Beranda blog Halaman 41

Bujang Lapuk

0

Matahari menyorot lemah di antara sela-sela dabag rumah menunjukan waktu sudah mulai siang. Sudah satu jam lamanya Irkham duduk di atas risban yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat yang sudah mulai pudar termakan waktu. Bagian kaki-kaki risban sudah mulai keropos dan memberikan ruang yang nyaman bagi rayap untuk tinggal dan beranak-pinak di dalamnya. 

“Fitri sebentar lagi pulang, tunggu sebentar lagi ya Mas,” kata seorang lelaki tua, berkumis tebal lengkap dengan brewok yang mengelilingi bagian bawah wajahnya. 

Entah sudah berapa kali laki-laki tua itu mengatakan hal itu. Ada perasaan jengkel timbul di hati Irkham acap kali mendengar perkataan lelaki tua yang kemudian Irkham ketahui sebagai ayahnya Fitri setelah melihat foto keluarga yang terpasang di dabag rumahnya. 

Irkham lelah dan ingin keluar dari rumah yang lebih patut disebut gubuk itu, akan tetapi predikat bujang lapuk dari warga sekitar rumahnya menjadi alasan kuat kenapa Irkham masih bertahan di rumah itu untuk menunggu Fitri pulang. 

Irkham sadar, ia sudah menginjak  umur 35 tahun dan masih berstatus perjaka. Sebenarnya bukan keinginannya untuk membujang lama. Ia sudah mencari ke sana kemari yang sekiranya cocok untuknya, tapi tetap nihil. Pernah ia kenalan dengan perempuan bernama desi. Ia dan desi saling menyukai. 

Sayangnya kisah cintanya dengan Desi tidak bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Desi menolak diajak menikah dengan Irkham lantaran Desi mengaku belum siap menikah. Hubungan keduanya pun putus karena Desi menghilang tanpa jejak. 

Saat diketahui keberadaannya, ia sudah menikah dengan laki-laki lain. Sejak saat itu Irkham menyadari kalau Desi bukan tidak siap untuk menikah akan tetapi tidak siap hidup dalam kubangan kemiskinan. Irkham sadar kalau ia hanya seorang guru honorer, untuk membeli perlengkapan make up saja butuh dua bulan gajinya. Sakit tak berdarah akibat sayatan lembut dalam hatinya.

***

Untunglah dua hari yang lalu, Pak Satim berbaik hati mau membantunya mencarikan seorang perempuan. Kini, ia duduk di atas risban untuk menunggu orang yang ditunjukan oleh Pak Satim. 

“Ir, aku punya sahabat karib. Dulu ia satu sekolah dengan saya.  Namanya Pak Hasan. Beliau mempunyai anak perempuan. Namanya Fitri Nisfah sekarang masih mondok di pesantren Syarbini Hasan, Bantarsari. Kalau saya melihat Fitri, insyaallah cocok dengan kamu ir”. Kata Pak Satim, dua hari yang lalu di depan teras rumahnya.

“Kalau kamu mau, nanti tak temani kamu ke sana,” imbuhnya.

Kata-kata Pak Satim masih Irkham ingat dan menjadi penyemangat untuk tetap bertahan dan menunggu Fitri.

***

Assalamu’alaikum,” seorang wanita berkerudung putih memakai baju gamis merah muda memberi salam.

Wa’alaikumsalam,” kami semua menjawab serentak.

Irkham menoleh ke arah gadis yang baru saja masuk. Irkham tersenyum ke arah sang gadis. Senyuman Irkham hanya dibalas senyuman kecil dari gadis yang baru pertama ia lihat. Jujur! Irkham menaruh hati kepadanya. Senyuman bulan sabit gadis ini sungguh indah. Hati Irkham yang dulunya keras bagaikan besi seperti baru saja disiram timah panas. Lembut dan meleleh. 

Fitri masuk ke dalam ruang tengah. Bayangan indah Fitri hilang tertutup gorden tua yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang tengah.

“Fit, buatkan minuman, sudah lama tamunya datang tapi belum dikasih minuman,” kata Pak Hasan kepada anaknya.

Sejenak kemudian, Fitri masuk ruang tamu dengan membawa nampan kecil berisi 3 gelas air teh. Irkham melihat jari-jari Fitri yang lentik menaruh gelas-gelas itu di atas meja. Hatinya berdegup kencang menandakan ada perasaan yang berbeda dalam hatinya.

“Apakah ini cinta?”

“Fit, duduk sini dekat Bapak,” kata Pak Hasan memerintahkan anaknya.

“Nggeh Pak,” kata Fitri.

Suaranya terdengar anggun di telinga Irkham. Seperti suara burung berkicauan di pagi hari. Merdu dan menenangkan hati. 

“Ini, Mas Irkham. Ia datang ke sini ingin ta’aruf denganmu,” kata Pak Hasan lembut.

Tak ada jawaban sama sekali dari Fitri. Fitri hanya mendongakan pandangannya ke arah Irkham lalu menunduk kembali. Gerakan itu memberi isyarat yang memberikan jalan mulus bagi Irkham.

“Apakah Mas Irkham mempunyai pertanyaan untuk Fitri?” tanya Pak Hasan.

“Iya Pak,” jawab Irkham tegas. Irkham ingin sekali mengetahui bagaimana kepribadian Fitri. Hal itu akan terlihat dari jawaban atas pertanyaan yang ia sampaikan.

“Dek Fitri, bagaimana pendapat Dek Fitri tentang poligami?”

Pertanyaan singkat dari Irkham. Pertanyaan singkat yang tidak mudah untuk dijawab. Perlawanan antara kebenaran dan perasaan. Kalaulah Fitri menjawab bahwa poligami adalah sesuatu hal yang tidak adil kepada wanita, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa Allah Swt berlaku tidak adil sedangkan jika Fitri menjawab dan menyampaikan argumentasi yang narasinya menjorok kepada kesetujuannya, niscaya hatinya tidak mengimaninya.

“Poligami yang didasarkan atas keinginan nafsu semata, bukanlah poligami yang diajarkan Rasulullah SAW. Poligami seharusnya dilakukan karena ada kepentingan sosial yang harus ditegakan. Sebagai contoh, Rasulullah SAW melakukan poligami bukan karena beliau mengedepankan nafsunya akan tetapi ada kepentingan besar yang mendasarinya,” terang Fitri. 

“Ada istri yang beliau nikahi sewaktu menaklukan Khaibar, pernikahan itu dilangsungkan agar penduduk Khaibar mau mengakui kedudukan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, perlu diingat, istri-istri Rasulullah SAW semuanya janda kecuali Aisyah, hal ini semakin menunjukan bahwa poligami bukan sebagai legalitas pemuasan nafsu,” lanjut jawab Fitri dengan tegas.

Jawaban Fitri membuat Irkham semakin yakin dan mantap terhadap Fitri. Jawaban yang menggambarkan terhadap permasalahan sosial yang biasa terjadi. Penyalahgunaan poligami oleh kaum muslim. Pemikiran Fitri sungguh luas, itu tergambar dari jawaban yang ia kemukakan. 

Irkham mengakui bahwa perempuan sekarang berbeda dengan perempuan zaman dahulu. Pengetahuan perempuan semakin meningkat bahkan tidak jarang yang melebihi kaum laki-laki.

Masyaallah, jawaban yang sangat indah Dek Fitri,” Irkham  menimpali atas argumen yang disampaikan Fitri.

Mendengar pujian yang disampaikan Irkham secara terang-terangan Fitri tersenyum sampai-sampai mulutnya terbuka dan terlihat gigi-gigi bagian depannya hilang entah kemana. Irkham kaget melihat gigi Fitri yang hilang. Ada perasaan bimbang muncul ke dalam hatinya. 

Perasaan yang terus menggelayut dan membenamkan rasa keyakinan yang sudah mulai terbangun. Butir-butir cinta dari embun pagi  sampai siang yang sudah mulai terkumpul di dalam ember seperti ditumpahkan begitu saja di atas tanah, hilang tanpa bekas. 

Di tengah-tengah pergolakan hati Irkham, ia mulai mencari alasan harus bertahan dan meyakinkan hatinya kembali. 

Bukankah mencintai itu karena Allah Swt bukan karena sebuah paras? Cinta sesungguhnya hadir dalam sebuah kehangatan dan kebersamaan. Bukankah manusia memang tidak sempurna? Pasti akan ada saja sesuatu hal yang menjadi kekurangan setiap manusia. Menerima Fitri sebagai istri bukankah suatu keberuntungan? 

Fisik bisa diperbaiki akan tetapi akhlak akan sulit diperbaiki. Setidaknya hal ini akan menghilangkan gelar bujang lapuk yang melekat sampai berkarat padanya. 

“Ah, siap-siap saja, julukan suaminya si Ompong akan menjadi gelar terbaru,” pikirnya dalam hati. 

Tuan & Puan

Untukmu Tuan dan Puan

Lembayung cintaku tuliskan

Secarik rasaku sampaikan

Secercah warna dibacakan

Sebuah untaian kata membius gendang telinga 

Begitu ramahnya

Ramah tamah dan sopan santun 

Menjadi identitas luhur bangsa Indonesia

Pendar mata yang terang tak pernah menuntut 

Untuk melulu melihat kesempurnaan

Kecantikan atau keburukan rupa 

Tak kan pernah habis untuk diperdebatkan

Walau kulitmu coklat, kuning langsat, atau bahkan hitam legam

Semua itu bukan alasan

Kita tahu bahwa semua itu substansi yang subjektif 

Untuk masing-masing insan

Tuan dan Puan, perbedaan bukan sumber perpecahan

Perbedaan merupakan citra kesatuan

Perbedaan ras, suku, budaya, dan bahasa 

Menjadi tambahan rasa yang kental untuk disebut Indonesia

Tumbuh subur hai bangsa yang bestari

Sebagai cerminan negeri yang berbudi

Bersatu padu untuk melawan 

Menegakkan keadilan jadi semboyan

Tuan, Puan

Aku membelaimu dengan kasih sayang

Usapan sayang termaktub 

Dalam baris kata yang mengisi segenggam tekad dalam dada

Tekad yang kuat untuk berdiri tegak 

Bergandengan tangan saling menguatkan

Membuang benci melarung dengki

Untuk bangsa Indonesia yang bersahaja

Tuan dan puan

Berjanjilah bahwa rasa nasionalisme kita sama untuk Indonesia

Selama kulit disayat mengeluarkan darah berwarna merah

Selama tulang yang menopang harkat dan martabat berwarna putih

Selama itulah bangsa Indonesia akan berdiri tegak dan menantang

Siapapun yang akan merobohkan negeri kita, Indonesia

Tujuh puluh lima tahun kita berdaulat sebagai negara yang kuat

Hingga hari ini

Matahari tujuh belas Agustus telah memberi senyum ramahnya

Seraya membisikkan kalimat “Dirgahayu Indonesia”

Gambaran Kesenjangan Sosial dari Sistem Kapitalisme dalam Film Snowpiercer

Judul Film: Snowpiercer

Genre: Drama, Dystopian Fiction, Thriller, Post-apocalyptic

Sutradara: Bong Joon-Ho

Durasi: 126 Menit

Snowpiercer (2013) merupakan film yang dibintangi oleh Chris Evans, Tilda Swinton dan Song Kang-Ho. Cerita dari film tersebut diadaptasi dari novel grafis Le Transperceneige (1982) karya Jacques Lob, Benjamin Legrand, dan Jean-Marc Rochette. 

Film Snowpiercer menceritakan tentang sekelompok manusia yang bertahan hidup di dalam suatu kereta yang terus menerus berjalan mengelilingi bumi sesudah bumi membeku akibat pemanasan global. 

Mengambil latar di tahun 2031, berpusat pada kejadian pemberontakan para penghuni gerbong belakang kereta yang miskin yang dipimpin oleh Curtis Everett (Evans) untuk memberontak melawan para penghuni elit kereta api bagian depan. 

Film ini mendapatkan respon yang meriah dari para penonton ataupun kritikus, di mana para kritikus memberikan peringkat persetujuan hingga 94% dan menghasilkan keuntungan kotor USD 86,8 juta dari biaya produksi USD 40 juta. 

Kesenjangan Sosial, Pertentangan Antar Kelas dan Revolusi

Bila dibandingkan dengan karya  Bong Joon-Holainnya yang berjudul Parasite, walaupun sama-sama mengangkat tema kesenjangan sosial, namun terdapat perbedaan antara Snowpiercer dengan Parasite. 

Dalam Parasite, Bong Joon-Homengangkat tema kesenjangan sosial di kehidupan masyarakat Korea Selatan dalam pendekatan tragedi-komedi mengenai kehidupan dua keluarga dari dua kelas masyarakat berbeda. 

Dalam Snowpiercer, kesenjangan sosial yang diangkat melalui pendekatan aksi fiksi ilmiah. Apabila Parasite lebih dianggap sebagai bagian kritik sosial terhadap kultur kehidupan masyarakat Korea Selatan, maka Snowpiercer dapat menjadi kritik sosial bagi tatanan masyarakat dunia.

Dunia Snowpiercer menggambarkan strata kelas sosial di masyarakat dipisahkan oleh gerbong-gerbong kereta, di mana masyarakat elit menghuni gerbong depan dengan segala kemewahan sedangkan masyarakat kelas bawah berada di gerbong belakang yang kumuh, kotor, dan suram.

Ketika masyarakat elit di gerbong depan menikmati makan sushi dan steak, mereka yang berada di gerbong belakang harus mengonsumsi balok protein yang terbuat dari serangga. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat yang berada di gerbong belakang menjadi gerah dan memberontak terhadap mereka yang berada di gerbong depan.

Kondisi kesenjangan sosial yang terjadi kemudian dengan segera akan memicu pertentangan kelas, di mana masyarakat bawah akan bergerak untuk melawan status quo yang ada. Masyarakat bawah yang berada di gerbong belakang bergerak ke gerbong depan, dan ketika mereka semakin dekat ke gerbong dimana mereka mengancam kehidupan masyarakat elit, penguasa kereta, Willford (Ed Harris), mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menumpas para pemberontak.

Gambaran di atas mungkin terasa lekat dengan kehidupan di negara kita, di mana masyarakat bawah yang hendak melawan penindas mereka yang berada di strata lebih tinggi akan menghadapi kekuatan bersenjata. 

Banyak karakter yang merupakan simbolisasi dari realitas, seperti karakter Curtis, pemimpin revolusi yang percaya akan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, Mason (Swinton), menteri Willford yang bertindak sebagai kepanjangan tangan penguasa hingga beberapa tokoh lainnya yang bertindak atas motif pribadi. 

Dalam film, Bong Joon-Ho menggambarkan setiap karakternya dengan motivasi-motivasi tertentu yang menggerakkan mereka untuk mengikuti “Revolusi Besar Curtis” seperti harapan, perjuangan hidup, dan balas dendam akan kehilangan orang terkasih.

Namun, timbul satu pemikiran yang menarik. 

“Kemudian apa?”

Apa yang Harus Dilakukan dari Revolusi ?

Dalam artikel Not All are Aboard: Decolonizing Exodus in Joon-ho Bong’s Snowpiercer dari jurnal New Political Science, Fred Lee dan Steven Manicastri menjelaskan bagaimana penggambaran sosial dalam Snowpiercer merupakan bentuk dari post-kolonialisme. 

Terjadi perubahan antara dominasi nasional dari bangsa yang lebih kuat menindas bangsa yang lemah menjadi dominasi sosial ketika strata sosial yang lebih tinggi menindas strata sosial yang lebih rendah. Dunia dalam kereta yang terus melaju dalam film merupakan penggambaran akan dunia saat ini yang masih berada di bawah tatanan kapitalis dan kolonialis. 

Revolusi yang terjadi dalam Snowpiercer merupakan gambaran dari eksodus untuk mengatasi rasionalitas dari biopolitik, pasar ekonomi, dan negara yang “menjajah” setiap segi kehidupan. 

Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai macam keadaan, kata Tan Malaka dalam bukunya “Aksi Massa”. Revolusi yang terjadi dalam Snowpiercer timbul dari penindasan masyarakat elit kepada masyarakat bawah, kesombongan kelas elitis yang diarahkan pada masyarakat di bawah mereka sehingga kaum elit tidak memberikan sedikit perhatian mengenai keadaan mereka. 

Pengacuhan kondisi sosial masyarakat bawah, tindakan kekerasan semena-mena sesuai keinginan kaum elit, hingga memaksakan otoritas kaum elit yang tidak berpihak menjadi mesin penggerak dari revolusi masyarakat kelas bawah untuk melawan.

Sebagaimana revolusi-revolusi lainnya dalam sejarah, Bong Joon-Ho menggambarkan bahwa di balik revolusi dalam film Snowpiercer juga ada darah yang tertumpah. Namun, pertumpahan darah dalam Snowpiercer memiliki alasan tertentu. 

Sebagaimana yang dikatakan Wilford kepada Curtis, bahwa revolusi merupakan jalan pintas untuk mencapai keseimbangan alam. Dalam dunia kereta Snowpiercer, keseimbangan yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup manusia tidak bisa hanya melalui seleksi alam, melainkan perlu peran penting manusia untuk mencapai keseimbangan ekosistem lingkungan hidup kereta. Tanpa keseimbangan, kata Wilford, kelangsungan hidup manusia yang berada di dalam kereta akan terganggu.

Snowpiercer menjabarkan bagaimana sebuah kondisi kesenjangan sosial akan memicu revolusi kelas untuk mengubah sistem. Apa yang terjadi selama revolusi, jelas akan menimbulkan konsekuensi. 

Sebagaimana yang dikatakan Aaron Bady dalam A Snowpiercer Thinkpiece, Not to Be Taken Too Seriously, But for Very Serious Reasons, film Snowpiercer merupakan alegori untuk kapitalisme dan revolusi. Kapitalisme yang berujung pada gangguan sosial yang menciptakan kesenjangan sosial menjadi bahan bakar revolusi. 

Kondisi Curtis, setelah menyadari arah pergerakan dari revolusi yang ia pimpin pada akhirnya menciptakan pertumpahan darah dari para pengikutnya di bagian belakang, menyadari bahwa sistem kapitalisme dalam kereta harus dihentikan. Dengan kejatuhan sistem kapitalisme dalam kereta yang disimbolkan dengan meledakkan gerbong kereta, Curtis ingin melihat bagaimana umat manusia dapat bertahan hidup pada dunia di luar kereta yang telah membeku.

Sangat menarik untuk melihat bagaimana serial Snowpiercer (2020) yang ditayangkan di Netflix akan meneruskan kritik sosial dari versi film yang digarap oleh Bong Joon-Ho. Mengingat kepopuleran serial Netflix asal Spanyol Money Heist yang mengusung tema kritik sosial, audiens global dari Snowpiercer akan sangat menunggu kelanjutan kehidupan manusia setelah akhir filmnya menyiratkan harapan akan keberlangsungan hidup manusia di luar sistem kapitalisme yang menjajah kehidupan manusia.

Panduan Hidup Beragama ala Cak Dlahom

0

Judul: Merasa Pintar, Bodoh saja Tak Punya

Penulis: Rusdi Mathari

Penerbit: Mojok

Tahun: 2016

Tebal: xviii + 226 halaman

ISBN: 978-602-1318-40-9

Seperti Cak Nun dengan Markesot-nya, Cak Dlahom merupakan tokoh fiktif yang Rusdi Mathari ciptakan sebagai pengirim pesan kehidupan beragama di setiap ceritanya dalam buku “Merasa Pintar, Bodoh saja Tak Punya”.

Cerita-cerita tentang Cak Dlahom mulanya merupakan tulisan berseri di situs Mojok.co sebagai serial Ramadan pada tahun 2015 dan 2016.  Buku yang berkisah tentang kejadian sehari-hari di sebuah desa di Madura ini memiliki dua bagian, yaitu Ramadan Pertama dan Ramadan Kedua.

Bersama tokoh lain seperti Mat Piti, Romlah, dan Gus Mut, Cak Dlahom yang menjadi sentra cerita seringkali menjadi komentator atau penyulut perbincangan bersubstansi agama di desa. Dari perbincangan itulah, tetangga Cak Dlahom mulai merubah perspektif mereka tentang kehidupan beragama.

Dari kisahnya, dapat dilihat bahwa Cak Dlahom memang terlihat beda dari orang biasanya, pemikiran dan tingkahnya sedikit aneh. Dalam menyampaikan pesan, dia acap kali menggunakan hal-hal konyol. Seperti mengaku anjing, membawa tanah kuburan ke masjid, bahkan telanjang bulat di balik mimbar.

Namun, di balik penggambaran karakter Cak Dlahom tersebut selalu muncul cerita-cerita agama, kehidupan, dan kemanusiaan yang memiliki makna amat dalam dan seringkali menjadi tamparan bagi para pembaca.

Seperti dalam kisah berjudul “Cak Dlahom Mengaku Anjing”, yang pesannya sangat relevan dengan kondisi sekitar kita akhir-akhir ini.

“Anjing ini aku, Mat.”

“Sampean ini suka aneh-aneh, Cak. Sekarang malah ngaku-aku anjing.”

“Bagaimana kalau aku ternyata benar adalah anjing, Mat?”

“Ya saya ndak berani bilang apa-apa, Cak.”

“Sama, Mat. Aku juga tak berani memberi cap kepada siapa pun dengan apa pun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri.”

Tentu Cak Dlahom bukan sedang mencari perhatian dengan mengaku-ngaku sebagai anjing. Cak Dlahom berusaha mengingatkan untuk kita lebih rendah hati dan tidak merasa paling mulia agar tidak muncul sikap mudah melabeli atau memberi cap terhadap orang lain.

Seperti yang diketahui bersama, saat ini baik dari balik akun sosial media sampai di atas mimbar terkadang seseorang dengan sangat mudahnya melabeli orang lain, dengan sebutan yang kurang pantas dilontarkan oleh orang yang mengaku beragama hanya karena berbeda perspektif. Mulai dari sebutan kafir, sesat, bahkan kata-kata kasar.

Dalam kisah lain yang berjudul “Membakar Surga, Menyiram Neraka”, dikisahkan masyarakat abai terhadap nasib Sarkum dan ibunya yang kesusahan.

Cak Dlahom lari-lari di sekitar masjid sembari membawa obor dan terus berteriak “celaka…”, hal tersebut Cak Dlahom lakukan sejak habis tarawih sampai subuh. Tentu hal tersebut ditujukan untuk mereka yang sedang khusyuk beribadah di masjid.

Saat ditemui oleh Mat Piti dan dimintai penjelasan beliau mengatakan, “Salatmu dan sebagainya adalah urusanmu dengan Allah, tapi Sarkum yang yatim dan ibunya yang kere mestinya adalah urusan kita semua.”

Saya langsung merenungi ucapan Cak Dlahom dan kembali melihat esensi diri sebagai manusia. Mengaku beragama dan merasa telah menjalankan habluminallah dengan taat beribadah, namun kekhusyukan dalam menjalankan ibadah ternyata acap kali meninggalkan perintah Allah yang lain untuk ber-habluminannas.

Begitu pun dalam kisah “Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid”. Suatu waktu masyarakat di desa sedang sibuk merenovasi masjid, di tengah kesibukan itu istri Bunali (ibunda Sarkum) meninggal dunia dengan cara gantung diri.

Jika biasanya orang mati didoakan agar diampuni dosanya, tapi tidak dengan Cak Dlahom. Setelah pemakaman usai, beliau justru minta diampuni untuk dirinya dan warga desa karena kematian istri Bunali sambil memukul-mukul kuburan dan menangis.

Saat masyarakat sibuk di masjid yang hendak direnovasi, Cak Dlahom membawa tanah kuburan istri Bunali ke masjid sembari mengoceh.

“…diajak aktif membangun masjid, tapi membiarkan orang-orang seperti isteri Bunali terus tak berdaya lalu mati. Diajak rela menyodorkan sumbangan ke mana-mana untuk membangun masjid, tapi membiarkan Sarkum anak Bunali tidak bersekolah dan kelaparan. Kita bahkan tidak pernah menjenguknya. Tidak pernah tahu keadaan mereka. Lalu apa sesungguhnya arti masjid ini bagi kita? Apa arti kita bagi masjid ini?”

Sekali lagi kita ditampar oleh Cak Dlahom. Lebih mementingkan menggelontorkan dana yang banyak untuk membangun masjid yang mewah, namun lupa memikirkan nasib orang lain yang kere dan kelaparan.

“Kita rajin berdoa’a di masjid dan, lalu merasa bertemu Allah. Padahal ketika Allah kelaparan, kita tidak pernah memberi makan. Allah sakit tidak menjenguk”, seru Cak Dlahom di akhir kisah tersebut.

Kisah-kisah yang dituliskan Cak Rusdi mengingatkan bahwa Islam tak sebatas urusan kita dengan Allah semata. Ucapan, perilaku, kasih sayang, serta cara kita menghargai maupun menghormati pendapat dan hak orang lain adalah bagian dari Islam.

Seperti pesan yang disampaikan dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi semesta. Hal itu hanya akan terwujud jika umatnya dapat merepresentasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan di dunia dengan baik.

Buku ini sangat bagus juga menampar. Dengan menggunakan bahasa dan contoh kisah yang populer sekaligus cenderung guyonan menjadikan buku ini enak dibaca dan mudah dipahami, sehingga pesan yang terkandung mudah dicerna. Namun, di beberapa judul pengantar cerita terlalu panjang, sehingga membuat bosan.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip penggalan kata-kata Cak Dlahom agar kita senantiasa rendah hati dan tidak merasa menjadi makhluk Allah yang paling baik.

 “…Saya memang sesat. Karena itu Allah mewajibkan saya untuk selalu membaca ‘Tunjukanlah aku jalan yang lurus’ setiap kali saya salat. Tujuh belas kali sehari semalam.”

Al-Fatihah untuk Cak Rusdi yang telah lebih dulu pergi meninggalkan kisah-kisah inspiratif yang saban hari pesannya terasa semakin relevan. Rusdi Mathari (1967-2018).

Kekerasan Seksual Belum Usai, Keseriusan UII Dipertanyakan

Kekerasan seksual di UII belum selesai dan kian mencuat ke publik, keseriusan dan komitmen UII dipertanyakan oleh Aliansi UII Bergerak dalam konferensi persnya. Tidak ada transparansi dan regulasi hingga saat ini membuat para penyintas tidak mendapatkan payung hukum yang jelas.

Himmah Online, Yogyakarta – Kelanjutan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII) hingga saat ini belum menemui titik terang. Menurut UII Bergerak, UII sampai sekarang belum juga memiliki regulasi dan tidak memberikan transparansi mengenai penanganan penyintas kasus kekerasan seksual IM. Hal itu dibacakan dalam Konferensi Pers UII Bergerak pada Senin, 10 Agustus 2020 di Rumah Gerakan RODE 610.

“Tidak transparansinya kampus itu sebenarnya menunjukan wajah asli dari birokrat UII. UII sebagai lembaga institusi pendidikan harusnya memberi contoh terhadap mahasiswa dan institusi lainnya dalam menangani (red- kekerasan seksual). Karena ini kasus sudah diketahui oleh khalayak dan dikonsumsi publik, publik punya hal mengetahui perkembangannya,” ujar Fakhrurrozi, perwakilan dari UII Bergerak.

Penanganan penyintas kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM sendiri dilimpahkan UII kepada kepada Lembaga Konsultasi dan  Bantuan Hukum (LKBH)  UII. UII kemudian membentuk tim pencari fakta. Dari tim yang dibentuk tersebut, UII Bergerak menyayangkan tim pencari fakta yang dibentuk oleh UII tidak transparan.

Kelanjutan dari proses IM sebagai terduga pelaku pun mendapatkan hasil nihil. Perkembangan terbaru dari Melbourne University, yang turut mengidentifikasi kasus IM di kampusnya menyatakan IM tidak bersalah karena tidak memiliki cukup bukti. Pada kasus dugaan pelecehan IM di Melbourne University, pelecehan yang dilakukan salah satunya berbentuk kontak non fisik. Sehingga menurut kampusnya sulit untuk diidentifikasi.

Hal ini kemudian membuat para penyintas kaget dan kecewa atas kabar tersebut. Berkaca dari penyelesaian kasus tersebut, penyintas yang didampingi UII Bergerak merasa khawatir akan mendapatkan risiko yang sama jika melapor pada pihak berwajib.

“Belum adanya penyintas yang melaporkan ke pihak berwajib hingga saat ini, bukan berarti tidak ada korban. Kekhawatiran penyintas yang belum melaporkan kasus kekerasan seksual tanpa kontak fisik salah satunya karena merasa akan sulit diproses karena tidak ada payung hukum yang jelas,” tulis UII Bergerak dalam siaran persnya.

UII Bergerak menuntut UII perlu transparan terkait perkembangan kasus yang ditangani dan segera membentuk payung hukum di kampus. Karena menurutnya, kasus kekerasan seksual bukan hanya kasus IM saja, tetapi mereka pun mendapat aduan dugaan kekerasan seksual lainnya. 

Beberapa di antaranya dilakukan oleh mahasiswa aktif UII dalam Pesona Ta’aruf (PESTA) 2019 serta dugaan kasus kekerasan seksual yang masuk ke Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM UII) tanggal 5 Mei 2020.

“Pada tahun 2019 terjadi juga kekerasan seksual terhadap mahasiswa baru yang dilakukan oleh wali jamaah, dan kabarnya informasi ini sudah menjadi rahasia umum di kepanitiaan PESTA 2019. Kedua, kemarin teman-teman KAHAM UII merilis laporan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa aktif UII yang korbannya juga mahasiswa aktif UII,” jelasnya.

Di sisi lain, perkembangan kasus yang didampingi oleh KAHAM UII juga tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Dalam siaran pers KAHAM UII yang dibagikan melalui media sosial Instagram, penyintas memilih untuk mengakhiri kasus sebab belum adanya regulasi kampus yang jelas menangani kekerasan seksual. UII Bergerak juga KAHAM UII mengakui tidak memiliki kredibilitas apa pun guna menuntaskan kasus tersebut.

Terakhir, UII Bergerak berharap seharusnya UII bersikap tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual dan memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual agar tidak menjadi hal yang tabu.

“Ayo dong kita adakan regulasi kekerasan seksual  di UII! Ayo dong persoalan materi-materi tentang edukasi kekerasan seksual ini di ajarin di UII. Jangan jadikan masalah ini hal yang tabu, (red- tapi ini) pengetahuan yang kita perlu tahu,” pungkas Fakhrurrozi di akhir wawancara.

Penulis dan Reporter: Muhammad Kholiqul Iqmal

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Pasar di Kala Pandemi

Menunggu Dagangan Laku. Foto: Himmah/Ika Rahmanita
Jasa Titip Daring. Foto: Himmah/Pradipta K
Mencuci Tangan. Foto: Himmah/Dhia Ananta
Wajib Pakai Masker. Foto: Himmah/Pradipta K
Jasa Angkut. Foto: Himmah/Pradipta K
Penjual Masker dan Face Shield. Foto: Himmah/Pradipta K
Interaksi Jual Beli. Foto: Himmah/Ika Rahmanita

Berdasar data DPP IKAPPI (Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia) per 7 Agustus 2020 mencatat 1.323 kasus positif di 227 pasar di 27 provinsi se-Indonesia. Dari jumlah kasus positif tersebut, 41 pedagang dinyatakan
meninggal dunia dan menyebabkan beberapa pasar terpaksa ditutup. Meskipun demikian, tetap lebih banyak jumlah pasar yang tetap beroperasi.

Pasar-pasar diimbau untuk menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum. Beberapa protokol yang diatur seperti menjaga jarak, menyediakan fasilitas cuci tangan dengan sabun, dan wajib mengenakan masker. Beberapa pedagang dan pembeli terlihat sudah menerapkan protokol kesehatan. Ada yang mengenakan perlengkapan protokol lengkap, namun tidak sedikit pula yang abai. Ada yang menjadikan pasar sebagai lahan untuk menjajakan perlengkapan protokol seperti masker dan face shield serta
ada pula yang membuka jasa titip berbelanja via live Instagram.

Narasi : Ika Rahmanita

Pengaruh Pembelajaran Daring di SD Kakuka pada Perkembangan Anak

Sekolah daring terutama pada jenjang Sekolah Dasar dapat memengaruhi aspek perkembangan anak. Orang tua dan guru dituntut bersikap fasilitatif.

Himmah Online, Wonosobo – Sejak dikeluarkannya Surat Edaran Kementrian Pendidikan Nomor 4 tahun 2020 terkait Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, berbagai sekolah di Indonesia menerapkan sistem pembelajaran daring. Salah satunya SD Nasional Kakuka, Wonosobo, Jawa Tengah, terhitung sejak 17 Maret 2020.

Hal tersebut sesuai dengan poin nomor dua yang menyebutkan bahwa pembelajaran dilakukan di rumah dan untuk metode belajar dari rumah dapat bervariasi antarsiswa, sesuai dengan minat dan kondisi masing-masing.

Dalam hal pembelajaran daring, SD Nasional Kakuka menyampaikan materi pembelajaran melalui video yang dikemas sesimpel dan semenarik mungkin agar siswa mudah menerima.

“Biasanya guru menggunakan YouTube (untuk mengirim video). Ada sebagian lagi yang dikirim di Whatsapp,” ungkap Aminah salah satu wali siswa kelas tiga.

Aminah menambahkan apabila siswa masih bingung terkait materi atau tugas, diberikan kebebasan untuk meminta bantuan kepada orang tua atau bertanya di grup kelas.

Dalam hal pemberlakuan pembelajaran daring, Aminah mengatakan jika perasaannya senang bisa melihat respon positif dari anak. Terlebih metode yang disampaikan guru tidak jauh dari keseharian sekolah sebelum pandemi, yaitu menggunakan konsep fun, active, valuable, learning, dan riset.

Artboard 3@72x-100.jpg

Endah yang juga wali siswa kelas tiga, menyetujui paparan Aminah, jika anaknya menikmati video atau yang diberikan oleh guru terkait materi yang diberikan. Menurutnya tugasnya itu simpel dan aplikatif yang membuat anak tidak terlalu bosan.

Menanggapi hal tersebut, Rahmawati selaku Kepala Sekolah membenarkan terkait media yang digunakan oleh para guru. Adapun video-video tersebut sudah dikonfirmasi sebelumnya oleh pihak sekolah, sehingga dapat diunggah melalui kanal YouTube.

Rahmawati juga menambahkan, proses evaluasi dan pemberian nilai dilakukan usai pembelajaran daring berlangsung. Capaian belajar siswa tetap diberikan secara berkala setiap tiga bulan sekali. Hal ini dilakukan agar orang tua mengetahui perkembangan anaknya sebagai peserta didik.

Respon Siswa pada Pembelajaran Daring

Adanya penerapan sistem pembelajaran daring, Aminah mengungkapkan sejauh ini anaknya masih tergolong semangat walaupun kondisinya harus belajar dari rumah.

“Saya selalu berusaha bagaimanapun kondisinya anak itu harus tetap bisa adaptasi,” ujarnya.

Menurutnya, tergantung bagaimana cara orang tua memberikan pengertian kepada anak agar mereka tetap semangat walaupun kondisinya harus belajar dari rumah.

Berbanding terbalik dengan Aminah, Endah mengatakan kalau anaknya sempat mengeluh karena terbiasa dengan tatap muka beralih menggunakan video atau dengan aplikasi meeting.

“Iya mengeluh kok gini terus gitu (bosan), tapi setelah diberi penjelasan mereka mengerti dan biasanya saya buat senang dulu dan buat mereka paham supaya anak mau mengerjakan tugas,” terangnya. 

Teguh Rahayu selaku guru bahasa Inggris juga memaparkan jika awal diterapkannya pembelajaran daring siswa-siswa sangat antusias dan tertarik. Namun, semakin kesini respon siswa mulai cenderung fluktuatif.

Artboard 2@72x-100.jpg

“Fluktuatif dalam artian naik turun gitu mood-nya karena mereka berada di rumah. Mungkin sudah jenuh dan pembelajarannya mereka tidak bertemu secara langsung. Tapi secara keseluruhan, mereka antusias,” ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Admila Rosada merupakan Psikolog Assosiate di Klinik Prashanti mengatakan bahwa kondisi pandemi ini tidak alamiah dan di luar kebiasaan. Sehingga respon anak mengalami masa-masa tidak alamiah pula. 

Respon anak dalam proses adaptasi juga tidak dapat digeneralisir. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi proses adaptasi siswa SD, di antaranya dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sekolah siswa itu sendiri. 

Tempat tinggal siswa SD dan sistem sekolah dalam hal penerapan pembelajaran daring memengaruhi bagaimana siswa-siswa merespon dalam aplikasi pembelajaran daring. Misalnya terkait masalah sinyal dan sekolah yang memang sebelumnya sudah menggunakan teknologi dalam pembelajaran.

Dampak Pembelajaran Daring bagi Siswa

Menurut Diah sebagai guru bahasa Jawa dan Tematik, mengatakan sisi positif pembelajaran daring ialah siswa bisa lebih mandiri, tanggung jawab, teratur, dan dekat dengan orang tua. 

Namun dari sisi negatif, guru tidak bisa tahu perkembangan kemampuan siswa dalam menghadapi tugas atau materi yang diberikan. 

Diah juga menambahkan, cara adaptasi siswa dari pembelajaran daring cukup sulit karena tidak bisa bertatap muka secara langsung dan harus beradaptasi kembali ketika sekolah mulai aktif kembali.

“Pembelajaran daring juga kurang efektif, tapi kalau disuruh milih, lebih baik bisa belajar di sekolah kembali. Jadi, sosialnya siswa juga berkembang,” tuturnya.

Menyetujui paparan Diah, Endah mengatakan kalau perkembangan anak saat daring kurang baik dikarenakan hanya konsen pada media terutama ponsel.

“Menurut saya anak konsen hanya ke situ (ponsel), jadinya mereka monoton dan penguasaan materinya kurang rinci tidak menyeluruh apa yang disampaikan,” ungkapnya.

Rahmawati juga memaparkan bahwa pembelajaran daring tidak baik untuk perkembangan siswa apabila terus diperpanjang.

“Jadi pembelajaran daring itu tidak dibuat kaku, tapi benar-benar siswa itu fun dan merasa efektif,” ungkapnya.

Meskipun dikatakan efektif, pembelajaran daring tetap berpengaruh pada aspek perkembangan siswa. Seperti yang dikatakan Admila, terdapat empat aspek perkembangan; kognitif, emosi, sosial, dan perilaku.

Saat pembelajaran luring, keempat aspek perkembangan tersebut dapat terstimulasi dengan baik. Melalui kegiatan pembelajaran, kognitif atau pengetahuan siswa bertambah. Selain itu, aspek emosi dan sosial juga terasa saat beraktivitas bersama teman-temanya.

“Ketika pembelajaran daring, siswa-siswa terbatas pembatasan sosial dengan anggota keluarganya. Aspek-aspek tersebut terpengaruh artinya berbeda ketika pembelajaran luring,” jawabnya.

Admila juga menambahkan, dalam hal kognitif bisa diberikan melalui proses pembelajaran yang disampaikan guru. Hal ini mengacu pada indikator belajar yang telah ditetapkan pada kurikulum. 

Sedangkan pada aspek emosi, sosial, dan perilaku banyak terdampak karena pada aspek ini diperlukan interaksi secara langsung dengan teman sebaya.

Menurut Admila, sikap yang harus dilakukan orang tua dan pendidik adalah sikap fasilitatif, artinya mampu mengelola emosi dengan baik. Misalnya orang tua harus lebih sabar dan mampu melakukan manajemen waktu yang baik agar situasi belajar siswa tercipta kondusif.

Guru juga dituntut untuk ekstra mengatur diri. Membagikan antara tugas memberikan pembelajaran daring dengan kehidupan pribadinya di rumah.

Penulis: Zumrotul Ina Ulfiati

Reporter: Nadia Tisha Nathani Putri, Afvia Diyun Duhita, Zumrotul Ina Ulfiati

Infografik: Farrel Alfaiz

Editor: Hersa Ajeng Priska

Pembangunan Tol DIY, “Bisnis yang Tidak akan Menguntungkan”

“Saya bisa menduga bahwa kelayakan finansial sangat lemah dan jumlah volume lalu lintas di Yogyakarta terlalu rendah, sehingga ini menjadi bisnis yang tidak akan menguntungkan,” Jamie, Dosen National University of Singapore.

Himmah Online, Yogyakarta – Pembangunan ruas jalan tol di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dipandang memiliki banyak dampak negatif terhadap berbagai sektor. Dalam diskusi terbuka secara daring pada Rabu, 29 Juli lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta melalui media konferensi Zoom dan live streaming di kanal YouTube resminya membahas “Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia”.

Diisi dengan empat pembicara, yakni Bima Yudhistira peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Sana Ullaili perwakilan dari Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Darmaningtyas kepala divisi dari Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, dan Jamie S. Davidson seorang dosen dari National University of Singapore.

Menurut Bima Yudhistira, adanya tol di DIY tidak memiliki banyak dampak positif namun proyek pembangunan jalan tol ini akan tetap berjalan meski di masa pandemi seperti ini. 

Di Indonesia sejak awal pembangunan jalan tol sudah cukup masif, namun banyak pengusaha yang mengeluhkan terkait pembangunan jalan tol. Padahal pembangunan jalan tol seharusnya didukung oleh pengusaha untuk memberi kontribusi pada kenaikan indeks daya saing. 

Konsep yang dibutuhkan Indonesia adalah konektivitas laut. Tetapi, tol laut di Indonesia malah di nomor duakan, kemudian yang di nomor satukan adalah pembangunan jalan tol. 

“Indonesia bila dipaksakan model transportasi seperti itu (transportasi darat), ekonomi akan semakin terserap ke Jawa sementara ketimpangan dengan Indonesia bagian Timur dan Barat tidak akan terselesaikan dengan pembangunan jalan tol,” ujar Bima. 

Bima mengatakan bahwa, konsep pembangunan jalan tol di Indonesia menguntungkan 3 pihak. Pertama, makelar tanah seperti spekulan properti. Termasuk para makelar yang memaksa warga untuk menjual tanahnya. 

Kedua, para manajer dan komisaris dari BUMN. Karena menurutnya di tengah pandemi saat ini, mereka tetap bisa mendapatkan suntikan dana. Lalu pihak ketiga yakni para kreditur.

Jamie S. Davidson menyampaikan, jarang ada investor dari luar atau dalam negeri yang mau berinvestasi miliaran rupiah untuk membangun tol antar kota. “Ada banyak halangannya. Salah satunya value lalu lintasnya sangat rendah,” jelasnya.

Menurutnya, penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap pembangunan jalan tol memperhatikan dua kategori, yakni kelayakan ekonomi dan finansial. Maka, hal tersebut pertanyaan yang juga bisa digunakan terkait masalah tol Yogyakarta yang akan dibangun.

“Saya bisa menduga bahwa kelayakan finansial sangat lemah dan jumlah volume lalu lintas di Yogyakarta terlalu rendah, sehingga ini menjadi bisnis yang tidak akan menguntungkan,” tambah Jamie.

Sana Ullaili dari Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta menyampaikan, kenyataannya petani di Indonesia banyak yang jauh dari kehidupan layak, termasuk di DIY. “Ini akan diperburuk dengan adanya pembangunan jalan tol di DIY, karena untuk petani dengan adanya jalan tol akan menambah biaya distribusi dan produksi,” ungkap Sana.

Ia juga menjelaskan, ketahanan pangan bisa diartikan dengan adanya kedaulatan dan kemandirian pangan yang bisa dilihat dari jumlah, mutu, akses, keamanan, dan gizi dari pangan itu sendiri.

Menurut Darmaningtyas dari Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, wilayah Jawa dikenal bagus untuk menjadi sumber pangan dan cadangan air. Namun bila lahan produktif penyokong sektor ini dialih fungsikan menjadi jalan tol, akan mengakibatkan terjadinya krisis pangan dan air. 

Ditambah dengan penduduk yang kerap bertambah, maka harus dipikirkan dari mana kebutuhan air dan pangan bisa terpenuhi.

Darmaningtyas menambahkan, sebenarnya akan lebih bermakna jika mengaktifkan kembali jalur kereta api, Semarang-Yogyakarta atau Bantul-Yogyakarta, dibandingkan dengan membangun tol di DIY. Karena bisa diperkirakan traffic jalan tol akan sangat berbeda dengan traffic KRL. Sehingga return modal bisa diperkirakan akan membutuhkan waktu sangat lama.

Penulis: Nadya Auriga

Reporter: Adelia Fatin, Monica Daffy, Muhammad Kholiqul Iqmal, Nadya Auriga, Siti Anisa

Editor: Muhammad Prasetyo

Burjo: Kisah “Aa’” yang Belum Kamu Ketahui

“Banyak cerita yang tersimpan dari Aa burjo. Merantau jauh dari Bumi Pasundan untuk mencari sepiring berlian. Tentu, banyak rintangan yang dilalui untuk mendapatkan berlian tersebut.”

Himmah Online, Yogyakarta – Siapa yang asing mendengar istilah “burjo”? Sepertinya hampir seluruh kalangan masyarakat sudah paham dengan “burjo” ini. Mungkin masih ada dua persepsi tentang “burjo”. Yakni “bubur kacang hijau” atau warung makan yang disponsori oleh salah satu brand mi instan. 

Kali ini, Himmah Online akan membahas mengenai burjo sebagai warung makan atau warung makan Indomie (Warmindo). Liputan kali ini adalah liputan bersama dengan awak dari LPM Ekonomika dan LPM Kognisia.

Dilansir web phinemo.com, bubur kacang hijau awalnya dijual oleh seorang lurah yang berasal dari Kuningan, yaitu Salim Saca. Dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kondisi ekonomi memang belum stabil. Hal ini berakibat pada kebutuhan pokok yang meningkat dan rupiah yang menurun. 

Akhirnya, Lurah Salim mencoba membuat bubur kacang hijau. Awalnya, ia hanya membagikan bubur kacang hijau itu secara cuma-cuma kepada warga yang tinggal di sekitarnya. Setelah membagikan bubur kacang hijau tersebut, warga merasa antusias dan senang. Kemudian muncul ide Lurah Salim untuk berjualan bubur kacang hijau tersebut.

Lurah Salim berjualan dengan cara berkeliling di Kuningan. Pada tahun 1950 akhirnya ia membuka warung di Kota Kuningan. Setelahnya banyak orang yang mengikutinya dengan membuka warung bubur kacang hijau. 

Tak hanya di Kuningan saja, warung bubur kacang hijau tersebar hingga ke Jogja, Semarang, Solo, dan kota-kota lainnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, kini warung bubur kacang hijau tersebut juga menjual berbagai macam jenis makanan, seperti mi instan, nasi goreng, nasi telur, dan makanan-makanan lainnya. Kini, warung bubur kacang hijau tersebut biasa kita sebut “burjo”.

Kuningan sebagai asal muasal burjo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Burjo memang selalu identik dengan “Aa”-nya yang berasal dari Kuningan. Menjadi sebuah pertanyaan, bukan? Mengapa di setiap burjo selalu saja orang Kuningan yang bekerja di sana. Kami mendatangi beberapa warung burjo yang cukup ramai dan “Aa”-nya yang memiliki kisah yang beragam dan menarik.

Burjo Palm Kuning

Kami jajan di Burjo Palm Kuning yang berada di Pogung pada Minggu, 13 Oktober 2019 pukul empat sore. Sebelum datang ke sana, kami telah membuat janji dengan pemilik burjo, Bella. Suasana warung pada sore hari itu cukup lengang. Tidak ramai dan tidak juga sepi. Setelah menunggu sebentar, kami bertemu Bella.

Bella bercerita, bapaknya berasal dari Kuningan dan ibunya berasal dari Palembang. Dari situlah nama Palm Kuning tercipta. Karena banyak orang Kuningan yang memerlukan pekerjaan maka orang tua Bella mengambil karyawan dari Kuningan. 

“Soalnya juga mereka orang-orangnya lebih gampang, lebih manutan.” ujar Bella.

Burjo Palm Kuning mempunyai 14 cabang di Jogja. Pusatnya di Pogung ini. Masing-masing warung memiliki penanggung jawab yang merupakan kerabat Bella. Seperti burjo pada umumnya, Palm Kuning buka 24 jam. Dengan dua hingga tiga karyawan pada shift pagi, dan lebih banyak karyawan pada shift malam. Total karyawan dari seluruh Burjo Palm Kuning ada kurang-lebih 70 orang.

Bella mengaku, pada malam hari pengunjung warung lebih banyak dibanding pagi dan siang hari. Omzet untuk tiap warung rata-rata bisa mencapai Rp 1,5 juta per hari. Berbeda dengan warung yang lebih besar. Salah satunya di daerah Pogung dan Gejayan, bisa mencapai Rp 4 juta.

Untuk upah karyawan, terdapat perbedaan antara para “Aa”. Standarnya ialah lama kerja dan kinerja “Aa” tersebut. Bella menyebutkan range Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta. Juga terdapat tambahan bonus apabila menjelang lebaran. 

“Biasanya ada bonus tapi bonusnya lebih dikasih pas lebaran. Pas mereka mau pulang,” jelas Bella kepada kami.

Selain warung yang buka 24 jam, burjo juga identik dengan “Aa”-nya yang tinggal di belakang warung burjo tempat mereka bekerja. Tempat tinggal merupakan sebagian dari fasilitas yang diberikan Bella untuk para karyawan di burjonya. Untuk masalah perut, karyawan Palm Kuning diberikan kebebasan untuk makan di warung burjo.

Bella juga mengadakan fasilitas mudik bersama. Mudik bersama ini dilaksanakan pada momen lebaran untuk para karyawannya dengan berkolaborasi bersama salah satu merek mi instan. Sembari memulangkan, Bella juga mencari karyawan baru untuk burjonya.

Lalu kami mewawancarai Andi dan Purwanto, karyawan dari Burjo Palm Kuning. Menariknya, Andi dan Purwanto bukan berasal dari Kuningan. Andi berasal dari Boyolali, dan Purwanto berasal dari Magelang.

Purwanto berkata dengan gaji yang ia dapatkan sebuah motor telah berhasil dibelinya. Selain itu, kebutuhan sandang dan tabungan juga dapat ia penuhi. Ia berkata, gaji yang didapat selalu sama. Tetapi, bonus yang didapatkan berbeda-beda, mengikuti omzet dari burjo tersebut.

Andi bercerita, ia tinggal bersama lima temannya dalam satu kamar. Tempat tidur di kamar tersebut beralaskan lantai dari ubin dan tidak ada ventilasi. Beruntungnya, terdapat kipas angin di sana. Namun tetap saja, Andi mengeluh kepanasan saat siang hari. “Kalau siang kepanasan, panas banget,” keluhnya.

Andi menjadi karyawan burjo karena tetangganya yang memerlukan bantuan. 

Enggak, ada kakaknya di sini. Jadi bosnya ini tetangga (red- saya) di rumah, di Boyolali. Itu disuruh cariin kerja. Jadi (red- saya) dapat kerjanya di sini. Jadi di sininya butuh orang,” ujar Andi. Dia sendiri telah bekerja di sana selama dua tahun.

Berbeda dengan Andi, alasan Purwanto mau bekerja sebagai di burjo karena merasakan ada kecocokan di bidang ini. “Kerjaan tuh semuanya sama. Enaknya tuh pertamanya makan, gratis. Bosnya juga enak,” ungkap Purwanto sambil tersenyum.

Karyawan-karyawan burjo Palm Kuning bukan merupakan karyawan yang diikat kontrak, seperti karyawan lain pada umumnya. Apabila sudah merasa bosan, mereka bisa keluar dan berpindah ke pekerjaan lain. Apabila dirasa sudah mampu untuk membuka warung burjo sendiri, maka dipersilakan.

Tidak adanya ikatan ini membuat kesehatan para “Aa” tidak dijamin oleh penanggung jawab masing-masing warung. Memang, “Aa-aa” ini tidak mempunyai jaminan kesehatan. Biasanya, jika ada “Aa” yang sakit si pemilik yang akan menanggung biaya pengobatannya. Mulai dari periksa dokter, hingga membeli obat. 

Bukan berarti dengan ditanggung oleh pemilik maka karyawan tersebut dapat terbebas dari biaya pengobatannya. Pada saat gajian, sebagian gaji akan dipotong untuk membayar biaya perawatan yang dijalani.

Di Burjo Palm Kuning, tidak ada jenjang karir untuk para karyawan. Bella lebih mengutamakan sisi kekeluargaan dalam burjonya. Bella mengumpamakan, jika karyawan tersebut sudah bekerja selama delapan tahun maka kinerjanya akan dinilai bagus. Tandanya karyawan tersebut bisa bertahan dan akan dipertahankan di burjonya. Otomatis gajinya akan mengikuti loyalitasnya.

Burjo Waruga

Selanjutnya, pada 19 Oktober 2019, kami jajan di Burjo Waruga. Di siang yang terik itu, kami menerjang panasnya Jogja dengan menaiki motor. Warung burjo itu terletak di pengkolan Jalan Laksda Adi Sucipto. Lokasinya sangat strategis, dekat dengan jalan raya, Galeria Mall, dan Rumah Sakit Bethesda. Burjo ini terbilang sangat ramai, terlebih lagi saat jam istirahat. Kami mengunjungi Burjo Waruga tepat saat jam istirahat karyawan-karyawan dari Galeria Mall.

Burjo ini adalah milik Andi Waruga, ketua Persatuan Pengusaha Warga Kuningan (PPWK). Saat kami berkunjung ke sana, Andi Waruga tidak sedang berada di Jogja.

Setelah kami menyantap sepiring Indomie goreng dan nasi telurnya, akhirnya kami bertemu dengan Bagus Cahyadi, salah satu penanggung jawab burjo ini. Saat itu terdapat empat orang karyawan yang sedang bekerja di dapur. 

Bagus berasal dari Kuningan. Sebelum bekerja di warung burjo, ia pernah bekerja di salah satu hotel terkenal di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 2010, ia memulai bekerja sebagai “Aa” burjo. Pria 27 tahun ini akhirnya pindah ke Waruga pada 2013. Sebelum bekerja di Waruga, ia bekerja di Burjo Sami Asih yang terletak di Jalan Kaliurang KM 5.

Karena Burjo Waruga terletak di foodcourt, tidak ada tempat untuk tidur bagi para karyawannya. Bagus dan karyawan lainnya tinggal di rumah kontrakan yang berada di Klitren. Satu rumah kontrakan tersebut digunakan untuk delapan karyawan Burjo Waruga.

Jika kita melintas dari Jalan Laksda Adisucipto menuju Jalan Sagan, burjo ini terlihat ramai. Bagus menuturkan, omzet yang diraih berkisar antara empat hingga lima juta rupiah per hari. “Sehari rata-rata lima juta rupiah, lah. Kalau lagi sepi paling empat juta rupiah,” ungkap Bagus. Namun, ia enggan untuk menyebutkan nominal gaji para karyawan burjo ini.

Selama sembilan tahun ia bekerja sebagai “Aa” burjo, kebutuhan hidup Bagus sudah sangat tercukupi. Ia mengaku sudah bisa mencicil membangun rumah di kampungnya. Bagus juga dapat membeli motor dengan gaji yang ia dapatkan. 

Bagus bercerita, sebelum ia menjadi penanggung jawab seperti sekarang, ia pernah menjadi juru masak di burjo ini. Tidak memerlukan keahlian khusus untuk menjadi juru masak. 

Resep masakan ditemukan bersama-sama dengan mencicipi tiap masakan yang dibuat. “Aa-aa” disini belajar bersama untuk menemukan racikan yang pas untuk makanan dan minuman yang dihidangkan kepada pelanggan.

Setelah menjadi juru masak, Bagus beralih menjadi kasir. Lalu jenjang yang tertinggi adalah manajer, yang saat ini dijabatnya. Ia berkeinginan suatu saat untuk membuka warung burjo juga.

Untuk pasokan bahan pangan, Burjo Waruga berlangganan dengan UD Ratna. UD Ratna cukup banyak mendistribusikan bahan pangan di burjo-burjo daerah Maguwoharjo, Timoho, dan sekitarnya.

Pelanggan Burjo Waruga beragam. Banyak karyawan dari Galeria Mall, mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana, dan pengunjung-pengunjung biasa. Tak jarang juga pada dini hari ada pelanggan yang selesai clubbing mampir untuk jajan. “Kadang pagi (dini hari) juga orang-orang balik abis pada dugem,” kata Bagus.

Karena panasnya Jogja, saya sampai memesan es teh lagi. Setelah menghabiskan es teh dan menyelesaikan percakapan, saya dan Azizah berpamitan untuk pulang. Saat kami pulang pun burjo ini masih tetap ramai oleh karyawan mall dan pengunjung lain yang masih mengisi perutnya.

Burjo Opat “R” Mufti

Kami berjalan sedikit jauh menuju Jalan Ring Road Selatan pada 2 November 2019. Tepatnya di sekitar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Burjo ini berbeda dengan dua burjo di atas. 

Saat kami akan berangkat, cuaca sudah mendung. Di tengah perjalanan, kami sempat kehujanan. Memang ajaib cuaca di Jogja. Saat tiba di lokasi, cuaca berubah menjadi panas.

Sampai di sana, kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah menyelesaikan santapan, kami bertemu Sodikin, pemilik dan “Aa” burjo di burjo Opat “R” Mufti. Burjo ini sebelumnya berlokasi di Jalan Raya Solo. Karena harga sewa ruko yang mahal, Sodikin memutuskan untuk pindah ke daerah sekitar UMY. Dibanding dengan Jalan Raya Solo, daerah yang baru ini lebih ramai karena banyak mahasiswa/mahasiswi yang jajan disini.

Sebelum membuka warung burjo, Sodikin sempat bekerja di Jakarta. Ia pernah bekerja sebagai pengawas kereta, asisten koki, satpam, hingga office boy. Setelah menikah, barulah ia membuka warung burjo bersama istrinya.

Sodikin mengontrak sebuah ruko bersama istri dan anaknya. Ia memberanikan diri membawa keluarganya sejak anaknya masih berusia enam bulan. Sang istri, Rika Lestari, memang mengikuti suaminya tanpa pikir panjang. “Ya nggak ada pertimbangan sih kalau aku ikut suami, ya. Kalau ikut suami ya bantuin kan,” ujar Rika.

Menariknya, burjo ini tidak buka 24 jam seperti burjo pada umumnya. Sodikin menggelar lapaknya pada pukul lima pagi dan tutup pada pukul sepuluh malam. Untuk bahan-bahan makanan dan minuman, pasangan suami-istri ini berbelanja di pasar. Mereka tidak berlangganan pada distributor tertentu seperti burjo-burjo lain yang sudah bercabang.

Pelanggan yang datang biasanya dari kalangan mahasiswa. Burjo ini mempunyai fasilitas wi-fi yang bisa dinikmati gratis. Selain itu, terdapat menu spesial yang berbeda dari burjo lainnya.

Sebelum membuka warung burjo, Sodikin melakukan survei terlebih dahulu di burjo yang ada di sekitar UMY. Tujuannya untuk menyesuaikan harga dan varian makanan yang akan dijualnya. “Cuma kita nyamain yang ada di lingkungan-lingkungan, lah. Masa di lingkungan (sekitar) segini, kita jual lebih tinggi, ngga ada yang mau nanti,” ucapnya.

Berbeda dengan sekarang, saat sebelumnya berjualan di Jalan Raya Solo, pelanggan burjo biasanya karyawan Transmart. Sodikin mengatakan, karyawan Transmart sering sekali utang di warungnya. “Hampir berapa tuh ya di situ, hampir dua sampai tiga jutaan ada kalo digabungin,” kata Sodikin.

Membangun sebuah usaha tentu ada manis dan pahitnya. Beruntung kini Sodikin sudah memiliki sebuah motor dan tempat tinggal di Kuningan. Baginya, bukan harta yang menjadi capaian utamanya, tetapi berkumpul bersama keluarga kecilnya. 

“Kalau saya sih kalau kayak gitu nggak dinomor satukan, ya. Yang penting tuh saya bisa hidup sama anak istri, bareng-bareng,” ujar Sodikin.

Ia bercerita, orang Kuningan memang memiliki passion untuk berwirausaha. Tak hanya berjualan di burjo saja, namun banyak pekerjaan lain yang juga dilakukan untuk mendukung passion-nya.

Sodikin juga memiliki alasan lain. Apabila ia bekerja di sebuah perusahaan atau bekerja kantoran, ia tidak bisa bebas untuk izin jika ada keperluan mendadak. Kini, ia tidak tertekan dan memiliki pendapatan yang lebih banyak dibanding dulu saat bekerja.

Sodikin tidak mempunyai karyawan di sini. Ia berjualan bersama istrinya. Rika berkata “gampang-gampang susah” untuk mencari karyawan. 

“Kalau nyari karyawan tuh gampang-gampang susah, ya. Ada yang jujur, ada yang nggak. Jadinya mendingan kalau sendiri,” kata Rika.

Mertua Sodikin juga membuka burjo di Bantul. Tetapi burjo milik Sodikin bukanlah cabang dari burjo mertuanya. Terkadang Rika harus membantu di burjo milik orang tuanya.

Rika merupakan lulusan strata satu jurusan manajemen. Ibu satu anak ini sempat bekerja sebagai guru madrasah ibtidaiyah (MI) di Kuningan selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian Rika bertemu dengan Sodikin lalu mereka menikah. Dari pernikahan mereka, lahirnya satu anak laki-laki pada 2017. Setelah si anak berumur enam bulan, pasangan ini langsung menuju Jogja untuk berwirausaha bersama dengan membuka warung burjo.

Setelah dirasa cukup, kami berpamitan dengan Sodikin dan istrinya sekitar pukul tiga sore dan pulang menyusuri panasnya Ring RoadSelatan Jogja. 

Tanggapan Dinas Terkait Mengenai Warung Burjo

Kami masih penasaran mengenai peran pemerintah terhadap burjo. Dengan wawancara yang sudah kami lakukan, para pemilik maupun penanggungjawab dari burjo merasa tidak diawasi maupun ditarik pajak oleh pemerintah.

Reporter Himmah Online pun berkunjung ke Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Sleman pada 7 November 2019. Kami bertemu Sri Wahyuni Budiningsih, selaku Kepala Seksi Pengembangan Usaha Mikro. Gedung kantor pada hari itu cukup ramai. 

Kami sempat menunggu dan mengisi daftar pengunjung sebelum mewawancarai Yuyun, sapaan Sri Wahyuni Budiningsih. Ia menjelaskan, dinas yang membina usaha terkait kuliner, spesifiknya warung makan adalah Dinas Pariwisata.

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah baru berusia dua tahun. Karena masih seumur jagung, mereka baru bisa melakukan updating data terkait usaha kecil dan menengah yang ada di Kabupaten Sleman khususnya. “Pendekatan yang kami lakukan selama ini belum menyentuh warmindo,” ujar Yuyun, sapaan Sri Wahyuni.

Yuyun menerangkan, usaha lain yang sudah dilakukan adalah dengan mendirikan Pojok UKM dan mengadakan workshop terkait kewirausahaan. Yuyun juga berharap, para pelaku usaha burjo segera mendaftarkan usahanya agar data-data terkait usaha burjo dapat dicatat dan disimpan. Sehingga tidak ada tumpang-tindih data antara instansi satu dengan yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah belum mempunyai data terkait warmindo yang ada di Kabupaten Sleman dan sedang dalam proses updating.

Ia tidak bisa menjelaskan secara luas tentang apa yang kami tanyakan. Ada rapat yang harus ia datangi saat kami berkunjung ke sana. Sehingga, informasi yang kami dapatkan hanya sedikit.

Pandangan Akademisi Terkait Aktualisasi Diri “Aa’” Burjo

Reporter Himmah Online berkunjung ke Fakultas Bisnis dan Ekonomi UII untuk bertemu salah satu dosen manajemen. Kami mewawancarai Jaya Addin Linando di ruang Markom FBE UII pada pukul 11.30. Kami langsung bertemu Addin, sapaan Jaya Addin Linando. 

Menurut Addin, ada banyak definisi suksesnya karir seseorang. Yang pertama adalah work-life balance. Seseorang akan merasa sukses berkarir jika punya waktu untuk keluarga. Juga bisa seimbang dalam menjalankan hobi, bertemu anak dan istri, dan mengembangkan potensi-potensi lainnya.

Kedua, apabila seseorang sudah mencapai financial security. Keuangan yang cukup menunjukkan bahwa ia sudah sukses. “Jadi saya nggak ngemis-ngemis, mau makan ya ada duit, beli baju ada duit, mau kontrak rumah ada duit. Security, aman”, ujar Addin.

Ketiga, financial achievement. Disini seseorang akan merasa apabila memiliki ukuran finansial tertentu. Ia harus mencapai goals tertentu agar dapat dikatakan sukses.

Selanjutnya adalah entrepreneurship. Seseorang akan merasa sukses berkarir ketika dia dapat melakukan hal-hal lain diluar pekerjaan yang ia lakukan. Berbisnis contohnya. Ia dikatakan sukses jika pekerjaan dan bisnisnya berjalan lancar.

Menurut Addin, “Aa” burjo sendirilah yang bisa mendefinisi karir suksesnya. Ia berkata, “Aa” yang bekerja dengan waktu cukup lama dapat diasumsikan dua hal. Pertama, merasa karirnya sukses-sukses saja, sehingga ia tidak menemukan alasan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai “Aa” burjo. Kedua, bertahan bekerja di burjo karena tidak ada pilihan lain. Hal ini memang umum terjadi pada dunia pekerjaan.

Orientasi orang juga berpengaruh terhadap pencapaiannya. “Kalau orangnya cuma punya orientasi, santai gitu kan, dikasih rokok aja udah seneng, ada kan yang seperti itu. Maka tidak sulit memenuhi kebutuhan kesuksesan karirnya. Selama dia dapat rokok, bisa main HP, kuota internet gak pernah habis, ada wifi, itu bagi mereka sudah sangat lebih dari cukup.”

Menurutnya, apabila dengan klasifikasi tersebut “Aa” burjo sudah merasa cukup, maka semakin beragam pula tipe-tipe “Aa” burjo. Efek dari beragamnya tipe “Aa” burjo ini akan berpengaruh pada penanganan tiap-tiap “Aa”. 

Jika kita lihat wawancara dengan “Aa” burjo di atas, beberapa karyawan memiliki cita-cita untuk membuka warung burjo sendiri. Hal ini dianggap wajar oleh Addin. Ia berkata, para “Aa” ini merasa bahwa mengelola burjo tidak serumit mengelola warung makan lainnya.

Dalam Teori Kebutuhan Maslow, terdapat lima tingkat pencapaian dalam aktualisasi diri. Tingkat terendah yaitu Physiological, tingkat berikutnya Safety, tingkat selanjutnya Social, lalu Esteem, dan puncaknya yakni Self Actualization. Tingkatan yang berada di posisi bawah merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia. Makin ke atas, makin kompleks pula kebutuhannya.

Addin mengatakan, tipikal karyawan burjo adalah tipikal individu yang tidak memerlukan kebutuhan Esteem. Mereka sudah merasa puas bila Physiological dan Safety telah terpenuhi. Sehingga mereka tidak memikirkan tentang gengsi yang dimiliki.

Physiological “Aa” burjo tentu akan sangat tercukupi. Ditambah, lingkungan kerja yang mendukung, salah satunya dengan banyak karyawan yang berasal dari daerah yang sama, maka hal ini tidak mungkin menghambat kerja mereka. 

Apabila “Aa-aa” ini bekerja dengan enjoy maka Physiological terpenuhi dan naik ke Safety. Safety yang dimaksud Addin adalah finansial yang dimiliki mereka. 

Apabila kebutuhan keamanan telah terpenuhi, maka sudah cukup bagi karyawan-karyawan burjo ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Soal Social “Aa” burjo, kita ketahui bahwa banyak “Aa” yang berasal dari Kuningan. Hal ini mempermudah untuk tiap individu dalam berinteraksi dan memberikan pengaruh baik.

Dengan tiga indikasi ini, “Aa” burjo tidak akan terhambat dalam bekerja karena merasa nyaman dengan lingkungannya. Karyawan yang dibina dengan tiga indikasi ini akan membentuk sistem bisnis yang memenuhi tiga indikasi ini.

Penulis: Monica Daffy

Reporter: Azizah Hafsah, Monica Daffy, Muhammad Prasetyo, Rivan Sodiq

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

*Liputan ini merupakan liputan kolaboratif bersama LPM Kognisia dan LPM Ekonomika

Pers Kampus: Jurnalisme Berbasis Kerakyatan, Bukan Berbasis Keuntungan

Pers kampus pasca 1998 (hingga kini) memang sedang berada di posisi yang ‘sangat menyakitkan hati’. Jika tahun-tahun sebelumnya pers kampus menjadi pujaan karena keberaniannya, semenjak pemerintah memberikan kebebasan pers, maka pers kampus berubah menjadi bayangan

Kebebasan pers membuat pers umum lebih berani untuk mengurai berbagai isu lokal hingga isu nasional dengan ruang gerak yang jauh lebih bebas daripada ruang gerak mahasiswa, sebab peran gandanya sebagai ‘Jurnalis Kampus’ (yang sering dipandang sebagai ‘Jurnalis Amatiran’, padahal memproduksi tulisan-tulisan yang sering membuat takut pemerintahan) sekaligus sebagai mahasiswa yang dituntut untuk segera ‘meninggalkan kampus’ (dibaca: ‘lulus’). Lalu, benarkah pers kampus telah dipinggirkan oleh pers umum?

Pers Kampus Seharusnya Lebih Dipercaya karena Tidak Ditunggangi Kepentingan, Baik Kepentingan Ekonomis Maupun Politis

Pers kampus patut berbangga sebab menjadi salah satu media (mungkin the one and only) dengan nilai objektivitas yang paling murni. Hal tersebut karena pers kampus berdiri secara independen (diolah oleh mahasiswa sendiri dengan bantuan dana dari kampus yang terkadang ‘sering hangus’), sukarela alias tidak digaji (satu-satunya gaji tertinggi untuk pengelola pers kampus adalah pengalaman, pahala, dan surga. Amin), dan tanpa ditunggangi kepentingan. 

Di satu sisi, hal ini terasa seperti sebuah kelemahan (sulit sekali menemui orang yang rela bekerja membanting tulang seharian dengan gaji pahala); namun di sisi lainnya, hal ini justru menjadi keuntungan bagi pers kampus. 

Kemandirian pers kampus dapat membuka kesempatan yang sangat lebar dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan bangsa. Sebab satu-satunya tujuan pers kampus adalah mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta melalui kata (sesuai dengan Mars Mahasiswa). 

Keuntungan inilah yang tidak dimiliki oleh pers umum. Sebab sekuat apapun pers umum ingin memperjuangkan keadilan; keuntungan tetap menjadi prioritas puncak bagi pers umum untuk menjamin kelangsungan hidup para pekerja sekaligus keluarganya. 

Menyajikan Berita Atas Dasar Demokrasi, bukan Atas Dasar Kepentingan Pribadi

Kemandirian dan ketulusan pers kampus dalam menyajikan berita sama sekali tidak mendapatkan keuntungan kecuali hanya untuk menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa pers kampus di Indonesia yang telah memperjuangkan kepentingan di pembuka dan penutup tahun 2019 lalu. 

Di pembuka tahun 2019 (sebenarnya dimulai sejak November 2018 dan diputuskan di Februari 2019), pers kampus Balairung Universitas Gadjah Mada mengungkap ‘kejadian menyakitkan’ (penyebutan istilah ini dilandasi oleh pernyataan Kapolda bahwa tidak ada tindakan perkosaan dan pelecehan) seorang mahasiswa ketika melaksanakan KKN di Maluku pada tahun 2017. 

Balairung (lebih tepatnya Citra Maudy dengan judul tulisan Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan) memilih tetap mengungkap kebenaran ke khalayak ramai, meskipun hal tersebut dapat mempertaruhkan nama besar almamater kampus. Tak hanya itu, sebab berita heboh tersebut, penulis harus rela dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. 

Di penutup tahun 2019, lagi-lagi pers kampus menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat lewat gerakan serta perlawanan yang bertajuk Reformasi Dikorupsi. Hampir seluruh anggota pers kampus (seperti LPM Siar Univesitas Negeri Malang dan LPM Perspektif Universitas Brawijaya) se-nusantara ikut turun ke jalanan-jalanan di penjuru kota ibu pertiwi demi kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Kebijakan-kebijakan dari pemangku kepentingan yang dianggap merugikan rakyat dibela mati-matian oleh aliansi mahasiswa seluruh Indonesia. Tak hanya itu, beberapa mahasiswa harus rela meregang nyawa demi senyum bahagia Negerinya (Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Randy, dan Yusuf Kardawi; terima kasih atas cinta, setia, jiwa, dan raga yang tak akan pernah sia-sia). 

Akhir kata; di tengah digitalisasi seperti saat ini, sanggupkah kita kehilangan pers kampus yang kesetiaannya tak pernah hangus? Mari sepakat berkata, “Tidak! Pers Kampus akan tetap baik-baik saja dan akan terus seperti itu!”.

Pers Kampus Sudah Seharusnya Menjadi Kritikus Kampus, Bukan Iklanus Kampus

Pemahaman yang sering disalahartikan oleh sebagian orang adalah mengkritik berarti menghujat, mencacat, bahkan melaknat; padahal hakikat makna dari kata ‘mengkritik’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengupas yang terkadang disertai sebuah uraian tentang baik dan buruk suatu hal (baik karya, pendapat, dan sebagainya). 

Oleh sebab itu, pemahaman yang kurang tepat tentang hakikat ‘mengkritik’ perlu diluruskan bahwa kritikan diajukan bukan atas dasar kebencian, tetapi justru atas dasar kepedulian. Kritikan tak melulu tentang keburukan dan kesalahan, tetapi kritikan juga perihal tentang kebaikan dan keunggulan. 

Tiada keburukan yang tanpa kebaikan, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh; seburuk-buruknya kotoran sapi, ia tetap bermanfaat sebagai pupuk. Begitu juga seindah-indahnya mawar, ia tetap menjanjikan luka lewat durinya. Sederhananya: manusia (termasuk segala hal yang mengelilinginya; seperti lingkungan, pendidikan, dan Negara) memang perlu dikritik agar dapat dengan jelas membedakan antara yang layak dan yang balak ‘musibah’.

Setiap hal memiliki kritikusnya masing-masing. Sastra memiliki kritikus sastra, politik memiliki kritikus politik, dan kampus juga memiliki kritikus kampus yang masyhur dikenal dengan sebutan “Pers Kampus”. 

Kampus Perlu Dikritik Agar Tetap (Selalu) Baik

Pers kampus menjadi satu di antara hal yang paling ditakuti oleh birokrasi kampus, sebab dari pers kampus lah citra birokrasi kampus tercermin. Pers kampus tidak perlu ‘merasa bersalah’ atau sungkan karena kritikannya terhadap kampus (sebab pendanaan penerbitan majalah dan sebagainya bersumber dari kampus), sebab kampus yang berani dengan tangan terbuka menerima kritikan akan berpotensi menjadi kampus idaman. 

Posisi pers kampus dalam lingkungan akademik memang sudah seharusnya menjadi kritikus, bukan iklanus. Kampus telah diiklankan oleh bagian humas. Jika pers kampus ikut-ikutan menjadi iklanus, maka humas akan kehilangan bidang garapnya. Oleh sebab itu, pers kampus sebagai kritikus dan humas sebagai iklanus akan menciptakan keseimbangan di dalam lingkungan akademis. 

Peran pers kampus dalam menyajikan uraian informasi tentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan di dalam birokrasi kampus, dapat membantu mahasiswa-mahasiswa yang kurang literate terhadap konsep dan dampak yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan tersebut. Mahasiswa sebagai agent of change diharuskan mampu menelaah lebih jauh perihal keharusan dan kelayakan sebuah kebijakan. 

Beberapa pertanyaan mendasar yang dapat diajukan untuk menelaahnya seperti: jika kebijakan tersebut baik, apakah memang perlu dilakukan? Sebab tidak semua hal baik harus dilakukan (misalnya sedekah uang bagi yang tidak punya uang adalah hal yang perlu dihindari), jika kebijakan tersebut perlu dilakukan, apakah kondisi sosio-kultural kampus cocok untuk melaksanakan kebijakan tersebut? 

Sebab peribahasa telah menyebutkan lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, dan beberapa pertanyaan mendasar lainnya (tidak mungkin disebutkan semuanya di dalam tulisan ini). 

Pers Kampus Itu Penjaga, Bukan Hanya Sekadar Penyedia Berita

Setiap hal butuh dijaga, sebab tidak ada hal yang benar-benar aman di dunia ini. Bahkan urusan iman saja belum tentu aman. Pers kampus sebagai media informasi kampus dituntut untuk tidak hanya sekadar menyajikan berita, tetapi juga menjaga situasi yang tidak ideal di kampus melalui bahasa. 

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Antonio Gramsci dalam Nezar Patria (1999) bahwa media dapat menjadi sarana keabadian kekuasaan sekaligus alat resistensi kekuasaan, sehingga pers kampus perlu merasa resah ketika dihadapkan dengan situasi-situasi kampus yang mengomersialisasikan dunia pendidikan (meminjam istilah Bung Wisnu Prasetyo Utomo dalam tulisannya). 

Keresahan-keresahan yang tertuang dalam sebuah tulisan itulah yang mampu menyuarakan hal-hal yang tidak bersuara, entah karena terpendam atau memang sengaja dibungkam!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.