Beranda blog Halaman 32

Tarsono dan Mangrove: Berpacu Menghadapi Banjir Rob

0

Matahari di akhir Agustus terasa sangat ganas. Jika tak ada angin, mungkin biji-biji peluh akan bercucuran lebih cepat saat melintasi jalan-jalan di sekitar pesisir Kota Pekalongan.

Siang itu saya melintasi Jalan Samudra hendak menuju ke kediaman Tarsono yang terletak di Jalan Kunti Utara, Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Di sisi utara Jalan Samudra hingga Jalan Kunti Utara, ombak sedang menghantam tanggul dan menghasilkan muncratan air ke jalan. Dari sisi sebaliknya, terdengar gemercik air melalui sela-sela beton mengokupasi daratan yang tidak ditinggikan.

Masih di sisi yang sama, terlihat pula arsiran berwarna coklat tua di beberapa tembok-tembok bangunannya, menandakan pernah tergenang air dalam tempo waktu yang tidak sebentar.

Banjir rob telah merubah lanskap wilayah pesisir Pekalongan. Banyak lahan pertanian yang tidak bisa ditanami lagi, tambak yang tidak memungkinkan diberi ikan, hingga pemukiman yang acapkali didatangi air dan kadang tak malu-malu menelisik ke ruang tamu rumah-rumah warga. Hal tersebut juga terjadi di daerah kediaman Tarsono. 

Tarsono atau yang biasa disapa Pak Wah,   merupakan pria paruh baya yang secara istikamah berusaha menyelamatkan lingkungannya dari ancaman bencana iklim, yakni banjir rob.

Usaha menyelamatkan lingkungannya itu ia lakukan sejak awal 2000-an dengan cara menanam pohon mangrove di sekitar tempat tinggalnya.

“Dulu saya tidak tahu fungsi mangrove, awal-awal menanam mangrove karena memang suka menanam dari kecil. Tapi awal tahun 2000-an, saat mulai tau dengan isu rob, apalagi semenjak tsunami Aceh 2004, jadi lebih mengerti fungsi mangrove. Akhirnya membuat lebih giat menanam,” tutur pria yang kini sudah memiliki empat anak tersebut.

Mangrove memiliki peranan cukup penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaan mangrove yang sehat di pesisir dapat meningkatkan resiliensi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim dan meminimalisir dampak bencana alam. 

Sebetulnya, Tarsono bukanlah pria yang lahir di wilayah pesisir. Ia lahir di Banjarnegara dan baru pindah ke Pekalongan pada tahun 1993 karena pernikahan.

“Saya ke sini tahun 1993, karena nikah dengan orang sini. Dulu belum ada tanaman mangrove sama sekali, masih kosong. Dulu adanya (tanaman) melati dan pandan di pinggir pantai,” ujarnya.

Awalnya, Tarsono menanam mangrove sendiri di sekitar tambak tempatnya bekerja. Kemudian lahir kelompok penanaman mangrove di Kandang Panjang dan area penanaman mulai merambah ke area yang lebih luas.

“Sebelum muncul kelompok penanam mangrove, saya sudah menanam sendiri di sekitar tambak,” tutur Tarsono seraya mengangkat tangan untuk menunjuk area Pekalongan Mangrove Park dari warung milik anak pertamanya.

Area Pekalongan Mangrove Park yang ditunjuk Tarsono dulunya area tambak udang windu tempat ia bekerja.

Sebab rentan terkena abrasi, pada tahun 2013 tambak milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan tersebut beralih menjadi Mangrove Park yang dibuat oleh Pemerintah Kota Pekalongan.

Baru rampung dibangun di atas area seluas 5,7 hektar dari luas kawasan 90 hektar, Pekalongan Mangrove Park menjadi pusat restorasi dan pembelajaran mangrove di Kota Pekalongan. Tempat tersebut digunakan sebagai tempat belajar terkait tanaman mangrove, tempat penyemaian dan pembibitan mangrove, serta sebagai ekowisata.

Tambak boleh berganti menjadi taman mangrove, tapi Tarsono tetap bekerja di atas tanah yang sama sebagai pengelola.

Sehari-hari Tarsono berperan sebagai pemandu wisata, membibit mangrove, hingga menanamnya di area-area yang masih bisa ditanami.

Setiap tahun Tarsono bisa menghasilkan 10.000 bibit mangrove. Bibit tersebut diperuntukan untuk ia tanam sendiri maupun bagi masyarakat di sekitar Pekalongan yang ingin melakukan penanaman mangrove di area manapun. Bibit itu ia berikan secara cuma-cuma.

Tarsono menjadi pengelola dari pagi hingga sore hari. Saat malam, dengan perahu kecil miliknya ia pergi mencari ikan di kawasan bekas tambak yang sudah tergenang banjir rob. Hasil tangkapannya ia konsumsi sendiri atau dijual. 

Jalan Terjal Tarsono Menanam Mangrove

Adzan ashar berkumandang, terik di pesisir Pekalongan perlahan menjinak. Tarsono kemudian beranjak dari tempat duduknya dan mengajak saya masuk ke area Pekalongan Mangrove Park.

Sandal jepit yang ia kenakan ditinggal di pintu masuk. Celana hitam panjangnya dilipat setinggi betis. Tanpa ragu, Tarsono mulai melangkahkan kaki di atas paving block yang tergenang air rob, terus melangkah menuju area pembibitan.

Di sela langkahnya, telunjuk Tarsono mengarah lurus ke utara menunjuk barisan mangrove yang sedang dihinggapi puluhan burung bangau. Besar dan lebat.

“Itu termasuk yang ditanam awal-awal, mungkin umurnya sudah 20 tahunan,” ucap Tarsono dengan perasaan bangga.

Selain berfungsi sebagai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, hutan mangrove merupakan habitat penting bagi ribuan spesies hewan laut. Rusaknya mangrove dapat mengganggu ekosistem lingkungan. 

Sekitar lima puluh meter berjalan dengan penuh kehati-hatian karena jalan yang dilalui sangat licin, sampailah kami di area pembibitan.

“Dengan kondisi terendam seperti ini aktivitas pembibitan dan penanaman jadi terhambat,” ucap Tarsono dengan nada sedikit lesu sembari mengangkat satu bibit mangrove siap tanam yang separuh batangnya terendam air.

Di tengah area Pekalongan Mangrove Park yang tergenang banjir rob, Tarsono seringkali mendapat omongan kurang mengenakan dari para pejabat, baik dari tingkat kota maupun provinsi.

Suatu hari saat ada kunjungan, salah satu dari mereka menanyakan mengapa area yang masih tersedia tidak ditanami mangrove. Hal itu terjadi karena air rob sedang tinggi, sehingga penanaman bibit tidak dapat dilakukan. Namun, Tarsono kadung dianggap memakan gaji buta.

Datang tanpa mendengarkan terlebih dahulu apa penyebab mangrove tidak ditanam dan justru langsung menghakimi, Tarsono menantang dia untuk mengurug seluruh area Pekalongan Mangrove Park. “Silahkan urug semua area, nanti saya tanami dan bersedia tidak dibayar,” ucap Tarsono menirukan tantangannya saat itu.

Sebetulnya, meskipun area penanaman tergenang air cukup dalam, hal itu bisa disiasati dengan teknik guludan yang ditemukan oleh Cecep Kusmana, seorang profesor ekologi hutan dari Institut Pertanian Bogor.

Teknik guludan sendiri diawali dengan membentuk sebuah petakan di air yang disusun menggunakan batang bambu berdiameter minimal 6 cm dengan panjang menyesuaikan kedalaman air. Bambu yang disusun membentuk segi empat tersebut diberi tanah di area tengahnya. Tanah yang digunakan adalah kombinasi tanah mineral dengan tanah lumpur.

Namun teknik penanaman itu tidak mudah dilakukan bagi Tarsono, guludan membutuhkan waktu dan biaya yang cukup banyak. Ia mengatakan bahwa untuk membuat satu guludan dengan ukuran 5×10 meter saja membutuhkan dana kurang lebih 20 juta.

Apalagi, kelompok penanam mangrove yang sempat berjuang melestarikan mangrove di Kandang Panjang bersamanya saat ini sudah tidak aktif lagi. Anggota hingga ketua kelompoknya menghilang satu-persatu. Sehingga Tarsono harus berjuang sendiri.

Tarsono Tak Bisa Sendiri Menghadapi Gempuran Banjir Rob

Pria berumur 51 tahun tersebut menyadari sepenuhnya akan adanya krisis iklim yang menyebabkan banjir rob.

Ia juga mengamini bahwa selain akibat krisis iklim, banjir rob di wilayahnya juga terjadi akibat penurunan muka tanah.

Pada 3 Oktober 2020, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menerbitkan sebuah laporan hasil pemantauan penurunan muka tanah (land subsidence) berdasarkan data satelit penginderaan jauh di beberapa kota besar di Pulau Jawa, salah satunya adalah Kota Pekalongan.

Hasilnya, perhitungan laju rata-rata penurunan muka tanah secara vertikal di Kota Pekalongan dan sekitarnya selama periode 2015-2020 adalah antara 2,1 cm hingga 11 cm per tahun. Angka itu menjadi yang tertinggi dibanding 5 kota besar lain. 

Infografis : Himmah/Prasetyo

Dengan problem sekompleks itu, berpindah tempat tinggal dari wilayah pesisir ke daerah dengan permukaan lebih tinggi mungkin jadi solusi paling instan untuk menghindari banjir rob. Tapi Tarsono khawatir hal tersebut justru akan mendatangkan segenap permasalahan baru.

“Penghasilannya kan di pinggir pantai, kalo pindah (tempat tinggal) kemungkinan jadi susah. Mau cari penghasilan apa?” ucap Tarsono.

Di tengah terpaan banjir rob; kelompok penanam mangrove yang tidak aktif; hingga kelakuan menjengkelkan para pejabat, Tarsono tetap berkomitmen terhadap apa yang sudah dilakukannya selama dua dekade ini: Membibit sebanyak-banyaknya, menanam di area yang memungkinkan, dan merawat mangrove yang telah ditanam.

Sembari terus menanam mangrove, Tarsono berharap otoritas terkait juga bergerak mengatasi banjir rob yang tiap tahun kian mengkhawatirkan.

Laju pertumbuhan mangrove sangat lambat. Jika sewaktu-waktu ombak datang cukup besar, hal itu dapat menghanyutkan mangrove yang baru ditanam bahkan dapat membuat mati yang sudah cukup besar.

“Jika hal tersebut terus terjadi, tanaman mangrove bisa mati, bisa hilang,” ucap Tarsono.

Untuk mengatasi hal tersebut, Tarsono berkeyakinan bahwa ada beberapa cara untuk menjaga keberlanjutan pohon mangrove dan menjaga wilayahnya dari air rob: Perbaikan tanggul di pesisir pantai dan sebisa mungkin menahan penurunan muka tanah.

Tanggul akan berfungsi sebagai pemecah gelombang buatan dan memberi rasa aman untuk mangrove tumbuh. Lalu mangrove yang sudah kuat akan berperan sebagai pemecah gelombang alami dan penahan angin. Sinergi itu sangat dibutuhkan.

“Kalo mau ya seperti itu (bikin tanggul dan menahan laju penurunan tanah), kalo tidak ya sudah, urusan saya menanam-menanam saja,” tutup Tarsono dengan sedikit tertawa.

Reporter: Supranoto

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Ketika Perempuan Melawan Adat

Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Penulis : Dian Purnomo

Tahun Terbit : Pertama, 2020

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Halaman : 320 halaman

ISBN : 9786020648453

Peresensi : Haviv Isya Maulana ( Magang Himmah )

Jurusan : Ilmu Ekonomi (2019)

Buku ini menceritakan kisah seorang perempuan yang mengalami “yappa mawine”. Dalam kepercayaan adat Sumba sendiri Yappa mawine ini sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Yappa mawine sendiri secara harfiah berarti culik perempuan. Dalam adat Sumbawa  sendiri masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Piti tambang yang artinya kawin tangkap.  

Kawin tangkap dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu yang lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini. Ada yang mengatakan bahwa kawin tangkap juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi jika keluarga laki-laki gagal mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Jika ini penyebabnya, maka keluarga perempuan memang tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya. 

Hal inilah yang dialami oleh Magi Diela. Ia ditangkap ketika sedang menuju Wanukaka untuk memberikan pelatihan pertanian bagi warga desa sekitar sebagai salah satu tugas pertamanya di tempat ia bekerja. Namun, ditengah perjalanan ia ditangkap sekelompok orang dan kemudian dibawa ke sebuah pedesaan yang ia kenali. Kejadian itu bermula ketika Magi Diela tiba di pertigaan sebuah jalan menuju Wanukaka, kemudian ada sebuah motor yang mendekatinya dan si pengendara itu berkata kepada Magi bahwa tasnya terbuka. 

“Hei, Nona. Kam (bahasa daerah Sumba) punya tas terbuka. Awas dompet terjatuh!”

Mendengar perkataan pengendara itu Magi dengan sigap mengecek kondisi tasnya. Di saat Magi sedang memperhatikan tasnya tanpa ia sadari di sekitarnya sudah ada beberapa laki-laki beserta sebuah mobil pickup yang sudah siap membawanya pergi. Dalang dalam penculikan Magi Diela ialah Leba Ali. Sosok yang dikenal mata keranjang oleh masyarakat. 

Penculikan Magi yang dilakukan oleh Leba Ali membawa emosi yang memuncak bagi Dangu.  Dangu adalah sahabat laki-laki Magi yang sudah berteman sejak mereka kecil. Ia akhirnya memutuskan untuk mendatangi kediaman Leba Ali. Kedatangannya di sana membuat kericuhan yang cukup besar. Kedatangan Dangu ke kediaman Leba Ali memunculkan fitnah kepada dirinya serta Magi Diela. Pasalnya Dangu dianggap mencintai Magi dan berusaha untuk menggagalkan pernikahan itu. Terlebih ada beberapa orang yang pernah melihat Dangu sedang berpelukan dengan Magi Diela di rumah sakit ketika Magi dirawat sehabis mencoba bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya. Ia melakukan perbuatan konyol itu semata untuk menghindari pernikahan dengan Leba Ali. Pernikahan dalam adat Sumba sendiri melarang untuk menikah dengan se “kabisu” atau sesama suku. Cinta sesama suku adalah pamali terbesar dalam adat mereka. Untuk itu fitnah yang dituduhkan oleh Leba Ali kepada Dangu dan Magi membuat berita heboh bagi seluruh desa. 

Membaca buku Dian Purnomo ini seolah membawa kita juga merasakan ikut terlibat dalam cerita yang disajikan. Mengambil tema cerita mengenai adat dari Indonesia timur tepatnya Sumba  juga memberikan kita pengetahuan baru mengenai budaya yang ada di Indonesia ini. Kemajuan teknologi dan zaman saat ini membuat sebagian masyarakat sadar akan sisi baik dan negatif suatu adat. Salah satunya yaitu Dangu. Menurut Dangu tidak semua adat perlu dilestarikan karena bukanlah sebuah adat yang mengandung sebuah kebaikan.  Yappa mawine pun menjadi salah satu adat yang menurutnya tidak perlu dilestarikan karena hanya akan menyiksa kaum perempuan karena dipaksa menikah oleh laki-laki yang tidak mereka cintai. Dangu pun sebenarnya bingung mengapa perbuatannya menyelamatkan sahabat sendiri dianggap dosa sementara perlakuan bejat Leba Ali dianggap sebagai memuliakan adat. 

Dalam buku ini juga menceritakan bagaimana seseorang yang mempunyai kekuasaan dan dekat dengan penegak hukum dapat dengan mudah mematahkan semua tuduhan pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Seperti kasus Leba Ali yang dilaporkan oleh Dunga ke pihak kepolisian. Namun, pihak kepolisian akhirnya hanya memberikan surat peringatan 3 kepada Leba Ali dan tidak meneruskan kasus ini naik ke kejaksaan. 

Perjuangan Magi Diela untuk melawan adat yang berlaku kembali setelah ia sembuh dari sakitnya. Namun kali ini ia  dibantu oleh komunitas yang menamai diri mereka dengan sebutan Gema Perempuan. Bersama Gema Perempuan inilah Magi merasa hidup kembali. Kemanusiaan yang sebelumnya direnggut oleh adat daerahnya kini mulai tumbuh kembali setelah melihat perhatian dan upaya Gema Perempuan dalam membantu Magi menyelesaikan masalahnya. Untuk melawan rencana perkawinan itu, Magi Diela memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia melarikan diri menuju Elopada untuk menginap di rumah Mama Mina. Dikala budaya menjadikan Magi sebagai binatang untuk memuaskan nafsu, hancur sudah harapannya untuk membangun Sumba, tempat di mana ia dilahirkan dengan kasih sayang. Kini ia harus melawan orang tua, masyarakat kampung ,serta adat yang merenggut kebebasan dirinya sebagai seorang perempuan. Menurut Ama dan Ina Magi, ia harus segera menikah dengan Leba Ali karena Magi sudah dianggap tidak perawan lagi dan itu menjadi sebuah aib bagi keluarga. Namun Magi memiliki pandangan yang berlawanan dengan adat yang ada selama ini. Ia menganggap adat ini hanya akan merenggut harga diri seorang perempuan.   

Nilai positif yang dapat kita ambil dari buku ini adalah menggunakan bahasa Sumba dalam menceritakan percakapan-percakapan nya. Sehingga kita juga lebih mengenal bahasa daerah Sumba dan lebih dapat menikmati jalan cerita. Selain itu juga ada beberapa istilah mengenai budaya di sumba sendiri. Contohnya adalah istilah “buku perut ayam” yaitu penganut Marapu menganggap bahwa pembacaan dari usus ayam menggambarkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Kepercayaan yang tidak memiliki kitab ini percaya bahwa buku perut ayam adalah  kitab yang berbeda, mereka tidak berisi sejarah tetapi justru melihat apa yang akan terjadi kemudian  (Hal.125). Menurut kepercayaan mereka, jika tulang tempat  bulu2 ayam tubuh lebih banyak yang hitam maka ada keburukan yang bakal menimpa sesuatu yang sedang dibaca nasibnya. Tetapi jika tulang bulu itu berwarna putih maka lebih banyak hal baik. Malam itu hasil “nyoba ayam” menunjukkan lebih banyak warna hitam dibandingkan putihnya.

Selain itu, buku ini juga secara tidak langsung menjelaskan bahwa perempuan akan melakukan perlawanan jika mereka dilecehkan. Terlebih jika mereka berada di lingkungan yang dapat membantu mereka. Selama ini para perempuan yang mengalami pelecehan tidak berani untuk melaporkannya karena merasa malu dan tidak ada orang yang dapat mendengarkan dan memahami perasaan apa yang sedang mereka rasakan. 

Ada satu kalimat dari Magi yang sangat saya sukai, yaitu, “Wahai leluhur, ini rasanya tidak adil, tapi akan sa jalani. Ini tidak mudah, tapi tidak ada hal yang mudah di muka bumi ini, apalagi setelah kita menjadi dewasa..” Kalimat ini sangat sesuai dengan kehidupan kita. Untuk itu sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan akal pikiran khususnya bagi seorang perempuan kita tidak boleh berpikir bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan. 

Dibalik buku yang sangat apik ini tentunya ada sedikit kritikan serta masukan yang saya berikan. Pertama adalah kurang tajamnya atau kurang detailnya penjelasan mengenai balasan yang diterima Leba Ali di dalam penjara. Ya, Leba Ali akhirnya dijerumuskan ke dalam penjara setelah ia melakukan kekerasan dengan berbagai pukulan keras ke wajah Magi. Tentunya sebagai pembaca kita ingin lebih tahu balasan apa dan seberapa menderitanya Leba Ali menjalankan hukumannya setelah perbuatan keji nya terhadap Magi. 

Selain itu, ada beberapa kalimat yang kurang hurufnya, contohnya dalam kalimat “…. Mendaftar ke kampus-kampu”, dimana kurang huruf “S” (Hal. 198) serta dalam kalimat “Hari ini Dangu mesti konsentrasi memasang memasang muka dua…”. Menurut saya kata memasang cukup satu kali saja.

Novel karya Dian Purnomo dengan tebal 320 halaman ini membukakan pandangan mata kita bahwa masih banyak ketidakadilan gender yang terjadi serta banyaknya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Melalui buku ini pula, Dian Purnomo mengajak kepada kita semua untuk tidak diam terhadap kejahatan terhadap perempuan yang terjadi. Sekecil apapun bantuan yang kita berikan itu akan sangat membantu penyintas kekerasan tersebut. 

Janji Tarno

Tarno lunglai begitu telinganya menangkap sirine ambulans. Belum lima menit duduk, ia harus kembali menjalankan kewajibannya. Dengan lelah yang menguasai sekujur tubuh, ia perlahan beranjak dari duduk. Pegal mendera siku kakinya. Barangkali kakinya seperti kayu penopang rumah panggung yang lapuk karena tergerus waktu. Terbersit kembali di angannya, berhenti dari pekerjaan ini. Namun, Tarno tidak pernah bisa melakukannya. Tidak pernah. Sungguh.

Ia sendiri juga tidak tahu, mengapa bisa demikian. Setiap kali mempunyai pikiran untuk berhenti dari pekerjaannya, selalu saja ada upaya dari sisi lain dalam dirinya yang membuat ia bertahan. Tarno benar-benar tidak pernah bisa menuruti angan-angan yang akhir-akhir ini muncul dengan lebih gencar itu. Sudah banyak rekan kerjanya yang tidak betah dan memutuskan berhenti dari pekerjaan yang penuh resiko itu. Sekali lagi, Tarno tidak bisa mengambil langkah seperti mereka-mereka yang mencari pekerjaan lain. Semuanya penuh misteri.

Sudah sebulan ia ditempatkan kerja di tempat pemakaman umum yang diresmikan oleh pemerintah dua bulan yang lalu. Tempat pemakaman umum ini sengaja diada-adakan untuk mengantisipasi lonjakan kematian akibat terpapar covid-19. Rupanya, antisipasi itu memang sejalan dengan apa yang ada di lapangan. Keadaan sedang menuju pada gelombang kedua lonjakan jumlah kasus terpapar korona. Melihat suasana yang demikian gentingnya, Tarno masih saja bertahan.

“Walaupun pemerintah terus mengupayakan penyediaan lahan TPU, tempat-tempat isolasi mandiri, dan penambahan kapasitas ranjang atau kamar, kalau mobilitas masyarakat tidak berkurang atau menganggap suasana ini tidak ada, pada akhirnya akan keok juga,” kata Shabran, rekan Tarno.

“Betul. Kita bekerja dari pagi sampai tengah malam, bahkan beberapa kali sampai dini hari, tidak dihargai oleh masyarakat. Buktinya apa? Ya, kesadaran mereka masih kurang dalam menghadapi pandemi ini,” keluh Sudiyono, rekan Tarno yang lain.

“Kalau keadaan tidak membaik, mungkin aku akan meninggalkan pekerjaan ini. Kita ini setiap hari direwangi berhadap-hadapan dengan malaikat Izrail, lho. Ini tidak main-main!” ucap Parimen, menggebu-gebu.

“Saya sakit rasanya, membaca judul-judul berita yang bersliweran di media sosial, tempat wisata yang dibuka, perusahaan yang masih buka di masa-masa pembatasan kegiatan masyarakat. Belum lagi penggerebekan tempat-tempat umum. Wajah-wajah mereka yang menjadi biang kerok timbulnya kerumunan, sama sekali tidak terlihat penyesalan di wajahnya,” ujar Andar, juga tentu rekan Tarno.

“Kalau begini caranya, negara ini bisa gagal mengatasi pandemi.”

“Lucunya, sekarang kabarnya vaksin bayar. Lha, yang gratis saja rakyat banyak tidak mau sebab takut ada apa-apanya. Ini malah mbayar? Bagaimana ini?”

“Pemerintah sudah tidak mampu mengatasi ini.”

“Pasrah!”

“Ambyar!”

“Hancur!”

Tentu Tarno tidak dapat menyalahkan mereka. Keluhan-keluhan yang keluar dari mulut mereka adalah sebuah kewajaran. Memulasarakan jenazah bukan pekerjaan sembarangan. Tidak hanya sebatas tenaga saja yang dibutuhkan sebagai modal. Kelapangan hati, keikhlasan, juga kesetiaan di tengah godaan dari dunia luar yang mengusik jiwa, juga diperlukan. Jadi jangan dikira gampang. Jangan sematkan kata “hanya” di depan dua kata “memulasarakan jenazah”.

Tarno pernah membayangkan apabila tidak ada mereka—para relawan yang bekerja keras mengurusi jenazah terpapar covid-19. Lantas siapa yang mau mengurus? Orang biasa kemungkinan akan berpikir dua kali untuk melangkah ke arah sana. Terpapar dan mati karena mengurusi jenazah korona, dianggap sebagai kebodohan atau kesia-siaan. Untungnya itu hanya bayangan Tarno semata. Tentu bayangan itu tidak mungkin terjadi.

Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah. Pintu belakang ambulans dibuka oleh pengemudi yang memakai hazmat. Tarno beserta ketiga rekannya segera bekerja. Menggunakan dua tali untuk menahan peti, mereka dengan perlahan melangkah ke liang kubur yang telah dikeruk oleh alat berat—jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari ambulans.

Tarno mencekal salah satu ujung tali. Ketika posisi peti sudah berada di atas liang, masing-masing yang memegang tali melangkah maju, sehingga peti perlahan masuk ke dalam liang. Tarno menghela napas, saat peti diturunkan. Alat berat kembali bekerja. Liang ditutup, hingga membentuk gundukan. Tarno langsung menggeletak. Di samping gundukan baru ia telentang. Menatap langit yang menampakkan semburat jingga. Ia menjadi teringat sebelum mengambil keputusan ini. Ya, keputusan untuk lebih memilih mengabdi menjadi relawan pemulasaraan jenazah daripada memilih Bulan, yang melarangnya untuk ke sana.

Jika keputusan itu tidak diambilnya, sekarang mungkin ia sudah berada di bukit bintang dengan Bulan. Menatap langit yang bersemburat jingga. Tarno mau tidak mau mengenang masa-masa itu—tempat favorit Tarno memang di bukit bintang sehingga ia sering mengajak Bulan ke sana. Tapi Tarno tidak pernah menyesalkan keputusannya, yang membuat hubungannya dengan Bulan kandas, di usia lima tahun. Padahal jika hubungan itu tidak berakhir, tahun ini ia sudah menjadi suami Bulan. Tarno tidak pernah menyesal.

“Kamu itu sudah tidak waras, Tarno!” kata Bulan. “Orang tuamu susah-susah menguliahkan kamu dan sekarang gelisah karena kamu tidak kunjung dapat pekerjaan yang layak. Sekarang kamu malah menambah pikiran orang tuamu, memilih menjadi tukang menguburkan mayat covid!”

Kata-kata Bulan masih ia ingat betul. Bulan marah-marah saat itu. Pada dasarnya, di relung hatinya yang paling dalam, Tarno bangga memiliki tambatan hati seperti Bulan. Apalagi kalau bukan karena Bulan yang mengkhawatirkannya; mati-matian mencegahnya untuk mengurungkan niatnya, walaupun usahanya gagal. Bulan takut Tarno terpapar virus covid-19 dan mati. Namun, ketetapannya sudah tidak dapat diganggu gugat. Ada sesuatu dalam dirinya saat itu mencengkeram pendiriannya begitu kuat. Ya, begitu kuat. Sangat kuat.

Langit masih semburat jingga. Ingatan tentang Bulan, ternyata mendatangkan ingatan lain. Tangis ibunya yang menjadi-jadi jelang kepergiannya. Terbersit di benak Tarno kala itu, rasa bersalah. Sementara ayahnya yang awalnya tidak setuju dengan keputusan Tarno, justru menguatkan ibunya, dan berucap macam-macam yang berinti pada kemuliaan pekerjaan yang akan Tarno lakukan. Kata ayahnya, pekerjaan Tarno tidak jauh beda dengan berjihad. Sepanjang perjalanan menuju pengabdian, Tarno merenung.

“Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Bulan benar adanya, setelah kuliahku selesai, bukannya aku membanggakan orang tua, malah menambah beban pikiran mereka,” batin Tarno.

Memang kehidupan ini penuh misteri. Begitu banyak orang mencari pekerjaan yang dianggap enak. Tapi dirinya malah memilih pekerjaan yang beresiko tinggi, setiap waktu maut mengintainya. Dan tidak ada rasa takut pada dirinya. Beberapa teman meneleponnya, ada yang menyayangkannya, ada juga yang salut. Rekan kerjanya pun banyak yang salut. Di antara orang yang bekerja sebagai relawan, Tarno adalah salah satu orang yang paling lama bertahan.

“Saya tidak tahu juga, Mas. Semakin saya mendengar kabar kasus covid terus bertambah, kematian terus ada, apalagi yang miris, saya semakin ingin bertahan di sini. Saya tidak bisa menjelaskan gamblangnya mengenai isi hati saya. Tapi seperti itulah,” jawab Tarno saat ditanya oleh rekannya, apa yang membuatnya begitu betah bekerja.

“Mereka, rakyat sulit sekali diatur, tidak pantas kita bantu sebenarnya,” respon rekannya.

“Sebaiknya jangan pikirkan mereka. Lagi pula wajar mereka sulit diatur. Jumlahnya tidak main-main, ratusan juta orang. Mereka butuh makan, apalagi rakyat. Sekarang kalau mereka disuruh menaati anjuran untuk di rumah saja? Saya kira tidak bisa, atau tidak sepenuhnya bisa, Mas.”

Memang, sebuah ujian yang tidak main-main. Itulah mengapa banyak orang yang memilih berhenti. Tarno tidak pernah mempedulikan keadaan di luar. Baginya keadaan di luar juga tidak patut sepenuhnya disalahkan. Tarno tentunya juga punya harapan, pandemi yang melumpuhkan segala hal ini supaya cepat selesai. 

Ia tidak bisa berbohong juga, kalau ia mempunyai keinginan untuk pulang. Ibunya akhir-akhir getol menanyakannya soal itu lewat telepon. Tarno masih ingin bertahan. Barangkali ia akan bertahan sampai pandemi selesai; yang tidak jelas kapan berakhirnya. Tarno sudah berjanji kepada ibunya, kalau ia pasti akan pulang. Kata-kata itu entah sudah ia ucap berapa kali. Tarno tidak peduli, ia telah menuhankan dirinya. Terpaksa. Semata-mata hanya untuk mengusap rindu ibunya yang telah melebat. Tarno tidak ingin jiwanya dilemahkan.

Kini Tarno hanya ingin istirahat. Kali ini ia sudah tidak punya tenaga untuk berdiri. Kepalanya pusing. Sementara suara ambulans kembali terdengar. Semburat di langit hilang, sebentar lagi malam. Ia benar-benar sudah tidak punya tenaga. Matanya meredup, sekilas Tarno terngiang akan janjinya kepada ibunya. Apakah aku mampu menepati janjiku? Bisiknya. Sementara itu, rekannya mengajak Tarno untuk kembali bergerak.

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Perempuan Jawa dalam Kubangan Teks Sastra

0

Judul: Memandang Perempuan Jawa, Sehimpun Esai Sastra

Penulis: Harjito

Penyunting: M. Yunan Setiawan

Penyelaras: Widyanuari Eko Putro 

Penerbit: Beruang Cipta Literasi

Tahun: Cetakan Pertama, Maret, 2020 

Tebal: ix + 190 halaman

ISBN: 978-623-92691-6-6

Bentangan tema semacam serpihan kota atau sungai termasuk wilayah imajinatif yang mengundang integrasi pemikiran  menjadi wacana utuh – agaknya sudah sering ditulis para esais. Tugas apresian menjadi lebih mudah dalam memberi apresiasi karena sudah mendapat bandingan secara langsung dari teks-teks yang diposisikan sebagai kajian. 

Paling tidak akan segera ada catatan secara telanjang: Mana respon proses kreatif yang mampu menyeruak ke dalam, menawarkan ketajaman pemikiran dan mana yang mengapung pada permukaan. Meski sama-sama mengurai objek persoalan yang sama.

Buku karya Harjito, “Memandang Perempuan Jawa” yang memiliki sampul memikat ini, mampu mengimajinasikan gambaran wanita tempo dulu. Dandanan terforsir ala kadarnya namun menggoda eksotisme. Sekilas, buku ini tidak jauh beranjak dari kajian serupa. Keunggulannya, mampu mencakup kompleksitas persoalan yang lebih luas. 

Harap maklum, penulis sudah membatasi kajian pada perempuan Jawa – sehingga kita tidak memiliki hak lebih makro, semisal keterkaitan kisah hebat Malin Kundang. Penulisnya sudah berusaha mengumpulkan sejumlah dongeng,  cerpen, hingga puisi sebagai kajian.Tentu termasuk sederet buku sebagai pisau bedah analisisnya.

Pemikiran Harjito terasa melaju kencang dalam sehimpun esai ini. “Dari Perempuan Jawa: Kesetiaan dan Kematian” hingga “Perlawanan Atas  Modernisme” terkurung dalam sebelas bab yang tertata rapi. Bahasan pertama menyodorkan bagaimanan perempuan – utamanya di Jawa – mewujudkan kesetiaan. 

Menjawab persoalan ini dia mengambil tiga teks cerita, yakni  “Dongeng Kali Blorong” (Yudiono KS), “Asal Mula Desa Gunem (Kusaeri), dan “Rara Mendut (Daryatun). Secara preventif penulis menegaskan bahwa perlunya sidang pembaca tidak sekadar terbatas memosisikan teks sebagai cerminan terhadap hal-hal yang berkubang di masyarakat, tetapi menembus tataran sarana refleksi.

Pada bahasan terakhir “Perlawanan Atas  Modernisme”,  saya tak hendak bergairah dalam lontaran judul gagah. Percikan-percikan modernitas dia berfokus pada   cerpen “Traktor” karya Adi Zamzam, “Pelajaran Berladang Kol” karya Alizar Tanjung, dan “Lebih Kuat dari Mati” karya Mardi Luhung. Meski deretan cerpen ini memiliki kekuatan moral, namun kutipan greget sepak terjang perempuan Jawa belum terasa menyembul kuat. 

Cerpen Adi Zamzam (Jawa Pos, 27 November 2011) merefleksikan garangnya modernisasi yang menghadirkan traktor sebagai penggilas nasib wong cilik sekaliber Wo Rikan. Kengerian rerasan terhadap sosok Wo Rikan terungkap demikian keji: 

“Kalau dengan traktor, dua kotak cuma butuh setengah hari. Biaya per kotaknya pun cuma seratus ribu. Coba bandingkan jika aku menyewa bajaknya Wo Rikan. Sehari cuma mampu menyelesaikan satu kotak, itu pun lebih mahal dua puluh ribu. Jadi ya,” begitu kata mereka”. Interpretasi yang hampir sama terkait dengan tema buku Harjito, juga terasa pada nukilan cerpen kuat milik Alizar Tanjung dan  karya Mardi Luhung.

Kalau ingin berasyik-asyik menikmati relevansi sosok perempuan (Jawa), saya lebih nyaman membaca kajian Harjito yang ditebar pada bab 7 (tujuh). Kita bisa terhibur dengan judul cerpen Mas Wendo yang terkesan menjungkirbalikkan realitas dengan judul “Nenek Grendi Punya HP, tapi Berharap Sungai”. 

Biar tidak penasaran, kita kutip gaya pengarang dari Solo yang khas itu: 

“Hanya ada empat nama anaknya dalam hp, dan Nenek selalu minta tolong tetangga yang rumahnya agak jauh. ‘Pencetkan yang nomor dua’. Kalau sudah disambungkan, ada suara halo, Nenek mematikan. Itulah cara nenek memghubungi anaknya yang nomer dua, dari empat anaknya, semua perempuan (Atmowiloto,2014:188 via Harjito,2020: 94).

Menguatkan daya telusurnya terhadap karya sastra, tidak lupa Harjito juga mampir ke penggalan puisi karya penyair yang terus bersinar, Joko Pinurbo yang berjudul “Telepon Genggam”. Kita cicipi kutipannya: “Di engah hingar mereka berjabat tangan,/berdebar-debar,/bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke/telepon/genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya/Sungguh lho.Awas kalau tidak”(Pinurbo, 2003; 1 VIA Harjito 99).

Kelengkapan teks yang ditebarkan dalam buku ini menunjukkan ketekunan yang relevan dengan kapasitasnya  sebagai pengajar di magister  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebuah universitas di Semarang. Hanya – kalau mau menukik lebih dalam dan kontekstual – sebetulnya masih banyak teks karya sastra yang menawarkan peran perempuan lebih representatif. Lebih beragam jejak sepak terjangnya jika dikorelasikan dengan konteks zaman. Lengkap dengan kecenderungan makna interpretatifnya. 

Pergulatan tokoh-tokoh dalam teks milik Umar Kayam, NH Dini, Oka Rusmini hingga intensitas penyair Umbu Landu Paranggi,  D. Zawawi Imron, dan Wowok Hestri Prabowo ketika  menebus peran sentral ibu (sekadar menyebut) – layak memggenapi kajian ini.

Teks-teks yang baru saja disebut saya pikir makin memberi peluang pembedahan lebih jauh. Dengan demikian pembedahan tidak hanya berhenti pada lembar rubrik sastra koran yang kian dipangkas kehadirannya, dalam kajian karya ilmiah sebagai syarat kelulusan di perguruan tinggi — tetapi juga buku-buku berbobot semacam ini.  Upaya ini untuk meraih wilayah segmentasi agar  bisa menjangkau lapisan pembaca dengan pemilikan ragam disiplin ilmu.

Mengokohkan kualitas bukunya, agar lebih bernuansa akademik, Harjito juga banyak memberi keluwesan sikap. Saya tertarik dengan jitunya kutipan terkait hubungan peran strategis ibu dengan keberadaan anak. 

Sehingga – sebagaimana dikutip dari (Geertz, 1985:89): “Pentingnya anak bagi sebuah keluarga Jawa membuat pasangan yang tidak subur akan mencari petuah dukun.”  Juga kutipan lain, “Ketiadaan anak dapat dijadikan sebab bagi suami untuk menceraikan istri. Kesalahan sering ditujukan pada istri, bukan suami. Perkawinan yang tidak menghasilkan anak sering menyebabkan seorang lelaki menikah lagi” (Koentjaraningrat, 1994:99,142).

Pendapat-pendapat yang memberi kesan menguak masa lalu menjadi referensi penting ketika ditarungkan dengan pendapat yang lebih kekinian. Dinamika lengkap dengan argumentasinya akan menguak paradigma berpikir pembacanya. 

Bandingkan dengan pandangan kritis Blackburn (2009): Perempuan memiliki peran bukan hanya merawat anak-anak, suami dan keluarga, tetapi juga menghidupi keluarga. Perempuan dikontruksikan sebagai penopang ekonomi yang memiliki penghasilan dalam keluarga. Meskipun memiliki penghasilan dan menopang ekonomi keluarga, perempuan dikonstruksi untuk mengabdi kepada suami dan anak-anak (hlm. 41). 

Pembicaraan dalam  buku ini terasa proporsional dinikmati, saat mobilitas kaum perempuan secara massal lebih terlihat pada peran mereka secara global. Buruh migran perempuan yang mengalir ke luar negeri disebabkan oleh terbatasnya lapangan kerja – di samping persoalan kemiskinan, pendidikan dan keterampilan yang rendah. Persoalan ini akan membuka wawasan kita manakala  detail menyimak memoar buruh perempuan yang juga menyanggah gambaran atas novel Indonesia periode 1900-2000.

Kejelian yang sulit dihindari dan tentu juga dikupas dalam buku ini adalah kemandirian perempaun Jawa. Kemandirian perempuan memiliki relasi dengan kelas sosial. Mengutip pendapat Wilkes (2005:139) kelas sosial mempunyai jangkauan lebih luas, dalam arti tidak sekadar mengacu pada kepemilikan modal ekonomi, tetapi juga praktik-praktik kelas yang meliputi selera makan, cara berpaiaan, disposisi tubuh, model rumah dan beragam pilihan sosial dalam kehidupan sehar-hari. 

Buku ini tearas memiliki magnet empati bagi kita untuk menambah wawasan yang lebih luas. Kalaupun ada satu dua huruf yang tercecer – dengan mudah pembaca akan menginterpretasinya.  Toh tidak ada karya yang sempurna, termasuk urusan ejaan.   

Editor: M. Rizqy Rosi M.