Beranda blog Halaman 37

Pagebluk

Alkisah, di sebuah desa bernama Kembang baru saja kedatangan pemuda asing. Tidak ada satu pun orang yang tahu, darimana ia berasal. Tidak ada satu pun orang yang tahu jika ia malaikat yang diutus Tuhan untuk menguji hati manusia. Perut pemuda itu dililit rasa lapar yang luar biasa. Salah satu tangannya memegangi perutnya. Wajah pemuda itu mengiba.

Ia mendatangi pintu demi pintu rumah tanpa bosan, dan mengetuknya. Pemuda tujuh belas tahun itu tidak pernah mengetuk lebih dari tiga kali di setiap pintu yang ia datangi. Jika pintu dibuka oleh si pemilik, ia akan meminta makan. Hingga entah pintu ke berapa, belum juga ada yang terpanggil hatinya untuk memberinya makan. 

Bahkan saat ia mengunjungi sebuah pintu berwarna abu-abu, si pemilik rumah membawakannya sebatang sapu dengan mata merah menyala. Rupanya pemuda itu hendak dipukul. Untungnya ia segera pergi dengan berlari bagai kuda. Ada pula yang malah menyambut kedatangannya dengan tuduhan, kehadirannya hanya mengantarkan penyakit. Pemuda itu tentu saja heran. Penyakit apa? Ia merasa dalam keadaan baik-baik saja.

Bulir-bulir keringat seukuran biji apel, terus jatuh dari wajahnya. Pakaian pemuda itu basah, tak ubahnya orang yang baru saja selesai mandi. Sementara panas matahari seperti malah kian memanas, menyengat kulitnya yang sawo matang dan kusam. Di beberapa bagian tubuh pemuda itu terdapat bercak panu, dan beberapa kali pula ia menggaruk bagian-bagian itu karena gatal akibat tersengat panas matahari. Pemuda itu terus berjalan.

Tidak hanya lapar saja yang kini menguasainya. Rasa haus yang sangat bertandang ke kerongkongannya. Ia hanya bisa menelan ludah. Upayanya tidak mampu menghilangkan hausnya yang begitu akut. Pemuda itu kembali sudah berada di depan sebuah pintu yang warnanya memudar. Harapannya masih menyala di dada, meskipun pesimis mulai terbit di benaknya—prasangka pelit terhadap penduduk di desa yang sedang ia pijaki mulai muncul dan sulit dihilangkan.

Tanpa pemuda kecil itu tahu, Tuhan sedang menurunkan cobaan berupa pagebluk di Desa Kembang. Pagebluk berlangsung sejak kurang lebih dua bulan yang lalu. Awalnya, sepasang suami istri di desa itu mendapati suhu tubuhnya sangat panas manakala bangun dari tidur. Mereka batuk-batuk. Sepasang suami istri itu tidak berpikir apa-apa, selain anggapan, yang sedang mereka rasakan, hanyalah meriang biasa, sehingga aktivitas masih dapat dijalankan seperti biasa. 

Sang suami masih sanggup pergi bekerja, membajak sawah juragannya. Pada hari selanjutnya, tujuh orang merasakan hal yang sama seperti sepasang suami istri itu. Keadaan sepasang suami istri itu sendiri memburuk. Mereka berdua sesak napas. Tiga hari setelahnya, tubuhnya kaku. Kemudian sore harinya keduanya menghadap pada Yang Maha Kuasa.

Penduduk pun berbondong-bondong datang ke rumah sepasang suami istri itu. Mereka mengucapkan belasungkawa kepada sanak saudaranya. Seminggu kemudian, sudah ada sepuluh orang yang meninggal dunia. Melihat latar belakang ke sepuluh orang sebelum meninggal dunia sama, maka terbitlah spekulasi-spekulasi di antara penduduk Desa Kembang. 

Ada yang berpendapat, penyakit aneh itu tadinya berasal dari salah satu dari sepuluh orang yang telah tiada. Ada juga yang dengan berbusa-busa mengatakan, sepuluh orang itu terkena guna-guna, disalahi orang sebagai syarat pesugihan. Kebanyakan orang berkata, penyakit itu hanya penyakit biasa, dan mereka yang mati memang sudah takdirnya.

Dari sekian pendapat, yang paling mengundang polemik adalah perkataan seorang lelaki bernama Murisan, yang menyebar dari rumah ke rumah.

“Bagi siapa yang tetap di rumah saja, ia sudah pasti aman. Di luar rumah sedang banyak wabah tidak kasat mata beterbangan bebas mencari mangsa, sehingga siapa saja yang menghirup udara luar, kemungkinan besar terjangkit penyakit.” Begitu ucapnya.

“Jika saudara tidak percaya, sekarang buktikan saja, mereka yang sakit, pasti keluar rumah melayap ke mana-mana.”

Di Desa Kembang, Murisan terkenal pandai meramal. Bahkan kepandaian meramal menggema hingga ke desa-desa sebelah. Hampir setiap ramalan selalu benar. Terutama bila ada hubungannya dengan bencana. Mulai dari gempa bumi hingga gunung meletus, sudah pernah masuk dalam ramalannya. Terlepas dari itu, yang membuat Murisan begitu spesial, Murisan sama sekali bukan dukun dan tidak mempunyai masa lalu pernah belajar ilmu ramal-meramal.

“Apa hubungannya keluar rumah dengan penyakit aneh itu?” ucap salah seorang penduduk, berbadan tinggi dengan tangan kekar.

“Sepengetahuanku, baru kali ini, desa kita tertimpa penyakit aneh seperti ini.” Kali ini yang berujar seorang tukang bajak sawah.

“Bahkan aku bertanya kepada kakekku, katanya bila menilik dari fakta sejarah, baru kali ini di desa kita ada penyakit aneh,” ucap seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh lima tahun. 

Orang-orang terus kasak-kusuk. Rumah Murisan disatroni beberapa warga akhirnya. Mereka menganggap, Murisan telah memantik keresahan penduduk. Salah seorang warga hampir saja mendaratkan pukulan di wajahnya. Murisan masih beruntung, orang-orang yang melabraknya, masih mempunyai perasaan, sehingga tindakan itu dicegah. Oleh orang-orang, Murisan disuruh untuk meminta maaf. Murisan tidak mungkin menghindar. Ia tidak mau mengundang kemarahan orang-orang.

Orang-orang tetap saja keluar rumah. Murisan tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa, agar orang-orang segera dipekakan pikirannya, peka terhadap hal yang menyebabkan seseorang bisa terkena penyakit aneh itu. Mereka yang tetap keluar rumah, di hari berikutnya suhu tubuhnya menjadi sangat panas. Batuk-batuk. Mereka ingat dengan kata-kata Murisan; tanda-tanda bila terkena penyakit itu. Hanya penyesalan yang terukir di jiwa. Mereka menyesal telah tidak percaya dengan omongan Murisan.

Korban sudah banyak berjatuhan. Ketakutan menjalar di setiap orang. Mereka takut keluar rumah, walau ada yang memaksakan diri untuk tetap keluar. Apalagi setelah ada kabar yang menyebar hingga ke sudut-sudut desa itu; kepala desa ikut terkena penyakit itu. Orang-orang gelisah. Tidak ada yang mempunyai pengetahuan, dengan apa penyakit itu dapat disembuhkan. Dari pengakuan mereka yang sembuh, mereka hanya menanam keyakinan dalam hati mereka; penyakit itu hanyalah penyakit biasa, serta tetap tenang dalam menghadapinya.

Namun kepala desa berhasil memenangkan pertarungan dalam pertandingan melawan penyakit itu. Penduduk Desa Kembang sedikit lega mendengar kabar itu. Mereka seperti menemukan kembali induknya, setelah terpisah. Kesembuhan kepala desa tidak lepas dari bantuan seorang tabib yang didatangkan istrinya dari desa nun jauh atas usul temannya. Tabib itu berpakaian putih pada saat tiba di kediaman kepala desa. Jenggotnya yang putih dan tebal, menandakan usianya tidak lagi muda. Istri kepala desa sempat ragu, di matanya, sekilas wajah tabib itu tidak meyakinkan karena mirip orang dungu.

Si tabib tidak mau mengakui, bahwa dialah yang menyembuhkan kepala desa. Selain itu, si tabib menolak bayaran dari kepala desa. Ia justru menyuruh kepala desa memberikan upahnya kepada orang yang membutuhkan. Si tabib tidak memberikan obat apa-apa kepada kepala desa, selain mendoakannya. 

Meski ia melakukan itu, si tabib yakin, tanpa kehendak Yang Maha Kuasa, doanya tidak akan berarti apa-apa. Lalu kepala desa mengutusnya untuk mencoba mengobati penduduk lain yang terserang penyakit. Nyatanya tidak semua orang yang dibacakan doa bisa sembuh. Di sini, ucapan si tabib semakin terbukti.

Seperginya si tabib, kepala desa membuat wara-wara. Ia menghimbau agar penduduk desanya keluar rumah bila ada kepentingan yang mendesak saja; wabah masih bertebaran. Mengurangi kegiatan di luar, akan menghambat penularan penyakit. Mengurangi kegiatan di luar, berarti sudah menjadi pahlawan. Kepala desa juga mewanti-wanti supaya menggunakan kain atau benda apa saja yang sekiranya bisa menutupi hidung dan sebagian wajah, untuk mengurangi risiko tertular penyakit—wabah itu menular lewat udara. 

Semua itu ia peroleh setelah ia bercerita kepada si tabib, apa yang sedang terjadi di desanya. Berangkat dari situ, ia menjadi percaya akan ucapan Murisan yang mengundang polemik di kalangan orang-orang.

Wara-wara kepala desa berdampak pada menyepinya suasana desa. Kabar penyakit aneh itu telah menyebar ke desa-desa lain. Nyaris tidak ada orang dari desa lain yang berani melintas di desa itu. Dampak lain, aktivitas mencari rezeki yang terbengkalai karena kebanyakan penduduk memilih berdiam diri di rumah. Di sawah-sawah hanya satu dua petani saja yang bekerja. Ada juga orang yang sampai rela kehilangan pekerjaan setelah beberapa hari tidak masuk kerja. 

Sebagaimana petani yang memilih tetap ke sawah, ada orang yang nekad keluar rumah walau harus menahan sumpeknya bernapas; bila tidak pergi bekerja, ia tidak bisa memenuhi rongga lambung dengan sesuap nasi. Mereka yang memang bekerja dari rumah atau tidak keluar rumah, juga ikut terkena dampak pagebluk. Penghasilan mereka menurun drastis. Orang-orang yang bertahan di rumah, jelas akan menghabiskan stok makanan yang ada.

Pagebluk juga melahirkan ketidakamanan kampung. Di malam hari, tidak ada orang di pos ronda, menjaga kampung sembari ngerumpi apa pun yang bisa dibicarakan—kepala desa setuju ronda ditiadakan. Kabar kemalingan menyebar laksana api yang membakar daun kering di musim kemarau. Ada yang sapinya hilang. Ada yang ayamnya hilang. Beras. Sayuran yang sengaja ditanam di depan rumah juga raib. Peralatan rumah tangga. Meja kursi yang ada di teras. 

Rupanya, pagebluk membawa berkah tersendiri bagi maling. Mereka dibantu keadaan yang sepi, leluasa keluar masuk desa dengan aman. Lalu kehilangan-kehilangan selanjutnya masih menggema juga di kemudian hari.

“Jika dipikir-pikir, malingnya pemberani juga,” ucap seorang perempuan paruh baya bernama Suti, kepada suaminya Maksan.

“Namanya maling, ya pemberani. Kalau tidak pemberani, bukan maling namanya,” kata Maksan menertawakan. “Kamu ini aneh-aneh saja.”

“Saya tahu, maling itu punya nyali, tapi yang saya maksud bukan begitu. Ini berkaitan dengan pagebluk. Apa mereka tidak takut kena wabah? Itu menurut saya cukup nekad, dan berisiko. Mereka tidak mungkin tidak mengetahui, kalau tertular penyakit bisa berujung pada kematian.”

Kepala desa pusing tujuh keliling. Bila ia kembali mengumumkan agar ronda kembali digulirkan, itu sama saja mendekatkan para peronda pada jurang kematian. Jika dibiarkan? Penduduknya semakin larut dalam penderitaan. Kepala desa benar-benar dihadapkan pada dua pilihan yang susah. Segerombolan orang penduduk Desa Kembang menghadap kepala desa, setelah untuk yang kesekian kalinya, salah seorang penduduk desa ada yang kemalingan. Segerombolan orang itu berinisiatif untuk mengorbankan dirinya menjaga desa. Kepala desa terharu dengan gerombolan orang itu. 

Kepala desa menyetujui niat tulus mereka, dengan menyertakan perintah untuk menutup sebagian wajah. Singkatnya, segerombol orang itu oleh kepala desa dibagi ke beberapa kelompok. Setiap malam di jalan masuk desa dan pos ronda, mereka berjaga

Sementara itu, pemuda itu tidak juga berhenti berjalan. Pemuda itu selalu mengetuk pintu tidak lebih dari tiga kali. Jika tiga kali pintu belum dibuka, ia tidak memaksakan diri.

Ketidakmauan orang-orang memberi makan pemuda itu, mengundang penasaran tersendiri. Begitu juga mungkin dengan Anda yang sedang membaca cerita ini. Lalu apa yang sebenarnya membuat mereka demikian? Untuk kepentingan cerita, akan disebutkan sebuah alasan. 

Orang-orang itu berubah menjadi pelit karena pagebluk—meski agak lucu alasannya, kenyataannya di cerita ini memang demikian. Musibah itu memaksa mereka untuk menghemat sehemat-hematnya pangan yang tersedia. Jadi bukankah wajar bila mereka tidak memberi makan pemuda itu?

 “Puluhan pintu kuketuk, puluhan orang kujumpai, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memberiku makan. Apa yang telah membuat  mereka pelit?” Dan pemuda itu memang belum tahu jika di desa itu sedang ada wabah.

Pemuda itu kembali mencoba tidak berprasangka bahwa semua orang yang mendiami desa itu sama sifatnya; pelit, meski pada akhirnya gagal. Sedang perutnya semakin dililit oleh lapar. Saat ia keluar dari halaman sebuah rumah kayu, ia benar-benar merasa lelah. Ia menepi ke bawah sebuah pohon. Punggungnya ia sandarkan pada batang. Dalam hati pemuda yang tidak diketahui namanya itu, ada sesuatu yang tumbuh, semacam dendam. 

Di kejauhan, penglihatan pemuda itu menjala seorang perempuan tua yang berjalan dengan begitu pelan menggunakan tongkat. Sebagian wajahnya tertutupi kain. Di kedua bahunya ada selembar selendang tersampir. Ia semakin dekat dan semakin dekat. Pemuda itu tidak lagi ada hasrat meminta makanan, kepadanya. Ia iba dengan cara berjalan perempuan tua itu.

“Mengapa kamu duduk di tempat kotor seperti itu?” tanya perempuan tua itu saat ia di dekat pemuda itu.

“Saya kelelahan. Sudah dua hari perut saya tidak kemasukan makanan,” kata pemuda itu.

Ada perasaan sejenis bersalah yang hadir pada hati pemuda itu atas prasangkanya terhadap orang-orang di desa itu, setelah perempuan tua tersebut mengajak ke rumahnya untuk menikmati makanan. Meski ala kadarnya, pemuda itu menerima makanan dengan senang, seperti mendapat “durian runtuh”. Baginya, kebaikan perempuan tua itu luar biasa dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Perempuan tua itu terharu menyaksikan pemuda itu menyantap makanan.

Makan rampung, pemuda itu berceloteh kepada perempuan itu soal pengalamannya mengetuk pintu demi pintu, untuk meminta makanan. Namun tidak ada satu pun orang yang terketuk hatinya.

“Apa di desa ini ada aturan, pelarangan memberi apa pun kepada pengemis? Kalau ada, mengapa tidak ada satu pun orang yang menyinggung hal itu kepada saya?”

“Apa benar yang kamu katakan itu?”

“Saya tidak mengada-ada. Demi apa pun!”

“Desa ini sedang dilanda pagebluk.”

“Pagebluk?”

Perempuan tua itu pun menerangkan apa yang sedang terjadi di desa itu. 

“Mungkin itu sebabnya, mereka semua tidak memberimu makan. Mereka sedang kekurangan pangan. Dan pagebluk, mendorong saya untuk selalu menggunakan kain untuk menutupi hidung dan mulut saat keluar rumah,” terangnya. Selembar kain masih menempel di sebagian wajahnya. “Dan itu pula yang membuat saya, tadi memaksamu untuk menutupi hidung dan mulutmu dengan selendang saya. Itu pula alasan menempatkanmu tidak di dalam rumah, hanya di sini, di bawah pohon kelengkeng saya. Maafkan saya atas perlakuan saya kepada kamu, Nak.”

Pemuda itu hanya manggut-manggut saja, seolah ia bisa menerima alasan, mengapa penduduk Desa Kembang bisa semuanya pelit. Padahal hatinya menolak mentah-mentah alasan itu. Masa jika hanya sesuap nasi tidak ada? Seharusnya pagebluk justru menyadarkan mereka pentingnya bersedekah dikala terdesak.

Perempuan tua itu lalu menceritakan, anak semata wayangnya yang juga terkena penyakit aneh itu dan sedang dalam perawatannya. Perempuan itu mengaku cemas, bayangan kematian anaknya terus menguasainya. 

Pemuda itu mengeluarkan buntalan kain dari balik celana pendeknya, begitu perempuan itu berhenti berbicara. Buntalan itu ia berikan kepada si perempuan tua. Kepadanya, pemuda kecil itu berkata, isi buntalan itu dapat digunakan untuk mengobati anaknya yang sakit. Perempuan tua itu ragu-ragu menerima, tapi pemuda itu dapat meyakinkannya.

Sebelum ia pergi, ia berpesan agar dua hari ke depan ia meninggalkan desa itu untuk sementara. Kata si pemuda, akan ada bencana yang akan melanda desa itu. Pemuda itu juga berucap, “Jika tetap di sini, besar kemungkinan tidak akan selamat.”. Perempuan tua itu tidak sempat menanggapi ucapannya; pemuda itu terlampau buru-buru melangkahkan kaki. 

Beberapa langkah dari rumah perempuan tua itu, pemuda itu menghentikan gerak kakinya. Ia memutar badannya seratus delapan puluh derajat. Ia menatap dengan sinis rumah-rumah penduduk.

“Tuhan, enyahkanlah wabah yang ada di desa ini, jika bisa, bersama sekalian dengan penduduknya!”

Pentingnya Perlindungan Jurnalis dalam Merawat Demokrasi Indonesia

Himmah Online – Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) bersama Kemitraan Indonesia, atas dukungan Kedutaan Belanda melakukan peluncuran Protokol Keamanan Dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan melalui aplikasi Zoom pada Rabu, (24/3). 

Pada peluncuran tersebut dipaparkan oleh Ade Wahyudin selaku Direktur Eksekutif LBH Pers, serta Mohammad Nasir, Sekretaris Jenderal Serikat Media Siber Indonesia; Joris Ramm, Perwakilan Kedutaan Besar Belanda; Peter ter Velde selaku Koordinator Keamanan Penyiaran Belanda; dan Irna Gustiawati perwakilan dari Asosiasi Media Siber Indonesia, selaku penanggap.

Alasan mengapa protokol tersebut dibuat guna melindungi para jurnalis dan perusahaan dalam melakukan peliputan dan publikasi berita, khususnya terkait isu-isu sensitif, serta merawat demokrasi di Indonesia. 

Ade Wahyudin menjelaskan bahwa protokol ini merupakan salah satu program LBH Pers untuk mendorong terciptanya keamanan pers, khususnya perlindungan untuk para jurnalis. 

Selain mendampingi kasus, LBH Pers juga mempersiapkan bagaimana para jurnalis di lapangan siap untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan terjadi, dari pencegahan hingga penanganan. Dan salah satu cara pencegahannya adalah dengan dibentuknya protokol tersebut.

Adapun protokol ini menjadi penting, dikarenakan kondisi kebebasan pers di Indonesia sedang mengalami penurunan yang cukup drastis, dilihat dari tingginya angka kekerasan terhadap pers. 

“Beberapa catatan penting yang bisa kami highlight misalkan bisa dilihat dari tingginya angka kekerasan terhadap pers, baik jurnalis bahkan narasumber. Adapun di tahun 2020 kami menemukan cukup banyak kekerasan terhadap pers mahasiswa,” tuturnya.

Senada dengan Ade, Joris Ramm menyatakan bahwa perlindungan jurnalis di tingkat global pun sangat rendah, tidak hanya di Indonesia. “Secara global kebebasan pers sangat menurun, jurnalis semakin menghadapi situasi yang berat,” ujar Joris.

Maka dari itu, ia mengungkapkan protokol ini menjadi penting untuk diterapkan guna mewujudkan perlindungan hak asasi manusia di dalam dunia jurnalistik.

Selanjutnya, Peter ter Velde berpendapat dalam penyusunannya, perlu adanya keterlibatan polisi dan jaksa seperti beberapa praktik di Belanda, untuk membahas apa yang bisa dilakukan untuk memperkuat posisi jurnalis. Karena media yang baik penting bagi demokrasi.

Sambutan baik juga datang dari Perwakilan Asosiasi Media Siber Indonesia, Irna Gustiawati. Menurutnya, isi dari protokol tersebut sangat lengkap serta kehadirannya dinanti oleh para jurnalis sebagai pedoman untuk melindungi diri dari ancaman yang nyata ketika di lapangan.

“Saya merasa ini dia sebenarnya yang kita tunggu-tunggu, bagaimana panduan yang komplit ini bisa menjaga teman-teman di lapangan dari ancaman yang benar-benar nyata saat ini,” ungkap Irna.

Tidak hanya jurnalis, menurut Mohammad Nasir, protokol ini juga perlu dimiliki oleh para pengusaha pers karena sangat menarik dan memberikan kesadaran bagi jurnalis untuk menerapkannya, dimana tantangan di lapangan semakin berat dan rumit.

Dengan diluncurkannya Protokol Keamanan Dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan, Ade berharap dapat memberikan panduan guna meningkatkan perlindungan kepada jurnalis. Dan protokol ini hanya akan berjalan efektif jika media dan jurnalis mengimplementasikannya secara bersamaan. 

“Harapannya nanti bisa diadopsi sebagian ataupun seluruhnya oleh perusahaan media. Karena bagaimanapun protokol ini mempunyai tanggungjawab soal keamanan, keselamatan jurnalis dan tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab perusahaan media. Protokol ini bisa efektif dengan dijalankannya antara jurnalis dan media”, ungkap Ade.

LBH Pers menggunakan kredo “tidak ada berita seharga nyawa” dalam Protokol Keamanannya. Karena jurnalis menjadi garda terdepan pembela hak atas informasi dan sebagai penjaga demokrasi Indonesia. 

Reporter: Siti Anisa Fatmawati

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Sebuah Kritikan Terhadap Sistem Pendidikan

Judul: Mendidik Anak-Anak Berbahaya

Penulis: Arif Saifudin Yudistira

Penerbit: Penerbit Diomedia

Cetakan: 1, 2020

Tebal: 116 halaman

ISBN: 978-623-92312-9-3

Sekolah telah menjelma menjadi destinasi wajib bagi setiap anak yang berdiri di atas bumi, meskipun tidak semuanya mendapatkan keberuntungan untuk terus melanjutkannya hingga ke tingkat tertinggi. Di pundak sekolah, terpikul pelbagai harapan tentang pengetahuan; masa depan; kebahagiaan; kesuksesan; hingga kesantunan. 

Dengan pelbagai beban berat tersebut, mampukah sekolah mewujudkannya? Paling tidak, sudahkah sekolah memiliki modal awal untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut? Meminjam istilah yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah diibaratkan sebagai sebuah taman, maka modal awal yang sudah seyogianya dimiliki oleh sekolah adalah suasana yang menyenangkan dan membuat nyaman seperti taman. 

Oleh sebab itu, syarat utama sekolah menurut Ki Hadjar Dewantara adalah harus menyenangkan, minimal sekolah menjadi satu di antara tempat yang selalu dirindukan oleh siswanya, bukan menjadi tempat yang membuat siswanya merasa terpenjara.

Atas dasar hal tersebut, seorang pengasuh di Pondok MBS Yogya, Arif Saifudin Yudistira menulis beberapa kritikan terkait sistem pendidikan di Indonesia (sekolah) yang kurang laik disebut sebagai sebuah taman lewat bukunya yang berjudul Mendidik Anak-Anak Berbahaya.

Kritikan-kritikan dalam buku ini secara garis besar terbagi ke dalam tiga hal, yakni kritik terhadap pendidikan anak; kritik terhadap cara mendidik anak; dan refleksi terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Kritikan-kritikan tersebut disampaikan oleh Yudistira lewat esai-esai ringan dengan kalimat-kalimat yang lugas, sehingga lebih mudah dipahami. 

Satu hal yang perlu ditegaskan dari sebuah kritikan adalah kritik dilakukan bukan atas dasar kebencian, tetapi atas dasar kepedulian. Kritik bisa terjadi karena masih ada orang-orang yang peduli. Hanya orang-orang yang peduli yang rela meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk merenungi sistem pendidikan bangsanya.

Di antara kritikan Yudistira terkait sekolah sebagai taman adalah pembatasan aktivitas permainan terhadap anak-anak (halaman 13). Hal ini dianggap oleh Yudistira sebagai hal yang menyalahi kodrat, sebab permainan adalah dunia anak-anak. 

Membatasi anak dari dunianya dengan hanya menyuruh mereka untuk membaca materi, mengerjakan tugas, menghapalkan rumus, dan sejenisnya adalah ‘pembunuhan’ secara akademis. Bukankah seorang pendidik itu membimbing? Lalu mengapa pendidik merampas dunia anak didiknya serta menghancurkannya hingga berkeping-keping? Bukankah seorang pendidik itu menuntun? Lalu mengapa pendidik memaksa anak didiknya mengerjakan pekerjaan rumah hingga berduyun-duyun? 

Seorang pendidik sudah sepatutnya mengolah materi dan tugas untuk anak-anak dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif, sehingga anak-anak tetap tidak kehilangan dunianya (bermain) meskipun sedang berada di dalam kelas. 

Sebut saja seperti penggunaan media pembelajaran yang asyik, pembuatan slide presentasi yang menarik, dan praktik game-game edukatif yang sesuai dengan materi pembelajaran dapat diterapkan oleh para pendidik untuk membuat suasana kelas yang laik disebut sebagai “taman”.

Kritikan lain dari Yudistira tentang sekolah yang tidak menyenangkan seperti taman yakni penyebutan “siswa gagal” bagi anak-anak yang tidak naik kelas saat ujian akhir tahun (halaman 33). Siswa yang seharusnya ditenangkan, malah disudutkan dengan sebutan “gagal”. Sekolah telanjur menganut sistem bahwa anak yang cerdas atau pintar/berhasil/calon sukses adalah anak-anak yang berhasil menyelesaikan ujian sekolah dengan nilai-nilai yang memuaskan.

Agaknya tidak berlebihan jika ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa sekolah hanya mau menerima anak-anak yang pintar. Sekolah telah mengalami penyempitan makna dari tempat belajar-mengajar yang menerima dan memberi pelajaran, menjadi tempat memintarkan anak-anak yang sudah pintar. 

Sekolah tak lagi menjadi taman yang mampu menerima setiap pengunjungnya. Padahal Pablo Picasso telah menyebutkan bahwa setiap anak adalah seniman, sehingga pendidik harus mampu menemukan bakat dan minat pada setiap seniman tersebut. Beberapa mungkin memiliki suara yang merusak gendang telinga, namun memiliki sentuhan tangan yang luar biasa di hadapan kanvas. 

Buku ini memang menarik untuk dinikmati. Namun sebagaimana yang telah peribahasa sebutkan, tak ada gading yang tak retak. Topik yang menarik dan bahasa yang mudah dimengerti tidak diimbangi dengan penggunaan ejaan yang sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Terdapat beberapa kalimat yang masih menggunakan kata tidak baku, seperti ‘aktifitas’ yang seharusnya ‘aktivitas’ (halaman 12 dan 46); ‘memotifasi’ yang seharusnya ‘memotivasi’ (halaman 30); dan ‘standarisasi’ yang seharusnya ‘standardisasi’ (halaman 85). Tak hanya penggunaan kata tak baku, penulisan ‘di-’ sebagai kata depan dan ‘di’ sebagai imbuhan juga banyak ditemui kekeliruan. Seperti pada kalimat ‘Disanalah’ yang seharusnya ‘Di sanalah’ (halaman 20), ‘Diwaktu’ yang seharusnya ‘Di waktu’ (halaman 27), dan beberapa kalimat lain (halaman 43, 44, 46, dan seterusnya). Kekeliruan-kekeliruan ini adalah bukti bahwa penulis memang seorang manusia, bukan seorang malaikat.

Akhir kata, membaca adalah anugerah yang diberikan Sang Pemilik Semesta untuk manusia yang ingin mengetahui tanpa mengalami terlebih dahulu. Dengan membaca Amerika, manusia telah mengetahui tentang Amerika, meski tak pernah menginjakkan kaki di sana. Jadi, selamat membaca. 

Polemik Pengalihfungsian Pangkalan Truk Banyuputih Batang untuk Pembangunan Islamic Centre

0

“Pengalihfungsian Pangkalan Truk Banyuputih menjadi Islamic Centre berpotensi menghilangkan ruang hidup warga Petamanan.”

Himmah Online – Pangkalan Truk Banyuputih yang berada di Dusun Petamanan, RT 03, RW 03, Desa Banyuputih, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah terancam digusur. Di atas lahan sebesar 1,8 hektar tersebut rencananya akan dibangun Islamic Centre oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang.

Selain pangkalan truk, di tempat tersebut terdapat 105 bangunan yang terdiri dari 82 rumah, 20 kios, 1 kantor DISHUB Batang, 1 bangunan MCK (mandi, cuci, kakus), dan 1 musala.

Sejak wacana pembangunan Islamic Centre di atas Pangkalan Truk Banyuputih mencuat, penggusuran sudah dilakukan dua kali. Pertama pada 29 Desember 2020, Lalu penggusuran kedua terjadi pada 8 Maret 2021 sebanyak 43 rumah. Hingga 16 Maret 2021, masih tersisa 39 rumah dan 1 musala di Pangkalan Truk Banyuputih.

Alasan Pemkab Batang Memilih Pangkalan Truk Banyuputih Sebagai Islamic Centre

Dalam memilih Pangkalan Truk Banyuputih dialihfungsikan menjadi Islamic Centre. Pemkab Batang memiliki tiga pertimbangan seperti yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Nomor 550/0468/2020.

Pertama, dengan dioperasionalkannya jalan tol Batang-Semarang, arus lalu lintas Jalan Pantura sudah tidak padat lagi dan kendaraan truk besar kontainer sedikit yang memanfaatkan area parkir Pangkalan Truk Banyuputih.

Kedua, Pangkalan Truk Banyuputih sebagai area parkir kendaraan truk besar yang melintas di Jalan Pantura, dimanfaatkan oknum sebagai tempat lokalisasi. Sehingga Pemkab Batang perlu menghapus kesan negatif Pangkalan Truk Banyuputih.

Ketiga, karena Pemkab Batang sangat membutuhkan adanya Islamic Centre.

Terkait stigma Pangkalan Truk Banyuputih sebagai tempat lokalisasi yang menjadikan Pemkab Batang memilih tempat tersebut sebagai Islamic Centre seperti yang disebutkan dalam poin kedua surat pemberitahuan nomor 550/0468/2020, Arif Afruloh dari BEM KM UNNES, berpandangan lokalisasi tidak mungkin ada jika negara bisa hadir menjamin kesejahteraan masyarakatnya. 

“Kita perlu melihat track record ke belakang kenapa bisa ada lokalisasi di sini. Tidak mungkin ada PL (Pemandu Lagu) di sini ketika negara bisa hadir untuk menjamin kesejahteraan warganya. Karena itu merupakan amanat negara untuk mensejahterakan rakyatnya, mulai lapangan pekerjaan hingga jaminan kehidupan,” tutur Arif.

Sebetulnya selain di Pangkalan Truk Banyuputih, Pemkab Batang mempunyai dua opsi tempat pilihan lain. Pertama di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar dan kedua di Desa Kalisalak, Kecamatan Limpung.

Dari tiga opsi tersebut dua diantaranya adalah lahan pasif, sedangkan Pangkalan Truk Banyuputih adalah lahan aktif di mana di dalamnya selain beroperasional sebagai pangkalan truk terdapat pula ruang hidup warga sebagai tempat tinggal dan bekerja. Hal itulah yang menjadikan pembangunan Islamic Centre ini mengalami polemik.

Pangkalan truk dan bangunan di dalamnya dibangun di atas tanah milik Pemkab Batang yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Batang dengan sistem sewa. Warga yang memiliki bangunan di atas lahan milik pemkab tersebut diperbolehkan untuk menyewakan atau menjual bangunan miliknya.

Wihaji, Bupati Batang, berpandangan bahwa dalam proses pengalihfungsian Pangkalan Truk Banyuputih sebagai Islamic Centre sudah sesuai dengan perundang-undangan.

“Proses dari mulai dengar pendapat publik sudah kita lalui, saya yakini semua proses sesuai perundang-undangan, dan saya bertanggungjawab penuh sebagai kepala daerah atas keputusan ini,” tutur Wihaji dikutip dari Radar Pekalongan (13/1).

Warga sendiri kini berharap agar Pangkalan Truk Banyuputih tidak jadi digusur karena sudah menjadi tempat mencari nafkah.

“Warga berharap penggusuran dibatalkan, karena tempat ini sudah menjadi tempat mencari kebutuhan hidup,” ungkap Siswanto, salah satu warga yang terancam digusur.

Belum Ada Kesepakatan Antara Pemkab Batang dengan Warga

Sejak sosialisasi perdana terkait alih fungsi Pangkalan Truk Banyuputih pada 16 Maret 2020 di Balai Desa Banyuputih hingga penggusuran kedua pada 8 Maret 2021, belum ada kesepakatan antara warga dan Pemkab Batang terkait kompensasi dan akan dikemanakan warga yang sebelumnya tinggal di lingkungan Pangkalan Truk Banyuputih tersebut.

Satu-satunya uang yang diterima warga adalah uang bantuan untuk bongkar kios dan bantuan operasional pemindahan barang di lingkungan Pangkalan Truk Banyuputih melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 978/416/2020 yang ditetapkan pada 13 November 2020.

Dalam keputusan poin ketiga, bantuan diberikan kepada penyewa lahan/kios di lingkungan Pangkalan Truk Banyuputih. 

Dalam lampiran, disebutkan penerima bantuan  bongkar kios sebanyak 82 orang dengan rincian 23 orang menerima Rp2 juta, 32 orang menerima Rp2,5 juta, dan 27 orang menerima Rp3 juta. Dan total 22 orang menerima bantuan operasional pemindahan barang sebesar Rp500.000.

Untuk sejumlah 22 orang penerima bantuan operasional pemindahan barang, semuanya sudah menerima bantuan. Sedangkan untuk 82 orang penerima bantuan bongkar kios, sebanyak 26 orang sudah menerima, dan 56 orang lainnya belum menerima bantuan.

Namun, terdapat kejanggalan karena nama yang tertera di lampiran beberapa penerimanya adalah pemilik kios/rumah lama yang kepemilikannya sudah berpindah tangan. Sehingga pemilik baru tidak mendapatkan bantuan.

Dengan adanya bantuan operasional bongkar kios tanpa kompensasi untuk warga, menurut Arif hal itu menandakan Pemkab Batang hanya ingin menggusur saja tanpa menyiapkan lahan tingal.

“Aku sangat menyayangkan karena artinya pertanggungjawaban dari Pemkab itu tidak ada, pinginnya hanya gusur tanpa menyiapkan jaring pengaman (lahan tinggal -red),” tutur Arif.

Respon Komnas HAM

Pada hari Rabu (10/03), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengunjungi Pangkalan Truk Banyuputih untuk melakukan pendalaman kasus atau pramediasi.

“Kehadiran kami di sini adalah untuk menjaring data dan informasi sebanyak-banyaknya terkait kasus. Nah ini kita sedang dalam proses pramediasi, nanti proses mediasi akan dilakukan oleh anggota komisioner Komnas HAM,” tutur Asri Oktavianty Wahono selaku Komediator Komnas HAM.

Selanjutnya, pada 16 Maret 2021 Komnas HAM mengirimkan surat kepada Bupati Batang yang berisi permintaan penundaan penggusuran 39 bangunan tersisa.

Melalui surat tersebut, Komnas HAM meminta kepada bupati untuk menunda rencana penggusuran bangunan warga yang masih tersisa sebanyak 39 rumah hingga adanya solusi bersama, serta mencari langkah-langkah lain guna menghindari potensi konflik dan mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Reporter: Pranoto

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Menilik Kehidupan Perempuan di Tengah Pandemi

Himmah Online – Munculnya Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berdampak besar ke segala lini kehidupan. Salah satunya terhadap kondisi perempuan. Pandemi dinilai turut menjadi pemicu kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender.

Fenomena meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi mendorong Laskar Mahasiswa Republik Indonesia menyelenggarakan diskusi “Yang Terjadi Pada Perempuan Di Tengah Pandemi” pada Minggu, (07/03) malam melalui aplikasi Zoom.

Diskusi tersebut diisi oleh Nining Elitos selaku Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia; Siti Sugiarti selaku Warga Rukun Tani Pakel; Ajeng Adinda Putri dari Lingkar Studi Gender Mahasiswa UNAIR; dan Sofa dari Persatuan Waria Kota Surabaya.

Sofa menyampaikan kondisi pandemi memberikan dampak secara ekonomi terhadap teman-teman transpuan. “Kami banyak kehilangan pekerjaan, banyak berkurangnya penghasilan, yang misal sehari dapat Rp100.000,00, karena Covid-19 hanya dapat Rp25.000,00 atau Rp20.000,00,” ujarnya.

Hal tersebut dikarenakan kebanyakan pekerjaan mereka memerlukan kontak secara langsung dengan pelanggan, seperti usaha salon, perias pengantin, penyanyi acara hajatan, dan pengamen.

Peraturan pemerintah yang mengharuskan untuk saling menjaga jarak alias social distancing juga semakin membuat teman-teman transpuan khawatir akan usaha mereka.“Teman-teman banyak yang takut, khawatir salonnya berakhir tidak dibuka, dan mungkin untuk bertahan hidup dia akan jual yang dia punya,” ungkap Sofa.

Sofa juga menceritakan ketika ia mengikuti sebuah acara webinar banyak sekali keluhan-keluhan yang disampaikan oleh teman-teman transpuan terkait bagaimana was-wasnya mereka akan Covid-19. Namun, setelah diberikan masukan-masukan tentang apa saja yang harus diperhatikan terkait Covid-19, kekhawatiran teman-teman transpuan mulai berkurang.

“Alhamdulillah belakangan ini dengan mematuhi protokol kesehatan, teman-teman transpuan sudah mulai kembali menjalankan pekerjaan masing-masing, walaupun penghasilannya belum sepenuhnya kembali seperti dulu,” sambungnya.    

Siti Sugiarti menjelaskan kondisi Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi di mana selama pandemi ini tidak jauh berbeda dengan sebelum pandemi. Di desa tersebut masih saja terjadi ketimpangan penguasaan lahan. “Kami sudah menanam, tapi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tanaman kami itu rusak, seperti ditebang dengan seenaknya saja,” ungkapnya.

Perjuangan terkait lahan di Desa Pakel sudah terjadi sejak dahulu, antara tahun 1926 atau 1936.  Siti Sugiarti mengibaratkan perjuangan kala itu sebagaimana video dokumenter G30SPKI.

Sejak dahulu hingga sekarang, tidak banyak laki-laki yang tinggal di Desa Pakel. Kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan dasa, sebab sudah tidak ada lagi lahan yang bisa dikelola. Selain itu juga karena mereka ketakutan jika nantinya justru ditangkap oleh oknum-oknum yang merampas lahan.

“Waktu itu saya masih belum berkeluarga, ada tetangga saya yang meninggal, bahkan yang memikul mayatnya ke tempat pemakaman terakhir itu adalah seorang perempuan,” ucap Siti.

Untuk itu, Siti berharap agar lahan Desa Pakel dapat ditempati secara utuh tanpa harus diganggu, supaya tidak kesulitan secara ekonomi. Sehingga, mereka bisa bertahan hidup dan juga mampu menyekolahkan anak mereka agar memiliki kesetaraan pendidikan dengan anak-anak yang lainnya.

Dari segi realita, Nining Elitos memaparkan bahwasanya dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sama saja pemerintah tidak turut mendukung keadilan bagi kaum buruh. Karena ketidakadilan itu, selama pandemi, buruh turut turun ke jalan melakukan aksi untuk menyuarakan keresahannya perihal kepastian kerja.

Kemudian, ia menilai UU Cipta Kerja semakin memperburuk perlindungan, peningkatan kesejahteraan, bahkan ruang demokrasi. Bentuk perlakuan semena-mena dan perampasan hak tersebut bagi buruh perempuan misalnya adalah cuti haid.

“Sampai saat ini banyak buruh perempuan tidak cuti haid karena mereka harus diperiksa oleh dokter, terus kemudian mereka harus diperlihatkan begitu, sebenarnya itu juga bentuk kekerasan dan pelecehan seksual juga terhadap para pekerja perempuan,” ungkapnya.

Dalam pemaparannya, Nining Elitos juga mengatakan kalau kondisi pekerja buruh karena UU Cipta Kerja sebenarnya semakin tidak baik. Namun, lagi-lagi pemerintah hanya berdiam diri. Pemerintah melakukan pembiaran.

“Sampai hari ini, kita masih merasakan perampasan, tidak hanya di sektor buruh saja, tetapi juga sektor pertanian seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan,” terang Nining.  

Di masa pandemi, semua terhubung secara digital. Ajeng Adinda Putri lantas menyatakan bahwa situasi demikian menyebabkan peningkatan kekerasan seksual yang menyasar ke kelompok-kelompok orang tua, anak, dan LGBT.

Pada tahun 2020 diketahui bahwa terjadi lebih dari 1300 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan, tetapi faktanya kurang dari 10% yang berani melaporkan kasus mereka. Hal itu karena kebanyakan korban yang melapor justru mendapat stigma sosial, bukan malah dilindungi.

“Hal ini lah kemudian mengapa banyak terjadi pergerakan-pergerakan untuk melindungi korban salah satunya yakni kekerasan berbasis gender untuk menanggulangi kasus seperti ini,” ujar Ajeng.

Ajeng mengatakan dampak dari kekerasan seksual tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis, bahkan ekonomi. Ajeng juga menambahkan bahwa psikiater menganggap kekerasan seksual ternyata berdampak secara serius terhadap hilangnya masa depan korban. Oleh karena itu, kekerasan seksual tidak seharusnya dianggap remeh. 

“Bahkan, ini bisa menjadi isu nasional bila tidak segera diatasi,” pungkas Ajeng.

Reporter: Afvia Diyun Duhita

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Ironi Keterasingan di Tengah Hidup Penuh Kegemerlapan

Judul: Pesta di Sarang Kelinci

Penulis: Juan Pablo Villalobos

Penerjemah: Gita Nanda

Penerbit: Labiri Buku

Cetakan: Pertama, September 2020

Tebal: vi + 80 Halaman

ISBN: 978-623-92983-1-9

Dalam kurun waktu tahun ‘80-an sampai 1993, dunia mengenal nama Pablo Emilio Escobar Gaviria sebagai salah satu gembong narkoba terkaya di dunia. Pada puncak kariernya, dari transaksi kokain, ia bisa menghasilkan US $21,9 miliar setahun. Sungguh hasil yang fantastis dari sebuah bisnis haram. 

Tak heran, selain dikenal sebagai pemilik bisnis gelap yang tak kenal ampun dalam menggasak pesaingnya, Escobar juga dikenal sebagai sosok yang mudah sekali menghamburkan uangnya. 

Satu hal yang unik, alih-alih menggunakannya untuk berfoya-foya, Escobar justru memakainya sebagai bakal api unggun. Adegan membakar uang itu bukan dongeng belaka, sebab mengutip laman Business Insider di Liputan6, Selasa (17/12/2019), saat anaknya kedinginan, Escobar tak segan membakar uang Rp 20 miliar untuk menghangatkan tubuh anaknya. Sekali lagi, berita ini tidak mengada-ngada. Fakta bahwa Escobar adalah gembong narkoba yang kaya dan terkenal sadis, itu bukan rahasia umum lagi. 

Namun, sisi lain pun dimiliki oleh sosok satu ini, yakni rasa cintanya pada keluarga. Escobar tentu bukan satu-satunya orang yang mengutamakan urusan keluarga di atas segalanya. 

Sebab di belahan dunia yang lain, di satu kota di Honduras, kita bisa menjumpai sosok serupa Escobar dalam diri Yalcaut. Hal yang membedakannya, sosok satu ini tidak nyata, ia lahir dari tangan seorang Juan Pablo Villalobos, yang ia torehkan dalam novela bertajuk Pesta di Sarang Kelinci.

Sebagai debut perdananya, Pablo jelas patut bersyukur mengingat novela ini mendapat sambutan baik di mata khalayak umum. Kali pertama ditulis dari bahasa Spanyol dan berjudul Fiesta en la madriguera, novela ini pun masuk ke dalam daftar pendek Guardian First Book Award 2011. 

Capaian yang mengesankan untuk sebuah karya perdana. Lantas, apa yang membuat novela ini unik? Kiranya, pengisahan yang tak lazim atas dunia gelaplah yang bisa dianggap jawabannya.

Secara garis besar, novel ini berkisah mengenai kehidupan sebuah gembong narkoba dari kacamata seorang bocah bernama Tochtli. Sebagai anak gembong narkoba, kehidupan Tochtli tentu jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak lainnya. 

Oleh sang ayah, Yalcaut, Tochtli disayang setengah mati. Apa pun yang diminta bocah itu akan dituruti oleh ayahnya. Namun, koridor kasih sayang Yalcaut bisa dibilang agak aneh. Di satu sisi, ia memang ingin yang terbaik untuk Tochli, tetapi di sisi lain, yang dilakukannya justru tampak ganjil.

Yalcaut ingin anaknya tetap tumbuh sebagai anak yang berpendidikan, tetapi alih-alih memasukkannya ke sekolah umum, ia justru menghadirkan seorang guru bernama Mazatzin ke kediamannya yang besarnya serupa istana itu. Begitu pula saat Tochtli ingin pergi ke kebun binatang dan melihat hewan-hewan di sana, Yalcaut justru mendatangkan hewan seperti burung dan singa ke kediaman mereka.

Atas perlakuan itulah, Tochtli menjadi pribadi yang lain daripada anak sesusianya. Memang, ia tergolong anak yang cerdas, bahkan Yalcaut sendiri mengakuinya. “Hei Tochtli, bocah tengik, jenius ya kau ini,” katanya. 

Tochtli bahkan punya kebiasaan membaca kamus sebelum tidur. Ia juga penggemar topi, film-fim samurai, dan alat pemotong kepala khas Prancis yang disebut gilotin. Yang terakhir, kiranya bisa dipahami mengingat pemandangan seorang yang terbunuh di kediaman mereka bukan hal asing lagi. Yalcaut tak segan membinasakan orang-orang yang tak disukainya.

Kekejaman itu bukan omong-kosong belaka. Namun, lewat Tochtli selaku narator novela ini, kekejaman berikut hal gelap lainnya dinarasikanya dengan gaya yang biasa saja. Tak ubahnya celoteh seorang bocah dalam hal memandang dunia sekitarnya, dan ia tak mempermasalahkan hal tersebut. 

Masalah lantas datang sewaktu Tochtli ingin memelihara kuda nil Liberia yang langka. Hewan satu ini sulit sekali didapatkan, sekalipun ayahnya sudah mengerahkan beragam cara dan koneksi yang ia miliki. Satu-satunya cara, hanya bisa ditempuh bila mereka mau memburu sendiri hewan tersebut di alam liarnya, di Liberia. 

Tak patah arang, Tochtli bersama ayahnya bebeberapa orang pun memutuskan untuk pergi ke Liberia. Tochtli sangat ingin memelihara hewan itu, dan Yalcaut pun ingin mewujudkan keinginan anaknya. Maka, dimulailah petualangan berat dan melelahkan di belantara Afrika. 

Petualangan itu tentu tak begitu saja membuahkan hasil, bahkan hampir-hampir mereka menyerah sebab selama beberapa hari mereka sama sekali tak menemukan keberadaan hewan itu. Hingga sewaktu mereka hendak benar-benar memutuskan untuk pulang, sepasang kuda nil tertangkap pandangan. 

Apa selesai sampai di situ saja? Tidak, penemuan kuda nil itu bukan akhir dari novela ini. Sebab selanjutnya, masalah tak henti-henti datang. Ini pula yang membuat kisah menjadi sedemikian menyenangkan untuk diikuti. 

Pablo secara baik menunjukkan kegelapan dan kekejaman dalam dunia hitam itu, tetapi secara halus memolesnya dengan balutan kepolosan dan kejujuran seorang anak kecil. 

Satu hal yang paling kentara dari kisah novela ini, Pablo ingin melayangkan kritiknya terhadap sesuatu yang terenggutkan. Bahwa seorang anak seperti Tochtli yang semestinya menjalani kehidupan sebagaimana anak seusianya, justru tercerabut dari dunianya sebagai anak-anak. 

Sekalipun kehidupan Tochtli penuh kegemerlapan, kelimpahan kebutuhan, dan kemudahan mencapai sesuatu hal, tapi Tochtli sesungguhnya terasingkan. Kebebasannya sebagai seorang anak diambil. 

Ia terpaksa masuk ke dalam kehidupan yang tak semestinya menjadi dunia yang mengiringi pertumbuhannya. Oleh karena itu, judul yang dipilih penulis, yakni Pesta di Sarang Kelinci sesungguhnya mengandung ironi dalam susunanya: Tochtli terjebak dalam sarang yang membuatnya terasingkan, dan untuk menghadirkan sedikit kesenangan, pesta pun mesti digelar. Bagaimanapun, ia pantas mendapatkan kebahagiaannya kendati dunia yang tergelar di sekitarnya tak lazim bagi sebagian orang.

Teknologi Antar-Jaringan sebagai Pembentuk Identitas Manusia di Era Digital

Teknologi antar-jaringan telah membuat perubahan besar-besaran di berbagai lini kehidupan, tak ketinggalan dalam urusan pembentukan identitas. Identitas generasi modern seperti saat ini cenderung dibentuk oleh media sosial daripada faktor-faktor yang lain. 

Hal ini disebabkan oleh jalinan komunikasi era kini didominasi oleh komunikasi via media sosial daripada komunikasi tatap muka secara langsung. Tak heran, era digital seperti saat ini seringkali dilabeli dengan ungkapan ‘menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh’.

Bagaimana tidak menjauhkan yang dekat, jika setiap individu yang sedang nongkrong bersama di sebuah kafe maupun warung kopi lebih asyik tersenyum dan menjerit pada layar telepon pintarnya daripada berbincang akrab dengan teman-teman di sebelahnya ̶ yang mirisnya juga sibuk dengan telepon pintarnya ̶ . 

Bagaimana tidak mendekatkan yang jauh, jika urusan jarak dan waktu tak lagi menjadi kendala kala sesuatu yang bernama video call itu mulai menjadi kebutuhan yang paling utama. Seberapa jauh jarak, muka pun masih bisa dilihat dan seberapa berbeda waktu yang terpaut, suara pun masih bisa didengar.

Tak hanya berhasil menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, teknologi berbasis dalam jaringan juga telah menjelma menjadi guide bagi penggunanya dalam menyediakan ilmu pengetahuan yang pada kenyataannya ̶ mau disadari atau tidak ̶ telah melemahkan ide dan menjauhkan seseorang dari realitas di dunia nyata. 

Kenyataan ini dapat diamati lewat fenomena seseorang lebih betah berjam-jam di hadapan telepon pintar daripada bermain dengan sesama di dunia nyata, daripada mengobrol santai dengan teman-temannya di depan rumah, bahkan daripada sekadar menjawab pertanyaan dari ibunya. 

Di daerah Surabaya (tempat penulis berdomisili), warung kopi dengan fasilitas free wifi lebih diminati daripada ruang makan keluarga. Telepon pintar lebih menggoda daripada oseng-oseng kangkung ibunya.

Ditambah lagi jika seseorang telah berhadapan dengan media sosial, maka ia menjadi enggan ketinggalan informasi paling terbaru di jagad media sosial. Tanpa disadari, keadaan seperti ini telah menuntut seseorang untuk selalu menunjukkan dirinya kepada pengguna media sosial yang lain bahwa dirinya tetap eksis. 

Hal ini sesuai dengan pernyataan Goonewardena, dkk (2008) dalam Space, Difference, Everyday Life bahwa ruang sosial harus bisa dirasakan (perceived), dipahami (conceived), dan dihidupi (lived) secara bersamaan dalam hubungannya dengan realitas sosial.

Ruang sosial yang harus dirasakan, dipahami, dan dihidupi tersebut akan menciptakan sebuah realitas baru yang lazim disebut dengan identitas. Identitas dalam ruang sosial ‘baru’ ini diperoleh lewat segala aktivitas kegiatan di dalam media sosial yang menunjukkan bahwa penggunanya eksis. 

Sebut saja ketika seorang pengguna media sosial ingin diidentifikasi sebagai pemotret yang andal, maka ia akan mengunggah jepretan foto-foto yang dianggapnya paling bagus agar jaringan teman di ruang sosial ‘baru’ tersebut mengakuinya.  

Identitas inilah yang sedang diburu oleh sebagian besar manusia yang memang pada dasarnya kurang atau justru tidak eksis di dunia nyata. Kebutuhan untuk diakui di dunia nyata yang tidak terpenuhi, diluapkan ke dalam ruang sosial ‘baru’ ̶ dibaca media sosial ̶ yang diakui oleh komunitasnya di ruang sosial ‘baru’ tersebut.

Turkle (1995) dalam Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet mengemukakan bahwa alasan di balik ketertarikan seseorang dengan dunia virtual ̶ dunia maya atau media sosial ̶ adalah karena dunia virtual menawarkan suatu hal yang berbeda, identitas kelompok yang cenderung lebih bebas, lebih fleksibel, lebih cair, tidak terdesentralisasi, serta menjanjikan proses yang berkelanjutan. 

Oleh sebab itu, manusia di dalam dunia maya merasa bahwa imajinasi mereka yang selama ini tidak dapat tersalurkan karena beberapa hal, kini dapat tersalurkan dengan sempurna di dunia maya. Gambaran ihwal ide; gagasan; dan sebagainya yang selama ini hanya mengendap tak berdaya di dalam otak, kini mampu disampaikan sekaligus ditampilkan lewat avatar pilihannya sendiri di dunia cyberspace.

Masyarakat Indonesia sendiri telah ‘dicap’ sebagai satu di antara pengguna teknologi daring terbanyak di dunia menurut mantan CEO Twitter, Dick Costolo. Dilansir dari jatengprov.go.id, Costolo juga menambahkan bahwa keberadaan Twitter membuat masyarakat Indonesia saling memberikan informasi. 

Fenomena ini ̶ mau tidak mau ̶ memaksa kemunculan pergeseran budaya. Informasi yang seharusnya privat, kini telah menjadi konsumsi rakyat. Pola komunikasi yang dulunya dimulai dari mulut lalu diterima lewat telinga, kini telah berubah menjadi dari ketikan jari lalu diterima mata lewat sebuah pesan yang dibaca. Tingkat kebutuhan yang dulunya cenderung ditentukan oleh dompet dan sejenisnya, kini telah berubah menjadi telepon pintar atau smartphone dengan segala ‘kemaha-tahuannya’.

Pergeseran budaya semacam ini, pada akhirnya akan menentukan identitas seseorang. Jati diri manusia akan dibentuk oleh media sosial, bukan atas dasar kesadaran atau keinginan dirinya sendiri. Hal ini biasanya tanpa disadari, sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial adalah kepanjangan baru dari pikiran manusia.

Hal yang perlu diwaspadai dari peran media sosial dalam membentuk identitas seseorang adalah jebakan dalam identitas palsu gegara media baru. Hal ini disebabkan oleh hiper-realitas yang dialami oleh seseorang karena terjebak dalam dunia maya (media sosial). 

Akibatnya, seseorang menjadi lupa terhadap realitas hidup yang sebenarnya. Misalnya saja ketika seseorang ‘terjebak’ dengan lifestyle salah satu artis idolanya, maka segala hal yang berkaitan dengan artis idolanya tersebut akan ditiru semirip-miripnya. 

Hal yang terjadi selanjutnya adalah ia akan kehilangan identitasnya sendiri karena berusaha meniru identitas orang lain dan sialnya lagi, seseorang tersebut tak ada mirip-miripnya sama sekali dengan sang artis idola. 

Bahkan Lubis (2014) dalam Postmodernisme: Teori dan Metode mengungkapkan bahwa di era saat ini telah muncul jurang perbedaan yang sangat dalam antara dunia nyata dan dunia maya. Para manusia telah menciptakan citraan-citraan palsu melalui tiruan terhadap seseorang tertentu.

Selain faktor media sosial itu sendiri, faktor network society di dalam media sosial juga memiliki peran penting dalam pembentukan identitas seseorang. Castells (2004) dalam The Network Society a Cross Cultural Perspective menyebutkan bahwa the power of identity adalah sumber makna di dalam pikiran manusia. 

Artinya, di dalam identitas yang berbeda akan terdapat pemaknaan yang berbeda pula terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, identitas juga berperan penting dalam mendeskripsikan tingkah laku manusia. 

Dalam kaitannya dengan keanggotaan seseorang di dalam komunitas berbasis dalam jaringan (media sosial), komunitas memiliki andil yang besar dalam pembentukan identitas seseorang.  Seperti yang telah diungkapkan oleh Castells, bahwa pemaknaan (meaning) dipengaruhi oleh institusi-institusi yang paling dominan di dalam kehidupan seseorang.

Gagasan ini akan mudah dipahami lewat fenomena pembuatan grup/kelompok/komunitas di dalam media sosial yang pada akhirnya mengajak seluruh anggotanya untuk melaksanakan visi dan misi dari pembentukan grup/kelompok/komunitas tersebut yang telah disepakati bersama. 

Komunitas menulis ̶ secara sadar atau tidak/sedikit atau banyak ̶ akan membuat anggotanya termotivasi untuk menulis. Sebagaimana komunitas jual-beli online, kelompok peduli lingkungan, dan grup-grup lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan dan keikutsertaan seseorang dalam komunitas virtual akan menentukan keberlangsungan identitas seseorang.

Pada akhirnya, media sosial bukan hanya sebagai permainan atau pengisi waktu luang semata, tetapi juga memiliki peran sentral dalam membentuk identitas manusia.

Cerita Pencari Dana

Keramaian belum mendominasi kala kami sampai di Pasar Pakem pagi itu. Hanya segelintir pembeli yang berkeliling, meskipun para pedagang telah siap dengan jualan masing-masing. 

Kami memarkirkan motor sebelum menurunkan plastik-plastik berisi dagangan. Meletakkannya di pinggir jalan, dekat trotoar. Syifa, kawan sekelas saya di kampus, menggelar tikar di tempat yang ditunjuk Sari, teman saya yang lain.

Mereka sibuk membongkar plastik. Mengeluarkan isinya. Ada tumpukan pakaian, kerudung, jilbab, dan beberapa pasang sepatu serta tas. Semua disusun rapi di atas tikar. Sekilas pandang, tak tampak bahwa yang mereka jual adalah barang bekas sebab kondisi barang-barang tersebut masih baik. 

Malah ada yang terlihat baru. Syifa melemparkan cengiran saat saya berceletuk begitu. “Iya dong, Ra. Kan, udah kita sortir barang-barangnya. Yang udah nggak layak, pasti nggak dijual.”

Hampir setiap akhir minggu mereka berjualan di Pasar Pakem. Tergantung jumlah barang bekas yang akan dijual sudah memadai atau belum. Mereka berjualan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi mencari dana kepanitiaan acara malam keakraban mahasiswa jurusan kami. 

Barang-barang itu dikumpulkan dari sumbangan sukarela panitia ataupun anak-anak lain yang bersedia. Pengumuman penerimaan sumbangan barang bekas kerap disebar melalui media sosial panitia.

Menjelang pukul 6 pagi, suasana pasar mulai ramai. Kawan-kawan saya disibukkan pembeli. Tawar-menawar harga dan pertanyaan mengenai kondisi barang mewarnai lapak. Terkadang pembeli memberikan penawaran harga yang tak masuk akal. Pakaian yang dipatok seharga 15 ribu atau 20 ribu rupiah diminta jadi 1.000-3.000 rupiah saja. Saya bisa melihat ekspresi teman-teman yang jadi sedikit kesal karenanya.

“Nyakitin banget. Kalau mau nawar jangan segitunya juga, lah.”

Barang jualan perlahan semakin berkurang. Orang-orang datang silih berganti, entah akhirnya membeli atau hanya sampai pada tahap menawar. Seorang wanita berpenampilan sederhana menghampiri lapak kami. Usianya mungkin 50-an. Ia berjongkok dan memilah-milah sejenak, kemudian mengangkat sebuah gamis biru bermotif bunga. “Berapa ini, Mbak?”

Sari menoleh, menghentikan apapun yang dia lakukan sebelumnya untuk menjawab, “Itu 35, Bu.” Kondisi gamis tersebut masih sangat bagus, saya merasa harga yang diajukan Sari terlalu murah. Namun, tampaknya sang (calon) pembeli tidak sependapat dengan saya.

“Ah. Nggak ada uang aku, Mbak. Boleh ya, jadi 5 ribu?”

Koordinator divisi dana usaha makrab itu menghela napas. “Nggak bisa, Bu. Paling mentok turunnya jadi 25,” ujar Sari mencoba tersenyum. Saya meringis sambil menepuk-nepuk pundaknya.

“Aku punyanya ini.” 

Selembar uang 5 ribu diletakkan wanita tersebut bersama dengan kresek hitam yang kami tidak tahu berisi apa. Sebelum teman saya sempat membalas perkataannya, ibu-ibu itu sudah berlalu dari hadapan kami, menghilang di balik kerumunan orang. 

Membawa serta gamis biru bermotif bunga. Teman-teman saya langsung panik. Mendadak ribut, berteriak memanggil wanita tadi agar kembali. Sementara Sari cuma bisa terbengong, jemarinya bergerak membuka kresek hitam.

Saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana, tapi sebagian diri saya ingin sekali tertawa geli tatkala mendapati bahwa isi kresek yang diberikan wanita tadi adalah … gorengan.

***

Kami memutuskan pulang usai sinar matahari kian terik di kulit. Barang dagangan yang belum laku di hari itu, disimpan untuk dijual lagi kemudian hari. Kami lalu menaiki motor, berboncengan, menuju kos seorang teman. Namanya Asta, Indekos Puri Pelangi, begitulah tulisan pada plang di depan bangunan bercat kelabu tersebut. 

Kami masuk ke dalamnya tanpa mengetuk. Sudah jadi kebiasaan di kos ini untuk langsung masuk ke dalam saja jika hendak bertamu, tapi hal ini pastinya tidak berlaku untuk tamu pria.

Begitu membuka pintu depan, kami langsung disambut aroma adonan kue. Asta dan tiga teman lain menyapa kami yang baru datang, menyampaikan bahwa ia sudah hampir selesai memasak. Syifa dan Sari bergegas meletakkan barang-barang sisa dagangan agar bisa lekas membantu. Asta sendiri sedang meniriskan sesuatu.

“Ini churros, Ra.”

Churros, penganan ringan dengan wujud panjang dan ujung berbentuk bintang, tersaji di piring. Akhir-akhir ini kue asal Spanyol itu memang terkenal, wajar bila divisi dana usaha memutuskan berjualan churros.

Galuh mengemas coklat leleh ke dalam plastik minuman kecil. Setelahnya, ia memasukkan empat buah churros ke dalam wadah plastik dan menggesernya ke samping. Syifa yang sudah berada di sebelah Galuh, bertugas memberikan taburan gula halus di atas churros hangat dan merekatkan wadah dengan stapler. Mereka bekerja secara sistematis, meskipun selalu diselingi obrolan-obrolan maupun gosip terkini.

Sari kini sibuk dengan ponselnya. Ketika ditanya, ia mengangkat wajah dari layar ponsel. Tersenyum. “Lagi promosiin churros ke anak-anak angkatan, nih. Posting ke semua media sosialku biar banyak yang liat.”

Biasanya selesai berjualan di Pasar Pakem, mereka memang akan memasak. Tentu saja kalau sempat, kalau sedang tidak banyak tugas. Menu masakannya menyesuaikan hasil voting yang dilakukan. 

Minggu lalu mereka membuat donat kentang, pernah juga gehu atau risoles mayones. Keseluruhannya dibuat sendiri, bukan membeli jadi. Metode berjualannya tidak dijajakan, tetapi menunggu hingga ada order dari pembeli. Makanya tadi Sari sibuk dengan ponsel.

Jika ada order datang, salah satu anak akan langsung bersiap mengantar. Jasa pelayanan mengantar ini gratis, tidak ada nominal yang ditambahkan diam-diam dalam harga penganan. Hari masih menunjukkan pukul 11 ketika order mulai berdatangan.

***

KETIKA kali lain saya berkumpul dengan mereka, orang-orang yang menggawangi divisi dana usaha makrab jurusan, saya kembali diperdengarkan cerita-cerita seputar usaha pendanaan yang mereka lakukan. 

Walaupun sudah tahu dan bahkan menyaksikannya sendiri, saya tetap tertarik menimpali. Penghujung tahun tinggal dua jam lagi sewaktu mereka saling bernostalgia suka duka yang dilalui.

“Inget, nggak, dulu kita pernah jualan donat terus nggak laku karena keras? Padahal udah bikin banyak,” Asta mengujar sambil mengulum senyum.

“Iya, udah repot-repot masak. Koordinator kita sampe pusing ngitung kerugian, hahaha.”

Itu celotehan Syifa.

“Belum lagi semisal ada yang minta anter dan nggak sabaran. Wah … bete, udah. Dipikir nyari letak kosnya gampang apa, ya.”

“Bener! Emangnya kita abang-abang delivery service yang udah biasa nganter-nganter? Haha.”

Kepanitiaan makrab berakhir di tanggal 27 Desember. Divisi dana usaha berhasil mencapai target yang ditetapkan, yakni 15 juta. Kelegaan yang dibalut tawa memenuhi mimik wajah mereka. Terkadang saya merasa ada pula secuil rasa rindu—di wajah maupun dalam nada suara—yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. 

Saya hampir melontarkan tanya, “Kalian kangen saat-saat itu?”, tetapi saya urungkan karena satu per satu dari mereka terlihat bangkit, seiring letupan kembang api memeriahkan langit.

“Yuk, ke sana. Kembang apinya lebih kelihatan daripada di sini!”

Asta beranjak menuruni undakan gazebo restoran tempat kami duduk, tangannya sibuk memperbaiki kemeja yang ia kenakan. Saya hanya menatap teman-teman lain yang menyambut ajakan Asta, tidak turut berdiri. Toh, saya sudah melihat kembang api di sepanjang hidup saya. 

Pesonanya sama saja dengan yang lalu. Mendengarkan kisah mereka jauh lebih menyenangkan bagi saya. Sehingga saat kisahnya selesai, saya jadi lebih ingin tidur daripada menyaksikan malam yang riuh. Maka, saya pun berbaring seraya menyahut, “Aku di sini aja ya, guys!”

***

Tumpak Hatorangan Panggabean: Selamat Jalan, Sobatku

Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung periode 2000-2018 dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 kini telah wafat. Ia menutup usia pada Minggu (28/2) akibat komplikasi yang dideritanya. Lebih dari 18 tahun Artidjo berkecimpung di dunia hukum dan menyelesaikan berbagai berkas perkara. 

Ucapan belasungkawa mengalir dari teman sejawat hingga seluruh masyarakat Indonesia karena telah kehilangan sosok yang menjadi inspirasi dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. 

“Saya sangat bangga dengan beliau yang menjadi panutan bagi kami (red-seluruh anggota KPK) dalam pelaksanaan tugasnya memberantas tindak korupsi,” jelas Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023, pada prosesi pemakaman Artidjo di Universitas Islam Indonesia, Senin (1/3).

Menurut Tumpak, Artidjo adalah sosok yang baik, sederhana, dan pekerja keras. Meskipun dalam waktu dekat Artidjo akan pensiun, tetapi semangatnya yang luar biasa tidak pernah lapuk.

“Dalam sifat-sifatnya, beliau tidak pernah absen kalau gilirannya masuk ke kantor. Tidak ada satu pun Hari Senin beliau alpa,” ujar Tumpak. 

Pada sambutannya tersebut, Tumpak menceritakan pada Sabtu (27/2), Artidjo masih mengucapkan selamat atas keberhasilan kami atas Operasi Tangkap Tangan di Sulawesi Selatan via WhatsApp.Ia merasa kaget ketika mendengar kepergian beliau pada esok harinya. Kemudian, Tumpak mengajak seluruh masyarakat untuk mengikhlaskan Artidjo menuju Sang Khalik. 

“Selamat jalan Bapak Artidjo, sobatku. Kami akan kenang seluruh yang telah Anda berikan kepada kami, khususnya di dalam penegakan hukum yang ada di posisi Anda,” pungkasnya.

Reporter: Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M Rizqy Rosi M

Pribadi Artidjo Alkostar di Benak Firli Bahuri

Himmah Online, Universitas Islam Indonesia – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, berduka atas berpulangnya anggota Dewan Pengawas KPK, Artidjo Alkostar. Beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana dan penuh keberanian.

“Kami segenap jajaran KPK berduka atas berpulangnya Bapak Artidjo Alkostar,” terangnya saat mengisi sambutan sebelum acara pemakaman Artidjo di Gedung Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir pada Senin, (1/3).

Kemudian, Firli mengatakan terdapat empat pribadi dari sosok Artidjo yang perlu diteladani selain dari tegas dalam memberantas korupsi; Pertama, sosok Artidjo menurut Firli adalah orang yang sangat sederhana dan menerima apa adanya serta tidak mencari-cari atau meminta kepada negara.

Kedua, Artidjo memiliki prinsip untuk selalu bersyukur, ikhlas, dan sabar atas apa yang diterima dan yang diberikan oleh Tuhan. Selain itu, Firli mengungkapkan bahwa Artidjo berpesan padanya untuk tetap menjaga integritas.

“Ketiga, Beliau selalu berkata kepada saya, ‘Pak Firli; jaga integritas, tetaplah berani supaya kita bisa melaksanakan tugas’,” paparnya.

Keteladanan keempat menurut Firli yakni semangat Artidjo dalam memberantas korupsi. Firli juga berharap, agar semangat dan karakter Artidjo dapat dijadikan inspirasi dan berperan seperti sosok layaknya Artidjo.

“Kita jadikan apa yang beliau berikan kepada kami jadi inspirasi, semangat untuk kita tetap melakukan pemberantasan korupsi. Jadikan lebih banyak lagi orang yang memiliki semangat dan berkontribusi sebagaimana layaknya Pak Artidjo,” jelasnya.

Reporter: Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M Rizqy Rosi M