Beranda blog Halaman 34

Dia Tak Pernah Berhenti Berlari

Setiap kali di tengah percakapan kami, ia selalu mengatakan bahwa ia harus berlari lagi. Pada saat itu berarti pembicaraan kami harus terhenti. Hal yang menjengkelkan adalah terkadang pembicaraan kami sedang seru-serunya, atau saat aku sedang sangat ingin melanjutkan cerita. Memang caranya mengakhiri pembicaraan sangat santun, namun tetap saja cara seperti itu menyisakan sesak. 

Aku sudah cukup lama mengenal lelaki itu. Seorang sahabatku memperkenalkan sosoknya dalam suatu acara pernikahan temanku yang lain. Perkenalan kami saat itu sangat berkesan dan cukup unik. 

Di acara pesta pernikahan itu, ia membacakan sebuah puisi sambil diiringi petikan gitar dan musik oleh band penghibur. Seusai penampilan baca puisi itu, aku lalu mengajaknya berbincang. Kau pasti sudah bisa menebak yang terjadi kemudian. Kami berbicara panjang lebar dan topik utamanya adalah puisi. 

Aku sangat menyukai puisi, dan sungguh sangat menakjubkan bagiku jika aku berkenalan dan berbincang dengan seorang lelaki tentang puisi pada acara suatu pernikahan yang penuh dengan lagu-lagu yang tentu saja kau bisa membayangkannya sendiri.

“Puisimu sangat indah. Aku sangat suka.” Aku tahu puisi itu ia tulis sendiri karena aku memperhatikan benar sejak awal penampilannya. 

“Terkadang puisi bukan semata soal keindahan, Noor. Itu juga soal kejujuran hati nurani dan daya inteligensi yang selalu dijaga dan diasah.”

“Ya, Kau benar. Selain ekspresif, puisimu penuh spirit. Aku bisa merasakannya.”

“Terima kasih. Perkataanmu penuh apresiasi, Noor.”

Aku sungguh sepakat dengan apa yang lelaki itu katakan. Firmansyah, demikian namanya, kurasa memang seorang tipikal pembelajar seperti kata Diana, sahabatku yang memperkenalkanku padanya. Ia seorang tenang, romantis, namun tampak rasionalis. Pandangannya tentang puisi dipengaruhi dengan tekhnik dan teori kontemporer. Itu sama seperti pandanganku, puisi bagiku juga suatu ilmu pengetahuan yang memiliki ukuran. 

Kesan awal memang menyenangkan. Aku merasa cepat akrab dengan Firmansyah. Namun suatu peristiwa yang menjengkelkan adalah saat aku sedang asyik berbincang dengannya, ia lalu berpamitan. Karakternya yang meurutku hangat dan tenang membuatku berani bertanya padanya saat itu.

“Ini akhir pekan. Kita libur. Kenapa terburu-buru?”

“Aku harus berlari,” jawabnya singkat namun bernada santun.

***

Setelah pertemuan itu, aku memang makin dekat dengan Firmansyah. Kami sering melakukan percakapan langsung via whatsapp, meski lebih sering kami melakukan via pesan. Pembicaraan pada awal-awal tentu berkisar soal puisi, itu agar aku juga punya alasan untuk menghubunginya. Tentu aku masih memiliki rasa gengsi juga untuk menghubunginya terlebih dahulu. Firmansyah jarang sekali atau bahkan tak pernah mau menyapaku dahulu. Itulah kenapa aku harus sering memulai percakapan. Puisi adalah pembicaraan pembuka, setelah itu tentu saja aku senang mengajaknya berbincang banyak hal. Aku memang sering merasa kesepian dalam hidup ini. Mungkin tepatnya, aku tak begitu memiliki banyak teman, tapi entah kenapa aku merasa sangat senang berbincang dengan Firmansyah. Aku merasa cocok. Naluri perempuanku mengatakan jika ia lelaki yang bisa dipercaya dan sangat dewasa. Tipikal seorang yang bisa menjaga ucapan dan rahasia orang lain. 

Memang ada beberapa hal yang cukup mengganjal di benakku tentangnya selama pertemanan kami yang telah berjalan beberapa bulan. Kau percaya, Firmansyah tak akan bercerita jika aku tak bertanya. Satu hal yang paling menonjol dari beberapa yang mengganjal tersebut adalah, ia sering mengakhiri pembicaraan kami karena ia harus berlari.

Awalnya aku tentu memaknai itu apa adanya, ia ingin berolah raga. Tapi beberapa kali hal itu terjadi, tentu naif juga jika aku memiliki anggapan seperti itu. Aku tahu ada hal lain yang ia lakukan. Entahlah apa itu, tapi sungguh aku kini menjadi akrab dengan istilah “lari” yang ia gunakan walau aku belum sepenuhnya mengerti.

“Noor, aku memang harus berlari. Aku tak boleh berhenti berlari.”

“Kenapa tak boleh?” Tanyaku.

“Sekali aku berhenti, akan sangat susah memulai lagi. Dan aku sudah begitu jauh tertinggal.” Aku kini perlahan mulai bisa mengerti dengan apa yang ia sampaikan walau semua memang masih berupa asumsi. Tapi tentulah aku cukup bisa menyimpulkan semua dari sekian lama pembicaraan kami.

Aku memang pernah bertanya apa yang ia maksudkan. Tapi Ia memang tak bisa atau lebih tepatnya tak mau menjawab dengan sejujurnya dan sebenarnya. 

***

Aku mencoba mencari informasi tentang Firmansyah. Aku membaca catatan-catatan di media sosialnya, pada akun fesbuk dan IG-nya. Ia banyak menulis puisi di sana. Aku juga melacak jejak rekam digitalnya. Menurutku ia dahulunya adalah seorang periang yang memiliki banyak teman dan interaksi sosial. Itu beda sekali dengan sekarang yang kukenal. Kesimpulanku, Firmansyah sebenarnya sedang mengalami fase buruk dalam hidupnya yang kemudian berpengaruh pada psikologisnya.

Ya, Firmansyah pernah gagal dalam rumah tangga. Ia juga gagal dalam hal pendidikan. Ia juga gagal dalam pekerjaan dan karir. Ia merasa gagal dalam hidup. Itu tentu asumsiku, tapi tentu aku telah melakukan analisis berdasar dari banyak puisi-puisinya. Firmansyah sedang menyembuyikan semua itu dari banyak orang kecuali ia hanya memberi isyarat dan narasi pada puisi-puisinya yang tak begitu dibaca atau diperhatikan banyak orang. Tapi aku merasa tahu persis apa yang sedang ia sembunyikan dan lakukan.

***

“Ini adalah waktu Akang harus berlari lagi.” Aku mendengar suara tarikan napas dan lenguh panjang di ujung, di seberang telepon. Aku tahu mungkin Firmansyah terkejut dengan yang aku ucapkan. Sebelumnya selalu dia yang mengakhiri pembicaraan, kali ini aku sengaja yang mengakhiri ceritaku meski baru sebentar. Ya, aku benar-benar belajar menahan semua pada Firmansyah; menahan rasa rindu, menahan rasa ketergantungan karena setiap hari aku sangat ingin menghubunginya dengan cerita-ceritaku yang seringkali tidak penting, menahan keinginan untuk tidak bertemu dan mengajaknya makan siang satu minggu sekali, meski pada kenyataannya kami hanya benar-benar makan siang, maksudku tanpa bincang-bincang panjang layaknya orang sedang kencan, dan menahan rasa penasaran untuk tak bertanya-tanya tentang hal yang bersifat pribadi karena ia memang tak akan bercerita. 

“Selamat berlari ya, Kang. Cukup dua atau tiga jam saja Kang, setelah itu tidur.”  

Begitulah aku benar-benar mencoba membatasi semuanya. Beberapa kali aku mengakhiri saling mengirim pesan atau pembicaraan untuk mengingatkan Firmansyah agar berlari. Bahkan kadang aku mencoba tak mengirim pesan pada Firmansyah. Tentu itu sungguh berat bagiku tapi aku memaksa melakukannya. Hasilnya, satu hari aku tak mengirim pesan, ia akan mengirim pesan padaku terlebih dahulu walau sekadar menanyakan kabar. Tapi sungguh ini cukup menyenangkan bagiku. Aku sesungguhnya telah menyimpan perasaan khusus dan dalam terhadapnya. Pembacaanku pada sosoknya sangat positif.

Meski perasaanku makin dalam pada Firmansyah, aku kini mencoba untuk lebih besikap matang padanya. Aku sering katakan padanya bahwa aku sangat mendukungnya berlari. Aku akan menemaninya.

“Ya, jangan pernah berhenti berlari ya, Kang.”

“Terima kasih, Noor.”

“Aku juga sekarang mulai senang berlari, Kang.”

***

Aku terkejut mendapat undangan dari Firmansyah. Ia memberikan undangan itu langsung padaku. Baru kali ini juga Firmansyah bercerita panjang lebar di rumahku, pada suatu hari libur. Awalnya aku sempat mengingatkan dirinya dan bertanya apakah ia tak berlari. Ia mengatakan jika hari itu ia ingin beristirahat barang sehari, dan aku bisa mengerti, bahkan sangat mengerti. Hari ini bahkan seperti hari yang paling indah dalam hidupku, hari di mana aku benar-benar menantinya.

“Kau harus datang besok ya, Noor.” Firmansyah merasa perlu memastikan lagi jawabanku meski aku telah menyatakan kesediaanku. Hari ini seperti sebuah penantian dan jawaban tentang sikap Firmansyah selama ini. Asumsiku selama ini hampir mendekati kebenaran setelah kami berteman lebih tiga tahun.

Ya, saat aku mengenal Firmansyah kala itu, ia memang benar-benar dalam kondisi pada titik nadir. Untungnya ia telah menyadari kesalahan dan kegagalannya. Firmansyah dalam usianya yang tak lagi muda, mencoba bangkit. Pertemuanku pertama di acara pernikahan tersebut, ternyata Firmansyah sedang menyelesaikan skripsinya. Setelah lulus S1, ia mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya namun ia memaksakan diri mengambil program magister demi peningkatan karir dan hidupnya. Perlahan ia bisa menata diri dalam pekerjaan dan hidup. Itulah kenapa ia merasa harus berlari dan berlari. Ia menghabiskan waktu dengan pekerjaan, pendidikan, dan buku pelajaran serta bacaan. Esok, aku akan mendampinginya dalam wisuda magisternya, dan ia berhasil sebagai peraih nilai tertinggi dan wisudawan terbaik. Aku pikir, itu harga yang sangat pantas atas usaha Firmansyah, karena ia memang tak pernah berhenti berlari.

Masih kuingat tadi saat ia berkata bahwa ia juga sebenarnya menahan kerinduan yang sangat, juga rasa sesak yang begitu berat di dada saat ia harus menghentikan pembicaraan denganku sambil mengatakan bahwa ia harus berlari lagi.

“Aku juga lelaki normal yang memiliki rasa rindu dan senang jika ada seseorang yang memiliki perhatian padaku sepertimu, Noor.” Aku tak bisa menanggapinya kecuali larut dalam perasaan. Firmansyah memang benar-benar tak seburuk yang aku sangkakan. Selain ia harus menahan rasa rindu dan sepi, ia juga ternyata benar-benar harus merasakan rasa kesakitan dan kelaparan saat ia sedang berlari. Ia benar-benar dalam kondisi yang sangat memprihatinkan demi sebuah impian. Ia merasakan dan menahan itu jauh sebelum aku mengenalnya. Tak sepertiku, ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana.

“Aku pernah gagal, Noor. Semua itu karena kesalahanku sendiri. Aku belajar dari semua kegagalan itu.”

“Iya, Kang. Aku paham. Aku sendiri juga belajar dari semangat Akang dalam berrlari itu.”

“Nah, kini kau tahu kenapa aku harus berlari. Tapi jujur, sebelum aku mengenalmu, aku benar-benar ingin berlari karena mengejar mimpi. Setelah mengenalmu, ternyata aku harus berlari untuk sebuah pelarian juga, lari dari bayanganmu, haha….” Baru kali inilah aku melihat Firmansyah tertawa lepas. 

“Tapi setelah ini, aku harus berlari lagi, Noor.”

“Kau tak akan berlari sendiri, Kang. Kita akan lari bersama.” Tapi ucapanku itu ternyata tak mampu keluar dari bibirku, tapi aku yakin, Firmansyah telah mampu mendengarnya.*** 

Sekat Bersekat

Lonjakan kasus corona menjadi sorotan

Segala upaya dilakukan demi keselamatan

Penyekatan jalan jadi salah satu upaya

Berhasil atau tidak, yang penting terlihat bekerja

Alih-alih menekan mobilitas

Malah menumpuk di jalan pintas

Alih-alih mobilitas jalan raya ditekan

Kerumunan malah pindah ke permukiman

Penyekatan jalan menjadi pilihan

Meski mereka yang tanpa masker masih bebas berkeliaran

Penyekatan jalan menjadi pilihan

Menyekat ruang pencari arta

Jadi, ekonomi atau kesehatan

Mana yang menjadi prioritas

untuk diselamatkan?

Siasat Mengolah Kesan Sampah pada Draf Pertama

Apakah kau pernah menganggap karya yang kau tulis tak lebih sebagai sebuah sampah? Kalau iya, berarti kau tidak sendirian. Sebab ada orang lain yang juga berpendapat begitu. 

Itu kira-kira, saya dapati dalam dialog dari salah satu novela Guillermo Rosales. Di novela yang berjudul “Penampungan Orang-Orang Terbuang itu, ketika si tokoh utama baru tiba di panti yang menjadi akhir hidupnya setelah keluar-masuk rumah sakit jiwa, pemilik panti bertanya:

“Kau senang membaca?”

Bibi si tokoh utama menjawab. “Tidak cuma itu. Dia penulis.”

“Ah,” ucap si pemilik panti, pura-pura terkejut. “Dan apa yang kau tulis?”

“Sampah,” kata si tokoh utama, pelan. 

Kala membacanya, reaksi yang saya tunjukkan kali pertama adalah tertawa keras. Lalu, reaksi kedua saya lebih aneh lagi: Saya dibuat merenung sambil membatin, “Ini kok saya banget, ya?” Alhasil, petikan dialog itu terus saja terbayang di dalam kepala saya. 

Kerap kali, dalam menulis karya-karya saya selama ini, baik cerpen ataupun resensi, hal yang masih saya rasakan adalah semua tulisan itu tidak lebih dari sebuah sampah. Tak lebih dari sederetan kata dan kalimat yang tak sempurna, penuh cacat dan kekurangan. 

Ketika mendapati seorang mantan penulis (si tokoh utama ini) mengatakan bahwa tulisan yang ia tulis hanyalah sampah, saya seolah mendapat validasi bahwa apa yang saya rasakan ternyata bukan hal baru. Rupanya, penulis lain di luar sana pun pernah tiba di titik ini: menganggap tulisan sendiri sebagai sampah.

Baiklah, barangkali pernyataan itu terdengar sedikit sadis. Sebab, tulisan bisa dianggap sebagai buah pemikiran dan kerja kreatif yang dapat memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Rasanya kurang layak dianggap sebagai sampah, atau sesuatu yang tak ternilai harganya. 

Tapi sebentar, sebelum melangkah semakin melebar lagi, saya perlu meralat pernyataan tadi: tulisan itu memang sampah, tetapi bukan berarti ia tak berguna sama sekali. Toh, kita bisa mendaur ulangnya lagi hingga menjadi sebuah tulisan yang apik dan bernilai. 

Soal inilah yang terkadang tak disadari oleh orang yang ingin menulis di luar sana. Saat merampungkan sebuah naskah tulisan dan sebagaimana kesan draf pertama di manapun di dunia ini, perasaan tak puas akan draf tersebut, menjangkiti orang yang ingin menulis tadi. 

Lantas, lantaran perasaan tersebut ia kemudian berhenti menulis sama sekali. Parahnya, ia menganggap kalau apa yang ia telah menjadi penulis yang gagal. Padahal, yang tidak ia sadari adalah tulisan yang baru dihasilkannya itu tetap memiliki potensi untuk menjadi tulisan yang baik. Atau, setidaknya, tulisan itu bisa diperbaiki kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. draf itu perlu melewati proses diedit kembali, ditulis ulang, dan dibongkar-bongkar lagi.

Draf pertama memang selalu begitu. Tampak seperti sampah, dan wajar kalau kita merasa jengkel karenanya. Penulis sekaliber Ernest Hemingway pun berpendapat demikian. Namun, yang perlu diubah adalah persepsi kita soal draf pertama, sebab semua itu bukan akhir dari segalanya. Kegiatan menulis toh menuntut laku kesabaran dan ketekunan. 

Penulisan draf pertama hanyalah satu proses dari sekian proses yang mesti dilewati. Kita tidak bisa berhenti hanya pada draf pertama, sebab itu bukanlah akhir. Mau tidak mau kita harus sadar bahwa melakukan penyuntingan ulang adalah perlu. Bila perlu, kita anggap sebagai laku wajib dalam kegiatan tulis-menulis kita. 

O ya, sebelum tiba pada tahap penyuntingan ulang itu, tentu kita tidak boleh melewatkan proses pengendapan sementara. Saya sendiri kerap mengendapkan draf yang saya tulis selama satu atau dua minggu. 

Dengan adanya proses pengendapan, mata kita akan lebih kritis lagi dalam mendeteksi kesalahan, kerumpangan, ketidakajekan kalimat, dan sekian kekurangan-kekurangan lainya. Dengan begitu, draf yang tadinya kita sangka hanya sederet kata-kata tak berguna, bisa dipoles kembali. 

Di luar perkara tadi, terlepas dari pernyataan yang terdengar kejam itu, penggambaran sampah justru menjadi pemantik yang mujarab kala saya menulis. Belakangan saya mulai mengintip nilai-nilai filosofi dari mazhab Stoisisme, salah satu mazhab filosofis dari Yunani. Di Indonesia, kita lebih mengenalnya dengan “Filosofi Teras”. Ya, itu ada bukunya, sampai sekarang masih cukup laris manis, penulisnya Henry Hanampiring. 

Sebagai pembaca yang sedang mendalami filosofi Stoisisme dasar, saya mulai menerapkan ilmu ini sedikit-sedikit ke laku kehidupan saya, terutama dalam kegiatan tulis-menulis. Dan, perwujudannya tak lain berkaitan dengan mengolah draf pertama yang dianggap sampah ini. 

Kala melakukan proses menulis, ketika meletakkan jari di atas tuts keyboard, saya tanamkan petuah-petuah Stoa bahwa biarkan pikiran bekerja berdasarkan apa yang bisa dikendalikan: kerja terbaik, memfokuskan diri, dan menyelesaikan tenggat dengan baik; lalu, singkirkan pikiran dari hal yang di luar kendali kita: hasil tulisan nanti (buruk atau bagus). Singkatnya, saya bekerja dengan mengerahkan kemampuan terbaik saya dan berusaha menyelesaikannya tanpa pretensi tulisan tersebut akan menjadi sempurna atau tidak.

Di dalam laku tersebut, tak mengapa kalau apa yang saya tulis nantinya akan berakhir menjadi sampah. Saya tidak perlu merasa risau, galau, atau mengutuki diri soal ketidakmampuan saya dalam menghasilkan tulisan yang baik. Toh, saya masih memiliki kesempatan untuk menengoknya kembali. 

Membaca ulang, menyuntingnya, lalu membaca ulang, dan menyunting lagi. Proses itu tidak bisa ditinggalkan. Saya lakukan terus-menerus sampai saya sendiri yakin kalau tampilan yang tadinya buruk rupa menjadi kelihatan lebih baik lagi. Begitu. 

Yang Menyoroti Kerakusan

Judul: Nggragas

Penulis: Triyanto Triwikromo

Penerbit: Diva Press

Cetak: Pertama, Februari 2021

Tebal: 212 Halaman

ISBN: 978-623-7378-37-2

“Ia makan tak sesuai kebutuhan” kata Kunti kepada Bima, “Kalau saja gunung bisa dimakan, ia akan menelan gunung itu tanpa sisa” (Nggragas).

Salah satu wiracarita kuno India yakni Mahabharata, menggambarkan Bakasura sebagai sosok omnivora. Raksasa pemakan segala. Alkisah, warga Erucakra sangat takut padanya. Ia nggragas, rakus. Tak ada seorang pun yang sanggup menghentikan kerakusannya itu. Selain rakus, hasrat menguasai siapa pun kian tak tertangguhkan di kedirian Bakasura.

Demikianlah sepenggal narasi Bakasura.  Sosok Bakasura ditilik sebagai representasi manusia yang rakus dan angkuh dalam buku. Entitas karakter antagonis maujud dalam segenap tindak tanduk kesehariannya. Karena ia antagonis, demikianlah karakter ini menjadi analogi yang relevan  untuk menggambarkan umat manusia yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mengejar hasrat kesenangan temporal.

Perspektif Jawa

Tajuk “Nggragas” pada kumpulan esai Triyanto Triwikromo ini menjadi semacam tilikan yang sanggup mendedahkan mata melihat segenap persoalan kekinian bangsa. Salah satunya kerakusan orang dalam berpolitik. Pengisahan demi pengisahan dalam perspektif budaya Jawa pun digunakan untuk membidik lebih jauh persoalan itu.

Jawa, dengan segenap kearifan lokalnya menyimpan narasi adiluhung yang hingga kini masih terus kontekstual. Kearifan lokal itu berkelindan dengan bagaimana seharusnya manusia dapat memaksimalkan potensi hidupnya. Ia tidak hanya sekadar bertindak, namun juga memikirkannya terlebih dahulu. Itulah salah satu manifestasi peningkatan potensi diri.

Pemaksimalan potensi diri menjadi penanda bahwa ia suatu entitas yang berpikir. Manusia terus bergumul dengan realitas karakteristik alamiahnya, konstruktif dan destruktif. Dua karakteristik alamiah yang  senantiasa tarik ulur itu memerlukan kendali yang berangkat dari hulu akal budi. Ya, dari hulu akal budi ini tersemai dimensi kebajikan yang sanggup menghentikan laju karakter destruktif dalam diri manusia.

Akal budi menjadi pelopor jalan terang pengetahuan. Manusia berpengetahuan akan memaksimalkan akalnya demi kemaslahatan bersama. Ia tidak gila kekuasaan dan menghamba pada materi. Bagi manusia yang paham mendayagunakan akalnya, dua hal tersebut bak ornamen semu yang berusaha bersembunyi di balik tabir kenestapaan orang banyak.

Karena itu, ia mesti ditanggalkan. Hal-hal yang berurusan dengan materi kini menjadi tujuan utama hasrat manusia modern. Tak ada penundukan ego dalam pemenuhan hasrat itu. Semuanya sama-sama memperebutkan sesuatu yang tampak artifisial berupa kekuasaan. Di balik tampuk kekuasaan inilah manusia ditarik ke dua sisi yang saling mempengaruhi, antara berdedikasi dan mencari kenikmatan semu duniawi.

Jika ia berdedikasi, energi positif akan selalu tercurah di setiap gerak langkah, sorot mata, dan getaran hati seorang pemimpin yang berjalan di atas kepentingan orang banyak. Tak ada pamrih materi di sini. Semesta mendukung. 

Sebaliknya, kenikmatan semu duniawi membuat seorang pemimpin akan semakin terbius pesona bujuk-rayu berhala materialisme. Ia menjadi semacam candu yang mengubah sikap pemimpin menjadi nggragas dan melupakan hakikat eksistensialisme kepemimpinannya di ruang publik.

Yang terakhir ini merupakan tujuan salah arah yang bersegera diluruskan. Penyair Darmanto mengingatkan, manusia perlu hidup secukupnya. Baginya, hidup yang cukup membuat seseorang tidak rakus. Kerakusan, sebagaimana karakter destruktif, menyebabkan suatu tindakan korupsi terjadi (Halaman 70).

Bagi masyarakat Jawa, jika kita ingin hidup bahagia, kerakusan mesti diganti prinsip hidup sebagaimana mestinya. Jika mestinya ia memakai blangkon, sepantasnya memakai blangkon. Jika mestinya ia memakai selop, sepantasnya memakai selop. 

Seperti yang disebut Ki Ageng Soerjomentaram dalam anggitannya, “Kaweruh Jiwa”, bahwa orang bakal bisa beja jika mereka menjalankan kehidupan dengan sakpenake, sabutuhe, seperlune, sacukupe, samestine, dan sabenere.

Menjalani hidup sebagaimana mestinya menjadi cara ampuh untuk meredakan konflik yang sering terjadi akibat hasrat mendudukkan dirinya dalam dominasi kekuasaan. Segerombolan binatang yang berjaga-jaga dalam tiap diri manusia yang digambarkan Sapardi perlu segera dipenggal. Jika tidak, manusia akan menjadi serigala bagi yang lain.

Akhirnya, 46 esai dalam buku merangkap secara subtil memuat refleksi atas kehidupan kita dengan liyan. Pada setiap inti babakan esainya, Triyanto banyak menimba pelajaran adiluhung dari tiap kisah dalam dunia pewayangan Jawa. Ini dilakukan karena dalam dunia pewayangan termuat dimensi kearifan lokal yang kontekstual menggambarkan lelaku hidup manusia modern, salah satunya ihwal kerakusan. 

Triyanto yang karib dengan puisi, membuat “Nggragas” terasa begitu satir, analitik, dan memantik imajinasi sambil melihat kerumunan realitas dunia politik mutakhir yang tidak karuan juntrungannya. Melalui perspektif budaya Jawa, esainya sarat dengan muatan kearifan lokal yang telah mengalami kristalisasi gagasan paling sublim. Kini, sehimpun esai “Nggragas” secara implisit hendak memberi jalan terang atas fenomena perpolitikan tanah air. 

Lombok itu Artinya Lurus

Sesekali bolehlah mengunjungi kampus itu untuk bernostalgia sejenak. Melepas penat sementara sehabis menghadapi hari-hari kerja nan terlampau berat. Ya, hari cerah tersebut menjadi momentum bagi Wahyu untuk mengenang rancaknya masa-masa kuliah dulu. Walau memang secara keadaan kini semua sudah berubah.

Setiap langkah gontainya yang melintasi boulevard membawa benak Wahyu pada rasian. Taman-taman yang asri ini menjadi saksi bisu bahwa setiap ada kelas pagi, seorang Wahyu selalu datang terburu-buru lantaran dirinya acapkali terlambat. Atau masjid ikonik kampus itu yang menjadi saksi ketika ada teman Wahyu yang kostnya sudah ditutup sebab waktu yang larut malam, mereka semua kompak menginap di sana… saling bersenda gurau hingga tiba azan Subuh.

Andaikata waktu terulang, mungkin insan itu ingin lebih mensyukuri tiap momen-momen berharga dengan sanak-sanaknya. Seketika ia teringat hari di mana dirinya pertama kali hendak berangkat merantau bersama teman-teman satu kampungnya.

***

Enam tahun silam, Bandara Zainuddin Abdul Madjid, Lombok. Dengan berat Wahyu keluar dari bus Damri sambil menenteng kopernya, ia sampai di bandara bertiga; bersama Ziyad dan Murad. Akhirnya mereka bertiga sampai di bandara, ini adalah momen yang menarik bagi ketiganya karena baru pertama kali Wahyu, Ziyad, dan Murad akan pergi merantau dalam waktu lama.

Tujuan mereka tak lain adalah Yogyakarta, tempat yang terkenal sebagai kota pelajar dan mungkin kota kenangan. Mereka memasuki bandara sambil berbincang-bincang, tampak di sana orang yang paling semangat adalah Wahyu.

“Pokokne amun te merantau harus te jari dengan-dengan sak bau piak perubahan aden bau membanggakan gumi Selaparang ne! (Pokoknya, kalau kita merantau haruslah kita jadi orang-orang yang bisa membuat perubahan supaya bisa membanggakan tanah Lombok ini),” ujar Wahyu dengan bahasa Sasak.

Wahyu kemudian melanjutkan “Bareh engkah dengan-dengan leq luah to paranan Lombok ne sebie doang lok haha…(Nanti orang-orang luar berhenti menganggap arti Lombok itu cabai).”

“Yee gati meton. Lombok nu artine lurus ndek napak sebie (Mantap saudaraku. Lombok itu artinya lurus bukan cabai),” balas Ziyad. Ia kemudian meneruskan dengan bahasa Indonesia. “Kita orang Lombok harapnya supaya kita bisa lurus dalam menjalani hidup, tak terlalu terpengaruh oleh godaan dunia!”

“Yaok Ziyad, makak mek silung marak jari Tuan Guru, solah ongkat mek. Padahal bilang jelo nyumpak’an dirik gawek mek (Duh Ziyad, kenapa kamu tiba-tiba seperti menjadi Tuan Guru, bagus ucapanmu. Padahal setiap hari kerjaanmu ngomong kasar),” sindir si Wahyu.

Murad yang sedari tadi hanya diam kini sedikit tertawa mendengar hal tersebut. Ziyad mendadak bijak padahal hari-harinya tak seperti itu, pantas saja Wahyu menyindir demikian. Di tengah Wahyu dan Ziyad yang adu bacot, Murad seketika tersenyum menyaksikan mereka. Dia pun hendak mengatakan sesuatu.

“Aku mele jari diplomat, aden engkah jari beban keluarge! (Aku mau jadi diplomat, supaya aku berhenti jadi beban keluarga),” ungkap Murad tanpa keraguan.

“Yee gati meton, engat bae aku endah bareh jari pengusahe… arak penghasilan terus bau wah merarik hehe,” Ziyad pun membagi mimpinya, ia ingin menjadi pengusaha sehingga bila ada penghasilan dirinya bisa segera menikah.

Kedua temannya bersorak menyemangati, ada yang menggoda Ziyad untuk segera menyebut merek (siapa identitas wanita yang akan ia nikahi). Suasana cukup ribut hingga kemudian giliran Wahyu.

Pandangan kini terarah ke Wahyu, mereka berdua penasaran apa yang ingin diungkapkan manusia satu itu.

“Amun aku jak mele jari… (Kalau aku sih ingin jadi),” dengan lantang Wahyu hendak berucap, tetapi…

“Panggilan terakhir kepada bapak Lalu Wahyu Hidayat, bapak
Ziyad Rabbani, dan bapak Nuruddin Murad untuk segera naik ke pesawat.”

Pemberitahuan tersebut lantas membuat ketiganya panik dan berlari sekencang-kencangnya menuju pesawat. Jikalau mereka tak mendengarkan peringatan tersebut sudah pasti ketiganya tertinggal. Memang menunda-nunda adalah kebiasaan mereka, bahkan parahnya sampai di bandara pula.

***

Momen itulah yang kadang membuat Wahyu garuk-garuk kepala bila diingat lagi. Setelah melintasi boulevard kini ia sampai di depan fakultasnya. Berjalan melewati kantin tempat di mana ia acap berdiskusi dengan batur-baturnya dulu.

Kendati sekarang yang dilihat di hadapan mata Wahyu hanyalah kantin kosong tak berpenghuni, namun imajinya membuat seolah-olah lingkungan sekitar hidup – dihuni oleh keramaian anak-anak kampus eranya dahulu.

Terkadang dia berpikir, apa memang niat awalnya dulu untuk menjadi orang Lombok yang dapat membawa perubahan sudah terealisasikan? Wahyu berpikir tidak, lantaran ia merasa tidak ada perubahan yang banyak dalam dirinya selama bertahun-tahun.

Paling yang berubah hanyalah sifatnya, dulunya dia sangat aktif dan semangat tetapi kini amat pendiam serta apatis. Tidak heran dia sering mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah ia sudah berguna bagi orang lain, apakah ia sudah menjadi orang yang lurus sebagaimana lurus dalam makna Lombok.

Yogyakarta itu istimewa bagi dia yang punya cerita di sana. Sedangkan sekarang Wahyu tidak berpikir demikian, ia justru berpikir tiada lagi cerita yang bisa dibuat di Yogyakarta selain bertahan hidup. Ia merasa bersyukur ketika dahulu di bandara hendak mengungkapkan apa mimpinya tiba-tiba terpotong oleh pemberitahuan keberangkatan.

Mengapa begitu? Karena bila Wahyu mengungkapkannya dengan semangat yang menggebu-gebu pada saat itu, pastinya di masa kini hanya ada rasa kecewa bercampur malu nan membebaninya. Sebab impian itu tak lebih hanyalah idealisme belaka yang harus dibuang jauh-jauh.

Dia seperti telah kehilangan arah, tidak tahu lagi hendak melakukan apa. Isi pikirannya sekarang hanya bagaimana cara bertahan hidup, tidak lebih dari itu.

Memperturut keinginan gaya hidup saja enggan, apalagi mengharap sebuah cinta – Wahyu skeptis akan hal itu bahkan sejak sebelum dia merantau. Maka sampai setua apa pun ia tidak mempermasalahkan bila dirinya terus-terusan membujang.

Terlepas dari semua itu, setidaknya Wahyu memiliki sebuah kebahagiaan kecil yang entah kenapa timbul tatkala dirinya mengikuti reuni sahabat, puasa lalu. Rasa senang itu semakin kuat ketika kini Wahyu menginjakkan kaki di masjid kampus, sebab saat ramadan beberapa bulan lalu pertemuan reuni kecil mereka bertiga di sini.

Alangkah bahagianya Wahyu mengetahui dua temannya itu berhasil memperjuangkan impian mereka. Kini Murad telah bekerja sebagai diplomat Indonesia di luar negeri, adapun Ziyad berhasil mengembangkan usaha kulinernya dan membuka cabang di Yogyakarta serta Solo.

Tiada rasa iri ataupun dengki pada diri Wahyu, justru dia malah senang menyaksikan langsung pencapaian teman-temannya. Dalam reuni kecil tersebut mereka malah berdiskusi tanpa saling jaim sebagaimana dulu.

Turut gembira Wahyu melihat putra pertama temannya Ziyad kini sudah bisa jalan, begitupun ketika ia mengetahui Murad baru saja menikah. Meski dalam reuni itu kedua temannya tampak menggandeng istri, itu tak membuat Wahyu kehilangan percaya diri lantaran membujang. Dia yang sering pendiam malah lebih aktif berbicara pada saat itu.

Di masjid itu tiada hentinya tersenyum ceria menyaksikan foto dirinya bersama Ziyad dan Murad ketika reuni kemarin. Apa pun keadaannya di masa sekarang, Wahyu tetap bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk bersobok pandang dengan sanak-sanaknya.

Mendeteksi Potensi Korupsi Pada Anak Sejak Usia Dini

Kasus korupsi selalu menjadi headline menarik di kalangan masyarakat, berita tersebut mampu menembus lima besar dalam trending topic di Twitter. Namun, berita tentang korupsi bukan lagi aneh. Masyarakat seperti memaklumi peristiwa tersebut karena seringnya dihidangkan berita korupsi yang memang kasus tersebut bagaikan rel kereta api tiada ujung.

 Kita ambil contoh kasus korupsi Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, dan Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan. Dua kasus korupsi yang masih segar dalam ingatan masyarakat. Menurut Nasional Kompas, perkiraan dana bansos yang dikorupsi tembus 20,8 miliar dan fee untuk pak mantan menteri sendiri 17 miliar. 

Sedangkan tertangkapnya Nurdin Abdullah menjadi fenomenal karena ia merupakan sosok yang terkenal bersih dan memiliki kinerja bagus, seorang akademisi dengan gelar profesor. Memiliki segudang prestasi, bahkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 lalu. 

Meminjam lirik almarhum Didi Kempot dalam album cucak rowo, saiki jamane jaman edan. Ya! Korupsi memang gila-gilaan di negeri ini. Pencegahan, hukuman, bahkan norma agama sudah diupayakan untuk membangkitkan kesadaran. Meskipun upaya tersebut belum menunjukkan hasil maksimal, kita tak boleh patah arang. 

Pendidikan merupakan jalan paling manusiawi untuk keluar dari masalah. Hal ini dapat kita upayakan pada anak usia dini untuk membentuk mereka menjadi manusia yang bertanggung jawab akan tugas dan peranya yaitu melalui pendidikan karakter.

Sebelum menerapkan pendidikan tersebut kita wajib mengetahui tahapan dan klasifikasi pendidikan karakter pada anak. Dengan mengetahui tahapan pendidikan karakter maka akan semakin mudah untuk mengarahkan dan mendidik anak, karena pada tahapan ini anak sedang mengalami masa perkembangan otak. Karakter dapat berkembang secara psikologis dalam diri anak dengan mengikuti perkembangan usia dan mengetahui lingkungan pergaulan anak. 

Untuk mengetahui klasifikasi perkembangan usia anak, Jean Piaget, Psikolog Perkembangan asal Swiss, membaginya menjadi dua, yaitu kesadaran dan pelaksanaan aturan. Tahapan kesadaran aturan dimulai ketika anak berusia 0-12 tahun. Pada usia ini anak diberi pengetahuan terkait aturan yang tidak bersifat memaksa dan aturan sakral. 

Aturan tidak memaksa adalah aturan hasil kesepakatan sehingga diterima oleh anak. Aturan sakral adalah aturan yang dapat diterima oleh anak dengan logis tanpa harus bernegosiasi. 

Tahapan selanjutnya mengenai pelaksanaan aturan. Anak diberi pemahaman yang bersifat motorik, anak diberi pendidikan tentang pengenalan diri sendiri, pentingnya kesepakatan yang dibuat bersama, sampai tanggung jawab melaksanakan aturan tersebut.

Teori Jean Piaget menegaskan bahwa pendidikan moral patut dikembangkan berdasarkan psikologi perkembangan moral kognitif. Berdasarkan teori tersebut dapat kita tegaskan, sejatinya pendidikan karakter sangat diperlukan untuk anak usia dini. Namun pendidikan karakter harus sesuai dengan perkembangan anak dengan tidak diberikan aturan memaksa tanpa adanya pemahaman terkait aturan tersebut kepada anak.

Mengutip Lawrence Kohlberg, Profesor Psikologi dari Universitas Chicago, tentang tahapan perkembangan moral. Ia merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, salah satunya tingkat III mengenai poskonvensional (postconventional) yang memfokuskan pada tahap norma dan prinsip etika. 

Tahapan ini mengajarkan, dalam tahapan pengembangan dan pembentukan karakter harus dimulai sedini mungkin dengan cara santun dan menghindari kekerasan karena akan mempengaruhi sikap bertanggung jawab anak ketika dewasa. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Anas bin Malik r.a menyebutkan agar muliakan anak-anakmu dan didiklah mereka dengan adab budi pekerti yang baik.

Hadis diatas sangat jelas, sebagai orang tua maupun calon orang tua hendaklah mendidik anak dengan budi pekerti yang luhur dan penuh dengan ketekunan jangan sampai memperlakukan anak dengan semena-mena. 

Tak sampai disini, pendidikan karakter dapat diklasifikasikan lagi dengan lebih spesifik ke dalam beberapa tahapan yaitu mengenai tauhid dari usia anak 0-2 tahun, adab 5-6 tahun, tanggung jawab diri 7-8 tahun, kepedulian (caring) 9-10 tahun, kemandirian 11-12 tahun, dan yang terakhir bermasyarakat 13 tahun lebih. 

Dari beberapa klasifikasi tahapan pendidikan diatas, saya akan mengambil salah satu tahapan sebagai contoh yaitu mengenai adab usia 5-6 tahun. Adab pokok yang akan saya bahas mengenai nilai-nilai karakter. 

Menurut Hidayatullah (2010:32) yaitu jujur, tahu mana benar dan salah, mana baik dan buruk, dan yang terakhir memahami perintah. Pertama jujur, jujur merupakan pondasi yang harus dikokohkan pada anak usia dini karena jujur akan berdampak besar bagi kehidupan yang akan datang. 

Kini zaman mengalami krisis akan kejujuran. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi karena salah satu faktornya adalah ketidakjujuran. Dimulai dari menerapkan perilaku jujur pada anak besar, kemungkinan akan mengurangi tindak kejahatan korupsi di Indonesia kelak. 

Mengajarkan kejujuran pada anak usia dini dapat dilakukan dengan cara sederhana, misalnya mengetahui mana kepunyaan orang lain dan mana kepunyaan anak. Biasakan untuk mengajarkan meminta izin sebelum meminjam yang bukan miliknya. 

Khususnya membiasakan untuk bercerita secara terbuka tentang apa yang dialaminya baik saat bermain dengan temannya maupun di sekolahnya. Ajari untuk dapat mengakui kesalahanya sejak dini kemudian berilah apresiasi untuk anak karena telah mengakui kesalahanya. Jika hal ini terus berlangsung maka dengan sendirinya anak akan selalu bersifat jujur.

Kedua, mengajarkan untuk mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Dengan begitu dapat mengantisipasi terjadinya kerancuan berfikir dan berperilaku, seperti benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar karena perilaku salah yang diulang-ulang.

 Untuk itu orang tua harus secara intensif  mengenalkan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang seharusnya dipilih dan mana yang dihindari karena itu buruk. Jika hal tersebut diterapkan maka motorik anak akan merekam sehingga memperkecil peluang menuju perilaku buruk.

Ketiga, memahami perintah. Tanamkan kepada anak mana yang harus dibolehkan dalam melakukan sesuatu dan mana yang tidak diperbolehkan. Misalnya, ajari anak untuk selalu izin dalam melakukan kegiatan atau bermain agar anak mengerti apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan beserta risiko apa yang menimpa ketika anak melakukan itu. 

Peluang korupsi pada anak sangat mudah ditemukan seperti izin bermain bola ternyata bermain playstation, izin belajar daring ternyata menonton video game, ketika diberi waktu bermain namun pulang melewati batas waktu, ketika bermain dengan teman suka merebut mainan teman, mencuri waktu belajar untuk bermain gim, menggunakan barang yang bukan haknya tanpa izin dan lain sebagainya. 

Sekilas hal tersebut nampak biasa, namun dampak bagi masa depan anak sangat berbahaya jika orang tua tidak mengajarkan pendidikan karakter pada anak sejak dini. Anak sangat merekam apa yang diajarkan orang tua nya baik itu benar maupun salah, baik atau buruk dan yang boleh dilakukan atau tidak. 

Jadi, jika kita tidak mampu menyadarkan generasi koruptor yang sudah tua, setidaknya kita mengurangi suplai koruptor di masa depan melalui anak-anak kita. Ingat! Anak lebih butuh teladan daripada kritikan, maka dari itu kita harus mencontohkan terlebih dahulu kepada anak tentang hal yang benar dan baik. 

Jika anak melakukan aktivitas yang kurang sesuai jangan dikritik atau disalahkan, namun berikan mereka arahan serta contoh untuk melakukanya dengan sesuai. Jangan lupa apresiasi yang anak lakukan karena hal tersebut membuat anak merasa dihargai.

Prodi Analisis Kimia Melaksanakan Praktikum Luring di Masa Pandemi

Himmah Online, Kampus Terpadu – Program Studi (Prodi) Analisis Kimia FMIPA UII kembali melaksanakan praktikum secara luring. Kegiatan tersebut berlangsung di Laboratorium Terpadu sejak 14-24 Juni 2021, dan dilaksanakan mulai pukul 08.00-17.00 WIB dengan melakukan percobaan empat materi praktikum.

“Mulai praktikum senin kemarin tanggal 14 Juni sampai 24 Juni, itu dibagi untuk angkatan 2019 sama 2020. Kalau 2019 dilaksanakan 14 sampai 18. Nah, tanggal 21 sampai 24 itu untuk angkatan 2020,” tutur Bayu Wiyantoko selaku Kepala Laboratorium Kimia Terapan.

Bayu mengatakan alasan dilaksanakannya kegiatan praktikum secara luring karena Prodi Analisis Kimia merupakan program vokasi yang kegiatannya lebih banyak ke praktik daripada teori.

“Kita mengambil kebijakan ini (praktikum luring) karena merupakan program vokasi tiga tahun dan persentasenya lebih banyak sekitar tujuh puluh persen praktik, tiga puluh persennya itu adalah teori. Jadi, bagaimana kita di program vokasi yang ingin melatih skill dari mahasiswa harus digantikan praktikum yang sifatnya daring dan itu sulit gitu ya,” lanjut Bayu.

Lalu, ia menambahkan karena satu tahun tidak melakukan praktikum, mahasiswa angkatan 2019 harus beradaptasi lagi. terlebih pada angkatan 2020 yang belum pernah ke kampus maupun ke laboratorium, yang dari vakumnya kegiatan praktikum  akan berpengaruh terhadap uji kompetensi guna sertifikasi kerja sebagai salah satu syarat kelulusan.

Penyelenggaraan praktikum secara luring, Bayu mengatakan telah disetujui dari pihak prodi, pihak jurusan, Tim Satgas Fakultas dengan dikirimkannya surat permohonan yang salah satu isinya berisi lampiran SOP dan rancangan kegiatan praktikum, lalu surat tersebut diteruskan ke pihak Tim Satgas Universitas.

“Kami sudah menyusun, disetujui oleh jurusan juga, kemudian kami kirimkan surat ke fakultas, fakultas lalu mengirimkan ke Satgas Universitas,” kata Bayu.

Abdul Jamil yang merupakan Ketua Tim Satgas Covid-19 UII membenarkan bahwa Prodi Analisis Kimia melaksanakan praktikum secara luring.

Jamil menyebutkan, pertimbangan SOP berlandaskan pada Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Akademik 2020/2021 yang landasan tersebut telah disetujui dari Pemerintah Daerah DIY.

“Kita pelajari SOP-nya dah bener apa belom, ya sudah kalau sudah benar terus ya kita jalani, kita mengadopsi dari ketentuan menteri ” papar Jamil.

Prosedur Pelaksanaan Praktikum Luring

Mengenai tata cara pelaksanaan praktikum secara luring, kegiatan praktikum harus mendapatkan persetujuan dari orang tua dan sebelumnya telah melakukan tes rapid antigen serta menunjukkan hasil rapid antigen yang masih berlaku selama 3 hari saat memasuki laboratorium.

“Kita sudah sosialisasi terlebih dahulu ke angkatan 2019 sama 2020 (awal semester genap) terus kita kirimkan formulir partisipasi ketersediaan itu, disitu mereka harus ngisi. Intinya pada saat mengisi itu harus seizin orang tua,” papar Bayu.

Terkait pembiayaan tes rapid antigen, pihak jurusan akan mengganti dana rapid secara penuh serta akan memberikan konsumsi selama praktikum sehingga mahasiswa tidak perlu memesan dan membeli dari luar.

Bayu juga menjelaskan bahwa kegiatan praktikum sifatnya tidak memaksa atau tidak wajib.  Apabila terdapat mahasiswa yang tidak diizinkan oleh orang tuanya, maka praktikum akan diganti dengan kegiatan workshop secara luring.

“Untuk praktikum luring nanti, kalau di tengah-tengah ini (praktikum luring) misalkan orang tuanya tidak mengizinkan, nanti kami akan ada semacam workshop untuk mengganti praktikum luring-nya itu jadi gimana skill nya mereka pada saat praktikum ini mereka benar-benar dapat,” jelas Bayu.

Sementara itu, jika pelaksanaan praktikum luring telah mematuhi SOP dan ditemukan terjadi kondisi darurat maupun ditemui kontak erat, kasus terkonfirmasi, kasus suspek, maupun kasus probable; Maka seluruh pengguna laboratorium harus melaksanakan protokol manajemen risiko.

“Misalkan ada yang terindikasi ‘oh ini kok ada gejala covid’, nanti ada proses tracing (penelusuran).Manajemen resikonya seperti itu,” kata Bayu.

Terkait mekanisme praktikum, mahasiswa analisis kimia melakukan empat shift judul percobaan dengan durasi dua jam setengah dan dilanjutkan ke judul percobaan berikutnya. Sementara, mengenai olah data dari hasil percobaan dilakukan secara daring.

Respon Mahasiswa yang Menjalankan Praktikum Luring

Anisa Wulandari, mahasiswi analisis kimia angkatan 2019 yang ikut melaksanakan praktikum luring berpendapat bahwa dengan adanya praktikum secara luring membuatnya lebih paham dibandingkan dilakukannya secara daring.

“Kalau dari saya mantap sih, karena banyak gak pahamnya (praktikum daring),” terang Anisa.

Senada dengan Anisa, Retma Isnainingrum yang juga mahasiswi analisis kimia angkatan 2019 mengatakan adanya praktikum luring membuatnya lebih paham. Berbeda ketika melakukan praktikum secara daring yang melakukan praktikum adalah asisten praktikum, sedangkan mahasiswa hanya melihat lewat kanal Youtube.

“Kalau sekedar lihat aja gitu ya, rasanya beda aja gitu sama kita yang praktikum langsung,” papar Retma.

Bayu berharap proses praktikum luring berjalan secara lancar, tidak terdapat kendala, serta dapat menjadi bahan evaluasi dari lingkup Prodi dan dosen pengampu yang nantinya dapat dibuat kebijakan pada semester ganjil berikutnya.

“Ya harapannya sih gini, ibaratnya pelaksanaan untuk praktikum luring ini Insyaa Allah mudah-mudahan sampai minggu depan berjalan lancar, tidak ada kendala, semua kondisinya baik, nanti ada proses evaluasi dari lingkup prodi, dosen pengampu karena bagaimanapun mereka pelakunya kita perlu saran, nah dari situ kita buat kebijakan semester ganjil walaupun tetap mengikuti kebijakan dari universitas,” pungkas Bayu

Reporter: Ahmad Musawwir Nasar, Alief Facturrohman, Ika Rahmanita, Nita Febrianti, Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Menggugat (Liberalisasi) Pendidikan

Lahirnya produk undang-undang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN) pada tahun 2000 telah menandai sistem pendidikan di Indonesia yang pro pada pasar. Privatisasi pendidikan pun diterapkan oleh perguruan tinggi negeri terutama universitas terkemuka seperti UI, UGM, IPB, dan ITB yang dikelola mengikuti logika bisnis. Seperti regulasi penerimaan peserta didik baru dengan menerapkan biaya tinggi dan regulasi-regulasi lainya yang pada pokoknya berorientasi pada profit. 

Konsekuensi itu terjadi karena dorongan otonomi (kemandirian) PTN-BHMN. Dengan berlakunya UU PTN-BHMN, maka subsidi untuk pendidikan dari negara dipangkas dan invasi konsep pasar pada setiap dimensi universitas tak terhindarkan.

Implikasinya, perguruan tinggi akan melakukan berbagai cara untuk mencari sumber dana dengan dalih besarnya biaya operasional serta tuntutan jaminan mutu pendidikan. Cara paling umum salah satunya dengan melakukan berbagai regulasi termasuk melakukan komersialisasi pendidikan (penerimaan jalur khusus bagi peserta didik dari keluarga mapan secara ekonomi).

Bahkan, kita pernah mendengar di salah satu perguruan tinggi ada keluarga kolongmerat yang membayar biaya masuk mencapai satu miliar. Juga praktik ‘under table’ seperti ‘menjual kursi’ dengan harga tinggi sudah menjadi rahasia umum dalam masyarakat (dan syarat-syarat tidak logis lainnya). Impact-nya si miskin hanya menjadi penonton menyaksikan, sedangkan si kaya berkuliah di Universitas terkemuka: UI, ITB, IPB, dan UGM sebelum diikuti oleh perguruan tinggi lainnya.

Model privatisasi yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan juga dikemukakan oleh Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley. Menurutnya, kebutuhan perguruan tinggi dan sistem pendidikan untuk mendapatkan pendanaan dalam membiayai (minimal sebagian) kegiatan operasionalnya. Bentuk privatisasi perguruan tinggi adalah membebani peserta didik dengan tanggung jawab untuk proses pendanaan pendidikan melalui SPP dan biaya pendidikan lainnya. 

Upaya untuk meliberalisasikan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah juga tampak dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Sesuai namanya, UU PMA ini mestinya mestinya mengatur masalah kegiatan bisnis. Tapi ternyata, produk turunannya yang dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) menyasar ke sektor pendidikan pula, yaitu melalui Perpres No. 76 tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Penanaman Modal. 

Lampirannya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang terbuka untuk penanaman modal asing dengan besaran persentase 49%. Jika dikaji dari seluruh isi, UU PMA memang tidak secara eksplisit menyebutkan kata ‘pendidikan’, akan tetapi pendidikan ditafsirkan oleh pemerintah sebagai bidang usaha terbuka untuk investasi.

Persoalan ini bukan tanpa konsekuensi atau hanya berhenti pada persoalan tingginya biaya pendidikan semata. Karena lebih dari itu konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari ialah terciptanya jurang ketidakadilan yang semakin lebar antara si kaya dan miskin.

Alasannya sederhana, liberalisasi bukan hanya saja memperdagangkan pendidikan (kapitalisasi pendidikan) dengan merujuk konsep pasar, melainkan mendesain sistem sosio-ekonomi yang bisa mengakibatkan disintegrasi sosial: melahirkan antara yang mapan dan miskin. 

Tentu akibat regulasi kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi yang diintegrasikan melalui kebijakan dalam sistem pendidikan. Sebab, jika pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kelas sosial atas, maka kalkulasi sosial-ekonomi bahkan politik hanya dinikmati oleh kelompok sosial menengah-atas saja (oligarki dalam sosio-ekonomi). 

Sedangkan bagi kelas sosial bawah akan tetap di posisinya sebagai kelompok miskin. Hal seperti itu seharusnya diperhatikan oleh masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah yang berangkat dari ‘Konsensus Washington’. Padahal, kita tahu pendidikan adalah modal bangsa yang teramat sakral. Karena sakral, tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan logika bisnis.

Kampus Merdeka

Pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)  oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2010, bisa dikatakan sebagai kemenangan para pemerhati pendidikan dan masyarakat yang menginginkan pendidikan tidak boleh mengkhianati amanat UUD 1945. Satu keberhasilan yang patut dirayakan sebagai langkah untuk tetap mengawal sistem pendidikan di republik ini. Oleh karena itu, baik pemerhati pendidikan, akademisi, dan masyarakat tidak boleh bisu; menarik diri dari persoalan. Mengingat upaya liberalisasi pendidikan tetap diselundupkan pemerintah selama Indonesia tidak bisa lepas dari kekangan lembaga multilateral: IMF, WTO, GATS, dan Bank Dunia.

Sementara itu, belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim membuat gebrakan dengan menggulirkan kebijakan Kampus Merdeka. Belakangan, gebrakan yang dibuat oleh Nadiem itu sukses membuat banyak orang mengerutkan kening. Karena dari terminologi dan istilah yang dipakai (Kampus Merdeka) terdengar revolusioner. 

Mas Menteri (panggilan Nadiem) seakan-akan hendak mengaktifkan kembali ‘DNA’ kampus: kebebasan akademik. Namun, bukan itu yang dimaksud Nadiem. Kampus Merdeka ala Nadiem ialah sebuah usaha untuk mencetak mahasiswa pekerja, bukan mahasiswa pemikir. Ada empat pokok dalam kebijakan Kampus Merdeka:

  1. Sistem akreditasi perguruan tinggi.
  2. Hak belajar tiga semester di luar program studi (prodi).
  3. Pembukaan prodi baru.
  4. Kemudahan menjadi PTN-BH.

Bagi saya usaha Nadiem hanyalah turunan dari kebijakan liberalisasi pendidikan yang hanya memfokuskan manusia untuk bekerja dan menghamba pada mekanisme pasar. Pendidikan diyakini sebagai investasi di masa depan untuk menghadapi globalisasi dan pasar bebas.

Sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah di periode-periode sebelumnya yang pragmatisme dalam memandang pendidikan sebagai penyedia layanan jasa belaka. Usaha-usaha untuk meliberalisasikan pendidikan pada akhirnya tidak lepas dari sasaran kritik keras dari para pemerhati dan pengamat pendidikan karena mempunyai dampak sistem negatif yang luar biasa. 

Sukar untuk berkata tidak dalam memberikan pandangan bahwa kebijakan Kampus Merdeka bebas dari kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Kenapa? Karena tampak jelas kebijakan tersebut hanya memandang subjek peserta didik sebagai human capital yang disiapkan sebagai calon pekerja semata.

Jika diperhatikan lebih saksama, sebenarnya cara berpikir Nadiem dengan kebijakan Kampus Merdeka cenderung kapitalistik. Pendidikan ibarat pabrik hanya memproduksi kebutuhan pasar. Di sisi lain, kuatnya opini publik yang menganggap bahwa tujuan sekolah atau pendidikan semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan layak. 

Cara berpikir demikian diakibatkan dominannya budaya pragmatisme di masyarakat dan sistem pendidikan kita. Senada dengan dugaan Ariel Heryanto yang mengatakan, “Jauh-jauh hari dalam dunia pendidikan di Indonesia sendiri sudah ditanamkan semangat kapitalisme dan hukum pasar sudah diterapkan, walau pada saat itu patrimonialisme dan feodalisme politik masih menjadi payung besarnya”. 

Pada dasarnya, filosofis pendidikan di bawah komando Nadiem dengan istilah Kampus Merdeka tidak sepenuhnya menjawab keresahan masyarakat dalam menyikapi persoalan sosio-politik di ruang publik. Mengingat begitu pentingnya peran kampus untuk memberi kritik dan mengolah dikursus publik dalam menanggapi persoalan bangsa. 

Sebut saja undang-undang pelemahan terhadap KPK, RUU Omnibus Law yang berpotensi melanggar hak lingkungan dan hak buruh, sepi dari diskursus kampus. Sepertinya kampus telah menjadi kuburan bagi matinya lonceng kritik akademis. Di titik inilah kesadaran dinihilkan. Padahal, menurut Alvaro Viera Pinto, sebagaimana dikutip oleh Freire: secara definisi kesadaran adalah metode, dalam arti kata yang paling umum. Sebuah langkah awal dengan tindakan praksis untuk memulai perubahan.

Sementara itu, dalam kebijakan Kampus Merdeka peran antara kampus dan mahasiswa ibarat cetakan dan adonan yang mengikuti mekanisme pasar. Hal itu tercermin dari pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka. 

Misalnya, pada pokok pertama, kampus PTN dan PTS mempunyai otonomi untuk membuka program studi  baru dengan syarat; sudah menjalin kerja sama dengan organisasi/perusahaan, perguruan tinggi tersebut mempunyai akreditasi A dan B. Pada lampiran nya arahannya berbunyi: kerja sama dengan organisasi mencangkup penyusunan kurikulum, praktik kerja, dan penempatan kerja. 

Jika sebelumnya hanya kampus atau universitas PTN-BH yang boleh membuka program studi baru, maka kini semua kampus mempunyai potensi membuka program studi baru dengan syarat tertentu.

Usaha untuk memprivatisasi kampus juga terlihat pada pokok ketiga. Jika sebelumnya hanya kampus mapan seperti UI, UGM, ITB, IPB yang mempunyai status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), kebijakan kali ini syarat untuk menjadi PTN-BH menjadi longgar: Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum Satuan Kerja dapat mengajukan perguruan tingginya untuk menjadi badan hukum tanpa akreditasi minimum. 

Selanjutnya, PTN dapat mengajukan permohonan menjadi badan hukum kapan pun, apabila merasa sudah siap. Jika seluruh lembaga pendidikan hendak diberikan otonomi, maka artinya biaya pendidikan akan menjadi prioritas kampus untuk menampung mahasiswa baru. Dengan sendirinya sinisme di masyarakat menjadi benar; orang miskin dilarang sekolah.

Logika Kampus Merdeka yang mengutamakan ‘human capital’ dan menihilkan ‘social capital’, hanya akan menyebabkan ‘social distancing’ (mahasiswa terasing dengan realitas sosialnya). Karena bagaimanapun juga keberadaan kampus tidak bisa dilepaskan dengan historisitas masyarakatnya. 

Dalam sejarah berdirinya republik ini, peran ‘kampus’ selalu berdiri di garda terdepan dalam menghadapi pergulatan momen kebangsaan. Sebut saja angkatan cendekia Budi Utomo, angkatan Sumpah Pemuda, angkatan 66, angkatan 98 yang pelaku sejarahnya ialah para kaum terdidik. Mengingat romantisme antara mahasiswa dengan ‘penguasa korup’ di berbagai momentum menandakan kampus ialah motor penggerak kebangkitan sebuah bangsa.

Selain itu, hal lain yang patut menjadi perenungan bersama akibat dari kebijakan yang pro konsep pasar ialah persoalan kampus hari-hari ini dikelola dengan logika korporat; biaya pendidikan dari tahun ke tahun akan terus melambung, sedangkan persoalan kode etik rektor mempunyai kewenangan untuk melakukan apa pun. 

Bahkan tak segan ‘menggebuk’ dosen dan mahasiswa jika tidak satu garis lurus dengan aturan yang dibuatnya. Tentu kita pernah mendengar seorang dosen diberhentikan dari pekerjaannya karena mengkritik penguasa. Padahal, akan lebih bijak jika kampus netral dari dalam menyikapi isu sosial.

Sungguh sangat disesalkan jika penguasa ikut mengambil keuntungan dari peran kampus baik dengan cara ‘intervensi’ (hegemoni kekuasaan), ‘okupasi politik’ (menggaet kalangan akademisi masuk ke sistem kekuasaan), maupun dengan cara depolitisasi. 

Misalnya, terjadi di kampus melalui penjinakan, dan menjadikan perguruan tinggi sebagai instrumen kekuasaan negara dalam memproduksi sistem ideologi berdasarkan kepentingannya.  Di situlah matinya gema lonceng akademik, karena kritik dan aksi moral dengan turun ke jalan ialah kegiatan yang tidak sehaluan dengan instruksi penguasa. 

De omnibus dubitandum

Tentu kita menyadari bangsa ini sedang menghadapi persoalan ekonomi. Berbagai persoalan menguap ke permukaan. Akan tetapi, tanpa kritisisme kampus kekuasaan akan cenderung korup. 

Kekuasaan tanpa kritik hanya akan melahirkan penguasa yang otoritarian. Artinya penguasa mempunyai potensi menjadi Leviathan  dalam istilah Thomas Hobbes; tidak terkontrol dalam mengeluarkan kebijakan apa pun demi kepentingan tertentu. Dan mahasiswa akan kehilangan raison d’etre-nya (kehilangan kejernihan berpikir karena hegemoni rektorat). 

Kampus telah gagal menjalankan fungsi etis-humanistiknya. Lebih dari itu, juga tak kalah membelenggunya bagi kebebasan berpikir civitas akademik, karena kecenderungan rektorat yang anti-dialogis. Proses pedagogis seperti ini tidak akan bisa melahirkan critical subjectivity (kemampuan untuk melihat dunia dan persoalannya secara kritis).

Dengan demikian, Kampus Merdeka ala Nadiem bukanlah sebuah penafsiran ‘radikalisme humanis’ (humanis radikal) ala Ivan Illich. Meminjam definisi Erich Fromm tentang ‘radikalisme humanis’, yakni bukan sekumpulan ide atau konsep ideologis tertentu, melainkan sebuah proses untuk memperluas kesadaran, dan pembebasan diri dari pemikiran yang memberhalakan. 

Oleh karena itu, dalam menyikapi kebijakan Kampus Merdeka perlunya mengedepankan logika de omnibus dubitandum “segala sesuatu harus diragukan”. Bukan malah sebaliknya, menggelar karpet merah dengan mendiamkan setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa sehingga bebas dari kritik.

Kampus Merdeka juga bukan penafsiran transformasi pembebasan ala Freire. Argumentasi Nadiem yang hendak menyederhanakan administrasi kampus justru dengan kebijakan Kampus Merdeka pada pokok keempat yang menginstruksikan peserta didik mempunyai hak untuk mengambil mata kuliah di luar program studi dan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS) akan membuat administrasi baru yang tak kalah kompleksnya. 

Kata Nadiem, “Selama ini mahasiswa hanya dilatih berenang dengan satu gaya. Dalam Kampus Merdeka, mereka diceburkan ke laut, dilatih berbagai macam keahlian supaya bisa bertahan.”

Tanpa ‘tedeng aling-aling’ kebijakan Kampus Merdeka hanya akan menjadikan kampus bukan lagi menjadi tungku perapian untuk menggodok persoalan publik, akan tetapi memanggang mahasiswa untuk memenuhi hasrat industri dan pabrik. 

Pada akhirnya kita dibuat mengerti, bahwa kritisisme kampus yang berangkat bukan dari kegelisahan karena suatu persoalan yang mengemuka di ruang publik, kini berada di persimpangan jalan sunyi. Jika boleh kita namai ‘masyarakat akademis yang kesepian’. Sebab, kampus dikerdilkan dan dipisahkan dengan realitas persoalan publik. 

Mahasiswa hanya disuruh menjadi penonton di atas puncak menara gading. Suatu keberhasilan pemerintah dalam usaha semacam itu ialah menjadikan mahasiswa kopong dalam menyelami persoalan sosial di tengah masyarakatnya

Rumah Kertas: Buku Tipis, namun Kritis

Judul: Rumah Kertas (Terjemahan dari La casa de papel)

Penulis: Carlos Maria Domínguez

Penerjemah: Ronny Agustinus

Penerbit: Marjin Kiri

Cetakan: IV, Desember 2018

Tebal: 76 halaman

ISBN: 978-979-1260-62-6

Saat kritik dan saran mulai terbelenggu oleh kebijakan, karya sastra menjadi secercah harapan untuk membebaskannya. Kritik dalam karya sastra terkesan lebih cair dan luwes karena unsur fiktif di dalamnya. Tak perlu gusar akan dikejar-kejar, kan hanya cerita fiktif.

Wajar jika karya sastra dianggap lebih mampu melayani rakyat daripada pengabdi rakyat itu sendiri. Oleh karenanya, Mursal Esten (1989) dalam “Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah” menyatakan bahwa karya sastra tercipta untuk mengungkap masalah-masalah tentang manusia dan kemanusiaan. Di antara karya sastra yang berhasil (secara subjektif) mengungkapkannya adalah novel “Rumah Kertas” karya Carlos María Domínguez.

Meski telah terbit beberapa tahun yang lalu, buku ini tetap layak dibaca sampai kapanpun. Bahkan, Critiques Libres, sebuah situs kenamaan tentang ulasan-ulasan buku-buku sastra terjemahan dan berbahasa Prancis, menyatakan bahwa “Rumah Kertas” merupakan sebuah novel yang layak dibaca berulang kali. 

Secara garis besar, novel ini berkisah tentang tokoh ‘Aku’ yang yang harus berhadapan dengan penyelidikan misterius tentang asal-usul buku aneh sekaligus berkesempatan menyaksikan seorang lelaki yang ‘cinta sepenuh mati’ terhadap buku. 

Selain ceritanya yang menarik dan unik (atau sebut saja di luar batas akal manusia), hal lain yang membuat buku ini layak dibaca dari masa ke masa adalah kandungan kritik sosial di dalamnya. 

Meminjam gagasan Horatius, seorang penyair terkenal pada masa Romawi, bahwa sebuah seni (sastra) itu harus mengandung dulce dan utile. Aspek dulce digunakan untuk membahasakan kode estetik, sedangkan kriteria utile dimaksudkan untuk pengungkapan kritik. Lewat kritik, kegunaan dan kemanfaatan dapat dinilai lebih logis. 

Satu di antara kritik sosial yang disampaikan oleh Domínguez tentang kemanusiaan adalah gaya merendah manusia yang sejatinya hanya omong kosong belaka. Kritikan ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini,

“Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi ‘sok merendah’ soal jumlah koleksi yang tak seberapa” (halaman 10).

Lewat kutipan tersebut, Domínguez seolah hendak memberikan pemahaman baru bahwa kesombongan tak selalu diungkapkan dengan kemegahan atau kebesaran. Kesombongan bisa saja terjadi dengan cara mengecilkan hal-hal yang memang nyata-nyata besar. 

Seperti ungkapan seorang tokoh profesor dalam novel tersebut yang mengatakan bahwa koleksi bukunya tak seberapa. Padahal, hampir satu ruangan penuh dipenuhi dengan rak-rak buku. Sederhananya, kesombongan telah berceceran di mana-mana.

Tak hanya tentang kemanusiaan, Domínguez juga mengkritisi tentang kemuakannya terhadap belenggu kapitalisme. Hal ini tampak pada ungkapan berikut ini,

“Sesuatu yang biasa kulakukan dulu saat tinggal di Buenos Aires, di antara gulungan-gulungan tali tambang, gudang-gudang dari bata ekspos, derek-derek, kapal-kapal, para pelaut, dan burung-burung camar … Namun yang kudapati justru restoran-restoran, kafe-kafe, dan tempat nongkrong mewah dari sebuah dunia yang telah berubah sepenuhnya, dipajang tanpa sungkan, dan amit-amit mahalnya sampai aku merasa tercampak bak sebutir batu” (halaman 14).

Domínguez seolah-olah ingin mencurahkan semua kemarahannya terhadap sistem kapitalisme yang telah merampas semua kebahagiaannya dulu, ketika Buenos Aires masih tenang dengan aktivitas rutin para pelaut dan burung-burung camar. 

Kini, semua kebahagiaan itu musnah ditelan tanpa sungkan oleh para kapitalis dengan dalih pengembangan. Puncaknya, masyarakat dengan ‘takdir berbeda’  hanya akan menjadi korban yang tak ada bedanya dengan sebutir batu. 

Domínguez juga melancarkan sindiran untuk dunia kepenulisan. Ia beranggapan bahwa aspirasi sastra tak lebih dari urusan ketenaran dan kekuasaan melaui ungkapan berikut ini,

“Beberapa orang teman memberiku novel-novel yang baru mereka terbitkan, tapi cuma sedikit yang mempercakapkannya … memilih penerbit-penerbit kecil yang memperlakukan naskahmu dengan sungguh-sungguh, atau bersinar terang selama sebulan dengan penerbit besar dari Spanyol lantas lenyap bak bintang jatuh dari deretan buku baru … Ada bintang-bintang menyilaukan di peta sastra, orang-orang yang jadi kaya raya dalam semalam berkat buku-buku payah, yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya, di suplemen-suplemen koran, melalui pemasaran, anugerah-anugerah sastra, film-film acakadut, dan kaca pajang toko-toko buku yang perlu dibayar demi ruang untuk tampil menonjol” (halaman 15-16).

Sindiran Domínguez di atas agaknya memang benar-benar akan relevan sampai kapanpun. Tolok ukur kelaikan karya sastra cenderung hanya dilihat dari penerbitnya (mayor atau indie), sering mejeng di toko-toko buku besar atau tidak, hingga faktor remeh-temeh lainnya. 

Padahal, (seperti yang ditulis oleh Domínguez) faktor-faktor yang telah disebutkan itu dapat diraih dengan lembaran-lembaran, bukan dengan gagasan. Pada akhirnya, kekayaan dan kekuasaan masih menjadi momok menakutkan untuk perkembangan khazanah kesusastraan.

Novel “Rumah Kertas” memang terlampau tipis, hanya 76 halaman. Namun, kelaikan tidak dapat diukur dengan ketebalan maupun ketipisan, sebab buku yang tipis ini ternyata berhasil menyajikan sebuah gagasan yang kritis. 

Mahasiswa, Kenali Identitasmu!

Tuhan menciptakan 101 ‘Maha’, namun Tuhan hanya mengambil 99 dan Ia sisakan dua. Satu ‘Maha’ diberikan kepada alam di Jawa Timur yaitu ‘Mahameru’, satunya ia berikan kepada manusia yaitu ‘Mahasiswa’.

Celetukan itu hanya guyonan yang diucapkan oleh teman saya satu kampus. Perkataan tersebut memang belum tentu benar, namun ada pesan lain yang dapat kita lirik. Ya, kita memiliki privilege tersendiri ketika menjadi mahasiswa.

Menurut rektor saya dalam pidato penyambutan mahasiswa baru tahun 2018, orang Indonesia yang mengenyam bangku perguruan tinggi hanya 33%. Data tersebut meningkat pada tahun 2019 menjadi 34,58% menurut Mohamad Natsir, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi.

Pendidikan kita tertinggal dari negara tetangga, warga Malaysia, yang mengenyam perguruan tinggi untuk usia 18-23 tahun mencapai 50%, Singapura 78%, sedangkan Korea Selatan hampir 98%. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan semua kalangan terutama mahasiswa agar mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berwujud nyata bukan lagi sebatas cita-cita.

Banyak dari kita merasa bangga ketika berstatus sebagai mahasiswa. Masa peralihan dari dunia sekolah umum yang penuh akan aturan ke masa dimana keran kebebasan mulai dibuka. Dari yang terkecil, pakaian misalnya, pada masa SMP atau SMA kita diwajibkan berseragam dan berdasi, seragam pun dalam dua hari sekali diatur modelnya.

Ketika menjadi mahasiswa, kampus sudah tidak mengatur seragam kita. Pakaian paling fashionable-pun boleh dipakai asalkan sesuai norma yang berlaku dikampus tersebut. Selain seragam, gaya rambut juga dibebaskan. Sewaktu SMA rambut harus pendek, ketika menjadi mahasiswa kampus membebaskan model rambut kita; mau gondrong, pendek, botak dan sebagainya.

Jadi, jika ada kampus atau dosen yang melarang mahasiswanya gondrong perlu dipertanyakan, ia terjebak pada logika SMA atau logika perguruan tinggi?

Dari sekian kebebasan, ada satu ciri yang melekat dan harus ada pada mahasiswa, yaitu kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi. Pola pendidikan sewaktu sekolah dasar hingga S1 memang bersifat indoktrinasi.

Namun seperti yang sudah saya singgung diatas, ketika menjadi mahasiswa keran kebebasan mulai dibuka, arus pedidikan pun harus berbeda juga. Dari indoktrinasi menjadi bersifat sharing literasi yang memungkinkan mahasiswa memberi beberapa jawaban untuk satu pertanyaan.

Sehingga mahasiswa akan tumbuh menjadi intelektual yang lentur, kritis, dan tidak kaku. Selain itu, gagasan yang dikeluarkan akan mampu menawarkan solusi, bukan provokasi. Itulah sekelumit paparan mengapa kita yang duduk dibangku perguruan tinggi memiliki privilege tersendiri.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana keadaan mahasiswa hari ini dengan segala keistimewaan yang ada? Jika kita menjawab dengan infrastruktur pendidikan jawabannya jelas, mahasiswa hari ini dikelilingi kemudahan dan kemajuan teknologi.

Namun jika ingin menjawab dari kualitas mahasiswa, rasa-rasanya tak berbanding lurus dengan kemudahan dan kemajuan teknologi yang ada. Mahasiswa pada tiga dekade lalu memiliki kualitas yang tidak diragukan, mereka merasa memiliki privilege sehingga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membaca buku, berdialog, menulis, turun ke masyarakat untuk melihat problematika negeri lalu meracik solusi bersama sama.

Mereka mampu melakukan itu dengan infrastruktur pendidikan yang terbatas. Kita ambil contoh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Ia rela ditangkap pemerintah Hindia Belanda, diasingkan ke Belanda, jauh dari rumah. Semua itu rela ia lalui karena memikirkan pendidikan rakyat dan masa depan Indonesia.

Sebagai keluarga bangsawan, ia melewati hari-harinya dengan sederhana dan belajar. Dari lika-likunya itu, ia melahirkan semboyan yang terkenal yaitu, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya “di depan memberi teladan, ditengah memberi semangat, dibelakang memberi dorongan”. Konsep yang ia buat sampai hari ini menjadi landasan bagi pendidikan Indonesia.

Andai hari ini yang menjadi Ki Hajar Dewantara adalah kita, keluarga bangsawan yang berkecukupan. Boleh jadi kita akan bangga dengan status sosial tersebut; wisata kuliner, ngopi sana-sini, jauh dari buku bacaan, apalagi memikirkan kondisi masyarakat dan negara.

Hmm, sepertinya tidak perlu banyak keistimewan seperti Ki Hajar Dewantara pun kita sudah melakukan semua itu. Begitulah wajah mahasiswa era ini, tulisan ini bukan menyudutkan peran kita sebagai mahasiswa karena tidak sedikit pula mahasiswa yang sudah sadar dengan posisinya sehingga tetap melakukan kegiatan produktif meski di tengah hingar bingar budaya hedonisme.

Dalam tulisan ini, saya mengajak mahasiswa untuk mengetahui posisi mahasiswa sekaligus peran dalam masyarakat. Pertama, mahasiswa harus menyadari posisinya, meminjam istilah perdagangan Tiongkok, posisi mahasiswa adalah sebagai jalur sutra.

Jalur Sutra adalah jalur perdagangan internasional kuno Tiongkok yang memiliki peran sangat penting dalam perdagangan dunia karena menghubungkan barat dan timur. Barat dan timur dalam tafsiran ini adalah mahasiswa sebagai penghubung antara masyarakat lapisan bawah dengan masyarakat lapisan atas, antara rakyat dengan pemerintah, antara keterpurukan dengan kemajuan. Artinya mahasiswa berada pada posisi penting dalam hirarki masyarakat.

Kedua, menyadari perannya, mahasiswa bukan hanya bertugas berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang ke kos. Peran mahasiswa lebih dari itu, mahasiswa mampu menjadi agen perubahan (agent of change). Melalui pengetahuan, ide, dan keterampilan yang dimiliki mahasiswa harus menjadi lokomotif kemajuan.

Mahasiswa mampu menjadi kekuatan moral (moral force). Dalam sejarah jawa, kita mengenal penaklukan Mangir yang dipimpin Ki Ageng Mangir V oleh Mataram yang dipimpim Panembahan Senopati.

Penaklukan Mangir merupakan yang tersulit dikarenakan prajurit dan rakyatnya memiliki moralitas kuat sebagai wilayah merdeka sehingga tidak runtuh oleh dominasi mataram. Harapanya, mahasiswa mampu menjadi penjaga nilai moral bangsa ditengah derasnya arus globalisasi.

Selanjutnya, mahasiswa mampu menjadi pengontrol social (social control), mahasiswa memiliki control social terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan cita-cita dan nilai luhur bangsa, mahasiswa akan memberikan kritik, saran, serta solusi. Dengan begitu diharapkan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kekuasaan tidak melenceng dari yang seharusnya.

Akhir tulisan, saya akan menjelaskan maksud identitas mahasiswa sekaligus hubungan dengan posisi dan peran mahasiswa dalam masyarakat seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Identitas mahasiswa terletak pada kekayaan intelektualnya. Intelektual bukan menjadi sekat bahwasanya posisi mahasiswa lebih pintar dari masyarakat yang tidak sekolah.

Intelektual memiliki makna cerdas, berakal, berfikir jernih berdasarkan disiplin keilmuan, memiliki kesadaran terkait pengetahuan, dan pengertian. Dari makna tersebut dapat kita simpulkan kekayaan intelektual akan menghasilkan kesadaran akan problematika yang ada sekaligus respon bijak ketika menjalankan peranya dalam masyarakat sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimiliki.

Identitas boleh dikatakan sebagai pengenalan diri. Jika mahasiswa tidak tahu siapa dirinya, maka ia tidak akan mengetahui posisinya dalam hierarki masyarakat. Tanpa mengetahui posisinya, mustahil mahasiswa tau apa yang akan mereka perbuat nantinya.

Saya sepakat dengan perkataan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, “Tidak ada negara maju tanpa pendidikan yang benar”. Bagi saya pendidikan merupakan cara paling tepat dan manusiawi untuk keluar dari masalah apapun, maka dari itu mari bersama-sama kenali identitas kita sebelum kita diberi label atau identitas oleh sistem yang membuat kita kehilangan kebebasan sebagai mahasiswa.