Beranda blog Halaman 124

LENSA: Keringat Berbuah Ketidakpastian

langkah akhirLangkah Akhir-Aldino Friga P. S.

siap jualSiap Jual-Aldino Friga P. S.

tahap awalTahap Awal-Robithu Hukama

terpajang rapiTerpajang Rapi-Aldino Friga P. S.

Mbah Harjo sedang menyayat bilah bambu. Ia adalah satu dari pengrajin mainan tradisional di dusun Pandes, desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Desa itu dikenal dengan “Desa Dolanan”. Sejak kecil para pengrajin di desa Pandes sudah memproduksi berbagai jenis mainan. Seperti kitiran,otok-otok, kandang dan wayang-wayangan. Mereka membuat semua mainan itu berbekal ilmu yang diberikan oleh orang tua. Hingga saat ini kegiatan memproduksi mainan tradisinal menjadi sumber penghasilan mereka.

Para pengrajin mainan harus melakukan proses dari awal produksi hingga siap jual dengan hanya bermodalkan piranti-piranti uzur peninggalan orang tua mereka. Bambu seharga tiga ribu rupiah mereka olah menjadi bahan dasar rangka mainan. Butir nasi digunakan sebagai lem untuk menempelkan kertas ke rangka payung-payungan. Mereka merekatkan satu demi satu ujung-ujung rangka dengan kertas yang telah diberi pewarna.

Setelah mainan usai dibuat bukan berarti rupiah akan langsung ditangan. Lantaran mereka harus menanti tengkulak yang akan membeli mainan. Akan tetapi para tengkulak pun tidak tentu datangnya. Biasanya dalam satu minggu tengkulak hanya datang sesekali saja. Meskipun begitu, mereka tetap bertahan dengan pekerjaannya. “Sudah tidak ada kerjaan lain mas, pekerjaan saya yaa ini,“ tutur mbah Harjo salah satu pengrajin mainan.

Narasi oleh: Revangga Twin T.

Lulus UAN 100%, Siswa Kelas XII SMAN 6 Yogyakarta Bagi-bagi Sembako

Untuk menghindari penumpukan pihak sekolah mengumumkan hasil UAN melalui website milik sekolah.

Salah satu siswi SMAN 6 Yogyakarta memberikan sembako kepada warga Terban, Yogyakarta (24/5). Bagi-bagi sembako ini sebagai wujud rasa syukur atas kelulusan siswa-siswi SMA N 6 Yogyakarta. (Foto oleh: Revangga Twin T.)

Salah satu siswi SMAN 6 Yogyakarta memberikan sembako kepada warga Terban, Yogyakarta (24/5). Bagi-bagi sembako ini sebagai wujud rasa syukur atas kelulusan siswa-siswi SMA N 6 Yogyakarta. (Foto oleh: Revangga Twin T.)

Oleh: Revangga Twin. T.

Yogyakarta, Himmah Online

Hari ini adalah hari pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) bagi SMA/SMK/MA/Sederajat di seluruh Indonesia. Tak terkecuali SMA Negeri 6 Yogyakarta,  pada UAN tahun ini semua siswa kelas XII-nya dinyatakan lulus semua.  Untuk memudahkan siswa dalam melihat hasil pengumuman UAN, pihak sekolah menggunakan metode pengumuman secara online melalui laman milik sekolah.

Berbeda dengan kebanyakan sekolah lainnya,untuk meluapkan rasa syukur mereka, siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta  memilih untuk memberikan bantuan sembako kepada masyarakat di sekitar daerah Terban, Yogyakarta. Hal itu mereka pilih daripada harus berkonvoi kendaraan bermotor keliling kota Yogyakarta. Meski begitu masih ada dari mereka yang melakukan aksi corat-coret seragam.

LENSA: Jam Penopang Kehidupan

Kios SederhanaPenghidupan Suratno-Revangga Twin T.

Mengecek PutaranMengecek Putaran-Aldino Friga P. S.

Service Tidak DiambilService Tidak Diambil-Revangga Twin T.

Spare PartSpare Part-Aldino Friga P. S.

SuratnoSuratno-Revangga Twin T.

Hari sudah malam. Udara Jalan Kali-urang KM 5,8 makin dingin. Di pinggir jalan, berdiri sebuah kios dengan pe-nerangan yang cukup. Ukuran kios itu sekitar 2 x 1,5 meter. Pada dinding-dinding kios tertem-pel tulisan “Tukang Service Jam”.

Pemilik kios ini adalah Suratno. Pria berusia 36 tahun ini berprofesi sebagai tukang reparasi jam sejak tahun 1999. hidupnya tak banyak berubah sejak ia memulai profesi ini. Meski begitu, Suratno mampu menghidupi istri dan satu anaknya yang berusia 3 tahun.

Suratno mematok tarif untuk sekali reparasi sebesar 10-25 ribu, itu pun ter-gantung kerumitan dan sparepart yang mesti diganti. Rasanya tarif sebesar itu menjadi tidak adil jika melihat resi-ko yang harus ditanggung. Saat ada pelanggan yang tidak mengambil jam yang telah di reparasi, Suratno lah yang harus menanggung kerugian. “Jika hanya mesin, bisa saya ambil lagi. Namun ,jika ganti batu (baterai-red) yah mau gimana lagi, batu yang saya sudah pasang kan sudah tidak bisa dicopot lagi,” tutur Suratno.

Belum lagi maraknya jam tangan impor dari China, membuat resah Su-ratno dan teman-teman se profesi. Pasalnya, hal itu akan mempengaruhi pendapatannya. Dengan harga jam ta-ngan China yang cenderung murah, kon-sumen akan lebih suka membeli jam ta-ngan baru daripada mereparasikan jam tangan mereka yang rusak. Meski begitu, Suratno tetap tidak akan meninggalkan profesinya ini. Baginya, menjadi tukang reparasi jam sudah menjadi jalan hidup.

Narasi oleh: Revangga Twin T.

 

Suara Pembaca: Karyawan Judes, Perbaiki Sarana

Karyawan judes

Pelayanan di bagian perkuliahan FTI (Fakultas Teknologi Industri) kurang ramah. Kadang ada karyawan yang judes dan suka marah-marah tidak jelas kepada mahasiswa yang sekadar ingin bertanya. Hal seperti ini membuat mahasiswa enggan untuk berurusan dengan birokrasi di kampus karena pelayanan yang tidak ramah dan cenderung mempersulit. Harapan saya, karyawan dapat lebih profesional dalam memberikan pelayanan karena itu juga bagian dari hak mahasiswa.

(Lulu Zakiyah-Jurusan Informatika 2011)

Perbaiki Sarana

Sarana dan prasarana untuk universitas setingkat UII masih kurang memuaskan, terutama untuk akses internet di fakultas. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan fasilitas internet kurang memadai. Akibatnya, saat pencarian bahan untuk tugas atau mengunduh sesuatu, terasa lama.
Untuk unisys sendiri, kalau bisa bandwidth-nya ditambah supaya tidak error jika melaksanakan key in. Begitu pula dengan klasiber.
Kalau bisa, GOR juga dilakukan perawatan dan pembersihan.
Fasilitas parkir untuk mahasiswa juga lebih baik diperluas untuk menampung kendaraan yang tiap tahun bertambah.

(Wahyu Bagaskoro-Jurusan Psikologi 2010)

Bantuan Sosial Pesta 2012 Menumpuk di Kantor LEM U

LEM U yang berperan sebagai penanggung jawab bantuan sosial seolah-olah lalai melaksanakan tanggung jawabnya.

Dani A. P. (21), Kabid LEM di Bidang Pengabdian Masyarakat menunjukan bantuan sosial yang masih menumpuk tak terurus di kantor Lem Universitas (3/5). Beberapa diantaranya sudah tak layak diberikan karena kadaluarsa dan dikerubungi serangga. Pihak Lem berdalih, bahwa bantuan ini merupakan jatah lembaga khusus (LK) yang tak diambil sejak Pesta 2012 selesai dilaksanakan. (Foto oleh: Aldino Friga P. S.)

Dani A.P. (21), Kabid Pengabdian Masyarakat LEM UII menunjukkan barang-barang bantuan sosial yang masih menumpuk dan tak terurus di Kantor LEM UII, Jum’at (03/05). Beberapa barang sudah tak layak diberikan karena kedaluwarsa dan dikerubungi serangga. (Foto oleh: Aldino Friga P. S.)

Oleh: Budi Armawan

Kampus Terpadu, Himmah Online

Pada Pesona Ta’aruf (Pesta) 2012 lalu, seluruh mahasiswa dan mahasiswi baru diwajibkan membawa barang-barang untuk bantuan sosial berupa beras dan mie instan. Sejak Pesta usai, sebagian barang tersebut hingga kini masih menumpuk di Kantor Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM U). 

Muhammad Shadily Rumalutur, Ketua LEM U, berdalih bahwa sebagian dari barang-barang tersebut telah disalurkan ke desa binaan LEM U dan Kantor Pengelola Kampus (KPK). Selain itu, barang bantuan sosial juga dibagikan ke masyarakat saat acara Idul Adha dan Tabligh Akbar Ustadz Soleh Mahmud (Solmed). “Kurang lebih ada sekitar empat sampai lima puluh persen yang sudah tersalurkan,” tutur pria yang akrab dipanggil Shadily ini. 

Purwanto, Koordinator Lapangan KPK, angkat bicara. Ia mengaku sama sekali tidak mendapatkan bantuan sosial dari LEM U, baik berupa beras maupun mie instan. Ia pun menyayangkan barang-barang bantuan sosial yang masih menumpuk. Berbeda dengan atasannya, Agus Diyanto yang merupakan karyawan di KPK, mengaku bahwa dirinya mendapatkan beras dan empat bungkus mie instan dari LEM U bersama dengan 16 karyawan lainnya. “Ngambilnya di LEM U selesai ospek, yang punya anak dikasi tambahan buku,” tukas Agus saat ditemui tengah menyapu jalan di sekitar FTSP UII. 

Desa Dawangsari adalah desa binaan LEM U. Lokasinya terletak di perbukitan yang terletak di daerah Prambanan. Salah seorang warga, Endang, mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari LEM U. Padahal, Endang termasuk warga Desa Dawangsari. Berbeda dengan Endang, Wariyem yang juga istri Kepala Desa (Kades) Dawangsari, mengaku jika dirinya pernah mendapatkan barang dari bantuan sosial LEM U. “Dulu waktu hari raya Idul Adha datang bagi–bagi ke sini,” ujar Wariyem. 

Terkait pembagian barang-barang bantuan sosial, LEM U bertindak sebagai penanggung jawab. LEM U memiliki wewenang untuk membagikan barang sesuai dengan jatahnya masing-masing. Sistem seperti ini sudah berlangsung setiap tahunnya. Biasanya, jatah lebih besar diberikan kepada Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (Mapala Unisi), mengingat mereka memiliki banyak desa binaan. 

Shadily menuturkan, ia pernah meminta bantuan secara lisan kepada Mapala Unisi untuk membantu penyaluran barang-barang bantuan sosial. Ia juga mengatakan, ada bantuan sosial bagian Mapala Unisi yang belum tersalurkan. “Saya jaga sekali dari kemarin, makanya saya biarin aja. Jangan sampai kita (LEM U-red) ngambil karena sudah diplot-plotkan. Takutnya gara-gara peristiwa kemarin (insiden pemukulan saat Pesta-red), dikiranya kita tidak mau kasi ke teman–teman Mapala,” ujar Shadily. 

Ketua Umum Mapala Unisi, Hendrik Novero, menyatakan pernah terjadi pembicaraan dengan LEM U soal penyaluran barang-barang bantuan sosial. Mapala Unisi menyatakan siap untuk membantu penyaluran barang. Menurut Hendrik, setelah pembicaraan itu, pihak LEM U tidak pernah lagi menghubungi Mapala Unisi untuk berkoordinasi. Hendrik lantas terkejut ketika dirinya berkunjung ke Kantor LEM U pada Februari 2013 dan melihat beras dan mie instan masih menumpuk. 

Hendrik mengaku, pada tahun-tahun sebelumnya, Mapala Unisi selalu dihubungi LEM U untuk mengambil barang-barang bantuan sosial Pesta, tetapi di tahun ini hal itu tidak ada. “Setelah tidak ada lagi pembahasan, saya kira mereka punya tempat lain untuk menyalurkan, petunjuknya pun tak ada, cuma mereka hanya menanyakan bisa atau tidak, abis itu nggak ada lagi komunikasi,” jelas Hendrik. 

Ketika disinggung soal insiden pemukulan saat Pesta kemarin, Hendrik mengatakan jika hal tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan penyaluran barang bantuan sosial. Sembari tertawa, Hendrik menegaskan permasalahan itu sudah selesai. 

Bagaimana Tanggapan Mahasiswa? 

Kiki Yudha, mahasiswa Farmasi 2012, mengatakan sewaktu Pesta ia diwajibkan untuk membawa setengah kilogram beras dan dua bungkus mie instan oleh wali jama’ah. “Katanya sih buat disumbangin,” ujar Kiki. Ia menyesalkan bantuan itu tidak tersalurkan dan barang-barangnya masih menumpuk di Kantor LEM U hingga saat ini. 

Rahmad Amri Hasbullah, mahasiswa Teknik Informatika 2010, mengatakan pernah melihat barang-barang bantuan sosial saat rapat di Kantor LEM U. Ia menyayangkan terlambatnya penyaluran bantuan sosial yang hingga kini masih menumpuk itu. 

Tak berbeda dengan Kiki dan Rahmad, Samsi Arif mengungkapkan kekecewaannya terhadap penumpukan barang-barang bantuan sosial ini. “Segera saja disalurkan, yang basi ya udah dilupain, yang masih bisa disalurkan ya salurkan. Syukur-syukur ditambahin, tapi ingat ganti yang basi tadi!” tegas mahasiswa Psikologi 2010 ini. 

Reportase bersama: Revangga Twin T. dan Irwan A. Syambudi

Antara Korupsi dan Mahasiswa

Korupsi bukan hal asing lagi di telinga masyarakat. Banyak elite politik yang tertangkap basah dalam penyalahgunaan anggaran negara. Misalnya, Anas Urbaningrum,mantan Ketua Umum Partai Demokratyang terjerat korupsi Hambalang dan Luthfi Hasan,mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang terjerat korupsi impor daging sapi. Selain keduanya, masih banyak deretan nama lain yang cukup membuat miris rakyat.

Korupsi pun ikut menjerat mahasiswa. Adalah Mario Zuhfri, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang.Mahasiswa semester VI inimengajukan 10 proposal fiktif kepada badan, lembaga, dan organisasi di Jawa Tengah (Jateng), khususnya pos dana hibah bantuan sosial. Ia menitipkan proposal-proposal itu melalui perusahaan milik Yoyok Sukawi, Ketua Komisi E DPRD Jateng, yaitu PT. Kartina Adijaya. Proposal-proposal itulalu ditandatangani Harry Triyadi, Staf Komisi E DPRD Jateng untuk selanjutnya diajukan ke Gubernur Jateng.

Proposal kegiatan fiktif yang diajukan Mario masing-masing bernilai Rp 10 juta sehingga Mario berhasil mendapatkan uang Rp 100juta. Kegiatan fiktif tersebut antara lain Kejuaraan Tenis Meja, Pelatihan Kecantikan “Kirana”, Penataran Juri Pencak Silat Gajah Putih, Kejuaraan Garuda Open I, Peningkatan SDM Pelatihan Panahan, dan lain-lain. Proposal dibuat lengkap dengan kepanitian palsu. Bahkan, Mario memalsukan tanda tangan lurah dan camat serta menyertakan stempel palsu. Mario juga membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) agar kegiatan yang ia ajukan tampak benar-benar terjadi.

Uang Rp 100 juta tersebut digunakan Mario untuk jalan-jalan ke Solo. Nahas. Sepulang dari jalan-jalan, Mariolangsung ditangkapSatreskrim Polrestabes Semarang. Ia mengaku tak melibatkan orang lain dalam aksinya, tetapi polisi menduga, ada “orang dalam” yang membantu Mario. Dengan diperiksanya Yoyok Sukawi, diduga ada orang lain yang juga terlibat dalam kasus ini. Akibat perbuatannya, Mario dijerat dengan Pasal 2 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP. Ia terancam hukuman penjara lebih dari 5 tahun. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Perbuatan Mario tentu mencoreng citra universitas sekaligus mahasiswanya. Mario tidak seharusnya menyalahgunakan kecerdasan sebagai mahasiswa untuk memperkaya diri secara instan, apapun alasannya.

Di Universitas Islam Indonesia (UII), korupsi pernah terjadi di kalangan mahasiswa. Kasus ini terungkap satu dekade silam. Seorang mahasiswi Fakultas Hukum, Mirza Imada Zulfiqar atau Micha, menggelapkan dana kemahasiswaan sebesar Rp 279 juta. Hal tersebut dilakukan saatdirinya menjabat Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM U) Periode 1998-2000. Komisi IV sendiri bertugas mengelola keuangan lembaga kemahasiswaan. Saat itu, Micha tidak dapat mempertanggungjawabkan dana yang dikelolanya. Micha pun sering kali sulit ditemui dengan alasan keluar kota atau keluar negeri.

Kasus ini baru terungkap saat kepengurusan DPM U Periode 2000-2002. Pengurus DPM yang ada mendapati kejanggalan dalam LPJ bidang penggunaan dana kemahasiswaan. Kasus korupsi ini lalu diajukan ke pengadilan. Micha ditetapkan sebagai tersangka meskipun ia tidak pernah datang ketika sidang berlangsung.Kasus ini berakhir dengan pengembalian dana dan kesepakatan nota damai, yang seharusnya tidak berlaku pada kasus pidana korupsi. Itu terjadi karena pihak rektorat kalah pada sidang gugatan Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) sehingga pihak Micha meminta agar kasus ini tidak diajukan ke pengadilan.

Sebutan ”Agent of Change

Mahasiswa dikenal pula sebagai agent of change, pembawa perubahan yang lebih baik. Sebutan ini tampaknya tidak berlaku pada sosok Mario dan Micha. Mereka tidak menjalankan peran sebagai agen perubahan, namun malah ikut-ikutan melakukan korupsi. Meski korupsi yang terjadi pada mahasiswa tidak begitu masif, mungkin saja ada kasus korupsi lainnya yang belum terungkap secara jelas. Mahasiswa yang idealis berteriak “anti korupsi”, sebagian justru menjilat ludah sendiri. Hal ini menandakan degradasi moral mahasiswa yang cenderung pragmatis. Pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan hingga bangku kuliah pun seolah tidak berguna. Akankah mahasiswa menjadi generasi koruptor, bila saat ini saja sudah melegalkan korupsi?

Akar korupsi di Indonesia sepertinya sulit dicabut. Korupsi telah menjangkiti manusia, berkembang dari zaman ke zaman, dan menular ke berbagai kalangan. Perlawanan terhadap korupsi dikonfrontasi dengan perbuatan korupsi yang semakin banyak. Pada tahun 2012 saja, KPKmenangani korupsi sebanyak 332 kasus. Belum lagi korupsi kecil-kecilan-menerima atau memberi sogokan, salam tempel, uang pelancar- yang tidak dapat ditindak tegas oleh hukum dan terus berkembang di masyarakat. Meminjam pendapat Bung Hatta, salah seorang tokoh proklamator Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah budaya di negeri ini.

Dengan adanya kejadian tersebut,perguruan tinggi atau jenjang pendidikan di bawahnya perlu memasukkan kurikulum antikorupsi secara gamblang agar para penerus bangsa ini tidak tertular wabah korupsi yang semakin merajalela. Kita pun harus membiasakan diri sendiri untuk bersikap jujur dan tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada korupsi.Hal itu tentunya dilakukan demi perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

*) Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2010/Staf Bidang Redaksi LPM Himmah UII

Melawan Liberalisme

 “Islam itu sendiri sudah rahmatan lil alamin. Jadi, tak perlu lagi memakai rahmatan lil alamin,” tutur Yusdani, Dosen Magister Studi Islam UII.

(Kiri-Kanan) Yusdani dan Adian Husaini menjadi pembicara dalam acara beda novel KEMI (Cinta Kebebasan yang Tersesat) (18/5). Adian menilai Islam tidak bisa diliberalkan, karena ada aspek yang tidak bisa berubah. (Foto oleh: Nafiul Mualimin)

(Kiri-Kanan) Yusdani dan Adian Husaini menjadi pembicara dalam acara beda novel KEMI (Cinta Kebebasan yang Tersesat) (18/5). Adian menilai Islam tidak bisa diliberalkan, karena ada aspek yang tidak bisa berubah. (Foto oleh: Nafiul Mualimin)

Oleh: M. Hanif Alwasi

Kampus Terpadu, Himmah Online

Korps Dakwah Universitas Islam Indonesia (Kodisia) menyelenggarakan bedah novel yang berjudul “Membuka Tabir Liberalisme” melalui novel KEMI (Cinta Kebebasan yang Tersesat). Acara ini diadakan  pada 18 Mei 2013 di Auditorium Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (UII). Pembicara yang turut serta, Yusdani (Dosen Magister Studi Islam UII) dan Adian Husaini (penulis novel).

Adian Husaini mengungkap inspirasi tentang penulisan novel.Cerita KEMI bermula ketika menonton film “Perempuan Berkalung Surban” di stasiun Televisi. Film itu baru ditonton, meskipun telah lama mendengar tentang kontroversi dari film tersebut. Hanya setengah jam menonton, Adian langsung menilai film tersebut terlalu menjelekan kehidupan pondok pesantren. Seperti, penokohan seorang Kyai, menurut Adian digambarkan begitu bodoh. Di Indonesia ada sekitar 25 ribu pondok pesantren. “Sangat banyak yang berkualitas bagus, meskipun ada juga yang belum berkualitas” tutur Adian.

Yusdani berpendapat isu liberalisme bagi seorang awam, terasa berat akan menjadi ringan, jika telah membaca novel KEMI. Dengan bahasa yang imajinatif dan “pedas”, novel ini menarik untuk dibaca.

Terkait paham liberal, Adian menilai Islam tidak bisa diliberalkan, karena ada aspek yang tidak bisa berubah. Seperti, aspek ritual (sholat dan wudlu) yang sampai kapan pun tidak akan berubah.

Kampus UII pun turut dikritik. Yusdani mempertanyakan makna motto rahmatan lil alamin yang dipakai UII. Menurutnya, “Islam itu sendiri sudah rahmatan lil alamin. Jadi, tak perlu lagi memakai rahmatan lil alamin” kata Yusdani.

Ditemui usai acara, ketua panitia, Edwin Aditya Irawan. Ia menjelaskan tujuan diselenggarakannya bedah novel KEMI ini selain untuk memperingati Hari Buku yang jatuh pada 17 Mei 2013, juga untuk mengkritisi secara mendalam paham liberal. Edwin berharap peserta bedah novel lebih kreatif menuangkan ide dalam bentuk tulisan setelah ikut acara ini.

Najwa Herfany, mahasiswi Farmasi 2012, mengapresiasi acara bedah novel ini. Hanya saja ia bingung dengan topik yang dibicarakan karena belum membaca novel KEMI. Ia juga sumbang saran kepada panitia kalau bisa mendatangkan narasumber yang kontra dengan liberalisme. Sehingga lebih berimbang.

LPM Himmah UII Ikut Serta dalam Acara Green Living Festival

(Foto: Dokumentasi LPM Himmah UII)

(Foto: Dokumentasi LPM Himmah UII)

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Divisi Fotografi Bidang Redaksi LPM Himmah UII mengadakan pameran foto tematik dengan tema “Dunia Anak” dalam acara Green Living Festival. Green Living Festival adalah acara puncak dari Chemistry Week yang diadakan oleh jurusan Ilmu Kimia FMIPA UII. Bertempat di Area Parkir FMIPA, acara ini terselenggara sejak tanggal 13 hingga 20 Mei 2013. Pada pameran kali ini, LPM Himmah UII menyajikan 5 foto yang diambil dari rubrik Lensa Majalah Himmah Edisi 2 No.2/thn.XLVI/2013. Selain memamerkan foto jurnalistik hasil karya fotografer Himmah, pameran ini juga bertujuan untuk mengenalkan majalah Himmah terbaru kepada mahasiswa UII.

 

LENSA: Jejak Air Para Penambang Pasir

Foto dan narasi oleh: Aldino Friga P.S.

1. Pekerja TambangPekerja Tambang

2. Mengais RejekiMengais Rezeki

3. Teman KerjaTeman Kerja

4. 1 ritSatu Rit

Hasil PerjuanganHasil Perjuangan

Di tengah sungai, kerumunan orang berkumpul membawa ban. Tinggi air sungai saat itu mencapai pinggang, namun terkesan biasa saja bagi mereka. Arus sungai yang deras dan sinar mentari yang terik, tak dihiraukan. Sesekali terdengar senda gurau. Lalu mereka tiba-tiba merunduk, mengambil sesuatu dari dasar sungai, dan menaruhnya di atas ban.
Mereka adalah sekelompok penambang pasir di Kali Progo, Dusun Bendo, Kelurahan Trimurti, Kecamatan Srandaan, Bantul. Pasir di Kali Progo merupakan material dari aliran lahar dingin Gunung Merapi. Kualitasnya bagus. Tak heran jika pasir hasil tambang Kali Progo terkenal hingga keluar DIY. Setiap harinya, dua orang penambang mampu menghasilkan 1 rit pasir, setara dengan 1 bak truk. Mereka dapat membawa pulang uang hingga ratusan ribu rupiah, tergantung jenis pasirnya. Untuk kualitas super dihargai Rp 180.000, sementara untuk kualitas biasa dihargai Rp 120.000.
Menambang pasir bukanlah tanpa risiko. Hujan deras di sekitar Merapi bisa saja mengakibatkan banjir besar yang mengancam nyawa penambang. Pasir-pasir yang ditumpuk di pinggir sungai pun bisa hilang terseret arus. Jika sudah begini, mereka akan gigit jari karena hasil jerih payahnya hilang sia-sia.
Menambang pun tak bisa dilakukan tiap hari. Mereka harus berenang ke tengah sungai lebih dulu untuk mengecek kedalaman pasir. Jika dirasa cukup, mereka akan lanjut menambang. Jika tidak, mereka akan bersabar hingga keesokan harinya. Jika tetap dipaksa menambang, akan lebih banyak batu kali yang didapatkan daripada pasir.
Kali Progo sudah menjadi teman hidup para penambang. Tempat untuk mencari penghidupan, juga hiburan di tengah derasnya arus sungai ini.

Skip to content