Beranda blog Halaman 57

15 Agustus 1945: Golongan Muda Berhadapan Dengan Golongan Tua

Pasca Jepang runtuh, terjadi perdebatan sengit antara Golongan Muda dan Golongan Tua dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia

Himmah Online, Yogyakarta – Setelah Jepang menyerah pada sekutu tanggal 14 Agustus 1945, status Jepang tidak lagi memerintah Indonesia tetapi hanya berfungsi sebagai penjaga, yakni menjaga situasi, kondisi seperti pada masa perang dan adanya perubahan-perubahan di Indonesia. Sampai Sekutu mengambil alih kekuasaan atas semua wilayah jajahan Jepang. Tentu saja kemerdekaan tidak mungkin bisa didapat dari Jepang .

Pada tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda dipimpin Chaerul Saleh, setelah berdiskusi dengan Tan Malaka, mengadakan rapat untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Salah satu hasilnya yaitu mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan  malam itu juga atau paling lambat 16 Agustus 1945.

Sjahrir kemudian menemui Soekarno dan Hatta dengan membawa hasil rapat tersebut. Awalnya Soekarno menolak keras petrmintaan Sjahrir tersebut karena Bung Karno masih menunggu keputusan Jepang. Ini sangat berbeda denga golongan pemuda, yang pada saat itu menginginkan merdeka lebih cepat tanpa bantuan Jepang. Namun, karena didesak Sjahrir, Bung Karno pun berjanji mengumumkan proklamasi pada tanggal 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir pun menginstruksikan kepada pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang untuk bergerak lebih cepat.

Namun, perihal pelaksanaan kemerdekaan, Sjahrir mendeteksi ketidakseriusan Soekarno dalam memerdekakan Indonesia pada saat itu. Terbukti, pada pukul lima sore 15 Agustus 1945, ribuan pemuda telah menunggu dan bersiap-siap mendengar kabar proklamasi dari Soekarno dan Hatta. Alhasil, pada pukul enam kurang beberapa menit Soekarno mengabarkan penundaan proklamasi.

Hal tersebut membuat marah para pemuda  yang menjadi pengikut Sjahrir. Namun, batalnya diumumkan proklamasi tak sempat dikabarkan di Cirebon. Para pemuda Cirebon yang basisnya mendukung Sjarir, dibawah pimpinan dokter Soedarsono, pada hari itu mengumumkan proklamasi versi mereka sendiri.

Pada malam itu pula, kira-kira pukul 10 malam, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan Wikana mengancam Soekarno jika tidak mengumumkan kemeredakaan saat itu juga, maka akan terjadi pertumpahan darah esok harinya. Akhirnya Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan tokoh golongan tua  lainnya, seperti Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusmasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Hasilnya masih sama, penolakan untuk kemerdekaan saat itu juga. Hingga pada akhirnya, golongan muda mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.

Indonesia mengalami Vacum of Power (kekosongan kekuasaan) akibat kekalahan Jepang. Sebelumnya kemerdekaan telah dijanjikan oleh Jepang kepada Indonesia. Lantas, siapa yang memberikan kemerdekaan Jndonesia jika Jepang sudah dikalahkan? Jika kemerdekaan tidak diproklamirkan, maka pada 15 Agustus 1945, golongan muda dan Soekarno-Hatta belum bisa mengambil keputusan. Pasalnya, kemerdekaan yang dijanjikan oleh jepang akan diberikan pada 27 Agustus 1945, dan Soekarno mencoba menaati janji itu. Hatta juga masih meragukan berita yang dibawa oleh Syahrir.

Golongan tua yang merupakan orang-orang yang cukup koperatif kepada tentara jepang, enggan untuk kemerdekaan segera diproklamirkan. Janji yang telah diberikan, membuat para golongan tua tak ingin terburu-buru. Selain itu, kedudukan Jepang di Indonesia masih cukup kuat, dan para golongan tua tak ingin ada pertumpahan darah terjadi.

Lain halnya dengan golongan tua, golongan muda merasa indonesia sudah cukup kuat untuk menyatakan kemerdekaannya. Wikana sebagai perwakilan golongan muda mendesak Bung Karno untuk mengumumkan kemerdekaan. Mereka pun semakin geram dengan keputusan golongan tua yang dinilai terlalu bergantung dengan janji yang diberikan jepang. Akhirnya, mereka menginisiasi untuk melakukan penculikan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Reporter: Tengku Irfan Megat & Niken Caesanda Rizqi

Editor: Audy Muhammad Lanta

14 Agustus 1945: Jepang Pamit Dari Perang

Dua kota Kekaisaran Jepang hancur lebur, terciumlah aroma bau busuk dan penderitaan yang menghantui pemerintah Jepang pada saat itu.

Himmah Online, Yogyakarta – Pada tanggal 14 Agustus, Soekarno, Hatta, serta Radjiman Wedyodiningrat kembali ke Indonesia. Sebelumnya mereka diundang oleh Jenderal Terauchi ke Saigon, Vietnam dan mereka membawa janji kemerdekaan yang diberikan Jepang. Hal tersebut dikarenakan keaadan Jepang yang sudah terdesak hingga memberi pernyataan resmi pada rakyat terkait penyerahan diri tanpa syarat.

Kemudian pada malam 14 Agustus 1945, berita seputar kekalahan Jepang telah sampai ke telinga para Pemuda Indonesia. Meskipun tentara Jepang pada saat itu menyita hampir semua radio yang dimiliki oleh rakyat, tetapi tetap saja kabar kekalahan Jepang sampai di telinga Pemuda Indonesia.

Gerakan Antifasis Perlawanan anti Jepang-lah yang berhasil menyembunyikan sejumlah radio. Kelompok yang di isi oleh Syahrir, Amir Sjarifoedin, dan yang lainnya menyembunyikan dengan sangat baik radio-radio tersebut, sehingga tetap dapat menerima kabar-kabar dari luar.

Kemudian terdengarlah di radio, bahwa pemerintah Jepang menyerah kepada pasukan sekutu, di kapal USS Missouri. Pada saat itu dua kota Kekaisaran Jepang hancur lebur. Manusia, batu-batu beton, hewan, tumbuh-tumbuhan dan seluruh komponennya dibalut api. Sehingga, dari tragedi tersebut, terciumlah aroma bau busuk dan penderitaan yang menghantui Jepang saat itu. Hal tersebutlah, yang membuat Jepang tak butuh waktu banyak untuk memohon ampun pada pihak sekutu.

Mendengar hal tersebut, Ahmad Aidit langsung bergegas untuk menemui Wikana di Jakarta. Ia mengusulkan untuk mengadakan pertemuan dan langsung disetujui oleh Wikana.

Esoknya, di pagi hari, tanggal 15 Agustus 1945, berkumpul lah sejumlah pemuda di belakang areal Laboratorium Bakteriologi. Pertemuan ini dipimpin oleh Chaerul Saleh, dan kemudian dihadiri Djohan Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio Sastrotomo, Suroto Kunto, Eri Sudewo, Syarief Thayeb, Wahidin Nasution, Nasrun, Sukarni, Karimoedin, Adam Malik, dan Darwis.

Orang-orang muda pada saat itu, rela untuk mati demi sebuah kemerdekaan Indonesia. Sejak sore 14 Agustus 1945, para pemuda tersebut mulai bekerja demi sebuah proklamasi. Mereka rela melakukan apapun, termasuk “menculik” sekalipun.

Editor: Hana Maulina Salsabila

13 Agustus 1945: Telegram Kekalahan Jepang Semakin Meluas

Kesialan Jepang, dalam menutupi kekalahannya dari sekutu. Tersebar luas di telinga para pemuda Indonesia

Himmah Online, Yogyakarta – Pada tanggal 13 Agustus 1945, telegram resmi dari Tokyo pun diterima di Bandung. Itu semua tidak terlepas dari kejelian para operator Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT). Akhirnya berita tersebut disebarkan melalui telegram yang bertujuan untuk mendesak pemimpin bangsa, Soekarno-Hatta, mengumumkan kemerdekaan.

Jepang telah kalah melawan pihak sekutu, namun saat itu Jepang berusaha untuk menutupi kekalahannya yaitu dengan cara memperlambat penyebaran berita itu ke wilayah Asia.

Kesialan untuk Jepang datang pada 12 Agustus. Para operator PTT dapat mengetahui berita penyebaran itu karena pesawat-pesawat penerima di Bandung yang tidak disegel.

Para pemuda terus mendesak pemimpin bangsa untuk secepatnya mengumumkan kemerdekan agar tidak kehilangan momentum dan tidak terkesan kemerdekaan merupakan ‘hadiah’ dari Jepang.

Soekarno, Hatta, Radjiman, dan dokter pribadi Soekarno, dr. Soeharto, kembali ke Indonesia pada 13 Agustus 1945. Mereka menumpang pesawat fighter-bomber bermotor ganda.

73 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki hancur total akibat bom atom yang dijatuhi oleh pihak sekutu. Sedikitnya, 129.000 jiwa gugur akibat reaksi kimia dari bom atom yang menggunakan Tri Nitro Toluen (TNT) itu. Semenjak kejadian itu posisi Jepang dalam Perang Asia Pasifik semakin terdesak.

Reporter: M. Billy Hanggara

Editor: Audy Muhammad Lanta

12 Agustus 1945: Titik Terang Kemerdekaan Indonesia

Pertemuan, pembahasan, dan keinginan Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi Rakyat Indonesia.

Himmah Online, Yogyakarta – Tepat pukul 10.00, pada 12 Agustus 1945 Jendral Terauchi menemui Sukarno, Hatta, dan Radjiman. Sukarno, Hatta, dan Radjiman mengenakan jas panjang yang dijahit oleh ibu-ibu di Kedutaan Jepang.

Setelah sempat transit di Singapura rombongan itu terbang kembali menuju Saigon (sekarang Ho Chi Minh City), Vietnam. Lantaran Saigon sedang banjir pada saat itu, pesawat mereka dengan sangat terpaksa mendarat darurat di lapangan udara kecil, Rontan. Dari kota kecil ini, mereka melanjutkan perjalanan ke Da Lat, kota sejuk di dataran tinggi Langbian, jaraknya sekitar 300 kilometer ke arah timur laut Saigon.

Pada saat pertemuan tersebut. Terauchi menyatakan keinginan Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, sebagai sebuah hadiah. Dan juga pertemuan  tersebut dilatar belakangi adanya ancaman sekutu, bahwa Jepang akan mengalami kehancuran total, dikarenakan pemboman di dua kota penting Jepang yang merenggut ribuan jiwa

Soekarno-pun sempat bertanya, kapan berita itu bias disampaikan kepada rakyat Indonesia. “Terserah kepada tuan-tuan di Panitia Persiapan. Kapan saja boleh. Itu sudah menjadi urusan tuan-tuan,” ucap Terauchi.

Pertemuan yang berlangsung di Siagon, Vietnam. Membicarakan beberapa hal yang meliputi; pertama, pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kedua, untuk mengemban pelaksanaan kemerdekaan tersebut, maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ketiga, pelaksanaan kemerdekaan akan segera dilakukan setelah semua persiapan selesai dilakukan. Namun, kemerdekaan tidak langsung diberikan sepenuhnya, melainkan secara berangsur-angsur dari pulau Jawa, disusul pulau-pulau lainnya. Dan yang keempat, wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.

Pertemuan ini merupakan sidang pertama PPKI yang membahas bagaimana Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan-nya. Di pertemuan tersebut, telah disepakati bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dibacakan 24 Agustus 1945.

Reporter: Fatimah Intan Kurniasih

Editor: Audy M. Lanta

11 Agustus 1945: Tiga Tokoh Kemerdekaan Tiba di Dalat

Jendral Terauchi, dan empat syarat Kemerdekaan Indonesia.

Oleh: Hana Maulina Salsabila

Himmah Online, Yogyakarta – Pada tanggal 11 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat tiba di Dalat. Sebelumnya, Soekarno, Hatta, dan Radjiman tiba pukul tujuh malam di Saigon. Saat itu barang-barang yang ada di dalam pesawat berserakan karena adanya guncangan pada pesawat yang ditumpangi.

Sebelum tiba di Dalat, ketiga tokoh ini menginap semalam di Singapura dan semalam di Sagon. Setelah sampai Sagon, mereka kemudian dibawa ke Dalat, kemudian bertemu dengan Jenderal Terauchi, Panglima seluruh Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara.

Sesampainya di Dalat, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat tidak mengetahui apa yang akan terjadi keesokan harinya. Telah diketahui pada tanggal 6 Agustus 1945, bom di Hiroshima dan Nagasaki jatuh di Jepang. Hal tersebut menyebabkan Jepang dalam keadaan terdesak hingga akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

(Peristiwa-peristiwa di Sekitar Proklamasi 17-8-1945) Jenderal Terauchi selaku Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara sekaligus Wakil Pemerintah Pusat di Tokyo menjajikan kemerdekaan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Hingga akhirnya pada pertemuan tersebut, Soekarno bertanya kepada Jenderal Terauchi mengenai kapan kemerdekaan bisa diumumkan pada rakyat Indonesia. Jenderal Terauchi pun menjawab bahwa kemerdekaan dapat diumumkan kapan saja dan tergantung kapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan mengumumkannya.

Sebelumnya Jendral Terauchi sempat menyampaikan empat hal, diantaranya:

1.    Pemerintahan Jepang memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

2.    Untuk melaksanakan kemerdekaan, dibentuklah PPKI sebagai pengganti BPUPKI.

3.    Pelaksanaan kemerdekaan segera dilakukan setelah persiapan selesai, dan secara berangsur-angsur dari pulau Jawa, kemudian disusul pulau-pulau berikutnya.

4.    Wilayah Indonesia meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.

5.    Tanggal 7 Agustus 1945, diumumkannya pembentukan PPKI, yang diketuai oleh Soekarno dan diwakili oleh Hatta.

Reporter: Hana Maulina Salsabila

Editor: Audy M. Lanta

10 Agustus 1945: Siaran Radio Ilegal, Awal dari Kemerdekaan

Radio berwarna gelap,disembunyikan di kamar tidurnya dan dimulai persiapan kemerdekaan Indonesia oleh para pejuang bawah tanah.

Himmah Online, Yogyakarta – Merdeka.com: ‘SBY tetapkan 10 Agustus sebagai Hari Veteran Nasional’, 10 Agustus ditetapkan sebagai Hari Veteran Nasional melalui Keputusan Presiden No. 30 Tahun 2014.

“Hari yang bersejarah tepatnya 10 Agustus, yang setelah presiden pertama kita Bung Karno menyampaikan ke hadapan rakyat Indonesia. Waktu itu 10 Agustus sebagai hari veteran, maka telah saya kukuhkan melalui peraturan presiden tertuis dan resmi bahwa 10 Agustus menjadi Hari Veteran Indonesia,” kata SBY di Peringatan Hari Veteran Nasional, di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (11/8).

Menengok 10 Agustus 1945 , tepat 70 tahun yang lalu Sutan Sjahrir, salah satu penggerak kemerdekaan RI telah mendengar berita yang dikumandangkan sebuah stasiun radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Hal ini menjadi sebuah berita baik oleh para tokoh, karena para tokoh nasional pada saat itu memang sedang menunggu saat yang tepat untuk meraih kemerdekaan.

Berita dari stasiun radio itu tidak didapat Sjahrir dengan mudah, mengingat semua siaran radio yang ada di Indonesia ketat diawasi dan dikontrol oleh Jepang. Sjahrir dapat mendengar berita kekalahan Jepang tersebut. Sjahrir memiliki satu unit radio berwarna gelap dan tidak tersegel yang artinya ilegal. Radio tersebut disembunyikan Sjahrir di kamar tidurnya. Menggunakan radio itulah, Rosihan mengungkapkan, bahwa Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang.

Atas informasi yang ia miliki, Sjahrir menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengantarkan informasi tentang kekalahan Jepang kepada Hatta. Hatta pada saat itu baru saja mendarat dari Dalat, Vietnam. Bersama Soekarno, ia diberikan janji bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan Indonesia. Melalui informasi itulah, Sjahrir hendak memberi peringatan: lupakan janji Jepang, karena Jepang sendiri sudah keok, dan segeralah nyatakan kemerdekaan tanpa embel-embel Jepang.

Selain itu, Sutan Sjahrir juga menghubungi penyair Chairil Anwar yang kemudian meneruskan berita tersebut di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Sjahrir. Para pejuang bawah tanah pun bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Setelah itu, dimulailah persiapan kemerdekaan Indonesia oleh para pejuang bawah tanah.

Repoter: Niken Caesanda Rizqi.

Editor: Audy M. Lanta

9 Agustus 1945: Nagasaki Hilang Dari Peta Dunia

‘Bock’s Car’ yang membawa ‘Fat Man’, menghancurkan seluruh isi kota Nagasaki.

Himmah Online, Yogyakarta – 9 Agustus 1945, pukul 11.02 waktu Jepang, pesawat ‘Bock’s Car’ yang membawa bom atom ‘Fat Man’, dikemudikan oleh Mayor Charles W. Sweeney, berhasil menghilangkan Nagasaki dari peta dunia.

Nagasaki, pada waktu itu masuk dalam daftar kota pertama yang akan dibom oleh sekutu. Namun, kota tersebut sempat dicoret dalam ,pemilihan kota kedua karena medannya yang terlalu berbukit (tak memaksimalkan efek bom: tirto.id- Mengapa Sekutu Memilih Hiroshima & Nagasaki untuk dibom?)

Muncullah opsi untuk menghancurkan Yokohama, yang mana pada saat itu merupakan kota industri, yang menampung banyak orang. Namun, Yokohama dicoret dari daftar pengeboman menjelang akhir Juli. Kemudian, para jenderal bermufakat bahwa target selanjutnya adalah Kyoto. Ibukota lama Jepang tersebut memiliki penduduk yang padat, berjumlah lebih dari 1 juta jiwa. Penduduk Kyoto rata-rata merupakan pelarian kota lain yang terkena imbas perang.

Kyoto juga menjadi pusat kebudayaan Jepang pada saat itu. Kota tersebut menjadi rumah bagi 2000-an lebih kelenteng Buddha dan tempat suci orang Sinto. Monumen bersejarah Kyoto Kuno termasuk situs warisan dunia. Alhasil, Kyoto otomatis menjadi kota paling favorit anggota Komite Target untuk dihancurkan.

Dahulu, Deklarasi Postdam merupakan ultimatum yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS) untuk Jepang pada saat itu. Tidak main-main, AS pun menyiapkan sebuah prosedur penghancuran besar-besaran untuk melenyapkan Jepang dari peta dunia.

Komite Target mempertimbangkan untuk menargetkan instansi militer yang ada di teluk Jepang, gunanya agar tidak mengorbankan banyak rakyat sipil. Namun, ahli nuklir berasumsi, bahwa pertimbangan komite pada saat itu dinilai karena kurangnya keseriusan AS dalam menghancurkan instansi militer Jepang.

Reporter: Audy Muhammad Lanta

Editor: Niken Caesanda Rizqy

8 Agustus 1945: Kekalahan Telak Jepang

Jepang mundur tanpa syarat, Hiroshima dan Nagasaki seakan hilang dari peta dunia.

Himmah Online, Yogyakarta – Pada tanggal 8 Agustus 1945, Uni Soviet yang saat itu dipimpin oleh Stalin, telah mengumumkan dan menyatakan perang terhadap Jepang. Pasukan Soviet kemudian menyerang Manchuria, yang terletak di timur Cina. Soviet dan Jepang sebelumnya telah menandatangani perjanjian non-agresi. Namun, setelah sekutu mengebom Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, Jepang-pun bersiap untuk menyerah. Soviet menggunakan kesempatan ini untuk merebut beberapa wilayah kekuasaan Jepang. Disusul-lah, pengeboman selanjutnya di kota Nagasaki, pada tanggal 9 Agustus 1945. Bom tersebut meledak dengan sangat dasyat, hingga diperkirakan menelan kurang lebih 70.000 sampai 80.000 jiwa penduduknya.

Kaisar Hirohito (Showa) kemudian menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. (“Pembekuan Politik” dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo, hlm.114-115) Penyerahan tanpa syarat tersebut, membuat pemimpin Indonesia pada saat itu kebingungan lantaran Jepang adalah kandidat terkuat dalam memenangkan peperangan pada saat itu. Ambruknya pertahanan dan komunikasi Jepang pada saat itu, menjadi bulan-bulanan pertengahan tahun 1945, yang mengakibatkan suatu perubahan drastis dalam lajur persiapan kemerdekaan Indonesia.

Sebelumnya terbentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggotakan 62 orang yang diresmikan pada tanggal 25 Mei 1945, dengan agenda pembicaraanya yang membahas konstitusi atau undang-undang dasar dan ideologi bagi negara Indonesia yang nantinya akan merdeka.

Latar belakang pemikiran para anggota pada saat itu yang didominasi oleh orang jawa atau yang sudah lama tinggal dijawa, ditandai dengan penolakan liberalisme dan individualisme “Barat-kebaratan”. Pembelaan orang dari luar jawapun, seperti Hatta dan Moh. Yamin, untuk hak-hak daerah dan perseorangan terhadap pusat menjadi tidak efektif karena kalah dalam jumlah.

Reporter: Audy M. Lanta

Editor: Niken C. Rizqi

Hereditary, Teka-teki yang Tidak Mengharapkan Jawaban

Judul: Hereditary

Rilis: 27 Juni 2018

Sutradara: Ari Aster

Rumah Produksi: A24

Genre: Drama, Misteri, Horror

Hereditary, Teka-teki yang Tidak Mengharapkan JawabanRabu, 24 Januari 2018, sekitar pukul 11.30 malam waktu setempat kawasan Park City, Utah, Amerika Serikat masih ramai dipenuhi pengunjung. Saat itu, di sana sedang berlangsung Festival Film Sundance 2018. Orang-orang memenuhi Egyptian Theatre, menyaksikan film yang akan ditayangkan. Sundance menjadi ajang unjuk diri bagi para sineas, baik yang masih baru ataupun yang sudah melanglang buana. Tak terkecuali Ari Aster, dengan debut film feature pertamanya, Hereditary.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 malam. Para penonton yang terdiri dari masyarakat dan para pegiat film pun sudah memenuhi kursi bioskop. Lampu dimatikan, dan layarpun dibuka. Film diawali dengan kamera mengarah ke sebuah rumah pohon. Kemudian mulai beralih, berputar, memperlihatkan seluruh ruangan seperti sebuah ruang kerja, lalu berhenti dan menyoroti sebuah miniatur rumah. Setting berpindah ke sebuah ruang pertemuan dalam suatu pemakaman. Adalah Annie Graham (Toni Collette) yang sedang berdiri di sebuah mimbar, dan memberikan pidato untuk mengenang almarhum ibunya, Ellen.

Tidak ada yang janggal di menit-menit awal film ini. Para penonton mulai bertanya-tanya,. penonton belum langsung disuguhi dengan adegan tangis haru, tidak juga langsung disuguhi ekspresi heboh dari Toni Collette seperti yang ditampilkan pada trailernya. Setidaknya belum. Ari Aster sang sutradara, tidak ingin terburu-buru dalam hal membangun ketakutan penonton. Menit-menit awal film diputar, tidak ada efek kejutan yang diberikan.

Film terasa sangat lambat, namun itu bukan tanpa alasan. Film ini seperti sebuah teka-teki. Para penonton harus mengikuti setiap premis yang disajikan. Banyak sekali detail yang ditunjukkan untuk mengungkap misteri dalam film ini. Tidak banyak adegan jumpscare dalam Hereditary. Ketakutan penonton bukan serta merta karena hantu yang muncul secara tiba-tiba, bukan karena adegan suasana-hening-kemudian-muncul-setan-dari-belakang, dan bukan juga karena sound effect yang menyayat-nyayat.

Ekspresi yang ditunjukkan oleh para pemain dalam film ini mampu memancing rasa takut dan penasaran penonton. Ekspresi ketakutan Annie yang dimainkan oleh Toni menjadi salah satu pusat kengerian. Kita akan menemukan beberapa adegan, dimana wajah Annie direkam secara close-up sedang menganga ketakutan atau bahkan hanya melamun saja. Hal tersebut menjadi poin tambahan, lantaran detail-detail seperti kerutan-kerutan, wajah yang pucat, menjadi terlihat jelas. Penggunaan tone yang sedikit lebih gelap juga membuat suasana dalam film terasa muram. Selain itu scoring yang dimainkan oleh Colin Stetson mampu membuat penonton merasa gelisah dan tidak tenang. Dengan perpaduan-perpaduan tersebut, menjadikan rasa takut yang dihasilkan lebih alami. Sekali lagi, premis demi premis yang diberikan, penonton belum menemukan setan dengan dandanan yang seram.

Seperempat film berjalan, tensi mulai naik. Annie harus kehilangan anak perempuannya Charlie (Milli Saphiro) karena kecelakaan. Setelah itu kehidupan Annie, suaminya Steve (Gabrielle Byrne), dan anak pertamanya Peter (Alex Wolff), menjadi tidak tenang. Semakin banyak peristiwa yang tidak bisa dijelaskan akal sehat kita.

Keluarga tersebut merasa dikejar oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui asalnya. Pada momen ini, para penonton akan merasakan betapa depresinya Annie. Bagaimana tidak, setelah kehilangan ibunya, kini ia juga harus kehilangan anak perempuannya. Ditambah sebagai seorang artis miniatur yang akan melangsungkan pameran, ia juga dikejar deadline.

Drama keluarga yang terjadi menjadi hal yang menarik, dalam film-film pendek yang dibuat oleh Ari sebelumnya (The Strange Thing About The Johnsons dan Munchausen), ia menghadirkan sisi kelam dari sebuah keluarga. Dalam Hereditary, ia hadirkan premis yang lebih gelap dari sebelumnya. Tanpa Annie sadari, ibunya memiliki kegiatan-kegiatan yang ia tidak ketahui. Kejadian-kejadian buruk yang dialami Annie sebelum-sebelumnya menjadi benang merah yang kini tidak dapat ia hindari. Akhir-akhir ini baru saja ia sadari bahwa ada yang salah dengan apa yang sudah dilakukan ibunya selama ini.

Adegan di meja makan menjadi sebuah adegan paling emosional. Emosi yang Annie pendam selama ini, ia luapkan semua kepada anaknya Peter saat makan malam. Peter pun memiliki masalah yang ia sendiri pun tidak mengerti. Alih-alih mencoba untuk menghiraukan hal tersebut, Peter justru jatuh ke dalam delusi yang ia buat sendiri, dan akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tiap anggota keluarga di sini memiliki permasalahan yang kompleks, namun Steve di sini mampu menjadi sosok paling stabil di antara semua anggota keluarganya. Steve mencoba untuk mengendalikan dan berpegang teguh pada akal sehatnya, perannya di sini menjadi penyeimbang di kala kekacauan yang sedang terjadi pada keluarganya.

Hereditary menjadi film horor dengan konsep yang segar dua tahun terakhir ini. Kita akan teringat dengan film seperti The Killing Of The Sacred Deer (2018), The Witch (2016), ataupun film Get Out (2017). Menurut saya, film ini mencoba menghadirkan horor yang lebih realistis tanpa harus menampilkan sosok hantu yang menyeramkan ataupun adegan jumpscare murahan. Semua ketakutan dibangun dengan perlahan sampai di akhir, tensi dinaikkan menuju maksimal (yang akhir-akhir ini kita tahu dengan sebutan slow burn). Meskipun begitu, bagi sebagian penonton akan sedikit kecewa dengan ending-nya yang tidak biasa dan tidak umum. Selain itu beberapa misteri tidak terdapat jawabannya dalam film, sehingga penonton akan sering bertanya-tanya.

Tidak ada pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Kalau pun dipaksakan ada, pesan yang bisa diambil adalah: Karma itu nyata dan bisa jadi mengerikan. Ari Aster nampaknya memang tidak ingin mengedukasi penontonnya. Ia tidak ingin memberikan kesimpulan, “bahwa semua akan baik-baik saja”. Tidak. Ia tidak hanya ingin menakut-nakuti penonton, tidak seremeh itu. Lebih jauh lagi, Ia ingin menanamkan dalam benak penonton jika, “semuanya tidak akan baik-baik saja”.

Selain itu, ini bukanlah film yang bisa ditonton dengan anak-anak. Karena banyak adegan yang mengandung kekerasan, gory, dan memperlihatkan konsumsi obat-obatan terlarang. Lagipula, orang tua mana yang ingin mengajak anaknya menonton film horor seperti Hereditary.

 Jangankan anak-anak, orang tuanya pun belum tentu bisa tidur tenang setelah menonton film ini.

Bangku Pendidikan Tanpa Uang

Judul             : Hindi Medium

Genre             : Comedy-drama

Sutradara        : Saket Chaudhary

Pemeran         : Irrfan Khan, Saba Qamar, Dishita Sehgal, Deepak Dobriyal

Produksi         : Dinesh Vijan, Bhushan Kumar, Krishan Kumar

Tanggal rilis    : 19 Mei 2017

Bahasa            : Hindi

Durasi             : 132 menit

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk pendidikan yang akan ditempuh buah hati mereka. Apapun akan dilakukan oleh orang tua agar masa depan anaknya sukses dan cemerlang. Begitu pula dengan Raj Batra (Irrfan Khan) dan Meeta (Saba Qamar) yang digambarkan dalam film berjudul ‘Hindi Medium’ ini.

Sudah tidak asing bagi dunia perfilman untuk menyuguhkan film bertema pendidikan. Saket Chaudhary sebagai sutradara sekaligus penulis Hindi Medium mencoba untuk memberikan sebuah fenomena yang jarang terjadi di dunia perfilman ini.

Berbeda dengan film-film bertema pendidikan yang lain, Hindi Medium mengangkat perjuangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah elite di Delhi, India. Hindi Medium dibuka dengan pertemuan Raj Batra dan Meeta saat mereka masih remaja. Saat itu Raj yang sedang membantu ayahnya sebagai penjahit, jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Meeta yang datang bersama ibunya.

Tidak mudah bagi Raj untuk mendapat Meeta, namun akhirnya mereka menikah dan memiliki seorang putri kecil yang manis. Raj merupakan seorang lelaki yang pekerja keras dan sederhana, berbeda dengan istrinya—Meeta yang ambisius dan ingin melakukan segala hal dengan sempurna. Salah satunya adalah masalah pendidikan putri kecil mereka, Pia Batra (Dishita Sehgal).

Berasal dari keluarga penjahit, Raj kemudian menjadi seorang pengusaha sukses dalam bidang pakaian. Meskipun sudah memilikii kekayaan namun mereka tetap hidup dalam lingkungan desa yang sederhana. Melihat lingkungan mereka tinggal, tiba-tiba Meeta ingin pindah ke perumahan elite, berkumpul dengan orang-orang yang ia rasa satu derajat dengan mereka. Awalnya Raj tidak setuju, dia sudah menganggap tetangga seperti keluarga. Sayangnya keinginan Meeta sudah bulat dan sebagai suami yang terlalu mencintai istrinya, dia tidak pernah menolak permintaan Meeta.

Meeta berandai-andai bahwa berpindahnya mereka pindah ke lingkungan elite akan membuatnya bahagia, ternyata tidak seratus persen menjadi nyata. Keluarga mereka harus mengikuti status sosial lingkungan mereka yang baru. Mereka harus berbicara dengan bahasa Inggris, dan juga berinteraksi dengan tetangga yang jauh berbeda dari biasanya.

Jika Meeta yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan ingin berkumpul dengan orang-orang yang dia rasa satu derajat, Raj dan Pia lebih suka bergaul dengan masyarakat biasa. Mereka merasa berat untuk menjadi orang kaya yang sesuai dengan lingkungan mereka, terutama untuk Raj. Pia pun lebih mengikuti sang ayah yang bebas dan bahagia dengan kesederhanaan mereka.

Hal itu membuat Meeta marah, salah satunya karena insiden Raj yang menyanyikan lagu India (jika di Indonesia, lagu dangdut koplo) saat mereka mengadakan pesta di rumah baru mereka. Meeta benar-benar menuntut bahwa Raj dan Pia harus bertindak dengan keinginan Meeta, dan dengan berat hati mereka menuruti keinginan sang bunda dan istri tercintanya.

Waktu untuk pendaftaran sekolah pun tiba. Seperti keinginan orang tua pada umumnya, Raj dan Meeta ingin buah hati mereka mengenyam pendidikan yang sangat baik dan terjamin. Meeta sendiri memilih Pia untuk bersekolah di sekolah swasta.

Ternyata untuk mendaftar di sekolah swasta terbaik itu tidak mudah. Berbagai cara sudah mereka lakukan, mulai dari mengikuti tips-tips dari konsultan, kursus kepribadian, kursus akademik, dan berbagai kursus lainnya. Tentu saja untuk Pia, Raj dan Meeta.

Sayangnya Pia tidak diterima di empat sekolah teratas yang sudah mereka daftarkan. Hanya Delhi Grammar School yang tersisa. Meeta benar-benar frustasi, dia merasa menjadi ibu yang gagal bagi Pia. Dia sangat takut masa depan Pia hancur karena sejak awal putri kecilnya itu tidak bersekolah di tempat yang layak.

Ternyata anak dari karyawan Raj diterima di salah satu sekolah elite tersebut, lewat jalur tidak mampu atau RTE. Tentu kesempatan itu tidak mereka sia-siakan. Sudah menjadi rahasia umum jika banyak oknum yang dapat membantu dalam pemalsuan dokumen. Dalam waktu cepat Pia sudah terdaftar di Delhi Grammar School lewat jalur kurang mampu.

Sialnya, berita tentang pemalsuan dokumen mulai beredar. Tidak ingin nama sekolah tercoreng, pihak Delhi Grammar School mengutus guru untuk melakukan survey lapangan keluarga yang masuk dalam daftar RTE tersebut. Pihak sekolah tidak segan-segan untuk memenjarakan orang tua yang terbukti bersalah.

Hal tersebut membuat Raj dan Meeta kalang kabut. Meeta tentu saja sangat panik, dia tidak ingin suaminya masuk penjara. Bagaimana dengan dirinya dan Pia jika Raj dipenjara? Kenyataannya mereka bukan orang miskin. Mereka sudah muak dengan keadaan miskin saat muda dulu. Kemudian ide itu muncul, mereka akan berpura-pura menjadi keluarga tidak mampu.

Raj, Meeta dan Pia benar-benar pindah ke pemukiman kumuh di sudut kota. Mereka totalitas menjadi miskin kembali, memakai pakaian sederhana dan tinggal di sana. Awalnya mereka tidak bisa, mereka membuat keributan dengan para tetangga. Sampai akhitnya Raj butuh bantuan dan tidak ada yang mau membantu, kemudian muncul Shyam Prakash Kori (Deepak Dobriyal).

Pria itu membantu Raj memecahkan masalahnya, bahkan Shyam dan keluarganya meyakinkan peninjau bahwa mereka orang kaya yang bangkrut dan menjadi miskin ketika kecurigaan peninjau muncul. Hampir saja identitas mereka terbongkar jika Shyam tidak berbicara. Dengan polosnya dia berkata akan mengajarkan Raj dan keluarganya menjadi orang miskin yang baik dan benar.

Tulsi Kori (Swati Das), istri Shyam yang membantu Meeta dalam kebutuhan rumah tangga. Sedangkan Shyam membantu Raj dalam pekerjaannya yang baru, buruh di pabrik makanan. Tentu saja kedua anak mereka bersahabat, Pia dan Mohan (Angshuman Nandi).

Akhrinya Pia dapat mendaftar di Delhi Grammar School melalui jalur RTE, mereka terbukti miskin. Ternyata mereka butuh uang untuk kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, sebesar 24000 Rupee. Uang yang kecil bagi Raj, namun perjalanan mendapatkan uang tersebut tidaklah mudah. Dia harus pura-pura mencuri dari ATMnya sendiri karena Shyamparkash mengikutinya.

Shyam tentu saja tidak setuju dengan aksi pencurian Raj itu. Dia bahkan rela tertabrak mobil dan memberikan uang medisnya kepada Raj, supaya Pia dapat bersekolah di Delhi Grammar School. Waktu pengundian nama pun tiba, nama Pia disebutkan, sayangnya Mohan tidak. Hal itu membuat Raj dan Meeta tidak enak hati, mereka merasa seperti merebut bangku Mohan untuk Pia.

Menilik dari kasus diatas, kita tentu sudah tidak asing dengan berbagai beasiswa kurang mampu dalam pendidikan di Indonesia. Salah satu program pendidikan kurang mampu di tingkat perkuliahan, yaitu program bidikmisi, sedangkan untuk sekolah menengah yaitu terdapat kuota sebesar 20% dari total kuota sekolah untuk siswa tidak mampu. Sayangnya, banyak orang yang memanfaatkan program ini untuk kepentingan pribadi dan juga untuk keberhasilan lolos di sekolah tersebut.

Salah satu syarat dalam pendaftaran program-program tersebut yaitu memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Di Indonesia yang sedang hangat-hangatnya terjadi, yaitu beredarnya SKTM palsu.

Dilansir dari beritagar.com berdasarkan data Dinas, sebanyak 78.065 SKTM palsu di gunakan untuk mendaftar di SMA atau SMK di seluruh Jawa Tengah. Dokumen palsu ini akhirnya di batalkan atau tidak di akui. Jumlah pendaftar untuk SMA sebanyak 113.092 siswa, mereka memperebutkan 113.325 kursi. Sedangkan calon siswa SMK ada 108.460 siswa, mereka berebut 98.486 bangku. Jadi 221.552 anak memperebutkan 211.811 bangku sekolah.

Penggunaan SKTM dalam Pendaftaran Peserta Didik Baru ini di jadikan modus untuk menaikkan peringkat calon siswa agar mendapat peluang lebih besar masuk ke sekolah yang mereka inginkan.

Kembali ke film Hindi Medium, setelah mereka kembali ke rumah, mereka membantu sebuah sekolah negeri supaya lebih baik lagi kualitasnya. Ternyata Mohan bersekolah di situ, Shyamparkash yang merasa bangga karena putranya dapat belajar dengan layak akhirnya mendatangi orang yang membantu sekolah tersebut, siapa lagi kalau bukan Raj.

Raj tentu saja terkejut bukan main saat melihat Shyamparkash di depan rumahnya. Awalnya dia akan jujur, namun Shyam berpikir lain, dia pikir Raj bekerja di rumah itu. Raj berpura-pura menjadi pembantu sampai akhirnya pembantu Raj datang dan mengatakan yang sebenarnya. Shyamparkash benar-benar terpukul, dia langsung pergi dan mengancam akan mengatakan hal yang sebenarnya pada Delhi Grammar School.

Raj dan Meeta langsung mengejar Shyam, di sana Shyam berhenti dan terenyuh melihat Pia yang menghampiri dengan polosnya. Shyamparkash batal untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Melihat kejadian itu, Raj sadar akan kesalahannya. Dia mengaku pada pihak sekolah bahwa Pia bukanlah anak orang miskin. Dia akan mencabut Pia dari sekolahnya.

Bukannya di keluarkan dari sekolah, Pia malah dipindahkan ke jalur reguler. Hal itu tentu saja membuat Raj bingung, kepala sekolahnya ternyata hanya berpura-pura menerima anak-anak dari jalur tidak mampu. Ternyata pemalsuan dokumen sudah menjadi hal yang biasa di sekolah tersebut, salah satu oknumnya ya kepala sekolah itu sendiri.

Raj marah besar, dia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi di Delhi Grammar School saat penyambutan siswa-siswi baru. Setelah itu Raj memindahkan Pia ke sekolah negeri yang sudah ia bantu, sebagai bentuk kekecewaannya terhadap sekolah swasta yang ia hormati. Dia dapat membuktikan bahwa sekolah negeri pun dapat mendidik anak-anak dengan baik dan benar.

Pelajaran yang dapat kita ambil yaitu, tidak selamanya yang kaya harta juga kaya kebaikannya. Tidak semuanya yang miskin harta, juga miskin kebaikannya. Selain itu, jika satu kebohongan telah terucap, maka akan ada rentetan kebohongan yang mengikutinya.