Forum Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur Bersatu (FKM NTT B) melakukan aksi di bunderan UGM (13/04/13). Salah satu tuntutan aksi tersebut ialah menuntut pertanggung jawaban negara dalam mengusut secara tuntas peristiwa LP Cebongan sampai membawa seluruh pelaku ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.(foto oleh: Moch. Ari Nasichuddin)
Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap bersatu padu menjaga kedamaian
Yogyakarta, Himmah Online
Oleh: Moch. Ari Nasichuddin
FKM NTT B menyatakan:
1. Menuntut pertanggungjawabab negara dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusut secara tuntas peristiwa LP Cebongan sampai membawa seluruh pelaku ke Pengadilan Hak Asasi Manusia
2. Menuntut diperiksanya mantan Kapolda DIY Brigjen Polisi Sabar Rahardjo yang paling bertanggungjawab atas pemindahan dan keselamatan tahanan serta indikasi pembiaran ancaman yang telah diketahuinya.
3. Menuntut diberikan keadilan bagi keempat keluarga korban pembantaian LP Cebongan dan keadilan bagi keluarga Serka Heru Santoso.
4. Menyatakan bahwa keempat korban pembantaian di LP Cebongan bukanlah PREMAN melainkan warga Jogja asal NTT yang memiliki profesi dan pekerjaan:
a. Yohanes Juan Manbait (37) adalah anggota polisi.
b. Gamaliel Yermianto Rohi Riwu (32) adalah seorang karyawan.
c. Hendrik benyamin Sahatepy (38) adalah seorang karyawan bagian pengamanan di keluarga Angling Kusuma
d. Adrianus Chandra Galaj (23) adalah seorang mahasiswa di salah satu PTS di Yogyakarta
5. Mendukung pemberantasan premanisme sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
6. Menghimbau seluruh masyarakat Yogyakarta dari etnis apapun untuk tidak terpancing dengan segala macam spanduk dan informasi serta selebaran-selebaran yang berbau provokasi.
Forum Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur Bersatu (FKM NTT B) melakukan aksi di bunderan UGM (13/04/13). Salah satu tuntutan aksi tersebut ialah menuntut pertanggung jawaban negara dalam mengusut secara tuntas peristiwa LP Cebongan sampai membawa seluruh pelaku ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.(foto oleh: Moch. Ari Nasichuddin)
Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap bersatu padu menjaga kedamaian
Yogykarta, Himmah Online\
Oleh: Moch. Ari Nasichuddin
Sabtu siang tanggal 13 April 2013 Forum Keluarga Nusa Tenggara Timur Bersatu (FKM NTT B) melakukan aksi di bunderan UGM. Berdasarkan paparan dalam kertas yang dibagi peserta aksi, penyerangan terhadap Lapas kelas II B, Cebongan, Sleman 23 Maret lalu yang konon dilakukan oleh 11 anggota grup 2 Kopassus Kandang Menjangan tidak sekedar menyisahkan tragis dan duka bagi keluarga korban. Keadilan di negeri ini yang telah dicedarai untuk kesekian kalinya telah mengakibatkan rasa keadilan itu seakan mati dan lenyap dari bumi ibu pertiwi.
FKM NTT B menyatakan 6 poin sikap:
1. Menuntut pertanggungjawabab negara dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusut secara tuntas peristiwa LP Cebongan sampai membawa seluruh pelaku ke Pengadilan Hak Asasi Manusia
2. Menuntut diperiksanya mantan Kapolda DIY Brigjen Polisi Sabar Rahardjo yang paling bertanggungjawab atas pemindahan dan keselamatan tahanan serta indikasi pembiaran ancaman yang telah diketahuinya.
3. Menuntut diberikan keadilan bagi keempat keluarga korban pembantaian LP Cebongan dan keadilan bagi keluarga Serka Heru Santoso.
4. Menyatakan bahwa keempat korban pembantaian di LP Cebongan bukanlah PREMAN melainkan warga Jogja asal NTT yang memiliki profesi dan pekerjaan:
a. Yohanes Juan Manbait (37) adalah anggota polisi.
b. Gamaliel Yermianto Rohi Riwu (32) adalah seorang karyawan.
c. Hendrik benyamin Sahatepy (38) adalah seorang karyawan bagian pengamanan di keluarga Angling Kusuma
d. Adrianus Chandra Galaj (23) adalah seorang mahasiswa di salah satu PTS di Yogyakarta
5. Mendukung pemberantasan premanisme sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
6. Menghimbau seluruh masyarakat Yogyakarta dari etnis apapun untuk tidak terpancing dengan segala macam spanduk dan informasi serta selebaran-selebaran yang berbau provokasi.
Joko Widodo itulah nama lengkapnya. Walikota Solo yang menjabat selama dua periode ini menjadi fenomenal semenjak kegigihan dalam memimpin daerahnya. Dari kecil, beliau telah mandiri. Dia tidak ingin hanya bertopang dagu. Kisahnya yang inspiratif dikuak dalam buku karangan Domu D. Abarita dan kawan-kawan. Cerita buku ini lengkap dengan fakta dari suara setiap orang yang dekat dengan Jokowi. Dari sini, pembaca akan tahu bagaimana perjalanan hidup seorang Jokowi dan bagaimana sikap kepemimpinannya sudah muncul sejak kecil, yaitu dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi.
Perjalanan Jokowi takkan ada arti tanpa ibu. Tiap malam, Sujiatmi selalu salat tahajud dan mendoakan anak sulungnya itu. “Ibu itu orang biasa kok, seperti ibu-ibu lainnya. Tapi pola pikir dan pandangannya maju. Itu karena ibu sering mengisi waktu dengan membaca koran,” ujar Jokowi. Banyak pelajaran menarik dalam buku ini, antara lain sosok Jokowi yang sederhana sejak masih menjabat Walikota Solo. Sejak dulu, Jokowi dikenal dengan gayanya yang terjun langsung ke lapangan tanpa protokoler. Jokowi langsung mendengar keluh kesah(uneg-uneg) dari masyarakat. Salah satu guru sekolah menengah pertama (SMP) yang pernah mengajar Jokowi, Sinung, menuturkan bahwa, “Jokowi itu rendah hati, pintar, nggak banyak ngomong, tapi langsung action.”
Buku ini dilengkapi dengan foto. Buku ini berkisah dengan alur flashback, dari masa kecil Jokowi hingga kemunculan namanya di bursa pencalonan Walikota DKI Jakarta. Namun, dalam buku ini terdapat sejumlah pengulangan yang dapat mengganggu kenyamanan pembaca. Misalnya, kutipan narasumber, argumen dari penulis, maupun cerita-cerita flashback itu sendiri. Buku karangan Domu ini cocok untuk menjadikan sosok Jokowi sebagai panutan. Tidak ada salahnya merogoh saku untuk membeli buku ini agar kita dapat membangun diri sebagai pribadi yang lebih baik. (Fajar Noverdian)
Pada Kamis (11/04/13) malam hingga Jum’at (12/04/13) pagi kota Yogyakarta mengalami hujan tiada henti. Kondisi itu sudah diprediksikan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Menurut BKMG, seperti ketika dilansir dari lamannya kondisi prakiraan cuaca di semua daerah Propinsi DI Yogyakarta 12 April 2013 07.00 WIB hingga 13 April 2013 07.00 WIB mengalami hujan. Seperti Kabupaten Kulon Progo mengalami cuaca hujan ringan dengan suhu 24-31 derajat Celcius, kelembapan 68-92%, kecepatan angin 12 (km/jam), arah angin tenggara. Kabupaten Sleman mengalami cuaca hujan sedang dengan suhu 22-31 derajat Celcius, kelembapan 74-96%, kecepatan angin 12 (km/jam), arah angin tenggara. Kabupaten Bantul mengalami cuaca hujan ringan dengan suhu 24-31 derajat Celcius, kelembapan 70-96%, kecepatan angin 18 (km/jam), arah angin timur. Kabupaten Gunung Kidul mengalami cuaca hujan ringan dengan suhu 22-31 derajat Celcius, kelembapan 70-94%, kecepatan angin 15 (km/jam), arah angin timur. Dan Kota Yogyakarta mengalami cuaca hujan sedang dengan suhu 23-31 derajat Celcius, kelembapan 72-94%, kecepatan angin 12 (km/jam), arah angin tenggara.
Rektor Universitas Paramadina mengisi kuliah umum ke-3 Presidential Series Lecturers yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII di Auditorium Kahar Muzakir(10/04/13). Anis mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadikan pendidikan sebagai masalah kita bersama.
Masih banyak ditemukan masyarakat yang berpikiran pendidikan bukan menjadi prioritas utama.
Kampus Terpadu, Himmah Online
Oleh: Moch. Ari Nasichuddin
Kuliah umum ke-3 Presidential Series Lecturers yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII memuat topik “Lewat Pendidikan Mari Kita Selamatkan Bangsa”. Kuliah umum ini dibawakan oleh Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina. Anis mengatakan masyarakat Indonesia harus berhenti mengkondisikan pendidikan sebagai masalah bagi pemerintah, tetapi mengkondisikan pendidikan sebagai masalah bagi kita semua. “Kita yang memiliki permasalahan itu,” tegasnya. Seringkali tanggung jawab pendidikan hanya diberikan pemerintah saja. Masyarakat hanya memberikan daftar masalah, memberikan anjuran solusi, mendiskusikannya, lalu berasumsi ada orang lain yang mengerjakannya. “Mari kita lakukan sesuatu,” ajak putra Rasyid Baswedan, mantan Pembantu Rektor II UII ini.
Menururnya yang mendesak terkait pendidikan Indonesia saat ini bukan kurikulum. Tetapi siapa yang menerapkan kurikulum itu, yaitu guru. “Ketika kualitas guru rendah, jangan harap bisa menerapkan kurikulum itu dengan baik. Tetapi, ketika gurunya baik, Anda akan mendapatkan expect pembelajaran yang luar biasa,” tukasnya. Ia mengatakan kualitas guru di Indonesia masih rendah, distribusinya tidak tepat, gajinya juga rendah. Anis merasa jika kualitas guru ini diperbaiki maka efeknya akan luar biasa. “Karenanya kita mesti berkonsentrasi meningkatkan kualitas guru. Kalau peningkatan kualitas guru ini terbereskan, akan luar biasa. Mari berhenti mengecam gegelapan ini, mari menyalakan cahaya,” tandas penggagas Indonesia Mengajar ini.
“Bagi Anda yang sudah kuliah, Anda punya tanggung jawa moral lebih tidak hanya sekedar mendapatkan gelar sarjana, dan kemudian bekerja. Anda mempunyai tanggung jawab moral memastikan kehadiran Anda, dimanapun, kapanpun memberikan makna bagi Indonesia. Karena Anda telah mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang tidak semua anak Indonesia mendapatkannya. Ini tanggung jawab moral kita,” ucap Anis.
Dalam kuliah tersebut, Anis mengatakan kepada generasi muda Indonesia bahwa tantangan saat ini adalah bagaimana memastikan penduduk Indonesia yang lahir pasca kemerdekaan mendapatkan pendidikan yang bermutu, serta menjadi orang-orang yang berkarakter, berpengetahuan, dan mandiri untuk meraih cita-citanya. “Kita harus melihat pendidikan sebagai gerakan, tidak sebagai program,” kata Anis.
Selain seluruh mahasiswa UII, kuliah umum ini dihadiri juga oleh Rektor UII Edy Suandi Hamid, WR I UII Nandang Sutrisno, WR III UII Bachnas, Dekan FTI UII Gumbolo Hadi Susanto, dosen, karyawan FTI UII.
“Media yang besar seperti Kompas, ternyata internalnya begitu rapuh,” kata Rochimawati, narasumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Perempuan yang akrab disapa Uci ini menyampaikan hal tersebut dalam acara Bedah Buku “Dapur Media” pada hari Kamis tanggal 4 April 2013, bertempat di Ruang Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Dari buku yang dimaksud, Uci juga memaparkan, terdapat tiga pekerjaan rumah bagi media, yaitu konglomerasi media, serikat pekerja media, dan regenerasi pemimpin media.
Dalam hal konglomerasi media, bagaimana agar politik tidak membuat media lupa akan idealismenya. Sementara mengenai serikat pekerja media, bagaimana agar pekerja memiliki kedekatan dengan media. “Serikat pekerja bukan untuk merusuhi media, tetapi untuk keseimbangan antara hak dan kewajiban perusahaan dengan hak dan kewajiban karyawan,” tutur Uci. Salah satu kendala pembentukan serikat pekerja datang dari jurnalis sendiri, yaitu kurangnya kesadaran akan pentingnya serikat pekerja media. Sedangkan untuk regenerasi, Uci menyinggung media yang kini tidak lagi terdengar gaung tokoh-tokohnya, seperti Goenawan Mohamad yang dulu identik dengan Tempo.
Lukas Ispandriarno turut menjadi narasumber. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UAJY ini mengulas bahasan yang tak jauh berbeda dengan Uci, yaitu regenerasi pemimpin dan serikat pekerja. “Dari tiga ribu perusahaan media, hanya tiga puluh satu yang punya serikat pekerja,” terang Lukas. Lukas sedikit mempertanyakan Surya Paloh, tokoh Media Group, yang justru menentang serikat pekerja media pada kasus Lutfiana, salah seorang wartawati Metro TV yang di-PHK beberapa waktu lalu. Lukas mengingatkan, kualitas jurnalisme supaya tidak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi atau politik.
Mengenai buku “Dapur Media”, Lukas memuji gaya liputannya yang ala Pantau, yaitu tidak sebatas cover both side, tetapi juga cover multi sides, dengan gaya penulisan yang bersinggungan dengan jurnalisme sastrawi. Namun, Lukas mengkritik sejumlah kekurangan buku yang ditulis oleh 8 orang tersebut, terutama dari segi tata bahasa yang menurutnya perlu sedikit perbaikan.
Salah seorang penulis buku, Basil Triharyanto dari Yayasan Pantau, ikut bicara. Terlebih dulu, ia mempertanyakan sekian banyaknya media, tetapi hanya dimiliki segelintir orang. “Apa peran pemilik media terhadap kemajuan jurnalistik? Bagaimana tahun 2014 nanti, pemilik medialah yang jadi figur politik?” ungkap Basil. Ketika dulu sebelum reformasi, ada istilah media partisan, yaitu media yang berafiliasi dengan partai politik. Basil menuturkan, saat ini setelah reformasi, media lebih ke figur politik, tidak lagi ke partai politik. Basil mendapatkan informasi awal bahwa ada orang-orang (desk) di Metro TV yang menggawangi Surya Paloh, “Biasanya desk itu desk ekonomi, desk politik, ini ada desk Surya Paloh.” Informasi awal ini, menurut Basil, sulit diverifikasi karena orang-orang dalam Metro TV pasti berusaha menutupi. “Apa hubungan ruang redaksi dengan pemilik media?” tanya Basil lagi.
Basil juga berbicara tentang fenomena menarik pers mahasiswa (persma). Ketika reformasi, persma cenderung bergerak secara underground. Kini setelah reformasi, pergerakan seharusnya tidak lagi underground. “Masih terkungkung fenomena transisi antara integritas dan identitas,” kata Basil. Inilah yang menurutnya kemudian jadi kesempatan bagi media persma. Persma dapat lebih bermain di media online yang lebih mudah diakses daripada media cetak. “Tinggal isinya. Seperti kasus Cebongan, kalau persma militan bisa bikin tulisan feature, mungkin pembaca akan lebih melirik persma,” lanjut Basil.
Persma dapat lebih memanfaatkan media sosialnya dengan memberitakan isu-isu yang juga diangkat oleh media umum. Hal-hal yang sekiranya perlu dilakukan persma saat ini adalah membuat program pelatihan. Tujuannya untuk menjaga nilai-nilai idealisme persma dan mengikuti perubahan arus media. “Pantau sekarang ini cukup sering menerima permintaan dari persma untuk mengisi pelatihan,” imbuh Basil.
Acara bedah buku dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, baik mahasiswa S-1 maupun S-2. Wartawan juga ikut hadir, di antaranya Dwi Suyono dari Harian Bernas Jogja. Dwi berpendapat bahwa apa pun yang ada di ruang redaksi akan kalah oleh kepentingan iklan. Dwi mencontohkan pengalamannya saat Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, berkunjung ke Yogyakarta untuk suatu acara peresmian. Dwi dipesan oleh atasannya untuk meliput acara tersebut karena Hary Tanoe ikut menyumbang dana untuk iklan di Bernas Jogja.
(Dari Kiri-Kanan) Endy M. Bayuni Jurnalis Senior The Jakarta Post, Imam Shofwan Yayasan Pantau, Bambang MBK AJI Yogyakarta, Suhadi Kepala Divisi Penelitian Center of Religious dan Cross-Cultural Studies, Graduate School, Gajah Mada University menghadiri acara “Diskusi Tentang Persepsi Jurnalis Dalam Pemberitaan Agama (Islam) Dan Bedah Buku BLUR” (27/03/13). Acara ini mendiskusikan profesionalisme jurnalis dalam meliput berita agama.
Jurnalis harus dapat memposisikan diri ketika meliput berita tentang agama.
Yogyakarta, Himmah Online
Oleh: Moch. Ari Nasichuddin
Konservatisme tidak hanya terjadi di kalangan pemerintah dan masyarakat umum, tetapi terjadi pula pada level wartawan. Wartawan-wartawan kurang sensitif ketika memberitakan kekerasan terhadap minoritas. Seringkali mereka menggunakan kata-kata yang memojokan minoritas seperti “bentrok”, “sesat”, ”harus ditobatkan”. Hal itu diungkapkan oleh Imam Shofwan dari Yayasan Pantau dalam acara “Diskusi Tentang Persepsi Jurnalis Dalam Pemberitaan Agama (Islam) Dan Bedah Buku BLUR”. Selain Imam Shofwan, acara yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Pantau dan LPM Balairung ini juga dihadiri oleh Endy M. Bayuni, Jurnalis Senior The Jakarta Post, dan Suhadi, Kepala Divisi Penelitian Center of Religious dan Cross-Cultural Studies, Graduate School, Gajah Mada University.
Survei yang dilakukan oleh Yayasan Pantau menghasilkan data-data diantaranya 600 responden yang menyatakan diri sebagai orang Indonesia menurun menjadi 38% dan yang menyatakan diri muslim meningkat hingga 41,5%. Responden yang menyatakan syariat Islam tidak perlu diterapkan di Indonesia menurun menjadi 46,3%, responden sementara yang menjawab perlu meningkat menjadi 45,3% responden. Terkait keberadaan Front Pembela Islam (FPI) presentase yang cukup setuju menurun drastis hingga 3,5%, responden dan yang sangat setuju juga turun menjadi 1,5%, dan mayoritas responden 72,7% tidak setuju dengan FPI.
Menanggapi hasil survei tersebut, Endy M. Bayuni menyatakan survei ini penting karena sebagai gambaran pertentangan dalam diri jurnalis ketika memposisikan diri sebagai wartawan atau sebagai bagian dari agama yang dianut. Menurut Endy, pada umumnya media bagian dari masalah. Mereka ikut membangun stereotip dan rasa kebencian antar kelompok. Media juga acapkali melanggar prinsip-prinsip jurnalisme ketika meliput konflik atau ketegangan antara kelompok beragama entah sengaja atau tidak.
Berdasarkan slide milik Endy, fenomena tentang agama terjadi tidak hanya di Indonesia saja. Kasus seperti itu juga muncul di Amerika, Eropa, dan Australia. Pun terjadi juga di kawasan Asia diantaranya Thailand, Filipina, Myanmar Timur Tengah, India. Jika di Indonesia muslim menjadi mayoritas, di Myanmar muslim hanya 4 persen.
Lanjut Endy, agama ada dalam semua aspek kegiatan negara atau masyarakat, seperti dalam aspek pemerintahan, ekonomi, politik, sosial-budaya. Sudah menjadi kewajiban sebuah negara untuk mengakomodir nilai-nilai agama yang universal dalam penyelanggaraan pemerintahan. Seharusnya konstitusi menjamin kebebasan beragama dan hak melaksanakan ibadah. Namun faktanya keragaman agama telah dibatasi oleh undang-undang yang hanya mengakui enam agama.
Untuk itu, jurnalis agama punya peran penting untuk menjembatani kelompok beragama yang ada di masyarakat agar membangun rasa saling pengertian. Tugasnya bukan menyebar pesan agama layaknya ustadz atau pendeta tapi untuk melakukan reportase kehidupan beragama dan hubungan antar kelompok. Endy mengakui dalam masalah agama, sulit bagi jurnalis melakukan peliputan dengan adil. Jurnalis tidak bisa menanggalkan agama atau kepercayaanya seperti ketika meliput politik. Seringkali, jurnalis justru memperlihatkan bias dan rasa kebenciannya dalam melakukan peliputan tentang agama
Suhadi Cholil angkat bicara, ia berpendapat jurnalis sekarang belum diimbangi dengan pemenuhan knowledge sector dengan baik dari sebagian elemen kunci masyarakat sipil. Dan negara tidak seharusnya mengambil-alih otoritas keagaman dengan menentukan apa yang dianggap terbaik bagi suatu komunitas agama.
Imam Shofwan menambahkan wartawan seharusnya menyuarakan orang yang tidak bersuara, tidak malah memproduksi kebencian.
Panitia mengaku sudah melakukan segala upaya untuk mencegah konflik
Kampus Terpadu, Himmah Online
Oleh: Desi Rahmawaty
Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM U) melalui bidang Kreasi Mahasiswa (Krema) mengadakan acara Gelaran Olahraga dan Seni (Gradasi). Tepatnya pada Jumat, 14 Desember 2012, ketika pertandingan futsal telah terjadi konflik yang melibatkan masa pendukung dari Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Salah seorang panitia keamanan dengan inisial AA mengatakan pertandingan antara kedua fakultas ini memang merupakan pertandingan yang krusial. Ia mengakui, saat itu panitia keamanan yang tersedia pun kurang. “Kami panitia keamanan yang bertugas saat itu hanya berjumlah 25 orang dan memiliki tugas yang cukup banyak. Sehingga, kami merasa kekurangan orang ketika menghadapi konflik ini,“jelasnya.
Senada dengan AA, Nandang Kurnia Yusup, selaku Ketua Organizing Committee (OC) Gradasi pun mengakui persiapan panitia memang kurang, begitu juga dengan penyediaan aparat keamanan yang memang terlambat, “Selain persiapan yang kurang kami juga belum mengerti cara memperoleh izin, untungnya dari rektorat membantu dengan menyediakan satpam untuk mejaga keamanan,” ujarnya. Mahasiswa jurusan Ilmu Kimia angkatan 2010 ini mengakui untuk mendapatkan izin dari kepolisian memang sangat sulit diperoleh. Hal itu karena UII sudah tercatat sebagai kampus yang rentan terjadi konflik jika mengadakan suatu acara.
Ketua LEM U, M. Shadily Lumaluntur angkat bicara. “Untuk konflik sebenarnya bukan saja terjadi di Gradasi. Tapi juga terjadi di kegiatan-kegiatan lain yang di selenggarakan oleh salah satu fakultas di UII. Efeknya, izin polisi pun sulit kami kantongi,” tukas Shadily. Shadily mengatakan dalam sebuah pertandingan wajar jika pendukung panas,tapi jangan sampai pemain pun ikut panas karena akan memicu terjadinya konflik.
Terkait tindakan pencegahan, menurut Nandang panita sudah mengupayakan diantaranya adalah penandatanganan surat perjanjian antara fakultas yang akan bertanding. Sanksinya jika melanggar fakultas yang bersangkutan akan didiskualifikasi. Namun, upaya tersebut tidak mebuahkan hasil. “Saat konflik, FH dan FTSP sebenarnya sudah melanggar perjanjian yang ditandatangani. Namun yang kami takutkan, jika pertandingan dibubarkan malah menambah konflik. Untuk itu kami membiarkan pertandingan tetap berlangsung,” ujar Nandang.
Evaluasi pun dilakukan oleh panitia bersama LEM U pada 14 Desember 2012. Nandang menyarankan Gradasi ditahun berikutnya harus ada persiapan yang matang dari segi keamanan, serta izin dari kepolisian mesti dikantongi dari awal. Namun menurutnya, polisi, surat perjanjian, jumlah panitia keamanan tidak berarti jika tidak ada dukungan dari peserta dan pendukung. Hal itu juga didukung oleh AA, ia menuturkan selain panitia keamanan yang memadai juga perlu adanya peran dari kepolisian.
Berbeda dengan Nandang, Shadily mengatakan, “tindakan untuk mendatangkan pihak kepolisian memang baik, namun akan lebih baik jika sebelumnya ada komunikasi aktif dan partisipasi dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPM F) Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas (LEM-F) dalam menangani hal ini secara internal, ini yang paling penting,” ujarnya.