Beranda blog Halaman 56

Indonesia pada Masa Hindia

Judul: Semua untuk Hindia

Penulis: Iksaka Banu

Tahun Terbit: 2018

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tebal: xviii + 154

Semua untuk Hindia menceritakan tentang tiga belas cerita pendek dari sudut pandang yang berbeda. Dengan latar belakang sejarah pada masa Hindia, penulis secara tidak langsung menyadarkan kita untuk tidak melupakan bahwa kehidupan Indonesia sangat dekat sekali dengan sejarah Hindia. Dalam buku ini, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama yang membuat pembaca paham dan membuat cerita lebih menarik karena alur ceritanya.

Dimulai dari Selamat Tinggal Hindia, menceritakan tentang wartawan yang bernama Martinus Witkerk dari De Telegraaf mengagumi Maria Geertruida Welwillend atau sebutannya Geertje. Martinus ingin melihat keadaan Geertje lantaran untuk mengamankan keadaannya, tetapi Geertje menolak karena Hindia (Indonesia) sudah ia anggap sebagai ibu pertiwi. Namun kediaman Geertje digeledah oleh beberapa tentara NICA karena dianggap sebagai propaganda anti-NICA.

Stambul dua pedang, menceritakan tentang kisah cinta terlarang Nyai Sarni Van Rijk (Sarni) dengan Raden Adang Kartawiria (Adang).  Mereka bertemu di kabin rias pria, di belakang tobong yang gelap setelah pementasan. Hal tersebut dilakukan karena Sarni beranggapan bahwa ia dan suami, Maathijs Adelaar van Rijk (Adelaar), banyak memiliki perbedaan dan kurang mendapat perhatian suaminya. Ia pun menyuap teman-temannya untuk tidak melaporkan kedatangannya dengan Adang pada suaminya. Namun seiring berjalannya waktu, berita itu terdengar sampai ke telinga Adelaar. Lalu Adelaar mengirim surat permohonan berduel pistol atau anggar. Adang memilih anggar sampai titik darah penghabisan untuk pengembalian penghormatan bagi pemenang akan menjadi suami Sarni.

Racun untuk tuan, menceritakan tentang Fred Aachenbach, seorang asisten administratur di sebuah perkebunan tembakau terpencil di Deli, dan Imah adalah seorang bumiputra. Hubungan mereka adalah tuan rumah dan pengurus rumah. Imah sebagai pengurus rumah menjalankan tugas melayani tuannya dengan baik sampai berujung di ranjang. Lalu pada tahun kedua dan ketiga Imah melahirkan anak-anaknya Fred. Tetapi setelah Fred naik pangkat menjadi administratur pada memasuki tahun kelima, ia mengambil cuti ke Spijkenisse, menengok ibunya yang hidup seorang diri sekaligus melamar Helena Theunis, teman masa kecilnya.

Gudang nomor 012B menceritakan tentang sebuah gudang di sekitar stasiun yang berisi tumpukan karung kopi, tapioka, gaplek, gula serta beras. Terdapat dua puluh karung beras disusun dalam posisi tidur, tetapi ada satu karung berdiri terpisah dan isinya sudah berkurang separuh. Saat gudang hendak diisi ulang, sekelompok kuli memergoki sosok berambut panjang bergaun putih, duduk di antara tumpukan karung, seperti sedang menakar beras. Saat beradu tatap, makhluk yang konon berwajah menyeramkan tadi lenyap disertai suara melengking. Sejak saat itu, gudag 012B dijauhi para kuli.

Hans Peter Verblekken, seorang inspektur polisi dibantu dengan Mang Acim dan anak buah Mang Acim, Irus, mengecek gudang 012B untuk membuktikan berita yang beredar benar atau salah, mereka malah menemukan kenyataan bahwa sosok berambut panjang tersebut bukan hantu, melainkan seorang wanita kurus kering dengan rambut panjang yang kotor hingga ke pangkal paha mengenakan gaun putih. Ketika rambutnya tersingkap, wajah wanita tersebut terjangkit penyakit lepra di tahap yang paling parah.

Semua untuk Hindia, menceritakan tentang seorang wartawan yang bernama Bastiaan de Wit dari De Locomotief, mendapat sebuah surat dari Bali oleh “adik kecilnya,” Anak Agung Istri Suandani, yang berharap perang dibatalkan. Tetapi itu mustahil terjadi karena peristiwa terdamparnya kapal Sri Koemala di Pantai Sanur yang memicu ketegangan besar ini. Keluarganya dijadikan sebagai narasumber tulisan De Wit tentang tradisi Mesatiya, yang memperbolehkan para janda raja melemparkan diri ke dalam kobaran api saat upacara pembakaran jenazah suami mereka sebagai tanda setia. Lalu, ia bertemu dengan Baart Rommeltje seorang dokumentasi Negara.

Masih ada cerita pendek lainnya yang temanya tidak jauh berbeda dengan cerita pendek yang sudah dijelaskan di atas seperti Tangan Ratu Adil, Pollux, Di Ujung Belati, Bintang Jatuh, Penunjuk Jalan, Mawar di Kanal Macan, dan Penabur Benih.  

Kelebihan dari novel ini adalah penulis menulis cerita pendek ini dengan latar belakang yang baru yaitu yang bertemakan sejarah. Novel ini menunjukkan sudut pandang baru dari orang Belanda terhadap Hindia (Indonesia) saat itu. Bahasa yang digunakan bisa dimengerti untuk pembaca yang tidak terlalu memahami sejarah. Namun sayangnya kosakata asing dalam novel ini kurang banyak. Hal tersebut bisa saja menyebabkan pebaca kesulitan untuk memahami cerita dengan utuh.

Revitalisasi Lembaga Dakwah

Telah berlalu dua tahun berlembaga dakwah, namun tak jua menemukan simpul peran dari lembaga dakwah selama ini.

Sebagai kader salah satu lembaga dakwah ternama, telah terbenak dalam pikiran saya, yang kini kian membulatkan keputusan saya untuk keluar dari lembaga dakwah. Sebenarnya, apakah peran lembaga dakwah sedemikian berguna bagi mahasiswa dan mahasiswi secara komprehensif?

Saya lihat, ada ‘gap’ yang menjadi kelemahan peran lembaga dakwah selama ini. Sebut saja, ranah lingkup dakwah yang secara konseptualnya merangkul seluruh mahasiswa, baik kalangan ‘agamawan’ (yakni sebutan saya terhadap kalangan yang memiliki kedekatan dengan agama) maupun kalangan ‘biasa’, malah kurang memberikan bukti nyata. Alih-alih mendakwahi agama ke semua kalangan, lembaga dakwah seakan hanya sanggup mencapai kalangan yang telah dekat dengan agama saja. Sedangkan bagi kalangan yang belum sekiranya aktif ke masjid ataupun masih bermaksiat bersama pasangan haram, tak pun tersentuh olehnya secara optimal.

Misalnya dalam bentuk lain, kajian-kajian agama yang menjadi corong dakwah selama ini, tak mendapat hati dari kalangan yang jarang mendatangi kajian. Apa kita hendak menyalahkan kalangan tersebut atas kemalasan mereka mendatangi kajian? Tentu tidak. Setiap kalangan tersebut masih memiliki kelonggaran waktu dan hak berkegiatan, yang dengannya memberi legitimasi bagi mereka untuk ikut kajian agama, atau sekadar bermain dengan teman saja.

Peran lembaga dakwah masihlah pasif. Ketiadaan daya otoritas konkrit yang dimiliki lembaga dakwah, turut memperpayah perannya hingga kini. Kajian-kajian agama yang diselenggarakan tiap waktu di berbagai titik musola tak pernah terbukti ramai selain dari kalangan yang bersedia mendatangi kajian saja. Dua insan yang memadu kasih dalam ikatan haram di bangku-bangku kampus tak juga dapat tereliminasi, sebab nihilnya kekuatan para pendakwah yang mampu memusnahkannya. Selembar kain ketat yang melekat pada beberapa muslimah terkini, tidak pula diganti (atau terganti) dengan busana tersyariatkan Islam. Apa hal? Saya menyebut sekian hal ini, sebagai bukti betapa tak punyanya para pendakwah untuk lebih otoratif dalam dakwahnya.

Otoritas diperlukan oleh para pendakwah. Sungkannya sekian orang dalam menegur pelaku maksiat, umum ditengarai kurangnya pembelaan bagi mereka bila sekiranya mereka dibenci dan diajak kelahi oleh pelaku maksiat. Artinya, otoritas yang dimaksud juga meliputi perlindungan bagi para pendakwah secara nyata. Dapatlah perlindungan tersebut diberikan oleh institusi, semisal dari pihak kampus, lembaga kemahasiswaan, atau sekadar dari lembaga dakwah sendiri.

Bisa juga dalam wujud lain agar semua kalangan menyanggupi aktif dalam ikuti kajian agama rutin, dapat diberlakukan sistem khusus yang menjadikan keaktifan mengkaji agama menjadi poin determinan bagi penilaian aspek yang vital. Misalnya, jika tidak ikut kajian agama rutin, maka salah satu mata kuliahnya bernilai F.

Dalam mewujudkan perluasan otoritas ini, para pendakwah perlu dipertalikan dengan suatu ikatan formal. Meski semua muslim diwajibkan berdakwah, namun otoritas tersebut tidak bisa diserahkan ke semua muslim karena bila demikian tentulah tercipta kekacauan. Perlu ada penuangan dalam wadah khusus. Wadah tersebut dapat terwujud dalam suatu organisasi atau lembaga yang dalam realita kini dapat mudah dialamatkan pada lembaga dakwah. Dari sinilah, lembaga dakwah memiliki kekuatan otoritatif dalam dakwah, yang dengannya menjadi sebab terbangunnya dakwah nyata di atmosfir dan ruang kampus.

Namun, penuangan otoritas kepada lembaga dakwah pun perlu diiringi syarat lain. Misalnya, supaya kekuatan dapat digunakan secara vital, lembaga dakwah harus mendapat kesepakatan bersama dengan pihak kampus apabila hendak menjadikan sistem penilaian akademik sebagai daya otoritatifnya. Jika kiranya bermaksud mendapat kekuatan fisik, potensi dapat terbentang bila rela menembus sekelumit perjanjian dengan pihak Resimen Mahasiswa atau sekiranya bermaksud memiliki kekuatan mandiri, perlu divisi baru dalam lembaga dakwah yang berisi hasil rumusan dalam merealisasikan daya otoritatif tersebut, misal divisi keamanan.

Selain itu, demi mendapat posisi yang sulit diganggu-gugat oleh pejabat kampus yang membenci dakwah, derajat lembaga dakwah secara struktural perlu dipertingkat lagi. Lembaga dakwah dapat dijadikan lembaga khusus yang dibawahi lembaga kemahasiswaan, atau tercipta sebagai lembaga independen yang tidak dibawahi lembaga kemahasiswaan mana pun (yang tentu perlu wacana lebih rumit dalam merumuskannya). Jika bermaksud hanya mendakwahi para mahasiswa saja, sembari mengharmoniskan arah dengan visi dan misi kampus yang mendukung dakwah, maka baiknya lembaga dakwah tersebut berstruktur dibawah naungan kampus yang dengannya bila lembaga dakwah itu dihadapkan penentang dakwah, maka sama saja penentang itu sedang berhadapan dengan kampus.

Dengan posisi struktural yang kuat, serta rumusan otoritas yang ada, maka peran lembaga dakwah dalam menegakkan syariat Islam di kampus menjadi hal yang berdampak lebih nyata. Apabila tidak demikian, maka fungsi kontrol atas masyarakat lingkup kampus akan lemah. Artinya, potensi maksiat akan tinggi di dalam kampus.

Kiranya bisa, lingkup kampus terus tegak dengan bercorong kajian agama saja, tidak dengan otoritas dan rumusan protektif bagi dakwah sebagaimana tulisan ini usung. Namun, hal demikian hanyalah ternilai sebagai amar maruf saja. Sedangkan nilai nahi munkar tidak akan bertemu bila tidak diberi ruang otoritas.

Tindak nahi munkar perlu kekuatan dari tiap pelaku dan kekuatan yang dimaksud meliputi perlindungan dan instrumen dalam aksinya. Pelaku nahi munkar perlu memiliki otoritas dakwah dalam menggunakan tangannya selama menepis kemaksiatan, lisan yang memiliki hak penghormatan bila ditentang oleh pembencinya, serta hati yang terakomodasi dalam menentukan ruang suasana kampus menuju kondisi berliputan syariat Islam.

Sebagaimana dimaksud oleh Jumah Amin Abdul Aziz dalam kitabnya, tindak nahi munkar baru terwujud bila pendakwah mendapatkan izin dan otoritas dari pemerintah. Dalam hal ini, tidak bertemu usaha optimal dari penepisan maksiat di kampus, bila tidak ada wadah dengan kedudukan tinggi yang memberi otoritas bagi pendakwah.

Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, syarat tegaknya nahi munkar ialah adanya kemampuan dari pendakwah itu, yang dengannya sang pendakwah tak tertimpa kemudaratan yang mengenainya. Jika sang pendakwah merasa tidak mampu mendapat perlindungan tatkala ditentang orang yang bermaksiat, maka sang pendakwah tidak dapat menegakkan nahi munkar. Malah adakalanya bila benar tak mampu, hukumnya menjadi haram ber-nahi munkar. Bila berlaku demikian, maka maksiat akan terus terbengkalai, dan kampus dilanda sekian banyak kemaksiatan. Di sisi lain, bersabar dalam menegakkan nahi munkar ialah memang lebih utama. Namun, jangan anggap hal demikian dapat dilakukan tiap pendakwah. Sikap kalangan yang tidak mampu mendapat kekuatan otoritatif perlu dijadikan tolok ukur: nahi munkar tidak dapat dilakukan jika tidak ada otoritas bagi pendakwah.

Capaian yang telah terungkap dalam tulisan ini tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan baik-buruknya kepengurusan lembaga dakwah dengan kondisi dan struktur lemah sebagaimana sekarang saja. Sebaik-baik kepengurusan, lembaga tetap tak mempunyai kekuatan jika tidak diberi hak otoritas dalam melakukan hal secara optimal. Maka, kita tidak dapat terus mengandalkan pergantian pengurus dari lembaga dakwah, yang dengannya kita berpikiran betapa cukup lembaga dakwah memberi fungsi dakwah yang riil di tiap sisi kampus yang ada.

Bagaimana pun, perlu ada perubahan dari sisi struktural, perluasan, dan penuangan otoritas bagi pendakwah melalui lembaga dakwah. Hal tersebut, tak lain dimaksudkan, selain demi menegakkan syariat Islam yang menyeluruh di kampus, serta membawa kampus menuju status Rahmatan lil Aalamiin yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera , tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

KKN-ku Malang, Prokerku Sayang

Program kerja mahasiswa KKN UII tidak berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakat setempat

Himmah Online, Kampus Terpadu – “Ada pro kontra. Itu kan pos keamanan lingkungan (poskamling) buat jaga, masa dipakai buat nyimpen buku. Sebenarnya banyak yang enggak setuju, tapi kita jalan saja, sudah pusing juga mau mikir program kerja apa,” ucap Prambudi selaku ketua unit 133 mengawali cerita program kerja (proker) unitnya.

Prambudi menjelaskan bahwa rumah pintar merupakan pengembangan dari rumah baca yang menjadi proker mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Islam Indonesia (KKN UII) sebelumnya yang berlokasi di Desa Nglaris.

“Setelah dilihat, rumah baca tidak memadai, memakai rumah bekas tidak layak huni, gelap, listrik enggak ada. Akhirnya kami memakai poskamling di dusun itu jadi rumah pintar,” ucap Prambudi.

Prambudi mengatakan, salah satu anggota unitnya menghubungi Forum Komunikasi Anak Kabupaten Purworejo (Forkare) untuk bekerja sama mengurus rumah pintar. Sebulan sekali, Forkare akan mengecek rumah pintar. Tadinya, unit 133 ingin memberdayakan karang taruna setempat untuk mengurus rumah pintar tetapi tidak jadi karena kurang aktif.

Adapun proker individu Prambudi dan temannya yang berasal dari jurusan Teknik Sipil di desa itu adalah sensus kependudukan dan rumah sehat. Proker rumah sehat meneruskan program jamban sehat yang dilakukan mahasiswa KKN sebelumnya di Desa Nglaris.

“Satu desa ada lima unit. Satu prodi teknik sipil sama semua proker. Semua prodi yang sama di satu desa disamakan semua prokernya,” ucap Prambudi.

Anggota unitnya dari jurusan Hubungan Internasional melakukan sensus akte kelahiran; Ekonomi Islam melaksanakan sensus kemiskinan; Teknik Informatika membuat website dan profil desa; Farmasi mensosialisasikan Dagusibu (Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang) kesehatan ke Sekolah Dasar (SD); dan Manajemen melatih pembuatan sirup dan selai salak untuk ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Adapun Ilmu Hukum prokernya sensus kepemimilikan surat tanah atas permintaan kepala desa secara langsung untuk memperbaharui data desa terkait surat tanah.

Prambudi dan anggotanya menemukan kendala dalam pelaksanaan proker. Dari minimnya sosialisasi dan bertemu dengan masyarakat. “Tiap kita datang ke rumah belum tentu ada orangnya, musim hujan kemarin terkendala, rata-rata dari jam 8 mereka (masyarakat) di ladang dan di kebun,” ucap Prambudi.

Di dusun lain, Iqbal, mahasiswa KKN unit 149 di Dusun Krajan mengatakan Kepala Desa setempat sudah menentukan proker untuk mahasiswa. Sehingga ada program yang berubah meskipun sebelumnya sudah disahkan oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) saat di kampus.

Misalnya, Silvia dan kelima temannya dari Pendidikan Bahasa Inggris sebelumnya memiliki satu program, yaitu analisis belajar mengajar TK, SD, dan Paud. Pasca penerjunan, mereka diminta oleh kepala desa dua program tambahan, yaitu parenting kepada ibu-ibu PKK dan pengajaran Bahasa Inggris kepada perangkat desa. “Ada yang berubah, ada yang tidak terlaksana karena waktu, tadinya satu proker,” ucap Silvia.

Adapun tanggapan masyarakat tergantung proker yang ditawarkan oleh mahasiswa. Syahnan mencontohkan penyuluhan pembuatan nata de coco yang menjadi proker mahasiswa teknik kimia. Proker ini memiliki banyak peminat dari ibu-ibu PKK karena dapat meningkatkan perekonomian. Sedangkan sosialisasi tanggap bencana yang merupakan proker Syahnan dan teman-teman dari teknik sipil sedikit peminat.

“Mungkin karena tema kita enggak sesuai dengan ekspetasi mereka, desa mereka jauh dari bencana alam, sedangkan tema kita kebencanaan. Mikirnya kaya enggak penting, enggak masuk lah,” ucap Syahnan.

Silvia setuju bahwa proker yang bersifat praktik dan dapat meningkatkan perekonomian sangat diminati masyarakat, khususnya ibu-ibu. “Ibunya enggak tertarik kecuali mereka sendiri yang mempraktikkan tetapi waktu untuk mereka mempraktikkan tidak ada, kan ada batas waktunya,” Arini berkomentar.

Menurut Arini, waktu KKN satu bulan tidak cukup dan perlu diperpanjang untuk pelaksanaan proker. “Misalnya buat pelatihan, minimal tiga kali pertemuan, tapi masyarakat bisanya seminggu cuma sekali. Cukup enggak sih tiga kali dalam sebulan itu masyarakat dilepas sendiri nantinya? Yang kita latih adalah masyarakat awam. Walaupun dekat kota pengetahuannya masih kurang,” ucap Arini.

Sementara menurut Akbar, pemilihan proker KKN seharusnya tak jauh dengan pertanian dan peternakan yang menjadi ciri khas pekerjaan yang paling banyak ditekuni masyarakat desa. Akbar menuturkan bahwa proker bagus itu penting, jelek pun tidak apa-apa karena yang lebih penting adalah kedekatan dengan masyarakat. Bagusnya proker berbanding lurus dengan kedekatan dengan masyarakat.

Akbar yang memiliki proker penyuluhan pembuatan briket dan cocopeat mendapat alat dan bahan dari masyarakat setempat. Dari arang, sabut kelapa, kompor dan sebagainya “Kita enggak mengeluarkan sepeser pun untuk pelaksanaan proker, memang pendekatan dan orang Jawa, punya peran besar untuk komunikasi. Dirasa hal baru ini, mereka akan menawarkan, arang-arang yang enggak guna, malah aset yang kita butuhkan. Kita berani bilang sebaik-baik program adalah yang didanai masyarakat,” ucap Akbar.

Hery Wibowo, Kepala Desa Kebon gunung, menilai proker yang dilaksanakan mahasiswa KKN UII unit 147-151 di Kebon Gunung kurang maksimal karena terkesan memaksakan program.

Sebelumnya Hery mempertemukan mahasiswa KKN dengan kelembagaan masyarakat seperti karang taruna untuk membahas dan membatasi proker dan apa yang bisa diberdayakan di masyarakat Kebon gunung. “Jadi, kita sampaikan dulu, saya tak ingin sampeyan KKN, nanti seperti disidang di masyarakat itu. Jadi kelemahan dan kekurangan saya kasih tahu semua,” ucap Hery.

Hery menilai terlalu banyak proker tidak baik. Hery pun menyarankan mahasiswa yang KKN agar fokus di satu proker yang membuat masyarakat yang tadinya tidak tahu sampai tahu. Misalnya dari proses penyuluhan produk, produksi, sampai ke tingkat pemasaran.

Adapun proker yang paling berdampak menurut Hery adalah pemetaan desa. Pemetaan desa menjadi sub bagian dari proker pembuatan profil desa yang diwajibkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) untuk mahasiswa KKN per desa, “Sayangnya hasil pemetaan desa tidak disosialisasikan ke masing-masing dusun. Saya mah diam saja, saya enggak memaksakan itu,” ucap Hery.

Namun menurut Hery, pemetaan desa yang di dalamnya terdapat potensi desa akan dijadikan referensi untuk mahasiswa KKN selanjutnya yang akan ditempatkan di Desa Kebon Gunung.

Unggul Priyadi, kepala pusat KKN UII, mengatakan bahwa mahasiswa KKN yang melakukan koordinasi saat observasi dengan kepala desa yaitu untuk memadukan proker sesuai potensi desa.

“Setelah Undang-Undang Desa 2015 itu kan banyak dana, banyak program, nah kenapa mahasiwa buat program yang neko-neko? Ya sudah kita join saja dengan kepala desa,” ucap Unggul.

Adapun tugas DPL 1 dan 2 yang memverifikasi proker sesuai prodi masing-masing. “Kadang ada temanya masuk tapi teknis operasionalnya yang salah,” ucapnya.

Laporan mahasiswa KKN individu, unit, dan mulai periode ini ada tingkat desa masih belum diunggah yang nantinya bisa diakses mahasiswa. Kepada Pemerintah Daerah dan desa, DPPM hanya memberikan laporan dalam bentuk hard copy.

“Kalau yang soft copy nanti ditakutkan akan diklaim. Kalau artikel tingkat unit itu kan bisa ke karya ilmiah, dipublikasikan, atau bisa dibukukan dalam buku pengabdian masyarakat,” ucapnya.

Reporter: Nurcholis Maarif, Ika Pratiwi Indah Y., Muhammad Billy Hanggara, Dhia Ananta

Editor: Hana Maulina Salsabila

KKN UII: Antara Ekspetasi dan Realita

Waktu, lokasi, persiapan, dan administrasi turut mempengaruhi pelaksanaan KKN UII.

Himmah Online, Kampus Terpadu – Ekspektasi Silvia pertama kali saat hendak melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Universitas Islam Indonesia (KKN UII) yaitu tinggal di daerah terpencil, tidak ada sinyal, Mandi-Cuci-Kakus terbatas, serta cemas bagaimana bersosialisasi dengan warga. Syahnan, Sandy, Arini, Akbar, dan Iqbal, teman Silvia satu posko unit 149 dan 150 mengamini serupa pendapat Silvia.

Unit 149 dan 150 ditempatkan dalam satu dusun yang sama, yaitu dusun Krajan, Desa Kebon Gunung, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Jarak dusun dengan alun-alun kabupaten sekitar sepuluh menit ditempuh dengan sepeda motor.

“Tempat kita KKN semi kampung,” ucap Syahnan, mahasiswa Teknik Sipil 2014. “Yah masuk zona merah, tapi kita ke sana ternyata enggak merah masuknya,” Silvia menimpali. “Belum diperbaharui,” ucap Sandy selaku ketua unit 150 ikut berkomentar.

Hery Wibowo selaku Kepala Desa Kebon Gunung mengatakan penunjukkan desa yang tergolong zona merah memang sering menerima mahasiswa KKN. Desa Kebon Gunung satu-satunya desa berzona merah di antara desa-desa yang berada di Kecamatan Loano. “Dalam arti masyarakatnya apatis, penguatan ekonomi tidak ada, miskin pemberdayaan, itu daftar BPS (Badan Pusat Statistik), bukan dari pemda penunjukan data miskin,” ucap Hery menjelaskan arti zona merah.

Lain Silvia, lain pula Prambudi Setiawan. Setelah satu bulan KKN di Desa Nglaris, Prambudi, ketua unit 133 mengatakan bahwa desa tempatnya KKN tidak direkomendasikan kembali untuk mahasiswa KKN.

“Nglaris saya lihat rumah-rumahnya sudah layak. Ada yang punya mobil dan ada yang punya tanah 20 hektar waktu (program kerja) sensus kepemilikan surat tanah,” ucap mahasiswa Teknik Sipil 2014 ini.

Prambudi pun tidak menyangka akan mendapat posko yang layak. “Enggak seperti yang dibayangkan dapat dari kayu, di posko saya dapur ada, ruang tamu ada, kamar mandi ada, keramik juga, di luar ekspetasi,” ucapnya.

Desa Nglaris masuk zona merah di bawah Kecamatan Bener yang juga zona merah. Akses ke desa agak naik dan jarak ke alun-alun kabupaten sekitar setengah jam ditempuh dengan motor.

Prambudi bercerita hal-hal yang telah dilakukan sebelum dan awal-awal KKN. Dua kali bimbingan dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) 1 dan 2 untuk kumpul ketua unit dan penjelasan lainnya. Adapun pembahasan administrasi, verifikasi program kerja, dan kegiatan-kegiatan di lapangan dilakukan di desa setelah penerjunan.

Lanjut Prambudi, unit 133 dan unit-unit yang KKN di Dusun Nglaris melakukan observasi dua kali sebelum penerjunan. Perwakilan setiap unit hanya satu sampai dua mahasiswa yang selanjutnya hasil observasi disampaikan di masing-masing unit.

“Survei pertama enggak maksimal, dari desa minta surat keterangan KKN karena DPL 2 belum bawa surat, jadi desa enggak berani bawa keliling, dan pas itu kadesnya enggak ada,” ucap Prambudi. Barulah pada survei yang kedua kalinya, DPL 2 membawa surat. Sehingga pelaksanaan program kerja dilakukan setelah seminggu berada di desa. DPL 2 mengontrol ke posko dua minggu sekali. Minggu keempat DPL 1 datang sekaligus responsi KKN yang dilakukan di balai desa.

Menurut Iqbal, mahasiswa Teknik Sipil 2014 yang juga unit 149, sejak pengumuman penempatan lokasi, persiapan alat dan bahan menjelang KKN seperti pembuatan spanduk, berkumpul dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) 1 dan 2, observasi lokasi KKN, dan pembuatan program terkesan terburu-buru. Hal tersebut berbeda dengan persiapan KKN yang dilaksanakan bulan Agustus.

Ada beberapa miskomunikasi yang terjadi seperti masalah pembuatan spanduk dan informasi yang tidak pasti. Akibatnya ada dua unit dalam satu dusun. “H-1 dikasih tahu bahwa kita satu dusun,” ucap Syahnan.

“Koordinasi Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, DPL, dan pak lurah belum ada. Kita harusnya posko berbeda-beda (per dusun), kemarin satu posko ada lima unit,” Silvia menimpali.

Waktu persiapan dan kurang komunikasi ini berimbas kepada penyesuaian program yang cocok dengan masyarakat. “Kita nyuri-nyuri waktu agar program itu cocok atau enggak karena observasi cuma sekali karena (saat itu) ada yang ujian,” ucap Silvia.

Hery menanggapi bahwa pemberitahuan penempatan lokasi KKN di desanya mendadak. “Pak Moko (DPL 2 unit 147-151) datang. Kecamatan enggak dikasih tahu juga, enggak tembus. Surat dari UII mandeg di Pemerintah Daerah (Pemda),” ucap Hery.

Sementara itu, menurut Unggul Priyadi selaku kepala pusat KKN UII menjelaskan pelaksanaan KKN bulan Februari yang terkesan mendadak karena sulitnya mencari lokasi KKN sejak berkoordinasi dengan pemda setempat.

“Tiba-tiba di tingkat bawah ternyata ada perguruan tinggi lain yang sedang masuk sehingga di satu wilayah desa ada dua perguruan tinggi, kan enggak efisien. Makanya di tingkat bawah solusinya kan enggak mungkin dibatalkan jadi dipindah ke desa yang lain, makanya muncul mendadak,” ucap Unggul

Jumlah Mahasiswa yang mengikuti KKN UII angkatan 56 di bulan Februari berjumlah 1372 mahasiswa . Jumlah tersebut terbagi menjadi 164 unit yang ditempatkan di empat kabupaten, 11 kecamatan, dan 29 desa. Adapun waktu pelaksanaanya dari 23 Januari sampai 23 Februari 2018. Sementara mahasiswa yang melakukan KKN angkatan 57 di bulan Agustus 2018 terbagi 383 unit.

Baik Prambudi, Akbar, Syahnan, dan Sandi mengatakan meminta tanda tangan kepada masyarakat sebagai administrasi dari Pusat KKN seperti hasil observasi, program kerja, dan Buku Catatan Kegiatan Harian (BCKH) KKN, hampir semua mungkin melakukan manipulasi.

“Agak memberatkan terkait BCKH, apalagi sampai sekarang cuma dilihat pas sidak,” ucap Prambudi.

“Secara teknik enggak gampang untuk meminta tanda tangan setiap waktu sudah seperti kerja di pabrik, bagus sih, enggak semuanya bisa ngikuti,” ucap Akbar.

“Kebanyakan orang tuh catatan enggak usah, yang penting langsung proker, tanda tangan di akhir,” Syahnan menimpali.

“Enak dirapelin, toh kita juga melakukan (apa yang ditulis),” Sandi ikut berkomentar.

Adapun menurut Hery, pemenuhan jam setiap mahasiswa dan unit menjadi penghambat berkreasi dalam pelaksanaan program kerja.

Menurut buku Pedoman Penyelenggaran KKN UII Semester Genap TA 2017/2018, volume kegiatan individu dan kegiatan bantu sebanyak 150 jam. Kegiatan individu atau waktu pelaksanaan program kerja sebanyak 38 jam (termasuk pra pelaksanaan), kegiatan unit sebanyak 52 jam, kegiatan bantu antar teman sebanyak 30 jam, dan kegiatan bantu masyarakat sebanyak 30 jam.

“Ada keluhan juga dari warga. Mereka juga kaget, seolah berburu tanda tangan tok, saya dengar dari wali murid Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak,” ungkap Hery.

Unggul menanggapi tujuan dari administrasi seperti laporan hasil observasi, program kerja, dan BCKH ialah bukti tertulis dari tertib administrasi. “Kalau enggak ada bukti tertulisnya terus gimana? ngontrolnya dari mana kita? kan kita ada International Standard Organization yang mengharuskan ada dokumen tertulisnya,” ucapnya.

Jika ada warga yang menanggapi meminta tanda tangan terkesan tidak ikhlas dan hanya memenuhi tugas KKN, menurut Unggul itu tergantung bagaimana cara mahasiswa mendekati masyarakat. Menurutnya, banyak juga mahasiswa yang begitu pamit ditangisi warganya karena sudah menyatu.

Terkait lokasi KKN, Unggul mengatakan bahwa pertimbangan aksesbilitas, waktu, dan efektivitas menentukan mengapa lokasi KKN hanya mengambil daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Sekitar 80 persen lokasi KKN mengambil daerah Purworejo karena ada Memorandum of Understanding dan jaminan secara formal.

“Karena mahasiswa dengan bimbingan DPL juga itu menjadi pertimbangan kalau jauh harus mempertimbangkan waktu, tenaga, efektivitas sehingga hanya mengambil Jogja dan sekitarnya, seperti Klaten, Magelang, dan Purworejo. Kalau ada masalah ngatasinnya gampang,” ucap Unggul.

Selain KKN yang dilaksanakan di Yogykarta dan sekitarnya, ada juga pelaksanaan KKN yang dilaksanakan di Aceh. Namun kegiatan tersebut bukan atas nama kegiatan KKN, melainkan kegiatan kemahasiswaan. Hal tersebut dikarenakan KKN UII di luar Jawa belum dicanangkan dan belum ada payung hukumnya.

Reporter: Nurcholis Maarif, Ika Pratiwi Indah Y., M. Billy Hanggara, Dhia Ananta

Editor: Hana Maulina Salsabila

17 Agustus 1945: Proklamasi Kemerdekaan dan Usulan Perubahan Sila Pertama

Hari yang panjang dalam merumuskan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada hari yang sama, Hatta mendapat kabar Indonesia bagian timur yang akan pisah.

Hatta, dalam bukunya Sekitar Proklamasi, serta Mohammad Hatta: Memoir menceritakan beberapa detail di hari lahirnya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sekitar pukul 10 malam pada 16 Agustus 1945, Soekarno menyinggahi Hatta lalu bersama-sama ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Miyokodori (sekarang Jalan Imam Bonjol). Soekarno meminta kesediaan Maeda untuk meminjamkan rumahnya untuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Maeda mengiyakan.

Setelah kira-kira setengah jam, Soekarno, Hatta, dan Maeda pergi ke rumah Mayor Jenderal Nishimura untuk memberitahukan akan ada rapat PPKI pada pukul 12 tengah malam. Selain itu mereka juga berunding tentang tekanan pernyataan kemerdekaan Indonesia dari pihak Jepang. Terjadi beberapa perdebatan.

Soekarno, Hatta, Maeda, dan Miyoshi yang merupakan juru bicara Nishimura kembali ke rumah Maeda. Saat mereka datang, sudah ada anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda dan beberapa orang pemimpin pergerakan dan anggota-anggota Cuo Sangi In yang ada di Jakarta yang berjumlah sekitar 40 atau 50 orang.

Menurut Subardjo, yang dikutip dalam buku Peristiwa-Peristiwa di Sekitar Proklamasi 17-8-1945, mereka membicarakan keberatan pihak Nishimura karena adanya status quo dari pihak sekutu tentang Jepang yang akan memerdekakan Indonesia.

Selanjutnya, Hatta, Subardjo, Soekarno, dan Sayuti Melik duduk di sebuah meja untuk membuat teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdakaan Indonesia. Saat itu, tidak ada yang membawa salinan teks Piagam Jakarta yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945.

Menurut Sayuti Melik, dalam forum itu Hatta dan Subardjo yang paling banyak bicara sementara Soekarno menuliskannya. Akhirnya, teks itu disetujui mereka berlima.

Soekarno membuka sidang dan membacakan rumus pernyataan kemerdekaan. Mereka yang hadir menyatakan setuju bahkan ketika Soekarno menanyakan untuk kedua kalinya. Hatta menawarkan mereka yang hadir menandatangani teks sejarah tersebut. Namuun, Soekarni mengusulkan dua orang saja yang menandatangi.

Sebelum ditutup, Soekarno mengatakan di hari yang sama pada 17 Agustus 1945 jam 10 pagi akan dibacakan teks proklamasi di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur 56. Waktu itu bulan puasa, Hatta makan sahur di rumah Maeda. Karena tidak ada nasi, ia makan roti, telur, dan ikan sarden.

Sidang berakhir sekitar pukul 3. Hatta berpesan kepada BM Diah yang bekerja di Kantor Domei untuk mencetak dan meneruskan teks proklamasi sebanyak-banyaknya ke seluruh Indonesia. Ribuan selebaran teks proklamasi dicetak kilat dan disebarkan pagi-pagi.

Paginya, rakyat berbondong-bondong ke halaman kediaman Soekarno untuk mendengarkan pernyataan proklamasi Indonesia. Penyiaran teks proklamasi sebelumnya sudah disiarkan oleh pemuda dan wartawan yang bekerja di kantor Dumei satu jam setengah sebelum Soekarno yang membacakannya.

Hatta tidur setelah salat subuh lalu bangun pukul 8.30 dan berangkat 10 menit kurang ke rumah Soekarno. Soekarno merasa letih dan mungkin juga sedikit takut.

Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, menceritakan:

Upacara sederhana saja, akan tetapi apa-apa yang kurang dalam kemegahannya, kami penuhi dalam pengharapan. Aku berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang dan dengan ringkas mengucapkan pernyataan kemerdekaan kami. Isteriku telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera resmi yang pertama dari Republik. Tiang bendera dibuat sepanjang batang bamboo yang dipotong secara tergesa-gesa, dijadikan tiang bendera darurat dan ditanamkan hanya beberapa saat sebelum itu. Buatannya kasar dan tidak begitu tinggi.

Setelah pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera, Soekarno ke belakang tertuju kepada yang hadir dan saat itu berkata, “Proklamasi sudah diumumkan, ini harus dibela dengan jiwa. Bendera tidak boleh turun lagi. Siapa sanggup?” mereka yang datang serentak bergerombol mendekat, mengangkat tangan, bersumpah setia pada proklamasi.

Polisi Jepang datang dan marah keras lalu mengajak Soekarno ke suatu kamar. Pemuda siap mengerumuni kamar dengan bambu runcing, golok, dan benda lainnya. Saat hendak membawa Soekarno dan Hatta ke markas Jepang, Soekarno mengatakan,” Atas nama rakyat, lihat sekitar tuan. Kalau hendak membawa saya, silahkan saja.” Jepang takut dan marah besar karena merasa kecolongan.

Usuan Perubahan Sila Pertama

Sore harinya, Hatta mendapat telepon dari Nishijama, pembantu Maeda bahwa ada seorang opsir Kaigun (angkatan laut) ingin menemuinya dan mengemukakan sesuatu yang penting. Opsir itu mengatakan bahwa wakil Protestan dan Katolik di Indonesia bagian timur yang dikuasai angkatan laut Jepang sangat keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.

Hatta mengatakan saat rapat panitia sembilan, AA Maramis tidak mempunyai keberatan apa-apa dan ikut menandatanganinya. Namun, tetap saja, pernyataan itu membuat Hatta terpengaruh lalu mengatakan akan membawanya ke sidang PPKI di keesokan harinya.

Menurut Deliar Noer dalam bukunya Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, tanpa mengecek lagi apakah benar opsir tersebut dari Indonesia timur dan apakah bisa mewakili suara bagian Indonesia tersebut, Hatta memercayainya. Hatinya memang menolak bila Indonesia tidak utuh. Sebaliknya, Hatta pun merasa perlu memenuhi tuntutan kalangan Islam tentang syariat tadi.

Keesokan harinya, sebelum rapat PPKI dimulai, Hatta memanggil tokoh-tokoh Islam dari PPKI, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan untuk merundingkannya dalam waktu kurang dari 15 menit.

Hatta mengusulkan agar kata Ketuhanan sebagai sila pertama diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Kasman sadar bahwa suasana saat itu tegang dan sekutu, apalagi Belanda, akan datang dan tidak akan bisa menerima kemerdekaan Indonesia yang diprokalamasikan kemarin.

Kasman berusaha agar tawaran Hatta tidak dihalangi kalangan Islam termasuk meminta sangat kepada Ki Bagus yang seorganisasi dengannya agar tidak bereaksi. Ki Bagus terpaksa diam walaupun sebenarnya hatinya menolak.

Teuku Hasan tidak bereaksi. Walaupun seorang muslim yang taat, Teuku Hasan tidak mengemukakan pendapat dalam soal politik tadi. Wahid Hasyim tidak hadir (sebagian sumber termasuk Hatta mengatakan hadir). Namun, Wahid setuju saran Hatta. Baginya, Ketuhanan yang Maha Esa sama dengan tauhid.

Lanjut Deliar Noer, mengatakan, apakah Hatta tidak setuju dengan syariat Islam? Sepanjang hidupnya, Hatta merupakan seorang muslim yang taat. Sepuluh tahun di Belanda, Hatta tidak minum dan makan sesuatu yang haram, pergaulannya dengan perempuan dibatasi, tidak pernah melakukan sesuatu yang menyimpang dari agama sepanjang berjuang untuk kemerdekaan, dan setelah menjabat sebagai wakil presiden dan perdana menteri, Hatta bersih.

Reporter: Nurcholis Maarif

Editor: Hana Maulina Salsabila

Manajemen Aksi, Awal Pembentukan Jati Diri

Himmah Online, Kampus Terpadu — Salah satu kegiatan Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (Pesta UII) 2018 pada hari kedua, 16 Agustus 2018 yaitu manajemen aksi. Manajemen aksi ini bertema ‘Pemerataan Pendidikan’. Fadillah Adkiras, mahasiswa Ilmu Hukum 2016 yang juga Komisi A Pesta UII 2018, memaparkan bahwa tujuan manajemen aksi yaitu untuk memberitahukan kepada mahasiswa baru tentang empat peran dan fungsi mahasiswa, yaitu agent of change, iron stock, social control dan moral force.

Menurut Fadillah, salah satu hal yang langsung dapat diimplementasikan yaitu manajemen aksi. Melalui manajemen aksi, mahasiswa akan mengerti dan tidak diam saja ketika ada suatu permasalahan, mereka dapat melakukan advokasi. Contohnya ketika mahasiswa sudah melakukan advokasi namun tidak didengar pemerintah, maka ultimum remedium yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan aksi massa. Manajemen aksi tersebut tidak hanya difokuskan kepada aksi massa demonstrasi tetapi juga bagaimana bentuk-bentuk aksi, tidak terfokus pada teatrikal atau menulis opini seperti itu saja.

Fadillah juga menjelaskan bahwa memang manajemen aksi pada tahun ini berbeda dengan tahun kemarin. Tahun 2017 manajemen aksi lebih kepada teatrikal, dramatikalisasi. Tahun 2018 ini hampir sama dengan manajemen aksi tahun 2016. Hanya saja kali ini memang tidak ada penggunaan kertas karena himbauan langsung dari rektorat agar tidak memberatkan mahasiswa untuk membawa peralatan. Maka dari itu saat koreografi pun kertas-kertasnya disiapkan oleh panitia. “Kalau 2016 kan memang membawa kertas sendiri tetapi tahun ini enggak. Ini juga ada kebocoran, tadinya kertas yang digunakan setelah koreografi itu untuk manajemen aksi tetapi kertasnya sudah rusak dan tidak berbentuk, karena itu kertas yang murah, jadi tidak digunakan.” jelasnya.

Pada manajemen aksi ini, mahasiswa baru dibagi menjadi 25 titik, setiap titik diisi dengan tiga sampai empat jamaah. Setelah itu masuk satu pengisi dan diberikan materi manajemen aksi. Kemudian dalam setiap titik akan diambil satu orang untuk maju orasi pada simulasi aksi. Mahasiswa tersebut ada yang sebagai koordinator umum, koordinator lapangan, orator, agritator, dan negosiator.

Pengisi yang dipilih yaitu pimpinan-pimpinan di hampir semua fakultas, seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Lembaga Eksekutif Mahasiswa, serta demisioner yang memang fokus di bidang aksi. Adapun nama-nama pengisi manajemen aksi berasal dari Fadillah sendiri karena nama-nama tersebut lebih banyak dari mahasiswa Fakultas Hukum (FH). “Jadi aku tahu orang-orang yang konsen pada bidang itu. Jadi biar mereka pun diberi pemateri yang memang fokus, bukan hanya sekedar tahu menggeluti bidang itu. Karena memang kalau hukum kan sejalur dengan aksi-aksi begitu.” Jelasnya.

Tema ‘Pemerataan Pendidikan’ dipilih pada manajemen aksi ini agar mahasiswa baru dapat membawa permasalahan dari daerahnya untuk diangkat. “Jadi mereka (mahasiwa baru—red) pun mengerti ‘Oh kalau terjadi seperti itu di daerah saya berarti saya enggak bisa diam saja dong’ secara gambaran umumnya seperti itu. Kalau pendidikan kan semua merasakan.” pungkas Fadillah.

Muhammad Zaki, Komisi I DPM Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, menjadi pemateri di titik manajemen aksi yang berisi jamaah 20 (Ahmad Yani), jamaah 22 (Tjokro Aminoto), jamaah 24 (Kartini), dan jamaah 32 (Iskandar Marzuki). Zaki memaparkan bahwa aksi itu tidak hanya menuntut demo. Salah satu yang dibahas yaitu pra aksi dan pelaksanaan aksi. Pra-aksi biasanya melaporkan terlebih dahulu kepada kepolisian, untuk merencanakan aksi, tujuan aksi tersebut, tidak asal-asalan jalan. Aksi itu dilindungi oleh hokum dan undang-undang tentang aksi kemudian terjun ke lapangan dan membentuk tim aksi. Tim aksi sendiri berisi koordinator umum, koordinator lapangan, orator, negosiator, dan agritator.

“Pendidikan di Indonesia kurang merata karena kurang meratanya infrastruktur di seluruh daerah. Kita sebagai mahasiswa memberikan pengaruh kita, pendidikan kita pada masyarakat yang di bawah!” seru Dimas Surya Saputra, mahasiswa baru Hubungan Internasional jamaah 22 sebagai salah satu orator pada titik manajemen aksi tersebut.

Reporter: Niken Caesanda Rizqi, Fitri Asih Astuti, Faridatul Ariani, Anindha Pratiwi

Editor: Hana Maulina Salsabila

16 Agustus 1945: Soekarno dan Hatta Diculik ke Rengasdengklok

“Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan,” hal ini disampaikan jurnalis Brian May dalam The Indonesian Tragedy.

Himmah Online, Yogyakarta – Menurut rencana awal kemerdekaan Indonesia akan disahkan oleh pemerintah Jepang pada 24 Agustus 1945 (The Liang Gee, 1993: 27). Sebelumnya telah dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas persetujuan komando tertinggi Jepang, Jendral Terauchi di Saigon, pada 7 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai ketua dan Hatta sebagai wakil ketua PPKI.

Namun peristiwa pemboman Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat mengubah rencana awal kemerdekaan Indonesia. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang yang berada di posisi kritis menyerah tanpa syarat kepada sekutu yang ikut berdampak pada percepatan kemerdekaan Indonesia.

Sejumlah golongan muda yang telah mendengar kabar kekalahan Jepang segera mengadakan rapat sederhana yang memutuskan untuk mengirim delegasi diantaramya Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit untuk bicara para Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Mereka mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemeredekaan Indonesia. Mereka menginginkan kemerdekaan segera diproklamasikan terlepas dari pengaruh Jepang. Para golongan muda tersebut kebanyakan berasalah dari kalangan mahasiswa dan pemuda yang tinggal di asrama-asrama sekitar Menteng

Ketika itu dengan bijak Hatta berpendapat bahwa soal kemerdekaan Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri bukanlah menjadi personal, karena Jepang sudah kalah. Namun yang dikhawatirkan adalah sekutu yang akan berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. karena itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi.

Soekarno dan Hatta juga sudah merencanakan untuk membicarakan masalah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia dalam rapat PPKI yang akan dilaksanakan pada 16 Agustus 1945, sehingga dengan demikian tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang (Poesponegoro & Notosusanto, 1992: 79).

Gagalnya permintaan golongan muda kepada Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan mendorong mereka untuk mengadakan rapat sekali lagi. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa Soekarno dan Hatta harus segera disingkirkan ke luar kota dengan tujuan menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang .

Persistiwa Rengasdengklok

Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan,” hal ini disampaikan jurnalis Brian May dalam The Indonesian Tragedy (1978: 92). Yang dimaksud “penculikan” disini adalah Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, sekitar pukul 03.00 pagi, Golongan muda membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Namun, Soekarno dan Hatta tetap tidak mau melakukannya. Mereka masih belum yakin dengan kebenaran kabar menyerahnya Jepang.

Ahmad Soebardjo yang mewakili golongan tua baru mengetahui bawa Sukarno dan Hatta hilang sekitar jam 8 pagi. Ia curiga keterlibatan para pemuda yang aktif di Angkatan Darat Jepang. Untuk memastikan hal tersebut, ia meminta bantuan pada Laksamana Muda Maeda Tadashi yang ketika itu menjadi Kepala Kantor Perwakilan Angkatan Laut Jepang di Jakarta.

Namun, kemudian ia mengetahui bahwa yang membawa Soekarno dan Hatta adalah Golongan muda. Sehingga ia langsung menjumpai perwakilan golongan muda. Soebardjo akhirnya diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Sesampainya disana, perdebatan dan negosiasi pembebasan Soekarno dan Hatta berlangsung alot, menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Golongan muda akhirnya bersedia membebaskan Soekarnodan Hatta dengan satu syarat: proklamasi harus segera diumumkan tanpa bantuan Jepang.

Pada petang 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta, dam kabar tentang menyerahnya Jepang kepada sekutu sudah tidak bisa lagi dibantah. Malam 16 Agustus itu juga, Soekarno dan Hatta meminta keterangan kepada pihak Jepang dan barulah mereka tahu bahwa berita menyerahnya Jepang memang benar. Malam itu juga, begitu sudah tiba lagi di Jakarta, Soekarno dan Hatta begadang bersama yang lain. Di rumah Maeda, naskah Proklamasi pun lahir. Esok paginya, 17 Agustus 1945, dibacakan di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

Reporter: Muhammad Multazam

Editor: Nurcholis Maarif

Busyro: Berorganisasi Latihan Memimpin

“Memimpin itu hal yang mempengaruhi orang lain. Sebelum mempengaruhi, kita punya modal, modal itu berorganisasi.”

Himmah Online, Kampus Terpadu – Hari kedua kegiatan Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (Pesta UII) diisi dengan berbagai rangkaian acara, salah satunya adalah Stadium Generale yang diikuti oleh seluruh mahasiswa/i baru di Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir pada Rabu 15 Agustus 2018. Stadium Generale tersebut diisi oleh Busyro Muqoddas sebagai pemateri dengan tema “Menyemai Pemimpin Milenial Progresif Bermoral Profetik.”

Busyro di awal pidoatonya menceritakan bagaimana para alumni UII berkiprah dikancah panggung nasional, seperti Artidjo Alkotsar yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung, Mahfud MD yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstituso, serta Suparman Marzuki yang dulu menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial. Menurut Busyro itu semua tidak lepas dari visi misi UII yaitu mendidik dengan sungguh-sungguh mahasiswanya menjadi pemimpin yang beriolmu amaliyah dan beramal ilmiah.

Menurut Busyro, mahasiswa adalah kelompok pemburu ilmu dan kemanusiaan. “Pemburu itu akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mencapai yang diburu kalau yang diburu itu ilmu dan kemanusiaan,” ucap Busyro. Jika ingin berusaha untuk memanusiakan manusia namun tidak memiliki ilmu maka hal tersebut, menurut Busyro, merupakan sesuatau yang mustahil dan tidak bisa sukses memimpin negara, bangsa dan umat.

Sebagai mahasiswa yang memiliki konsep pemburu ilmu dan kemanusiaan, hal yang paling sederhana untuk dilakukan menurutnya adalah menerapkan filsafat salah satu surat dalam Alquran, yaitu surat Al-Ashr. Busyro memaparkan makna dari surat tersebut. Pertama, menggunakan waktu untuk membina diri dengan iman dan melaksanakan ibadah lain yaitu belajar, tidak hanya sampai jenjang Strata 1 tapi sampai jenjang doktor. Kedua, melaksanakan amal saleh untuk kemanusiaan sesuai dengan perintah-perintah Islam. “Kalau filsafat Al-Ashr ini dipahami dan diamalkan, tidak mungkin anda tidak sukses, tapi insyaallah sangat sukses,” ujarnya.

Busyro juga mengatakan bahwa mahasiswa harus peduli dengan masyarakat, melihat tetangga yang jauh maupun dekat bagaimana kondisi perekonomiannya, kecerdesannya dan sebagainya. Hal tersebut dikatakan ketika ia ditanyai terakit bagaimana memupuk kesadaran mahasiswa yang hanya berdiam diri di kos atau asrama. Selain itu ia menambahkan bahwa kosan atau asrama hanya tempat untuk berkontenpasi, bermenung, berimajinasi, dan beristirahat setalah sehari penuh melakukan aktvitas ilmiah di kampus. “Jangan berpikir menajdi pemimpin kalau tidak ramah dengan tetangga. Dan doa tetangga itu luar biasa, mereka menjadi sumber pelajaran kehidupan,” jelasnya.

Bagi Busyro, berorganisasi merupakan basic need yang tidak hanya diperlukan oleh semua orang bahkan negara. Bangsa yang besar pun pasti memerlukan manusia lainnya karena manusia merupakan makhluk sosial. Organisasi mempunyai tugas untuk melakukan ajakan kebaikan, menegakkan kebenaran, kejujuran dan kemanusiaan serta mempunyai misi untuk mencegah kemaksiatan politik. Ia juga mengatakan orang yang berorganisasi merupakan orang-orang yang nanti akan berjuang.

Busyro kemudian memaparkan pengalaman organisasi sejumlah besar alumni UII. Busyro aktif dalam Majelis Permusyawaratan Mahasiswa dan menjadi ketua di salah satu komisi, Mahfud MD yang aktif di majalah Himmah, serta Supraman Marzuki yang dulu menjabat sebagai ketua senat. Ia menerangkan bahwa dalam sejarah, mahasiswa yang rajin dan aktif berorganisasi akan berhasil memimpin diberbagai sektor kepemimpinan. “Termasuk memimpin di sektor penggiat-penggiat sosial itu karena berorganisasi,” pungkasnya.

Reporter: Niken Caesanda Rizqi, Fitri Asih Hastuti, Hana Maulina Salsabila, Yuniar Nurfitriya

Editor: Hana Maulina Salsabila

Sosial Project di Pra Pesta UII 2018

Himmah Online, Kampus Terpadu – Sosial Project (sospro) menjadi agenda untuk mahasiswa baru di hari Pra Pesona Taaruf Universitas Islam Indonesia (Pesta UII) pada selasa, 14 Agustus 2018. Selain sospro, agenda mahasiswa baru di Pra Pesta yaitu koreografi dan pembuatan co card.

Sospro kali ini adalah yang kedua yang dilakukan oleh Pesta UII semenjak pertama kali dilakukan pada Pesta Unisi 2017 yang lalu.

Menurut Kristianto dan Harunian Ahmad, Komisi A Steering Committee (SC) Pesta UII 2018, tujuan sospro ini dilakukan adalah untuk membangun citra mahasiswa UII yang baik di masyarakat.

“Untuk memberikan bahwa mahasiswa UII turun langsung di sekitar UII. Targetnya, UII dikenal mahasiswanya baik-baik. Tidak hanya membersihkan masjid, tapi sembako juga,” ucap Kristianto, Mahasiswa D3 Ekonomi ini.

Lanjut Kristianto, sospro kali ini dilakukan di desa-desa sekitaran UII seperti Lodadi, Pakem, Nglanjaran, dan panti asuhan serta pondok pesantren. Panitia melibatkan 400 mahasiswa baru dalam pelaksanaan sospro di 20 titik. Dari 81 jamaah yang ada di Pesta UII 2018 mempunyai jatah empat sampai lima mahasiswa baru untuk ikut dalam sosialisasi sembako ke masyarakat maupun membersihkan masjid.

Menurut Harunian, setiap jamaah diwajibkan membawa sepuluh kg beras, satu dus mie instan, dan alat tulis.

“Tahun sekarang, mahasiswa baru yang langung membagikan sembako tersebut. Kita sudah bagi semua, tiap plastik (yang akan dibagikan) berisi dua kg beras dan empat mie instan. Kita nanti ada pembagian ke Taman Pendidikan Alquran berupa alat tulis, kemudian ke pondok-pondok,” ucap Harunian, mahasiswa Hukum Islam angkatan 2016 menambahkan.

Rinto Handoyo, Ketua RT 41 Dusun Pakem Tegal, Desa Pakem yang menjadi salah satu titik sospro, mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima surat pemberitahuan dan permintaan data masyarakat yang kurang mampu. Namun, belum ada penjelasan lebih lanjut terkait teknis pemberian bantuan.

“Teknisnya ini mau seperti apa, apakah Ketua RT-nya ikut langsung ataukah mau diam di rumah, atau mahasiswanya mau bergerak sendiri. Sebatas memberikan surat pemberitahuan, bahwa kami hanya sekedar izin. Selesai,” ucap Rinto.

Rinto juga mengatakan bahwa dia dan beberapa ketua RT di sekitar Dusun Pakem Tegal belum menerima kabar dari panitia Pesta UII 2018 saat diwawancara reporter Himmahonline.id sekitar pukul setengah sepuluh.

Menurut Kristianto, kurang koordinasi dengan Dusun Pakem Tegal karena kendala waktu yang mepet. Saat panitia Pesta UII memberikan surat dan berkoordinasi, beberapa ketua RT, RW dan Kepala Dukuh sedang tidak ada di tempat.

“Karena waktunya yang mepet sama Pesta, masih banyak tugas yang harus diselesaikan juga, kita menugaskan bagian Humas dan Transportasi yang naik ke atas (Dusun Pakem Tegal-Red). Cuma mengantarkan surat untuk minta perizinan,” pungkas Kristianto.

Adapun menurut Veni Pradita Arsanti, mahasiswi baru jamaah sembilan yang mengikuti sospro menceritakan kegiatannya. Veni kebagian di daerah sekitar pasar Pakem, di masjid. “Jadi saya cuma langsung ke tempat pak RT-nya, terus sembako yang di pick up itu sudah ada di depan rumah pak RT-nya, jadi kita langsung ngasih itu beras sama mie instan,” ucap Veni yang merupakan mahasiswa baru jurusan Akuntansi.

Sementara menurut Arif Rachman Hidayat, teman Veni dari jamaah sembilan, mengatakan bahwa dari jamaahnya terdapat empat orang yang mengikuti sospro sementara sisanya mengikuti agenda koreografi. Tiga mahasiswi dan satu mahasiswa tersebut mengajukan diri ke wali jamaah. Setiap mahasiswa dan mahasiswi baru di jamaah sembilan diminta iuran Rp5000.

“Sospro ini kan buat disumbangin ke warga gitu toh, bagus sih, maksudnya kita cuma iuran segitu tapi bisa bermanfaat buat orang lain,” ucap Arif yang merupakan mahasiswa baru jurusan Pendidikan Agama Islam ini.

Reporter: Alief Fachturrohman, Anindha Pratiwi, Ika Pratiwi Indah Y, Nurcholis Maarif

Editor: Nurcholis Maarifs

Dinamika Peningkatan dan Penurunan Jumlah Mahasiswa UII

Himmah Online, Kampus Terpadu – Jumlah mahasiswa baru Universitas Islam Indonesia (UII) tahun akademik 2018/2019 meningkat secara signifikan. Hal ini diketahui dari laporan Wakil Rektor I bidang pengembangan dan riset, Imam Djati Widodo dalam kuliah perdana mahasiswa baru pada hari Senin, 13 Agustus 2018 di Auditorium Kahar Mudzakkir.

Imam menyampaikan bahwa dari 26.967 calon mahasiswa yang mendaftar, hanya terdapat 5.638 mahasiswa baru yang diterima dengan masing-masing presentase 49,2% perempuan dan 50,8% laki-laki.

“Jika dirata-rata mahasiswa yang mendaftar dan diterima didapatkan perbandingan 1:5. Artinya, dari lima calon mahasiswa yang mendaftar hanya satu yang diterima,” ucap Imam.

Imam juga menyampaikan bahwa angka ini menunjukkan tingginya minat pilihan menempuh pendidikan di UII dan ketatnya persaingan dari 38 program studi baik S1 maupun D3 dengan peningkatan sebesar 12% atau 3000 pendaftar.

Sepuluh provinsi penyumbang terbesar calon mahasiswa baru UII yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Riau, Banten, Lampung, Kep. Riau, dan Sumatera Selatan. 

Sebelumnya, pada tahun akademik 2014/2015 UII menerima 6.649 mahasiswa baru, kemudian terdapat penurunan jumlah mahasiswa di dua tahun berikutnya. Tahun akademik 2015/2016 sejumlah 5.386 mahasiswa baru dan tahun akademik 2016/2017 sejumlah 4.201 mahasiswa baru.

Barulah di dua tahun selanjutnya UII mengalami peningkatan jumlah mahasiswa baru. Tahun akademik 2017/2018 sebanyak 4.760 mahasiswa baru dan tahun akademik 2018/2019 atau tahun ini sebanyak 5.638 mahasiswa baru.

Fathul Wahid, Rektor UII dalam pidato sambutannya selain bercerita tentang sejarah UII dan menerangkan peran mahasiswa di era sekarang. “Atas nama UII saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan bangsa ini kepada kami. Pada tahun ini lebih dari 26.000 anak negeri ingin studi di UII, namun kami harus memohon maaf karena sekitar 5.000 yang dapat terlayani. Kami insyallah akan melakukan yang terbaik untuk amanah ini,” tutupnya di penghujung sambutan.

Reporter: Armarizki Khoirunnisa D.

Editor: Nurcholis Maarif