Beranda blog Halaman 30

Lingkungan Kerja Belum Aman dari Ancaman Kekerasan Seksual

Himmah Online – Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Never Okay Project, disebutkan bahwa selama tahun 2021 terjadi 65 kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja. Data tersebut dihimpun Never Okay Project berdasarkan pemberitaan media sepanjang tahun 2021.

Laporan tersebut disampaikan dalam diskusi “Seperti Dendam, Kekerasan Seksual Harus Diusut Tuntas” yang diadakan oleh Never Okay Project pada Sabtu (12/3), melalui media telekonferensi Zoom.

Menurut Nabiyla Risfa Izzati, seorang dosen hukum ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada (UGM), posisi yang tidak setara antara pemberi kerja dan pekerja memungkinkan terjadinya kekerasan seksual di dunia kerja.

“Posisi yang jelas tidak setara antara pemberi kerja dan pekerja itu membuat kemungkinan terjadinya kekerasan dan pelecehan (seksual) itu jauh lebih tinggi di dunia kerja,” tutur Nabiyla.

Hal tersebut senada dengan data dari Never Okay Project yang menyebutkan bahwa pihak klien/pemberi menjadi pelaku paling banyak dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja dengan angka mencapai 29 kasus (44,62%). Lalu disusul oleh atasan/rekan kerja senior sebanyak 21 kasus (32,31%) dan sisanya dilakukan oleh perekrut, rekan kerja sebaya/setara, hingga mantan rekan kerja.

Nabiyla juga menuturkan bahwa instrumen hukum untuk melindungi korban dari tindakan kekerasan seksual masih kurang memadai. Akibatnya korban merasa tidak percaya terhadap proses hukum yang tersedia. Hal tersebut mendorong korban lebih memilih untuk speak-up di media sosial yang acapkali menimbulkan respon negatif terhadap korban itu sendiri.

“Jika dilihat dari perspektif hukum belum didukung oleh instrumen yang memadai. Hal paling sederhana yang bisa kita lihat sebenarnya adalah tendensi korban yang tidak percaya terhadap proses hukum karena lebih banyak korban memilih untuk cerita ke media atau spill lewat media sosial yang harus diakui sebenarnya belum tentu berimbas baik pada korban terutama karena budaya berpihak pada korban dan percaya pada korban itu masih kurang,” ujar Nabiyla.

Regulasi yang tersedia yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dianggap tidak mengatur secara spesifik mengenai kasus kekerasan seksual di tempat kerja. Maka dari itu, Evi Mariani, founder Project Multatuli, menuturkan bahwa perusahaan seminimalnya membuat dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) di lingkungan kerja.

“Selemah-lemahnya iman ya memang (SOP) lumayan urgent, ya meskipun ketika sudah ada SOP pun saya juga mendengar beberapa yang pada akhirnya SOP-nya cuma semacam seperti kertas doang nggak diapa-apain juga,” ucap Evi.

Dengan tidak adanya regulasi yang spesifik mengatur kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja, menurut Triasri Wiandani hal tersebut menjadikan pekerja merasa dalam ancaman dan ketakutan yang berdampak pada produktivitas kerja.

“Tidak ada produktivitas yang bisa dicapai ketika pekerja tidak dalam kondisi yang aman dan nyaman, dan di dalam situasi yang merasa dalam ancaman dan ketakutan,” ucap Tiasri selaku Komisioner Komnas Perempuan.

Dari 65 kasus yang terjadi jika dilihat dari jenis kekerasannya kasus kekerasan seksual berbentuk fisik menempati posisi teratas dengan 33 kasus. Disusul dengan kasus pemerkosaan sebanyak 14 kasus. Sedang paling sedikit merupakan kasus perbudakan seksual dengan 1 kasus.

Dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat sebagian pekerja harus melakukan pekerjaanya dari rumah (work from home), tidak serta merta membuat pekerja aman dari ancaman kekerasan seksual.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan Never Okay Project, dari 65 kasus kekerasan seksual terdapat kasus berbasis online sebanyak 4 kasus dan berbasis visual sebanyak 5 kasus.

Work from home tidak menghilangkan kekerasan dan pelecehan seksual, namun hanya memindahkan medianya saja, yang tadinya secara lisan menjadi stiker Whatsapp (teks),” tutur Nabiyla.

Reporter: Intan Yuni Triolita, Nisa Widi Astuti

Visualisasi Data: Nisa Widi Astuti

Editor: Pranoto

Menilik Kembali Hubungan Indonesia-Belanda pada 1945-1949

Pada kurun waktu 29 September 1945 – 27 Desember 1945 dalam kacamata sejarah Indonesia disebut Masa Revolusi Nasional atau Masa Kemerdekaan dan Mempertahankan Kemerdekaan. 

Semua berawal dari Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, dengan begitu berarti Sekutu mendapat hak atas wilayah yang dikuasai oleh Jepang. Alhasil, Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan Netherlands Indies Civiele Administratie (NICA) tiba di Tanjung Priok yang dipimpin Sir Philip Christison (AFNEI), Dr. Charles van der Plas (Wakil Belanda pada Sekutu), dan Dr. Hubertus J van Mook (NICA) dengan membonceng Sekutu bermaksud untuk kembali menduduki Indonesia. Alasan lainnya adalah mempersenjatai tawanan perang Jepang untuk menghadapi perlawanan dari Indonesia.

Awalnya masyarakat Indonesia menyambut baik kedatangan Sekutu, tetapi tak lama kemudian masyarakat mengetahui bahwa NICA merupakan perwakilan Belanda. Masyarakat pun murka dan timbul pergerakan perlawanan. Hal ini membuat bangsa Indonesia harus berjuang kembali untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Perlawanan paling fenomenal adalah Peristiwa Westerling yang masih menjadi isu hingga hari ini, yaitu terjadinya aksi pembunuhan ribuan masyarakat di Sulawesi Selatan oleh Pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pada Desember 1946 – Februari 1947. Selanjutnya, Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II yang dianggap sebagai kejahatan peperangan pada negara yang sudah merdeka.

Selain perlawanan senjata, juga terjadi gejolak proses diplomasi Indonesia-Belanda dari Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen, sampai Konferensi Meja Bundar (KMB). Hingga pada akhirnya, Belanda mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka pada 27 Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam, Belanda. 

Berbagai dampak atas peristiwa masa Revolusi Nasional diterima oleh Indonesia. Salah satunya adalah dampak kemanusiaan, yaitu meninggalnya 45.000-100.000 jiwa tentara dan 25.000-100.000 jiwa warga sipil.

Apa itu Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia pada 1945-1950?

Yaitu proyek penelitian yang didanai oleh Pemerintah Belanda sebesar 4,1 juta euro atau 67 miliar rupiah yang sejak 2017 memiliki tim khusus. Melibatkan 25 akademisi Belanda, 11 peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan 6 pakar internasional. 

Terdapat tiga lembaga yang terlibat dalam proyek ini, yaitu Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Penelitian Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Lembaga-lembaga tersebut memiliki tujuan mengkaji kondisi Indonesia pasca Jepang kalah dari Sekutu, masa kemerdekaan, hingga akhir revolusi atau pada 1945-1949 atas kekerasan, pelanggaran HAM, pembunuhan, peperangan, dan pembakaran kampung.

Penelitian bermula karena kesaksian Joop Hueting, seorang veteran Belanda pada wawancara pers di Belanda pada 1969. 

Hueting mengutarakan bahwa ketika ia bertugas menjadi militer di Indonesia pada tahun 1947, ia menyaksikan banyak kekerasan dialami oleh orang Indonesia yang ditangkap. 

Sontak, hal tersebut dianggap berlebihan oleh mantan Veteran Belanda dan Pemerintah Belanda bereaksi dengan menerbitkan catatan resmi Excessennota yang berbunyi, “memang betul ada yang berlebihan namun Angkatan Bersenjata secara keseluruhan berperilaku benar.”

Faktor pendorong lainnya adalah penerbitan buku De brandende kampongs van Generaal Spoor  pada 2016 yang ditulis oleh Remy Limpach seorang Sejarawan Swiss-Belanda.

Kedua faktor tersebut bisa menjadi alasan kuat mengapa Belanda sampai menggelontorkan dana sebegitu banyaknya hanya karena ingin mengungkapkan ketidakpercayaan dirinya atas apa yang telah dilakukannya.

Mengapa penelitian hanya dibatasi pada tahun 1945-1949?

Menurut Hassan Wirajuda, selaku Ketua Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya kejadian ini harus ditanggapi serius, kritis, dan hati-hati untuk memelihara narasi yang benar.

Penelitian yang dilakukan Belanda sebenarnya adalah kemauan mereka sendiri. Proses yang dilakukan Belanda ini dinamakan Soul Searching dimana mereka menjadi jati diri mereka, kebelandaan. 

Pertama, dengan lingkup waktu yang sesingkat itu berarti Belanda mengingkari kolonialisasi selama 350 sejak VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mendarat di bumi Nusantara. Dengan kolonisasi yang panjang berarti mengingkari tanggung jawab moral, politik, hukum mereka sebagai koloni power.

Kedua, apa yang terjadi pada 1947-1948 bukanlah aksi polisionil, sejatinya memang Agresi Militer. Kemudian pada 1945-1949 juga termasuk perang karena menggunakan senjata dan serbuan serdadu dalam jumlah besar.

Ketiga, dalam penelitian, Belanda mengakui bahwa kekerasan tersebut dilakukan secara sistematik, berskala besar, dan direstui oleh pemerintah, politisi, dan masyarakat Belanda. Belanda juga mengakui memiliki persenjataan modern dengan serdadu yang banyak. Belanda menyatakan bahwa mereka tidak berhasil menguasai Indonesia baik secara fisik maupun diplomasi.

Terakhir, permintaan maaf Menteri Luar Negeri Bernard Bot pada 2005 yang hanya secara politik, tetapi tidak menurut hukum. Jika dilakukan secara hukum, Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 1945 dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tahun 1945-1949. 

Pandangan Ahli Terkait Penelitian dan Permintaan Maaf

Dr. Rushdy Hoessein berpendapat jika permintaan maaf Belanda terkesan sepotong-sepotong. Belanda seharusnya bisa belajar dari Jerman dan Namibia yang menyelesaikan masalah dengan permintaan maaf, ganti rugi uang, dan pengembalian harta rampasan. 

Nahas Indonesia malah sebaliknya, harus membayar ganti rugi kepada Belanda pada saat Orde Baru. Harusnya, Belanda mampu meminta maaf secara tulus dan mengganti rugi berupa uang dengan perhitungan selama 350 tahun.

“Permintaan maaf ini harus clear. Karena pada masa 1945-1949 Belanda tidak mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka. Dengan begitu berarti Indonesia masih Hindia Belanda yang seharusnya diberikan kompensasi atas bagian dari Belanda,” ujar Bonnie Triyana selaku Pemimpin Redaksi historia.id yang menyepakati pendapat Dr. Rushdy Hoessein.

Kemudian Bondan Kanumoyoso, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menambahkan tanggapannya.

“Apa yang dilakukan Belanda itu masuk dalam kejahatan perang. Penelitian dilakukan seakan-akan Belanda tidak mengakui kesalahannya selama berabad-abad. Baru pada setelah penelitian itu mereka bisa meminta maaf. Padahal masalah moral dan etika tidaklah perlu melakukan penelitian untuk meminta maaf.”

Penulis: Syahnanda Annisa

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Catahu Komnas Perempuan 2022: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Melonjak 50 Persen

Himmah OnlineBertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2022 yang berisi data laporan kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) sepanjang 2021. Acara tersebut diadakan secara daring dan luring pada Senin (07/03).

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dalam Catahu 2022 melonjak naik dari tahun sebelumnya.

“Terjadi peningkatan signifikan 50% kasus berbasis gender pada perempuan pada tahun 2021,” tutur Alimatul.

Kenaikan tersebut sebanyak 112.434 dari tahun 2020 lalu, yakni dengan jumlah 338.496 laporan kasus sepanjang tahun 2021. Sedang total laporan kasus pada tahun 2020 sebanyak 226.062. Total kasus di tahun 2021 tersebut menjadi yang tertinggi selama sepuluh tahun terakhir.


Data-data yang terkumpul adalah gabungan dari tiga sumber data, yakni dari Komnas Perempuan ada 3.838 kasus, dari 129 lembaga layanan sebanyak 7.029 kasus, dan dari Badan Peradilan Agama (Badilag) berjumlah 327.629 kasus.

“Lonjakan tajam terjadi pada data Badilag sebesar 52% yakni dari 215.694 di tahun 2020, menjadi 327.629 di tahun 2021.

Peningkatan juga terjadi pada sumber daya pengaduan ke Komnas Perempuan, yaitu terjadi peningkatan sebesar 80 persen dari 2.134 kasus di tahun 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021,” tutur Olivia C. Salampessy selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan.

Kemudian ia juga memaparkan bahwa data yang berasal dari lembaga layanan justru menurun 15% yakni dengan total 1.205 kasus. Penurunan ini dikarenakan selama dua tahun pandemi Covid-19 sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi.

Berdasarkan data yang diperoleh Komnas Perempuan selama tahun 2021, ditemukan bahwa 3 provinsi di Pulau Jawa menjadi yang paling banyak terjadi kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP).

Provinsi Jawa Barat dengan total 58.395 kasus, sedangkan di Jawa Timur sebanyak 54.507 kasus, dan di Jawa Tengah total 52.697 kasus.


Jenis dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KGBtP) berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan dan beberapa lembaga layanan yang paling banyak jumlahnya adalah kekerasan berbentuk fisik dengan total 4.814 kasus. Kasus terbanyak selanjutnya yakni berbentuk psikis (4.754 kasus) dan seksual (4.660 kasus).

Di tahun 2021 sendiri, total kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal yang masuk ke dalam laporan beberapa lembaga layanan berjumlah 2.363 kasus, di mana kasus terbanyak yaitu perkosaan yang berjumlah 597 kasus, marital rape berjumlah 591 kasus, incest (perkawinan sedarah) sebanyak 433 kasus, dan pelecehan seksual ada 374 kasus.


Kemudian berdasarkan hubungan pelaku dan korban di ranah personal berturut-turut di antaranya berbentuk kekerasan dari mantan pacar berjumlah 813 kasus, kekerasan terhadap istri sebanyak 771 kasus, serta kekerasan dalam pacaran ada 463 kasus.

“Data umum yang diterima oleh Komnas Perempuan itu naik 80%. Jadi yang bisa ditangani hanya 16 kasus per hari, karena selama pandemi Covid-19 sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi dan sistem dokumentasi kasus yang belum memadai serta terbatasnya sumber daya,” jelas Alimatul.

Alimatul pun menuturkan bahwa data-data dalam Catahu Komnas Perempuan 2022 juga diperoleh dari beberapa sumber tambahan yaitu seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), SAFEnet, serta media massa.

Reporter: Siti Tabingah

Visualisasi Data: Pranoto

Editor: Nadya Auriga D.

Polemik Restitusi Versus Kompensasi untuk Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual

Himmah Online — Putusan kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya menuai polemik. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN Bdg, Herry diganjar pidana penjara seumur hidup serta membayar restitusi sebanyak Rp331.527.186 yang dibebankan ke negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Putusan tersebut menjadi topik utama dalam diskusi yang diadakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertajuk “Restitusi vs Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual” melalui media telekonferensi Zoom pada Rabu (23/02).

Dalam acara tersebut, Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, menilai bahwa jika Herry tidak bisa membayarkan biaya restitusi, negara akan memenuhi hak korban atas restitusi yang tidak bisa dibayarkan tersebut.

“Apabila Herry tidak bisa membayar, apakah negara akan diam saja? Tentu saja tidak. Menurut saya, kita harus mengembalikan hal tersebut pada hukum positif kita. Walaupun Herry Wirawan adalah pelaku tindakan tersebut (pemerkosaan), terlebih korbannya merupakan 13 orang anak di bawah umur, apakah negara akan membiarkannya saja?” ujarnya.

Senada dengan Dhahana, Harkristuti Harkrisnowo selaku anggota tim penyusun UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menuturkan alasan mengapa negara perlu membayar restitusi.

“Ini masalahnya bukan salah atau tidaknya negara, tetapi negara punya mandat untuk melindungi warganya. Hal ini juga mengacu pada dokumen PBB yang diadopsi pada 1985, yakni Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power,” ujarnya.

Harkristuti menjelaskan bahwa menurut dokumen tersebut, apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi, maka negara lah yang harus memberikan ganti rugi pada korban.

Sedang menurut Edwin Partogi Pasaribu, wakil ketua LPSK, pengalihan pembebanan restitusi kepada negara dirasa kurang tepat apabila menilik pengertian dari restitusi dan kompensasi itu sendiri. “Kita hanya perlu menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat,” tuturnya.

Edwin merekomendasikan agar hakim mengubah diksi restitusi menjadi kompensasi pada sidang tingkat banding.

“Ganti rugi yang dilakukan oleh negara hanya memungkinkan apabila kita memakai diksi kompensasi dan bukan restitusi. Meskipun keduanya memiliki arti yang sama yakni ganti rugi,” tegasnya.

Menurut PP Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya.

Sementara itu, restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), memaparkan laporan LPSK sepanjang 2020 tentang penilaian restitusi.

Hasilnya, LPSK menghitung adanya restitusi yang seharusnya diterima oleh para korban adalah sebanyak Rp7.909.659.387, namun restitusi yang diputuskan hakim sebesar Rp1.345.849.964, dan restitusi yang dibayar oleh pelaku hanya Rp101.714.000.

Erasmus beranggapan bahwa regulasi mengenai restitusi di Indonesia tidak konsisten. “Seharusnya restitusi diatur sebagaimana aturan mengenai ganti rugi. Restitusi adalah respon untuk kerugian korban dan bukan bagian dari pidana,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam peraturan negara, tidak ada satu pun pidana yang mengikutsertakan kerugian korban. Negara menganggap bahwa dengan adanya pidana yang dibebankan pada pelaku, maka korban sudah mendapat keadilannya.

Merujuk hal tersebut, Erasmus mendorong adanya pengadaan dana talangan untuk pemulihan kerugian korban dengan mekanisme Dana Bantuan Korban Tindak Pidana atau Victim Trust Fund (VTF). Mekanisme ini merupakan pengalokasian dana yang diterima negara dari penerimaan bukan pajak untuk pemberian ganti rugi pada korban tindak pidana.

“Kita bisa menyelesaikan masalah ini apabila kita duduk bersama, melihat data, dan berperspektif kepada korban,” ujarnya.

Adapun putusan Majelis Hakim PN Bandung yang membebankan biaya restitusi ke KP3A akan diajukan banding oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar). Hal itu karena Kejati Jabar beranggapan perbuatan asusila yang dilakukan oleh Harry bukan kesalahan negara.

“Ini seolah-olah negara kemudian yang salah. Seolah-olah kemudian akan menciptakan bahwa ada pelaku-pelaku lain nanti kalau berbuat kejahatan, itu ada negara yang menanggung (ganti rugi korban),” tutur Asep Mulyana, Kepala Kejati Jabar pada Selasa (22/02) dikutip dari Republika.

Reporter: Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Pranoto

Get Back, Perspektif Tandingan Let It Be dalam Melihat The Beatles

Judul: The Beatles: Get Back (2021)

Genre: Dokumenter

Sutradara: Peter Jackson

Durasi: 468 menit

Stadion Candlestick Park, San Fransisco, Amerika Serikat jadi tempat terakhir The Beatles bermain musik di hadapan publik. Hal itu mereka lakukan pada Agustus 1966. Setelahnya, tidak ada lagi jeritan para Beatlemania yang membuat The Beatles kesulitan mendengar musik yang mereka sendiri mainkan.

Studio rekaman menjadi suaka sekaligus ruang kreativitas yang tidak pernah mereka peroleh saat bermain di hadapan publik. Bagi The Beatles, studio rekaman tidak hanya tempat merekam lagu. Namun instrumen musik selain instrumen konvensional seperti gitar, bas, drum, piano, dan sebagainya.

Rubber Soul (1965), Revolver (1966), Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967), dan Magical Mystery Tour (1967) adalah jejak-jejak artistik The Beatles di masa hiatus dari penampilan publik. Tiga tahun setelah konser di Candlestick Park, The Beatles bersepakat untuk kembali ke akar musik mereka: Rock and roll dengan dua gitar, satu bass, dan drum.

Untuk itu, mereka menetapkan syarat yang cukup berat: Mereka membawakan lagu-lagu baru sekaligus merekamnya. Hal ini berat bagi The Beatles karena mereka tidak memiliki stok lagu baru.

Proses penciptaan lagu baru dan latihannya akan direkam. Proses tersebut kemudian akan ditayangkan sebagai program televisi khusus. Termasuk penampilan publik pertama mereka setelah tiga tahun absen manggung. Lagu-lagu baru ini direkam dalam satu album, yang saat itu akan dinamai Get Back.

Program televisi itu gagal. Tetapi satu film panjang dibuat untuk ditayangkan di teater-teater. Film tersebut berjudul Let It Be (1970).

Let It Be—disutradarai oleh Michael Lindsay-Hogg—bukan film menyenangkan. Film itu menampilkan The Beatles dalam kondisi terburuknya. Pertama-tama, proses latihan dilaksanakan di studio film bernama Twickenham. Proses tersebut berlangsung di bulan Januari yang begitu menggigil.

Jadwal rekaman juga berubah 180 derajat. Sebelumnya mereka terbiasa untuk merekam lagu dari siang hingga dini hari. Di Twickenham, mereka harus hadir di pagi hari. The Beatles merasa mereka seperti pekerja kantoran.

Kondisi buruk tersebut bertemu dengan situasi psikologis personel The Beatles yang tidak mendukung suasana latihan kondusif. Paul McCartney (pemain bass) menjadi figur yang dominan, dan George Harrison (gitaris utama) membenci perilaku Paul yang bossy ini.

George, yang sebelumnya bermain dengan Bob Dylan dan merasakan ruang kreativitas yang lebar, merasa semakin tidak bahagia dengan perannya yang terjepit di antara dua raksasa: Paul dan John Lennon (gitar pengiring). John sendiri sibuk dengan pasangannya, Yoko Ono.

Ringo Starr (pemain drum) bersembunyi di balik instrumennya sembari menjaga sikap. Ringo adalah aktor—ia tampak menyadari kehadiran kamera-kamera yang merekam tiap gerakannya. Tetapi, jadwal Twickenham pendek yang hanya sekitar sebulan adalah karena Ringo. Ia akan membintangi film bersama Peter Seller di studio yang sama di bulan berikutnya.

Let It Be adalah film suram dan menangkap sisi terburuk dari hubungan antar personel The Beatles yang tidak harmonis. Ia adalah momok bagi anggota The Beatles hingga hari ini. “Just let it be,” begitu respons Ringo dan Paul jika ditanya wartawan tentang rilis ulang film tersebut.

Alih-alih merilis ulang film tersebut, Ringo dan Paul menghubungi Peter Jackson, sutradara The Lord of The Ring, untuk membuat versi berbeda dengan rekaman video selama enam puluh jam dan rekaman audio sepanjang 150 jam. The Beatles: Get Back adalah hasilnya.

Get Back, ditayangkan di kanal Disney+, adalah film tiga episode berdurasi 468 menit—bandingkan dengan Let It Be yang “hanya” berdurasi 80 menit. Ia menampilkan kegiatan The Beatles berikut dinamika antar anggota dari hari ke hari selama 21 hari. Film diakhiri dengan konser sepanjang 42 menit di atap gedung Apple Corp di Savile Row, London.

Get Back adalah film tentang membuat film. Tentang apa yang sebenarnya berlangsung saat kamera-kamera mengintai tindak-tanduk setiap orang di Twickenham dan studio Apple. Let It Be dan Get Back adalah Cinéma Vérité dalam bentuknya yang sejati.

Dalam kedua film tersebut, kita diperlihatkan perselisihan yang terjadi antara George dan Paul mengenai solo gitar untuk lagu Two of Us, yang tidak berkenan bagi Paul. Atau keengganan diam-diam Paul dan John untuk benar-benar berlatih untuk lagu-lagu George, seperti All Things Must Pass.

Atau berkaitan dengan mitos urban tentang Yoko sebagai salah satu faktor utama penyebab bubarnya band dari Liverpool, Inggris ini. Yoko kerap campur tangan dalam proses latihan dan rekaman The Beatles. Let It Be adalah salah satu alasan yang menebalkan persepsi tersebut.

Tetapi, tayangan-tayangan dalam Get Back sedikitnya memberikan keraguan atas persepsi tersebut. Jika ada campur tangan Yoko dalam proses rekaman The Beatles, maka itu terjadi dalam proses rekaman The Beatles yang lain.

Faktor pemikat dari Let It Be dan Get Back adalah penampilan publik pertama—setelah tiga tahun tidak bermain musik di hadapan publik—dan terakhir dari The Beatles di atap gedung Apple Corp. The Beatles membawakan lagu-lagu baru yang belum pernah dimainkan di depan publik dalam bentuk apa pun. Seperti Get Back, Don’t Let Me Down, One After 909, Dig A Pony, I’ve Got A Feeling, dan lainnya.

Penampilan itu ikonik dalam budaya populer Barat. Begitu ikoniknya sehingga U2 dan Padi menirunya. U2 melakukannya dalam videoklip Where The Streets Have No Name—sebagai bentuk penghargaan. Padi melakukannya di atas McDonald Sarinah, Jakarta—tidak tahu untuk apa.

Get Back tentunya menawarkan banyak hal, mengingat durasinya yang lebih panjang. Paling tidak, ia memberikan perspektif-perspektif berbeda dan lebih utuh. Ini berbeda dengan Let It Be yang perspektifnya cenderung menggantung dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

Dalam Get Back, kita bisa memahami mengapa George tidak suka didikte oleh Paul. Kita bisa juga melihat ekspresi wajah George yang kecewa lagu-lagunya ditanggapi secara dingin oleh John dan Paul.

Merasa sebal dan tidak dihargai, George memutuskan untuk tidak lagi bermain dengan The Beatles. “See you around the clubs,” kata George dengan santai. Karenanya, rapat antara John dan Paul di kantin Apple Corp—yang berlangsung cukup panas—diadakan. Hal-hal seperti ini yang tidak masuk ke dalam Let It Be.

Meskipun keberatan-keberatan dari George dan John tentang betapa dominannya peran Paul dalam The Beatles, Get Back memberikan gambaran kenapa Paul harus mengambil alih kendali atas The Beatles yang semakin tidak jelas arah mana yang harus mereka ambil.

John sebagai pemimpin de facto, lebih senang menghabiskan waktu dengan Yoko. Ia bahkan tidak punya stok lagu yang bisa diberikan kepada teman-temannya. Lebih jauh lagi, John saat itu adalah pengguna heroin.

Get Back juga memberikan indikasi betapa berkuasanya The Beatles: Ia bisa memutuskan televisi mana untuk menayangkan programnya. Atau di mana dan bagaimana mereka akan melakukan pertunjukan langsung.

Atau bagaimana mereka bisa membuat produser sebesar Glyn Johns (pernah menangani Rolling Stones, The Who, dan lainnya) hanya mengiyakan apa yang mereka mau. Atau mengabaikannya saat Glyn secara halus dan sopan mengingatkan John betapa berbahayanya merekrut Allan Klein sebagai pengganti manajer mereka yang telah tiada, Brian Epstein.

Perhatikan pula bagaimana mereka memperlakukan George Martin, produser mereka dari album pertama, Please, Please Me hingga album sebelum latihan di Twickenham dan studio Apple Corp, The Beatles (White Album).

Martin bisa disebut sebagai anggota Beatle kelima (fifth Beatle)—istilah yang digunakan untuk anggota The Beatles—atas perannya untuk The Beatles. Tetapi, dalam Get Back, kita bisa melihat betapa menganggur dirinya dan berapa luang waktunya hingga ia membaca koran di studio sembari berbaring di atas lantai.

Sebaliknya, kita juga menjadi saksi bahwa bibit-bibit perpecahan itu memang telah ada dan itu berdampak pada bagaimana mereka memainkan musik: Permainan musik yang kurang semarak dan kurang hidup, banyak lagu non-The Beatles dimainkan, jam session yang berkepanjangan, ide macet, dan lainnya.

Masuknya Billie Preston (keyboard) mengubah mood musik mereka. “Kau membuat musik kami hidup kembali,” puji John. 

Pada akhirnya, The Beatles: Get Back dan Let It Be menawarkan sudut pandang yang saling melengkapi atas satu realitas yang berlangsung saat proses rekaman dan latihan untuk album Get Back

Perbedaannya adalah Lindsay-Hogg berusaha menampilkan sudut pandang yang lebih realistik, ia mengungkapkan seperti apa kondisi The Beatles saat itu. Lindsay-Hogg tidak mau realitas yang dilihatnya tenggelam dalam kegembiraan-kegembiraan yang saat ini ditampilkan The Beatles: Get Back. Ia tidak salah, karena The Beatles bubar setahun kemudian.

The Beatles: Get Back menampilkan apa yang tidak ditampilkan Lindsay-Hogg. Dalam ketegangan hubungan mereka, The Beatles masih menjadi sahabat bagi satu sama lain, seperti saat mereka remaja di Liverpool dulu. Mereka masih gokil, mereka saling bercanda, tertawa, menyindir, hingga berbahasa slang ala Liverpool.

Mungkin Paul, Ringo, dan Yoko di masa senja mereka ingin memberikan perspektif tandingan untuk menutup wasiat The Beatles. Sesuatu yang mengingatkan mereka dan penggemar mereka bahwa di saat hubungan mereka yang genting dan terasing satu sama lain, mereka masih memiliki kebahagiaan dan keceriaan. 

Pengingat penting lain dari wasiat ini juga adalah penampilan terakhir di atap gedung Apple Corp: The Beatles pertama-tama adalah band rock and roll yang memainkan musik secara langsung.

Jauh sebelum menyebabkan badai Beatlemania, tren psikedelik, dan sihir bagi hati perempuan, The Beatles menghabiskan enam hingga tujuh jam semalam selama tujuh hari dalam seminggu untuk bermain rock and roll. Mereka adalah penakluk para pelaut yang liar, keras, kasar, dan sulit diatur di klub Kaiserkeller di Hamburg, Jerman.

Satu fakta yang tidak terbayangkan dari The Beatles.

International Women’s Day: Sahkan RUU PKS Hingga Harapan Wadon Wadas

Himmah Online – Gabungan beberapa aliansi solidaritas maupun lembaga kampus menggelar aksi dengan tema “Bersama Perempuan Melawan Diskriminasi, Kapitalisme, dan Kekerasan Seksual,” dalam rangka memperingati International Women’s Day pada Selasa (08/03), di sekitar Tugu Yogyakarta.

Pada aksi kali ini, massa aksi menuntut 42 hal. Di antaranya adalah mendesak pemerintah agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan sehingga mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan penghentian perampasan tanah di Wadas.

Kecacatan RUU TPKS 

“Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali poin-poin dalam RUU PKS yang dipangkas dalam TPKS maka kami menolak menerima Rancangan Undang-Undang TPKS dari DPR dan tetap mendukung RUU PKS,” ujar Laili yang mengungkap bahwa RUU PKS tak kunjung disahkan.

Laili, selaku koordinator aksi menambahkan jika di dalam RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) banyak poin-poin yang seharusnya ada, tetapi dihilangkan.

“RUU TPKS yang hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual dan dihapuskan pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi itu dihapuskan.”

RUU PKS sendiri meliputi sembilan jenis kekerasan, yaitu pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Lebih lanjut lagi, Indah selaku salah satu massa aksi menuturkan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual ini lambat laun semakin bertambah.

“Sebenarnya pelecehan seksual ini sudah dari dulu, tapi sekarang semakin menambah,”  jelas Indah.

Keikutsertaan Wadon Wadas

Wadon Wadas juga turut bergabung dengan massa aksi International Women’s Day untuk menyampaikan tuntutannya. 

“Kita ke sini sama teman-teman ada hari peringatan International Women’s Day. Kita minta suruh cabut IPL (red-Izin Penetapan Lokasi) terus bebaskan tanah Wadas, gitu. Saya ke sini tidak mau minta apa-apa, saya minta cuma itu doang,” ujar Ngatinah, salah satu Wadon Wadas pada aksi.

Wadon Wadas berharap dukungan masyarakat dalam situasi ini untuk sama-sama memperjuangkan hak-hak orang Wadas.

“Tolonglah cabutlah IPL, bebaskan tanah Wadas. Dengan ikut aksi di sini, yang asalnya dari mana-mana, kita berjuang bersama-sama minta bantuan dukungan sama orang-orang lain.” tutup Ngatinah.

Reporter: Fathoni Abdul Mukti, Ika Rahmanita, Pranoto, Yola Amelia

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Hari Perempuan Internasional, Wadon Wadas Tuntut Hentikan Perampasan Tanah dan Represifitas Aparat

“Jangan mentang-mentang berpangkat tinggi, pakaian berdasi, tapi hati nurani mati!” ujar Muti, salah satu anggota Wadon Wadas.

Himmah Online – Wadon Wadas menuntut penghentian perampasan tanah dan rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas melalui aksi yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional pada Selasa (08/03), pukul 11.45 WIB di Kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta.

Aksi ini juga dilakukan untuk memperingati satu bulan sejak kriminalisasi dan represifitas aparat terhadap warga Desa Wadas pada 8 Februari lalu.

Muti, salah satu anggota Wadon Wadas mengatakan secara lantang lewat orasinya bahwa perampasan, penambangan, dan kriminalisasi menyebabkan kerusakan alam Desa Wadas. Ia juga merasa aparat tidak memiliki hati nurani karena telah melakukan kekerasan terhadap warga Desa Wadas.

“Jangan mentang-mentang berpangkat tinggi, pakaian berdasi, tapi hati nurani mati!” ujarnya.

Saputra, dari LBH Yogyakarta menambahkan jika sampai saat ini, aparat masih berada di Desa Wadas untuk berpatroli. Hal ini menyebabkan warga Desa Wadas merasa trauma dari kejadian satu bulan yang lalu sehingga kehidupan warga belum bisa kembali kondusif.

“Situasi Wadas masih mencekam, dan itu masih tetap ada patroli yang dilakukan oleh aparatur negara, sehingga ketakutan warga masih belum pulih. Ditambah dengan kedatangan polisi dan aparatur yang lain,” pungkasnya.

Berdasarkan pemberitaan Tempo pada 8 Februari 2022, aparat telah melakukan tindakan represif kepada warga Desa Wadas. Sebanyak 64 warga juga ditangkap sebagai buntut penolakan warga terhadap pengukuran tanah untuk penambangan batu andesit. Batu andesit hasil tambang ini rencananya akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener, Purworejo.

Reporter: Fachrina Fiddareini, Pranoto, Yola Amelia, Monica Daffy

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Statistik Rencana Aksi Calon Rektor UII 2022-2026

Dalam kurun waktu 120 menit 57 detik, kelima calon rektor melontarkan 12.997 kata. Rohidin menjadi penyumbang kata terbanyak, sedang Zaenal Arifin yang paling sedikit.

Himmah Online, Kampus Terpadu — Setelah melalui serangkaian proses seleksi dan penjaringan dari tingkat fakultas hingga universitas, terpilih 5 Calon Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Periode 2022-2026.

Kelima orang tersebut adalah Fathul Wahid dari Fakultas Teknologi Industri (FTI), Ilya Fadjar Maharika dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Riyanto dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Rohidin dari Fakultas Hukum (FH), dan Zaenal Arifin dari Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE).

Pada Kamis (24/02) lalu, rangkaian pemilihan rektor UII memasuki tahap pemaparan action plan atau rencana aksi oleh para calon rektor di Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Muzakir, Kampus Terpadu UII.

Agenda tersebut terbagi menjadi enam segmen dan masing-masing calon rektor memiliki kesempatan berbicara sebanyak enam kali.

Segmen pertama adalah pemaparan rencana aksi. Dilanjutkan dengan segmen kedua, diskusi dan tanya jawab dengan panelis tahap pertama. Lalu, segmen ketiga diisi dengan tahap kedua dari diskusi dan tanya jawab dengan panelis.

Selanjutnya, segmen keempat dan kelima digunakan untuk tanya jawab dengan senat universitas; serta masyarakat, dosen, dan mahasiswa. Segmen terakhir dalam rangkaian acara merupakan closing statement dari para calon rektor.

Penghitungan total kata yang diucapkan serta waktu yang dibutuhkan oleh para calon rektor di setiap segmennya dilakukan oleh reporter himmahonline.id.

Proses pengerjaan transkrip dari pernyataan kelima calon rektor dilakukan dengan dua metode, yakni pengetikan otomatis dan pengetikan manual. Pengetikan otomatis dilakukan menggunakan aplikasi Notta dan fitur voice typing dalam Google Docs. Namun, pada akhirnya dilakukan pengecekan ulang secara manual dari hasil kedua metode tersebut untuk menghindari adanya kata yang terlewat.

Sedang untuk pencatatan waktu dihitung menggunakan bantuan stopwatch. Dimulai sejak calon rektor mengucapkan kata pertama hingga kata terakhir di tiap segmennya.

Dari semua kata yang dilontarkan para calon rektor diklasifikasikan menjadi dua jenis: stopword (kata hubung dan kata-kata umum yang tak punya makna) serta keyword (kata kunci yang menginterpretasikan poin-poin yang calon rektor tekankan dalam pemaparannya).

Hasilnya, sebanyak 12.997 kata dilontarkan oleh semua calon rektor dengan total waktu sebanyak 120 menit 57 detik.

Calon rektor dengan kata terbanyak dipegang oleh Rohidin dengan jumlah 2.851 kata, sedangkan pengucapan kata paling sedikit dipegang oleh Zaenal dengan 2.208 kata.

Lalu, dalam hal penggunaan waktu Ilya menjadi calon rektor dengan durasi terpanjang yakni selama 26 menit 17 detik, sedangkan penggunaan waktu paling sedikit ditempati oleh Riyanto dengan total waktu 21 menit.

Dari keseluruhan segmen, kata “riset” atau “research” menjadi kata kunci yang paling banyak diucapkan oleh para calon rektor sekaligus mendominasi arah pemaparan.

Hal itu lantaran UII akan masuk tahap pre-research university seperti yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan UII tahun 2008-2038. Tahap ini akan berlangsung selama dua periode kepemimpinan dimulai dari periode 2022-2026.

Kata kunci “riset” atau “research”  sendiri diucapkan sebanyak 97 kali oleh seluruh calon rektor. Kata kunci itu diucapkan dengan diikuti kata lain seperti “research university”, “pre research university“, “kualitas riset”, “pondasi riset”, “dana riset”, “indikator riset”, “karakteristik riset”, dan “hasil riset”.


UII Menjadi Rahmat Semesta Alam

Dalam pemaparan rencana aksi berjudul “Pertumbuhan Substantif Berbasis Nilai Menuju Universitas Riset”, Fathul memulai pemaparannya dengan menceritakan keresahannya.

“Ada satu hal yang sekarang membuat saya terganggu terkait dengan maraknya perguruan tinggi di Indonesia yang terjebak pada ideologi neoliberalisme dalam mengelola perguruan tinggi dan meninggalkan idealisme.

Karena itu saya mengajak pada kesempatan ini basis dari tema besar empat tahun ke depan adalah menegaskan akar tunggang,” ucap Rektor UII periode 2018-2022 tersebut.

Selain kata “riset”, kata kunci yang sering keluar dari Fathul dan menjadikannya pembeda dari calon rektor lainnya adalah “kolektif”. Kata ini diucapkan sebanyak 10 kali. Salah satunya dalam rangkaian kalimat cukup panjang sebagai berikut.

“Dalam sistem neoliberalisme, mahasiswa dianggap sebagai konsumen bukan sebagai aspiran anak didik yang haus didikan. Dosen dianggap sebagai karyawan bukan sebagai intelektual atau kolega. Rektor, wakil rektor, dekan dianggap sebagai manajer korporat bukan pemimpin intelektual. Ini yang mau kita coba hilangkan dari konsep pemikiran kita yang cenderung korporatisasi pendidikan tadi. Sehingga pemimpin kolektif menjadi sangat penting dan tadi bagaimana itu dibentuk.”

Selain kata kunci “kolektif”, Fathul juga menekankan perlunya UII membuka PSDKU (Program Studi di Luar Kampus Utama). Hal itu diungkapkan Fathul sebanyak dua kali.

“Kehadiran UII harus menjadi rahmat semesta alam. Salah satunya ditandai bahwa keberadaan UII bisa diakses oleh sebanyak mungkin anak bangsa, karenanya saya berharap ke depan UII membuka cabang-cabangnya di kota lain yang dimulai dengan pembukaan program studi di luar kampus utama,” ucap Fathul dalam segmen satu.

Dalam penggunaan waktu selama 24 menit 13 detik, Fathul berhasil melontarkan 2.844 kata dalam enam segmen. Ia mengucapkan kata paling banyak saat di segmen satu, sedang paling sedikit di segmen enam.


Dari Community of Practice Hingga Community of Science

Ilya melaju menjadi calon rektor dengan perolehan 46 suara. Mantan Wakil Rektor Bidang Akademik periode 2014-2018 tersebut mengangkat judul “Menjadi Universitas yang Berdakwah” dalam pemaparannya.

Namun, setelah ditelaah lebih jauh, kata kunci “dakwah” sendiri sangat jarang digunakan. Total hanya dua kali dilontarkan dan itu sudah termasuk yang ada dalam judul.

Ilya sendiri lebih banyak menggunakan kata kunci “community” atau “komunitas” dengan total mencapai 14 kali. Salah satunya dalam satu kalimat yang ia lontarkan dalam segmen kedua saat diskusi dan tanya jawab dengan panelis tahap pertama.

“Saya meyakini kuliah itu jauh lebih bagus kalau belajar dari mahasiswa yang lain, dan ini harus dibangun community of practice, bahwa kita bisa belajar dari orang lain. Nah ini bisa dibangun menjadi community of science, tidak lagi berada di dalam cangkang-cangkang yang namanya jurusan atau fakultas,” tutur Ilya.

Selain kata ”practice” dan “science” yang mengikuti kata “community” atau “komunitas”, terdapat pula kata lain seperti “service”, “platform”, hingga “pembelajar” yang turut mengikuti.

Kemudian kata kunci “tendik” atau “tenaga pendidik” juga sering disebut Ilya, yakni sebanyak 6 kali. Menurutnya, tendik perlu fungsional agar bisa jadi rujukan.

“Kita perlu fungsional tendik yang bisa berada di lab-lab kita, yang lantas tendik-tendik itu juga bisa menjadi rujukan bukan hanya untuk kita sendiri tapi orang lain juga,” papar mantan Wakil Rektor Bidang Akademik periode 2014-2018.

Ilya sendiri melontarkan sebanyak 2.472 kata dari seluruh segmen dalam pemaparan rencana aksi. Kata terbanyak Ilya lontarkan di segmen lima, dan paling sedikit di segmen enam.


Islamisasi UII ala Riyanto

Riyanto memberi judul “UII Memantapkan Diri Menuju Pre-Research University” dalam pemaparannya. Ia berpandangan bahwa untuk memantapkan diri, UII terlebih dahulu perlu melakukan Islamisasi.

“Nah apa yang akan kita lakukan bapak/ibu, pertama kami ingin Islamisasi itu dibangun kembali, khususnya untuk kalangan mahasiswa. Program pertama adalah ini bapak/ibu, mendirikan asrama mahasiswa untuk tahun pertama. Yang di-blending dengan bisnis in education,” terangnya.

“Kalau ini berhasil, orang tua akan tenang bapak/ibu, menitipkan anak putra-putrinya ke UII. Ini akan menghasilkan income generate yang sangat besar untuk UII,” lanjut Dekan Fakultas MIPA UII periode 2018-2022 tersebut.

Dalam 21 menit memaparkan rencana aksinya, Riyanto banyak menyebut soal “dosen”, “rules”, dan “pressure”. Di beberapa waktu, tiga kata kunci tersebut saling berhubungan.

Setelah Islamisasi, untuk menunjang UII menuju universitas riset, Riyanto beranggapan perlu adanya rules dan pressure kepada para dosen untuk berkenan melanjutkan pendidikannya ke jenjang doktor atau S3.

“Bapak, ibu, selama hampir 80 tahun UII berdiri, tidak ada pressure kepada dosen. Dosen kita ini puluhan tahun magister, tidak ada dia ingin ke S3. Mohon maaf, nggak ada pressure, nggak ada rules,” ucap Riyanto. 

Riyanto sendiri melontarkan sebanyak 2.622 kata dalam seluruh segmen. Kata terbanyak yang ia ucapkan yakni di segmen pertama dengan 663 kata. Sedang kata paling sedikit ia ucapkan di segmen enam.


Dari Rekognisi Hingga Perbaikan Kurikulum

Rohidin yang datang sebagai calon rektor dengan nomor urut 4 memberi judul “Menguatkan Rekognisi UII Menuju Pre Research University” dalam pemaparannya.

Ia membagi arah strategisnya menjadi 4 hal, yakni menyiapkan sumber daya yang memadai untuk mendukung riset; meningkatkan kualitas dan jumlah hilirisasi riset; meningkatkan mutu pendidikan; dan menguatkan rekognisi internasional.

Terkait “rekognisi”, Rohidin beranggapan perlunya penguatan pemeringkatan. 

“Terkait dengan rekognisi, di situ ada akreditasi, kemudian pemeringkatan, dan rating. Maka program yang diutamakan adalah penguatan pemeringkatan melalui kebijakan satu data, melalui unit pass cost khusus,” ucap Rohidin.

Selain “rekognisi”, dalam rentang waktu 26 menit 16 detik, Rohidin banyak menyinggung soal mahasiswa. Sebanyak 26 kali kata kunci “mahasiswa” disebut dalam pemaparannya. Salah satunya berbicara soal kemandiriannya.

“Ketika mahasiswa masuk sampai kemudian berakhir pun itu sudah didesain dengan kegiatan-kegiatan yang bertujuan bagaimana mahasiswa itu punya kemandirian yang tinggi,” tutur Rohidin.

Selain kata “mahasiswa”, kata kunci “fasilitas” atau “sarana” mengikuti sebagai kata yang banyak diucapkan, sebanyak 10 kali. Dengan satu kali menyinggung fasilitas untuk difabel. “Kemudian peningkatan kapasitas sarana prasarana bagi difabel,” tuturnya.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni periode 2018-2022 tersebut juga menyoroti soal program internasional.

“Jangan sampai kita itu minder di pergaulan internasional. Cuman memang ada catatan untuk saya, jangan sampai program internasional itu adalah kelas berbahasa Inggris itu saja. Oleh sebab itu, mungkin kurikulumnya, kemudian fasilitas dan lain sebagainya itu memang harus diperbaiki,” ucap Rohidin.

Secara kumulatif, Rohidin mengumpulkan 2.851 kata dalam seluruh segmen. Kata terbanyak terlontarkan di segmen lima dengan angka mencapai 934 kata.


Membangun Pondasi dengan Strategi Fokus

Zaenal membagi pemaparannya menjadi dua program. Pertama membangun pondasi research university dan yang kedua adalah membangun keunggulan institusi dengan strategi fokus.

Dalam memenuhi program pertamanya, Zaenal berpandangan bahwa harus dengan cara memenuhi syarat sebuah universitas menjadi universitas riset terlebih dahulu, yakni keberadaan program doktor (S3).

“Yang saya usulkan adalah terkait dengan peningkatan atau pemenuhan syarat sebuah universitas itu jadi sebuah research university. Menurut saya, indikator utama dari research university adalah jumlah program studi S3,” ucap Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Pengembangan Karir periode 2018-2022 tersebut.

“Saya menargetkan ada dua puluh lima, tapi itu besok tahun 2031. Untuk periode ini targetnya hanya tiga belas, dan dari tiga belas itu alhamdulillah sekarang sudah ada lima. Sehingga untuk periode empat tahun ke depan itu cukup menambah delapan,” lanjut Zaenal.

Kata “S3” diucapkan Zaenal sebanyak 5 kali. Lalu, kata “doktor” dilontarkan sebanyak 14 kali yang tersebar di segmen satu hingga empat.

Lalu terkait program kedua, Zaenal mengartikan strategi fokus yakni berfokus dalam hal bersaing dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) utama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).

“Kita perkuat jurusan-jurusan tertentu supaya jurusan itu bisa unggul dibandingkan PTN utama (UGM dan UI) itu. Jadi tidak harus seluruh jurusan, cukup beberapa jurusan saja. Nah, indikator unggulan itu harus menyeluruh, mulai dari dosen, mahasiswa, dan juga program jurusan itu sendiri,” jelas Zaenal.

Zaenal sendiri secara keseluruhan mengucapkan 2.208 kata dengan durasi waktu 23 menit 10 detik, dengan pengucapan kata terbanyak berada di segmen satu.


Reporter: Adim Windi Yad’ulah, Muhammad Kholiqul Ikmal, Ista Setia Pangestu, Muhammad Prasetyo, Yola Ameliawati Agustin, dan Zalsa Satyo Putri Utomo

Visualisasi Data: Pranoto

Editor: Nadya Auriga D.

*Catatan: Terdapat tambahan dua paragraf terkait metode pencatatan kata dan waktu, yakni pada paragraf kedelapan dan kesembilan. Diperbarui pada Senin (07/03/2022) pukul 14.06 WIB.

Kacamata Ekofeminisme dalam Melihat Konflik Wadas

Himmah Online — Pada diskusi publik dengan topik “Menolak Dikeruk: Wadon Wadas dalam Kacamata Ekofeminisme” pada Selasa (22/02) yang digelar Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) melalui Zoom Meeting, Siti Maimunah selaku peneliti dari Sajogyo Institute menuturkan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah sangat berbeda dengan pendekatan ekofeminisme.

“Pendekatan ekofeminisme ini lebih humanis, serta memastikan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.

Perempuan dengan sapaan Mai itu juga berpendapat bahwa pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini adalah pendekatan kapitalisme bersamaan dengan pendekatan patriarki.

Konsekuensi dari pendekatan yang kurang humanis ini pun seolah menjadikan berbagai hal yang dilakukan condong berpusat pada sektor ekonomi dan menggunakan cara-cara yang represif, eksploitatif, serta menindas.

Di samping itu, Puspa Dewi selaku Kepala Divisi dan Kajian Hukum Lingkungan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) berpendapat bahwa sistem patriarki yang masih dominan di Indonesia akhirnya membuat pandangan terkait kasus di Desa Wadas hanya mengenai konflik lingkungan.

Menurutnya, itu pula yang menyebabkan adanya pengabaian terkait ruang kerja perempuan di Desa Wadas terutama dalam ranah sosial, spiritual, dan identitas politik.

“Pekerja perempuan di Desa Wadas bisa kehilangan identitas politik mereka sebagai penganyam karena sumber bahan bakunya yang berasal dari bumi Wadas sudah tidak ada,” imbuh Dewi.

Ia juga menilai bahwa para perempuan masih harus terus berjuang agar perempuan bisa secara masif berpengaruh dalam penyusunan kebijakan dan perundangan. Terutama terkait kebijakan yang berimplikasi pada lingkungan.

“Kalau bicara mengenai perempuan, kita tidak bisa hanya berbicara mengenai konsep domestik tetapi juga sumber daya alam dan lingkungan, karena pada dasarnya ini juga sangat berpengaruh terhadap pekerjaan domestik mereka,” tutur Dewi.

Ia juga berpendapat bahwa kesadaran kritis terkait ekofeminisme terlebih dari para perempuan perlu terus ditingkatkan.

Menurutnya, hal itu pula yang mampu membuat keberadaan ekofeminisme semakin berkembang, serta akan mengubah tatanan dan sudut pandang manusia terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Pada kesempatan itu, Yatimah, salah satu perwakilan Wadon Wadas menegaskan bahwa warga Wadas hanya ingin mempertahankan hak dan tanahnya.

“Kami berjuang untuk anak cucu kelak, bukan melawan pemerintah,” ungkapnya malam itu.

Ia juga menuturkan kekecewaannya terkait sikap beberapa media yang seolah membelokkan realita yang ada. Salah satunya seperti berita yang beredar terkait bagaimana mayoritas warga Wadas menyetujui pembebasan lahan untuk pertambangan.

“Justru warga yang kontra lebih banyak jumlahnya,” pungkas Yatimah.

Yatimah juga menceritakan bagaimana pada 8 Februari lalu, warga Wadas yang menolak penambangan batu andesit berkumpul di Masjid Nurul Huda untuk melakukan mujahadah setelah mendengar akan ada pengukuran tanah dengan pengawalan pihak kepolisian. Namun, polisi justru menangkap sejumlah warga.

“Tapi, kok, polisi menangkap kami, padahal nggak ada yel-yel atau orasi sama sekali waktu itu. Kami juga bingung, pengukuran, kan, di hutan, tapi kenapa mereka banyak sekali yang berjaga di area masjid,” keluhnya malam itu.

Reporter: Nawang Wulan, Ista Setia Pangestu

Editor: Nadya Auriga D.

Isteri Sedar sampai Gerwani: Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Patriarki Sejak Pra Kemerdekaan

Himmah Online – Sejarah pergerakan perempuan di Indonesia tidak akan bisa lepas diawali dari kontribusi oleh organisasi Isteri Sedar. Isteri Sedar merupakan organisasi perempuan radikal yang gencar menyuarakan perjuangannya pada hak pilih bagi perempuan dan menolak poligami.

Didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo, organisasi ini memiliki misi untuk menyempurnakan Indonesia merdeka. Bagi Suwarni untuk mencapai kemerdekaan nasional, kaum laki-laki dan perempuan harus berada pada derajat yang sama. 

Isteri Sedar menganggap perjuangan wanita sudah sepantasnya masuk ke ranah politik dan tidak hanya berkontribusi di balik layar saja. Hambatan demi hambatan pun membayangi masuknya perempuan dalam dunia politik sudah ada semenjak Isteri Sedar mulai menyuarakan perjuangannya.  

Setelah secara resmi berdiri pada tahun 1930, organisasi yang awalnya bernama Puteri Indonesia ini semakin aktif dalam kegiatannya untuk menyadarkan perempuan-perempuan di Indonesia bahwa mereka memiliki derajat dan hak pilih yang sama dengan laki-laki. 

Isteri Sedar lantang menentang poligami dan pernikahan dini. Hal itu terlihat jelas dari ketidaksetujuan Suwarni Pringgodigdo terhadap pidato yang disampaikan oleh Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Suwarni percaya bahwa pernikahan monogami akan membuat kehidupan rumah tangga lebih selaras. 

Dalam majalah SEDAR terbitan Isteri Sedar, organisasi ini juga menyatakan wanita harus bebas dalam mengatur hidupnya tanpa perlu dikuasai suami. Begitu pula pada pernikahan dini yang memiliki dampak kurang baik pada kesehatan istri. 

Dua hal tersebut kemudian membuat Isteri Sedar tidak terlalu cocok dengan organisasi-organisasi perempuan Islam saat itu. 

Awal mula pertentangan dua kubu ini berasal dari Kongres Perempuan Indonesia II yang berlangsung pada tahun 1935. Ratna Sari selaku perwakilan dari Persatuan Muslimin Indonesia saat itu menyampaikan poligami merupakan kewajiban untuk seorang perempuan karena dapat menangkal zina. 

Pidato Ratna Sari tersebut lantas memancing Suwarni untuk bereaksi dan turun dari podium, diikuti oleh anggota-anggota Isteri Sedar lainnya. Setelah kejadian tersebut, Isteri Sedar adalah satu-satunya organisasi yang tak pernah menampakkan dirinya lagi dalam sidang-sidang Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII).

Pada tahun 1950, Isteri Sedar dan lima organisasi lain melebur menjadi Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) yang memiliki lima ratus anggota. Organisasi ini memiliki anggota-anggota yang generasinya lebih muda, tetapi masih memiliki hubungan dengan anggota Isteri Sedar.

Peleburan organisasi-organisasi wanita ini terjadi pada tanggal 4 Juni 1950 di Semarang. Selain Isteri Sedar, organisasi lain yang melebur adalah Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar, Gerakan Wanita Indonesia, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. 

Peleburan organisasi dengan latar belakang ketua yang berbeda-beda ini didasari oleh mulai pudarnya semangat persatuan gerakan wanita Indonesia.

Pada saat itu, terdapat dua organisasi perempuan paling berpengaruh di Indonesia, yaitu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerwis. 

Anggota Perwari sendiri didominasi kalangan borjuis yang berorientasi pada gaya hidup tradisional Barat dan pada umumnya berasal dari istri pengikut inti Soekarno. Lain halnya dengan Gerwis, organisasi ini umumnya beranggotakan perempuan yang berasal dari lapisan bawah dan buruh.

Gerwis kemudian mengubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada tahun 1954 pada kongres pertamanya. Organisasi ini dianggap dekat dengan PKI karena PKI merupakan partai yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. 

Anggota Gerwani sendiri beranggapan keduanya memiliki tujuan yang sama namun tidak memiliki afiliasi politik. Hal ini diklaim oleh Gerwani, mereka merupakan organisasi massa yang pendiriannya tidak berkaitan dengan partai politik.

Pada akhir tahun 1955, keanggotaan Gerwani dipastikan mencapai satu juta anggota. Meskipun begitu, kedekatan Gerwani dengan PKI membuat hubungan keduanya menjadi tidak bisa dijelaskan. 

Di satu sisi, Gerwani menyokong dan mendukung kampanye-kampanye yang dilakukan oleh PKI. Namun, juga terdapat beberapa perselisihan di  antara keduanya.

Setelah tragedi G30S, Gerwani dikeluarkan dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan dijauhi oleh organisasi-organisasi perempuan lain karena dianggap telah terlibat dalam tragedi tersebut dan bekerja sama dengan PKI. Gerwani dianggap sebagai wanita-wanita yang melakukan “Tarian Harum Bunga” di malam 30 September 1965.

Meskipun begitu, berdasarkan kesaksian-kesaksian dari beberapa anggota Gerwani, mereka tidak mengetahui agenda kejadian G30S dan malah kebingungan ketika dituding terlibat dalam kejadian nahas itu.

Imbas dari isu-isu tersebut akhirnya membuat ribuan anggota Gerwani menjadi tahanan selama awal masa orde baru. Fitnah-fitnah yang beredar pada masa itu mengenai keterlibatan Gerwani membuat sanksi sosial berlaku bagi anggota-anggota Gerwani dan terduga anggotanya.

Pada tahun 1966, Gerwani secara resmi dilarang dan pada awal kepemimpinan Soeharto, organisasi-organisasi perempuan lainnya harus menyesuaikan diri. Program-program kerja yang telah dilakukan Gerwani pun secara perlahan mulai dihilangkan di Indonesia.

Penulis: Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.