisi tempurung kepala. Air matanya pecah, mengalir di pipi, lalu jatuh di permukaan perutnya yang menonjol. Siti tidak mengusap air mata itu, meskipun beberapa saat yang lalu ia telah mencuci tangannya, setelah melepas hazmat dengan langkah sesuai protokol kesehatan. 

Semenjak Corona masuk negeri ini, ia hampir tidak pernah mengelap wajah, tanpa didahului cuci tangan. Siti benar-benar serius dalam menjaga diri.

Sebentar lagi Siti kembali harus mengenakan hazmat, hingga berjam-jam ke depan. Menggunakan hazmat, mau tidak mau harus melawan rasa sesak. Selain itu, Siti harus menajamkan penglihatan, sebab penutup wajah yang mengembun akibat udara pernapasan. Keadaan yang demikian sudah ia lalui dua setengah bulan!

Dalam kesendirian seperti ini, Siti sering membayangkan hal buruk menimpa di hari-hari depan. Baginya, merawat pasien Corona seperti dihadapkan pada malaikat pencabut nyawa. 

Ya, Siti sering membayangkan pasien Corona merupakan jelmaan malaikat pencabut nyawa, yang dengan sabar menunggu momen yang tepat melepaskan nyawanya. Lewat gawainya, Siti tahu, banyak tenaga medis yang meninggal dunia, tertular virus Corona yang melekat pada pasien.

“Kapan pandemi ini berakhir?” Tanya Siti dalam hati.

Siti pernah juga membayangkan dirinya, andai kata ia meninggalkan dunia untuk selama-lamanya dalam waktu dekat ini. Bayinya tidak selamat, umur kandungannya masih cukup jauh dari perkirakan dokter; waktu di mana Siti akan melahirkan. Suaminya akan kehilangan dua orang sekaligus. Siti miris. Hatinya terasa diiris-iris.

“Apakah suamiku cukup kuat menghadapinya bila itu benar terjadi?” Batinnya.

Namun Siti tidak pernah mempunyai prasangka buruk, seperti temannya yang sesama perawat, yang seusia Siti. Ia bernama Amel. Prasangka buruk yang dimaksud adalah prasangka terhadap pasangan.

“Jangan berpikir negatif seperti itu,” kata Siti, usai Amel menyampaikan isi hatinya. “Itu hanya akan membuat pikiranmu keruh. Sedangkan kita ini butuh pikiran yang jernih dalam situasi seperti ini.”

“Dua setengah bulan bukanlah waktu yang sebentar, Sit. Kau yakin laki-laki bisa mempertahankan komitmennya? Tahu sendiri kan bagaimana laki-laki itu kalau sudah menyangkut urusan kepuasan biologis?” Kata Amel penuh semangat. 

“Kalau beneran menyeleweng bagaimana, Sit? Sementara kita di sini berjuang mati-matian, berhadapan dengan maut! Apa kamu tidak pernah membayangkan hal itu menimpa pada diri kamu?”

Siti lalu merespon kata-kata Amel dengan senyuman. Siti sama sekali tidak terpengaruh kata-kata Amel. Ia percaya suaminya bukanlah orang yang suka ‘jajan di luar’.

Siti melihat ke arah laci. Di tempat itu ponsel Siti berdiam diri. Terbersit di benaknya untuk mengambil ponsel, dan berkirim kabar kepada suaminya. Namun niat itu ia urungkan. Di siang hari hampir menyentuh sore ini, ialah waktu suaminya melepas penat. Ia tidak ingin menganggunya.

***

Siti tersenyum. Rindunya sedikit terobati setelah baru saja berbicara dengan suaminya lewat telepon. Ia meletakkan ponselnya di meja. Hari hampir tengah malam. Meski lelah, matanya tidak disengat kantuk. 

Siti menyandarkan tubuhnya pada kursi. Kepalanya sedikit mendongak, menjala langit ruangan yang putih. Bintik-bintik keringat tampak di wajahnya. Siti masih merasakan gerah yang luar biasa, meskipun hazmat sudah ia lepas beberapa saat yang lalu dan ia sudah membersihkan diri.

Petang tadi, Siti mendapatkan informasi, bahwa seorang teman lamanya yang bertugas di kota lain meninggal dunia setelah gagal melawan Corona. Setelah itu, pikiran Siti menjadi tidak tenang. Maut terasa lebih dekat dengannya.

Di otaknya mulai berputar rangkaian peristiwa. Dimulai dari vonis dokter, ternyata dirinya terpapar Corona setelah dilakukan tes, lalu dirawat tanpa ada seorang pun yang menjenguknya. Pikirannya lalu tidak tenang. 

Siti lupa dengan seruan yang mengharuskan pasien untuk tetap tenang saat diketahui terkena Corona. Akhirnya daya tahan tubuhnya menurun dan Siti meninggal dunia. 

Jenazah Siti ditolak warga kampungnya, mereka melarang jenazah Siti disemayamkan di kuburan kampungnya, karena mindset negatif yang tumbuh di masyarakat. Bulu kuduk Siti berdiri. Siti berusaha keras menghilangkan rangkaian peristiwa itu dari pikirannya.

Tiba-tiba sebuah ketakutan yang akut hinggap padanya. Sebelumnya, ia tidak pernah merasakan ketakutan seakut sekarang ini. Bisa jadi hidupnya tidak akan berlangsung lama lagi. 

Bisa jadi esok hari ia mendapati suhu tubuhnya tinggi dan batuk tidak henti-henti. Bisa jadi sekarang ini ia sudah terinfeksi virus Corona. Esok hari ia berada dalam ruang perawatan dan dirawat oleh temannya sendiri.

Tiba-tiba saja Siti ingin kembali menghubungi suaminya yang mungkin sudah tidur pulas di ranjang, dengan mimpi indah, bermimpi sedang berdua dengannya dan berada di suatu tempat yang indah. 

Kemudian ia berdebat dengan suaminya, ketika bayi dalam kandungannya sudah lahir, akan mirip siapa? Lalu ia dan suaminya membahas mengenai nama yang sekiranya cocok untuk si bayi. Keinginan untuk menghubungi sama beratnya dengan rasa takut yang datang padanya; begitu besar, begitu akut. 

Akhirnya Siti menyentuh-nyentuh dengan ujung jari layar ponselnya. Jantungnya berdegup kencang. Siti menempelkan ponselnya di telinga, dan ia menggigit bibirnya sendiri. Cemas menyelimuti. Ia ingin suaminya segera mengangkat teleponnya. Siti takut tidak bisa lagi berbicara dengannya esok hari.

ARB: Bangun Dewan Rakyat!

Himmah Online, Yogyakarta – Situasi di Indonesia semakin memanas sejak disahkannya UU Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pemerintah serta DPR RI seakan tuli ketika banyaknya penolakan mulai disuarakan oleh berbagai kalangan.

Hal tersebut mendorong Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) untuk kembali melakukan aksi serta membangun Dewan Rakyat yang diadakan pada Selasa (20/10) di Bundaran Universitas Gadjah Mada.

Pada aksi yang bertajuk ‘Bangun Dewan Rakyat’, massa aksi datang secara long march dari empat arah: UNY, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UTY, dan UMY.

ARB menilai, dalam rilisnya, tatanan ada saat ini di Indonesia tidak bisa dipertahankan lagi. ARB juga menyatakan bahwa rakyat membutuhkan suatu tatanan yang mampu menjawab segala ketimpangan di segala aspek.

Maka, ARB menawarkan suatu konsepsi berupa Dewan Rakyat, yang dapat dicapai dengan adanya solidaritas antar masyarakat dan dikehendakinya kebebasan berpendapat.

Lusi, Humas ARB, mengatakan bahwa Dewan Rakyat diprakarsai dari ketimpangan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dari sekian kekayaan yang ada di Indonesia, hanya segelintir orang yang bisa menikmatinya.

“Semangat dari UU Omnibus Law kita adalah proses pengkayaan orang-orang kaya yang dihasilkan dengan memiskinkan orang-orang miskin,” ujarnya.

Pada aksi tersebut, ARB juga mengajak seluruh masyarakat ikut bersuara untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah serta bersolidaritas terhadap kasus yang sedang terjadi di Papua Barat.

Penulis: M. Rizqy Rosi M.

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia, Yustisia Andhini L. 

Editor: Muhammad Prasetyo

Universitas Islam Indonesia Dalam Puing-Puing Sejarah

Muncul unggahan berita yang dimuat di situs web Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pilar Demokrasi pada Sabtu (19/09). Muatan tersebut berisi tentang kritik terhadap ungkapan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) Febrian Ramadhani. 

“Selamat datang di Universitas Islam Indonesia, kampus perjuangan, kampus hijau, yang kemudian di kampus inilah lahir organisasi terbesar di Indonesia,” ungkap Febrian.

Dalam unggahan tersebut saya tertarik meluruskan fakta-fakta sejarah serta kritik terhadap narasi yang selalu dibangun berulang-ulang pada momen PESTA UII. 

Jika kita menelusuri rekam jejak narasi-narasi yang dibangun saat PESTA UII, hal demikian bukan pertama kali terjadi. Pada PESTA UII 2018 ucapan selamat datang yang terpampang pada videotron,  baliho, dan koreografi Lafran Pane pada momen tersebut menjadi perdebatan dan polemik di kalangan mahasiswa. 

Saat pelantikan DPM UII Tahun 2018 dengan gagahnya ketua DPM UII mengatakan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah tuan rumah di UII. Jelas itu sangat melukai hati mahasiswa yang tidak berproses di HMI. 

Hal tersebut tentu tidak hanya keluar semata-mata tanpa tujuan tertentu. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa narasi kebesaran HMI selalu muncul? Apakah ketika berbicara tentang sejarah UII, hanya HMI yang menjadi kontributor utama dalam berdirinya maupun berkembangnya UII?

Jika kita analisis speech act yang dilakukan oleh Ketua DPM UII, sebenarnya apa tujuan dari narasi tersebut? 

Pertama, mari kita analisis The Power Of Narrative (kekuasaaan narasi) yang artinya siapa yang menguasai narasi maka dia yang akan menang. 

Apabila narasi kebesaran HMI diulang-ulang pada momen PESTA UII dan diterima oleh mahasiswa baru, maka DPM berhasil menguasai narasi. Ketika narasi dikuasai maka HMI sangat diuntungkan dalam proses rekrutmen

Kedua, narasi besar akan berhadapan dengan narasi kecil. Artinya DPM UII mencoba melemahkan organisasi ekstra kampus dengan menempatkan HMI dalam narasi besar, secara otomatis organisasi ekstra lainnya berada dalam narasi kecil. 

Ketiga, Narrative Ethic. Istilah ini digunakan pada narasi yang dibangun oleh pejabat atau pemangku kebijakan dalam hal etika bernarasi. Narasi seorang pejabat publik bisa menjadi suatu fatwa maupun kebijakan. 

DPM sebagai pejabat publik merupakan representasi mahasiswa, maka ucapannya harus merujuk pada kepentingan mahasiswa secara universal, dan tidak boleh menjurus pada golongan tertentu. 

Ketika menelisik sejarah, berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) dibidani oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir. 

Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (2007) mencatat berdirinya STI merupakan buah kehendak bersama untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. 

Bahkan yang lebih harus kita ketahui bersama gagasan pendirian STI dipelopori oleh Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang merupakan sebuah organisasi yang disetujui oleh Jepang dan di dalamnya terdapat organisasi besar, yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Umat Muslim dan Persatuan Umat Islam Indonesia. 

Pada tahun 1945, bentuk tonggak perjuangan untuk didirikannya STI tersebut guna menjawab masalah dalam bidang pendidikan di kala itu. 

Gagasan tersebut ditindaklanjuti menjadi suatu bentuk konkret para tokoh guna merealisasikan berdirinya STI melalui pertemuan pada bulan April 1945. Dihadiri oleh setiap perwakilan dari organisasi besar yaitu PBNU, PP Muhammadiyah, PB POI, PB PUII, Intelektual Muslim, ulama dan Departemen Agama Dai Nippon. 

Dalam pertemuan itu membahas rancangan pendirian STI dan unsur-unsur yang hadir merupakan representatif dari kehendak umat Islam dari berbagai organisasi. Pembauran ini merupakan cerminan tanpa pembedaan golongan atau bahkan ideologi di masing-masing organisasi. 

Jika ditarik garis vertikal maupun horizontal sangat salah besar jika narasi yang disampaikan oleh Febrian Ramadhani Ketua DPM UII memakai istilah kampus hijau karena bukan hanya hijau yang menghiasi UII. Lebih tidak etik lagi narasi tersebut disematkan dalam sambutan kegiatan PESTA UII 2020. 

Hal ini semacam kegagalan pemahaman sejarah oleh ketua DPM UII. UII didirikan bukan untuk golongan tertentu melainkan untuk umat Islam sebagaimana falsafah para tokoh pendiri UII yang lahir dari berbagai latar belakang organisasi. 

Seharusnya nomenklatur seorang pejabat publik yang dipilih oleh mahasiswa sebagai perwakilan mahasiswa, dalam sambutan tersebut cukup membedah sejarah UII saja, bukan condong ke salah satu organisasi ekstra kampus. 

Muatan dalam situs web LPM Pilar Demokrasi saat forum pers yang disampaikan oleh Ketua Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII (LEM UII) Pancar Setiabudi, “Tidak ada yang salah dalam penyampaian tentang HMI, maka itu atas dasar historis HMI merupakan bagian yang tidak bisa dilepas dari UII.” 

Ini juga merupakan bentuk gagal paham sejarah. Jika melibatkan narasi historis, betul HMI berdiri di UII, tetapi bukan sejarah berdirinya UII. 

HMI lahir setelah UII didirikan. Lebih tepat jika narasi tersebut disampaikan dalam pers yang berkaitan dengan pengkaderan HMI. 

Sekalipun HMI memiliki otoritas lebih karena mendeklarasikan menjadi tuan rumah di UII, hal yang melandasi pengakuan tersebut karena pendirian HMI pertama kali di STI yang diinisiatori oleh Lafran Pane. 

Jika hendak berpikir adil, STI lahir atas dorongan dan prakasa berbagai Ormas Islam besar yang notabene memiliki afiliasi terhadap wadah representatif mahasiswa. Jika narasi tersebut tetap dipertahankan dan terus diulang-ulang dalam momen-momen, maka dapat diambil kesimpulan speech act tersebut karena minimnya pemahaman sejarah UII.  

Jika pokok bahasan utama dalam sambutan ketua DPM UII adalah mempopularitaskan HMI tentu ini mencederai eksistensi organisasi ekstra kampus lainya. Lalu apa maksud dari narasi tersebut?

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Represifitas, Bungkus Kebobrokan Pengendalian Massa Aksi

“Represifitas sebagai tudung ketidaksiapan aparat kepolisian dalam menerima massa aksi namun,untuk menutupi hal tersebut aparat kepolisian menitikberatkan bahwa massa aksi terlalu arogan dan harus diperlakukan demikian.”

Himmah Online, Yogyakarta – Pada konferensi pers melalui aplikasi Zoom, Senin (12/10) represifitas yang dilakukan oleh aparat tak pernah terhindarkan kala unjuk rasa, hal tersebut terjadi akibat manajemen pengendalian massa yang masih amburadul. Seperti yang dituturkan oleh Afif Abdul Qayim dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bahwa bobroknya pola pengendalian massa setiap tahun tidak pernah berubah.

Bagi Afif menempatkan aparat di depan massa aksi yang sedang duduk dan berkumpul adalah sebuah bentuk paranoid bagi massa aksi yang akan menyampaikan pendapat. Namun hal itu malah dilegitimasi dengan adanya telegram dari Kapolri tertanggal 2 Oktober 2020.

Akibat dari bobroknya pengendalian massa aksi tadi pada akhirnya harus dibayar dengan jatuhnya korban-korban pasca aksi. Seperti yang dilaporkan oleh Andi irvan dari Gerakan Tolak Omnibus Law Jawa Timur (GETOL Jatim), “Terakhir ada satu orang di Malang yang masih ditahan dan ada 15 di Surabaya khusus di Surabaya ada 7 orang anak-anak,” ujar Andi.

Pandangan dari Andi bahwa kekerasan terjadi akibat ketidaksiapan kepolisian dalam menghadapi massa aksi dan malah memprovokasi sehingga dapat menimbulkan kekerasan. “Seandainya polisi bekerja sama dengan pimpinan aksi dan mengadakan dialog yang lebih demokratis, saya kira kerusuhan-kerusuhan itu dapat dihindari,” pungkas Andi.

Tidak berhenti pada massa aksi saja, represifitas yang diakibatkan oleh ketidaksiapan aparat juga dirasakan oleh para medis jalanan, “Aksi yang tiba-tiba datang begitu saja dan di aksi sangat tidak kondusif termasuk kami mengalami sendiri kekerasan dan represifitas dari aparat penegak hukum dalam hal ini adalah kepolisian,” kata Anisa selaku perwakilan paramedis jalanan.

Anisa mengatakan bahwa represifitas yang dialami oleh para medis jalanan diantaranya ialah blokade jalan, pemukulan, dan penembakan gas air mata di titik posko darurat, yang mengakibatkan posko tidak dapat berdiri kukuh dan para medis kesulitan memberikan pertolongan kepada massa aksi yang membutuhkan.

Kekerasan dan brutalisme yang dilakukan aparat kepolisian merupakan pelanggaran Konvensi Jenewa tahun 1949 “Tindakan polisi yang brutal terhadap para medis menurut kami melanggar pasal 12 ayat 24-27, 36-37 Konvensi Jenewa Agustus 1949 sebagai petugas kesehatan harus dilindungi dan juga dihormati dalam segala keadaan,” tambah Anisa sebelum menutup konferensi pers siang itu.

Penulis dan Reporter: Muhammad Kholiqul Iqmal

Editor: Hersa Ajeng Priska