Beranda blog Halaman 33

Masalah Warna-Warni Manajemen Aksi

Himmah Online, Kampus Terpadu – Pada Jumat, 10 September 2021, salah satu acara PESTA UII 2021 yakni Talkshow Manajemen Aksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pasalnya, dari lima pemateri terdapat dua nama yang mengalami perubahan secara tiba-tiba. Dua nama tersebut adalah Isyraf Madjid selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UII dan Alif Madani dari UII Story.

Mereka berdua digantikan oleh Bagus Muhammad selaku Ketua LEM FH UII dan Salsabella Sania selaku Kepala Bidang Advokasi dan Jaringan LEM UII. Alasan perubahan atas dua nama tersebut didasari oleh desakan dari LEM FTI dan DPM FTI yang mempermasalahkan latar belakang Alif dan Isyraf yang berasal dari lembaga eksternal.

Menanggapi hal tersebut, Isyraf menyayangkan dalam acara orientasi mahasiswa masih ada tendensi terkait masalah latar belakang. Namun, ia tidak mempermasalahkan ataupun merasa dirugikan atas perubahan tersebut.

“Terkait pembatalannya jujur saya ga ada masalah, saya gak merasa benar-benar dirugikan atau bahkan dilupakan,” ujarnya melalui Zoom.

Lebih lanjut lagi, Isyraf menuturkan bahwa kampus tidak boleh menjadi ajang pembatasan pikiran. Tidak seharusnya ruang demokrasi ditutupi, melainkan perlu dibuka selebar-lebarnya.

“Ya kampus gaboleh menjadi ajang bagaimana pembatasan-pembatasan pikiran, dia malah harus menjadi tempat dimana pikiran itu terbuka dan persilangan pendapat itu menjadi hal yang wajar”.

Di sisi lain, Alif menuntut penjelasan mengenai pergantian pemateri Talkshow Manajemen Aksi secara tiba-tiba kepada LEM UII, DPM UII, maupun pihak-pihak yang terkait.

Alif merasa terkejut ketika mendengar dirinya dibatalkan sebagai pemateri. Dia mengira hal tersebut sudah final setelah melewati proses verifikasi, namun tiba-tiba ia didesak mundur dari acara tersebut.

“Jika memang salahku, aku minta maaf. Tapi mohon penjelasannya salahku ada dimana? Sampai-sampai hal tersebut diberitahukan H-1 sebelum pelaksanaan,” ujar Alif.

Audiensi Para Pihak

Permasalahan kemudian dibahas dalam audiensi pada Sabtu, 11 September 2021 yang dihadiri oleh Alif Madani; Ketua LEM UII, Sultan Salahuddin; Ketua LEM FTI UII, Muhammad Fajar Anshori; Sekjen DPM UII, Muhammad Nur Fadli Yusuf; dan Ketua DPM FTI UII, Navi Antar di Kesekretariatan LPM Himmah UII.

Sebagai salah satu pihak yang mendesak pergantian Alif dan Isyraf sebagai pemateri Talkshow Manajemen Aksi, Muhammad Fajar Anshori mengungkapkan bahwa pemateri yang ditunjuk tidak sesuai.

Menurutnya, materi yang diangkat seharusnya berorientasi pada pengenalan dasar manajemen aksi KM UII. Fajar merasa materi tersebut semestinya disampaikan oleh orang yang menjadi bagian lembaga mahasiswa UII.

“Ketika kita melihat pemateri manajemen aksi dan ternyata ada yang janggal, kita pertanyakan pertimbangannya seperti apa. Kita liat manajemen aksi yang orientasinya lebih ke pengenalan dasar manajemen aksi keluarga mahasiswa UII, pada KM UII-nya, kenapa dicantumkan malah ada (mantan) Ketua HMI (FTI) UII dan Alif yang jadi bagian dari UII Story,” ungkap Fajar.

Kendati demikian, Alif menyayangkan penggantinya dan Isyraf tidak diusulkan oleh para pendesak, justru malah berasal dari orang-orang terdekat Sultan yang ternyata latar belakangnya berafiliasi dengan lembaga eksternal seperti Bagus Muhammad yang merupakan anggota HMI.

“Kenapa nggak semua yang punya afiliasi disuruh mundur saja?” tuntut Alif.

Sultan Salahudin mengakui bahwa kejadian pergantian tersebut merupakan kesalahan dari pihak LEM UII. “Jujur aku secara pribadi juga secara kelembagaan, aku akui ini merupakan kesalahan aku juga,” tuturnya.

Awalnya, Sultan mencantumkan Alif dan Isyraf sebagai pemateri untuk memberikan corak atau warna baru dalam forum diskusi dengan mengedepankan aspek kebebasan berekspresi. Namun, hal tersebut menjadi sebuah ketersinggungan oleh pihak DPM FTI dan LEM FTI.

“Fokus kami bahwa ada baiknya lah kita membuat suatu warna baru di dalam forum diskusi. Istilahnya mah prinsip-prinsip yang katanya demokrasi itu kenapa ga coba kita tuangkan,” pungkasnya.

Sementara itu, Muhammad Nur Fadli mengklarifikasi bahwa alasan disetujuinya pergantian pemateri adalah DPM UII menganggap problematika itu sudah teratasi oleh Ketua LEM UII dengan menerima aspirasi dari pihak-pihak yang mendesak.                        

Pada akhir audiensi, Navi Antar menyampaikan permintaan maaf kepada Alif dan Isyraf atas desakan pergantian mereka dari acara Talkshow Manajemen Aksi. Niatnya mendesak pergantian tersebut agar mahasiswa baru memiliki tujuan jelas untuk mengikuti acara tersebut.

“Aku meminta maaf sebesar-besarnya mengenai hal tersebut, mungkin membuat tersinggung, sekali lagi ini bukan masalah personal dari pemateri (Alif dan Isyraf) … yang pasti kami gak mau adek-adek ini (mahasiswa baru) ga jelas tujuannya saat di acara, seperti itu aja sih,” kata Navi.

Reporter: Nawang Wulan dan Yola Ameliawati Agustin

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Sepatu Kulit Rahmat

Rahmat (30), pemilik usaha pengrajin kulit sedang melakukan pemasangan kerasan.
Alat.
Membersihkan sol.
Pengamplasan sol sebelum diberi lem.
Rika Agustina (26), istri Rahmat, sedang menunjukkan hasil kerajinan sepatu kulit.

Tak pernah kosong pesanan, pengrajin sepatu kulit Rahmatan bekerja setiap hari dari pagi hingga petang. Beroperasi sejak tahun 1997, toko kerajinan sepatu kulit “Rahmatan” berlokasi di Ndoyo, Magetan, Jawa Timur.

Rahmat selaku pemilik usaha tersebut mulai menekuni membuat sepatu kulit untuk meneruskan usaha bapaknya. Sebelumnya Rahmat sempat bekerja sebagai salah satu penanggung jawab atas peralatan mekanik PT. Pertamina, tetapi Rahmat merasa tidak cocok. Bersama istrinya, Rahmat memutuskan untuk mengikuti jejak bapaknya sebagai pengrajin sepatu kulit.

Meski meneruskan usaha sang bapak, terdapat perbedaan cara bekerja keduanya. “Dulu waktu bapak yang pegang cuma menerima pesanan yang sekiranya bapak bisa buat. Sekarang ini saya berusaha memenuhi permintaan pelanggan bagaimanapun bentuknya,” ungkap Rahmat saat diwawancara.

Hendak ulam, pucuk menjulai. Usaha Rahmat membuahkan hasil. Pesanan mulai berdatangan ke toko kerajinan kulit rumahan tersebut. Tidak hanya dari wilayah Magetan saja, melainkan juga luar kota.

Sejak pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu membuat toko tidak mengepul seperti biasanya. Akan tetapi, Rahmat tetap bersyukur karena dalam kondisi pagebluk pun masih ada pesanan yang datang ke tokonya.

“Setelah adanya pandemi Covid-19 pesanan jelas berkurang banyak. Yang sebelumnya bisa 20 pasang sehari, sekarang cuma satu dua. Nggak banyak. Tapi ya bersyukur saja setidaknya masih bisa untuk makan sehari-hari,” pungkasnya.

Menolak Lupa Tragedi 1965, Demi Keadilan untuk Para Penyintas

0

Himmah Online — Tragedi 1965 di Indonesia masih sering terfokus pada masalah yang kurang tepat, seperti misalnya anggapan bahwa tragedi itu disebabkan adanya diskriminasi etnis atau rasisme. Sedangkan menurut Soe Tjen Marching, novelis serta dosen di University of London, etnis Tionghoa dan Pribumi yang sering digaungkan, bisa dikatakan relatif. Begitupun diskriminasi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja.

“Fokus … seharusnya, menurut saya, ini tentang pelanggaran HAM, bukan tentang etnis,” ujar Soe Tjen.

Kesaksian dari beberapa korban Tragedi 1965 kala itu pun dimuat dalam karya Soe Tjen berjudul “Dari Dalam Kubur”. Novel tersebut mengangkat suara para penyintas tragedi 1965 di Indonesia, yakni para korban perempuan yang mengalami pemerkosaan di masa itu. Bukunya yang berisi kesaksian beberapa korban Tragedi 1965 ini kemudian dikulik lebih dalam selama webinar “Pemerkosaan Perempuan Tionghoa-Indonesia pada ‘65” yang diadakan pada Sabtu, 5 September 2021 oleh Suara Peranakan.

Korban tragedi genosida di Indonesia tahun 1965 sendiri sampai sekarang pun belum diketahui pasti jumlahnya. Sejauh ini, presiden yang berani mengakui tragedi tersebut menurut Soe Tjen hanya Gus Dur. Padahal korban yang kepalanya dipenggal ataupun tubuhnya dimutilasi pun ada buktinya, namun tetap saja tragedi itu tidak diakui sebagai genosida, menurutnya.

Soe Tjen pun tidak membenarkan kesalahan dari para komunis ataupun Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa itu, namun menurutnya pemenjaraan dan pembunuhan tanpa proses hukum yang jelas sudah pasti hal yang tidak bisa dibenarkan pula.

Banyak yang menuntut pengakuan berbagai pihak bahwa kala itu PKI adalah yang bersalah, namun mereka melupakan sejarah lainnya bahwa ada jutaan orang yang diduga simpatisan ataupun memang bagian dari PKI yang kemudian dibunuh juga disiksa tanpa proses hukum yang jelas.

“Akui dulu bahwa jutaan PKI sudah dibunuh tanpa proses pengadilan, sudah disiksa, sudah dipenjara. Sesudah itu baru diskusikan kesalahan PKI. Kalau nggak, jangan berani-berani diskusikan kesalahan PKI, kalau anda belum mengakui genosida ‘65 terjadi dan bahwa PKI itu sudah menjadi korban,” sebut Soe Tjen dengan lantang.

Adanya Pemerkosaan Massal

Selain adanya pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi pada Tragedi 1965, pemerkosaan massal pun juga terjadi. Namun banyak orang yang mengetahui bahwa tragedi pemerkosaan massal di Indonesia terjadi di tahun 1998 saja, sedangkan sebenarnya pada tahun 1965 tragedi ini terjadi pula.

“… Karena disembunyikan, nggak banyak orang yang tahu,” tambah Soe Tjen dalam webinar malam itu. 

Menurut penjelasan Soe Tjen, sebenarnya dalam buku karya Saskia Wieringa yang berjudul “Penghancuran Gerakan Perempuan” pun sudah dibahas mengenai kesaksian para korban tragedi pemerkosaan massal 1965. Kemudian data Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) pun dapat menguak fakta tersebut.

Ia yang melakukan riset untuk penulisan bukunya terkait tragedi pemerkosaan massal di Indonesia pada 1965 pun menemukan beberapa kesamaan cerita dari beberapa korban yang sempat ia wawancara.

“Wawancara saya ini, … orangnya ada di Jawa, di Sumatra, yang nggak pernah ketemu, tapi ceritanya itu bisa serupa,” tambahnya.

Soe Tjen pun kemudian melanjutkan ceritanya, bagaimana ia menemukan kesamaan pada cerita dari beberapa korban yang ia wawancara. Seperti bagaimana korban menyebutkan bahwa mereka diminta untuk tidak berbusana untuk kemudian dicari tanda atau cap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) pada tubuhnya.

“Kalau nggak ada (tanda atau cap tersebut), tetap disiksa,” jelas Soe Tjen. Tidak hanya itu, mereka pun juga bercerita kepadanya bahwa mereka juga diperkosa.

Uniknya, mereka yang menjadi narasumber Soe Tjen ada yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, juga Nusa Tenggara, namun cerita mereka serupa. “Jadi dicari capnya itu sama, ditelanjangi ada, kemudian dilecehkan secara seksual ada. Ini pelecehannya saja yang beda-beda,” imbuhnya.

Jika memang benar tragedi pemerkosaan massal di Indonesia pada tahun 1965 tidak benar-benar terjadi, menurutnya adalah hal yang tidak masuk akal. Meski bukti-bukti yang ia dapatkan dari para korban adalah berbentuk cerita verbal saja dan bukan bentuk bukti visum.

“Ini saya ketahui dari oral, tapi ini, ya itu lah. Tadi kan kita bisa pakai logika, ya. Pentingnya logika di sini. Dari logika, kita bisa mengambil kesimpulan, nggak berbohong orang-orang ini,” tutur Soe Tjen.

Pada tragedi 1965, selain yang menjadi target adalah mereka para komunis; etnis Tionghoa pun juga menjadi sasaran. Ini karena adanya anggapan bahwa Tiongkok yang memengaruhi munculnya komunis di Indonesia. Sehingga pada saat itu, orang yang murni keturunan ataupun dianggap keturunan Tionghoa di Indonesia ikut menjadi target.

Sehingga, selain para perempuan yang termasuk di organisasi Gerwani, perempuan Tionghoa pun menjadi korban. Soe Tjen yang berhasil menemui penyintas menjabarkan bahwa di saat perempuan keturunan Tionghoa bersedia diwawancara, ia hanya menangis dan gemetar, ia tidak mampu berkata-kata.

“Dia menangis sampai gemetar gini, dan saya nggak mau memaksa,” ujar Soe Tjen saat menceritakan pengalamannya bertemu penyintas Tragedi 1965.

Siapa Saja Mereka yang Tergolong Etnis Tionghoa di Indonesia?

Definisi dari etnis Tionghoa di Indonesia pun dipertanyakan oleh Soe Tjen. Mereka yang sering disebut sebagai etnis Tionghoa adalah mereka yang keturunan Tiongkok atau yang bermata sipit dan berkulit putih, padahal nenek moyang dari orang Indonesia salah satunya adalah dari Yunan atau Cina Selatan.

“Etnis itu, bagi saya bisa dipertanyakan. Identitas etnis itu bisa dipertanyakan,” ujar Soe Tjen saat membicarakan mengenai etnis Tionghoa di Indonesia.

Selain itu, ia pun berpendapat bahwa sejatinya ras dan etnis itu adalah rekonstruksi sosial dan ciptaan manusia. Sehingga menurutnya, tidak perlu ada perasaan lebih hebat dan tinggi dari orang lain hanya berdasarkan ras atau etnis.

“… Nggak perlu merasa lebih istimewa, karena ini rekonstruksi sosial, kok,” imbuh Soe Tjen.

Istilah Tionghoa yang sekarang digunakan di Indonesia sendiri sejatinya merupakan pengaruh penguasa Indonesia di zaman Belanda yang memperkenalkan hukum dan istilah kolonial seperti bangsa Pribumi, Oriental, dan Eropa. Di mana sebenarnya perihal identitas etnis dan ras merupakan hal yang kompleks dan tidak bisa dipukul rata karena bukan sesuatu yang sifatnya tunggal.

Soe Tjen pun sedari kecil mau tidak mau belajar apa makna dari kata “Cina” yang dilontarkan kepadanya oleh orang yang sering disebut sebagai “Pribumi”. Ia kemudian bercerita bagaimana pengalamannya saat kecil bertanya kepada ibunya mengenai julukan yang ia terima, kemudian mendapat penjelasan yang menurutnya juga kurang masuk akal.

Saat itu ia yang masih kecil diberi penjelasan bahwa sebutan etnis yang diterimanya itu berarti bahwa etnis itulah yang lebih unggul dibandingkan mereka yang memberikan julukan. Itu pula yang menurutnya salah dan menjadi sumber dari tidak berujungnya masalah diskriminasi ras atau etnis ini.

“Diskriminasi diperangi dengan diskriminasi, dan itu masalahnya,” terang Soe Tjen.

Reporter: Nadya Auriga Daruharti

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Meski Sektor Ekonomi sedang Krisis, Pendidikan Harus Tetap Eksis

Pandemi yang belum menunjukkan indikasi berhenti memang membuat beberapa Negara mengalami krisis dalam berbagai sektor, khususnya dalam sektor ekonomi. Di Indonesia sendiri (khususnya di wilayah-wilayah berzona merah hingga ‘hitam’), pemberhentian sementara kegiatan ekonomi; karyawan-karyawan yang dirumahkan; dan fenomena-fenomena krisis ekonomi lainnya telah menjadi pemandangan rutin sehari-hari. Terhitung semenjak virus COVID-19 menyerang hingga akhir Mei 2020 lalu, sebanyak 1,7 juta jiwa dinyatakan ‘positif’ menganggur akibat wabah Corona berdasarkan data yang telah diverifikasi secara clear and clear oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan masih ada sebanyak 1,2 juta jiwa yang masih dalam proses verifikasi dan validasi. Kepala Biro Humas Kemenaker, Soes Hindharno menyebutkan bahwa penyebab data yang tersisa (1,2 juta jiwa) belum terverifikasi adalah penemuan double nama, ketiadaan NIK serta nomor telepon yang dapat dihubungi, dan masih banyak lagi.  Namun, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kalam suci bahwa di dalam setiap kesulitan selalu ada kemudahan (dibaca ‘kebijaksanaan atau hikmah’) yang saling beriringan. 

Di tengah-tengah keluh kesah ihwal kebutuhan ekonomi yang semakin sulit dicari, kebutuhan pendidikan ⸺ sebagai salah satu kebutuhan yang paling mendasar ⸻ masih tetap dipertahankan eksistensinya oleh pemerintah. Agaknya pemerintah benar-benar ingin menunjukkan iktikad baiknya dalam meningkatkan kualitas SDM dari sektor pendidikan. Secara pribadi, saya setuju dengan langkah pemerintah yang lebih mengutamakan sektor pendidikan dan ‘sedikit mengesampingkan’ sektor-sektor yang lain, sebab pendidikan lah yang nantinya akan memulihkan berbagai krisis yang diakibatkan oleh pandemi ini. Tak berlebihan jika Nelson Mandela mengungkapkan bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia. Dengan kualitas pendidikan yang memadai ⸻ yang pada akhirnya nanti akan memunculkan pengetahuan-pengetahuan solutif ⸻, krisis ekonomi dalam Negeri (secara perlahan namun pasti) dapat segera diatasi. 

Bukti nyata keseriusan pemerintah dalam sektor pendidikan adalah anggaran untuk pendidikan sejumlah 508 triliun yang tidak dipangkas sedikitpun di saat semua anggaran kementerian terpaksa ‘dilucuti’ gegara pandemi. Hal ini diungkapkan secara langsung oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo dalam diskusi daring Revisi Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional pada hari Jumat, 8 Mei 2020.  Penyaluran anggaran pendidikan dialokasikan ke dalam berbagai bentuk, satu di antaranya berupa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun, ada yang berbeda dalam skema penggunaan dana BOS reguler tahun ini sebab pandemi yang tak kunjung pergi. Berdasarkan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang fleksibilitas penggunaan dana BOS yang berlaku sejak April 2020 hingga status darurat COVID-19 dicabut oleh pemerintah pusat, disebutkan bahwa dana BOS dapat digunakan oleh pengajar dan pebelajar untuk menunjang pembelajaran jarak jauh yang berbasis dalam jaringan. Oleh sebab itu, dana BOS kini bisa digunakan untuk membeli kuota data, menunaikan hak guru honorer dengan jumlah yang ‘tidak seberapa’ jika dibandingkan dengan pengabdian dan perjuangannya (ini lah jawaban dari pertanyaan mengapa guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa), serta menjamin keberlangsungan pembelajaran dengan menyediakan alat-alat protokol kesehatan. 

Dana BOS Dapat Dialokasikan untuk Kepentingan Dalam Jaringan

Wabah Corona ⸻ mau diakui atau tidak ⸻ telah berhasil ‘mencongkel’ kreativitas manusia dari semua kalangan, mulai dari seniman; musisi; hingga para pendidik yang tengah berjuang dengan model ‘pembelajaran baru’ yang berbasis dalam jaringan. Sayangnya, model pembelajaran baru ini bukan berarti tidak memiliki kendala. Di masa krisis seperti ini, baik siswa maupun guru sama-sama sedang berada di dalam situasi dilematis, antara memenuhi kebutuhan sandang; pangan; dan papan atau memenuhi kebutuhan dalam jaringan (dibaca ‘kuota data’). Agaknya pemerintah mampu membaca situasi dilematis ini, sehingga penggunaan dana BOS reguler dapat digunakan untuk pembelian layanan dalam jaringan, seperti kuota data atau layanan pendidikan berbayar. Tentu saja kebijakan baru ini memberikan angin segar bagi dunia pendidikan di tengah-tengah kekalutan terhadap wabah yang tak kunjung mereda. Satu di antara sekolah yang merasakan manfaat kebijakan baru ini adalah SMAN 4 Kota Sukabumi. Dilansir dari cnbcindonesia.com, setiap dari siswa dan guru di SMAN 4 Kota Sukabumi mendapatkan ‘jatah’ pulsa sebesar Rp 50.000 setiap bulannya untuk kepentingan pembelajaran berbasis daring. Fleksibilitas dana BOS setidaknya dapat mengurangi beban pengajar maupun orang tua pebelajar yang di sisi lain sedang berjuang melawan krisis akibat pandemi.

Gaji Guru Honorer pun juga Diperjuangkan

Sebelum-sebelumnya, prosedur penggunaan dana BOS dalam penunaian gaji guru honorer ⸻ berdasarkan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 ⸻ dibatasi sebesar maksimal 50 % dari dana BOS reguler. Kini semenjak Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang fleksibilitas penggunaan dana BOS berlaku, persentase pengambilan gaji guru honorer dari dana BOS reguler tidak lagi dibatasi. Support seperti ini lah yang memang dibutuhkan oleh pendidik-pendidik non-ASN di tengah situasi yang serba sulit seperti ini. Ketika keadaan memaksa para guru mengerahkan pikiran; tenaga; dan juga materi, pemerintah siap untuk menopang agar para guru tetap berdiri & berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Fleksibilitas penggunaan dana BOS dalam pencairan gaji guru honorer ini dimanfaatkan dengan baik oleh Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, Fitri Sari Sukmawati. Fitri mengungkapkan bahwa dana BOS sangat membantu sekolah di tengah pandemi seperti ini, khususnya dalam pembayaran gaji guru honorer mereka. Para guru memang sudah selayaknya tetap optimis mendidik putra-putri bangsa dan optimisme tersebut akan sanggup bertahan saat haknya ditunaikan. 

Alat Protokol Kesehatan yang Tak Boleh Ketinggalan

Pembelajaran berbasis dalam jaringan memang menjadi opsi di kala pandemi, namun di beberapa wilayah yang dapat dikategorikan ke dalam zona hijau, pembelajaran secara tatap muka tetap dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan. Guna menunjang keberlangsungan dan keamanan pengajar dan pebelajar, pemerintah memberikan kelonggaran kepada pihak sekolah ⸻ khususnya Kepala Sekolah ⸻ dalam mengalokasikan dana BOS reguler untuk membeli alat penunjang protokol kesehatan COVID-19 seperti thermogun (alat ukur suhu model tembak), sabun cuci tangan, masker, cairan pembasmi kuman, dan alat-alat lainnya. Beberapa sekolah yang berada di kawasan zona hijau memang sudah memulai pembelajaran secara tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan, namun pihak sekolah juga tidak memaksa jika orang tua siswa belum memberikan izin. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rahmat, Kepala Sekolah SMAN 4 Kota Sukabumi ketika diwawancarai oleh cnbcindonesia.com. Rahmat mengatakan bahwa dana BOS reguler yang telah diberi oleh pemerintah dialokasikan untuk persiapan menyambut kebiasaan baru atau new normal. Rahmat juga menambahkan bahwa di antara persiapan tersebut adalah membeli alat-alat penunjang kebersihan dan kesehatan seperti sabun pembersih tangan. 

Akhir kata, teruntuk siswa-siswa di seluruh penjuru Indonesia, senyum tulus dan rasa ingin tahu yang tak pernah hangus itu tak akan pernah kalah hanya dengan sebutir wabah. Percayalah, bantuan akan selalu ada untuk mereka yang tak pernah menyerah. Teruntuk pemerintah, terima kasih atas dedikasi; kreasi; dan inovasi yang tak pernah berhenti demi kemajuan anak negeri. Karena pemerintah yang amanah, jasanya tak akan pernah lekang oleh masa. 

Harapan Pengurus UKM Melalui PESTA UII 2021

Himmah Online, Kampus Terpadu- Pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menjadi satu di antara rangkaian kegiatan Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (PESTA UII) di hari ketiga pada Sabtu, 11 September 2021. PESTA UII menjadi wadah bagi setiap UKM untuk melakukan pengenalan kepada para mahasiswa baru UII tahun angkatan 2021.

Karena situasi pandemi yang belum kondusif, hanya beberapa UKM yang dapat melakukan pengenalan UKM secara live streaming melalui kanal Youtube dan Zoom. Adapun diantaranya UKM Softball Unisi, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Fath UII, dan Unisi Music Community (UMC). Sedangkan UKM lainnya mengirimkan video pengenalan yang ditayangkan oleh panitia. 

Menurut Askar selaku Ketua UKM Softball Unisi, adanya pengenalan UKM saat kegiatan PESTA dapat memberi harapan pada pengurus lainnya untuk dapat merangkul calon anggota baru.

“Tentunya kami berharap cukup besar pada PESTA. Kami berharap maba (mahasiswa baru-red) yang tertarik pada softball dapat langsung mendaftar diri saat perekrutan,” ucap Askar yang juga merupakan Mahasiswa Psikologi angkatan 2016.

Begitu pula dengan LDK Al-Fath, “Kami berharap melalui PESTA, UKM kami lebih diakui keberadaannya,” ucap Muhammad Agil Ismail, Ketua LDK Al-Fath.

PESTA UII 2021 juga diharapkan dapat mengenalkan berbagai macam UKM yang ada di UII. Ragam UKM dengan karakteristik, keunikan, serta kelebihannya masing-masing dapat menjadi pilihan bagi mahasiswa dan mahasiswi baru sesuai dengan minatnya.

“Semoga dengan adanya acara PESTA kemarin bukan hanya beberapa UKM yang ter-publish, namun semua UKM yang ada di universitas dapat semakin dikenal. Dan teman-teman mahasiswa/i baru lebih banyak pertimbangan, karena banyak UKM yang ada dengan karakteristik, keunikan, dan kelebihan masing-masing,”  tutur Ricky Nagata Putra, Ketua Umum UMC

Kegiatan UKM Kala Pandemi

Kegiatan UKM masih tetap dilakukan baik secara daring maupun luring. Pandemi tidak menghambat para pengurus UKM untuk melakukan kegiatannya. Misalnya UKM Softball yang berencana membuka kelas secara daring.

“Kami ingin membuka kelas secara online dengan menjelaskan aturan softball terlebih dahulu. Selain itu, kami juga sudah mencoba latihan langsung di lapangan dengan teman-teman yang ada di Jogja. Tentunya dalam jumlah yang sedikit,” jelas Askar. 

Tidak hanya UKM Softball, UKM lainnya juga berusaha untuk tetap menjalankan kegiatannya. Seperti halnya LDK Al-Fath yang mengadakan kajian online dan TPA secara luring dengan menerapkan protokol kesehatan. 

Begitu juga dengan UMC yang sering mendapatkan undangan untuk tampil di beberapa kafe dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. UMC sendiri mengakui masih mendapatkan tawaran untuk mengisi bagian dari acara ospek jurusan yang ada di UII, baik itu secara live streaming ataupun tapping

Adapun untuk sistem perekrutan tiap UKM bervariatif. Seperti LDK Al-Fath yang melakukan perekrutan melalui kuesioner kepada mahasiswa yang berminat untuk bergabung.  

“Untuk perekrutannya sendiri melalui kuesioner. Kemudian, pengurus dari LDK Al-Fath akan mengirimkan link group WhatsApp pada pendaftar. Nantinya di sana akan ada informasi lebih lanjut mengenai seleksi wawancara dan juga pengumuman,” ujar Agil.

Lain halnya dengan LDK Al-Fath, Askar memaparkan mahasiswa baru yang hendak bergabung ke dalam UKM Softball dapat mengirimkan pesan langsung ke Instagram. 

“Ketika masih offline, siapa saja bisa langsung datang saat kami latihan atau bisa juga mengirimkan pesan chat untuk bergabung pada UKM Softball. Akan tetapi, selama pandemi ini mahasiswa yang ingin bergabung bisa langsung mengirimkan pesan melalui Instagram saat UKM Softball telah mengumumkan untuk open recruitment.

Sedangkan Ricky berpendapat bahwa perekrutan secara luring dianggap lebih memudahkan mereka untuk melihat potensi serta kualitas para pendaftar. 

“Kalau mau dibandingkan antara offline dan online, kita lebih memilih offline. Karena jika offline kita bisa lebih mengetahui bagaimana potensi mereka, kualitas mereka saat mereka bermain secara langsung di hadapan banyak orang secara live itu seperti apa.”

Antusiasme Para Mahasiswa Baru

Mendengar pemaparan dari para pengurus UKM, mahasiswa dan mahasiswi baru menjadi antusias. Mereka tidak sabar untuk melakukan kuliah tatap muka. 

“Sudah nggak sabar untuk kuliah offline kak,” sahut Zakiya Fagusta, mahasiswi baru dari Fakultas Hukum.

Kuliah yang masih dilakukan secara daring pun tidak menjadi alasan bagi para mahasiswa dan mahasiswi baru untuk tidak ikut bergabung ke dalam UKM. 

Seperti misalnya Azhari, seorang mahasiswa baru dari Fakultas Hukum. Motivasinya untuk tetap ingin menjadi bagian dari UKM karena UII sendiri memiliki UKM yang melenggang hingga kancah internasional.

“Tentunya kami merasa tertarik dengan segala kegiatan UKM yang ada. Kami juga merasa turut bangga menjadi bagian dari UII karena memiliki UKM yang telah Go International.”

Reporter: Zalsa Satyo Putri Utomo dan Muhammad Ihsan

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Fathul Wahid: Selamat Datang di Kampus Pendiri Bangsa

0

Himmah Online, Kampus Terpadu – Pesona Ta’aruf Universitas islam Indonesia (PESTA UII) 2021 resmi dibuka pada Kamis (9/9) secara daring melalui aplikasi Zoom serta disiarkan langsung melalui Youtube. PESTA UII 2021 diselenggarakan pada 9-11 September 2021.

Fathul Wahid selaku Rektor UII menyapa mahasiswa baru UII melalui kanal Zoom serta Youtube. “Selamat datang di kampus yang didirikan oleh para pendiri bangsa. Kita belum bisa bertemu secara fisik tetapi kita harus saling menyemangati,” tuturnya.

Pada sambutannya, Fathul berpesan pentingnya mahasiswa UII memiliki sikap adaptif dengan memperhatikan lima hal antara lain pola pikir, ekspansi, teknologi, solidaritas, tanggungjawab personal, dan adaptasi.

PESTA UII 2021 juga turut dihadiri oleh Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X. Dalam sambutannya, KGPAA Paku Alam X memberikan semangat kepada mahasiswa baru UII sebagai awal langkah mereka di UII. Selain itu, ia juga berharap pada momen PESTA UII 2021 dapat menumbuhkan generasi yang kritis serta kreatif

“Pada kondisi pandemi seperti saat ini di mana hampir seluruh kegiatan dilaksanakan secara daring saya harap tidak menurunkan antusias para peserta Pesona Ta’aruf UII untuk mengikuti setiap rangkaian kegiatan. Semangat yang sama bahkan semakin dibutuhkan untuk memulai langkah baru bagi para peserta di jenjang pendidikan perguruan tinggi,” harapnya.

Ketua steering committee, Marezky Putra Sulaiman, mengatakan bahwa makna Pesta tahun ini mengangkat tema besar budaya, kreativitas, dan pendidikan. Lalu, menurut Achmad Ryan Al Fajri selaku Ketua Organizing Committe, PESTA UII 2021 memiliki tantangan dalam dari segi konsep dan visual sehingga persiapan ini memakan waktu sekitar 3 bulan.

“Ini merupakan salah satu tantangan besar bagi panitia, itu mengkonsepkan teknis yang harus mendatangkan tamu dari luar dan segala macam. Kami melihat Pesta sebagai ajang bagaimana teman-teman maba miba bisa mengakrabkan diri di forum sosial media,” ujar Achmad.

Reporter: Nita Febrianti, Lily Halimah (Magang)

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Gelar Vaksinasi Tahap Ketiga, Mahasiswa UII Banyak yang Tidak Hadir Vaksin

Himmah Online, Kampus Terpadu- Universitas Islam Islam Indonesia (UII) telah menggelar vaksinasi tahap ketiga. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Abdul Kahar Muzakkir pada Ahad (5/9) dengan total pendaftar 809 mahasiswa untuk dosis pertama jenis vaksin sinovac. Akan tetapi hanya 664 mahasiswa yang melaksanakan vaksin.

Pelaksanaan vaksinasi tahap ketiga terbagi menjadi dua sesi, yakni pada sesi pertama pada jam 07:30-12:00 WIB diperuntukkan untuk keluarga UII, warga sekitar kampus UII, dan mahasiswa yang mendapatkan dosis kedua. Sedangkan pada sesi kedua pada jam 13:00-17:00 WIB, diperuntukkan untuk mahasiswa yang mendapatkan dosis pertama.

Data pendaftar yang mengisi formulir pendaftaran mahasiswa sebanyak 809 pendaftar, namun pendaftar yang hadir untuk vaksinasi hanya 664 dengan sisanya sebanyak 145 pendaftar tidak hadir vaksinasi.

“Mahasiswa yang tidak hadir ke Auditorium UII yang akhirnya memperlambat jalanya vaksinasi,” keluh Rohidin selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni.

Linda Rosita yang menjadi ketua acara vaksinasi juga menyayangkan banyaknya mahasiswa yang tidak hadir untuk melakukan vaksin dosis pertama sehingga dialihkan melalui RT/RW serta dosen yang tinggal di daerah sekitar.

“Mahasiswa itu banyak yang sudah daftar tapi nggak datang. Sehingga agar sisa vaksin itu tidak mubazir kita manfaatkan jalur RT/RW, jalur dosen yang tinggal di daerah situ kita minta diumumkan,” papar Linda.

Sementara itu, Linda menyampaikan adanya kegiatan vaksinasi yang diperuntukkan kepada mahasiswa merupakan salah satu ikhtiar untuk menghentikan pandemi. Rohidin juga menambahkan adanya kegiatan vaksinasi merupakan bentuk waspada untuk mempersiapkan pelaksanaan pembelajaran dengan metode hybrid (gabungan antara luring dan daring).

“Kita menunggu Jogja landai (penyebaran Covid-19 turun) ada kemungkinan kita bisa menyelenggarakan perkuliahan hybrid,” jelas Rohidin.

Ade Rahma Lucitra, seorang mahasiswi Program Studi (Prodi) Pendidikan Dokter angkatan 2019 yang mendapatkan vaksin pada dosis pertama mengatakan adanya vaksinasi di UII untuk mahasiswa sangat memudahkan masyarakat yang kesusahan mencari vaksin.

“Alhamdulillah bangetlah sudah disediakan vaksin, inikan untuk umum juga kesusahan. Masyarakat jogja juga kekurangan dosis ya, Alhamdulilah membantu banget,” terang Ade.

Berbeda dengan Ade, Gusti Haikal yang merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam angkatan 2017 yang melakukan vaksin pada dosis kedua menyatakan adanya vaksin untuk mahasiswa seharusnya dilakukan pada tahap kedua jika ingin mengadakan pembelajaran secara luring secepatnya.

“Bagus harusnya dari dulu seperti itu, alangkah lebih baiknya ketika ingin mengadakan pembelajaran secara offline dengan cepat harusnya dari awal,” terang Gusti.

Rohidin menjelaskan pengadaan vaksinasi tidak bisa hanya difokuskan untuk mahasiswa sebab kegiatan tersebut merupakan program pemerintah yang mana sebagiannya harus melibatkan masyarakat.

Selain itu, ia menghimbau kepada mahasiswa untuk segera melaksanakan vaksin agar nantinya jika adanya pembelajaran secara hybrid dapat terlaksana.

“Saya mohon dengan sangat, mahasiswa untuk bergegas melakukan vaksin sehingga nanti ketika ada pembelajaran secara hybrid itu mereka sudah nyaman,” pungkas Rohidin.

Reporter: Ika Rahmanita, Muhammad Kholiqul Iqmal, Zumrotul Ina Ulfiati

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Melarung Saji, Merawat Perlawanan

Warga menyiapkan seserahan. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo.
Hidangan seserahan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Memindahkan kapal seserahan dari rumah warga ke tengah Tempat Pelelangan Ikan. Foto: Himmah/Ananda Muhammad Ismulia.
Berdoa sebelum melarung. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Mengambil makanan setelah prosesi berdoa. Foto: Himmah/Pranoto.
Sukono (28) bersama nelayan lainnya ikut mengiring seserahan ke laut. Foto: Himmah/Ananda Muhammad Ismulia.
Nelayan melarungkan seserahan ke laut. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo.
Nelayan tetap tolak PLTU Batang. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.

Himmah Online – Angin berhembus kencang pada Minggu (15/8) ke arah Dusun Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Batang, Jawa Tengah. Hari itu, desa dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya sebagai nelayan tersebut memiliki hajat tahunan yang biasa disebut sedekah laut. 

Bagi nelayan Roban Timur, sedekah laut merupakan wujud rasa syukur atas hasil tangkapan serta berisi harapan-harapan mereka ke depannya.

Sedekah laut diadakan setahun sekali setiap bulan Sura dalam perhitungan kalender Jawa. Pemilihan hari hanya diperkenankan pada hari Minggu, baik itu minggu pertama, kedua, ketiga, atau keempat; sesuai kesepakatan dalam musyawarah nelayan.

Kegiatan yang berpusat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur diawali dengan pengumpulan berkat yang dibungkus dalam besek atau styrofoam oleh masing-masing keluarga nelayan. Setiap keluarga nelayan membawa tiga hingga lima wadah makanan yang diserahkan ke panitia sedekah laut di TPI.

Lima belas meter dari TPI, Seri (66) selaku tetua di Roban Timur terlihat sedang menyiapkan larung saji yang berisi berbagai jenis makanan dan minuman. Larung saji tersebut nantinya akan dibawa ke laut, diiringi beberapa kapal nelayan.

Menjelang pukul 11.00 WIB, berkat sudah tertata rapi memenuhi area tengah lantai TPI. Larung saji yang isinya sudah lengkap digotong dan diletakan tepat di samping barisan berkat.

Selanjutnya prosesi doa bersama dimulai. Sembari mengucap “Aamiin, aamiin, aamiin,” masyarakat yang sebelumnya berada di luar pelataran TPI mulai masuk dan mengerumuni barisan berkat. Setelah pemimpin doa mengakhiri doanya, masyarakat yang sudah mengerumuni berkat bergegas mengambil berkat yang berada di jangkauannya.

Di waktu yang sama, panitia sedekah laut menaikan larung saji ke atas kapal dan melaju ke laut. Setelah kurang lebih 40 menit melaju, kapal pembawa larung saji berhenti. Dua orang terlihat menceburkan diri ke laut, menerima larung saji yang diserahkan sejumlah orang dari atas kapal.

Larung saji diletakan di permukaan air laut dan dibiarkan terombang-ambing ombak. Setiap kapal pengiring mengitari larung saji sebanyak tiga kali dan menyiramkan air laut ke setiap bagian kapal mereka masing-masing. Usai melarung, mereka kembali ke Roban Timur.

Roban Timur merupakan satu dari sekian dusun nelayan yang masih banter menolak keberadaan PLTU Batang. Penolakannya bisa dibilang konstan dari tahun 2011 hingga saat ini. Hanya saja, ekspresi penolakan yang dilakukan berbeda.

Salah satu ekspresi yang dicurahkan nelayan Roban Timur adalah mengibarkan bendera kuning bertuliskan “TETAP TOLAK PLTU” dan “LESTARI TANPA BATUBARA” di tiap-tiap kapal milik nelayan Roban Timur sebelum proses larung saji dilakukan.

“Untuk sementara kita menolak tapi dalam keadaan tenang, tidak seperti dulu yang (seringkali-red) demo. Yang penting mereka (PLTU) tidak ganggu (aktivitas nelayan-red), sini tidak ganggu sana, dan sana tidak ganggu sini. Tapi jika laut tercemar atau ada kasus, baru kita muncul lagi,” tutur Wahyono (50) selaku Ketua Rukun nelayan Roban Timur.

Nelayan Roban Timur juga beranggapan, meskipun PLTU sudah berdiri perlawanan harus tetap dilakukan. Hal tersebut karena jika sudah beroperasi dampaknya akan lebih terasa.

“Malah justru sudah mulai uji coba kita harus semakin kencang (perlawannnya-red), karena nanti yang akan dihadapi lebih berat. Mulai limbah-limbah hingga lalu lalang tongkang yang dapat mengganggu aktivitas nelayan,” ungkap Wahyono saat ditemui di rumahnya.

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia, Ika Rahmanita, Muhammad Prasetyo, Supranoto

Narasi: Supranoto

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Perempuan Wadas Menganyam Perlawanan

0

Himmah Online – Pada Senin (9/8), Halaman gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang riuh rendah. Terdengar suara perempuan-perempuan Desa Wadas sedang melafalkan zikir “hasbunallah wa nikmal wakil” secara konstan. Pada hari itu, sidang kelima dengan agenda mendengar keterangan saksi dari pihak penggugat tengah berlangsung.

Ini merupakan kelanjutan dari gugatan warga Desa Wadas dan Koalisi Advokat untuk Keadilan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Wadas (Gempadewa) kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atas kasus pembaharuan izin penetapan lokasi tambang kuari untuk material pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.

Para perempuan yang tergabung dalam Wadon Wadas itu berbondong-bondong mendatangi PTUN Semarang untuk mengawal jalannya agenda persidangan.

Selagi perwakilan anggota Wadon Wadas sedang menyampaikan kesaksian, sebagian lainnya melakukan aksi simbolik berupa menganyam besek.

“Tujuan kita membuat teatrikal menganyam besek itu karena (besek-red) menggambarkan simbol hubungan masyarakat Wadas dengan alamnya yang sangat erat. Misal nanti ditambang maka akan menghilangkan bahan baku (bambu-red) dan memutus rantai tradisi yang sudah bertahun-tahun dijalani di Wadas,” tutur Arafah, salah satu anggota Wadon Wadas.

Arafah menegaskan bahwa hubungan mereka dengan bumi Wadas sangat erat. Hal tersebut yang kemudian mendasari mereka membuat aksi menganyam besek di halaman gedung PTUN Semarang.

Mereka khawatir apabila penambangan kuari bakal memutus tradisi menganyam yang sudah turun-temurun dilakukan masyarakat Desa Wadas.

Tidak hanya itu, aktivitas menganyam besek bagi masyarakat Desa Wadas sendiri memiliki nilai ekonomis dan menjadi salah satu lahan mencari nafkah bagi beberapa warga.

“Kita produksi sendiri, biar tidak (hanya) menjual (bambu) dengan cara ditebang lalu dijual gitu, namun biar kita bisa produksi (kerajinan) sendiri. Pertangkep (pasang) itu mulai Rp 1.500, Rp  1.700, Rp 2.000, Rp 2.500, sampai Rp 3.000,” ungkap Yeni yang juga salah satu anggota Wadon Wadas saat ditemui di halaman PTUN Semarang.

Pukul 12.30 WIB, Wadon Wadas membagikan hasil bumi mereka dalam bentuk olahan makanan kepada warga di sekitar gedung PTUN Semarang.

Hal tersebut merupakan ungkapan rasa syukur mereka kepada Allah Swt. atas keberadaan alam Wadas serta respon terhadap situasi pandemi.

Terlebih lagi, setelah adanya kebijakan PPKM oleh pemerintah, masyarakat kecil semakin sulit mencari penghasilan.

Makanan yang dibagikan berjumlah 234 besek berukuran kecil. Jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pengingat atas tindakan represifitas aparat keamanan terhadap masyarakatnya Desa Wadas dan jaringan solidaritas yang terjadi pada 23 April 2021 lalu ketika mereka menghadang rencana sosialisasi pengukuran dan pematokan lahan Wadas. 

“Itu menceritakan waktu tanggal 23 April, saat kejadian kita menolak sosialiasi. Kita bentrok dengan aparat, ada yang diambil paksa, ada yang dipukul,” tutur Yeni.

Adanya insiden pada 23 April tidak menyurutkan semangat masyarakat Desa Wadas dalam mempertahankan ruang hidupnya, justru menjadi sulut yang membakar semangat masyarakat Desa Wadas.

“Jadi setelah adanya tragedi itu, kami bukan semakin takut tapi malah membuat kami semakin semangat,” tutup Arafah.

Sebelumnya pada tanggal 16 Juli lalu, Warga Wadas dan Koalisi Advokat untuk Keadilan Gempadewa mengajukan gugatan kepada Ganjar Pranowo atas diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaharuan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener pada 7 Juni 2021. Surat Keputusan tersebut dinilai cacat prosedur dan substansi.

Reporter: Supranoto, Ananda Muhamad Ismulia

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Menjelajah Puisi Lima Bahasa

0

Judul: Melankolia 

Penulis: Naning Scheid 

Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya

Cetakan: pertama, 2020

Tebal: 135 halaman

IISBN: 978-623-221-691-4   978-623-221-721-8 (PDF)

Mempertaruhan sosok puisi yang terdiri dari lima bahasa dalam sebuah buku segera kita sadari bahwa kelemahan utamanya akan terletak pada hilangnya unsur bunyi. Tidak hanya di tengah baris tetapi juga di akhir baris. 

Pilihan kata – sekalipun sudah njlimet dilacak padanannya yang paling plastis – belum juga ketemu capaian persajakan  paling estetis. Sebuah kata yang suku kata terakhirnya mengandung vokal “a” misalnya, jika diterjemahkan belum ketemu kata dalam bahasa terjemahan yang mengandung vokal “a” pada suku kata akhirnya. 

Gejala demikian juga terjadi pada upaya eksplorasi capaian konsonan. Tidak sebatas di akhir baris tetapi juga sembunyi berpotensi di tengah baris.

Begitu juga dalam urusan nosi/makna, harkat persajakan sudah kepegang, padanan diksi justru bukan dari kata yang kita yang kita harapkan. Kosa kata yang berlimpah ternyata bisa gagal memfasilitasi kebutuhan gairah estetika manakala kita suntuk bergulat dengan urusan penerjemahan puisi.

Persoalan ini tidak hanya terjadi pada puisi Naning, puisi-puisi terjemahan yang lain juga akan mengalami nasib serupa. Apalagi, Naning berani mencebur dalam lima bahasa sekaligus, tentu sebuah keberanian kreatif yang layak diacungi jempol. 

Siapa tahu justru dia ingin menegaskan interpretasi tersebut sebagai konsekuensi yang harus lebih dahulu dipahami?! Jika kesadaran kolektif demikian sudah muncul: Biarkan puisi-puisi itu terbang mengangkasa menemui apresiasi pembaca sastra dunia. Sekalipun jumlahnya tidak seberapa.

Dari sandaran parameter itu, jika kemudian kita melegitimasi tafsir mana puisi yang paling berkualitas–tidak dapat dipukul rata dari sampel kemolekan judul. Puisi yang hebat dalam bahasa Indonesia, bukan berarti terus hebat jika diaktualisasikan dalam bahasa yang lain. 

Meski penyairnya mulai terasa keranjingan tergejala dengan judul kata-kata serapan. Simak saja judul “Alter Ego”, “Dedukasi Rasa”, “Eden, Melankolia”, “Kapital Sentimental”, “Pathetiques”, “Stansa Sianida”. Seorang guru bahasa culun yang berpikiran normatif pasti akan mengernyitkan jidat sebelum tertatih membuka kamus.

Bandingkan dengan sederet judul yang bernapas klangenan “Bulan dari Balik Dinding Jakarta”, “Getir Malam di Stasiun Lempuyangan”, “Pemakaman”, “Semarang dalam Ingatan”, “Soewarni” – menegaskan gambaran itu.

Dua puluh sajak yang diusung dalam lima bahasa sehingga mekar menjadi seratus judul, menyimpan narasi yang pekat. Beragam persoalan yang menikam rasa di pikiran penyair dipaparkan dalam fungtuasi lengkap. 

Naning Scheid, penyair kelahiran Semarang yang kini tinggal di Brussel,  kampiun dalam bermain rincian ide, sehingga menyokong kekuatan puisi dalam meraih tataran komunikasi. Unik, meletup-letup, mengundang gairah baca berulang.

Paparan Naning yang terkesan lugu, telanjang, menggiring pada tafsir tunggal–bisa menempatkan pembaca langsung melahap pesan yang ingin disampaikan. Utamanya pesan-pesan filosofis. Penyair terasa bebas berlenggang dari batas-batas epistemologis untuk menyeruak kebutuhan daya ungkap yang khas. 

Simak penggalan puisinya berikut: 

3/Kurinci jalan kenangan seperti fakta/Penuh tagar dan tanda/- tentang pengungkapan, keraguan/obsesi, komplikasi – jejak sejarah/dalam campur tangan Tuhan… (Deduksi Rasa: hlm.22). 

Kejujuran menarasikan informasi dapat kita petik bagian puisinya yang lain:

Sepetak tanah/– di Bergota/satu kali dua setengah/tempat tinggal Ayah//Sebidang tanah/–di Kaligawe/enam kali tiga koma lima/tempat tua Bunda// (Semarang dalam Ingatan: hlm.36). 

Terjemahan yang paling mengharukan dalam konteks bahasa Jawa, paling terasa terungkap pada deretan larik berikut: 

“Aku kangen,” jareku marang aku kala semana/– rikala dadi lintang wengimu, srengenge esukmu,/mawar abang kang mekar ing paturonmu//Surup-surtup takampiri sliramu/Rasane getun sliramu tak tinggal bali/langit mangsa semi isih biru/Kudune sliramu isih ing sisihku!… (hlm. 41).

Naluri empirik Naning yang terkandung dalam puisi di atas, tidak bisa dilepaskan kodratnya sebagai wanita Jawa (Semarang) yang kini bermukim di Belgia. Rasa terenyuh, terharu, merasa kedekatan dengan suami terekam jelas dalam nukilan tersebut. Dia mampu berpikir secara kompleks, dalam arti menyelam lautan perasaan.

Keunggulan yang harus diapresiasi pembaca adalah banyaknya idiom yang bertebaran dalam puisi-puisinya. Idiom yang memvisualkan kekuatan masing-masing bahasa. Pembaca juga bisa belajar secara idiomatikal tidak hanya dalam waktu dekat, tetapi juga dalam rentang waktu panjang. 

Ini lompatan berpikir yang boleh dibilang langka kalau bukan kelebihan khusus. Terobosan menggeluti serpihan bahasa puisi yang tidak habis-habis. Tidak sebatas pada konteks puisi tetapi geliat kosa kata pada umumnya.  

Meski terasa kental mejumput persoalan personalitas lewat setting Simpang Lima, Stasiun Lempuyangan, hingga Jakarta, dengan dialihbahasakan dalam bahasa Jawa, Inggris, Perancis dan Belanda, diharapkan akan menjadi daya tarik bagi konsumen puisi luar negeri. 

Mari kita singgah sejenak pada “Trieste Nacht in Het Stasion van Lempuyangan”

In het licht naast een locet/beroert alleen het lawaai van de wind onze stilte/Een stuk van mijn hart is kortgeleden/aan scherven gevallen op de gebarsten keramimiek…(hlm. 123)

Sebait puisi bahasa Belanda tersebut barangkali bisa menghadirkan bayangan nostalgia bagi sinyo-sinyo yang kangen stasiun Yogyakarta. Saya berharap penyairnya akan terus berupaya mengeksplorasi denyut-denyut eksotisme bagian kota yang barangkali merupakan ekosistem yang tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan pariwisata. Bahkan dalam skala yang lebih prospektif bisa digiring dalam mendukung gaung semaraknya gelora ekonomi kreatif. 

Begitulah, taburan puisi yang banyak menggunakan kata-kata pendek, kekuatan frasa, penjelajahan idiom dalam rimbun kata, menunjukkan kecermatan penyairnya  merekonstruksi puisi-puisinya mampu tampil utuh, gagah, membaur dalam konteks kebutuhan kekinian.