Beranda blog Halaman 38

Intimidasi dan Kekerasan Berbasis Gender di Lingkungan Kerja

Himmah Online – Intimidasi dan kekerasan di lingkungan kerja masih sering ditemui, khususnya berbasis gender. Dalam hal ini, perlakuan yang tidak proporsional masih banyak dialami oleh pekerja, terlebih oleh para pekerja perempuan yang berakhir menjadi pekerja yang lebih rentan. Pekerja perempuan menerima sikap dan perlakuan berdasarkan stereotip yang menempel pada dirinya, yang tidak hanya dilakukan oleh atasannya, tetapi juga rekan sejawat.

Atas dasar hal tersebut, Ikatan Buruh Perempuan menyelenggarakan diskusi pada Kamis (25/02), dengan tema “Intimidasi dan Kekerasan di Tempat Kerja” melalui medium Zoom serta Live Streaming di Facebook Marsinah FM.

Diskusi diisi dengan tiga pembicara perempuan yang memiliki bahasannya tersendiri mengenai intimidasi dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, diantaranya adalah Rustiati Ningsih dari Serikat Pekerja Danamon; Mariyati Siregar selaku Koordinator Bidang Perempuan dan Pemuda dari Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT); dan Kasyati dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia.

Rustiati Ningsih menceritakan bagaimana ia pada tahun 2018 silam mengalami intimidasi dari atasannya. Intimidasi yang dialami Ningsih saat itu dikarenakan adanya tuntutan supaya ia mau menandatangani surat pembinaan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), padahal sejak awal ia menolak.

Mulai dari bentuk panggilan-panggilan melalui telepon, juga dikirimkannya surat elektronik, yang dalam sehari bisa ia terima dua sampai tiga kali. Tekanan intimidatif yang diterimanya semata-mata agar ia mau hadir di kantor wilayah menemui atasannya kemudian memberi persetujuan terkait surat pembinaan PHK.

Meski sudah mendapat banyak tekanan, Ningsih tetap menolak. “Mungkin karena sudah berulang kali bos meminta saya untuk tanda tangan dan saya tetap menolak, saya tetap bersikukuh, saya tidak akan tanda tangan, akhirnya ia (bosnya) memerintahkan salah satu bawahannya untuk mengunci pintu,” sambungnya, pada malam itu.

“Jangan biarkan dia pulang, jangan biarkan dia keluar!” Ningsih menceritakan kejadian beberapa tahun silam. Tekanan itu dilakukan terhadapnya setelah selama dua jam lebih berada di ruang rapat.

“Saya merasa saya tidak punya pilihan lain, akhirnya saya terpaksa tanda tangan surat pembinaan itu,” lanjut Ningsih. Meski demikian, saat itu ia tetap menyampaikan ketidaksetujuannya, dan ia menandatangani surat itu dengan keterpaksaan, Ningsih tidak setuju kalau diakhiri dengan PHK.

Beberapa hari setelahnya, Ningsih mendapat Surat Peringatan (SP3) dari atasannya beserta kertas yang sudah terpaksa ia tandatangani sebelumnya yang intinya berisikan komitmen namun sesuai dengan keinginan atasannya. Ningsih pun kembali diminta untuk bisa merealisasikan keinginan atasannya, dengan iming-iming jika ia bisa, ia akan diloloskan.

Akhirnya Ningsih melakukan konsultasi dengan serikat pekerja. Setelah konsultasinya itu, Ningsih mengirim surat elektronik untuk para atasannya, hingga ke tingkat direksi. Ia menyatakan penolakannya dan menceritakan kronologis kejadian intimidasi yang ia alami. Namun, hasil dari sikapnya itu, Ningsih pun mendapatkan penurunan jabatan. Semula ia yang seorang pimpinan cabang, dijadikan karyawan marketing biasa hingga saat ini.

Selanjutnya, Mariyati Siregar menyampaikan bahwa kelompok pekerja perempuan seringkali diperlakukan secara tidak proporsional, baik terhadap ancaman kekerasan di tempat kerja, hubungan yang tidak setara, gaji yang lebih rendah, maupun pelanggaran lainnya; sehingga mengekspos pekerja perempuan pada eskalasi terhadap kondisi kerentanan.

Pekerja perempuan acap kali ditempatkan pada bentuk pekerjaan yang tidak bersifat informal, berpenghasilan rendah, dan perlindungan pekerja yang buruk. “Ini membuat kawan-kawan pekerja perempuan rentan terhadap pelecehan fisik, verbal, dan kekerasan,” tambahnya.

Kondisi ini diperparah dengan kerentanan ekonomi dan pendidikan, sehingga menjadikan pekerja perempuan bergantung pada majikan yang eksploitatif dan perekrutan yang kurang etis dan terstandar. Menurutnya, perlu adanya standar yang optimal terkait kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, sehingga ada peningkatan pencegahan resiko terjadinya kasus kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja.

Kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja bisa dikategorikan menjadi penyerangan fisik, verbal atau nonverbal, dan juga perilaku kasar yang bersifat seksual. Hubungan kekuasaan yang tidak sehat ini menurut Mariyati ditunjukkan dalam hal kekerasan psikologis atau moral. Ia menambahkan, “penindasan biasanya ditemukan dengan tujuan mempermalukan atau melecehkan seseorang.”

Kekerasan mempengaruhi pekerja dalam situasi yang rentan, termasuk pekerja perempuan, ataupun pekerja dengan ras tertentu. Perempuan yang mengalami diskriminasi berlapis akan terpengaruh secara tidak profesional dan proporsional di tempat kerja. Mariyati menambahkan, “dalam beberapa kasus, hal seperti ini menimpa pekerja hotel, pelayan bar, perawat, pekerja sosial, buruh, dan pekerja toko.”

“Pekerja perempuan dengan profesi tertentu beresiko lebih tinggi mengalami kekerasan,” sambung Mariyati. Misal, bagi mereka yang harus bekerja di malam hari, seperti pekerja pelabuhan, pekerja kafe, pekerja pabrik, dan lain sebagainya.

Mariyati menyebutkan, World Health Organization mencatat lebih dari 35% wanita di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan; fisik dan seksual. “Studi kasus di Jepang, Malaysia, Filipina, serta Korea Selatan menunjukkan bahwa 30-40% perempuan mengalami pelecehan seksual,” tuturnya.

Kekerasan dalam rumah tangga pun dapat berdampak negatif pada kinerja, keselamatan, dan produktivitas di tempat kerja. Beberapa strategi dalam menangani kekerasan domestik yang bisa berpengaruh dalam lingkungan kerja meliputi kesadaran, peningkatan perlindungan, dan pemberdayaan perempuan dalam bentuk undang-undang.

“Di Indonesia sendiri, UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak kunjung selesai, tentu ini sangat disayangkan,” Mariyati menambahkan. Ia kemudian mengatakan bahwa pengembangan materi, pendidikan, dan pelatihan turut berperan dalam konteks penguatan perlindungan pekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Mariyati berharap semua pihak bisa saling berbagi pembelajaran terkait peran serikat pekerja dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Ia juga berharap posisi kolektif yang kuat bisa dibangun dalam kontribusi penguatan aturan standar tentang kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja.

“Kekerasan dan pelecehan jelas mempengaruhi pekerja perempuan dalam kondisi kerja yang paling rentan,” sambungnya.

Reporter: Nadya Auriga D.

Editor: M Rizqy Rosi M

Sang ‘Hakim Algojo’ Tutup Usia

Himmah Online, Universitas Islam Indonesia – Mantan Hakim Agung serta anggota Dewan Pengawas KPK 2019-2023, Artidjo Alkostar, tutup usia pada Minggu, (28/02) pukul 14.00 WIB di usia 72 tahun.

Kabar duka meninggalnya Artidjo disampaikan oleh Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui akun Twitternya, @mohmahfudmd, beberapa saat setelah Artidjo tutup usia. 

“Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritas,” tulis Mahfud.

Abdul Jamil, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menjelaskan bahwa meninggalnya Artidjo Alkostar dikarenakan adanya komplikasi. “Beliau punya komplikasi jantung, paru – paru, dan ginjal. Beliau sudah sakit dan pernah collapse di awal Covid di tahun 2020. lalu kambuh lagi dan mendadak meninggal dunia,” pungkasnya.

Kedatangan Jenazah di Yogyakarta ikut dibantu oleh alumni UII dalam membantu kelancaran proses pemakaman. Prosesi pemakaman dilaksanakan di Kompleks Pemakaman UII yang berlokasi di kampus pusat terpadu UII di Jalan Kaliurang KM 14,5, Ngaglik, Sleman, DIY.

“Berkat dari kerja kerasnya teman-teman alumni (UII -red) yang ada di Jakarta, jenazah bisa dimakamkan di Universitas Islam Indonesia,” ujar Jamil. 

Sebelum dimakamkan, jenazah disholatkan di Gedung Kahar Mudzakir UII. Acara sholat jenazah ini turut dihadiri oleh beberapa kalangan seperti Presiden Jokowi, Firli Bahuri selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, serta civitas academica UII dengan menerapkan protokol kesehatan. Pelayat diperbolehkan melakukan salat jenazah berjamaah yang dilakukan secara bergantian.

Semasa hidupnya, Artidjo dikenal dengan julukan ‘Hakim Algojo’ karena ketegasannya dalam memberikan vonis berat terhadap koruptor. Selain itu, ia juga mengajar sebagai Dosen Fakultas Hukum di UII.

Reporter: Yola Ameliawati Agustin, Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M Rizqy Rosi M

Problematika Serta Urgensi Revisi UU ITE

Himmah Online – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap kali menuai problematika dan dianggap multitafsir serta menimbulkan kegaduhan pada masyarakat. Banyak kritik serta laporan dari berbagai lapisan masyarakat atas undang-undang tersebut.

Pasca Joko Widodo mengeluarkan pernyataan pada 15 Februari lalu terkait wacana revisi UU ITE, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menggelar webinar dengan tema “Mewujudkan Revisi UU ITE” pada Kamis, (25/02) guna mendorong UU ITE direvisi.

Dihadiri oleh empat narasumber yakni Ika Ningtyas, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet; Faizin Sulistio, Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya; Ade Irfan Pulungan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V; Kantor Staf Presiden, dan Christina Aryani, Anggota Komisi I DPR RI.

Ika Ningtyas memaparkan alasan mengapa UU ITE harus direvisi. Ika menjelaskan, pasal-pasal yang memiliki persoalan utama dan dianggap “karet”, yakni pasal 27 hingga 29 UU ITE. Persoalan tersebut didasari karena sifatnya yang multitafsir atau menimbulkan ketidakpastian hukum dan dalam penerapannya diselewengkan. 

“Sifatnya subjektif dan tafsiran menakut-nakuti bisa menimbulkan ketidakpastian hukum,” paparnya.

Selain itu, dari persoalan tersebut berdampak secara psikologis, rawan kriminalisasi, menghambat kebebasan berekspresi, dan menimbulkan konsekuensi tidak diinginkan seperti ajang balas dendam. 

Ika juga mendesak serius terkait revisi UU ITE. Menurutnya, solusi dari kebijakan revisi UU ITE di antaranya; mencabut enam pidana yang duplikasi dengan aturan lain seperti KUHP, UU Nomor 1 tahun 1946, dan UU Perlindungan Konsumen. Kedua, memperjelas rumusan pada definisi dan kriteria; seperti konten tidak relevan dan dilarang. Ketiga, pelibatan multistakeholder.

“Pemerintah harus lebih serius untuk mendorong ini (UU ITE-red) direvisi daripada membuat pedoman interpretasi karena dapat menimbulkan masalah lebih serius terjadinya kriminalisasi,” jelasnya.

Menyetujui pemaparan Ika, Faizin Sulistio menuturkan bahwa adanya UU ITE dimanfaatkan sebagai ajang restriksi dan membungkam kebebasan berekspresi juga tidak semua orang yang terkena UU ITE memiliki permasalahan konteks dengan UU ITE.

Menanggapi permasalahan di atas, Christina menyatakan bahwa saat ini di DPR RI berusaha realistis yang mana adanya pandemi Covid-19 membuat kinerjanya turun. “Jadi memang apalagi di masa pandemi saat ini keterbatasan pembahasan itu jelas menjadi satu halangan,” keluhnya.

Kendati kini, di tubuh DPR RI terdapat dua kubu pro dan kontra terkait wacana revisi UU ITE yang mana dari pihak kontra berargumen bahwa UU ITE sebelumnya sudah pernah direvisi dan dari pihak pro berpendapat jika tidak direvisi akan kebablasan.

“Karena ini toh baru saja direvisi, mengapa harus direvisi lagi. Ada juga yang melihat kalau tidak direvisi akan kebablasan,” paparnya.

Saat ini Badan Legislasi (Baleg) telah menerima 33 rancangan undang-undang yang masuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Akan tetapi, dari pihak Baleg tetap menerima wacana revisi UU ITE.

Christina menjelaskan bahwa saat ini, Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, tengah membentuk Tim Kajian UU ITE guna mendorong UU ITE segera direvisi. “Kami melihat masih ada peluang untuk memasukkan revisi UU ITE ke dalam Prolegnas 2021,” terangnya.

Reporter: Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M Rizqy Rosi M

SKB 3 Menteri Terbit: Kebijakan Tepat Untuk Menjaga Toleransi Keberagaman Di Indonesia

Himmah Online -Penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang mengatur seragam atau atribut yang memiliki kekhasan agama di sekolah, masih menjadi polemik bagi banyak pihak. Kebijakan tersebut banyak mendapat penolakan dari beberapa pemerintah daerah, namun sebagian orang juga beranggapan bahwa kebijakan ini sangat diperlukan.

Perbedaan sudut pandang inilah yang mendorong Yayasan Kalyanamitra untuk mengadakan konferensi pers “Kemerdekaan Siswi dan Guru Sekolah Negeri untuk Memilih Pakaian atau Atribut Kekhasan Agama”. 

Konferensi tersebut berlangsung secara daring pada Rabu, (24/02) pagi. Dihadiri oleh Yefri Heriani, Ketua Ombudsman RI Sumatera Barat; Alissa Wahid perwakilan Jaringan Gusdurian; Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru; Dwi Rubiyanti Kholifah selaku perwakilan Asian Muslim Alliance Network; dan Ifa Hanifah Misbach selaku Dosen Psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. 

Yefri Heriani menceritakan pada tahun 1982, terdapat larangan berjilbab yang sempat dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan. Kemudian, pada tahun 1991 larangan itu dicabut kembali melalui SK No. 100/C/Kep/D/1991 yang berisi penggunaan jilbab tidak dilarang.

“Selain itu di tahun 2011, Pemerintah Kota Padang mengeluarkan Perda No. 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Didalamnya menyatakan bahwa siswa maupun siswi di sekolah harus mengikuti pesantren Ramadhan, wirid Ramadhan, Pendidikan subuh, dan memakai seragam muslim dan muslimah. Kemungkinan inilah yang menjadi rujukan bagi sekolah – sekolah di Sumatera Barat,” jelas Yefri. 

Selanjutnya, Henny Supolo melihat kebijakan SKB 3 menteri yang ditujukan untuk sekolah sudah semestinya dilakukan oleh pemerintah. 

Henny mengaitkan SKB 3 Menteri ini dengan Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa. 

“Prinsip itu kami anggap selayaknya ruh dari kebijakan maupun praksispenyelenggaraan pendidikan,” jelas Henny. 

Pada kenyataannya, penyelenggaran pendidikan di Indonesia masih belum sesuai dan banyak terjadi pelanggaran berupa pelarangan, pengutamaan, atau tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia. Menurut Henny, dalam memaknai prinsip penyelenggaraan, SKB 3 Menteri sangat penting bagi masa depan peserta didik.

“Sekolah negeri sudah sepantasnya menjadi sekolah bhineka, sekolah yang menjadi penyemai keberagaman utama di Indonesia,” pungkasnya. 

Sementara itu, Alissa Wahid berpandangan dibalik fenomena dilarang atau pemaksaan tentang seragam keagamaan ini dikarenakan munculnya beberapa hal terkait ritual keagamaan ke dalam ruang pendidikan yang sifatnya umum. 

“Kecenderungan menguatnya eksklusivisme beragama akan menggiring pada suatu pengakuan kebenaran akan ajaran agama,” jelas Alissa

Para aktivis juga sepakat menyoroti persoalan ini disebabkan adanya unsur pemaksaan, bukan untuk melawan suatu ajaran agama. “Kami yang mendukung adanya SKB 3 Menteri ini tidak dalam rangka melawan Islam atau ajaran suatu agama, kami hanya menyoroti adanya pemaksaan,” tutur Dwi Rubiyanti Kholifah.

Adapun dampak dari sisi psikologis, terdapat beberapa kasus yang berakar dari pemaksaan dalam menggunakan seragam atau atribut keagamaan tertentu yang diantaranya bahkan berujung kepada percobaan bunuh diri. 

“Sampai saat ini saya cukup banyak menangani kasus – kasus pemaksaan penggunaan jilbab, ada 37 kasus dan 2 diantaranya mengalami percobaan bunuh diri karena mengalami body dysmorphic disorder yaitu sebuah persoalan psikologi yang merasa ada sesuatu yang kurang dengan tubuh akibat bullying,” jelas Ifa Hanifah Misbach.

Penulis: Yola Ameliawati Agustin

Reporter: Firdaus Muhammad, Monica Daffy, Yola Ameliawati Agustin

Editor: M Rizqy Rosi M

Menilik Kisah Sepak Bola Kita

0

Judul: Bola Kita

Penulis: Fajar Junaedi dan Miftakhul F.S.

Penerbit: Fandom Indonesia

Tahun: 2020

Tebal: xii + 132 halaman

ISBN: 978-623-92156-2-0

Pada bulan Juni 2020 lalu, saat masa awal pandemi Covid-19 menghantam Indonesia, Fandom Indonesia menerbitkan sebuah buku bertema sepak bola yang berjudul Bola Kita.

Bagi saya, itu merupakan waktu penerbitan yang tepat. Bola Kita menjadi semacam obat penawar akan gundah gulana dan kerinduan akan jalannya sepak bola Indonesia yang mandek sejak pandemi. Apalagi tulisan di dalamnya banyak memuat berbagi kisah yang melingkupi sepak bola dan tidak terfokus pada olah bolanya. Hal tersebut membuat buku ini tidak membosankan saat dibaca.

Buku ini merupakan hasil kolaborasi dua penulis yang namanya sudah tidak asing lagi dalam ranah literasi sepak bola di Indonesia. Pertama Fajar Junaedi, seorang dosen. Lalu yang kedua, Miftakhul F.S., seorang jurnalis. Terlepas dari latarbelakangnya, kedua penulis sama-sama suporter yang turut menyaksikan sepak bola di tribun stadion. Hal tersebut mempengaruhi pendekatan tulisan-tulisannya.

Dalam buku yang hasil penjualannya disumbangkan untuk membantu penanganan Covid-19 ini terdapat tiga bab, yakni “Ekonomi Politik Sepak Bola”, “Sepak Bola dan Fans”, dan “Sepak Bola, Media, dan Kemanusiaan”. Dengan masing-masing bab berisi enam sampai delapan subbab.

Secara garis besar, buku ini berisi esai-esai tentang berbagai kisah dan permasalahan yang ada di sepak bola Indonesia. Mulai dari seputar ekonomi, politik, suporter, media, serta kemanusiaan.

Tidak hanya menguraikan permasalahannya saja, tetapi disajikan pula opsi-opsi penyelesaian yang dapat diterapkan oleh masing-masing pihak yang disinggung seperti pemilik klub, pemerintah, suporter, dan media.

Pada bab pertama yang berjudul “Ekonomi Politik Sepak Bola” (halaman 1), Fajar memulainya dengan menguraikan permasalahan masa lampau terkait penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama pada tahun 1994.

Penggabungan tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan, seperti klub yang kelimpungan dalam pendanaan sehingga berakibat banyak klub yang merger, bahkan mati.

Dalam tulisan yang berjudul “Sepak Bola Profesional Tanpa APBD”, Fajar melanjutkan pembahasannya. Klub yang sebelumnya berhasil keluar dari jerat permasalahan pendanaan saat kompetisi Perserikatan dan Galatama digabung, sama-sama kelimpungan saat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan Peraturan Daerah Nomor 58 Tahun 2006 yang melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub sepak bola.

Korupsi dan protes oleh beberapa pihak yang menuntut APBD lebih baik dialihkan untuk hal lain, seperti pendidikan dan kesehatan, melatarbelakangi peraturan mengenai pelarangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola tersebut muncul.

Dalam hal ini, Fajar memberikan obat penawar agar profesionalisme dalam pengelolaan klub diorientasikan pada industrialisasi sepak bola. Jika sepak bola masih menggunakan APBD, menurutnya yang terjadi adalah manajemen yang sebenarnya amatir tapi dilabeli sebagai profesional.

Dari usulan Fajar, Mifta mencoba memberikan gambaran industrialisasi seperti apa yang bisa dilakukan oleh klub yang ada di Indonesia dalam tulisan yang berjudul “Ketika “Anak Baru” Itu Melantai di Bursa Saham”. Tulisan tersebut menceritakan beberapa hal yang dilakukan klub Bali United dalam mengelola roda ekonominya, seperti membuat restoran di bawah tribun hingga menawarkan klub Bali United di bursa saham.

Pada bab kedua (halaman 35), kedua penulis mengulas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suporter dan sepak bola. Terutama kekerasan dan konflik yang terjadi di dalamnya.

Di era digital seperti sekarang, konflik dan kekerasan banyak dipicu oleh sikap suporter yang kerap mengejar eksistensi semu. Banyak konflik antar suporter yang berawal dari sekadar unggahan foto maupun video dan perdebatan di dunia maya, namun pada akhirnya merembet ke kekerasan dalam dunia nyata.

Selain membahas konflik, kedua penulis juga menguraikan beberapa kisah haru perdamaiannya. Seperti yang terjadi antara suporter Persebaya Surabaya (Bonek) dan suporter dari Persis Solo (Pasoepati). Perdamaian kedua suporter itu ditandai melalui penanaman pohon bersama di Solo.

Ada perdamaian antara Curva Boys 1967 -suporter dari Persela Lamongan- dan Bonek dibuka melalui perantara nasi bungkus dan air mineral yang dibagikan Curva Boys 1967 kepada Bonek yang kala itu kebetulan hendak ke Jakarta dan melewati Lamongan.

Melihat rivalitas antar suporter yang belum sepenuhnya redam, dan konflik di stadion hampir terjadi setiap musim kompetisi melatarbelakangi Fajar untuk mengusulkan penerapan mitigasi bencana pada sepak bola. 

Terdapat tiga poin utama yang ia usulkan, yakni pembangunan fisik stadion yang baik, lalu pemberian informasi mitigasi bencana, dan yang terakhir penyediaan fasilitas medis yang cukup saat pertandingan.

Menginjak bab terakhir, pembaca akan disuguhkan delapan tulisan perihal keterkaitan “Sepak Bola, Media, dan Kemanusiaan” (halaman 75). Fajar mengawali bab tersebut dengan mengulas peran Jawa Pos dan beberapa media lain yang mempunyai kedekatan emosional dengan klub. Dari kedekatan tersebut mampu membentuk identitas anak muda perkotaan yang bersumber pada fanatisme terhadap sepak bola lokal.

Sedang dalam media televisi, Fajar menekankan mengenai urgensi televisi publik untuk menyiarkan siaran langsung pertandingan tim nasional (timnas). 

Selama ini, stasiun televisi swasta yang menyiarkan pertandingan timnas terlalu besar menampilkan pop-up iklan di layar. Tidak hanya itu, porsinya pun terlalu banyak sehingga mengganggu para penonton menikmati jalannya pertandingan.

Fajar kemudian menyarankan agar setiap pertandingan timnas sebaiknya ditayangkan melalui lembaga penyiaran publik, yang dalam ranah ini berarti TVRI. Hal ini didasari bahwa lembaga penyiaran publik tidak bersifat komersial. Sehingga dapat terhindar dari iklan yang mengganggu.

Selain membahas media, terdapat juga tulisan yang menyinggung kemanusiaan. Tema tersebut diwakili oleh dua tulisan Mifta yang sangat personal dan sentimental. Pertama, Mifta menuliskan kisah kemenangan Yunan Helmi, seorang asisten pelatih Barito Putera, atas Covid-19 yang menghinggapi dirinya.

Di tulisan kedua, Mifta berbagi kenangan dirinya dengan kiper legendaris Persela Lamongan, Chairul Huda, yang pada 15 Oktober 2017 menghembuskan nafas terakhirnya di Stadion Surajaya Lamongan. Selain itu, ia juga menggambarkan suasana stadion yang penuh sesak akan rasa haru saat pertandingan Persela melawan Persib di Stadion Surajaya dijadikan momentum untuk melepas kepergian Chairul Huda. “Tersenyumlah di Surgajayamu, Hud,” tutup Mifta.

Meskipun buku ini terbilang tipis dan hal tersebut menjadi kekurangan utama. Namun isi dari buku Bola Kita sangat kaya akan kisah dan cukup menunjukkan berbagai masalah yang ada di sepak bola Indonesia. Hal tersebut membuat buku ini perlu dibaca oleh siapapun yang mencintai sepak bola Indonesia. Salam!

“Ongkang-Ongkang”, Tren Kaum Muda Kiwari

Judul: Homo Homini Humor

Penulis: Fariz Alniezar

Tebal: 180 halaman

Cetakan: 2019

Penerbit: Basabasi

ISBN: 978-602-5783-81-4

Alkisah dalam cerita kiwari di lift salah satu mal di Solo. Di situ ada 10 orang: 3 pegawai mal, 7 sisanya saya dan keluarga. 

Asyem tenan, timku ada yang tiba-tiba kirim WA ‘mundur’. Jare ora digaji ora papa, yang penting hari ini dia resmi tidak bekerja. Kujawab apik tenan kelakuanmu le, generasi jaman now,” suara seorang ibu berseragam terdengar menahan emosi.

Padha wae, kemarin di timku juga ada yang tiba-tiba tidak masuk kerja. Katanya resign. Dah gitu aja, tahu-tahu dah hilang. Lha terus aku piye golek gantine yen mendadak ngono,” sahut temannya, cowok.

Cah-cah enom saiki ki males kerja dan tidak punya etika,” sungut pegawai ketiga (Abu Rona Irana, status FB 3/6/2019). 

Abu Rona Irana pun tak menampik kasus serupa mereka yang bergumul kerja di dunia pers, perhotelan, kampus, dan bisnis lain. Sikap, semangat juang rendah, gampang menyerah, enggan repot dan ribet, serta mental ciut menjadi jiwa-zaman sebagian anak muda. 

Dengan cara pandang berbeda Fariz Alniezar melalui buku Homo Homini Humor ini melontar satire yang beda pula antara sikap dan semangat kerja. Inilah zaman citra yang artifisial mengendalikan cara atau pola pikir anak muda bekerja. Tak heran, muncullah pribadi-pribadi slilit dan mental benalu.  

Kisah-kisah kelakar cerdas semacam ini membutuhkan relasionalitas tafsir antara liyan dan antiliyan. Bagaimana respons masyarakat kita? Simbol atau ukuran untuk keutamaan hidup dan kesalehan sikap justru terjerumus menjadi pribadi yang mencuatkan potensi homo urakanisme, homo kredensialis, bahkan masyarakat “ongkang-ongkang”.

Buku ini menawarkan satu konsep cerdas yang hingga kini masih menggerogoti pola pikir lintas generasi, lintas zaman, dan lintas orang-orang beriman. Segala rupa saleh pribadi manusia terkini adalah pemabuk investasi saham secara material dan pemabuk simbol pendidikan. Status sosial getol diburu dan dijadikan sandangan supremasi pamer. 

Inilah penyakit kaum muda terpelajar, terdidik, dan berijazah. Fariz Alniezar mengutip pernyataan Pierre Bourdieu bahwa intelek yang sakit ini terjangkit sindrom homo academicus kredensialis. Ronald Dore mengkritiknya dengan diksi kejam the diploma disease. Artinya, penyakit sosial yang dengan revolusioner sengaja menggeser tujuan pendidikan dari kebutuhan keilmuan dan pengetahuan menjadi sebatas demi raihan gelar akademik (hlm.102). 

Kelakarnya, muncullah gelombang pemburu status gelar. Terlebih lagi sikon mengarus pada media digital yang canggih dan menyampah. Tren mengemuka bahwa kepakaran kaum intelek, kaum akademisi telah tersingkir dan mati.

Masyarakat pengidap penyakit ini berorientasi gelar mentereng sebagai modal simbolik untuk gagah gengsi, jemawa jabatan, atau rakus kuasa. Rendal Collin mengesahkan masyarakat the diploma disease disebut masyarakat kredensial. 

Negara-negara berkembang menyuburkan masyarakat kredensial yang menghalalkan legalitas dan formalitas sebagai supremasi tertinggi dalam kehidupan. Simpul kelakarnya bahwa generasi kredensial semakin mengunggulkan capaian, mengesampingkan proses. 

Peta pikirnya cupet, pendek, instan, tergesa-gesa. Akibatnya, kredensialisme melahirkan budaya palsu, imitasi, artifisial, dan membunuh kesejatian kebudayaan, bahkan menikam watak. Andakah terperangkap kaum muda homo academicus kredensialis

Subtitel “kelakar agama: dari pendo(s)a sampai dinas gangguan mental beragama” adalah suh cerita. Membaca 35 kelakar buku ini menggiring watak kaum muda homo homini socius dan homo homini lupus atau hoping ciak darling ke kandang homo academicus kredensialis

Ada jajaran manusia sosial, manusia serigala, dan manusia bertopeng. Sindiran si bijak tua Aristoteles hingga kelakar miniseri Mukidi dicukil-cukil bergantian dengan sentilan ceplas-ceplos Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun.

Prie GS (budayawan Semarang) mengantari buku ini dengan celoteh singkat yang mengagumkan. Humor bukan dagelan. Humor adalah gambaran spiritualitas manusia. Semakin tinggi tahapan spiritualitas manusia, semakin luculah seseorang. 

Lucu yang bukan semata-mata dagelan, melainkan lucu yang meluhurkan kemanusiaan (hlm. 3). Lucu mengatasnamakan pakem-pakem keutamaan hidup. Keutamaan mencerminkan perilaku saleh.

Fariz Alniezar merekomendasikan saleh jalanan di antara dua potensi saleh sosial dan saleh ritual yang dingiangkan Gus Mus. Saleh itu sudah ditanam sejak purba. Kini saatnya masyarakat menjadi pelestari sekaligus juru tuai. Kisah-kisah warisan tentang kearifan lokal (local wisdom) menjadi lumbung utama. 

Satu cuplik ilustrasi keluhuran lucu yang mengatasnamakan keutamaan hidup saleh itu menjadi rekomendasi pokok buku ini. Tak elak, kelemahan buku ini merebak pada kekurangjelian editing kata dan hipenasi yang mengganggu baca.

Satu keuntungan dari buku ini, para pembaca diingatkan lagi tentang antisipasi perangai jokerian yang jauh hari diungkai Thomas Lickona (seorang prof pendidikan dari Cortland University). Lickona telah merumuskan sepuluh tanda zaman yang menggila. Ancaman ini harus sigap dan urgen diwaspadai karena akan mengusung anak-anak bangsa menuju jurang kehancuran. 

Kesepuluh ancaman itu adalah 1) peningkatan kekerasan atau banalitas di kalangan remaja atau masyarakat; 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk atau tidak baku; 3) pengaruh peer group (geng) dalam tindak kekerasan semakin tidak terkendali; 4) peningkatan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) penurunan etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; 9) membudayanya kebohongan atau ketidakjujuran; serta 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.***

Menjawab Pertanyaan Masyarakat Perihal Vaksin di Indonesia

Himmah Online, Universitas Islam Indonesia-Program vaksinasi yang digalakkan oleh pemerintah Indonesia sejak pertengahan Januari masih menjadi kontroversial di khalayak umum terkait pengaruh efikasi (kemanjuran secara klinis) vaksin itu sendiri. 

Hal tersebut mendorong Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (LEM FMIPA UII) beserta jajaran Himpunan dan Unit Kegiatan Mahasiswa menggelar webinar yang bertajuk “Ada Apa dengan Vaksin?”. 

Kegiatan ini berlangsung melalui aplikasi Zoom pada Ahad, (07/02) dan diisi oleh Bimo Ario Tejo selaku Associate Professor di Universiti Putra Malaysia dalam Bidang Bioteknologi.

Pada awal sesi acara, Bimo menyampaikan terkait efikasi yang menurutnya merupakan hal yang lumrah karena selama bertahun-tahun ketika adanya program vaksinasi masyarakat tidak bertanya mengenai efikasi itu sendiri dan efikasi vaksin Covid-19 di Indonesia sebanyak 65%. Menurutnya, perdebatan mengenai efikasi dipicu dari ketidaktahuan masyarakat mengenai efikasi. 

“Jadi, yang perlu saya luruskan bahwa menurut World Health Organization (WHO) untuk vaksin Covid-19 selama efikasinya di atas 50% itu tidak masalah, karena vaksin tersebut bisa digunakan untuk mengatasi pandemi Covid-19,” tuturnya.

Ia juga menambahkan meskipun efikasinya rendah, bukan berarti vaksin tidak berfungsi karena efikasi yang rendah sekalipun berpengaruh pada penurunan jumlah orang yang terpapar virus Covid-19.

Selain itu, Bimo menjelaskan bahwa hasil uji klinis mengenai efikasi vaksin di setiap negara berbeda. Hal tersebut dilihat dari tingkat keamanan protokol kesehatan, profil relawan yang menerima vaksin, mutasi virus, dan profil ras (genetik) yang berpengaruh terhadap respon imun.

Terkait berapa lama sistem imun tubuh akan kebal terhadap virus Covid-19, Bimo menjelaskan kekebalan antibodi baru akan diketahui setelah dilakukan vaksinasi tahap injeksi kedua.

“Jadi, jangan setelah injeksi pertama kemudian tidak mematuhi protokol kesehatan, karena dosis pertama itu kekebalan antibodinya baru 50% ke bawah. Setelah vaksin kedua kurun waktu 14-20 hari itu baru antibodinya sudah naik. Semakin lama juga semakin meningkat,” terangnya. 

Pada golongan eksklusi yakni golongan yang memiliki sensitivitas terhadap vaksin seperti lansia dan Ibu hamil belum bisa divaksin disebabkan kurangnya data uji klinis yang dimiliki oleh pemerintah. 

Akan tetapi tidak menutup kedepannya golongan eksklusi akan diperbolehkan untuk divaksin. Pihak Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sendiri masih berusaha untuk memperbarui data serta melihat pemberian vaksin di Negara lain.

“Kita tinggal tunggu waktu kapan mereka (golongan eksklusi -red) boleh divaksin,” ujar Bimo.

Terakhir Bimo menegaskan betapa pentingnya melakukan vaksinasi. Dengan adanya program vaksinasi dapat menyelamatkan kesehatan masyarakat serta mengurangi jumlah orang yang terpapar virus Covid-19. 

“Setiap orang yang divaksin nyawanya bisa diselamatkan, rumah sakit tidak collapse, sistem kerjanya tidak collapse. Itu saja sudah Alhamdulillah,” pungkasnya.

Reporter: Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M Rizqy Rosi M

Kapan Nikah? Next Question Please!

0

Kenapa makin ke sini rasanya waktu berjalan makin cepat saja. Rasanya aku baru bangun pukul sebelas lewat tepat saat adzan dzuhur berkumandang, lalu tiba-tiba saat ini sudah pukul sembilan malam kala kebanyakan lampu-lampu di rumah penduduk dimatikan. 

Rasanya baru kemarin aku menapaki Jogja dan menikmati segala keramahannya, tapi tiba-tiba malam ini aku sadar bahwa sudah empat tahun atau mungkin lebih aku menjadi salah satu penduduk Jogja, meskipun bukan penduduk tetap.

Terkadang aku kembali ke kotaku untuk menunaikan kewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan keluargaku salah satunya ialah “Kapan pulang?” Meskipun kenyataannya pertanyaan itu jarang disampaikan, tapi setiap kali pertanyaan itu datang berarti memang aku harus benar-benar pulang. 

Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah sulit. Aku tinggal meminta uang tambahan untuk membeli tiket bus dan menjawab “Besok, mau bersih-bersih dulu,” atau pun jawaban-jawaban lain yang sekiranya dapat menenangkan hati keluargaku. Mengingat aku belum merdeka secara finansial jadi mau tidak mau ada banyak pertanyaan dimana aku harus memberi jawaban yang memuaskan. 

Meski begitu, tetap ada beberapa pertanyaan yang jawabannya tidak begitu memuaskan, bahkan ada pula yang benar-benar tidak dapat aku jawab. Pertanyaannya memang tidak sesulit ujian masuk perguruan tinggi atau CPNS seperti kata orang, tetapi menjawabnya bisa jadi lebih sulit dari itu semua.

Usiaku sekarang sudah menginjak kepala dua, tepatnya dua puluh dua tahun. Bagi orang Indonesia usia tersebut bisa dikatakan matang buat perempuan. Pada usia tersebut, aku tidak lagi dianggap sebagai remaja apalagi anak-anak. Sudah banyak hal yang bisa aku lakukan daripada sebelumnya. 

Untuk mencari pekerjaan tidak ada lagi ketakutan tidak diterima karena faktor usia pada masa ini, meskipun kualifikasinya bukan hanya soal usia saja. Aku tidak terlalu takut ditanyai tentang pekerjaan oleh keluargaku, karena sudah sejak aku berada di semester awal bangku perguruan tinggi aku sudah mulai ikut bekerja dengan keluargaku. 

Pekerjaan apapun aku lakukan, mulai dari menjaga toko, keluar kota untuk proyek, dan berjualan kecil-kecilan juga pernah aku lakukan. Meskipun upahnya tidak sebesar jika seseorang bekerja sungguhan, tetapi upah dari hasil kerjaku sudah mampu memuaskan nafsuku untuk membeli beberapa hal yang aku mau tanpa harus merengek meminta uang. 

Karena percayalah meskipun aku tidak lagi remaja atau anak-anak, saat aku meminta uang untuk membeli camilan, nilainya tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah.

Pertanyaan perihal kelulusan pun tidak terlalu aku pusingkan. Aku selalu memiliki banyak alasan yang bisa aku jadikan sebagai jawaban. Keluargaku tahu aku sempat mengalami beberapa kendala saat awal-awal memasuki bangku kuliah, mereka paham bahwa hal itu juga mungkin berdampak pada proses pendidikanku. 

Mungkin aku bisa menjawab bahwa aku sedang mengikuti proyek kampus dan aku harus menunda skripsiku, karena jika aku lulus terlalu cepat bisa jadi peluangku untuk mengikuti proyek tersebut pun musnah. Apalagi jika yang aku jadikan alasan-alasan adalah proyek yang memiliki keuntungan besar. Namun, bukan semua pertanyaan itu yang aku sulit untuk menjawabnya. 

Melainkan pertanyaan “Kapan nikah?”.

Jika pertanyaan itu dari teman, aku masih bisa menganggapnya sebagai candaan, toh teman-temanku itu juga belum menikah pada saat menanyakan hal itu. Tetapi berbeda hal saat yang bertanya adalah keluargaku sendiri.

Ketakutan akan ditanyai “Kapan nikah?” Akan dua kali berlipat ganda saat keluargaku yang bertanya. Sebenarnya aku takut bukan karena tidak laku, tetapi justru latar belakang keluargaku sendiri yang mengakibatkan ketakutan itu.

Singkat cerita, aku berasal dari keluarga yang kata orang broken home. Bapak dan ibuku sudah cerai sejak aku berada di bangku sekolah dasar. Sebenarnya aku tidak tau betul alasan perceraian itu. Sejak dari perpisahan bapak dan ibuku aku lebih sering tinggal sendiri di kontrakan sementara dua adikku tinggal bersama nenek. 

Bapakku lebih sering bekerja, jadi jarang pulang ke rumah dan ibuku tinggal di kota lain. Bisa dibilang aku memang tidak terlalu dekat dengan orang tuaku, pada saat perceraian mereka pun sejujurnya aku tidak merasa sedih, malahan aku lebih cenderung senang ketika hal itu terjadi. 

Alasannya karena aku tidak akan mendengar keributan-keributan mereka lagi. Tentu saja keributan antar orang tua akan sangat berpengaruh kepada psikologis anak, terutama saat anak juga terlibat dalam keributan ini.

Sejujurnya aku tidak takut kalau aku tidak laku. Jika mau, aku bisa saja sudah menikah sekarang dengan lelaki yang aku kehendaki. Tetapi ada alasan lain yang lebih mendasar untuk menunda sementara pernikahan itu.  

Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga merupakan makhluk individu. Setiap individu memiliki karakter yang berbeda dengan individu lainnya, baik secara fisik bahkan secara emosi. Setiap individu tentu juga memiliki idealisme dan egoisme yang berbeda. 

Pernikahan adalah sebuah upaya formal untuk menyatukan dua individu baik yang sama-sama karena cinta atau hanya karena pernikahan benar-benar untuk formalitas sebagai manusia saja. Penyatuan individu pastilah tidak mudah. 

Kedua individu tersebut harus benar-benar beradaptasi dengan baik supaya dalam menjalankan kehidupan bersama yang harmonis. Jika keduanya tidak dapat beradaptasi, pasti akan sering terjadi adu pendapat yang bisa jadi berujung dengan pertengkaran. 

Bagiku sendiri beradaptasi dengan orang baru tidaklah mudah. Belakangan aku lebih nyaman menjalani kehidupan dengan diriku sendiri daripada harus berbaur dengan orang lain. Saat aku bersama dengan orang lain dan terjadi ketidakcocokan pendapat, memang tidak sering terjadi percekcokan, tetapi hal itu menimbulkan kegelisahan dari hatiku karena aku lebih sering untuk memilih mengalah. 

Aku lebih sering mengikuti apa yang orang lain inginkan karena aku takut apa yang aku inginkan nantinya tidak memuaskan hati mereka dan menimbulkan sinis terhadap diriku. Tindakanku tersebut semata-mata untuk menciptakan kenyamanan untuk diriku sendiri, namun berangsur-angsur yang terjadi bukanlah demikian. Jadi, daripada harus terlibat dalam argumen yang berbeda aku lebih memilih untuk sendirian.

Dari beberapa latar belakang itu, ketakutan untuk menikah bukan hanya yang berdampak untuk kenyamananku saja, namun juga ketakutan jika suatu saat akan berdampak pada anak-anakku kelak. Aku pernah ditanya tentang apa cita-citaku, dan jawabanku akan selalu sama yaitu ingin menjadi seorang ibu yang baik. 

Hal itu bukanlah omong kosong dan bagiku bukan juga cita-cita yang biasa, karena orang-orang yang memiliki latar belakang hampir serupa denganku ternyata juga memiliki ketakutan yang sama dalam hal pernikahan dan menjadi orang tua. 

Mereka takut kegagalan juga akan terjadi kepada mereka. Ketakutan akan memberi pola asuh yang buruk terhadap keturunan mereka. Karena adanya kegagalan pada masa lalu mempengaruhi psikologi, dimana unsur ini menjadi perilaku bawah sadar yang akan terus terbawa sepanjang hidup.

Jadi, ketika keluargaku menanyakan “Kapan nikah?” 

Jawabku “Next question, please.”

Suara Pembaca: Bukan Catatan Akhir Tahun

“Kapal di pelabuhan memang aman tetapi bukan itu kegunaan kapal” – John A Sheed

Sebelum saya mengulas secara garis besar apa yang telah dilakukan Himmah tempo lalu, izinkan saya untuk memberikan apresiasi terhadap segala hal yang telah dikerjakan Himmah hingga saat ini. Tak berlebihan rasanya jika mengatakan bahwa saat ini Himmah dalam ruang lingkup pers Mahasiswa di Jogja pada umumnya dan khususnya UII masih dinilai kredibel serta up to date. Atas dasar itulah saya bersedia memenuhi permintaan untuk menulis tentang kesan pembaca terhadap Himmah. 

Tulisan ini lahir di saat saya hendak meninggalkan dunia mahasiswa. Dunia yang dihiasi dengan imajinasi dan pengetahuan yang bertaut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia yang tak membuat saya kaya dengan piagam atau piala melainkan tumbuh bersama solidaritas, gagasan, pemikiran dan tentunya pengalaman. Dunia yang juga dibangun berdasarkan pondasi keyakinan melalui diskusi, menulis, advokasi, hingga aksi. Disemai kepekaan sosial melalui membela mereka yang lemah, menolong mereka yang tak mendapatkan akses akan keadilan dan menemani orang yang dicap hina bahkan durjana.

Terdapat hal yang tak mampu terwujud ketika menyelami dunia mahasiswa tersebut, yakni bergelut dan mengabdi pada Lembaga Pers Mahasiswa kampus. Sebuah penyesalan yang saya harap tak terjadi pada mahasiswa lainnya. Bukan tanpa sebab, keyakinan akan kekuatan tulisan sudah saya rasakan ketika mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia-nya, Tan Malaka bersama Madilog, Andreas Harsono melalui Agama Saya Adalah Jurnalisme, wartawan Udin atas keberaniannya, hingga Douwes Dekker dengan maha karya Multatuli.

Sesuatu yang tak perlu diragukan juga tentang kekuatan Lembaga Pers Mahasiswa yang acap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan. Rekaman peristiwa tentang sensor hingga pembredelan adalah bukti nyata betapa gaung Lembaga Pers Mahasiswa mampu memukul penguasa. Sejarah pada tahun 1982 dapat memperkuat bukti itu semua. Rentetan peristiwa lain juga hadir dalam perjalanan lembaga pers mahasiswa di UII. Hal itu tentu meneguhkan keyakinan bahwa petualangan yang dilalui oleh seorang mahasiswa yang menceburkan diri ke lembaga pers kampus kaya akan pengalaman dan belum tentu diperoleh oleh mereka yang disibukkan dengan lomba maupun pelatihan wirausaha. 

Lantas apa yang dilakukan Himmah belakangan ini? Jawaban yang diberikan tentu berdasarkan kaca mata seseorang yang berada di luar lembaga tersebut. Pertama, lahirnya Himmah Podcast. Kedua, proses digitalisasi berbagai tulisan dan karya Himmah. Hal-hal lain seperti liputan, kajian hingga membuat majalah adalah aktivitas yang tak asing dikerjakan lembaga pers. Sejatinya rancangan program apapun tak akan menjadi persoalan selama mampu mengantarkan petualangan dengan menimba pengalaman sebanyak-banyaknya.

Bagaimana dengan independensi? Persoalan independensi bagi saya bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan, sebab saya percaya selama akar organisasi ini kuat dengan nilai yang menjadi landasannya, hal-hal teknis lain akan mengiringinya. Perkara keberpihakan juga demikian, Himmah memiliki tonggak yang tak begitu rapuh sebab keberagaman yang ada pada tubuh organisasinya memperkuat itu semua. Tak seperti beberapa lembaga pers fakultas yang identik dengan satu warna. 

Jika ragu akan independensi atau keberpihakan silakan menelusuri jejak Himmah dalam merekam persekongkolan politik najis yang dilakukan oleh negara, kampus, maupun lembaga mahasiswa. Bukan pekerjaan mudah apa yang telah mereka lakukan. Hingga timbul pertanyaan dalam benak saya, ramuan apa yang mampu membuat Himmah bersedia melakukan tindakan yang tak jarang membahayakan status mahasiswa hingga nyawa. Apa benar ini merupakan kekuatan cinta dalam apa yang dikerjakan? Jalaluddin Rumi melukiskan melalui puisi nan indah arti kekuatan cinta:

Dengan cinta,

yang pahit menjadi manis.

Dengan cinta,

tambang menjadi emas.

Dengan cinta,

sampah menjadi jernih.

Dengan cinta,

yang mati menjadi hidup.

Dengan cinta,

raja menjadi budak.

Dari ilmu,

cinta dapat tumbuh.

Pernahkah kebodohan menempatkan orang

di atas takhta begini?

Barangkali bukan hanya ramuan cinta, bisa saja keyakinan akan keadilan dan keberpihakan pada kaum mustadh’afin lahir karena pekarangan Himmah diisi oleh nilai universal yang membebaskan. Pondasinya dibangun berdasarkan fungsi edukatif dan evaluatif, tak terjebak pada simbol atau jargon heroik yang miskin penerapannya. Satu sama lain berkelindan, dan itu yang membuat rumah bernama Himmah seperti yang digambarkan Ralph. W. Sockman: Ada bagian-bagian kapal yang jika berdiri sendiri-sendiri akan tenggelam. Mesin bisa tenggelam. Baling-baling bisa tenggelam. Tetapi, jika bagian-bagian kapal dibangun bersama-sama, kapal itu akan mengapung.

Artinya, seluruh elemen dalam organisasi merupakan penting. Tak ada satu bagian pun yang dapat diremehkan perannya karena pekerjaan sederhana, dan tak ada posisi yang merasa ia bagian terpenting. Jika hal ini terjadi sebaliknya maka tak heran melihat berbagai lembaga pers kampus pincang dalam berjalan serta jatuh ketika berhadapan dengan tantangan.

Selain itu terdapat beberapa hal penting yang saya rasa belum tampak pada wajah Himmah maupun lembaga pers fakultas di UII. Diskursus ini sebenarnya pernah disinggung oleh Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya Indonesia for Sale. Ini berkaitan dengan peran lembaga pers dalam proses produksi maupun reproduksi ilmu pengetahuan, perdebatan atas berbagai peristiwa sosial selama ini. Wajah lembaga pers yang terkesan ‘hanya’ pembuat berita atau penyampai peristiwa perlu diperbaharui. Maksudnya, sudah waktunya lembaga pers tak melulu sebatas pencari atau pembuat berita namun lembaga ini hadir dalam arena pertarungan ide dan gagasan atas berbagai fenomena sosial.  Sehingga, stigma tersebut berubah dan lembaga pers mahasiswa tak hanya menjadi penonton namun mampu menjawab tantangan persoalan.

Bahkan, Himmah dapat melompat lebih jauh dengan memerankan sebagai lembaga pengawas atas keberlangsungan lembaga mahasiswa tingkat legislatif, eksekutif, rektorat, hingga yayasan di UII. Isu korupsi, penyalahgunaan wewenang, bobroknya sistem pekerja, hingga pelecehan seksual merupakan kabar burung yang kerap masuk ke telinga mahasiswa. Lantas, siapa yang dapat memberikan pencerahan atas tudingan itu semua? Salah satunya tentu lembaga pers mahasiswa. Langkah ini dilakukan agar Himmah tak bergantung pada isu populer semata dan mampu menembus jalan buntu yang menyesatkan sehingga dapat menggugah nalar kritis mahasiswa. Jika peran itu tak segera diambil dan ditekuni maka lantunan syair Rendra dalam “Sajak Anak Muda” akan terus relevan:

Mengapa harus kita terima hidup begini?

Seseorang berhak diberi ijazah dokter,

Dianggap sebagai orang terpelajar

Tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan

Dan bila ada tirani merajalela

Ia diam tak bicara

Kerjanya cuman menyuntik saja

Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

Dianggap sebagai bendera-bendera upacara

Sementara hukum dikhianati berulang kali

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

Dianggap bunga plastik

Sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi

Tak mungkin kita berharap pada lembaga atau institusi yang merasa benar dan percaya dengan keadaan yang baik-baik saja. Bersama Himmah-lah kita menggantungkan harapan beserta lembaga pers mahasiswa UII lainnya: Keadilan, Kognisia, Profesi, Cardios, Ekonomika, Linier, Solid, dan Pilar Demokrasi. Paling tidak melalui lembaga pers mampu membuat mahasiswa melompat lebih jauh: mengasah pena, merawat gagasan kemudian memengaruhi keadaan.

Tidak berhenti di situ, Himmah mestinya juga dapat menjadi pionir untuk mengkonsolidasikan lembaga pers yang berada di UII. Peran ini dilakukan bukan karena Himmah dalam struktur kelembagaan berada dalam lingkup universitas melainkan sebagai tanggung jawab moral yang mesti disadari sejak dini. Setahu saya telah terdapat ruang pertemuan antar lembaga pers di UII seperti Forum Komunikasi Pers Mahasiswa, namun tidak berhenti pada ada atau tidak forum tersebut melainkan seberapa berguna keberadaannya bagi dinamika lembaga pers di UII. Selain itu apakah forum tersebut mampu menjembatani segala bentuk keresahan lembaga pers yang mengisinya? Jika iya patut disyukuri, jika sebaliknya maka rumusan forum komunikasi perlu dirubah menjadi taman kolektif yang dapat mengatasi berbagai persoalan lembaga pers di UII.

Tanggung jawab yang tak kalah penting, Himmah harus mampu mendorong partisipasi mahasiswa untuk tetap merawat tradisi intelektual: berpikir, membaca, menulis, diskusi, debat, dan aksi. Bagian  ini dapat dilakukan oleh semua lembaga namun alangkah indah jika pionir itu lahir dari lembaga pers mahasiswa.

Saatnya Himmah berbenah dan kembali merancang langkah berikutnya, tradisi kuno organisasi yang dirasa menghambat lekas ditinggalkan, waktunya menemukan jalan baru yang mampu membuat organisasi ini lebih baik. Memang tak mudah namun perlu untuk dicoba sehingga tugas pers mahasiswa tak hanya menyampaikan kabar atau sekedar memoles kenyataan melainkan mampu menghidupkan harapan. Seperti halnya menanam, harapan sangat penting untuk kita rawat dan memastikan apa yang telah kita tanam akan bertumbuh dan kita mampu memetiknya. Mungkin bukan saat ini atau esok hari kita akan menuai hasil, paling tidak telah menanam untuk keadaan yang lebih baik. 

Terima kasih.

Konflik Agraria Terjadi Karena Negara Lebih Berpihak ke Pemodal

0

Himmah Online, Yogyakarta – Dalam peringatan hari HAM Internasional tahun 2020, Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (KAHAM UII) menggelar diskusi bertajuk “Konflik Agraria dalam Perspektif HAM” pada Sabtu (19/12).

Dalam diskusi yang digelar di Kolektif Collaboraction Space, Muhammad Fakhrurrozi dari Social Movement Institute (SMI) menuturkan, bahwa penyebab konflik agraria di Indonesia terjadi karena negara lebih berpihak terhadap para pemodal atau oligarki.

“Penyebab konflik agraria di Indonesia terjadi karena keberpihakan negara bukan ke rakyat tapi ke pemodal,” tegas Fakhrurrozi.

Menurut Fakhrurrozi terdapat dua jenis pemodal, yaitu pemodal yang bekerja dalam saluran swasta seperti perusahaan pabrik semen, tambang pasir besi, dan yang kedua adalah pemerintah itu sendiri. Kedua pemodal besar tersebut yang sering disebut sebagai oligarki.

Fakhurrozi juga menambahkan, bahwa tanah adalah salah satu sumber penghidupan yang sangat fundamental bagi para petani. Ketika tanah tersebut dirampas atau dialihfungsikan dalam bentuk infrastruktur atas nama kepentingan umum yang sebenarnya kepentingan modal akan menghilangkan sumber penghidupan dan mengubah struktur sosial masyarakat.

Marsen Benedictus Sinaga dari Insist Press menjelaskan bahwa HAM dalam penegakannya hanya bisa berjalan jika ada negara yang bisa dipercaya.

“Kita lihat apa artinya HAM, bagaimanapun HAM hanya bisa berjalan kalau ada negara yang bisa dipercaya, yang bertanggung jawab menjalankan HAM adalah negara, rakyat hanya punya hak, yang memastikan memberi hak adalah negara,” ujar Marsen.

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Fakhrurrozi, bahwa kewajiban negara terhadap HAM paling tidak ada tiga, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi.

Dalam diskusi peringatan hari HAM yang diadakan oleh KAHAM UII turut hadir dua aktivis Urutsewu Kebumen, Seniman MD dan Widodo Sunu Nugroho. Dalam paparannya, Seniman memaparkan upaya TNI yang sudah mulai melakukan sertifikasi di Urutsewu sejak tahun 2010.

“2010 TNI sudah berupaya melakukan sertifikasi, bahkan ada yang atas nama perorangan, dokumennya ada di kami. Itu dilakukan oleh tentara dan itu atas dasar komunikasi dengn BPN,” ujar Seniman ketua koordinator FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan).

Di sesi selanjutnya, Widodo salah satu aktivis Urutsewu berharap pemerintah mengembalikan itikad baiknya untuk mengabdi kepada rakyat dan melakukan pemahaman bahwa peraturan dibuat untuk kesejahteraan rakyat.

“Saya kira poin terakhir ini yang kita butuhkan saat ini, jadi itikad baik pemerintah untuk mengabdi kepada rakyat yang harus kita kembalikan, dan pemahaman bahwa peraturan itu dibuat untuk kesejahteraan rakyat,” pungkas Widodo.

Dalam catatan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), dalam rentang waktu Maret sampai September 2020, telah terjadi 35 konflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut mulai dari perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, hingga penangkapan.

Penulis dan Reporter : Pranoto

Editor : Muhammad Prasetyo