Beranda blog Halaman 36

Berbuka di Jogokariyan

Relawan Ramadhan menyusun kotak menu berbuka di dalam Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Relawan Ramadhan menyusun kotak menu berbuka di depan Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Suasana aktivitas jual beli di Kampung Ramadhan Jogokariyan. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Panitia menyediakan handsanitizer di beberapa titik. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Petugas Satgas Covid-19 Kota Yogyakarta memantau penerapan protokol kesehatan di sekitar area Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Ismail (50), koordinator kegiatan buka puasa Masjid Jogokariyan ikut membagikan kotak menu berbuka kepada warga sekitar. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Suasana setelah berbuka puasa di sekitar Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.

Jalanan mulai lengang pada pukul 16.00 WIB. Terdengar sayup-sayup tausiah dari pengeras suara masjid lain tak jauh dari Masjid Jogokariyan, Kampung Jogokariyan, Yogyakarta. 

Sepi bukan berarti kosong. Di dalamnya para relawan Ramadhan, sebutan untuk pengurus masjid dan warga sekitar yang secara sukarela, membantu menyiapkan kotak-kotak nasi untuk berbuka. Mereka menyusunnya dari lantai satu hingga lantai tiga gedung masjid.

“Setiap hari total ada sekitar 2000 kotak. 1000 untuk di dalam masjid, 1000 sisanya untuk masyarakat sekitar,” ujar Ismail, koordinator kegiatan berbuka puasa di Masjid Jogokariyan, Selasa (27/04).

Kegiatan berbagi menu buka puasa diadakan Masjid Jogokariyan sejak tahun 1973. Tidak hanya kegiatan berbagi menu berbuka yang terkenal di kampung tersebut, aneka penjual takjil juga dapat dijumpai dan menambah semarak Ramadhan.

Pukul 17:00 WIB, Jalan Jogokariyan ditutup untuk kendaraan. Pengunjung dan warga sekitar mulai berdatangan untuk berburu takjil atau menempatkan diri di dalam Masjid Jogokariyan. Menggunakan pengeras suara, Ismail bersama rekannya menyerukan ajakan untuk menyambangi area masjid serta mematuhi protokol kesehatan.

Beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang, ceramah dari pengeras suara Masjid Jogokariyan mulai dilantunkan. Para jamaah duduk, mendengarkan di balik kotak menu berbuka masing-masing yang sebelumnya telah disusun Relawan Ramadhan. 

Para pengunjung dan warga yang tidak memasuki masjid juga dapat menikmati sekotak menu berbuka. Tepat pukul 17:30 WIB, relawan Ramadhan mulai membagikan kotak yang disambut antusias oleh pengunjung dan warga sekitar. Dalam hitungan menit, seluruh kotak menu berbuka ludes terbagi.

Pengunjung dan warga menikmati santapan berbuka di dalam masjid maupun pinggir Jalan Jogokariyan. Suasana suka cita berbuka puasa terasa hingga menjelang azan isya.

Narasi: Ika Rahmanita

Reporter: Ika, Alwan, Alief, dan Yustisia

Sejarah Pepera: Menilik Demokrasi Indonesia atas Kemerdekaan Rakyat Papua Barat

Himmah Online — Perbincangan dan konflik terkait masyarakat Irian yang menginginkan kedaulatan dan terlepas dari Indonesia sebenarnya berawal dari liku peristiwa pembebasan Irian Barat pada tahun 1963 silam.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Irian menjadi respon dari pemerintah Indonesia terkait isu beberapa masyarakat Irian yang menginginkan Irian berdaulat, yang kemudian membuat keinginan mereka semakin menggema.

Sejak Perjanjian New York resmi disepakati kedua belah pihak dengan persyaratan diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir tahun 1969, Irian resmi bergabung dengan Indonesia setelah sebelumnya berada di bawah Kerajaan Belanda.

Selain diperingati sebagai Hari Buruh, 1 Mei juga bertepatan dengan Hari Pembebasan Irian Barat sejak 58 tahun silam Irian Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia yang diusahakan selama kurang lebih 20 tahun untuk membebaskan Irian Barat.

Proses pembebasan Irian Barat menurut Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), berlangsung dari tahun 1949 hingga tahun 1969. Selama itu pula, begitu banyak liku dan konflik yang dihadapi masyarakat Irian dan juga Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari Kerajaan Belanda.

Ketegangan antara kedua negara dalam memperebutkan Irian Barat yang berlangsung cukup lama pada akhirnya menarik perhatian Amerika Serikat yang saat itu juga sedang perang antara Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok Timur (Uni Soviet).

Presiden Amerika Serikat saat itu, John F. Kennedy melalui perwakilannya yakni Ellsworth Bunker mengusulkan kepada Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) untuk diadakan pertemuan damai antara Indonesia dengan Belanda dalam rangka merundingkan sengketa Irian Barat, yang kemudian mendapat sebutan sebagai Rencana Bunker.

Menurut penjelasan Rycho Korwa dalam jurnalnya yakni Proses Integrasi Irian Barat ke Dalam NKRI, Belanda mendapat tekanan dari Amerika Serikat sehingga mau menerima usulan Ellsworth Bunker. Kemudian usulan tersebut akhirnya disepakati kedua belah pihak pada 18 Juli 1962.

Meski begitu, Belanda saat itu pun memberi persyaratan sebelum menyetujui usulan Ellsworth Bunker, yakni hak-hak dan jaminan bagi rakyat Irian Barat harus diperhatikan.

New York yang merupakan markas besar PBB saat itu menjadi lokasi diadakannya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda. Tepatnya pada 15 Agustus 1962, perjanjian telah ditandatangani oleh kedua negara yang disaksikan oleh U Thant selaku Sekretaris Jenderal PBB. Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Perjanjian New York atau New York Agreement.

Perjanjian New York memuat kesepakatan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada sebuah badan pemerintahan selama masa peralihan pada 1 Oktober 1962 yakni United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Kemudian UNTEA harus menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, namun dengan ketentuan bahwa Indonesia sebelum akhir tahun 1969 harus sudah melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice di bawah pengawasan PBB untuk rakyat Irian.

Pepera dijadikan salah satu syarat supaya rakyat Irian Barat atau rakyat Papua berkesempatan untuk menentukan nasib mereka sendiri, jika mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri menjadi suatu negara yang berdaulat.

Setelah Perjanjian New York, pembebasan Irian Barat lalu memasuki fase konsolidasi. Ini merupakan upaya Indonesia untuk menguatkan pengaruh dan posisinya di Irian Barat demi menghadapi Pepera.

Pepera yang terlaksana di seluruh bagian Provinsi Irian dan tidak hanya di Irian Barat, dimulai dari Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969 hingga 2 Agustus 1969 di Kota Jayapura.

Pepera berlangsung pada 8 kota di Provinsi Irian yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Panial, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Cendrawasih, dan di Kota Jayapura.

Pelaksanaan Pepera di tahun 1969 dihadiri duta besar Bolivia sebagai utusan PBB yakni Fernando Ortiz-Sanz yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk menyelenggarakan tugas pelaksanaan Pepera di Irian.

Menurut penjelasan Rycho Korwa dalam jurnalnya, Dewan Musyawarah Pepera (DMP) sebagai perwakilan yang dipilih dan diutus oleh pemerintah Indonesia dalam menentukan nasib rakyat Irian pada saat itu berjumlah 1.025 orang dari total jumlah penduduk Irian pada saat itu yang kurang lebih mencapai 815.906 jiwa.

Hasil akhir Pepera melalui DMP saat itu secara lisan menyatakan setuju terhadap usulan untuk bergabung dengan Indonesia tanpa melalui pemungutan suara atau disebut juga dengan cara aklamasi.

Akan tetapi, selama proses Pepera berlangsung saat itu, timbul pula aksi demonstrasi. Begitu juga saat sikap perwakilan rakyat Irian sudah diambil untuk menyetujui usulan untuk bergabung dengan Indonesia.

Aksi demonstrasi saat itu dipimpin oleh beberapa tokoh pejuang Irian. Salah satunya seperti Herman Wayoi, yang sempat dipenjara selama sembilan bulan karena tuntutannya terkait “satu orang satu suara” dalam Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, seperti dilansir pada portal berita Jubi.

Di antara banyak tuntutan terkait Pepera salah satunya jika dikutip dari jurnal Rycho Korwa memang mengenai prinsip pengambilan suara yang tidak berdasarkan satu orang satu suara, yakni setiap orang memberikan suaranya. Nyatanya, Pepera saat itu menggunakan prinsip perwakilan atau utusan yang berdasarkan musyawarah mufakat.

Selain itu, dalam tuntutannya, sebagian rakyat Irian saat itu juga menyatakan pendapat mereka terkait Pepera yang diatur di dalam Perjanjian New York, di mana menurut mereka keputusan tersebut merupakan keputusan yang sewenang-wenang.

Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang memiliki permasalahan dengan Belanda terkait status dan masa depan rakyat Irian tidak sepatutnya menjadi penyelenggara Pepera itu sendiri, melainkan acara tersebut seharusnya diselenggarakan oleh pihak ketiga yang netral dan sebagai penengah.

Meski begitu, hasil dari Pepera kemudian tetap dibawa ke New York untuk dilaporkan di dalam Sidang Umum PBB ke-24. Kemudian, pada 19 November 1969 seluruh hasil dari Pepera pun diterima dalam Sidang Umum PBB.

Sumber referensi:

  1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). (2016). Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949-1969. Jakarta: Direktorat Pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia.
  2. Jubi, Dominggus Mampioper. (2020). Herman Wayoi, Wakil Ketua DPR GR Irian Barat, pimpin demo Pepera 1969. Diakses pada 28 April 2021.
  3. Korwa, Rycho. (2005). Proses integrasi Irian Barat ke dalam NKRI. Jurnal Politika: Pencerahan Politik untuk Demokrasi, 1(2), 1-9.

Editor: Muhammad Prasetyo

Mempertanyakan Perlindungan dan Kesejahteraan bagi Pekerja Rumahan

Himmah Online — Perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja rumahan masih dipertanyakan, khususnya bagi para pekerja perempuan. Selain mengurus rumah tangga, mereka pun menanggung beban sebagai pencari nafkah tambahan. 

Menurut International Labour Organization (ILO); kondisi, hubungan, metode, dan status kerja dari pekerja rumahan mengalami fenomena yang cenderung eksploitatif.

Permasalahan tersebut dibahas pada diskusi bertema “Perempuan Pekerja Rumahan dalam Produksi Rantai Pasokan Global dengan Perspektif ILO dan UNGP” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama dengan Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan melalui Zoom dan live streaming Youtube pada Kamis (1/04).

Acara siang itu diisi oleh tiga narasumber yakni Majda El Muhtaj sebagai Ketua Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan; Juliani dari Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera (SPRS); dan Hawari Hasibuan selaku Manager Advokasi Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA Indonesia). 

Majda menjelaskan perlindungan kepada pekerja rumahan dalam Konvensi ILO Nomor 177 tahun 1996 memiliki karakter khusus dibandingkan terhadap pekerja lainnya. 

Maksud dari ‘memiliki karakter khusus’ dalam konvensi tersebut adalah pihak perusahaan tidak secara langsung memberikan pekerjaan kepada para pekerja rumahan, melainkan pemberian kerja dilakukan melalui kontraktor ataupun perantara.

Relasi pekerja rumahan dengan pemberi kerjanya yang sangat terbatas menyebabkan perlindungan yang didapatkan para pekerja rumahan pun semakin sulit.

“Mungkin juga pekerjanya tidak tahu siapa perusahaan sesungguhnya atau perusahaan prinsipalnya,” tambah Majda.

Kemudian ia menjelaskan bahwa pekerja rumahan pun tidak bisa dilepaskan dari konteks pasar nasional bahkan pasar global karena memberikan kontribusi yang cukup signifikan.

Menurutnya, andil pekerja rumahan pun menjadi penting. Terlebih karena target yang dimiliki suatu perusahaan akhirnya dapat terpenuhi atas jerih payah pekerja rumahan.

Melalui seorang perantara perusahaan, target yang harus diselesaikan pun diberikan kepada pekerja rumahan agar mereka nantinya mendapatkan upah berdasarkan target yang sudah terpenuhi. 

Majda menilai pemberian target tersebut merupakan usaha perusahaan dalam memangkas jumlah biaya produksi agar menjadi lebih murah.

Target yang ditetapkan perusahaan tidak jarang terhitung besar tanpa memikirkan kondisi pekerja rumahan yang minimalis akan fasilitas dari perusahaan tersebut.

Hal tersebut akhirnya mempengaruhi perlindungan para pekerja rumahan yang dapat dikatakan kurang memadai. Sehingga menurutnya, pekerjaan tersebut bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang tidak cukup layak.

“Pekerjaan (pekerja rumahan-red) dengan proteksi yang sangat minimalis tapi produksinya maksimalis,” imbuh Majda.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh pekerja rumahan adalah relasi yang terbangun dengan pemberi kerja tidak berdasarkan kontrak.

“Dan ini yang membuat menjadi sangat invisible, tidak bisa dilihat pekerjaannya. Dan akhirnya proteksinya menjadi minimalis,” sambung Majda.

Meskipun sudah dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan di Bab 4 Undang-Undang Cipta Kerja, namun ini pun belum mencerminkan kebijakan nasional yang pro terhadap perlindungan pekerja rumahan.

“Karena memang sifat dari pekerja rumahan ini sesungguhnya juga masih belum bisa dipahami oleh para pengambil kebijakan kita,” Majda lalu melanjutkan.

Hawari Hasibuan menyampaikan bahwa di beberapa negara lain juga ditemukan keberadaan dari para pekerja rumahan yang kondisinya seperti di Indonesia. Meski menurutnya, dalam segi regulasi di negara lain dapat dikatakan sudah lebih baik. 

Sedangkan di Indonesia, ia melihat negara belum hadir dalam rangka memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama masyarakat marginal seperti pekerja rumahan atau pekerja informal.

“Regulasi yang ada saat ini, baik itu Undang-Undang Ketenagakerjaan, maupun Undang-Undang Cipta Kerja juga semakin membuat perlindungan terhadap pekerja rumahan semakin menjauh,” Hawari menambahkan.

Juliani menjelaskan bahwa pekerja rumahan tidak diberikan tunjangan serta jaminan keselamatan kerja oleh perusahaan. Hanya bahan baku pokok saja yang difasilitasi oleh perusahaan.

“ … kecelakaan kerja kita yang tanggung, tidak ada fasilitas kerja dari perusahaan, hanya bahan baku (pokok). Tidak ada THR, atau BPJS kesehatan, dan (jaminan) kecelakaan kerja itu tidak sama sekali,” tutur Juliani.

Terakhir, Ia berharap kepada pemerintah agar segera mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasi perlindungan serta kesejahteraan pekerja rumahan.

“Agar temen-temen pekerja rumahan … tidak merengek lagi meminta ke pengusahanya agar dapat THR, jaminan sosial, atau jaminan kecelakaan. Itu sama sekali tidak pernah dipedulikan,” pungkasnya.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Larastri Menanti

Penyebaran virus Covid-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hingga Selasa, 26 Februari 2021 telah tercatat lebih dari 1 juta kasus Covid-19. Jumlah total pasien sembuh sebanyak 820.356 orang, dan pasien meninggal 28.468 orang. Hal ini membuat Indonesia berada di posisi 20 besar jumlah terbanyak kasus Covid-19 di dunia.

Sebuah berita yang dimuat di lini masa membuat Larastri terdiam dalam duduknya di depan layar laptop yang menyinari wajah dan dua bola matanya yang bening. Pikirannya melayang memenuhi langit-langit kamar: kacau, takut, gelisah dan khawatir akan kondisi virus corona yang kian menyebar secara masif di negeri ini.

Kekalutan pikirannya tak serta merta karena ingin menggantikan bapak presiden yang memikirkan kesehatan bangsa dan perekonomian negara. Berpikir perihal nasib bangsa merupakan sebuah klise belaka, padahal Larastri dan keluarga dibuat tak berdaya dalam menghadapi pandemi ini.

Larastri merupakan mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jogja. Karena di masa pandemi seperti ini, ia mengikuti kuliah lewat daring saja. Ibunya seorang pedagang makanan di salah satu sudut Kota Jogja. Karena pandemi, warungnya kini hampir tutup karena tak bisa membayar sewa kios. Sebelumnya, kondisi keuangan mereka dapat dikatakan makmur. Karena warung ibunya begitu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Saat ini, kondisi keuangan keluarganya sedang tidak karuan.

Semuanya kian kalut, Larastri menimbang banyak hal dan memutuskan meninggalkan Kota Jogja dan mencoba mencari pekerjaan sampingan. Kota Semarang, Larastri memutuskan mendaftarkan diri pada sebuah perusahaan di kota tersebut untuk mendapatkan pekerjaan sampingan yang dapat ia lakukan di sela waktu kuliah. Di sana ia tak perlu memikirkan ongkos untuk menyewa kamar indekos, karena ia bisa tinggal bersama bibinya. 

Keputusannya sudah bulat, ia harus membantu ibunya. Larastri paham betul bagaimana jerih payah ibunya yang menjadi seorang single parent sejak ia duduk sekolah menengah pertama. Selama ini ibunya tak pernah bercerita apapun kepadanya, tapi ia paham bahwa selama pandemi ini ibunya tengah memendam rasa bingung menutup dan mencari hutang untuk membiayai Larastri yang tengah kuliah dan dua adiknya yang sedang duduk di bangku SMP dan SMA.

Pada pukul 06.30 Larastri tiba di Stasiun Lempuyangan diantar oleh pamannya menggunakan motor. Setelah mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan pada pamannya, ponsel yang tenang di dalam saku bergetar. Getaran ponsel menyudahi lambaian tangan Larastri kepada pamannya yang telah beranjak dari stasiun. Ketika diambil dan dibuka layar ponselnya, terlihat sebuah foto wanita paruh baya tengah tersenyum. 

“Halo mbak? Mbak Larastri sudah di stasiun?” tanya ibunya memastikan.

“Iya bu, ini aku sudah di Stasiun.”

“Mbak Larastri beneran mau berangkat ke Semarang untuk kerja?”

Hening, pertanyaan dari ibunya membungkam mulutnya.

Larastri melayang bersama udara yang sesak dengan air mata yang menggantung di ujung mata.

“Mbak?” pertanyaan ibunya bernada rendah lalu menghilang.

Larastri mematung di ujung telepon. Ia membiarkan suasana riuh Stasiun Lempuyangan menjawab pertanyaan yang tertinggal di teleponnya. Suara pengumuman keberangkatan bersahutan dengan klakson kereta yang membelai telinga ibunya.

“Mbak, kalo memang mau kerja untuk membantu ibu, ibu mau bilang terima kasih banyak. Saat ini memang keadaannya serba susah. Dagangan gak laku, barang-barang berharga di rumah juga sudah banyak yang di gadai untuk biaya kamu kuliah dan makan sehari-hari. Maafin ibu kalo bikin mbak Larastri gak nyaman, harus ikut mikirin masalah yang seharusnya gak kamu pikirin. Tapi ibu mau pesen satu hal, kalo memang ga dapet kerjaan, jangan di paksa, pulang saja. Ibu gak tega kalo lihat kamu begini, tugas utamamu seharusnya kuliah, bukan banting tulang. Maafin ibu ya mbak. Terima kasih banyak. Jaga kesehatanmu baik-baik ya.”

Larastri masih diam membisu, sedang air matanya perlahan jatuh. Ia mengakhiri telepon dari ibunya tanpa menjawab satu perkataan pun, semua itu karena ia tak tahan dan tak tau harus mengatakan apa kepada ibunya. Pikirannya kembali melayang dengan tatapan mata kosong yang jatuh pada koper berwarna merah muda yang ia bawa. Lalu ia dekap koper itu dengan air mata yang mengucur deras membelah pipinya.

Lalu lalang dan langkah orang mengejar waktu untuk segera menaiki kereta. Peluk hangat dan senyum bahagia tergambar di sudut stasiun di depan pintu keluar. Suara peluit kepala stasiun berderit di pinggir rel untuk memberangkatkan kereta selanjutnya. Sedang pengumuman keberangkatan kereta Joglosemarkerto sudah terdengar menggema di sudut-sudut stasiun.

Larastri mengangkat mukanya dari koper merah muda, mukanya dibasahi oleh air mata. Lalu ia mengangkat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam, waktu menunjukkan pukul 06.45, sepuluh menit lagi kereta Joglosemarkerto yang akan membawanya ke kota Semarang akan segera berangkat. Ia merapikan kembali rambutnya, lalu berdiri dan berjalan tanpa semangat menuju petugas check in tiket kereta. Sebelum ia sampai di hadapan petugas, ia berusaha mengusap air matanya agar tak tampak telah menangis.

Ia sodorkan tiket kereta dan kartu tanda penduduk, lalu petugas memeriksa dan memberikan kembali tiket serta kartu tanda penduduknya sambil melempar senyum kecil. Larastri juga membalas senyum, namun senyumnya lebih kecil. Dengan protokol kesehatan ketat, ia masuk stasiun dan berjalan menuju peron untuk menunggu Kereta Joglosemarkerto.

“Mau naik Kereta Joglosemarkerto?” tanya seorang pramugari kereta api dengan senyum yang merekah.

“Iya. Gerbong lima ada dimana?”

“Boleh saya lihat tiketnya?”

Larastri menyodorkan tiket, lalu ia mengikuti sang pramugari kereta api dari belakang untuk menuju gerbong dan tempat duduk yang telah dipesan. Sesampainya di gerbong dan bangku yang dipesan, ia dipersilahkan duduk oleh pramugari. Larastri mengucapkan terima kasih dan melempar senyum kepada sang pramugari.

Klakson kereta telah berteriak begitu kencang, yang menandakan ia akan bergerak menuju kota Semarang. Larastri tak berekspresi, ia hanya mematung dan menebar pandangannya pada jendela kereta.

Seiring cepatnya kereta berjalan, ia melihat sekelompok anak muda bermain layangan begitu riangnya. Bahkan saat kereta melambat dan melewati pemukiman padat, ia bisa melihat begitu jelas pemandangan ibu-ibu yang tengah menggendong bayi dan tertawa-tawa saat berbincang dengan tetangganya. Sesekali Larastri tersenyum ketika melihat tawa riang sekelompok pemuda yang bermain layangan maupun ibu-ibu yang menggendong anaknya di pinggir rel. Ia bungah bila melihat orang-orang tertawa lepas meletakkan segala masalahnya.

Ponsel Larastri kembali bergetar, ia mengambil ponsel tersebut dari saku jaketnya. Dua pesan elektronik telah ia terima. Setelah ia baca, ada dua berita yang ia terima di saat bersamaan. Berita bahagia dan berita menyedihkan.

Sebuah berita bahagia ia terima dari sebuah perusahaan di Semarang yang menerimanya untuk bekerja mulai pekan depan. Sedang sebuah berita sedihnya adalah tenggat pembayaran SPP menyisakan waktu satu minggu lagi. Ia bingung tak karuan karena tak memiliki uang untuk membayar SPP tersebut. Larastri merogoh saku celananya untuk mengambil dompet. Dibuka dompetnya, isinya tersisa hanya dua ratus ribu rupiah saja. Nominal yang jauh dari nominal tagihan SPP nya.

Tiga juta enam ratus ribu rupiah, merupakan nominal yang harus ia bayarkan ke kampus untuk mengikuti ujian akhir semester. Sedang uang yang ia miliki saat ini hanya dua ratus ribu rupiah. Ia sudah berusaha untuk mendapatkan uang dengan cara mencari pekerjaan sampingan, namun gaji yang akan ia dapat dari pekerjaan yang baru didapatnya itu baru bulan depan. Sedang tenggat pembayaran tagihan sisa satu minggu lagi. Larastri bingung, ia tak tau harus bagaimana. Yang jelas, tak mungkin ia mengatakan ini kepada ibunya.

Setelah menaiki kereta selama satu setengah jam dan belum mendapatkan jalan keluar perihal pembayaran SPP, kini sebuah pesan masuk ke ponselnya. Tertera nama diponselnya ‘Ibu’

Mbak, ibu mau ngabarin aja. Barusan satgas covid19 menertibkan warung, lalu mereka melakukan tes ke semua orang yang ada di warung, termasuk ibu. Hasil tes punya ibu reaktif. Sekarang ibu dibawa ke rumah sakit rujukan untuk isolasi. Kamu nanti hati-hati ya, kalo sudah sampai di Semarang coba tes lagi. Masalah uang nanti pinjem bibi, biar ibu yang bilang. Untuk SPP, ibu gak bisa janji ya mbak. Coba tanyain ke kampus, apa boleh minta keringanan?

Air mata Larastri pecah saat itu juga. Ia begitu mengkhawatirkan kondisi ibu juga adik-adiknya. Pikirannya semakin tak karuan. Kata tanya bagaimana, siapa, dan darimana semakin jelas melayang memenuhi kepala. Hal yang jelas membuntuti kata tanya itu adalah uang untuk pembayaran SPP yang semakin sulit untuk didapatkan.

Larastri berusaha untuk meminta keringanan kepada kampusnya. Ia tak dapat membayar SPP karena suatu kondisi yang tak diinginkan. Ia berusaha mencari nomor dosen pembimbing mahasiswa untuk arahan atau solusi atas masalahnya. Akan tetapi sesaat sebelum ia menemukan nomor telepon dosen pembimbingnya, ia mendapatkan sebuah surat elektronik dari kampusnya.

Perlu diketahui bahwa tidak ada dispensasi waktu(perpanjangan) pembayaran tagihan SPP. Apabila saudara mengalami kesulitan pembayaran, maka saudara dapat mengajukan cuti akademik secara resmi. Informasi dan pengajuan cuti akademik melalui direktorat layanan akademik.

Membaca surat tersebut air matanya mengalir begitu deras. Ia marah pada keadaan. Ia murka pada kampusnya yang tak memahami situasi yang dihadapi saat ini. Dalam hatinya mengatakan bahwa semua sia-sia. Larastri tak tau harus bercerita kepada siapa. Ia hanya menuliskan kekecewaannya pada sosial media.

“Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan lagi tujuan bersama. Apakah akses pendidikan hanya boleh dimiliki oleh orang yang memiliki uang saja?”

YLBHI Tuntut Kapolri dan Presiden Usut Kekerasan Pada Aksi di Desa Wadas

YLBHI menuntut Kapolri dan Presiden untuk mengusut pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada warga Desa Wadas, LBH Yogyakarta, serta jaringan solidaritas pada aksi penolakan pengukuran dan pematokan lahan Desa Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener, Jum’at (23/04).   

“Para polisi yang hadir di Desa Wadas terindikasi melakukan tindak pidana,” ujar Asfinawati selaku Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada saat Konferensi Pers di kanal Zoom Meeting pada Sabtu (24/04).

Asfinawati memaparkan, pihak kepolisian telah melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, menendang, hingga menjambak rambut. Hal ini dibuktikan dengan dokumentasi yang beredar seperti video dan foto kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

“Jelas sekali kami melihat foto-foto luka yang dialami oleh Julian (Red-Staf LBH Yogyakarta), itu adalah kekerasan. Dan kalau masyarakat biasa memukul saja meja bisa masuk penjara, maka seharusnya demi persamaan di depan hukum semua orang di republik ini meskipun dia menggunakan seragam coklat (Red-polisi), dia harus ikut diperiksa secara pidana,” tegasnya.

Selain itu, penangkapan dua anggota tim advokasi LBH Yogyakarta oleh pihak kepolisian setempat tidak dibenarkan. Pasalnya, kedua anggota tersebut merupakan advokat yang dilindungi oleh undang-undang.

“Di dalam Pasal 11 (Red-UU No 16 Tahun 2011), tidak hanya dia dilindungi ketika dia di dalam pengadilan, tapi juga diluar pengadilan seperti ketika dia berada di Desa Wadas. Karena ada MOU yang dibuat oleh PERADI dan Kepolisian. Polisi tidak bisa langsung mengambil, memeriksa advokat tapi harus melalui Profesi Advokat,” jelas Asfinawati.

“Di dalam Undang-Undang Advokat juga memiliki penafsiran yang memberikan imunitas terhadap advokat,” imbuhnya.

Pada saat proses pemeriksaan, para pihak yang ditangkap kepolisian sempat melakukan pemeriksaan urin. pemeriksaan tersebut dinilai tidak memiliki landasan hukum seperti yang tertera dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Tes urin seharusnya dilakukan atas dua alat bukti yang cukup menurut putusan MK. Jadi bukan hanya sekedar bukti dikepala polisi, tapi harus ada dua alat bukti,” jelas Asfinawati.

Terakhir, adanya upaya menghalangi Bantuan Hukum yang dialami oleh staf LBH Yogyakarta seperti penangkapan dan kriminalisasi terhadap staf LBH Yogyakarta menjadi catatan akhir YLBHI atas rentetan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian. 

“Menghalang-halangi bantuan hukum ada di kekerasan, penggunaan wewenang penyidikan yang sewenang-wenang. Jadi, minimal yang kami tengarai ada lima pelanggaran hukum yang dilakukan aparat pada saat itu,” pungkasnya.

Asfinawati menjelaskan bahwa polisi telah gagal melaksanakan kewajiban internal sebagaimana tertera dalam peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Peraturan tersebut menegaskan bahwa Polri wajib untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

“Kalaupun aparat yang saat itu hadir tidak tau ada perkap (Red-Peraturan Kapolri) ini, itu bukan urusan kami, itu urusan Kapolri dan Kapolda kenapa anak buahnya tidak tahu? Dari mana kami bisa mengatakan bahwa anak buahnya tidak tahu? Ya dari lapangan itu,” tutur Asfinawati.

Melihat rentetan panjang pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para massa aksi, Asfinawati menuntut kepada pihak kepolisian dan presiden untuk segera menyidik anggotanya yang terindikasi melakukan tindak pidana kekerasan. 

“Ini bukan delik aduan, jadi tidak perlu menunggu laporan dari korban. Kepolisian harus segera menjalankan ini (Red-penyidikan). Dan kalau tidak dijalankan, maka itu adalah bukti yang lain lagi bahwa ada jalur komando, ada pembiaran oleh atasan yang melakukan. Dan artinya kepolisian secara institusi akan terlibat menjadi pelaku,” terangnya.

Terakhir, Asfinawati mengatakan ketika Kapolri tidak menjalankan tindakan yang tegas serta tidak mencegah berulangnya kasus ini, maka presiden juga ikut bertanggung jawab. Tak lupa, Asfinawati beserta pihaknya akan mempertimbangkan untuk melayangkan gugatan terhadap Presiden dan Kapolri jika setelah diberikan waktu tidak ada Tindakan tegas.

“Jika dalam waktu yang cukup Kapolri dan Presiden tidak ada tindakan yang berarti dalam kasus ini, maka kami akan mempertimbangkan untuk menggugat Kapolri dan juga Presiden, karena Presiden memiliki wewenang langsung kepada Kapolri. Kami juga akan mengadukan peristiwa ini ke mekanisme HAM PBB,” pungkasnya.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Menolak Pengukuran dan Pematokan Lahan Desa Wadas, Sebelas Orang Ditangkap

Himmah Online, Purworejo – Dua anggota Tim Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ditangkap ketika melakukan upaya pendampingan terhadap warga yang sedang melakukan aksi penolakan pengukuran dan pematokan untuk pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo pada Jum’at (23/04). Selain 2 orang tersebut, terdapat 6 warga Desa Wadas serta 3 anggota jaringan solidaritas yang ikut ditangkap saat melakukan aksi.

Hal tersebut disampaikan oleh Yogi selaku Direktur LBH Yogyakarta yang juga turut dihadiri oleh Asfinawati selaku Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui Konferensi Pers pada Sabtu (24/04) pukul 13.00 WIB via aplikasi Zoom.

Yogi menjelaskan bagaimana kronologi penangkapan terhadap dua anggota tim advokasi. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh polisi dalam peristiwa penangkapan tersebut sangat tidak manusiawi.

“Menjelang pukul 12 siang kemarin, salah satu satu staf LBH Yogyakarta bernama Julian selaku Kepala Divisi Advokasi, dikerubungi oleh polisi dan ditarik paksa dengan cara yang menurut kami tidak manusiawi seperti rambut dijambak, kemudian dipukul menggunakan pentungan, lalu bagian belakang badannya ditendang oleh polisi yang hingga kemudian 11 orang ditangkap dan 2 orang (diantaranya) berasal dari staf LBH Yogyakarta,” tuturnya.

Yogi menambahkan, LBH Yogyakarta tiba di Polres Purworejo pada pukul 16.00 WIB untuk menemui anggotanya yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Ketika tiba di lokasi, pihak LBH tidak dapat langsung menemui Julian yang tertangkap karena sedang dilakukannya tahap identifikasi. Baru setelah waktu berbuka puasa, mereka diizinkan untuk bertemu.

“Kami tidak bisa langsung bertemu karena sedang di rekam sidik jarinya, katanya bisa bertemu setelah berbuka puasa,” jelas Yogi.

Yogi pun sempat mempertanyakan perihal pengidentifikasian tersebut; mulai dari foto, rekam sidik jari, hingga tes urin. Hal tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mengidentifikasi 11 orang yang ditangkap saat di desa wadas.

“Ini diidentifikasi kaitannya dengan apa? Sedangkan setahu kami tidak ada tindak pidana yang dilakukan oleh mereka,” tegasnya.

Setibanya di dalam polres, Yogi dihampiri oleh beberapa polisi untuk diminta keterangan mengenai kronologi aksi dari orang-orang yang ditangkap. Pihak LBH Yogyakarta juga sudah menyampaikan keberatan atas pemeriksaan tersebut terhadap anggotanya namun tidak diindahkan oleh polisi.

“Kami sudah mengajukan keberatan atas proses tersebut karena staf LBH ini. Ketika berada di wadas sedang menjalankan tugas profesinya sebagai advokat, yang mana keberadaannya mereka itu dilindungi oleh undang-undang advokat dan undang undang bantuan hukum. Kami sudah sampaikan hal itu dan juga bagaimana mekanisme pemeriksaan terhadap advokat, tapi tidak digubris oleh polisi,” pungkasnya.

Pada saat proses pembuatan BAP, polisi melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat subyektif kepada 11 orang yang ditangkap. Yogi menilai bahwa apa yang ditanyakan oleh polisi dalam proses tersebut tidak tepat.

“Pertanyaan yang dimunculkan itu cenderung pertanyaan yang meminta opini, yang saya kira itu tidak tepat karena kalau berbicara soal pemeriksaan pidana. Itukan yang dicari faktanya, soal kebenaran materialnya,” jelas Yogi.

Kemudian, tiga anggota jaringan solidaritas yang tertangkap pun mendapatkan pertanyaan yang dinilai mencederai Pancasila tentang Persatuan Indonesia dan konstitusi oleh Kapolres Purworejo, AKBP Rizal.

“Kemudian jaringan juga ditanyakan ‘Asalnya dari mana? Kepentingannya apa kesana? Kenapa kok sampe ke Wadas? Padahal bukan warga Wadas’. Jadi semacam ada sentimen kedaerahan, karena kamu bukan warga sini maka kamu gak (Red-tidak) punya kepentingan disini,” pungkas Yogi.

Pada Sabtu (24/04) pukul 00.30 WIB, diketahui pemeriksaan terhadap 11 orang yang ditangkap sudah selesai dan pada pukul 01.00 dini hari, barulah semua yang ditangkap akhirnya dibebaskan.

Menanggapi apa yang dilakukan oleh AKBP Rizal, YLBHI meminta agar Kapolres Purworejo segera dicopot jabatannya, karena apa yang dilakukannya telah mengisyaratkan bahwa Kapolres Purworejo tidak mengerti Pancasila.

“Kalau kita cari jejak digitalnya, Pak Kapolres ini juga kan bukan berasal dari Purworejo, tapi kelahiran Jambi. Dia sendiri lupa dengan dirinya yang mana bukan warga asli purworejo juga. Susah-susah Sumpah Pemuda dibangun pada 28 Oktober itu untuk menghentikan pernyataan pak Kapolres yang seperti ini,” ujar Asfinawati.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

22 April: Lahirnya Hari Bumi Sedunia

0

51 tahun yang lalu, gerakan memperingati Hari Bumi lahir di Amerika. Hal ini merupakan respon atas kondisi lingkungan Amerika yang kian mengkhawatirkan oleh industri yang mengeluarkan asap dan lumpur, penggunaan pestisida berlebih untuk pertanian, serta masyarakat yang dijejali gas bertimbal oleh kendaraan mobil.

Peringatan Hari Bumi digagas oleh Senator Gaylord Nelson, seorang senator junior kelahiran 4 Juni 1916 dari Wisconsin. Terpilih menjadi Senat Amerika Serikat pada tahun 1962, Nelson bertekad untuk meyakinkan pemerintah federal bahwa planet yang manusia huni saat ini—terutama Amerika—dalam keadaan bahaya.

Pada mulanya, masyarakat Amerika tidak menaruh perhatian yang lebih terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Dunia saat itu sedang menikmati masa kebebasan dan kemajuan ekonomi seusai Perang Dunia II. 

Amerika sendiri sedang merayakan perkembangan kapitalisme, akibatnya pertanian dan industri digenjot untuk dapat mewujudkan hasrat Amerika menjadi negara adidaya. Namun, pada awal 1960 orang Amerika mulai sadar akan efek polusi terhadap lingkungan.

Kesadaran tersebut semakin meningkat setelah Rachel Carson, perempuan yang menggeluti ilmu biologi kelautan, menerbitkan buku berjudul “Silent Spring” pada tahun 1962.

Buku yang salah satunya berisi tentang hasil penelitian terkait dampak dari obat kimia berlebih untuk pertanian, perikanan, dan peternakan terhadap lingkungan tersebut terjual lebih dari 500.000 eksemplar di 24 negara.

Dengan itu, “Silent Spring” mampu meningkatkan serta menyebarluaskan kesadaran masyarakat Amerika terhadap organisme hidup, lingkungan, dan hubungan yang tak terpisahkan antara polusi dan kesehatan manusia.

Nelson sendiri telah lama mengkhawatirkan lingkungan yang memburuk di Amerika. Seperti dikutip dari History, sejak 1963, Nelson menemani Presiden John. F Kennedy dalam tur pidato keliling Amerika untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan.

Pada Januari 1969, Nelson dan banyak orang lainnya menyaksikan kerusakan akibat tumpahan minyak besar-besaran di Santa Barbara, California. 

Selain itu, limbah kimia yang dilepaskan ke Sungai Cuyahoga Cleveland, Ohio, menyebabkan kebakaran. Peristiwa tersebut menjadi simbol bagaimana polusi industri merusak sumber daya alam Amerika.

Nelson yang dianggap sebagai salah satu pemimpin gerakan lingkungan modern, mencetuskan ide Hari Bumi setelah terinspirasi oleh pengajaran anti-Perang Vietnam yang berlangsung di kampus-kampus Amerika.

Dengan meningkatkan kesadaran publik tentang polusi, Nelson berharap penyebab kerusakan lingkungan dapat menjadi sorotan nasional. 

Ia membayangkan, demonstrasi lingkungan akar rumput bisa terjadi dengan berskala besar. Hal itu bertujuan untuk mengguncang kemapanan politik dan memaksakan masalah lingkungan ke dalam agenda nasional.

Nelson mengumumkan gagasan untuk mengajar tentang lingkungan di kampus-kampus kepada media nasional, dan membujuk Pete McCloskey, seorang Anggota Kongres Partai Republik yang berpikiran konservasi untuk menjadi wakil ketua dari rencananya tersebut.

Kemudian Nelson dan Pete merekrut Denis Hayes, seorang aktivis muda yang kebetulan mantan presiden mahasiswa di Universitas Stanford untuk mengatur pengajaran di kampus-kampus Amerika. 

Mereka memilih 22 April sebagai Hari Bumi dikarenakan saat itu merupakan hari kerja antara libur musim semi dan ujian akhir sehingga dapat memaksimalkan partisipasi kalangan pelajar.

Hayes kemudian membangun 85 staf nasional untuk mempromosikan acara peringatan Hari Bumi di seluruh Amerika. Upaya tersebut segera diperluas untuk mencakup berbagai organisasi, komunitas, kelompok agama, dan lain sebagainya.

Hasilnya, Hari Bumi pertama mampu menginspirasi 20 juta orang Amerika yang saat itu merupakan 10% dari total populasi untuk turun ke jalan, taman, dan auditorium untuk mendemonstrasikan kondisi lingkungan Amerika.

Kelompok-kelompok yang sebelumnya telah berjuang secara individu untuk melawan tumpahan minyak, pabrik dan pembangkit listrik yang mencemari lingkungan, pembuangan racun, pestisida, hilangnya hutan belantara dan kepunahan satwa liar bersatu pada peringatan Hari Bumi tahun 1970.

Ribuan perguruan tinggi dan universitas mengorganisir protes terhadap kerusakan lingkungan serta demonstrasi besar-besaran dari pantai ke pantai di kota besar, kota kecil, serta komunitas.

Pada akhirnya, Hari Bumi 1970 mencapai keselarasan politik yang langka. Meminta dukungan dari Partai Republik dan Partai Demokrat, kaya dan miskin, penduduk kota dan petani, hingga pemimpin bisnis dan buruh.

Secara perlahan buah dari Hari Bumi pertama mulai tumbuh. Mereka berhasil mendesak pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat dan disahkannya undang-undang lingkungan yang sejenis pada Desember 1970, seperti Undang-Undang Pendidikan Lingkungan Nasional, Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Undang-Undang Udara Bersih.

Pada tahun 1972, Kongres mengesahkan Undang-Undang Air Bersih, dengan tujuan membatasi polutan di sungai dan danau. 

Setahun setelah itu, Kongres mengesahkan Undang-Undang Spesies Terancam Punah, Undang-Undang Insektisida, Fungisida, dan Rodentisida Federal. Undang-undang ini berhasil melindungi jutaan masyarakat dari penyakit dan kematian, serta melindungi ratusan spesies dari kepunahan.

Peringatan Hari Bumi kemudian menjadi besar dan mendunia pada tahun 1990. Berdasarkan catatan Earth Day Network (EDN), pada tahun tersebut sebanyak 200 juta orang dari 141 negara turut berpartisipasi dalam peringatan Hari Bumi.

Pada peringatan Hari Bumi 2021, EDN yang merupakan organisasi nirlaba yang mengoordinasi gerakan Hari Bumi, mengangkat tema “Restore Our Earth”. Oleh EDN peringatan Hari Bumi 2021 digelar selama 3 hari, yakni dari tanggal 20 hingga 22 April 2021.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Menulis Butuh Konsistensi

Suatu hari, seorang teman curhat perihal dunia kepenulisan melalui inbox. Jadi ceritanya, ada teman saya yang ingin bisa menulis, tapi ia merasa kesulitan. Ia mengutarakan perihal rasa berat saat memulai menulis, khawatir nanti tidak mood dan akhirnya mandek (berhenti). Teman saya lantas bertanya, sebenarnya tips paling dasar agar konsisten menulis bahkan sampai bisa bikin buku itu gimana

Bicara tentang dunia kepenulisan, saya rasa setiap orang (penulis) yang benar-benar menekuninya memiliki jawaban dan pengalaman yang beragam. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, memang cukup berat untuk mengawali ‘dunia baru’ yang sebelumnya belum pernah kita tekuni. Saya tentu sangat maklum ketika teman saya ingin bisa menulis tapi ia merasa kesulitan dalam memulainya. 

Sebenarnya kesulitan dalam memulai menulis itu dapat segera diatasi bila kita memang “benar-benar serius” ingin mendalami dunia kepenulisan. Saya sengaja menggarisbawahi kalimat “benar-benar serius” karena ada sebagian orang yang hanya latah atau sekadar iseng ingin bisa menulis saat melihat tulisan-tulisan orang lain berhasil menembus media massa atau terbit dalam sebuah buku. Sayangnya, mereka hanya sekadar merasa “ingin” tapi tak berusaha merealisasikan keinginannya tersebut. Maka tak heran bila muncul kalimat seperti ini, “aku ingin bisa nulis kayak kamu, tapi aku bingung gimana cara memulainya”. Sebenarnya, bila kita benar-benar ingin bisa menulis, kiatnya cukup mudah dan simpel, kok

Pertama, kita harus memiliki kebiasaan membaca. Karena yang namanya menulis dan membaca itu satu paket; tak bisa dipisahkan. Membaca kitab suci, beragam jenis buku, majalah, koran, tabloid, dan seterusnya, merupakan hal yang mestinya dijadikan kebiasaan. Dari berbagai bacaan tersebut kita mendapatkan banyak informasi sebagai sumber inspirasi dalam menulis. Pelajari juga gaya menulis para penulis dalam meramu tulisan-tulisannya. Hal ini penting, sebagai bekal agar kita bisa memiliki gaya tersendiri dalam membuat tulisan.

Kedua, kenali jenis tulisan yang kita sukai. Biasanya, setiap penulis memiliki minat atau kecenderungan berbeda. Ada penulis yang cenderung menyukai tulisan jenis fiksi (misalnya cerpen, novel, dan puisi). Ada juga yang lebih menyukai tulisan nonfiksi (misalnya opini, esai, resensi buku, dll). Bahkan ada juga yang cenderung keduanya, menyukai fiksi dan nonfiksi. Kendati memiliki ragam kecenderungan tulisan, biasanya tetap ada yang menjadi prioritas. 

Saya misalnya, memiliki kecenderungan beragam terhadap jenis-jenis tulisan. Meski saya kerap menulis cerpen, opini, kisah humor, hingga resensi buku, tapi sejujurnya saya lebih cenderung menyukai tulisan jenis fiksi (cerita pendek/cerpen). Nah, ketika telah menemukan apa yang menjadi kencederungan kita, selanjutnya yang harus dilakukan ialah berusaha memperbanyak membaca cerpen-cerpen yang banyak termuat di media massa (cetak maupun online) dan juga buku-buku kumpulan cerpen yang banyak dijual di toko-toko buku, atau bisa juga pinjam ke perpustakaan. 

Pengalaman saya dulu juga seperti itu. Memperbanyak membaca cerpen-cerpen di berbagai media massa dan buku-buku. Biasanya kita akan dengan mudah menemukan sumber ide dari bacaan tersebut. Setelah menemukan ide (tema) tulisan, saya pun mulai praktik menulis. Bisa dikatakan, saya belajar menulis secara autodidaktik. 

Perihal teori menulis cerpen, saya mempelajarinya sambil lalu, baik itu melalui buku-buku tentang teori menulis maupun dengan cara sering browsing; menjelajahi blog atau laman para penulis yang membicarakan tentang teori menulis. Kesimpulannya, bila kita ingin menulis dan bingung cara memulainya, coba lakukan dua hal yang sudah saya praktikkan tersebut.     

Berat dan Nggak Mood

Perihal rasa berat dan nggak mood yang dialami teman saya yang ingin bisa menulis, kemungkinan besar karena dilatarbelakangi dua faktor. Pertama, dia masih ragu alias belum merasa mantap menekuni dunia kepenulisan. Kedua, dia belum memiliki motivasi atau alasan-alasan mendasar yang membuatnya tertarik menekuni dunia kepenulisan. Saya menulis untuk apa? Ingin menambah penghasilan atau sekadar menumpahkan gagasan? Atau karena hal-hal lainnya? Oleh karenanya, sangat penting memantapkan hati terlebih dahulu ketika ingin menekuni dunia kepenulisan. 

Coba sekarang tanyakan ke diri sendiri; apa saya benar-benar serius ingin menekuni dunia kepenulisan, atau saya hanya sekadar “ingin” bisa menulis saat melihat karya tulis teman-teman dimuat media massa atau terbit dalam bentuk buku? Bila kita benar-benar serius ingin bisa menulis, saya yakin akan terbentang jalan yang lebar untuk menuju ke sana. Karena orang yang serius, pasti akan berusaha melakukan upaya-upaya agar apa yang diinginkan bisa tercapai. Namun, bila kita hanya sekadar ‘ingin’ bisa menulis seperti teman-teman, maka kita akan dihadapkan pada kebingungan dalam memulai menulis.

Perihal ‘nggak mood’ atau tiba-tiba mandek saat sedang menulis, biasanya karena kita kurang menguasai tema yang ditulis. Oleh karenanya, kuasai terlebih dahulu tema-tema yang akan ditulis, cari sumber referensinya, agar kita tidak mudah berhenti di tengah jalan saat sedang menulis. Selanjutnya, untuk menjaga mood saat menulis atau menghadapi rasa bosan yang tiba-tiba melanda, kita bisa melakukan selingan aktivitas. Misalnya, berhenti sejenak. Luangkan waktu untuk jalan-jalan ke tempat wisata, berkebun, dan hal-hal positif lainnya yang saya yakin akan menjadi semacam sumber energi dan inspirasi bagi tulisan kita selanjutnya. Membaca buku-buku motivasi atau biografi orang-orang sukses juga dapat dijadikan sebagai pilihan untuk memompa semangat kita dalam menulis.

Konsistensi dalam Menulis

Menulis itu sama dengan pekerjaan lainnya yang membutuhkan konsistensi dalam menjalaninya. Konsistensi, bila merujuk KBBI Online ialah ketetapan dan kemantapan (dalam bertindak). Jadi, konsistensi dalam menulis dapat dimaknai suatu kemantapan menekuni dunia kepenulisan yang ditandai dengan rajin melakukan praktik menulis apa pun kondisinya. Misalnya, setiap hari praktik menulis satu halaman, atau menulis satu judul tulisan. Begitu seterusnya.

Selanjutnya, tulisan-tulisan yang telah dibuat dan telah diedit, kita coba kirim ke media massa. Atau bila tulisan tersebut berupa buku, kita coba tawarkan ke penerbit. Jangan lupa, sebelum mengirim tulisan ke media massa atau penerbit, kita pelajari dulu karakter media dan penerbitnya. Caranya dengan memperbanyak membaca tulisan-tulisan di media atau buku-buku dari penerbit yang akan kita tuju.     Kesimpulannya, tips paling dasar agar bisa konsisten menulis bahkan sampai bisa bikin buku (sebagaimana pernah ditanyakan oleh teman saya) ialah dengan cara terus melakukan praktik menulis, setiap hari atau setiap saat, apa pun kondisinya. Berusahalah untuk memiliki jadwal menulis yang ajeg (tetap) setiap harinya. Jangan lupa, iringi dengan memperbanyak referensi beragam bacaan, dan jangan sekali-kali melakukan tindakan plagiasi (menjiplak karya orang lain).

Islam yang Menyenangkan Versi Ulil Abshar Abdalla

Judul: Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?

Penulis: Ulil Abshar Abdalla

Penerbit: Buku Mojok

Cetakan: I, Juni 2020

Tebal: 186 halaman

ISBN: 978-623-7284-37-6

Masih terngiang gagasan sensasional dari Friedrich Nietzsche dalam bukunya, “The Gay Science”, yang mengungkapkan bahwa “Tuhan telah mati” karena dibunuh oleh manusia sendiri. Ungkapan Nietzsche tentu saja membuat pelbagai pihak mengecamnya, padahal maksud dari Nietzsche adalah mengkritisi jiwa orang-orang Eropa modern yang mengaku beriman, namun tidak lagi menggunakan hukum-hukum ketuhanan sebagai sumber aturan moral. 

Penyebab utama ketiadaan Tuhan dalam diri manusia adalah anggapan bahwa keimanannya selama ini rasa-rasanya kok sia-sia, karena sudah capek-capek beriman, nyatanya hidup tetap susah; merana; dan menderita. 

Masalah kompleks seperti inilah yang mampu dibaca oleh Ulil Abshar Abdalla dalam bukunya yang berjudul “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” dengan menggunakan perspektif Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf muslim asal Persia yang dikenal dengan julukan Hujjah al-Islam.

Pada dasarnya, buku  tersebut berisi kumpulan opini Ulil Abshar Abdalla tentang masalah-masalah kompleks ketuhanan yang mampu dijelaskan dengan cukup menyenangkan―menurut hemat saya―hingga beberapa persoalan politik di bagian akhir. 

Satu di antara masalah-masalah kompleks kekinian yang sedang membutuhkan jawaban secepat-cepatnya sekaligus setepat-tepatnya adalah pandemi Covid-19 yang sangat betah menginap di Indonesia. 

Beberapa orang mulai mempertanyakan Kemahakasihan dan Kemahakuasaan Tuhan yang justru terlihat seakan-akan melanggengkan kesengsaraan dan penderitaan dengan pandemi Covid-19 (berdasarkan fakta seseorang yang bertanya kepada Ulil Abshar Abdalla melalui pesan pribadi, halaman 19). 

Hebatnya, Ulil Absar Abdalla tidak menyalahkan atau bahkan menyudutkan orang dengan pertanyaan bernada skeptis tersebut. Ulil Abshar Abdallah justru menganggap pertanyaan tersebut wajar dan Tuhan tidak akan marah hanya gegara pertanyaan seperti itu. Pandangan seperti inilah yang membuat manusia-manusia beragama tidak ragu untuk bertanya, sebab keraguannya tidak dijawab dengan kemarahan maupun hujatan. 

Satu-satunya yang dibutuhkan orang-orang yang diliputi keraguan adalah jawaban penuh kasih sayang yang memberikan tuntunan, bukan sederet celaan yang menyisakan kekecewaan. Jawaban Ulil Abshar Abdalla atas pertanyaan skeptis di atas dapat dibaca di halaman 20 hingga 23, sebab sungguh tak elok menjabarkan semuanya di sini.

Selain masalah keraguan terhadap Kemahakasihan Tuhan, pandemi juga memicu masalah lainnya seperti anggapan bahwa sains telah mengalahkan agama. Pada dasarnya, masalah ‘Agama vs Sains’ adalah masalah lama yang mungkin akan terus berulang dengan subjek dan objek yang berbeda. 

Pandangan umum yang beredar adalah agama cenderung irasional, sementara sains cenderung rasional. Perbedaan mencolok inilah yang kerap membuat dua hal tersebut dipertentangkan antara satu sama lain. Agama masih dipandang sebagai cerita tentang hal-hal yang tak bisa diamati oleh panca indra, sedangkan sains adalah hal yang sebaliknya. 

Mencermati anggapan ini, Ulil Abshar Abdalla lagi-lagi mampu menemui “cela” untuk menjelaskan bahwa antara sains dan agama bukan dua hal yang mutually exclusionary atau saling meniadakan/menafikan (halaman 34). 

Anggapan sains dan agama sebagai “Tom dan Jerry” adalah kekeliruan yang fatal, sebab orang yang beriman tidak berarti mengabaikan sains. Sebagaimana Tuhan yang memiliki sifat ‘ilmu dan sebagai Dzat yang Maha Tahu (‘Alimun), maka manusia diharuskan memandang semua ilmu secara ontologis sebagai satu kesatuan yang utuh karena pada hakikatnya semua ilmu bersumber dari Tuhan. 

Tak hanya masalah-masalah yang relevan dengan keadaan kekinian, buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” juga menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang abadi sepanjang masa sekaligus menjadi big question yang terus diperdebatkan oleh umat manusia (halaman 39). 

Satu di antaranya adalah, “Jika ketaatan dan kedurhakaan telah ditentukan oleh Tuhan (sehingga manusia hanya bisa bertindak sebatas kehendak Tuhan), maka apa gunanya manusia mematuhi maupun mengingkari (kan semuanya sudah ditentukan)? Lalu, di mana letak konsep hukuman & perhargaan/surga & neraka?”. 

Manusia memang selalu hidup dengan banyak tanda tanya yang memenuhi kepala. Beberapa memilih mengungkapkannya lalu mencari tahu kebenarannya, sementara sisanya memilih untuk mengendapkannya di dalam pikiran yang ujung-ujungnya memicu keraguan yang berkelindan. 

Lagi-lagi, Ulil Abshar Abdallah mampu menyenangkan hati para penanya-penanya big question ini dengan ungkapan santuy bahwa manusia tidak perlu khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan “nakal” tersebut, sebab pertanyaan semacam itu telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan juga telah diperdebatkan oleh para ulama beserta para filsuf sejak lama. 

Jawaban singkat namun padat versi Ulil Abshar Abdalla bisa dilihat di halaman 40 hingga 41. Seperti dalih yang dituturkan sebelumnya, tidak etis menyebutkan semuanya di sini karena tulisan ini hanya sekadar resensi.

Sedikit koreksi (redaksional) untuk buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” tentang masalah salah ketik, seperti kata ‘nama’ yang diketik ‘anama’ (halaman 27) dan kata ‘diungkap’ yang diketik ‘diungkai’ (halaman 70). 

Kesalahan ringan seperti ini sebenarnya lumrah-lumrah saja terjadi, sebagai bukti bahwa penulisnya masih membutuhkan pembaca yang peduli untuk membetulkan, tidak sibuk untuk menyalahkan. Terlebih lagi, kesalahan yang ditemui hanya sebatas kesalahan ketik yang tidak sampai mengubah substansi dari setiap kalimatnya. 

Tak salah jika pepatah lama menyebutkan bahwa kalimat tipo yang masih bisa dipahami oleh pembacanya adalah kalimat yang masih bisa dimaafkan.

Akhir kata, urusan agama adalah keyakinan dan sudah seyogianya disampaikan dengan menyenangkan, karena setiap hal yang menyakitkan kerap kali berujung perpisahan. 

Fasik dan Bajik, Tegangan Berhala Kelakar Era Teknofil

Alkisah sebagaimana cerita purba dari Pasuruan, Jawa Timur. 

Suatu sore si kusir delman dari Madura asyik mengantar penumpangnya mengelilingi Kota Pasuruan. Ia berkeliling dengan santai hingga tidak terasa jika delman yang dikendarainya membuat kendaraan di belakangnya antre mengular. Macet tak terkira. Kemacetan menjadi-jadi membuat seluruh antrean mobil di belakang delman melontarkan umpatan dan makian.

Hingga tatkala seorang sopir mobil di belakang delman berhasil menyalip delman. Sembari menjalankan mobilnya dengan pelan melewati delman, si sopir melantang teriak kepada si kusir, “Dasar Madura! Gara-gara kamu jalanan jadi macet.” 

Dengan tenang si kusir pun menyahut, “Oalah, Pak! Saya memang dari Madura, tapi kuda delman yang bikin macet ini berasal dari Jawa.”

Humor, kelakar, atau lelucon ini disegarkan kembali Fariz Alniezar dalam kitab Homo Homini Humor (Basabasi, 2019) ketika gerakan literasi dongeng nusantara sepi dari tegangan spiritualitas hidup. Alih-alih, Fariz ingin menggenjot sisi kearifan lokal di Indonesia yang kian hari kian menepi, memudar, dan luntur untuk perbincangan gen milenial. 

Teroka jauh, masihkah kita mengisahkan para nabi agung nan kudus 1400-2000 tahun silam untuk anak-anak kita? 

Sudikah kita menuturkan figur BJ Habibie buat kelola inspirasi anak? 

Beranikah kita menguarkan jiwa populis Presiden Soekarno yang legendaris mampu berbicara minimal sepuluh bahasa? Ada apa di balik nama Kusno, Karno, dan sapaan Bung (bungkusno? dan bungkarno?) untuk Indonesia? 

Kapan kita gaungkan Gus Dur yang mempunyai indra keenam? 

Bob Sadino yang dulu hidup di kontrakan kini jadi miliarder. Ciputra yang awalnya biasa menjadi luar biasa. Bahkan, Susi Pudjiastuti menjadi pelatuk figur teladan yang visioner. 

Intinya, mendongenglah secara logika out of the box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap adab abad XXI.

Konon, ujung kulon Sumatra hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, dongeng mengarsip. Pedalaman adalah lumbung dongeng. 

Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun hingga pusar metropolis, dongeng menjelma kurcaci perlente. Pesona kancil menjadi arkais. Kancil tak lagi parabel dengan pak tani. Kancil kekinian trendi, klimis berkerah dan berdasi. 

Ada apa di balik konon dan kini tradisi gen dongeng kancil?

Era teknofil ini membunuh tradisi keluarga membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Keran televisi seperti tsunami, aneka gim gawai ibarat monster, produksi buku-buku kian menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.

Membacakan dongeng adalah ibadah. Dongeng tidak harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos kancil. Mendongeng adalah suluh komunikasi ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan. 

Mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur, tetapi menularkan moralitas dan spiritualitas hidup inti cerita. Nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya. 

Tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mapel sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas anak. Apabila tahap ini anak senang menikmati dongeng, tentu bergairahlah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. 

Usia emas merupakan satu masa keemasan singkat yang pasti dialami oleh setiap manusia. Periode vital menentukan tahap perkembangan. Masa emas berkisar pada usia 0-6 tahun. Beberapa riset membuktikan bahwa kecerdasan anak mencapai 50% pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasan meningkat hingga 80% dan puncaknya 100% pada usia 18 tahun. 

Usia 3-5 tahun cocok untuk ide dongeng tentang lingkungan, binatang, dan tumbuhan sekitar. Hindarilah dongeng mistis. Usia 5-8 tahun cocok untuk tema imajinasi bebas, negeri khayalan. Si anak mulai bertanya tentang adanya Allah, malaikat, jin, setan, raksasa, kurcaci, dan alam dunia lain. 

Usia 9-12 tahun cocok dengan tema romantisme, petualangan, kepahlawanan yang baik dan bertujuan mulia. Usia 12-18 (fase remaja puber) cocok romantisme, detektif, dan heroik dalam pencarian jati diri. Usia 19 tahun ke atas cocok untuk tema idola yang mematri kehidupan pribadi.

Penanaman nilai dongeng tepat sasaran justru terjadi pada rentang usia 3-8 tahun. Anak masih mudah tergugah emosi. Anak cepat menangkap gambaran akibat baik dan buruk suatu perbuatan. Setidaknya ada empat nilai hakiki yang mematri benak anak, yaitu persahabatan, kepahlawanan dan perjuangan, pesan jangan berbuat jahat, serta nilai akibat durhaka kepada orang tua. 

Berani mencukil berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.

Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang bahela sangat intim dengan fase kanak-kanak, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. 

Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang. Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut “mentimun ranum”. Pejabat tidak berpikir “mentimun” itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.

Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting dulce et utile.

Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, menjelma dalam kehidupan. Para politisi yang bertabiat fasik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku pun layaknya kancil. Para orang tua zaman gawai wajib mengemas dongeng edukatif sehingga anak-anak aman meneladan kisah.***