Beranda blog Halaman 35

Gangguan Bipolar serta Ikhtiar Menghadapinya

Himmah Online, Universitas Islam Indonesia – Hana Junjunganingtyas merupakan salah satu pengidap bipolar. Ia didiagnosis bipolar pada Agustus 2018 ketika berada di semester empat pendidikan tingginya. Sejak saat itu, ia merasa jika dirinya sudah hancur dan tidak berharga. 

“Saya udah nggak bisa apa-apa karena bipolar,” tutur Hana dalam diskusi bertajuk “Cara Menemukan Coping yang Tepat Bersama Survivor Bipolar Selama Pandemi” yang diadakan oleh Psychology Study Club UII, Minggu (30/5). 

Mengetahui dirinya mengidap bipolar membuat Hana berhenti kuliah selama dua tahun, merasa tidak percaya diri, dan terlintas dipikirannya untuk menyakiti diri sendiri. Puncaknya, Hana harus bolak-balik mengunjungi rumah sakit karena berusaha mengakhiri hidupnya.

“Saya itu merasa nggak percaya diri, dua tahun berhenti kuliah karena merasa nggak sanggup apa-apa, ada pikiran self-harm (menyakiti diri sendiri) juga,” jelasnya.

September 2018, Hana dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut serta mulai meminum obat hingga saat ini. 

Apa itu bipolar?

Pada kesempatan yang sama, Novvaliant Filsuf Tasaufi, Dosen Psikologi UII, menjelaskan bahwa bipolar merupakan gangguan perasaan karena perubahan suasana perasaan dari depresi ke arah elasi/mania atau sebaliknya.

“Perubahan perasaan ini dapat disertai dengan perubahan seluruh aktivitas individu meliputi energi, konsentrasi, tingkat aktivitas, dan kemampuan menjalani kehidupan sehari-hari,” jelas Novvaliant.

Ia menambahkan jika bipolar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor biologis (genetik, neurotransmitter, dan endokrin), faktor psikologis (tekanan hidup, learned helplessness, dan gaya kognitif yang negatif), serta faktor sosial kultural (hubungan perkawinan, stereotip, dan dukungan sosial). 

Ada beberapa cara untuk mengatasi bipolar, salah satunya dengan melakukan mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan cara seseorang dalam menghadapi stres atau trauma. 

Dengan mekanisme koping, seseorang dapat terbantu dalam mengatur emosi yang menyakitkan atau sulit.

Novvaliant menerangkan ada dua jenis koping yang dapat dilakukan oleh Orang Dengan Bipolar (ODB), yaitu koping adaptif dan maladaptif. 

Menurut Good Theraphy, koping adaptif secara umum dianggap sebagai mekanisme yang sehat dan efektif untuk mengelola stres, seperti mencari dukungan sosial, kegiatan fisik, serta humor. 

Sedangkan koping maladaptif merupakan mekanisme koping yang memiliki konsekuensi negatif yang tidak diinginkan seperti mati rasa, menenangkan diri dengan hal yang tidak sehat, hingga menyakiti diri sendiri.

Ikhtiar Untuk Pulih

Hana percaya jika bipolar bukanlah dirinya, melainkan keadaannya. “Bipolar bukan 100% diri saya, tetapi hanya sebagian kecil saja. Jadi, saya bisa mengendalikan bipolar,” terang Hana.

Menjadi bipolar tak membuatnya luruh. Hana memiliki strategi untuk melawan kondisi tersebut, seperti berusaha untuk mengenali diri, menulis jurnal harian sebelum tidur, serta berusaha menerima diri dan keadaan. 

“Aku emang bipolar, tapi apa sih yang bisa aku lakukan? Ini bukan keadaan yang selamanya akan terjadi. Saya terus berusaha, terus berjalan. Hidup itu terus berjalan, nggak tau kamu siap atau nggak ya, terus berjalan.”

Selama pandemi, Hana melakukan strategi koping dengan menyibukkan diri sendiri pada hal-hal positif dan optimalisasi diri untuk bermanfaat bagi orang lain. Menurutnya, menjadi bipolar-pun tetap bisa berdaya dan berkarya.

Nggak papa bipolar, nggak papa ada mental illness yang lain (selain bipolar-red). Selagi kita bisa melewatinya, bisa jadi ladang pahala buat kita,” pungkasnya.

Reporter: Nadia Tisha Nathania Putri

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Seni Mengelola Emosi Negatif

Judul Buku: The Art of Emotion

Penulis: Denieda Fanun

Penerbit: Araska

Cetakan: I, Januari 2021

Tebal: 232 halaman

ISBN: 978-623-7910-08-4

“Kemarahan adalah salah satu bagian emosi yang tidak bisa dihindari oleh semua orang. Kemarahan menjadi bagian dari gejala kejiwaan seseorang yang sehat. Sehingga orang yang tidak pernah marah didefinisikan sebagai orang yang tidak sehat secara mental”.

Apa yang diungkapkan Denieda Fanun dalam kata pengantar buku ini bagi sebagian orang mungkin terasa janggal. Masa sih, orang yang tak pernah marah pertanda bahwa orang tersebut secara mental dinyatakan tidak sehat? Lantas, bagaimana dengan sebagian orang yang terlihat sabar dan tidak pernah marah?

Penulis perempuan yang lahir di Yogyakarta pada 1989 ini dan memiliki kegemaran menulis artikel tentang pengembangan diri ini berpendapat bahwa ketika menyaksikan seseorang yang Anda anggap tidak pernah marah, bukan berarti dia tak pernah marah, tetapi Anda sebenarnya tidak pernah melihat kemarahannya saja.

Orang yang terlihat tidak pernah marah itu sebenarnya adalah orang yang sangat pintar melampiaskan kemarahannya dan secara kesehatan mental dia termasuk orang yang sangat-sangat baik.  

Bila kita renungi, setiap orang tentu pernah berhadapan dengan kejadian yang membuatnya merasa kesal dan marah. Hal ini sangat wajar dan manusiawi. Karena setiap manusia dibekali emosi (yang bersifat positif dan negatif) sebagai respon atas berbagai kejadian yang menimpa dan harus dihadapinya.

Maka yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengelola emosi dalam diri kita. Terlebih emosi yang bersifat negatif. Jangan sampai emosi tersebut mengendalikan kita hingga menyebabkan penyesalan di kemudian hari.

Emosi, sebagaimana dipaparkan Denieda Fanun dalam buku ini adalah perasaan intens yang dimiliki seseorang untuk ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi adalah bentuk dari reaksi terhadap seseorang atau kejadian tertentu.

Emosi dapat ditunjukkan ketika seseorang merasa senang mengenai sesuatu, seseorang marah kepada seseorang, ataupun seseorang takut terhadap sesuatu atau seseorang lainnya.

Dalam cakupan kebahasaan, kata emosi dapat diartikan sebagai “pergerakan luar”. Apabila dikaitkan dengan ilmu psikologi, arti dari cakupan kebahasaan ini dapat dimaknai sebagai bentuk-bentuk ekspresi dari gerak pikir dan perasaan seseorang yang bisa kita lihat, dengar, dan rasakan.

Misalnya, emosi orang yang marah, tentu saja kita akan melihat wajahnya tegang dan memerah, matanya melotot, suaranya keras, dan lain sebagainya (hlm. 11).

Dalam buku ini, diterangkan bahwa emosi terbagi menjadi dua jenis; emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah bentuk ekspresi dari sebuah evaluasi atau perasaan yang menguntungkan. Emosi positif dapat berupa rasa gembira dan rasa syukur. Sementara itu, emosi negatif mengekspresikan sebuah evaluasi yang merugikan. Emosi negatif dapat berupa rasa marah atau rasa bersalah.

Emosi negatif bila tidak dikelola dan dikendalikan maka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Kekecewaan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, merasa jijik terhadap sesuatu adalah termasuk bentuk-bentuk emosi negatif yang harus dikelola dengan baik.

Salah satu cara untuk mengelola emosi negatif adalah dengan merenungi dampak atau efek buruk yang ditimbulkannya. Dengan merenungi dampak buruk tersebut, paling tidak akan mampu mengerem diri kita agar tak gegabah melakukan sesuatu yang merugikan saat jiwa tengah didera oleh emosi negatif.

Saya yakin, setiap orang yang baru saja melampiaskan kemarahannya secara membabi buta terhadap orang lain, maka biasanya dia akan merasa malu dan menyesal bila kemarahan tersebut telah surut dari dalam jiwanya.

Orang kadang menyesali apa yang telah dilakukan pada saat marah. Dalam apologi (pembelaan), mereka akan mengatakan bahwa ia kehilangan kendali, dikuasai amarah, khilaf dan sebagainya. Tapi kita tahu itu tidak mengembalikan kerusakan yang telah ditimbulkan oleh kemarahan. Ada harga yang harus dibayar dengan mahal saat kita marah.

Kemarahan, baik dalam bentuk aksi, kata-kata, maupun ekspresi bisa menghancurkan hubungan (sementara atau selamanya), bahkan bisa memicu balas dendam. Orang yang marah tidak disukai dan cenderung dijauhi orang lain.

Anak-anak yang marah akan kehilangan persetujuan dari anak-anak lain. Orang dewasa yang suka marah dipandang tidak menarik secara sosial (hlm. 84).

Memahami Jenis-Jenis Kemarahan          

Ada banyak jenis atau bentuk kemarahan yang dipaparkan dalam buku ini. Dengan memahami jenis-jenis kemarahan tersebut, maka diharapkan kita menjadi lebih waspada dan dapat mengalihkan kemarahan tersebut kepada hal-hal atau aktivitas yang bersifat positif.

Assertive Anger adalah termasuk salah satu jenis kemarahan yang perlu diwaspadai. Jenis kemarahan Assertive Anger ini merupakan yang paling “kalem”. Alih-alih memperlihatkan kemarahan, orang dengan tipe marah ini cenderung menghindar dari konfrontasi dan menahan diri mengeluarkan kata-kata kasar. Ia cenderung berusaha memotivasi untuk menjadi lebih baik.

Ia mengabaikan kemarahannya, tetapi meluapkan kemarahannya dengan tindakan yang cenderung positif. Maka tak heran bila kemudian ia akan tampil sebagai pribadi yang bijaksana.

Bentuk kemarahan selanjutnya yakni Behavioural Anger. Kemarahan jenis ini lebih melibatkan ekspresi fisik dan cenderung agresif. Biasanya orang dengan tipe kemarahan jenis ini akan menyerang seseorang atau merusak barang yang ada di sekelilingnya.

Jenis kemarahan Behavioural Anger biasanya sulit diprediksi, sehingga cenderung memiliki konsekuensi negatif pada akhir kemarahannya. Jika Anda termasuk tipe orang jenis ini, berusahalah segera pergi dari tempat di mana Anda sedang marah untuk mengatur napas dan mengontrol emosi (hlm. 86).

Selanjutnya Judgemental Anger. Jenis kemarahan ini boleh jadi disebabkan oleh kemarahan sebenarnya yang muncul sebagai reaksi saat melihat atau menerima ketidakadilan.

Walaupun terlihat memiliki nilai yang positif, tak menutup kemungkinan bahwa orang dengan kemarahan Judgemental Anger ini akan dijauhi karena perbedaan pandangn dengan orang lain. Cara mengendalikan kemarahan jenis ini yakni dengan terus memahami bahwa tidak semua hal dapat diterima sesuai idea yang ada dalam pikiran. Bahwa kenyataan tidak semua seperti yang diinginkan atau diimpikan (hlm. 87).

Buku genre pengembangan diri ini menarik dibaca dan bagus dijadikan sebagai referensi bermanfaat yang dapat membantu Anda dalam mengendalikan emosi, khususnya emosi negatif seperti rasa marah dan kecewa terhadap orang lain. Selamat membaca.

***

Pohon Ponsel

Pada mulanya, Ali Shabran hanya berandai-andai mengenai pohon mangganya yang sedang berbuah, setelah merenungi nasib anak sekolah di kampungnya yang kebanyakan berasal dari keluarga dengan ekonomi kelas bawah. Ia membayangkan mangga-mangga yang belum matang bergelantungan di pohonnya itu keesokan harinya berubah menjadi ponsel.

“Aku berjanji akan memberikan semuanya kepada anak-anak di sini yang belum punya ponsel, agar mereka bisa sekolah dari rumah pada masa pandemi seperti ini. Jadi menimba ilmu tidak hanya sebatas datang ke sekolah untuk mengambil tugas dan materi yang harus dipahami sendiri,” kata Ali Shabran, sembari memandangi satu per satu buah mangga.

Ali Shabran tinggal di kampung yang cukup terbelakang dengan segala keterbatasan. Di kampung Ali Shabran dan sekitarnya, hanya terdapat satu sekolah—ada sekolah lain, hanya saja jaraknya cukup jauh. Ali Shabran merupakan penduduk asli, yang kemudian pada suatu hari dengan menggebu-gebu memutuskan untuk merantau; menimba ilmu dengan biaya yang diada-adakan oleh orang tuanya. 

Ia mempunyai keinginan, bisa mengubah kampungnya menjadi sedikit lebih baik. Kini Ali Shabran pulang, menemui janji lamanya, akan menyalurkan apa yang diperolehnya di masa kuliah untuk kampungnya.

Kampung Ali Shabran jauh dari kota. Ketika presiden mengumumkan bahwa sudah ada orang yang terkonfirmasi terpapar virus korona—virus berasal dari negeri tirau bambu yang begitu gencar diberitakan—maka tidak perlu menunggu waktu lama bagi menteri pendidikan untuk mengeluarkan kebijakan, yang tidak lain adalah belajar dilakukan secara daring dari rumah.

Mereka yang mempunyai anak masih sekolah mengeluh. Mereka tidak terbiasa hidup dengan benda elektronik semacam ponsel. Parahnya, di kampung Ali Shabran sangat susah sekali sinyal, dan Ali Shabran sempat mengeluhkan juga akan hal ini. Setiap kali ia mau berkomunikasi dengan seseorang, ia harus keluar rumah untuk mencari tempat, hingga sinyalnya membaik.

Pemerintah setempat dengan keras melarang anak-anak ke sekolah, mereka memaksa agar memaklumi keadaan ini dan berusaha mengadakan ponsel—pemerintah seakan-akan tidak memikirkan keadaan kampung yang susah sinyal. Kata mereka, tidak ada pilihan lain. 

Hal itu semata-mata untuk mencegah penyebaran virus korona. Pemerintah juga seperti tidak peduli dengan keadaan ekonomi orang tua yang punya tanggungan anak-anak yang masih harus mengenyam pendidikan. Pemerintah seakan tidak mau tahu. Dari dulu memang begitu.

Ada orang tua yang rela berutang. Ada yang membuka tabungan hasil jerih payah yang dikumpulkan selama berbulan-bulan—padahal sebenarnya tidak rela menggunakan tabungan itu untuk membeli ponsel. Ada juga yang tidak peduli, dengan kata lain lebih memilih anaknya tidak sekolah—ada yang menilai kebijakan yang diambil telah mencekik mereka. 

Bagi penduduk kampung di mana Ali Shabran tinggal, ponsel seakan merupakan barang yang langka, dan harga bagi orang yang akrab dengan benda tersebut murah, bagi mereka sudah menjadi barang yang sangat mahal harganya.

Tenaga pendidik tentu saja pusing tujuh keliling dengan keadaan ini. Anak sekolah tidak mungkin disuruh untuk nekat datang ke sekolah. Tenaga pendidik bisa-bisa disalahkan oleh aparat pemerintah, sebagai kambing hitam penyebaran virus korona. 

Mereka tidak mungkin mengorbankan diri, menjumpai satu per satu anak di rumah masing-masing untuk menyampaikan materi pelajaran. Cara tersebut sangat memakan waktu dan tenaga. Tenaga pendidik benar-benar mumet!

Pada akhirnya diambil keputusan yang sebenarnya cukup berat. Ada tenaga pendidik, yang dengan blak-blakan merasa berdosa dengan keputusan itu. Ada juga yang bodoamat, sebab keadaan sedang genting-gentingnya. Sementara penambahan jumlah orang yang terpapar virus corona semakin bertambah. 

Keputusan itu adalah tenaga pendidik tidak akan memberikan materi pelajaran, peserta didik datang ke sekolah untuk mengambil tugas dan materi pelajaran dengan dijadwal supaya tidak menimbulkan kerumunan.

Peserta didik dituntut memahami sendiri materi pelajaran yang ada—Ali Shabran menganggap metode ini tidak efektif, ia tidak yakin setiap peserta didik mau memahami sendiri materi yang diberikan. 

Tenaga pendidik memberi kebijakan, jika memang tidak bisa memahami, bisa ditanyakan kala mereka datang ke sekolah untuk mengambil tugas, maupun materi. Tidak lupa pula, pihak sekolah mewanti-wanti agar setiap peserta didik datang ke sekolah menggunakan masker dan selalu cuci tangan.

“Betapa aku ingin melihat anak-anak sekolah gembira bisa menyerap materi pelajaran dari rumah….” ucap Ali Shabran. “Metode belajar yang telah diputuskan di sekolah itu, seakan member kesan gurunya cuma tiduran.”

Ali Shabran benar-benar berjanji, bila Tuhan mengabulkan andaiannya, ia akan memberikan ponsel-ponsel yang bergelantungan di pohon mangganya kepada anak-anak yang belum punya. Ali Shabran sangat menyadari apa yang melekat pada dirinya sekarang. Di belakangnya telah ada gelar sarjana. 

Mempunyai andaian seperti itu, tentu saja hal konyol, dan tidak mencerminkan sebagai seorang mahasiswa yang identik dengan pikiran-pikiran ilmiah. Andaian itu awet di tempurung kepalanya. Terus bertahan di sana, terus, terus, dan terus.

Bosan memandangi buah mangga yang belum matang, Ali Shabran masuk ke dalam rumah. Ia merasakan matanya disengat kantuk. Ke kamar tidur merupakan pilihan terbaik. Ali Shabran bukan orang yang percaya pada kata-kata, jika kamu mengantuk, minumlah kopi, niscaya kantukmu akan hilang. Baginya, mengantuk tetaplah mengantuk. Mau beberapa gelas kopi diminum, kalau memang mengantuk, tidak akan bisa ditawar. Ali Shabran pun tidur pulas.

Seseorang yang tidak jelas wajahnya datang pada mimpinya. Ia mengatakan jika esok hari buah mangga di pohonnya akan berubah menjadi ponsel. Ia pun memuji sikap Ali Shabran, yang menaruh perhatian terhadap lingkungannya. 

Pada malam harinya ia juga bermimpi sama. Ali Shabran tidak habis pikir. Ia pun pergi ke hadapan pohon mangganya, dan apa yang terlihat? Apakah pembaca menebak jika buah mangga yang ada di pohon Ali Shabran telah berbuah ponsel? Ya! Buah-buah itu telah berubah ponsel! 

Hari masih begitu pagi, dan jalan di depan rumahnya masih sepi. Cepat Ali Shabran menurunkan ponsel-ponsel yang bergelantungan, hingga tidak tersisa. Ia tidak henti-hentinya berterima kasih kepada Tuhan, dan terus memuji-muji namanya. 

Ponsel-ponsel yang berbagai merek itu ia letakkan di suatu wadah besar terbuat dari plastik. Sebelumnya, Ali Shabran telah menghitungnya. Jumlahnya sembilan puluh sembilan buah! Ia tidak pernah membayangkan akan mempunyai ponsel sebanyak itu.

Namun kemudian, apa yang terjadi? Ali Shabran berhenti tersenyum dan tampak seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Kalau misalnya semua ponsel ini aku berikan kepada anak sekolah di sini, rasa-rasanya sayang. Sembilan puluh sembilan bukanlah jumlah yang sedikit. Masa sebanyak itu hanya kuberikan secara cuma-cuma?” batin Ali Shabran. “Kalau ada kesempatan, kenapa tidak?”

Ali Shabran tidak lagi menyebut-nyebut nama Tuhan. Ia telah silau dengan jumlah ponsel yang fantastis. Hatinya telah diselimuti kabut keserakahan, seakan lupa dengan janji yang pernah ia ucapkan sendiri. 

Padahal Tuhan sudah begitu baik. Ali Shabran tidak peduli dengan dosa yang akan ia terima karena sudah membohongi Tuhan. Yang ada di kepalanya, hanyalah uang dan uang. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ponsel-ponsel ini bisa membuatku dalam sekejap memperoleh uang jutaan rupiah, kata Ali Shabran lirih.

Mendapatkan rezeki nomplok, mengingatkan Ali Shabran dengan kata-kata yang pernah diucapkan bapaknya.

“Seseorang yang mendengar seorang pejabat terkena kasus korupsi, kemungkinan akan bilang, kalau aku yang jadi pejabat, pasti aku tidak akan korupsi. Itu omong kosong. Kemungkinan terjadi hanya kecil, sangat kecil. Yang ada dia korupsi bila dikasih kesempatan, jelas-jelas ada peluang dan berhadapan langsung dengan uang, kok! Orang yang bilang kayak gitu, karena dia belum saja berhadapan dengan uang.”

Ali Shabran membenarkan juga perkataan bapaknya. Dan ia merasakan akan hal itu sekarang. Kemarin, ia begitu menggebu-gebu berjanji jika buah mangga yang ada di pohonnya berubah menjadi ponsel, ia akan memberikan ponsel-ponsel kepada anak sekolah di kampungnya yang membutuhkan. 

Ali Shabran berjanji demikian karena hal itu tidak mungkin terjadi—di luar nalar manusia. Sama halnya seperti orang yang melihat seorang yang korupsi bilang, kalau aku yang jadi pejabat tidak akan korupsi. Ia tidak menghadapi keadaannya, sehingga bisa berucap demikian.

Ali Shabran pun menjual ponsel-ponsel tersebut kepada mereka yang memiliki anak sekolah. Agar terlihat menarik, Ali Shabran sedikit menurunkan harganya dari harga asli yang beredar. Singkatnya, ponsel-ponsel itu telah laku hampir setengahnya. 

Tetapi kemudian yang terjadi, ponsel-ponsel yang belum laku, seakan telah diberi roh oleh Tuhan. Ponsel-ponsel itu melayang di hadapan Ali Shabran. Lelaki itu ketakutan. Dalam sekejap ponsel-ponsel itu menghantam tubuh Ali Shabran.

“Akkhhhhh….”

Ali Shabran terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Bulir-bulir keringat bercucuran di wajahnya. Sembari mengatur napasnya, matanya menatap genting di atas kamarnya. Ternyata hanya mimpi, gumamnya.

Ali Shabran merasa ditampar dengan mimpi itu. Ia malu dengan dirinya sendiri. Setelah napasnya pulih, ia duduk di pinggir ranjang. Ingatannya berjalan jauh ke empat tahun silam, saat ia berjanji akan memberikan sesuatu kepada kampung halamannya agar menjadi lebih baik begitu ia memperoleh gelar sarjana. 

Kini ia telah punya gelar sarjana, dan Ali Shabran merasa malu dengan dirinya sendiri. Gelarnya seakan tidak berarti. Janjinya belum ditepati. Mimpi itu benar-benar mengingatkan akan janjinya. 

Tapi apa yang bisa ia lakukan kini? Ia hanyalah seorang sarjana pertanian yang menganggur. Sementara itu di luar sana, anak sekolah sedang berkutat dengan masalah yang sekarang mereka hadapi; keadaan pandemi yang membuat mereka seharusnya sekolah dari rumah!

Teror Psikologis di Tengah Kegilaan

Judul: Penampungan Orang-Orang Terbuang

Penulis: Guillermo Rosales

Penerjemah: Gita Nanda

Penerbit: Labirin Buku

Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2020

Tebal: vi + 122 Halaman

ISBN: 978-623-92983-0-2

Tidak seperti pembaca karya sastra kawakan di luar sana yang begitu mengakrabi sastra Amerika Latin, saya justru tak tahu banyak tentang perkembangan dan keberagaman karya di sisi lain benua Amerika itu. 

Perjumpaan kali pertama saya dimulai dengan membaca “Pesta di Sarang Kelinci” milik Juan Pablo Villalobos, baru kemudian novela yang ditulis oleh Guillermo Rosales ini, yakni “Penampungan Orang-Orang Terbuang”. 

Untungnya, dua novela ini memberi pengalaman membaca yang tak sia-sia, terutama novela miliki Rosales. Dalam ketipisan halamannya, Rosales sukses memberikan teror psikologis yang tak main-main.

Seperti yang dijelaskan dari judulnya, novela ini mengisahkan orang-orang terbuang, atau memiliki gangguan kejiwaan di sebuah panti swasta bernama Boarding Home. 

Sejak di halaman pertama, si Aku-narator seolah sudah menggambarkan kegilaan yang akan menghadangnya di tempat itu. Dia bilang, “Bangunan itu bertuliskan “BOARDING HOME” di bagian luar, tetapi aku tahu ia akan menjadi kuburan bagiku (hlm. 1).” Ucapannya memang tak salah, tetapi alih-alih menjadi kuburan, saya kira, lebih tepatnya panti itu menjadi neraka baginya. 

Dalam perkenalan selanjutnya, si Aku-narator mengenalkan dirinya sebagai pria tiga puluh tahunan bernama William Figueras. Ia pria Kuba yang memiliki ketertarikan terhadap sastra, bahkan ia pun menulis sebuah novel. 

Akan tetapi, karena dinilai bernada murung, cabul, dan dekaden, terutama karena novelnya mencemari nama baik partai komunis di negaranya, oleh pengawas sastra pemerintahan novelnya itu dilarang terbit. Sejak saat itulah ia menjadi gila. William mulai melihat iblis di dinding dan mulai mendengar suara-suara yang menghinanya.

Setelah itu, ia memutuskan pindah ke Amerika Serikat, tempat sanak keluarganya tinggal. Namun, sambutan hangat yang ia pikir akan didapatinya, tak terjadi sama sekali. Mereka yang mendapati kondisi William kala itu: Seorang pria gila, nyaris ompong, kurus, dan penakut; bisa ditebak, merasa kecewa dengannya. 

William menodai citra keluarga borjuis itu. Ia menjadi aib keluarga. Untuk itulah, sang bibi—satu-satunya orang yang sedikit memiliki kepedulian terhadapnya—memutuskan untuk memasukkan William ke panti tersebut. 

Boarding Home terletak di kota Miami yang dimiliki oleh seorang pria bernama Curbelo. Disebutkan oleh si Aku-narator bahwa Curbelo ini perwujudan sosok borjuis kecil yang hanya mementingkan diri sendiri. Selama mengasuh pantinya, ia selalu mengambil uang tunjangan milik para penghuni panti yang setiap bulan didapat dari pemerintah. 

Fasilitas yang ia sediakan di panti itu pun jauh dari kata manusiawi. Misalnya, dalam hal makanan yang ia pesan dari katering bernama Sazon. Ia membiarkan saja pemilik katering itu meracik makanan untuk para penghuni panti dari bahan-bahan terburuk yang mereka miliki.  

Mendapati ketidaklayakan tersebut, William toh tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah dititipkan oleh bibinya di sana. Maka, di tengah pemandangan kekerasan, tingkah laku penghuni panti yang di luar nalar, dan gaya hidup jauh dari kebersihan itulah William mencoba menjalani hari-harinya. 

Sering kali, ia membaca buku puisi penyair Amerika yang selalu ia bawa, yang sepertinya seolah menjadi katarsis bagi kegilaan yang terus tergelar di sekitarnya itu. 

Kegilaan-kegilaan inilah yang saya bilang sebagai teror psikologis tadi. Dari satu tokoh berkuasa lain, yakni tangan kanan Curbelo yang bernama Arsenio, kegilaan ini diedarkan dari satu penghuni ke penghuni lainnya. Pria yang selalu tampak mabuk ini bersikap bak raja kedua di panti itu. 

Ia sangat tahu menggunakan akalnya sebagai salah satu manusia waras di sana dan memanfaatkannya untuk memeras, menganiaya, merampok, dan beragam tindakan buruk lainnya. Dan karena ia tahu para penghuni panti tak ada yang berani melawan, ditambah ia pun tahu Curbelo tak peduli meskipun ada yang protes, maka ia dengan leluasa bertindak sesuka hatinya. 

Kegilaan itu pun lambat-laun menghinggapi tokoh utama kita. Itu terjadi ketika ia sudah berminggu-minggu tinggal di sana, ketika di suatu siang ia hendak ke kamar mandi, tampak pria tua bernama Reyes yang memiliki masalah pada saluran urin. Ketika Reyes tengah kencing sembarangan, saat itulah William menghajarnya dengan mengirimkan tendangan ke arah kelamin pria itu dan menghantamkan kepalanya ke dinding. 

Kala itu, Arsenio melihatnya, tetapi tak berbuat apa-apa. Di kemudian hari mereka bersepakat untuk tak peduli. Biarlah itu menjadi urusan masing-masing, demikian mereka bersepakat.

Gugatan Kemanusiaan

Bagi beberapa orang, novela ini sangat mungkin dipandang sebagai bacaan yang keras. Adegan dan kata-kata kasar enteng sekali diucapkan dan dilakukan oleh para tokohnya. Di samping itu, terdapat sekian perilaku menyimpang dan tindakan tak manusiawi yang digambarkan cukup realistis. 

Sekian hal inilah–saya rasa–tidak cocok bagi beberapa pembaca. Sebab, bagaimanapun, mendapati hal-hal semacam itu bisa menimbulkan perasaan tak nyaman.

Namun, itu tidak berarti novela ini patut dihindari sama sekali. Di sisi lain, pembaca bisa melihat bahwa apa yang ditampilkan di dalam novel sebagai wujud gugatan atas kebobrokan sistem dan ketimpangan relasi kekuasaan di suatu tempat. Gabungan kedua hal itu lantas termanifestasi dalam praktik penindasan, pelecehan, dan kekerasan fisik serta psikis terhadap sekian tokoh di dalam kisah ini. 

Pada sisi itu, penulis seolah menggugat, sebenarnya siapa yang salah? Siapa yang paling gila di antara mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas sekian kejadian yang dialami oleh mereka?

Untuk menjawab pertanyaan kedua, kita bisa menyitir ucapan salah satu penghuni panti, Hilda, saat tengah berbincang dengan tokoh utama kita, “Curbelo-lah makhluk yang paling gila dan menjijikkan di tempat ini.” 

Ucapan tersebut cukup beralasan, sebab Curbelo alias pemilik panti terus memeras tiap tetes darah yang masih tersisa pada tubuh para penghuni tempat asuhannya. Lalu, apa dengan begitu, dialah pihak yang sepenuhnya bersalah dan mesti bertanggung jawab?

Belum tentu. Penulis sengaja membuat pembaca merekonstruksi ulang dugaannya. Bisa jadi, dalam pembacaan awal, kita menduga demikian, tapi begitu menyelami kisah ini semakin dalam, bisa jadi kita juga berubah pikiran. 

Sekilas, proses ini mungkin cukup melelahkan dan menyebalkan bagi sebagian pembaca. Tapi, bila dilihat hasilnya nanti, setidaknya kita bisa mendapat perspektif baru dalam memandang kondisi kompleks di tempat-tempat sulit seperti yang ditampilkan novela ini.

Lalu, bagaimana dengan teror psikologis? Tentu, teror yang saya maksud berkaitan dengan sekian hal yang dijabarkan di atas. Bahwa dalam proses pembacaaan novel ini, tak jarang, otak seperti terserang teror yang berat dan mengganggu. 

Di beberapa bagian, kita seperti memerlukan jeda untuk berhenti sejenak, yakni sebuah tindakan demi menetralisir apa yang kita dapati dari novela ini. Namun, pengalaman semacam itu bukannya membuat kita menyesal sebab telah memilih novela ini sebagai bahan bacaan. 

Sebaliknya, kesan yang didapat sedemikian kuat dan mendalam. Ya, novela ini bukan sejenis bacaan yang hanya selintas lalu kita baca dan terlupakan begitu saja.

Bilamana Kaum Muda Mengidolakan Individu Eksistensialis

Kiwari atau era mutakhir ini membuncahkan sinisme purba. Lumbung filsafat kuno Yunani-Romawi dibangkit-bangkitkan kembali. Coleklah begawan ala Epictetus, Marcus Aurelius, ataupun Seneca yang berjaya 2000 tahun silam. Bahkan, kiwari meneroka kitab-kitab lawas seputar kejiwaan anggitan Carl Gustav Jung, Sigmund Freud, Soren Kierkegaard, hingga Frederich Nietzsche guna membuka tabir pribadi tabiat manusia-manusia terkini. 

Nah, sungguh beruntunglah mencerna kitab anggitan Fransisco Budi Hardiman yang bertajukPemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche” (2019) dan anggitan Henry Manampiring yang bertajuk “Filosofi Teras, Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini” (2019). Dua kitab ini tamsilnya teori dan praksis. Kaum muda suka nalar instan, ya, telusurlah pernak-pernik hidup ala paparan filosofi teras. Langsung praktik.

Bagi pegiat literasi, kaum literat, intelek yang melek-baca, munculnya kitab para filsuf ini segera diklaim super mentereng. Keren menjungkirkan klaim filsafat itu ruwet, apalagi semrawut. Faktanya, justru barisan pertengkaran yang menghinggapi satu (komunitas) filsuf ke filsuf berikutnya menjadi bara pikir yang membakar ide besar antar perbincangan mereka. 

Belajar filsafat paling dasar langsung dari tokoh-tokoh mendunia sangat mengasyikkan. Tidak membingungkan. Membaca ulang kitab-kitab ini berarti serasa membongkar “roh” pumpunan pikir yang legendaris. Ada sekitar 50 filsuf diungkai. Hanya 18 filsuf diurai terperinci ke dalam 7 isme. 

Puing-puing bongkaran Budi Hardiman seperti Renaisans (N. Machiavelli, G. Bruno, F. Bacon); Rasionalisme (R. Descartes, B. Spinoza, G.W. Leibniz, B. Pascal); Empirisme (T. Hobbes, J. Locke, G. Berkeley, D. Hume); Idealisme (J.G. Fichte, W.J. Schelling, F. Hegel); Materialisme (L. Feuerbach, Karl Max); Positivisme (A. Comte); Vitalisme (F. Nietzsche).

Fransisco Budi Hardiman mendaraskan teks utama dengan tesis kausalitas. Bahwa klaim rasionalitas modern disulut dengan perlawanan terhadap metafisika dan sistem wawasan dunia religius Abad Pertengahan. 

Perlawanan ini memuncak pada kemenangan rasionalitas pada zaman Pencerahan abad XVIII. Akhirnya, rasionalitas pun tumbang pada akhir abad XIX saat awal cengkeraman filsafat Nietzsche.

Para filsuf yang diulas dalam buku ini dapat membantu kita untuk mencerna dasar-dasar mentalitas yang terdalam dari peradaban modern bukan hanya di Eropa, melainkan juga dalam kebudayaan lain yang getol melancarkan modernisasi. 

Sains, teknik, ekonomi kapitalistis, negara hukum, dan demokrasi modern berpangkal dari sebuah pemahaman filosofis yang menjadi tiga dasar modernitas kita, yaitu subjektivitas (rasionalitas), ide kemajuan, dan kritik. 

Terhitung dari Machiavelli hingga Nietzsche, 50-an filsuf mengembangkan tiga dasar modernitas zamannya dalam berbagai ajaran, mulai dari humanisme renaisans, rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, hingga vitalisme. Budi Hardiman mengingatkan bahwa gagasan para filsuf tersebut sering dicurigai sebagai bujuk subversif oleh penguasa.

Secara sarkas dianggap bidah oleh kaum ortodoks agama. Bahkan, dipandang sinting oleh para medioker yang tidak pernah menyangsikan kewarasan akal sehat. Potong kompasnya, munculah sindiran sinis, Nietzschean-kah? Sintingkah kita?

Kesintingan inilah menjadi tamparan keras karakter manusia-manusia yang mengaku beradab dan berintelek. Alih-alih, Soren Kierkegaard (filsuf Denmark) yang sejatinya melankolis justru atas konten bernas kritikannya malah menjadi gahar. Menurutnya, agama Kristen sungguh menjadi sekuler dan duniawi. Agama terdampar hanya menjadi persoalan objektif dan lahiriah. Muncullah pandangan eksistensialisme yang menggaung hingga kini.

Menurut Kierkegaard, ada tiga tahap kehidupan eksistensial yang sudah dibuktikannya, yaitu tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius.

Tahap estetis mendorong individu pada ombang-ambing indrawi dan letupan emosi. Semboyan hidupnya adalah kenikmatan segera, hari esok ya pikir esok, prinsipnya “carpediem”. 

Patokan moral tidak cocok untuk tipe manusia estetis ini. Kierkegaard menyebut tiga orang pahlawan estetis dalam kebudayaan Barat, yaitu Don Juan (opera Mozart), Faust (ciptaan Goethe), dan Ahasuerus (pengembara Yahudi yang tidak memercayai manusia dan Allah).

Tahap etis membawa manusia ke arah pembebasan. Individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Individu menyesuaikan tindakan dengan patokan moral universal. Paham makna baik dan buruk serta paham kelemahan diri. Anehnya, individu tersebut tidak paham dosa. Kierkegaard menyebut Socrates adalah pahlawannya.

Tahap religius ditandai oleh pengakuan individu akan Allah. Individu menyadari dosa dan membutuhkan pengampunan Allah. Individu membuat komitmen personal dan melakukan lompatan iman. Kita menyebutnya pertobatan. Tokoh modelnya Abraham yang tulus mengorbankan putra tunggalnya, Iskak, karena beriman kepada Allah. 

Individu dalam tahap ini menyadari keterbatasan. Ia menempatkan diri dalam sebuah relasi dengan Allah. Konsistensi pemikiran Kierkegaard inilah yang mengantarkannya sesuluh Bapak Eksistensialisme.

Jika kita membayangkan, bayangkanlah para filsuf modern tersebut menjadi satu regu di medan tempur. Kali ini kitakah cuma penonton? Dengan vitalitas mereka menggempur alam pikir tradisional sebagaimana merupa dalam agama, takhayul, dan metafisika tradisional. 

Entah dari rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, atau positivisme, mereka nekat memahami kenyataan dengan kekuatan kodrati manusia, yaitu rasio (hlm. 249). Di sinilah api pertarungan klasik yang dilakukan para filsuf Yunani untuk menyingkirkan mitos dengan logos tampil kembali dalam wujud sekularisasi, rasionalisasi, dan demitologisasi. 

Justru saya terempati dengan Bapak Eksistensialisme, Kierkegaard. Satire untuk tabiat manusia-manusia terkini yang mengklaim diri superadab-superintelek. Kierkegaard adalah filsuf pertama yang menyohorkan eksistensi yang dicerna abad XX beserta ismenya. Eksistensi hanya dapat diterapkan pada manusia, lebih tepatnya individu konkret; bukan dalam kerumunan, komunitas, atau gerombolan. 

Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola abstrak dan mekanis, melainkan terus-menerus mengadakan pilihan baru yang ikonis personal dan subjektif. Eksistensi adalah diri autentik. Sebagai eksistensi, aku bertindak. Akulah “aktor” kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah untuk arah hidupku, bukanlah “spektator” kehidupanku belaka.

Ilustrasinya, ada dua kusir mengendarai keretanya masing-masing. Kusir pertama memegang kendali kudanya sembari tertidur, sementara kuda-kudanya berjalan ke arah yang salah. Kusir kedua dengan giat dan sadar menghela kuda-kudanya. Manakah kusir militan? Kusir kedua laiknya kusir. 

Demikian juga manusia! Hanya individu yang menjadi aktor untuk hidupnya sendirilah yang bereksistensi. Sebaliknya, individu yang hanyut dalam kerumunan bukanlah bereksistensi. Tarung logikanya, ia pasif mengarahkan hidupnya sendiri. Tren literasi filsafat meningkat. Nah! ***

Nasihat Pernikahan

Lagi, seseorang datang ke rumah Rianti untuk mengantar undangan pernikahan dari salah satu teman kuliahnya. Bila dihitung, sejak lulus SMA hingga dia berhasil meraih gelar sarjana, bahkan ketika dia sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Negeri di kota kelahirannya, sudah ratusan kali dia mendapat undangan pernikahan dari teman-temannya.

Ada yang terasa sesak dan ngilu dalam dada acap Rianti mendapat undangan pernikahan itu. Mengingat usianya yang pada tahun ini telah memasuki angka 39 dan belum kunjung bertemu jodohnya.

Rasa ngilu itu semakin menjadi-jadi saat ia menghadiri undangan pernikahan dan bertemu dengan teman-teman lamanya yang sudah berkeluarga. Biasanya, mereka datang bersama pasangan masing-masing. Bahkan ada juga yang membawa serta momongan mereka.

“Eh, Rianti kapan kamu nyusul, kita sudah punya dua krucil, nih,” bukan kali ini saja Lidia, teman kuliah Rianti, menanyakan hal serupa kepadanya.

Maka tak heran bila Rianti merasa kesal dengan pertanyaan itu-itu saja dan selalu diulang-ulang tiap bertemu Lidia. Pertanyaan tak berkualitas serta menyebabkan hati orang lain tersakiti. Sejatinya Rianti ingin marah, tapi alih-alih yang terpasang di raut wajahnya adalah senyum yang pastinya terasa kecut.

“Doain aja,” Rianti menjawab singkat. Berharap Lidia berhenti mencecar.

“Kalau soal doa, aku sudah berusaha ngedoain kamu tiap hari, mestinya kamu usahanya lebih tekun, biar doanya dikabulkan sama Allah. Rianti, kamu ini cantik, masa sih nggak ada laki-laki yang mau sama kamu, nikah itu sunah, lho?” Tak dinyana jawaban singkat Rianti dibalas deretan kata-kata serupa nasihat pernikahan yang biasa dilontarkan oleh para ustaz dan kiai saat mengisi ceramah.

“Hukum nikah itu ada lima, Lid. Mubah, makruh, sunah, wajib, dan ada kalanya haram; tergantung tujuan dan kondisi masing-masing orang!” teriak Rianti dalam hati. Ya, hanya dalam hati. Tak kuasa tertutur lewat bibir tipisnya.

“Jangan terlalu pemilih, nggak ada laki-laki sempurna di dunia ini,” Retno, teman SMA yang kini sudah memiliki tiga anak ikutan menambahi, membuat telinga dan hati Rianti seperti terbakar. Hal-hal semacam inilah yang membikin Rianti malas mendatangi undangan pernikahan teman-temannya.

Sialnya, dia harus berusaha menahan rasa malas itu karena memenuhi undangan itu. Sebagaimana kata guru agamanya dulu, wajib hukumnya dengan catatan selama tidak ada aksi kemungkaran dalam acara tersebut.

***

Rianti merasa yakin, bila dia menghadiri undangan pernikahan Anto, teman kuliah yang masih satu kota dengannya itu, dia bakal diceramahi habis-habisan oleh teman-temannya dengan sederet nasihat pernikahan yang membuat dadanya terasa ngilu seperti dihantam ribuan palu seperti yang telah lalu.

Sebenarnya, mulai tahun ini Rianti sudah menyiapkan trik khusus saat mendapat kiriman udangan pernikahan teman-temannya. Trik yang menurutnya cukup ampuh untuk menghindari kenyinyiran teman-temannya.

Rianti memang tetap akan datang untuk mengucapkan selamat kepada teman yang menikah, tapi dia datang tidak pada saat hari pernikahan berlangsung, melainkan setelah acara usai, yakni sehari setelahnya.

Trik khusus yang baru dua kali Rianti praktikkan itu ternyata cukup manjur. Dia tak mendapat berondongan pertanyaan dan sederet nasihat pernikahan dari teman-temannya. Ya, tentu saja. Karena dia tak bertemu dengan mereka yang rata-rata datang saat acara resepsi pernikahan digelar.

Kendati pertanyaan tentang “kapan menikah” masih tetap dia dengar dari kedua mempelai, tapi bagi Rianti itu tak terlalu dia pikirkan dan rasanya tak seperih saat dirinya diberondong dengan pertanyaan serupa oleh teman-temannya.

Sayangnya, pada undangan pernikahan kali ini Rianti bakal gagal mempraktikkan triknya lagi. Mau tidak mau dia harus datang saat acara resepsi pernikahan Anto digelar. Karena dalam undangan tersebut ada keterangan bahwa Anto dan istrinya akan langsung pindah ke rumah barunya di luar kota usai resepsi pernikahan mereka. Terlebih, Anto adalah teman Rianti yang terbilang cukup dekat, tepatnya saat dulu sama-sama menjadi anggota BEM. Jadi, rasanya tak enak juga bila Rianti datang seusai acara.

***

Pada Minggu pagi yang cerah, resepsi pernikahan Anto digelar di sebuah gedung serbaguna yang biasa dipakai untuk menggelar resepsi di pusat kota.

Sebagaimana yang telah diperkirakan, Rianti kembali mendapatkan pertanyaan senada dan deretan nasihat pernikahan dari teman-temannya. Meski sudah terprediksi, tapi rasa ngilu itu tetap saja datang seperti biasanya. Bahkan kian menjadi-jadi hingga membuat dadanya sesak seolah ingin meledak.

“Yah, ketemu Rianti lagi, deh. Mana pasangannya, kok nggak dibawa?”

“Buruan nikah, Ri. Kalau udah ketuaan, repot nanti pas hamil dan ngurus anaknya, lho.”

“Nunggu apa sih, Ri, perempuan itu kan ada masa kedaluwarsanya.”

Ketika mendengar kata ‘kedaluwarsa’ yang Rianti yakin konotasinya mengarah pada menopause, meledaklah tawa teman-teman Rianti yang sedang mencicipi aneka hidangan di ruang prasmanan. Rianti hanya bisa menahan amarah sambil tersenyum kecut saat mendengar kenyinyiran dan candaan teman-temannya yang sama sekali tak lucu.

***

Penderitaan Rianti ternyata belum berakhir. Dia harus menahan diri untuk tidak secepatnya pulang. Karena dalam resepsi pernikahan tersebut ada acara pengajian yang diisi oleh kiai muda dari kota sebelah.

“Menikah adalah sebuah sarana untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan menikah, Insya Allah kita akan dibukakan pintu rezeki yang sangat luas oleh-Nya.

Menikah itu termasuk sunnah Nabi. Beliau pernah bersabda, yang artinya kira-kira seperti ini, ‘Menikah adalah sunahku, barang siapa yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk ke dalam umatku’,” terang kiai muda itu saat sedang berceramah di atas mimbar.

“Tuh, dengerin, Ri! Orang yang nggak nikah itu bukan termasuk umat Nabi,” bisik Ririn, salah satu teman kuliah Rianti yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Rianti.

Rianti hanya melirik ke arah Ririn sekilas. Seperti biasa, dia hanya tersenyum kecut. Ingin rasanya Rianti bilang pada Ririn, bahwa kiai muda di depan sana hanya pandai memotong hadis saja. Juga tanpa menjelaskan lebih detail perihal latar belakang hadis tersebut.

Rianti masih ingat, dulu guru ngajinya pernah menjelaskan dengan cukup detail tentang hadis yang kerap dijadikan dalil untuk menyudutkan para jomblo oleh sebagian orang, termasuk para pemuka agama.

Seingat Rianti, hadis tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang sebenarnya mampu menikah tapi tidak mau menikah dengan alasan hanya ingin beribadah kepada Allah saja. Maka, keluarlah hadis tersebut untuk mereka, demi menegaskan bahwa nabi juga seperti manusia pada umumnya, beribadah dan juga menikah.

Sayangnya, selama ini Rianti belum pernah mendengar nasihat pernikahan dari ustaz atau kiai hingga sedetail ini. Yang mereka gembar-gemborkan hanyalah nikah itu sunnah, yang tidak menikah bukan termasuk umat nabi.

Sebenarnya, Rianti ingin sekali membalas perkataan Ririn, “Rin, menurut pemahamanku, yang bukan termasuk umat nabi itu adalah orang yang mampu menikah tapi dia nggak mau menikah dan malah membenci pernikahan, sementara aku sama sekali nggak benci menikah, aku belum menikah karena memang aku belum menginginkannya,” namun Rianti hanya bisa mengucapkan kata-kata itu dalam hati.

“Coba sekarang saya mau tanya, di antara para hadirin dan hadirat, apakah ada yang belum menikah?” tanya kiai muda yang memiliki wajah rupawan itu. Tapi di mata Rianti tiba-tiba kiai itu berubah menjadi sosok monster menyeramkan.

Pertanyaan tersebut ibarat belati tajam yang ditebaskan tepat ke dada Rianti. Ngilu sekali rasanya. Bahkan, Rianti merasa ini kejadian paling menyakitkan yang pernah dialaminya. Terlebih teman-temannya yang duduk bergerombol tanpa dikomando langsung memandang ke arah dirinya sambil senyam-senyum nggak jelas, sebagian mereka malah tertawa cekikikan.

Rasanya, Rianti ingin lekas berdiri, meninggalkan tempat duduknya, lalu lari sekencang-kencangnya dari resepsi pernikahan yang membuat dirinya merasa sangat tidak nyaman itu.

Rasanya, dia ingin menghampiri kiai muda itu dan menampar wajah dan mulutnya yang telah tega mempermalukannya di hadapan publik. Tapi itu tentu sangat mustahil Rianti lakukan dan akan terlihat sangat kekanak-kanakan.

Selanjutnya, yang Rianti lakukan hanyalah berusaha memupuk kesabaran, menahan diri, meredam emosi, menundukkan kepala dalam-dalam, sambil meremas botol air mineral di tangannya hingga mengeluarkan bunyi gemeretak.

“Baiklah, tenang para hadirin. Bila ada, mari kita doakan sama-sama, semoga yang belum menikah segera dipertemukan dengan jodohnya,” kiai muda itu melanjutkan ceramahnya seraya berusaha menenangkan suasana yang barusan mendadak riuh akibat pancingan pertanyaan yang tak bermutu itu.

Mungkin bagi sang kiai, pertanyaan tersebut sekadar banyolan untuk menghangatkan suasana. Padahal, apa yang dia lontarkan nyatanya langsung merobek dan menorehkan luka salah satu tamu undangan yang hadir di sana.

Tanpa dikomando, para tamu undangan yang hadir serempak mengucapkan kata ‘amin’ kecuali Rianti. Ya, kecuali Rianti yang tetap terdiam dengan bibir gemetar. Kepalanya tertunduk. Sementara kedua tangannya sibuk meremas-remas botol air mineral sambil meredam rasa ngilu di dada.

***

Bulan Ramadhan: Madrasah Jiwa dan Sosial

Ramadhan merupakan madrasah bagi umat Islam. Disebut madrasah, karena di dalamnya terdapat proses pendidikan yang melatih manusia menjadi insan yang sesungguhnya, sekaligus memupuk kepedulian sosial antar sesama. Karena itu, bulan mulia ini adalah momentum berharga untuk bersungguh-sungguh menepis segala bentuk sifat-sifat negatif seperti sombong, egoisme, tamak, serakah, dan kikir. 

Syariat utama dalam bulan Ramadhan adalah melaksanakan puasa. Puasa secara bahasa maknanya al-imsāk, yang berarti menahan. Dalam definisi syar’inya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan berhubungan biologis suami istri, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, yang disertai dengan niat. Yang demikian ini adalah makna dalam pengertian ilmu fiqih. 

Artinya, dengan mengamalkan puasa sesuai pengertian di atas, dengan memenuhi syarat dan ketentuannya, maka seseorang dapat dikatakan telah sah melaksanakan puasa.

Namun demikian, untuk mendapatkan keutamaan dan mencapai nilai substansial puasa, maka tidak cukup dengan pengertian di atas. Hal tersebut harus diiringi dengan upaya imsak (menahan) diri dari segala perbuatan dosa; baik dosa terhadap Allah, maupun dosa kepada orang lain. 

Termasuk juga melaksanakan segala sesuatu yang disunnahkan di dalamnya, serta meninggalkan segala sesuatu yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa itu sendiri. Misalnya, menahan dan mengendalikan diri kita dari semua bentuk perbuatan tercela, seperti egoisme, kekikiran, serakah, sombong, berdusta, menyakiti orang lain, berkata kotor, dan lain sebagainya. 

Karena itu, orang yang berpuasa secara dhahir dengan tidak menghiraukan hakikat dari puasanya, maka tidak akan mendapatkan keutamaan dari puasanya. Rasulullah saw. menegaskan, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga saja,” (HR. Ibnu Majah dan Hakim). 

Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang belum mampu meninggakan perkatan dan perbuatan dosa dan sia-sia (qaul al-zur) maka sesungguhnya Allah tidak membutuhkan ia yang hanya meninggalkan makan dan minumnya,” (HR. Bukhari).

Mendidik Jiwa 

Berpuasa di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini tentu berbeda dengan puasa pada kondisi normal seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi masyarakat yang kian sulit di tengah krisis tersebut membuat mereka harus bersabar dan menahan diri dalam menuruti setiap keinginan dan kebutuhannya. 

Karena itu, berpuasa Ramadhan di tengah kondisi sulit seperti ini merupakan momentum sekaligus sarana untuk mendidik ketahanan jiwa (tarbiyah ruhiyah).

Dengan kata lain, bulan Ramadhan melatih kita untuk menjalani pola hidup sebagai insan paripurna, mengalahkan hawa nafsu hewani yang ada di dalam diri, dan mendekatkan mutu insani dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Allah Swt. 

Kaum muslim seolah-olah melakukan suatu penataran yang cara dan tata tertibnya dibuat oleh Allah Swt. Kita tidak makan di siang hari dan beribadah melebihi hari yang lain selama bulan Ramadhan, bertarawih, membaca al-Quran, juga menjalani ibadah-ibadah lain yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. (Hamka, 2017).

Kecenderungan manusia, dengan nafsu hewani dalam dirinya, ingin selalu memenuhi hajat dan keinginannya. Namun, kecenderungan nafsu tersebut selalu mengajak manusia melakukan segala sesuatu yang secara dhahir menyenangkan, walaupun hakikatnya dapat merusak dan menjerumuskan ke lembah kenistaan. 

Ibarat fatamorgana, keinginan-keinginan nafsu selalu menipu manusia. Biasanya, manusia yang selalu terpedaya oleh nafsunya akan mengalami penyesalan di akhirnya.

Oleh karena itu, puasa sesungguhnya melatih jiwa manusia untuk kuat bertahan melawan hawa nafsunya. Karena menahan nafsu adalah pondasi awal untuk menggapai kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebaliknya, menjadi budak hawa nafsu adalah awal dari kehancuran dan kebinasaan. Kasus-kasus korupsi, kejahatan, kenakalan, kekerasan, pornografi adalah akibat dari tidak ketidakmampuan menahan hawa nafsunya. 

Nabi Muhammad saw. menegaskan dalam hadisnya, “Tidak dikatakan sempurna iman seseorang sampai hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang datang dariku.” 

Semangat Filantropi

Dalam bulan Ramadhan ini juga, kita didik dan dilatih untuk memupuk semangat filantropi antar sesama manusia. Semangat cinta untuk berbagi sesama manusia ini akan mengokohkan solidaritas sosial di antara mereka. 

Menolong sesama, berbagi dengan fakir miskin, shadaqah, zakat, dan ibadah-ibadah sosial lainnya. Semua itu merupakan ibadah-ibadah yang senantiasa hadir bersamaan dengan masuknya bulan Ramadhan.

Problemnya, ada beberapa ibadah yang mungkin kurang sempurna pelaksanaanya di bulan Ramadhan karena ada kebijakan social dan psysical distancing selama pandemi Covid-19. 

Hal ini membuat suasana kehidupan sosial di bulan Ramadhan kali ini tentu berbeda. Tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak massa. Namun demikian, kondisi demikian tidaklah menjadi penghalang dalam melakukan ibadah-ibadah sosial.

Secara ideologis, ajaran untuk saling berbagi di bulan Ramadhan telah dikuatkan dalam hadis Nabi, “Barang siapa yang memberi buka orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun,” (HR. Al-Tirmidzi).  Hadis ini menunjukkan spirit untuk membangun rasa cinta kepada sesama dan membuang sikap kikir, tamak, dan egoisme. 

Apalagi di tengah kondisi krisis Covid-19 ini, semangat berderma mestinya lebih ditingkatkan. Utamanya bagi mereka yang memiliki kelebihan rezeki. Hal ini mengingat kondisi perekonomian masyarakat mengalami penurunan yang signifikan, khususnya mereka yang bekerja di sektor usaha mikro atau para pekerja harian. 

Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya pengangguran yang cukup banyak. Berdasarkan perhitungan pemerintah, untuk skenario berat bakal ada penambahan 2,9 juta orang menganggur di Indonesia. Adapun untuk skenario yang lebih berat, jumlah pengangguran bakal meningkat hingga 5,2 juta orang. Kesungguhan untuk membangun kepedulian sosial dengan sesama ini bisa kita sebut sebagai ‘jihad sosial’. Maknanya, mengerahkan segenap kemampuan baik secara lahir maupun batin untuk berbagi dengan sesama. Dengan inilah kesempurnaan iman bisa dicapai di bulan penuh berkah ini. Hubungan dengan Allah Yang Maha Kuasa (hablun minallah) dan hubungan sesama manusia (hablun minannaas) dapat terwujudkan (QS. Ali Imron: 112)Inilah yang disebutkan dalam Al-Qu’ran dengan kalimat la’allakum tattaqun, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa, sebagai pencapaian puncak dari ibadah puasa (QS. al-Baqarah: 183).

Puasa Bukan Sekadar Ritual Tahunan

Pada April 2021 yang bertepatan dengan bulan Ramadan, merupakan salah satu bulan yang syarat akan makna bagi umat Muslim dunia, dimanapun ia berada. Hadirnya dinanti penuh sukacita oleh para pendambanya. Namun, merupakan petaka bagi mereka yang tak mengharap dan enggan menjalankan ritual di dalamnya. Sudah dua kali ini, umat muslim akan menjalankan kegiatannya ini dalam suasana masyarakat yang masih huru-hara dengan kondisi Covid-19.

Dengan lugas telah terpampang pada salah satu ayat rukun Islam tentang perintah bagi umat muslim untuk melakukan ibadah puasa pada bulan Ramadan. Perintah ini tentu bukan semata perintah, beragam hal perlu digali dari hadirnya perintah tersebut agar dapat diperoleh suatu informasi yang baik dan tidak jatuh pada ritual yang tidak dipahami oleh pelakunya sendiri.

Melakukan ritual puasa pada bulan Ramadan dengan cara menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal lain yang dapat berakibat pada batalnya puasa seseorang, merupakan sesuatu yang penting untuk digali makna dibaliknya. Upaya ini dilakukan agar diperoleh informasi tentang makna sosial dilakukannya kegiatan puasa serta tidak melakukannya sekadar sebagai partisipasi tahunan bagi umat Islam. 

Ketika ia dipandang sekadar sebagai sebuah keharusan agama, sangat kecil kemungkinan untuk membangun kepekaan terhadap keadaan sosial di lingkungan umat muslim. Dampaknya tidak lain hanyalah pada penguatan ibadah secara individu semata, sementara dampak secara sosial bisa jadi menjadi terabaikan.

Setiap satu tahun selalu disisihkan satu bulan khusus bagi umat muslim untuk melaksanakan ibadah puasa, artinya ada sebuah pola yang coba dibangun dengan rencana yang sistematis dan continue beserta pesan moral dan hikmah yang dapat digali di dalamnya. 

Puasa dikatakan sebagai suatu pola sistematis yang memang terindikasi menjadi sebuah ritual rutin tahunan Muslim. Hal ini hanya terjadi apabila kita tidak mampu memberi makna akan kehadiran dan keriangan terhadap perjumpaan dengan bulan yang diyakini sebagai bulan suci ini.

Puasa yang dilakukan sebagai sebuah ritual tahunan ini jelas memiliki makna dan dampak secara langsung, baik bagi pelakunya sendiri maupun bagi masyarakat secara luas. Dan perlu diperhatikan bahwa sebagai sebuah ajaran universal, tentu dampak sosial yang hendak ditumbuhkan tidak terbatas bagi kalangan umat muslim saja untuk memperoleh hasilnya, melainkan juga kepada umat manusia secara umum.

Hikmah puasa bagi pelakunya, dalam hal ini seorang Muslim, dapat meningkatkan kesabaran, keikhlasan, serta kepekaan dalam diri. Puasa dalam makna menahan lapar dan haus dari sejak masuk masa imsak hingga berbuka puasa, umat Islam dilatih untuk mencoba menjadi orang lain yang kesulitan dalam memperoleh makanan. 

Selain itu, seorang Muslim yang melaksanakan ibadah puasa juga dipaksa untuk menekan hawa nafsunya dari berbagai macam hal yang bisa jadi merupakan kesenangannya ketika di luar jadwal puasa yang dilakoni

Jadi, umat Islam, selama melaksanakan ibadah puasa, dianjurkan untuk selalu dalam perbuatan baik dan juga diupayakan untuk senantiasa meningkatkan ibadah bersamaan dengan kualitasnya.

Dampak yang kemudian berusaha dihadirkan tidak jauh dari hikmah dilakukannya ibadah puasa itu sendiri. Diantara beberapa dampak yang akan hadir bagi pelaku puasa adalah terwujudnya individu umat muslim yang sabar dalam menjalani suatu usaha atau pun kegiatan, jika pun itu terasa berat baginya. 

Amarahnya terdidik sehingga tidak mudah diluapkan menjadikannya belajar sebagai orang bijak atau paling tidak, berusaja mejadi bijak. Dampak lain yang akan mewujud dalam diri seorang muslim adalah kepekaan yang berangkat dari dalam diri terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. 

Hadirnya kepekaan ini akan menjadikan umat Muslim membangun tenggang rasa dengan individu maupun lingkungan alami di sekitarnya, entah itu kepada sesama muslim maupun non-muslim.

Hikmah dan dampak yang akan ditimbulkan secara luas dalam lingkungan sosial adalah rasa persamaan dan persaudaraan diantara umat muslim dan umat manusia pada umumnya, walau sedikit, dia bisa jadi percikan pertumbuhannya. Dengan menggali dampak sosial setelah melakukan recharge moralitas dan kepekaan terhadap lingkungan ini, maka kehidupan secara bersama dapat berjalan nikmat dan khidmat. 

Hal ini sangat berpotensi teraktualkan apabila dengan tenang dan lapang, seorang yang berpuasa, memaknai arti puasa yang ia lakukan sebab pada saat (misalnya) menahan lapar, pada saat itu pula seorang yang berpuasa berusaha membaca paradigma atau pun sudut pandang dari orang lain yang hampir setiap harinya merasakan lapar. 

Setelah dilaksanakan puasa, maka dilanjutkan dengan kegiatan berderma, menyalurkan zakat dalam rupa zakat fitrah yang artinya, secara umum adalah untuk menyucikan harta yang dimiliki seseorang. Di sana terdapat gambaran bagiamana seseorang ketika telah melaksanakan ibadah puasa sebagaimana diukir pada kalimat-kalimat di atas, kemudian dilanjutkan dengan semangat berbagi harta kepada orang lain yang sasaran utamanya adalah juga orang-orang yang lemah, khususnya dalam hal finansial untuk menunjang kehidupan mereka.

Kembali kepada persoalan puasa, bahwa kegiatan ritual tahunan ini bukan semata untuk selalu dirujuk dan dimaknai sebagai suatu kewajiban yang tidak perlu dipertanyakan lagi mengenai alasan keharusan dilaksanakannya salah satu ibadah tersebut. 

Kenapa demikian? Karena melakukan sesuatu tanpa mengetahui dasarnya, maka akan sulit untuk memahami dan menggali gagasan dasar yang dibalut di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam yang hadir di tengah sosial merupakan suatu ajaran dasar yang nilai kandungannya bersifat bidimensional. Artinya ia memiliki dua dimenasi sekaligus, yaitu dimensi transendental (Ketuhanan) sekaligus dimensi sosial yang bersifat material indrawi serta afirmatif.

Jadi, puasa bukan saja merupakan ajang ritual tahunan kepada Allah Swt., melainkan juga bermakna penting untuk digalai nilai dasar di dalamnya untuk dijadikan acuan dalam kehidupan bersosial dengan ragam kebaikan yang berusaha diaktualkan selama dilakukannya ritual ini. 

Hal yang tidak kalah penting untuk diketahui, bahwa datangya secara rutin setiap tahun merupakan suatu seruan sistematis dan continue untuk selalu mengingatkan serta mendidik umat agar tidak terlampau jauh dari koridor syariat yang diajarkan kepada umat Muslim. 

Pusa Bulan Ramadan adalah bentuk pendidikan bagi pribadi masing-masing umat agar berusaha menjadi orang sabar, ikhlan dan tabah dalam melawan segala bentuk foya-foya dunia dan juga untuk mengaktifkan kesadaran serta kepekaan dan kasih sayang. Entah kepada sesama manusia maupun kepada makhluk lain yang memang pada dasarnya masih bagian dari manusia dengan mekanisme kerjasama dalam arti makhluk yang sama dicipta.

Dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya, puasa bukan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam secara berulang sebagai bentuk penghambaan semata kepada Allah Swt. sebab nilai fundamental yang hendak disampaikan kepada umat tentang dihadirkannya puasa sebagai bentuk ibadah tahunan adalah untuk selalu mengingatkan umat Islam tentang pentingnya nilai, sebagaimana telah tergambar di atas. 

Dapat pula dikatakan, zakat yang hadir secara berkala dan rutin setiap tahun merupakan suatu langkah awal sebagai bentuk pengelolaan untuk menciptakan kualitas diri yang lebih baik lagi, mulai melangkah masuk ke dalam realita sosial untuk diperbaiki, serta mengubah hal-hal yang kurang produktif sebelum melaksanakan ibadah puasa menjadi lebih produktif dan bernilai positif untuk tatanan sosial yang ada. 

Pengelolaan diri yang kemudian keluar dari bulan Ramadhan ini adalah penyucian hati, pikiran untuk menjadikan perbuatan yang dilakukan lebih bermanfaat untuk kehidupan pribadi maupun sosial dengan tetap bersandar pada nilai-nilai transendensi.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Berbuka di Jogokariyan

Relawan Ramadhan menyusun kotak menu berbuka di dalam Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Relawan Ramadhan menyusun kotak menu berbuka di depan Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Suasana aktivitas jual beli di Kampung Ramadhan Jogokariyan. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Panitia menyediakan handsanitizer di beberapa titik. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Petugas Satgas Covid-19 Kota Yogyakarta memantau penerapan protokol kesehatan di sekitar area Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Alwan Nur Fakhry.
Ismail (50), koordinator kegiatan buka puasa Masjid Jogokariyan ikut membagikan kotak menu berbuka kepada warga sekitar. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Suasana setelah berbuka puasa di sekitar Masjid Jogokariyan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.

Jalanan mulai lengang pada pukul 16.00 WIB. Terdengar sayup-sayup tausiah dari pengeras suara masjid lain tak jauh dari Masjid Jogokariyan, Kampung Jogokariyan, Yogyakarta. 

Sepi bukan berarti kosong. Di dalamnya para relawan Ramadhan, sebutan untuk pengurus masjid dan warga sekitar yang secara sukarela, membantu menyiapkan kotak-kotak nasi untuk berbuka. Mereka menyusunnya dari lantai satu hingga lantai tiga gedung masjid.

“Setiap hari total ada sekitar 2000 kotak. 1000 untuk di dalam masjid, 1000 sisanya untuk masyarakat sekitar,” ujar Ismail, koordinator kegiatan berbuka puasa di Masjid Jogokariyan, Selasa (27/04).

Kegiatan berbagi menu buka puasa diadakan Masjid Jogokariyan sejak tahun 1973. Tidak hanya kegiatan berbagi menu berbuka yang terkenal di kampung tersebut, aneka penjual takjil juga dapat dijumpai dan menambah semarak Ramadhan.

Pukul 17:00 WIB, Jalan Jogokariyan ditutup untuk kendaraan. Pengunjung dan warga sekitar mulai berdatangan untuk berburu takjil atau menempatkan diri di dalam Masjid Jogokariyan. Menggunakan pengeras suara, Ismail bersama rekannya menyerukan ajakan untuk menyambangi area masjid serta mematuhi protokol kesehatan.

Beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang, ceramah dari pengeras suara Masjid Jogokariyan mulai dilantunkan. Para jamaah duduk, mendengarkan di balik kotak menu berbuka masing-masing yang sebelumnya telah disusun Relawan Ramadhan. 

Para pengunjung dan warga yang tidak memasuki masjid juga dapat menikmati sekotak menu berbuka. Tepat pukul 17:30 WIB, relawan Ramadhan mulai membagikan kotak yang disambut antusias oleh pengunjung dan warga sekitar. Dalam hitungan menit, seluruh kotak menu berbuka ludes terbagi.

Pengunjung dan warga menikmati santapan berbuka di dalam masjid maupun pinggir Jalan Jogokariyan. Suasana suka cita berbuka puasa terasa hingga menjelang azan isya.

Narasi: Ika Rahmanita

Reporter: Ika, Alwan, Alief, dan Yustisia