Beranda blog Halaman 31

Telegram Zimmermann: Usaha Kapal Selam Tak Terbatas Jerman Pada Perang Dunia I

Himmah Online – Tepat pada 6 April 1917, Amerika Serikat menyatakan perang melawan Jerman. Amerika Serikat kemudian bergabung dengan Blok Sekutu dalam Perang Dunia I. Selembar surat lalu dikirimkan dari Jerman untuk Meksiko. Nahasnya, surat tersebut dicegat dan diteliti oleh Inggris lalu dibocorkan kepada Amerika Serikat. Surat tersebut kemudian populer dengan sebutan Telegram Zimmerman.

Semua berawal pada 16 Januari 1917. Menteri Luar Negeri Kekaisaran Jerman (staatssekretaer) yaitu Arthur Zimmermann, mengirimkan surat berkode sandi rahasia melalui sambungan telegraf untuk Kedutaan Besar Kekaisaran Jerman untuk Meksiko, Heinrich von Eckartd. 

Telegram itu berisi catatan Jerman akan melakukan rencana kapal selam tak terbatas, lalu beraliansi mengajak Jepang dan Meksiko untuk mengantisipasi jika Amerika Serikat menyatakan perang dengan Jerman. Telegram ini juga bermaksud mengupayakan agar Amerika Serikat tetap menjadi negara netral. Di samping itu, Jerman tetap berusaha “memercik perang” antara Amerika Serikat dan Meksiko. 

Tujuan Jerman sederhana. Jerman berharap Amerika Serikat bisa diduduki sementara, dalam rangka menyelesaikan kampanyenya di Eropa atau U-boat. Agar setelah itu ia dapat menahan Amerika Serikat untuk memasok senjata kepada negara-negara sekutu seperti Inggris dan Perancis. 

Komando Tinggi Jerman percaya hal tersebut dapat menjadi strategi untuk mencekik Inggris lewat perang kapal selam tak terbatas. Sebelum pasukan Amerika Serikat dapat dipanggil dengan jumlah yang cukup untuk membantu sekutu. Telegram ini juga konon merupakan salah satu alasan penyebab bergabungnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. 

Diawali pada 7 Mei 1915, kapal penumpang RMS Lusitania asal Britania Raya milik Perusahaan Cunard Steamship Line Shipping tenggelam. Serangan pertama ini menyebabkan 1195 orang tewas ditembak oleh kapal selam Jerman U-20. Kemudian dilanjut Insiden Sussex pada 24 Maret 1916 yang memakan 80 korban, termasuk dua warga Amerika Serikat terluka. 

Dua peristiwa tersebut membuat Amerika Serikat mengancam Jerman untuk memutuskan hubungan diplomasi. Pemerintahan Jerman kemudian menanggapi dengan membuat Perjanjian Sussex pada 4 Mei 1916. 

Perjanjian tersebut berisi tentang Kapal Jerman akan memberikan peringatan kepada kapal lainnya sebelum ditenggelamkan untuk menyelamatkan awak serta penumpang kapal. Melihat hal tersebut menjadi tidak praktis, Komando Tinggi Jerman hanya menjalankan perjanjian tersebut sampai Februari 1917. Lalu tetap melanjutkan rencana kapal selam tak terbatasnya.

Dari peristiwa tersebut sepertinya sudah menimbulkan intrik-intrik konflik dalam internal pemerintahan Kekaisaran Jerman. Arthur Zimmermann, ialah orang yang menyetujui untuk melakukan rencana kapal selam tak terbatas itu.

Sepak Terjang Telegram Zimmerman 

Zimmermann menggantikan Gottlieb von Jagow yang mengundurkan diri–sebagai aksi unjuk rasa ketidaksetujuannya terhadap rencana kapal selam tak terbatas. Sehingga pada 16 Januari 1917, Zimmermann mengirimkan sebuah surat rahasia kepada Heinrich von Eckardt. 

Telegram tersebut dikirim secara manual melalui tiga rute dan ditransmisikan melalui radio dan juga melalui dua kabel Trans-Atlantik yang dioperasikan oleh negara netral yaitu Amerika Serikat dan Swedia. Jerman menyampaikan surat tersebut melalui Kedubes Amerika Serikat di Berlin kemudian diteruskan dengan menggunakan kabel diplomatik, pertama ke Kopenhagen lalu ke London. 

Saat tengah dalam proses pengiriman, telegram ini kemudian dicegat oleh Inggris. Inggris mengetahui Kedutaan Jerman di Washington akan menyampaikan pesan melalui telegraf komersial dan Inggris juga sudah menyadap stasiun radio Jerman di Naeun. Surat tersebut telah diterjemahkan sebagian di Kamar 40 oleh Nigel de Grey. Kamar 40 merupakan bagian dari Angkatan Laut Perang Inggris khusus untuk pembacaan sandi yang dibentuk pada Oktober 1914. 

Pada awalnya Inggris enggan memberitahu Amerika Serikat, karena akan dapat merusak kepercayaan Amerika Serikat terhadap Jerman. Selain itu berpotensi dapat merusak kode Jerman di Kamar 40 dengan merusak kabel penyadapan kabel Inggris kepada Amerika Serikat. Di sisi lain, ini lantas memperlancar usaha Jerman untuk lebih cepat berkonflik dengan Amerika Serikat.

Pada akhirnya, telegram itu tetap dibocorkan. Pada 19 Februari 1917, William Reginald Hall selaku Kepala Kamar 40 membocorkan hal tersebut kepada Sekretaris Kedubes Amerika Serikat di Inggris yaitu Edward Bell. 

Bell awalnya tidak percaya, tetapi ketika Inggris berhasil membuktikannya, Bell menjadi marah. Akhirnya tepat pada 20 Februari 1917, Bell secara tidak resmi mengirimkan salinannya kepada Kedubes Amerika Serikat di Inggris yaitu Walter Hines Page. 

Pada 23 Februari 1917, Page bertemu dengan Menteri Luar Negeri Inggris yaitu Arthur Balfour dan kode tersebut diberikan Page kepada Balfour. Keesokan harinya, Page membocorkan tentang telegram tersebut langsung kepada Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat. 

Mengetahui itu, Wilson sangat marah tetapi ia tidak langsung menyatakan perang, hanya memberikan komentar, “kami adalah teman tulus rakyat Jerman dan dengan sungguh-sungguh ingin tetap berdamai dengan mereka. Kami tidak akan percaya bahwa mereka memusuhi kami. kecuali atau sampai kita diwajibkan untuk mempercayainya” tutur Wilson. 

Tadinya ia ingin menerbitkan segera Telegram tersebut, tapi ia menundanya hingga 1 Maret 1917. Isi telegram ini akhirnya diterbitkan kepada pers.

Isi dari Telegram Zimmerman:

“Kami ingin memulai perang kapal selam tak terbatas pada tanggal 1 Februari. Kami akan berusaha untuk menjaga Amerika Serikat tetap netral. Jika ini tidak berhasil, kami membuat proposal Meksiko aliansi dengan dasar berikut: bersama, berdamai bersama, dukungan keuangan yang murah hati dan pemahaman di pihak kami bahwa Meksiko akan merebut kembali wilayah yang hilang di Texas, New Mexico, dan Arizona. Penyelesaian secara detail diserahkan kepada Anda. Anda akan memberi Presiden hal-hal di atas secara rahasia segera setelah pecahnya perang dengan AS pasti, dan saran bahwa ia harus, atas inisiatifnya sendiri, mengundang Jepang untuk segera mengikuti dan pada saat yang sama memulai. antara Jepang dan diri kita sendiri. Silahkan hubungi Presiden.

Ditandatangani, ZIMMERMANN”

Reaksi Setelah Telegram Zimmerman Muncul Ke Permukaan  

Mengetahui hal itu, masyarakat dan para aktor politik Amerika Serikat marah besar. Amerika Serikat awalnya menduga isi dari telegram itu palsu, terutama yang memiliki darah Jerman dan Irlandia, karena mereka ingin menghindari konflik dengan Eropa. 

Muncul pula asumsi Inggris ingin memanipulasi Amerika Serikat ke dalam perang dan telegram tersebut sebagai strategi intelijen Inggris. Namun, desas-desus isi telegram yang asli atau palsu dengan cepat mendapat titik terang. Pada 3 Maret 1917, Zimmermann memberikan pernyataannya kepada seorang Jurnalis AS.

“Saya tidak dapat menyangkal, itu benar,” ucap Zimmermann. Lalu ia mengkonfirmasi lagi pada 29 Maret 1917 memberikan pidato kepada Reichstag, teks telegram tersebut adalah asli. Namun begitu ia masih berharap agar Amerika Serikat tetap netral. 

Zimmermann mengatakan instruksinya kepada Meksiko hanya akan dilakukan setelah Amerika menyatakan perang. Ia menyalahkan Presiden Wilson karena memutuskan hubungan dengan Jerman. Setelah telegram itu bocor, Duta Besar Jerman tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjelaskan sikap Jerman, Amerika Serikat pun telah menolak untuk bernegosiasi. 

Selain peristiwa panas tersebut, pada 21 Maret 1917 kapal tanker AS  The Healdton, ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman saat berada di “zona aman” yang dinyatakan secara khusus di perairan Belanda. Dua puluh awak Amerika Serikat tewas. 

Wilson pun mengadakan pertemuan dengan kabinetnya. Pertemuan tersebut akhirnya menghasilkan suara bulat memutuskan untuk berperang. Pada tanggal 2 April 1917, Presiden Wilson meminta izin berperang. Hasilnya disetujui Senat pada 4 April dengan perolehan suara 82 berbanding 6. Dua hari kemudian, DPR Amerika Serikat memiliki perolehan suara 373 berbanding 50. 

Masih menghindari aliansi, perang diumumkan melawan Pemerintah Jerman, bukan rakyatnya. Pada 6 April 1917, Amerika Serikat menyatakan perang dengan Jerman berdasarkan keputusan kongres. Amerika Serikat lalu menyusun rencana dan strategi, salah satunya yaitu Wilson mengirim Pasukan Ekspedisi Amerika (AEF) di bawah komando Jenderal John Pershing ke Front Barat. 

The Selective Service Act, yang disusun oleh Brigadir Jenderal Hugh Johnson dengan cepat disahkan oleh Kongres. Tim ekspedisi ini menyatakan siap membantu Perancis yang dipimpin oleh Jendral Ferdinand Foch. Wilson juga mempertimbangkan rencananya untuk menginvasi Veracruz dan Tampico untuk memenangkan Tanah Genting ladang minyak Tehuantepec dan Tampico, untuk memastikan kegiatan produksi selama perang saudara. Tak dipungkiri, semenjak itu juga, pandangan-pandangan warga Amerika Serikat menjadi anti-Jerman dan anti-Meksiko. Sebagai balasannya, warga Meksiko pun menjadi anti-Amerika. 

Pada akhirnya, Telegram Zimmermann membangkitkan opini publik AS terhadap Jerman sekali dan untuk selamanya. Telegram itu mungkin dianggap sebagai kudeta intelijen terbesar Inggris dalam Perang Dunia I. Inggris tampak seperti pemenang dalam bidang intelijen dalam mengungkapkan kode sandi selama Perang Dunia I. Ditambah dengan kemarahan Amerika Serikat atas dimulainya kembali perang kapal selam tak terbatas oleh Jerman, yang menjadi titik kritis untuk membujuk Amerika Serikat bergabung dalam perang.

Setelah pidatonya di depan Reichstag, Zimmermann masih menjabat sebagai Sekretaris Menteri Luar Negeri selama beberapa bulan ke depan. Pengiriman Telegram Zimmermann merupakan bencana diplomatik. Pada 6 Agustus 1917, Zimmermann mengundurkan diri karena sebagian besar tidak ada pekerjaan untuk dirinya lagi. Ia menyatakan pensiun dan jabatannya tersebut digantikan oleh Richard von Kühlmann, seorang diplomatik dan industrialis Jerman. Sedangkan si Pengirim Telegram, Arthur Zimmermann, menghembuskan nafas terakhirnya pada 6 Juni 1940 karena penyakit pneumonia.

Penulis: Syahnanda Annisa

Editor:  Armarizki Khoirunnisa D.

Filosofi Etika & Konsep Fiqih Geosentris

Judul: Tengka Etika Sosial dalam Masyarakat Tradisional Madura
Penulis: Hasani Utsman, Lc., M.A
Penerbit: Sulur Pustaka
ISBN: 978-623-6791-04-2
Tebal: xvi+208 hlm
Edisi: Cetakan ke-1, 2020

Madura yang kosmopolit telah melahirkan dinamika-dinamika sosial yang beragam. Patron kebudayaan konvensional lambat laun bergeser pada budaya modernisme. Sehingga untuk tetap berada dalam citra budaya lokal, diperlukan kontrol sosial guna menjaga tengka manusia Madura dalam berkeluarga, bersosial-keagamaan, berdagang, berpolitik serta ber-etika pada lingkungan.

Tengka menjadi sebuah etika sosial yang merujuk pada kegaliban hidup, serta pedoman yang harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat. Sementara, etika sendiri berhubungan langsung dengan nilai, tata cara, dan aturan hidup yang sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan, terulang dan berpola.  Tengka jika dilihat dari kaca mata etimologis berarti tingkah, polah atau perangai, makna tengka dalam masyarakat Madura berkonotasi pada penjagaan sikap. Sedangkan secara kultural bisa bermakna: tertib sosial, keutamaan, tata krama, hingga tanggung jawab moral dan material.

Konstruksi sosial manusia Madura yang menganut paham patriarki menjadikan laki-laki sebagai sosok sentral di dalam keluarga. Artinya, secara eksplisit seorang perempuan berada di bawah peraturan laki-laki sebagai kepala keluarga. Dengan memikul beban tradisi dan kebudayaan, laki-laki mau tidak mau harus belajar menjadi perangai yang adiluhung. Yang kelak mampu memberikan peranan baik di dalam kehidupannya.

Meskipun berada dalam pengaruh laki-laki. Jika mau melihat sejarah, sebenarnya perempuan Madura pada zaman dahulu sudah emansipatif. Pada waktu masih di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Islam. Para perempuan Madura waktu itu juga turut serta berperang fisik demi mempetahankan harga diri bangsanya. Namun tetap saja jatuh juga. Kekalalahan dari pihak oposisi tersebut secara perlahan memaksa perempuan Madura yang emansipatif direkontruksi ulang dengan karakter-karakter perempuan Jawa dan Belanda yang sopan terhadap laki-laki, merawat kebersihan tubuhnya, tenang, kalem, tunak dan tidak suka berkonflik.

Dalam konteks pekerjaan, konsep ta’ taoh ka tengka (tidak tahu bertingkah) dicontohkan pada seorang perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki ataupun sebaliknya. Keduanya akan mendapatkan etiket negatif. Misal seperti ungkapan kala ka binina (takut ke istri). Begitu pun semisal ketika seorang istri mengerjakan pekerjaan suami, seperti: menggali sumur, mengejar maling, dan menjinakkan sapi yang mengamuk. Maka dari hal tersebut laki-laki bisa mendapat label ta’ genna (tidak bertanggung jawab) atau bahkan ta’ taoh tengka.

Kemudian Max Weber pernah menulis buku yang berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism yang noktah dari buku tersebut menyadarkan kita bahwasanya, ajaran agama ternyata ada hubungan karib dengan etos kerja. Implikasi lakoh (kerja) secara filosofis berarti perbuatan secara sadar untuk memperoleh imbalan berupa doku dari apa yang telah dikerjakan. Adagium Madura menyatakan sapa sѐ atanѐ bhâkal atana’, sapa sѐ adhâghâng bhâkal adhâghing (siapa yang bertani akan menanak, siapa yang berdagang maka akan berdaging). Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa, kerja apa saja jika ditekuni akan melahirkan rezeki.

Misalnya saja, lako ngowan sape (mengembala sapi). Madura sendiri tercatat memiliki peternakan sapi yang perkembangannya selalu baik. Tahun 1918, populasi sapi di pulau Sepudi yang terletak di kabupaten Sumenep mencapai 7.13.126 ekor. Sedangkan data terakhir dari Dinas Peternakan Jawa Timur tahun 2008 menunjukkan populasi sapi Madura menyentuh angka 601.795 ekor.

Tak heran, jika banyak masyarakat Madura yang menggembala sapi sebagai pekerjaan sampingan, dan biasanya sebagai serep penopang perekonomian. Para masyarakat Madura membeli sapi yang masih kecil, dipelihara, kemudian setelah besar dijual ke pedagang atau langsung dilego ke pasar.  Dari hal itu, lahirlah prinsip jual beli yang harus benar-benar ditaati baik pembeli maupun penjual. Sebab, di masyarakat kerap dijumpai fenomena masalah sosial, seperti uang palsu hasil transaksi jual beli sapi bahkan sampai ada skandal sapi hasil curian. Dari tengka yang sudah menyalahi hukum negara dan hukum agama para pelaku yang menyalahi aturan biasanya akan di cap sebagai orang yang tak taoh tengka. 

Sedangkan dalam catur perpolitikan di Madura, konsep tengka setidaknya menduduki dua objek sentral yang memegang peranan penting dalam suksesnya pesta demokrasi tersebut. Terutama dalam pemilihan kepala desa. Unsur yang pertama ada kiai, sedangkan anasir yang kedua ada bhâjing (preman). Kiai dan bhâjing jelas memiliki citra yang berbeda. Kiai identik dengan dengan ritus-ritus keagamaan, sedangkan bhâjing lebih ekuivalen dengan perilaku-perilaku bagak melakukan kekerasan fisik, tindak kriminal, menakut-nakuti warga, dan perilaku amoral lainnya.

Pemegang peranan penting yang saling berlawanan tersebut, sebenarnya sama-sama memikul beban adab dan adatnya sendiri. Secara umum, masyarakat kenyataannya sudah memiliki kriteria seorang pasangan calon masing-masing. Yang layak dipilih supaya dapat mewujudkan kerukunan. Sementara fungsi (kiai dan bhâjing) bisa dijadikan tempat parembhâghân (berembuk). (hlm 111).

Dan yang terpenting, filosofi manusia Madura bukan hanya hidup berdampingan dengan manusia lain. Akan tetapi, falsafah hidup mereka juga terjalin hidup selaras dengan alam. Secara implisit, tengka manusia Madura dengan alam semesta selalu menuntut adanya keseimbangan dan menghindari benturan. Semisal ada seorang Madura yang membangun sebuah bangunan yang menyalahi aturan kosmos maka akan dicap sebagai orang yang tidak memahami tengkana bhumi (sikapnya bumi).

Tanah terbaik bagi masyarakat Madura adalah tipe pancoran emmas (pancuran emas). Secara filosofis berarti air yang mengalir dari utara ke selatan. Orang Madura berkeyakinan,    siapa saja orang yang menetap di atas sebidang tanah landai itu, maka hidupnya akan seperti air. Mengalir sampai titik terjauh sebelum akhirnya bermuara ke tempat yang tak terbatas, yakni lautan. 

Sementara, secara tipografi ada beberapa tipe tanah yang harus dihindari karena menyalahi kanun kosmos, yaitu: tanah bhârrâs dumpa (beras tumpah), bâlâkang pѐnyoh (cangkang penyoh), kalabhâng ghântang (lipan telentang), bhâjâ ngirremmi (buaya mengeram), jhilâ bhumi (lidah bumi),  jhilâ pate’ (lidah buaya), nombhâk lorong (menusuk jalan), nombhâk tabun (menusuk pematang purba).

Selain corak tanah yang menjadi simbolisme pantangan, hal lain yang masif terjadi belakangan ini adalah pejalnya reklamasi agraria yang berdampak pada kesenjangan sosial. Pembangunan insfrastruktur sejatinya telah banyak melupakan tradisi-budaya masyarakat di Madura. Semisal, banyak bukit-bukit kapur yang dieksploitasi dijadikan pemukiman. Padahal, dulunya merupakan daerah tadah hujan yang berfungsi sebagai tandon air dalam tanah. Dan Pada akhirnya jika terus dibiarkan, bukan hanya melenyapkan kehidupan hayati, pembangunan juga akan merampas hak-hak masyarakat tradisional.

Celakanya, sekarang berjebah pemeluk-pemeluk agama Islam yang menganut paham antroposentris. Persepsi ini memandang bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah), sedangkan alam sekitar diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kondisi antroposentris ini diperparah lagi dengan adanya fiqih yang legal dalam masyarakat (hlm 138). 

Akibatnya, banyak manusia yang semena-mena terhadap alam: Daerah pantai beralih fungsi lahan jadi tambak udang, reklamasi agraria besar-besaran, hutan dibabat habis, laut dieksploitasi. Sehingga belakangan, alam seolah-olah murka pada manusia. Barangkali, dengan masifnya kerusakan alam di muka bumi, manusia harus segera menanggalkan sikap antroposentris dan kembali ke konsep geosentris. Kembali kepada alam. Hidup selaras dengannya.

Penulis: Fahrus Refendi

Hari PRT Nasional: Kematian Sunarsih, Bukti Pentingnya RUU PPRT Disahkan

Himmah OnlineMemasuki 18 tahun RUU PPRT tak kunjung disahkan oleh pemerintah. Sampai saat ini, Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih menjadi golongan yang rentan dilemahkan.

Dehumanisasi, pelecehan, kekerasan, serta eksklusi  menjadi contoh dari tidak adanya perlindungan hukum terhadap PRT, seperti pada kisah Sunarsih.

Sunarsih adalah salah satu Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang meninggal akibat kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh majikannya, Ita.

Mengutip dari laman resmi Komnas Perempuan, perempuan belia itu menjadi korban dari perdagangan orang yang kemudian dipaksa untuk bekerja di Surabaya, Jawa Timur. Di tempat kerjanya, Sunarsih dan keempat rekannya kerap menerima perlakuan yang tidak pantas hingga kekerasan selama bekerja.

“Selama bekerja dengan nyonya Ita, Sunarsih dan empat teman PRT-nya selalu mengalami eksploitasi dan bentuk kekerasan,” tutur Jumiyem, perwakilan dari JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) dalam Konferensi Pers “Kampanye PRT di 7 Kota Mendesak Pengesahan RUU Perlindungan PRT” pada Selasa (08/02) yang diadakan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja melalui saluran Zoom Meeting.

Jumiyem juga menjelaskan bentuk kekerasan yang dialami Sunarsih dan keempat temannya selama bekerja yakni seperti harus bekerja lebih dari delapan jam per hari, tidur di lantai jemuran, makan makanan sisa yang bahkan dalam sehari hanya sekali.

Sunarsih pun kala itu juga disekap, dipaksa harus bekerja, tinggal dalam kondisi yang menakutkan karena sering mengalami kekerasan psikis dan juga fisik.

Dari seluruh bentuk kekerasan fisik hingga psikis yang diterima Sunarsih, perempuan berusia 14 tahun itu pun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 15 Februari 2001 yang kini diperingati sebagai Hari PRT (Pekerja Rumah Tangga) Nasional.

“Setelah Sunarsih, dia (Ita) terbukti melakukan kekerasan pada PRT-nya, dan dia lolos dari hukuman yang ada. Artinya, pelanggaran dan tindak kekerasan ini terus berulang, terus terjadi hingga sekarang. Hal ini terjadi karena tidak adanya jaminan hukum, tidak adanya jaminan perlindungan bagi pekerja rumah tangga untuk memperoleh haknya yang sebenarnya sangat mendasar,” jelas Marina dari AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia).

Melihat pentingnya perlindungan hukum bagi PRT, sejumlah organisasi masyarakat pun turut mendesak DPR dan presiden untuk segera mengesahkan RUU PPRT.

Mengapa RUU PPRT Perlu Segera Disahkan?

Pengesahan RUU Perlindungan PRT merupakan salah satu tujuan dari perjuangan yang terus dilakukan untuk para pekerja rumah tangga agar tidak ada lagi Sunarsih lainnya yang mendapat perlakuan buruk dan tidak manusiawi.

Dilihat dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020, tercatat bahwa selama tahun 2019 sendiri terdapat 17 kasus pengaduan PRT yang diterima Komnas Perempuan secara langsung.

Bahkan, catatan dari JALA PRT sendiri pada kurun waktu 2015 hingga 2019, kira-kira sudah terdapat 2.148 aduan kasus yang dilaporkan oleh PRT dalam berbagai bentuk tindak kekerasan fisik, psikis, bahkan kekerasan ekonomi.

Menurut Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), begitu banyak kasus yang menimpa PRT, di mana kondisi para PRT yang memprihatinkan membuat RUU PPRT harus segera disahkan.

“Dalam situasi seperti itu, sangat dibutuhkan keberadaan payung hukum untuk melindungi kawan-kawan yang bekerja di sektor rumah tangga,” tutur Zainal Arifin.

Komnas Perempuan pun menuliskan di laman resmi mereka bahwa Undang-Undang PPRT diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja rumah tangga, pemberi kerja, serta pihak lainnya yang terhubung.

Selain itu, adanya Undang-Undang PPRT dapat membuat para PRT memiliki posisi pekerjaan yang jelas dan dapat memperoleh hak-haknya sebagai pekerja.

Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini negara belum memiliki keberpihakkan dalam perlindungan pekerja rumah tangga.

“Sudah 18 tahun lamanya kawan-kawan berjuang untuk mendorong pengesahan RUU PPRT dan hingga sekarang belum ditemukan titik ujungnya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan RUU lainnya,” tutur Zainal Arifin.

Jumiyem sebagai perwakilan dari JALA PRT pun menyampaikan harapannya agar RUU PPRT dapat segera disahkan sebagai Undang-Undang.

“Semoga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dapat disahkan sebagai Undang-Undang di tahun ini. Sehingga, di tahun berikutnya kami tinggal mengajak negara dan masyarakat untuk lebih mengenal mengenai Undang-Undang perlindungan PRT ini,” ungkap Jumiyem.

Reporter: Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Nadya Auriga D.

18 Tahun RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan, Bagaimana Nasib PRT Kini?

Himmah OnlineDalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang jatuh pada tanggal 15 Februari mendatang, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menggelar kampanye di 7 kota berbeda untuk mendesak pengesahan RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).

Pada Kamis (10/02), kampanye bertajuk “Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga: Gerak Bersama Mendesak Segera Disahkannya RUU PPRT” digelar melalui saluran Zoom dengan latar cerita PRT di Yogyakarta.

Ririn Sulastri, salah satu PRT menjelaskan jika pekerjaannya dirasa berat, tetapi itu sudah menjadi pilihan hidup untuk membantu suami agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Namun sayang, pekerjaan tersebut tidak sebanding dengan upah yang didapatkan. Ririn juga mengeluhkan iuran bulanan kesehatan mandiri yang harus dibayarkan agar ia dan keluarganya mendapat jaminan kesehatan.

Melanjutkan pengalamannya, Ririn mengungkapkan bahwa rata-rata PRT tidak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan berupa empat manfaat, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan tidak adanya peraturan atau undang-undang yang mengakui keberadaan PRT dan melindunginya.

“Dalam masa pandemi Covid-19 ini, PRT mayoritas itu sebagai pekerja dan mayoritas urban yang tidak dihitung, dikecualikan dari semua jenis program subsidi pemerintah, atau kaya saya yang bekerja di luar daerah maka tentu saja tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari pemerintah setempat,” tambahnya.

Ririn juga menambahkan jika selama pandemi, banyak PRT harus rela di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan dirumahkan dengan pemotongan upah sebesar 50-75%. 

“Saya sendiri, saya pribadi saat itu sampai diusir dari kos-kosan sendiri karena lebih dari tiga bulan tidak mendapatkan kerja, kerja tapi untuk makan saja tidak cukup,” papar Ririn.

Tak kalah meringisnya dari kisah Ririn, Yuni Maheni, salah satu PRT yang telah memulai pekerjaannya sejak usia 16 tahun harus mengorbankan masa remajanya. Ia juga menceritakan pengalaman buruk yang menimpa kesehatannya pada tahun 1995 di mana penglihatan matanya kabur dan tidak jelas sehingga ia harus menggunakan kacamata.

“Majikan saya mengatakan, ‘ko bergaya banget si ini PRT, ko pake kacamata?’ sejak saat itu saya sering disindir karena memakai kacamata,” keluhnya. 

Tanggapan Atas Keluhan Para PRT

Damairia Pakpahan dari komunitas Rumpun menanggapi keluhan Ririn dan Yuni sebagai salah satu PRT yang berperan penting dalam membantu majikan atau keluarga di dalamnya. Damairia juga berpendapat jika jaminan sosial merupakan kebutuhan mendasar bagi PRT supaya tidak terpuruk dalam kemiskinan struktural.

“Kita sebenarnya saling membutuhkan, karena ini yang kita sedang kerjakan adalah mendorong atas undang-undang PRT itu sebenarnya kita sedang memformalkan pekerjaan PRT. Karena kalo nggak ada yang care terhadap rumah tangga, nggak ada yang care terhadap orang sakit, gaada yang care terhadap, apa, bayi kecil itu gimana? Itu kan pekerjaan merawat rumah tangga, kehidupan. Digerakkan buruh masih terpinggirkan,” keluh Damairia.

Di akhir tanggapannya, Damairia berharap agar masa depan PRT menjadi lebih baik dari hari ini. Ia juga memohon kepada para PRT untuk tetap bertahan dan terus memperjuangkan haknya hingga tuntas, menyelesaikan 18 tahun lamanya menunggu disahkan RUU PPRT.

“Paling tidak, kawan-kawan PRT diakui bahwa ini adalah pekerjaan dan dipastikan mendapat perlindungannya (red-negara), ini yang saat ini kita kejar. Ini adalah dua hal yang sangat penting,” pungkasnya.

Reporter: Kemal Al Kautsar Mabruri

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Mahasiswa, Pandemi, dan Gangguan Kecemasan

Himmah Online Pandemi virus corona (COVID-19) telah menyebar dengan cepat dan tak terkendali di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Dampak yang dirasakan masyarakat dan pemerintah pun tak dapat dihindari. Tidak hanya kondisi fisik, kondisi psikologis pun tidak luput dari permasalahan yang diterima masyarakat. Perubahan mendadak yang terjadi di berbagai sektor kehidupan membutuhkan kemampuan adaptasi yang cepat. 

Di sektor pendidikan, sistem belajar-mengajar berubah menjadi daring. Perguruan tinggi yang merupakan salah satu instansi penting sebagai penentu kualitas pendidikan di Indonesia ikut terkena dampaknya. Mahasiswa yang berada pada tahap masa dewasa awal ini dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan beragam perubahan tersebut. Hal ini memicu timbulnya gangguan kecemasan di kalangan mahasiswa.

Perasaan cemas (anxiety) merupakan hal mendasar yang menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan mental. Kecemasan dikatakan tidak baik dan berbahaya ketika rasa cemas yang timbul bersifat menetap, memburuk, hingga menganggu aktivitas sehari-hari. Kondisi itulah yang dikatakan sebagai gangguan kecemasan.

Dalam sebuah penelitian oleh Christianto, dkk yang berjudul Kecemasan Mahasiswa di Masa Pandemi COVID-19, diketahui 74,8% mahasiswa merasakan kecemasan dengan tingkat rendah, 20,7% mahasiswa merasakan kecemasan dengan tingkat sedang, dan 4,5% sisanya mengalami kecemasan dengan tingkat berat. 

Begitu pula penelitian lain dari Cou, dkk. berjudul The Psychology Impact of The COVID-19 Epidemic on College Students in China, menghasilkan data tingkat kecemasan mahasiswa di Changzhi Medical College selama pandemi COVID-19 yaitu 0,9% mahasiswanya mengalami kecemasan tingkat berat, 2,7% mahasiswa mengalami kecemasan tingkat sedang, dan 21,3% mahasiswa mengalami kecemasan tingkat rendah. 

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan bagi mahasiswa, mulai dari yang ringan hingga berat. Hasil survei berdasarkan penelitian yang sama dari Christianto dkk. menyebutkan kuliah daring menempati urutan pertama penyebab kecemasan. 

Proses perkuliahan secara daring dapat menimbulkan kurangnya fokus akibat distraksi dari lingkungan mahasiswa belajar, hilangnya semangat belajar karena mengantuk, hingga tidak dapat bertemu dengan teman-teman yang mampu meningkatkan semangat belajar. 

Relasi pertemanan merupakan faktor kedua yang dianggap mempengaruhi kecemasan mahasiswa. Ketakutan akan timbulnya konflik hingga kehilangan teman wajar terjadi, terlebih bagi mahasiswa baru. Faktor selanjutnya, ketakutan akan nilai buruk yang mana dipengaruhi oleh faktor keempat, yaitu sulitnya memahami materi kuliah.

Permasalahan tersebut menghantui mahasiswa selama pandemi. Kecemasan diperparah ketika mahasiswa harus merasakan kehilangan orang-orang terdekatnya akibat COVID-19. Ditambah lagi, perubahan sistem belajar mengajar yang sebelumnya luring menjadi daring membutuhkan proses adaptasi yang dianggap sulit bagi sebagian pelajar. 

Demi mengontrol kecemasan yang dialami, diperlukan kesadaran diri dari mahasiswa untuk menyaring berita dan informasi yang masuk agar sesuai dengan kapasitas diri. Dukungan orang-orang terdekat pun dibutuhkan demi memenuhi sumber daya eksternal (external resources) mahasiswa.

Berdasarkan dua data yang dipaparkan sebelumnya, secara keseluruhan tingkat kecemasan di kalangan mahasiswa tergolong rendah. Namun bukan berarti persoalan ini dianggap sebelah mata. 

Kecemasan yang terjadi dalam rentang waktu yang terlalu lama hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dapat berbuah menjadi gangguan kecemasan. Jika sudah mencapai tahap tersebut, kehidupan sehari-hari mahasiswa pun menjadi terhambat, mengganggu orang lain, dan menimbulkan gangguan psikologis yang lebih parah hingga berujung pada kematian.

Menurut Nelma (2017), fungsi pelayanan kesehatan mental di lingkungan kampus perlu diperhatikan lebih dalam sebagai langkah pencegahan maupun penanganan. Pelayanan ini termasuk di antaranya pengecekan kesehatan fisik dan mental terhadap mahasiswa agar gangguan dapat teridentifikasi lebih awal.

Mahasiswa juga sebaiknya memperhatikan kehidupan spiritual, menerapkan pola hidup sehat, dan selalu terhubung dengan social support. 

Dalam aspek spiritual, penting untuk mengetahui mana hal yang dapat dikendalikan dan yang tidak. Hal-hal di luar kendali seringkali dipikir terlalu dalam, hal ini dapat berujung pada kecemasan berkepanjangan. 

Dalam artikel yang sama juga disebutkan, olahraga dapat menjadi salah satu alternatif mengurangi jumlah hormon kortisol yang memicu stres. Selain itu, hubungan social support seperti keluarga, teman, hingga psikolog perlu dijalin demi meningkatkan upaya preventif maupun kuratif terhadap permasalahan yang menimbulkan kecemasan. 

Penulis: Firly Prestia Anggraeni

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Aliansi Solidaritas untuk Wadas Kecam Tindakan Represif Aparat

Himmah Online, Yogyakarta — Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Untuk Wadas berkumpul menyuarakan aspirasinya di halaman Kantor Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dan di depan Kantor BBWS SO (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak), pada Rabu (09/02).

Aksi yang diadakan di dua titik berbeda tersebut merupakan respon cepat atas ditangkapnya 67 orang yang terdiri dari 60 warga, 5 jejaring solidaritas, 1 kuasa hukum dari LBH Yogyakarta, dan 1 orang seniman.

Di titik pertama aksi yang digelar di depan Kantor Polda DIY, massa aksi mengecam tindakan represif aparat gabungan terhadap warga Desa Wadas. Selain itu, mereka juga menuntut agar aparat yang bertindak represif dapat ditindaklanjuti, serta menarik mundur seluruh aparat yang masih berada di Desa Wadas.

“Mengecam dan segera ditindak aparat yang merepresi dan melakukan kekerasan di Wadas, dan tarik mundur aparat keamanan di Desa Wadas,” jelas Restu Baskara selaku humas dari Aliansi Solidaritas Untuk Wadas.

Selepas dari Kantor Polda DIY, massa aksi mendatangi Kantor BBWS SO untuk menuntut dihentikannya pengukuran tanah di Desa Wadas.

“Hentikan proses pengukuran tanah di Desa Wadas, karena pada prinsipnya pengukuran harus dengan kerelaan tanah warga. Jika warga tidak rela maka tidak boleh dilakukan pengukuran,” tegas Restu.

Menjelang sore hari, sekitar pukul 15.27 WIB, massa aksi yang berada di depan Kantor BBWS SO mulai membubarkan diri. Selang beberapa menit kemudian, spanduk massa aksi yang terpasang di pagar Kantor BBWS SO dilepas oleh pihak keamanan.

Penolakan akan adanya tambang kuari dilakukan warga Desa Wadas demi menjaga kelestarian ruang hidup mereka. Pada 23 April 2021 silam, warga Desa Wadas pun menghadang rencana pengukuran dan pematokan lahan yang dikawal aparat kepolisian.

Hal tersebut berujung penangkapan terhadap 11 orang yang terdiri dari 6 orang warga Desa Wadas, 2 orang dari tim advokasi LBH Yogyakarta, serta 3 orang anggota jaringan solidaritas.

Hingga pada Selasa (08/02) lalu, rencana pengukuran lahan kembali hadir dengan pengawalan ketat oleh aparat gabungan yang juga berujung penangkapan.

Reporter: Eka Ayu Safitri, Yola Ameliawati Agustin, Supranoto, Ika Rahmanita, Muhammad Prasetyo.

Editor: Nadya Auriga D.

Warga Wadas Alami Ketakutan dan Trauma Pasca Penangkapan

Himmah Online — Aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang diikuti dengan penangkapan 67 orang termasuk warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Selasa, (08/02) memberikan ketakutan yang mendalam.

Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melalui kanal Zoom pada Kamis (10/02). Insiden penangkapan tersebut membuat warga Wadas mengingat kekerasan yang mereka alami pada 23 April 2021 silam, bahkan membuat trauma warga semakin dalam. 

Salah satu warga Wadas yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa hingga konferensi pers diadakan, masih ditemukan banyaknya aparat dan preman yang berada di Desa Wadas dan diketahui bahwa aparat tersebut memaksa warga untuk melakukan pengukuran di lahannya.

“Tetangga kami, ada salah satu warga yang diajak secara paksa ke hutan untuk melakukan pengukuran di lahannya. Padahal warga tersebut tidak mau tanahnya untuk diukur,” terang warga Wadas tersebut. Ia menambahkan bahwa anak-anak juga enggan ke sekolah karena rasa takut melihat banyaknya aparat. 

Perwakilan SP Kinasih yang berada di Desa Wadas yang enggan disebutkan namanya, juga memaparkan bahwa ia sempat bertemu dengan seorang perempuan yang dibebaskan setelah sempat ditangkap. 

“Perempuan tersebut mengalami trauma yang serius. Ia tidak berani keluar rumah, dan bahkan takut untuk bertemu dengan orang asing,” tuturnya.

Zainal Arifin selaku perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menegaskan dengan adanya fakta yang ada di lapangan dari warga sudah seharusnya negara menarik semua pasukan.

“Negara harus menarik mundur semua aparat, menghentikan semua proses pengukuran tanah dan mengkaji ulang kaitannya dengan pembangunan waduk dan tambang, serta memberikan akses untuk media agar masyarakat Desa Wadas bisa menyampaikan fakta mengenai kekerasan yang terjadi,” tegasnya.

Warga Wadas juga menyampaikan empat tuntutan pada Gubernur Ganjar Pranowo dan Kapolda Jawa Tengah di antaranya: Menghentikan rencana pertambangan quarry di Desa Wadas, menarik aparat kepolisian dari Desa Wadas, menghentikan kriminalisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas, dan mengusut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Desa Wadas.

Reporter: Qothrunnada Anindya Perwitasari, Nadya Auriga D.

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Pengawalan Pengukuran Tanah di Desa Wadas Berujung Pembatasan Akses Informasi hingga Penangkapan

0

Himmah Online – Aparat gabungan yang terdiri dari pihak Kepolisian, TNI, dan Satpol PP datang ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Selasa (8/2), guna mengawal jalannya pengukuran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengawalan tersebut berujung pembatasan akses informasi hingga penangkapan.

Lewat konferensi pers yang dilakukan GEMPADEWA (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) melalui saluran Zoom (9/2), Heronimus Heron bagian dari jaringan solidaritas untuk Desa Wadas menuturkan bahwa kedatangan aparat gabungan ke Desa Wadas dimulai sejak sekitar pukul 10.48 WIB.

“Aparat datang dengan menggunakan mobil, motor, dan berjalan kaki,” tutur Heron.

Di Desa Wadas aparat gabungan berkumpul di beberapa titik lokasi. Seperti di pintu masuk Desa Wadas dari arah Desa Pekacangan, Kantor Kepala Desa Wadas, sekitar Masjid Nurul Huda, hingga di rumah-rumah warga.

Menjelang siang hari pengepungan dan penangkapan terhadap warga Desa Wadas mulai terjadi.

“Sekitar pukul 12 siang pengepungan dan penangkapan terjadi. Bahkan (penangkapan) terjadi di Masjid (Nurul Huda) Dusun Krajan di mana warga sedang mujahadah untuk mendapatkan kekuatan dari Ilahi namun tetap ada yang ditangkap,” ungkap Heron.

Tim kuasa hukum dari LBH Yogyakarta yang berusaha memasuki Desa Wadas pada pukul 13.00 WIB pun tidak diperbolehkan masuk oleh aparat gabungan jika tidak membawa surat kuasa.

Reporter himmahonline.id berhasil masuk ke kawasan Desa Wadas sekitar pukul 14.20 WIB, namun tidak diperbolehkan mengakses informasi dari warga yang menolak tambang yang saat itu sedang berkumpul di Masjid Nurul Huda, Dusun Krajan, Desa Wadas. Aparat berdalih area masjid sedang dalam pengawasan.

Saat hendak masuk area pelataran masjid menggunakan sepeda motor, reporter himmahonline.id dihadang dan diminta untuk menepi. Setelahnya, reporter himmahonline.id diminta menunjukkan kartu identitas dan diinterogasi.

Aparat gabungan memberikan beberapa pertanyaan seperti tempat asal, tujuan ke Wadas hendak apa, mendapat info terkait Wadas dari mana, hingga diminta menunjukkan kartu identitas. Dalam proses tersebut, reporter himmahonline.id dikerumuni beberapa aparat yang sedang berjaga dan diminta untuk membuka masker.

Sembari melempar berbagai pertanyaan, petugas juga memotret kartu identitas reporter himmahonline.id. Setelah menjawab berbagai pertanyaan serta menjelaskan maksud dan tujuan, reporter himmahonline.id tetap tidak diperkenankan masuk ke area masjid dan disuruh meninggalkan area Desa Wadas.

Di hari kedua pengukuran lahan Desa Wadas untuk tambang kuari, akses informasi dari Desa Wadas masih terbatas. “Sampai saat ini pengawasan publik di Wadas sangat terbatas,” tutur Julian dari LBH Yogyakarta dalam konferensi pers GEMPADEWA Rabu (9/2) pagi.

Aparat kepolisian melakukan pembatasan akses informasi dengan merazia telepon seluler atau handphone (hp) milik warga Desa Wadas. Razia dilakukan tanpa alasan yang jelas dan tanpa seizin pemiliknya.

“Warga hanya mengetahui bahwa razia itu dilakukan untuk memeriksa pesan maupun aktivitas digital pemiliknya,” tulis rilis pers oleh GEMPADEWA Rabu (9/2) malam.

Selama dua hari Desa Wadas dimasuki aparat gabungan, total orang yang telah ditahan di Polres Purworejo mencapai 67 orang. Terdiri dari 60 warga, 5 jejaring solidaritas, 1 kuasa hukum dari LBH Yogyakarta, dan 1 orang seniman.

Per Rabu (9/2) pukul 16.30 WIB, sejumlah 67 orang tersebut akhirnya berhasil kembali ke Desa Wadas. Namun, hingga sore hari, masih banyak polisi dan orang tidak dikenal di sekitar Wadas. 

“Kalau tadi sore menjelang maghrib kita pulang (dari Polres Purworejo) masih banyak polisi dan orang-orang tidak dikenal (di Desa Wadas),” tulis Danhil Al Ghifary, staf Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta saat dihubungi reporter himmahonline.id melalui pesan WhatsApp.

GEMPADEWA dalam rilis persnya (9/2) menuntut Ganjar Pranowo dan Kapolda Jawa Tengah untuk menghentikan rencana penambangan quarry di Desa Wadas; menarik aparat kepolisian dari Desa Wadas serta menghentikan kriminalisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas; dan mengusut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Desa Wadas.

Namun hingga Kamis (10/2) tuntutan warga tidak diindahkan. “Pagi ini datang lagi 10 truk polisi yang membawa aparat kepolisian bersenjata. Sampai saat ini Wadas masih dikepung ratusan aparat dan preman-preman. Mencekam,” tulis akun resmi GEMPADEWA (@Wadas_Melawan) di Twitter.

Reporter: Pranoto

Editor: Nadya Auriga D.

PKL dan Pendorong Gerobak Kawasan Malioboro Hadapi Tantangan Relokasi

Himmah Online – Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro, Kota Yogyakarta, DIY yang dilakukan oleh Pemerintah DIY menimbulkan kekhawatiran bagi PKL. Tidak hanya PKL, pendorong gerobak serta masyarakat kecil yang selama ini telah bekerja selama bertahun-tahun di kawasan Malioboro juga tidak lepas dari dampaknya.

Alasan relokasi dilakukan guna penataan kawasan Malioboro yang akan didaftarkan sebagai sumbu filosofis warisan budaya tak benda ke UNESCO. Para PKL Malioboro direlokasi ke Teras 1 yang merupakan bekas Gedung Bioskop Indra dan Teras 2 di bekas Gedung Dinas Pariwisata DIY. 

Upik yang merupakan salah satu PKL Malioboro merasa keberatan apabila direlokasi. Terlebih lagi setelah 2 tahun masa pandemi Covid-19 dan juga adanya PPKM. 

Pada bulan November lalu, ia menerima sosialisasi relokasi PKL di Malioboro yang dijelaskan pada bulan Januari. Dari sosialisasi tersebut, para PKL harus pindah ke tempat relokasi. Hal ini dirasa berat oleh Upik dan ayah-ibunya yang telah berjualan sejak tahun 60-an di Malioboro. 

“Saya juga bingung mau seperti apa, yang akhirnya Alhamdulillah,  bertemu dengan temen-temen LBH dibantu, didorong, di-support, sehingga kami bisa beraudiensi dengan DPRD. DPRD sudah membentuk Pansus yang istilahnya membantu jalannya relokasi,” terangnya pada acara Diskusi Publik dan Konsolidasi berjudul “Malioboro Indah Tanpa Menindas” yang diselenggarakan oleh LBH Yogyakarta pada hari Jumat, 28 Januari 2022 di Kantor LBH Yogyakarta.

Meski demikian, ia dan para PKL menginginkan adanya penundaan relokasi ini. Menurut Upik, penting adanya keterbukaan dari pemerintah soal tempat yang layak dan jaminan apakah laku atau tidak bagi mereka yang belum mereka dapatkan.

”Jadi kalau tentang informasi  apapun tentang relokasi mohon maaf kami hanya tahu lewat media massa,” tambahnya. 

Ia mengungkapkan pemerintah hanya hanya memberitahu letak lapak berjualan, namun tidak dengan berapa ukuran luasnya. Upik menyayangkan tidak adanya pendekatan humanis kepada PKL oleh Pemerintah DIY.

“Ini yang sangat saya sayangkan, tidak adanya pendekatan humanis, jadi kami seakan-akan seperti barang saja,” katanya.

Upik juga menilai bahwa relokasi ini dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Pasalnya, saat melakukan audiensi dengan DPRD dan Walikota. hasil dari audiensi tersebut, ia dan para PKL mendapat tanggapan bahwasanya tidak ada dokumen perencanaan di mana terdapat hampir 2000 PKL yang terdampak. 

“Pada saat pelaksanaan pembangunannya itu pun memang yang di Indra sudah dibangun lama tapi yang di Shelter (Teras-red) 2 yang di eks Gedung Dinpar itu dibangun dulu baru ada pendataan anggota,” keluhnya. 

Kekhawatiran juga dirasakan oleh para pendorong gerobak. Fuad, selaku perwakilan dari pendorong gerobak kawasan Malioboro, mengatakan selama ini ia dan pendorong gerobak lain merasa dinafkahi dan dimanusiakan oleh PKL. Keberadaan pendorong gerobak bersama dengan PKL turut ikut menjaga kebersihan dan keamanan Malioboro. 

Setelah mendapat kabar relokasi PKL empat bulan yang lalu, ia telah merasakan dampak berupa kehilangan relasi dengan para PKL dalam menjaga kebersihan dan keamanan Malioboro. Selain itu, relokasi juga dikhawatirkan akan menghilangkan pekerjaan mereka. 

Pada masa pemulihan ekonomi akibat pandemi, ia mengungkapkan rasa senang dan terima kasihnya kepada para PKL. Namun, setelah itu ia mendengar kabar akan adanya relokasi sehingga menimbulkan kebingungan.

“Kalau direlokasikan dalam waktu dekat PKL pindah, lalu apa yang akan kami kerjakan? Padahal saya sepuluh tahun menjadi pendorong gerobak, ada teman-teman yang dua puluh, dua puluh empat, itu mengandalkan dari PKL,” keluhnya. 

Fuad menyampaikan dua permohonan dari para pendorong gerobak kepada Pemerintah Kota Yogyakarta berupa penundaan relokasi dan pekerjaan yang layak. Penundaan tersebut perlu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para pendorong gerobak untuk mencari pekerjaan lain.

“Kami melalui audiensi di DPRD Kota berlanjut sampai ke Provinsi kemarin, tuntutan kami hanya ingin untuk penundaan relokasi,” katanya. 

Para pendorong gerobak juga berharap adanya kompensasi dan pemberdayaan dari Pemerintah DIY. Namun, keputusan yang diterima kurang begitu menyenangkan. Dari 70 pendorong gerobak yang terdata, pemerintah hanya membutuhkan 4 orang di lokasi Teras 2 untuk menjaga toilet. 

Padahal, sejumlah sektor yang membutuhkan petugas masih ada, antara lain: kamar mandi umum, kebersihan, juru parkir, dan jaga malam. Hal ini tentu dapat menyebabkan banyaknya pendorong gerobak yang tidak terberdaya di lokasi baru. 

Elanto Wijayanto dari Combine Resource Institution, menjelaskan relokasi PKL dan pendorong gerobak di Malioboro memiliki beragam motif. motif tersebut digunakan pemerintah daerah untuk melegitimasi relokasi tersebut. 

“Ketika kita bicara tentang apa sekarang sedang yang terjadi di Malioboro memang ada banyak motif atau modus yang digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk melegitimasikan apapun yang kemudian akan dilakukan terhadap komunitas atau yang baik secara fisik maupun secara aktivitas.”, papar Elanto. 

Menurutnya, alasan utama relokasi PKL Malioboro untuk dapat menominasikan kawasan pusat Kota Yogyakarta ke UNESCO. Ia juga menambahkan alasan ini dapat menimbulkan alasan lain untuk menjustifikasi relokasi para PKL demi keindahan kawasan tersebut. 

“Dengan adanya agenda penominasian itu, tentu saja kemudian ada alasan-alasan lain yang dibutuhkan, kemudian bisa menjustifikasi upaya Pemda untuk mensterilkan kawasan yang dinominasikan itu”, lanjut Elanto.

Selain itu, Era Hareva dari LBH Yogyakarta berpendapat bahwa kebijakan relokasi harus memiliki perencanaan yang matang sehingga apabila terjadi kendala, pemerintah sudah memiliki solusi. “Kebijakan relokasi sejatinya harus memiliki masterplan dan grand design sehingga segala jenis dampak sudah memiliki alternatif solusi.” 

Era juga mengatakan bahwa dari dampak relokasi yang sudah terlihat, Pemerintah DIY gagap untuk memberikan solusi kepada PKL, pendorong gerobak, dan masyarakat kecil yang terdampak atas kebijakan relokasi.

“Dampak sudah mulai terlihat, tapi dari Pemerintah DIY sendiri tidak mampu memberikan jawaban yang konkret bagi pedagang kaki lima dan juga bagi para pendorong gerobak serta masyarakat kecil lain yang terdampak atas kebijakan ini.”, pungkasnya.

Reporter : Muhammad Mufeed Al Bareeq, Monica Daffy

Editor : M. Rizqy Rosi M.

Aku Juga Ingin Pulang

0

Suara lantunan malam itu, tidak juga membangunkanku 

Pandanganku masih saja tertuju pada satu titik 

Sosok yang kuat, kulihat kini sudah tidak lagi bergerak 

Runtuh habis duniaku 

Kain yang menyelimuti tubuhnya, kubuka dengan sekuat tenaga 

Kukatakan padanya dengan mulut terbata-bata

Ma, anakmu ingin juga pulang…

Tanpa adanya aba-aba, air mata jatuh seketika 

Ini hanya mimpi, ucapku dengan nada meninggi 

Akan tetapi, seseorang perempuan paruh baya berusaha untuk mendekati 

Dan tiba-tiba, dengan tubuh getarnya itu memelukku 

Nak, ikhlaskan. Suara pelannya, memasuki gendang telinga ku 

Tuhan, aku hanya pergi sebentar… 

Kenapa ketika pulang berita kematian yang dikabarkan 

Tidak adil

Ini tidak adil Tuhan, gumamku dalam hati 

Aku mendekati lagi tubuhnya yang terdiam 

Matanya yang sudah terpejam 

Wajah yang kian memucat 

Namun senyumnya masih terlihat hangat 

Kupeluk tubuhnya dengan cukup lama 

Dengan masih berharap bahwa yang di depan mata bukanlah nyata adanya 

Ma, boleh ikut Ma?… 

Ma, bangun… 

Dunia terlalu jahat tanpamu Ma… 

Hujan di mataku tidak jua kunjung berhenti 

Basah sudah baju yang kukenakan hari ini 

Mencoba kulepaskan pelukan itu 

Menyadarkan diriku yang masih memahami sesuatu 

Berusaha kukeluarkan suaraku meski dengan tersedu-sedu 

Memperlihatkan senyum yang ada di wajahku, walau aku tahu yang berada di depanku hanya diam membisu 

Ma, tenang di sana ya… 

Akan kubuatkan surga untukmu, Ma…

Sampai nanti ya Ma, sampai waktunya tiba kita akan bertemu di rumah yang nyata