Beranda blog Halaman 20

In Memoriam Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir

*Naskah “In Memoriam Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 4-5/Thn. VII/1973 halaman 53. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk memperingati 49 tahun kepulangan A. Kahar Muzakkir. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami. Terbayang kami maju dan berdegap hati tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah sekarang yang berkata. (Chairil Anwar)

Di saat-saat udara begitu kelam, di saat pasir dan bambu berserakan di halaman kampus UII, di celah-celah serakan poster-poster, di antara gegap pekik mahasiswa yang menuntut pembaharuan bagi almamaternya, di antara itu semua kita telah kehilangan seorang bapak tokoh pendiri Universitas Islam Indonesia, universitas swasta yang tertua di kawasan Nusantara ini.

Kepergiannya yang begitu mendadak, tanpa pesan dan fatwa bagi yang ditinggalkan. Sehingga banyak orang bertanya-tanya; tak percaya bahwa peristiwa itu memang terjadi nyata—karena begitu mendadak peristiwanya. 

Begitulah pada tanggal 2 Desember 1973, dalam usia hampir menjelang 65 tahun beliau telah wafat meninggalkan kita guna memenuhi panggilan Allahu Rabbi. Tak banyak yang dapat dicatat dari riwayat hidup beliau, tapi dari yang sedikit itu sinar kemilau “Mutiara Kehidupan” lah semata yang nampak. Beliau dilahirkan tahun 1909 di Kotagede, Yogyakarta, hidup dididik dan dibesarkan di lingkungan/perjuangan. Ketika beliau wafat, beliau meninggalkan seorang istri dengan beberapa orang putra, tanpa harta warisan yang berarti.

Dalam hidup beliau, baik semasa remaja hingga wafatnya termasuk tokoh kebenaran dan kejujuran, yang selalu memperjuangkan rakyat yang diombang-ambingkan Belanda, terutama dalam bidang pendidikan.

Dalam usia yang relatif muda, beliau sudah terjun ke bidang agama, sekaligus sebagai pendiri pondok pengajian guna menentang Belanda. Kegiatan ini boleh dikatakan berkembang sejak tahun 1930 sampai berdirinya UII Sebelum kemerdekaan, pernah beliau menyarankan agar pendidikan masyarakat lebih dapat berjalan efektif harus mendirikan pondok, di berbagai tempat di Indonesia ini. Karena sekolah Belanda seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS),  Algemene Middelbare School (AMS), sama sekali tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali anak Demang, serta golongan Keraton/Kerajaan.

Berarti dalam situasi dan kondisi penjajahan Belanda, beliau lebih mengutamakan moral agama untuk mendobrak nilai penjajahan terhadap rakyat yang tidak mengenal pendidikan sama sekali.

Dalam pola perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau selalu turun ke gelanggang buat membela tanah air demi kemerdekaan. Sebagai realisasi perjuangan ini antara tahun 1942-1945, beliau pernah diutus ke Jepang, sebagai misi untuk membicarakan arti kemerdekaan terhadap rakyat Indonesia, bersama Bapak Prof. Kasmat Bahuwinangun, S.H., bersama dua orang lagi.

Di samping itu menjelang kemerdekaan Indonesia, beliau aktif di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di lembaran Ketatanegaraan Republik Indonesia nampak jelas sekali, sebab dalam teks: Piagam Jakarta beliau juga ikut menandatangani piagam tersebut.

Sampai saat akhir hayat beliau, beliau merupakan salah seorang Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta. Beliau juga menjabat sebagai perwakilan perjuangan pembebasan Palestina di Indonesia bersama-sama dengan Bapak Moch. Natsir.

Kepergian Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir mungkin tidak berarti banyak bagi orang yang tidak mengenalnya, apalagi bagi golongan yg membenci umat Islam. Beliau dengan Islam adalah ibarat manusia dengan nyawanya, mungkin begitulah gambaran yang tepat untuk beliau. Karena begitulah yang dapat kita lihat dan kita rasakan terhadap peri kehidupan beliau. Sehingga dengan kepergian beliau berarti kita telah kehilangan salah seorang pemimpin umat yang betul-betul pemimpin.

Sejak berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada tanggal 8 Juli 1945 yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan UII sampai saat akhir hayat beliau, beliau adalah orang yang paling aktif membinanya. Bahkan beberapa jam sebelum wafatnya, beliau masih berkesempatan untuk ke percetakan “Persatuan” guna menanyakan kalender pesanan beliau untuk dijadikan dana pembangunan UII. Berkat usaha beliau juga, ijazah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum UII dapat disetarakan dengan ijazah negeri.

Beliau, Prof. KH. A. Kahar Muzakkir lebih dikenal mahasiswa sebagai seorang bapak dari pada seorang dosen atau dekan karena begitu besar perhatian dan kecintaan beliau pada mahasiswa, sehingga pintu hati dan pintu rumah beliau selalu terbuka bagi siapa saja untuk mengadukan halnya. Sungguh seorang pemimpin yang sukar dicari gantinya di kampus ini.

Kini beliau telah pergi, meninggalkan bengkalai kerja yang belum usai, di sana berserakan batu-batu pasir, kayu, dan bambu, di sini bertebaran pamflet-pamflet suara mahasiswa. Universitas masih sangat memerlukan pimpinan beliau, mahasiswa sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayang beliau. Umat Islam selalu mendambakan pimpinan dari beliau, tapi Tuhan menghendaki lain, dan terjadilah menurut apa yang telah ditentukan-Nya.

Seorang Mujahid telah pergi, syuhada yang patut digugu dan ditiru, pejuang yang tanpa pamrih.

Kini kita telah ditinggalkan beliau dengan bengkalai kerja yang belum lagi apa-apa.

Di atas pundak kitalah letak tanggung jawab dan bentuk akhir dari cita-cita kita bersama, yaitu sebuah kampus Universitas Islam Indonesia, yang akan menjadi kebanggaan kita bersama, Terlaksana atau tidak, tegak atau runtuhnya cita-cita itu kini mutlak berada di tangan kita. 

Dan satu-satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan jalan berjuang. Sekali lagi, berjuang. Bukan dengan ratap tangis dan sedu sedan atau menunggu khayal penuh angan-angan. Tapi marilah kita teruskan perjuangan yang telah dirintis beliau, dengan satu keyakinan bahwa tiada perjuangan yang tiada menghasilkan buah.

Di tengah kabut duka yang menyungkup jiwa, di antara gema tangis haru yang belum mereda, ingin kami mengetuk hati bapak-bapak Presidium, bapak-bapak di badan wakaf, bapak-bapak dekan dan dosen, serta segenap civitas academica di kampus ini, ingin kami bertanya “Adakah yang akan mampu menggantikan beliau, membina dan memperjuangkan UII ini dengan tanpa pamrih–kecuali ridho Allah semesta“.

Kami menyadari akan beratnya tugas tersebut. Tapi kami juga menyadari betapa mulianya pekerjaan tersebut.

Maka dalam suasana yang prihatin ini, mari kita sama-sama pikirkan siapakah kiranya yang akan dapat memimpin UII, dengan menggunakan akal yang sehat serta yang tulus terlepas dari cekaman emosi dan ambisi.

Dengan melalui tulisan ini kami juga ingin mengetuk hati seluruh civitas academica Universitas Islam Indonesia untuk dapat memberikan pensiunan beliau kepada keluarga yang ditinggalkan, sesuai dengan kemampuan universitas. Memang kami yakin bahwa beliau dan keluarganya tidaklah akan mengharapkan itu semua, tetapi kita sebagai manusia Muslim yang menjadikan akal dan perasaan sebagai neraca di dalam hidup, tentunya tidak akan menutup mata terhadap jasa-jasa beliau pada almamater. Dan bukanlah berarti bahwa pensiunan tersebut merupakan upah atas jasa-jasa beliau untuk UII. Tidak, sekali lagi tidak!

Semua itu hanyalah sekedar tanda terima kasih kita pada beliau, dan sebagai tanda bahwa kita adalah manusia-manusia yang mampu dan mau menghargai jasa orang lain.

Begitu juga kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, Bapak Presiden RI, kami menyarankan agar beliau diangkat sebagai tokoh pendidikan serta tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, setelah mempertimbangkan jasa-jasa beliau terhadap kepentingan nusa dan bangsa.

Tiada ungkapan kata-kata yang dapat menyampaikan betapa dukanya hati ini atas kepergian beliau. Tiada satu persembahan yang dapat menyatakan betapa besarnya rasa terima kasih kita kepada beliau. Hanya sebuah doa di pekat malam menggema, memohon, dan mengharap kehadirat Ilahi. Semoga amal beliau dapat diterima sebagai amal yang makruf oleh Allah SWT. Begitu pula keluarga yang ditinggalkan agar diberi kekuatan lahir dan batin. Amien.

Jenazah Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir diusung keluar Masjid Agung Kotagede. Dalam gambar di atas nampak dari massa yang mengantar jenazah Alm., ke Makam Buharen, Kotagede.

Penulis: MUHIBBAH/Parlindungan Hutasuhut

Pengalih media: HIMMAH/Lutfi Andrian dan Nadia Tisha Nathania Putri

Permohonan Pengujian UU Peraturan tentang Hubungan Kerja Tak Kunjung Mendapatkan Putusan dari MK

Himmah Online – Permohonan pengujian Undang-Undang (judicial review) terhadap Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 mengenai Hubungan Kerja dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah diajukan ke Mahkamah Agung (MK) dan sudah dilakukan enam kali sidang. Akan tetapi, berbagai upaya ini tidak kunjung memperoleh putusan untuk perlindungan pekerja rumahan di Indonesia. 

Oleh karenanya, Trade Union Rights Centre (TURC) mengadakan konferensi pers “Menilik Ulang Perjuangan Perempuan Pekerja Rumahan Melalui Judicial Review” guna merespons urgensi pengakuan dan perlindungan pekerja rumahan di Indonesia, pada Selasa (29/11) melalui media telekonferensi Zoom. 

“Pekerja rumahan adalah pekerja. Ini yang perlu kita garis bawahi bila ditinjau dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Ini (Red—pekerja rumahan) sudah memenuhi unsur sebagai pekerja karena ada perintah, ada upah, dan menghasilkan barang atau jasa,” tutur Wuwun selaku Koordinator HomeNet Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan sejak tahun 2005 untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan, serta perlindungan di Indonesia. Namun, hingga kini advokasi nasional pada Ranpermen dan advokasi daerah pada Ranperda yang dilakukan oleh mitra Indonesia tidak kunjung membuat pemerintah tergugah. 

Akhirnya, pekerja rumahan yang didukung oleh TURC melalui program Informal Workers Covid-19 Response (INCORE) mendaftarkan Permohonan Pengujian UU terhadap Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur mengenai definisi hubungan kerja.

Tim kuasa hukum pekerja rumahan, Wilopo Husodo menyebutkan, alasan mengapa mereka masuk ke MK. “Pada dasarnya saya juga melihat ada dasar hukumnya, tetapi itu ada pada konvensi ILO 177 tahun 1996,” kata Wilopo.

Saat itu pemerintah Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO sehingga tidak dapat berlaku di Indonesia. Lantas, tim kuasa hukum pekerja rumahan memutuskan untuk langsung melawan UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan. 

“Akhirnya setelah menyortir banyaknya pasal, maka kami memutuskan untuk memakai Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13. Di mana Pasal 1 mengenai definisi lingkungan kerja dan Pasal 50 mengenai syarat hubungan kerja,” tutur Wilopo.

Fakta yang harus diketahui bahwa pekerja rumahan mendapatkan pekerjaan melalui perantara yang termasuk ke dalam hubungan kerja. Maka, Wilopo beserta timnya meminta kepada MK agar melakukan tafsir ulang atau revisi mengenai pasal yang diajukan. 

“Tadinya kita mau meminta ganti dengan mencoret kata pengusaha. Jadi hanya pemberi kerja, tetapi majelis hakim mempertegas kalau kalian mengganti (Red–menghilangkan pasal) maka struktur UU No. 13 itu akan merubah semuanya,” terang Wilopo.

Saat ini pihak kuasa hukum sedang menunggu putusan dari MK. Wilopo berharap semoga apa yang ia dan pekerja rumahan harapkan dapat dikabulkan oleh pihak MK, dan dapat menjadi pintu masuk bagi pekerja rumahan untuk mencakup dalam UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja yang juga sedang ditinjau untuk perubahan formalnya.

Reporter: Himmah/Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Generasi Overthinking dan Puisi Lainnya

Generasi Overthinking

hiperbola, kata orang?

kacau, rancu, nan tenggelam

bagaimana, dan kepada siapa?

amuk pikiran tak karuan

seandainya aku…

ah, sudahlah

berpikir hingga pagi menjelang

bangun pagi, masih terbayang

aku memikirkan apa, Tuhan?

sebuah harapan?

masa depan?

atau hanya rekaan?

Tak Punya Teman

diam, sepi, sendiri

merasa sepi

tapi enggan mencari

merasa memiliki

namun terasa asing

merasa akrab

ah, tampaknya tidak juga

umur dua puluhan

punya teman

serasa sendirian

ingin menghubungi

ia punya kesibukan

hingga sebuah putusan,

aku bisa sendiri

Jomlo

mencoba mencari

mencari sebuah arti

arti kesendirian

tanpa kekasih

yang diidamkan

belum tentu mengidamkan

merindu

rindu sebuah pelukan

rindu sebuah obrolan

namun sayang

semua terselimuti

selimut tebal harapan

harapan akan arti

arti dambaan hati

apakah benar butuh?

atau hanya pelarian?

Tuntutan Tanggung Jawab

teringat sebuah tuntutan

menyelesaikan atau mengecewakan

waktu terus berjalan

menerjang apapun di hadapan

semua dilakukan

untuk membanggakan

semua tau

orang rumah selalu menunggu

menunggu kabar

‘wisuda bulan depan’

itu harapan

bantu aku untuk terus berjalan

menapak sebuah cerita

akan skripsian

Film Dokumenter “Eksil” Diputar di JAFF 2022

0

Himmah Online – Eksil (2022), film dokumenter tentang kisah mahasiswa yang dikirim untuk belajar oleh pemerintah Indonesia ke Uni Soviet (Rusia) dan Tiongkok lalu tak bisa pulang karena peristiwa 1965 diputar dalam gelaran Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2022.

Dalam gelaran JAFF edisi ke-17 tahun ini, dokumenter garapan Lola Amaria Production tersebut diputar sebanyak dua kali. Yakni pada tanggal 27 dan 28 November 2022 di Empire XXI, Jl. Urip Sumoharjo Nomor 104, Klitren, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dokumenter berdurasi 119 menit tersebut merekam 10 mahasiswa yang tidak bisa pulang, terdampar, melintasi berbagai negara tanpa status kewarganegaraan, dan mencari negara yang mau menampung mereka pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang terjadi di Indonesia.

Para eksil dalam dokumenter tersebut berangkat ke luar negeri dalam rentang tahun 1960 sampai 1965. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Bali, Solo, hingga Medan.

Dalam sesi tanya-jawab selepas pemutaran dokumenter pada 28 November 2022, Lola selaku sutradara bercerita tentang proses pembuatan yang sudah dilakukan sejak tahun 2013. Ia menuturkan bahwa proses meyakinkan para eksil untuk berkenan dijadikan narasumber membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Butuh waktu lama untuk meyakinkan. Sampai kemudian para eksil ini tau bahwa saya benar-benar mau bikin film, benar-benar mau mengupas tentang mereka yang tinggal di sana, dan saya tidak ada siapapun di belakang saya, (tidak ada) lembaga apapun yang menunggangi saya. Jadi saya memang pure mengangkat ini murni dari hati saya,” tutur Lola.

Tak hanya itu, Lola juga menceritakan bahwa setelah mendapatkan para eksil untuk dijadikan narasumber dalam dokumenternya tidak semua berkenan ditampilkan wajahnya. Bahkan terdapat eksil yang batal dijadikan narasumber karena tidak mendapat restu dari keluarga besar di tanah air.

“Saya sudah punya konsep bahwa saya harus mengambil gambar dari bangun tidur sampai tidur lagi, mereka bekerja, mereka di rumah, mereka dengan anak cucu misalnya kalo nggak keberatan. Jadi ada banyak hal yang mungkin para eksil tidak bersedia, termasuk yang perempuan ada beberapa. Mereka mau, tapi keluarga besar di Indonesia tidak mengizinkan atas alasan tertentu,” paparnya.

Budi Irawanto, Festival President JAFF, menilai film dokumenter Eksil (2022) luar biasa karena banyak demitologisasi (tafsiran) yang dilakukan untuk mematahkan stigma Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak tepat.

“Satu hal yang menurut saya luar biasa dari dokumenter ini adalah banyak demitologisasi yang dilakukan. Seperti tadi ada cerita dari adik Aidit yang ternyata D.N. Aidit khatam Al-Qur’an tiga kali. Jadi kampanye-kampanye tentang PKI ateis dan seterusnya itu sudah dipatahkan,” papar Budi. 

Yogama Wisnu (22), salah satu penonton Eksil (2022) dalam gelaran JAFF mengaku sedih dan marah setelah menonton film dokumenter tersebut.

“Dua perasaan yang menggambarkan setelah nonton film ini itu ya, sedih dan marah. Sedih karena bayangin kita niatnya mau nuntut ilmu ke luar negeri, mau belajar, ternyata dipaksa buat bertahun-tahun nggak ketemu sama keluarga, sama orang-orang yang disayang, ya pasti sedih banget. Terus marah karena itu dilakukan sama orang-orang yang punya kuasa di Indonesia. Marah banget, tapi ya kita bisa apa kan,” tutur Yogama kepada reporter himmahonline.id pada Sabtu (28/11).

Di akhir sesi tanya-jawab, Lola juga menuturkan latar belakang hingga tujuan pembuatan dokumenter ini. Sebagai generasi yang lahir pasca peristiwa 65, ia menganggap pembuatan film Eksil (2022) seperti sebuah perjalanan mencari jawaban untuk generasinya dan generasi di bawahnya.

“Film ini ditujukan bukan untuk orang yang mengerti sejarah, film ini ditujukan bukan (untuk) orang yang mengerti ‘65. Tapi film ini dari hati nurani saya seperti sebuah perjalanan mencari sebuah kebenaran, mencari sebuah jawaban atas yang tidak terjawab. Artinya generasi saya, kemudian di bawah saya, milenial, Gen-Z, yang mungkin kita tidak tahu apa-apa, dan akhirnya menjadi tau karena selama ini semua informasinya sepihak,” ucap Lola.

Reporter: Himmah/Pranoto

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Pengelolaan Sampah Tanggung Jawab Semua Pihak, Bukan Hanya Perempuan

Himmah Online – Pra musyawarah keagamaan bertema “Pengelolaan Sampah Bagi Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan” digelar dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II pada Sabtu pagi (26/11). KUPI menganggap bahwa pengelolaan sampah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya perempuan.

Sebelum digelar di Joglo Timur Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, tim penanggung jawab fatwa KUPI telah merumuskan beberapa pertanyaan untuk nantinya dibahas dalam musyawarah.

Sistematika musyawarah KUPI terdiri dari tashawwur (deskripsi masalah), adillah (dasar-dasar keputusan), istidlal (analisis terhadap dasar-dasar keputusan), sikap dan pandangan keagamaan, tazkiyah (rekomendasi), maraji’ (referensi), dan marafiq (lampiran).

Pemutusan jawaban atas rumusan masalah akan didasarkan pada dalil yang ada dalam Al-Qur’an, hadits, aqwalul ulama, dan konstitusi yang diterapkan di Indonesia. Hasil musyawarah ini nantinya akan menjadi sikap keagamaan KUPI dalam masing-masing tema musyawarah, salah satunya tentang permasalahan sampah.

Pertanyaan pertama adalah mengenai hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah. KUPI sendiri memberikan hipotesis bahwa hukumnya adalah haram.

“Menurut saya, hukum pembiaran sampah itu masuk dalam kategori perusakan. Berarti hukumnya haram. Kenapa haram? Karena pembiaran itu salah satu perusakan permukaan bumi,” ujar Muhammad Azzam Muttaqi, pengasuh Pondok Pesantren Sirojul Athfal, Sukabumi, Jawa Barat yang menjadi salah satu peserta musyawarah tersebut.

Pemutusan hukum ini menurut Izzah Nurdiana, perwakilan Kupipedia, harus di-tafsil atau diuraikan secara terperinci, dan tidak bisa digeneralisasi kalau permasalahan yang terkait dengan pembiaran sampah itu haram.

“Tidak bisa kita generalisasi semuanya haram. Tapi harus kita tafsil permasalahannya seperti apa, (masuk) makruh tanzih. Permasalahannya seperti apa, (masuk) makruh tahrim,” tuturnya.

Pertanyaan pertama ini menghasilkan sikap keagamaan pertama KUPI terhadap pengelolaan sampah, yaitu hukumnya haram untuk pelaku langsung atau eksekutor penyebab tidak langsung. Sementara untuk orang yang tidak mempunyai wewenang, tapi melakukan pembiaran sampah, hukumnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).

Rumusan masalah kedua adalah mengenai hukum pembangunan infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. KUPI menilai bahwa penyediaan infrastruktur tersebut hukumnya wajib bagi setiap pemimpin yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab.

Ala’i Nadjib dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, selaku mushohih (orang yang keilmuannya luas sehingga menjadi pedoman untuk diskusi), menyatakan bahwa hukum dari penyediaan infrastruktur tersebut adalah mubah dan wajib.

“Karena apa? Karena itu adalah bagian dari edukasi kita. Tapi kalau ditanya siapa (yang bertanggung jawab), semua, ya, ‘kan? Dari tingkat RT, itu komunitas yang paling kecil. Dibalik RT siapa? Keluarga,” terangnya.

Hasilnya, hukum pembangunan infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pemerintah bersifat mukhayyar (kewajiban yang tergantung objek hukumnya), bukan muhaddad (kewajiban yang harus sesuai ketentuan). Kewajiban pembangunan infrastruktur tersebut disesuaikan dengan kapasitas kewenangan dan dampak yang timbul dari sampah.

Pertanyaan terakhir adalah mengenai siapa saja yang bertanggung jawab untuk mengelola sampah demi keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.

KUPI merumuskan jawaban awal dengan menegaskan bahwa semua pihak lah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Setiap individu bertanggung jawab dalam bentuk mengurangi produksi sampah (reduce) dan memanfaatkan kembali sampah (reuse) di semua sektor. Untuk pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak lain yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bentuk daur ulang (recycle), maka sesuai kemampuan masing-masing.

Ala’i membantah kalau sampah itu identik dengan perempuan. Permasalahan sampah harus menjadi tanggung jawab bersama. “Semua pihak wajib mengelola sampah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Terutama pemerintah dalam membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan bagaimana pengelolaannya,” ujar Ala’i.

Sikap keagamaan yang dikeluarkan oleh KUPI untuk pertanyaan terakhir tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Ala’i dan hipotesis awal. Yakni pengelolaan sampah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya perempuan.

Pembahasan mengenai pengelolaan sampah ditutup dengan rekomendasi yang dibacakan dalam penutupan KUPI II pada Sabtu siang (26/11). KUPI menegaskan bahwa negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu penting dan melibatkan semua pihak bahkan sampai ke desa.

Rekomendasi yang dibacakan pada penutupan KUPI II berisi penegasan bahwa sampah bukan semata urusan perempuan, tetapi tanggung jawab semua pihak.

Untuk keberlangsungan lingkungan hidup, KUPI menegaskan dalam rekomendasi pertama soal pengelolaan sampah maka negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu yang penting dengan merumuskan kebijakan pengelolaan dan melibatkan pengusaha, masyarakat, dan pegawai struktural sampai desa.

Dalam rekomendasi kedua, masyarakat sipil diharapkan mengambil peran dalam pengelolaan sampah. Sedang dalam rekomendasi ketiga, jaringan KUPI dinilai perlu memperkuat masyarakat dengan pandangan keagamaan untuk menanggulangi sampah.

Reporter: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Magang Himmah/Nurhayati

Editor: Pranoto

Menjelajah Sepak Bola Perempuan

0

Himmah Online – Sepak bola merupakan salah satu olahraga terpopuler di dunia. Akan tetapi, sepak bola masih dikaitkan dengan hal yang bersifat maskulin. Perempuan yang menjadi pemain sepak bola dianggap sebagai hal yang tidak biasa, aneh, unik, serta masih ditabukan. 

Sepak bola diidentikkan sebagai olahraga yang sangat kasar dan keras dalam permainannya. Pemain sepak bola diharuskan untuk berlari, berbenturan dengan lawan, merebut bola, dan lain sebagainya. Karena hal tersebut, masyarakat patriarki menganggap sepak bola hanya cocok jika yang memainkannya laki-laki, sebab perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah.

Anggapan bahwa sepak bola adalah olahraga yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki, membuat sepak bola wanita cenderung kurang mendapat sorotan media karena dianggap kurang kompetitif. 

Walaupun demikian, semakin hari perempuan mulai tertarik pada sepak bola. Ditandai dengan mulai bermunculannya pemain dan klub sepak bola wanita.

Misalnya, seperti tim terpopuler U.S. Soccer Women National Team (USWNT) atau Tim Nasional Sepak Bola Wanita Amerika Serikat dan FC Barcelona ​​yang sedang berkembang pesat.

Penggemar sepak bola wanita pun tidak dapat diremehkan. Salah satu contohnya adalah pertandingan antara FC Barcelona melawan Real Madrid dalam kompetisi UEFA Women’s Champions League atau Liga Champions Wanita pada Rabu 30 Maret 2022 lalu. Laga perempat final yang digelar di Camp Nou–kandang FC Barcelona–tersebut berhasil menarik 91.553 penonton.

Jauh sebelum laga tersebut digelar, pada 1921 pertandingan sepak bola wanita yang diadakan di Everton mencapai angka 53.000 penonton. Namun, Football Association (FA) atau Asosiasi Sepak Bola Inggris justru mengambil tindakan negatif.

Karena khawatir sepak bola pria akan kalah secara popularitas, pejabat FA mengeluarkan dekrit yang melarang sepak bola wanita. Pada tahun 1955 Jerman dan Belanda juga melarang sepak bola wanita dengan alasan yang sama: sepak bola bukan untuk perempuan.

Sepak bola wanita yang saat itu mulai naik daun, langsung turun drastis.

Pada tahun 1970 tiga negara Eropa mulai mengizinkan kembalinya sepak bola wanita. Sejak itu, sepak bola wanita modern telah berkembang, dan pada tahun 1991 Piala Dunia Sepak Bola Wanita diadakan. Beberapa klub telah membentuk tim wanita dan mengadakan kompetisi mereka sendiri.

Selain itu, banyak merek atau brand kelas dunia mulai melirik atlet perempuan sebagai representasi dari produk mereka, karena terdapat daya tarik tersendiri dari atlet perempuan yang tidak dimiliki oleh atlet laki-laki.

Menurut Majalah TIMES, pesepak bola AS Megan Rapinoe menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia pada tahun 2020.

Laju Sepak Bola Perempuan di Nusantara

Di Indonesia, sepak bola mulai diminati pada masa kolonialisme Belanda. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta. Beberapa klub sudah berdiri, seperti Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ), Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB), Vorstenlandsche Voetbal Bond Solo (VVBS), Inlandsche Voetbal Bond Magelang (IVBM), dan Soerabaya Inlandsche Voetbal Bond (SIVB).

Sejarah sepak bola wanita di Indonesia dimulai pada tahun 1969 dengan dibentuknya tim Putri Priangan. Tim tersebut menjadi penanda awal dari sejarah perkembangan sepak bola wanita di Indonesia untuk mengikuti perkembangan sepak bola wanita di Eropa dan Asia.

Munculnya tim Putri Priangan yang dibentuk di Bandung menjadi pionir lahirnya klub-klub sepak bola wanita lainnya. Hal tersebut yang mendorong PSSI mendirikan tim atau klub sepak bola wanita di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Magelang.

Di balik banyak bermunculannya klub-klub sepak bola wanita di Indonesia, terdapat sosok yang menjadi pionir pendirian klub sepak bola wanita di Indonesia. Ia adalah Wiwi Hadhi Kusdarti, sosok wanita yang mendirikan kesebelasan Putri Priangan. 

Naluri sepak bola Wiwi menurun dari ayahnya,  Kadarisman, salah seorang pesepak bola era penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia II. Wiwi berinisiatif mendirikan tim sepak bola wanita karena saat itu di Indonesia belum ada, tidak seperti di luar negeri yang sudah memiliki klub sepak bola wanita dan sudah sangat berkembang.

Dari keresahannya itu, ia mengirimkan tulisan kepada salah satu surat kabar di Bandung pada Januari 1969. Hingga pada akhirnya sampai kepada seorang pendiri klub sepak bola Putra Priangan, yakni Haji Mahdar. Mahdar kemudian menghubungi petinggi Persib Bandung untuk merealisasikan keinginan Wiwi dan terbentuklah Putri Priangan pada Februari 1969.

Namun, beberapa surat kabar memberikan kecaman terhadap munculnya sepak bola wanita. Hingga salah satu media nasional menuliskan sebuah tulisan yang berjudul “Sepak Bola Wanita Runtuhkan Akhlak”.

Tetapi hal tersebut tidak terlalu dipusingkan oleh Wiwi. Menurutnya, meski dihadapkan dengan kecaman buruk, sepak bola wanita justru semakin berkembang ke berbagai daerah Indonesia, seperti Tegal, Solo, Malang, dan Ambon.

Pada tahun 1979, kompetisi nasional untuk mewadahi sepak bola wanita lahir. Kompetisi tersebut bernama Galanita.

Empat puluh tahun setelahnya, kompetisi domestik Liga 1 Putri lahir dan menjalani musim perdana pada 2019. Persib Bandung Putri keluar sebagai juaranya. Namun di tahun-tahun berikutnya hingga kini, Liga 1 Putri belum kunjung berjalan kembali.

Saat ini, sepak bola wanita di Indonesia dinaungi oleh Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia atau ASBWI yang resmi didirikan pada 7 Desember 2017 lalu di Palembang. ASBWI memiliki 12 anggota Asosiasi Provinsi. Mereka adalah Asprov PSSI Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Papua, Sulawesi Selatan, dan Banten.

Reporter: Magang Himmah/Jihan Nabilah, Ibrahim, Parditha Eka Putri

Editor: Monica Daffy

Lava la Bandera: Upaya Masyarakat Peru Melengserkan Pemimpin Diktator dengan Aksi Mencuci Bendera

0

Himmah Online – Alberto Fujimori adalah seorang diktator berdarah Asia yang menjadi pemimpin Peru. Ia memimpin selama 10 tahun sejak 1990 hingga 2000. Kediktatorannya ditentang masyarakat Peru, salah satunya melalui gerakan Lava la Bandera. Sebuah gerakan protes dengan cara mencuci bendera negara.

Kediktatoran Fujimori tampak dari berbagai kebijakan yang diterapkan di Peru. Baru beberapa bulan menjabat sebagai presiden, ia menaikkan harga BBM sebesar 3000% dengan tujuan menekan angka inflasi negara, tapi di sisi lain malah menyebabkan kenaikan angka PHK dan kemiskinan di Peru.

Pada tahun 1992 Fujimori melakukan kudeta di parlemen dan menggantinya dengan orang-orang dari pendukungnya di parlemen yang baru supaya kebijakannya tidak ditentang lagi. Bahkan Fujimori juga melakukan swastanisasi terhadap perusahaan BUMN negara Peru, terutama di sektor pertambangan untuk menarik banyak investor asing dari tanah kelahirannya, yakni Jepang.

Lalu pada tahun 1996 Alberto Fujimori mengesahkan peraturan di Peru berupa amnesti yang kontroversial tentang pemberian perlindungan kepada perwira militer Peru yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, Fujimori melalui orang kepercayaannya di pemerintah, Vladimiro Montesinos, melakukan banyak pekerjaan kotor seperti penangkapan dan penyiksaan secara ilegal, pengekangan pers, penyuapan terhadap oposisi dan KPU negara Peru untuk melanggengkan kekuasaan, korupsi dana pemerintahan dan bantuan asing, serta pembubaran pengadilan tinggi karena menyatakan status Fujimori sebagai presiden di tahun 2000 tidak sah.

Berangkat dari keresahan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat atas kediktatoran Fujimori, masyarakat Peru mulai melakukan berbagai aksi untuk menentang pemerintah. Beberapa di antaranya adalah aksi Lava la Bandera, sebuah aksi mencuci bendera, dan Pawai March of The Four Corners yang dilakukan oleh masyarakat Peru, Amerika Latin.

Salah satu inisiator perubahan besar di negara Peru adalah seorang seniman bernama Victor Delfin. Ia mencetuskan gerakan oposisi dari pemerintahan Peru, yaitu gerakan Every Blood, Every Art. Sebuah gerakan yang menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang politik.

Gerakan Every Blood, Every Art lahir dari keresahan Victor Delfin atas kebijakan dan perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh presiden Alberto Fujimori terhadap masyarakat Peru.

Gerakan ini juga melatarbelakangi kemunculan kelompok oposisi dari seniman yang lain. Setelah pemilihan Alberto Fujimori yang ketiga, berbagai kelompok seniman mulai bergerak melakukan aksi protes untuk menuntut hasil pemilu yang curang dan tidak sah.

Kemudian gerakan dari berbagai kelompok seniman tersebut juga menghasilkan berbagai bentuk pembangkangan sipil yang luas, seperti Lava la Bandera dan pawai March of The Four Corners.

Lava la Bandera atau aksi mencuci bendera yang dilakukan sejak Mei 2000 tersebut diadakan setiap Jumat pada siang hingga sore hari. Masyarakat yang terlibat dalam aksi tersebut berkumpul di ibukota Peru, Plaza Mayor, Kota Lima. Mereka ingin menunjukkan bahwa negara dan bendera nasionalnya sudah sangat kotor.

Dengan nampan merah, air bersih, dan sabun Bolivar, masyarakat melakukan demonstrasi ini dalam suasana yang menggabungkan antara pesta dan protes sosial. Setelah dicuci, bendera digantung di rak pengeringan besar. Dilansir dari laman Actipedia, salah satu demonstran sekaligus aktor pengunjuk rasa, Miguel Iza mengatakan, “Saya hanya ingin negara yang bersih”. 

Namun alih-alih memberikan respons yang baik dan positif, para penguasa di Peru justru menanggapinya dengan ancaman dan tekanan. Vladimiro menyebut demonstran yang berkumpul setiap hari Jumat dengan istilah “kanker” yang meresahkan dan dapat menggerogoti stabilitas negara. Istilah ini diberikan karena aksi pencucian bendera dianggap merugikan bagi rezim Fujimori.

Istilah yang diberikan Vladimiro justru ada benarnya dan merugikan bagi pundi-pundi kekuasaan rezim Fujimori sendiri. Meskipun pemerintah memberikan ancaman dan tekanan, aksi Lava la Bandera justru menyebar dan menjalar ke seluruh pelosok negeri. Ratusan ribu masyarakat dari berbagai daerah di Peru ikut andil dalam aksi mencuci bendera ini.

Selain aksi Lava la Bandera setiap Jumat, pada tanggal 26-28 Juli tahun 2000, sekitar 250.000 orang berkumpul di pusat Kota Lima untuk ambil bagian dalam pawai March of The Four Corners (Marcha de los Cuatro Suyos). Pawai tersebut mengacu pada empat arah mata angin dan melambangkan empat wilayah yang membentuk Kekaisaran Inca, sebuah kekaisaran besar yang pernah berdiri di Amerika pada masa pra-Columbus.

Pawai March of The Four Corners adalah sebuah pawai yang diinisiasi dan dipimpin oleh Alejandro Toledo Manrique, seorang kandidat calon presiden yang menjadi lawan dari Alberto Fujimori pada pemilihan presiden Peru tahun 2000.

Alberto Fujimori menang secara curang atas Alejandro Toledo Manrique. Karena pada saat itu, berbagai survei pemilihan umum yang terkenal di Peru mengumumkan kandidat Alejandro sebagai pemenang dengan selisih 10% dari Alberto. Namun ketika hasil resmi diumumkan oleh penyelenggara pemilu di Peru, justru nama Alberto Fujimori yang muncul sebagai pemenang.

Lima bulan setelah dimulainya aksi Lava la Bandera, Alberto Fujimori akhirnya menyatakan mundur dari kekuasaan. Pengunduran diri itu diumumkan lewat faksimile ketika ia menghadiri Asia Pacific Economic Cooperation di Jepang.

Pada tahun 2009 Alberto dijatuhi hukuman 25 tahun penjara oleh pengadilan negara Peru dengan tuduhan memerintahkan penculikan, penyiksaan, pembunuhan, korupsi, dan suap. Penjatuhan hukuman tersebut meliputi semua pelanggaran HAM yang dilakukan selama masa pemerintahannya.

Melansir dari laman Hemispheric Institute, La Republica, sebuah surat kabar harian di Peru pernah menuliskan, “Suatu ritual yang kami, rakyat Peru tak akan pernah melupakannya”. 

Hal itu disebabkan karena tidak ada yang mengira bahwa aksi sesederhana mencuci bendera ini akan melengserkan dan membuat malu seorang penguasa negara.

Lava la Bandera yang dilakukan oleh masyarakat Peru telah memberikan ide serta inisiatif yang cukup bagi masyarakat di berbagai negara lain untuk menghadapi tindakan korup dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa di masing-masing negara.

Menurut Majalah Time, aksi protes Lava la Bandera yang dilakukan oleh masyarakat Peru pada tahun 2000 merupakan salah satu dari 10 aksi protes unik dan tidak biasa dari masyarakat kepada pemerintah di negaranya.

Reporter: Magang Himmah/Ibrahim

Editor: Qothrunnada Anindya Perwitasari

Hasil Musyawarah KUPI II Diharapkan Dapat Mendorong Kesetaraan dan Keadilan

0

Himmah Online – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi ditutup pada Sabtu (27/11) di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Dalam penutupan tersebut, KH. Nurudin Amin berharap hasil musyawarah dan rekomendasi yang dihasilkan dalam KUPI II dapat mendorong kehidupan yang setara dan berkeadilan.

“Kami selalu memohon kepada Allah SWT seluruh hasil keputusan-keputusan (musyawarah) dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia ini memberikan manfaat kepada seluruh umat manusia dan mendorong terjadinya kehidupan kemanusiaan yang setara dan berkeadilan,” kata KH. Nuruddin Amin selaku pengasuh PP. Hasyim Asy’ari.

Penutupan KUPI II ditandai dengan penyampaian hasil musyawarah dan rekomendasi atas lima tema yang jadi diskursus utama.

Lima tema tersebut adalah (1) Peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama; (2) Pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan; (3) Perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; (4) Perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan (5) Perlindungan perempuan dari bahaya P2GP tanpa alasan medis.

Gelaran KUPI II melahirkan sikap keagamaan serta delapan rekomendasi dengan lima di antaranya berkaitan dengan tema diskursus utama. Rekomendasi kemudian dibacakan oleh Rozikoh Sukardi, Manajer Program Fahmina Institute, dalam acara penutupan KUPI II.

Dalam rekomendasi tema pertama ia mengungkapkan bahwa rekognisi eksistensi ulama perempuan telah diterima di kalangan masyarakat, pesantren, perguruan tinggi, pemerintahan, media, dan kalangan dunia internasional.

Sehingga KUPI meminta “Negara harus menjadikan KUPI sebagai mitra kerja strategis dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan isu-isu strategis bangsa, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa atau kelurahan,” ucap Rozikoh.

Terhadap masyarakat sipil, dalam rekomendasi tema pertama KUPI juga berharap mereka dapat menjadikan jaringan KUPI sebagai mitra strategis dalam membangun gerakan sosial.

Menurut KUPI, hal tersebut perlu diperkuat baik kapasitas, akses, maupun sumber daya dalam membangun peradaban yang berkeadilan untuk seluruh umat manusia.

Rozikoh turut memaparkan rekomendasi terkait tema kedua tentang pengelolaan sampah. KUPI berpandangan sampah bukan semata urusan perempuan, tetapi tanggung jawab semua pihak.

Maka berdasarkan rekomendasi KUPI “Negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu penting dan genting dengan merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang partisipatif, melibatkan pelaku usaha, konsumen, dan struktur negara hingga ke desa,” jelas Rozikoh.

KUPI pun turut mendorong masyarakat sipil dan jaringan KUPI dalam gerakan penanggulangan sampah.

“Jaringan KUPI perlu memperkuat masyarakat dengan pandangan keagamaan untuk menanggulangi sampah sebagai bagian dari panggilan keagamaan,” paparnya.

Kemudian praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak yang turut jadi tema utama dalam KUPI II dianggap telah terbukti menyengsarakan keberlangsungan hidup perempuan. Hal tersebut mendorong adanya rekomendasi dari KUPI terkait implementasi regulasi penghapusan pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak.

“Negara harus memastikan implementasi regulasi-regulasi terkait untuk mempercepat penghapusan praktik pemaksaan perkawinan dan pencegahan perkawinan anak,” ucap Rozikoh.

Selain itu, masyarakat dan jaringan KUPI diharapkan dapat melakukan pengawasan terhadap pengimplementasian regulasi hingga melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk menghapus pemaksaan perkawinan dan mencegah perkawinan anak.

Selanjutnya berkaitan tema perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, KUPI berharap negara mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya dengan konsisten.

Selain itu, negara juga diharapkan dapat mempercepat penyusunan dan implementasi kebijakan terkait kelompok rentan kekerasan.

“Negara harus mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,” kata Rozikoh.

Masyarakat sipil juga diharapkan terlibat dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan negara, melakukan edukasi masyarakat, dan pendampingan pada korban. Tak ketinggalan, jaringan KUPI juga dituntut mengakselerasi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

“Jaringan KUPI perlu mengakselerasi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif pengalaman perempuan dalam pandangan keagamaan, tutur Rozikoh.

Lalu mengenai pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) KUPI menganggap praktik tersebut memberikan dampak mudarat berkepanjangan bagi perempuan, maka negara didorong untuk membuat regulasi terkait P2GP.

“Negara harus mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik pemotongan dan pelukaan genitalia pada perempuan tanpa alasan medis melalui pembuatan regulasi dan tahapan implementasinya yang kokoh,” ucap Rozikoh.

Kemudian masyarakat sipil dan jaringan KUPI diharapkan mengadopsi dan menyosialisasikan pandangan KUPI terkait pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan ke masyarakat.

“Masyarakat sipil perlu mengadopsi dan jaringan KUPI perlu menyosialisasikan pandangan keagamaan KUPI yang mengharamkan pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis di masyarakat,” tutur Rozikoh.

Rekomendasi KUPI II kemudian diserahkan kepada perwakilan Kementerian Agama RI, Abu Rohmad, selaku Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM.

Eva Khalifah selaku Wakil Bupati Sumenep yang menjadi salah satu representasi pihak pemerintah berharap rekomendasi yang dihasilkan dapat tersampaikan kepada seluruh bupati dan walikota di seluruh Indonesia.

“Saya berharap sinergitas hari ini yang dihasilkan dengan beberapa program dan rekomendasi dapat tersampaikan kepada seluruh bupati dan walikota se-Indonesia. Mudah-mudahan ini nanti bisa ditindaklanjuti, menghapuskan segala tindak kekerasan terhadap perempuan,” ungkap Eva.

Eva juga menambahkan bahwa ia siap mengawal seluruh regulasi, kebijakan, dan program di daerah untuk berpihak kepada perempuan.

“Kami siap mengawal seluruh regulasi, kebijakan, dan program di daerah untuk berpihak kepada perempuan, dan untuk melakukan keadilan kesetaraan terhadap perempuan,” tutur Eva.

Sebelum pembacaan hasil musyawarah, dalam penutupan KUPI II terdapat beberapa rangkaian acara seperti launching KUPI Joglo PP. Hasyim Asy’ari, pembacaan Ikrar Joglo Bangsri Jepara, dan pembacaan deklarasi Jaringan Muda KUPI.

Reporter: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Magang Himmah/Nurhayati

Editor: Pranoto

Tirto Adhi Soerjo: Akar Pergerakan Bangsa Indonesia

Himmah Online – Pergerakan Bangsa Indonesia lahir ketika seorang pelajar yang mencintai jurnalistik menajamkan gerak tulisannya untuk memperjuangkan ketidakadilan yang menimpa bangsanya. Ia adalah Tirto Adhi Soerjo atau Raden Mas Djokomono, lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1880.

Tirto lahir berdarah daging bangsawan dari Raden Mas Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodipoero. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak Hindia Belanda kemudian diangkat menjadi Bupati Bojonegoro.

Karena status kebangsawanannya, ia berkesempatan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), setara sekolah dasar di Rembang. Kemudian ia merantau ke Batavia untuk melanjutkan jenjang pendidikannya di Hogere Burgerschool (HBS) atau setara sekolah menengah pertama. Hingga masuk ke School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputera. Sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Di STOVIA ia mulai membaur dengan sekitar, memahami realita, dan mulai bersifat egaliter. Semenjak itu ia mulai menulis dan banyak mengirimkan tulisannya ke berbagai surat kabar. Sebab itu, ia tidak menamatkan sekolahnya di STOVIA dan memilih menjadi seorang wartawan.

Perjalanan di Organisasi Pergerakan dan Pers 

Setelah dikeluarkan dari STOVIA pada 1901. Ia bekerja di surat kabar Pembrita Betawi sebagai redaktur hingga 1903.

Pembrita Betawi dipimpin oleh seorang Jurnalis Senior Karel Wybrands. Atas didikan, nasihat, dan saran dari Wybrands: bahwa menjadi seorang jurnalis harus dapat membawa pemikiran umum, dengan kata lain ia harus mengabdi pada kepentingan publik. Dari situ, Tirto tergerak untuk mulai merintis surat kabarnya sendiri.

Masih dalam 1903. Tirto merintis perusahaan sendiri dengan nama Soenda Berita. Perusahaan surat kabar pribumi berbahasa Melayu pertama dengan slogan Kepoenjaan Kami Pribumi yang diharapkan agar semakin dikenal oleh kaum pribumi. Soenda Berita juga menjadi surat kabar perintis yang menggerakkan peran kaum perempuan. Namun sayangnya perusahaan ini harus tutup karena kekurangan modal.

Kemudian Tirto menyeberang ke Maluku pada 1905 dan menemukan cintanya yaitu Putri Fatimah, seorang Putri Kerajaan Bacan lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang mahir berbahasa Belanda. Tak hanya menemukan cintanya, hatinya juga bergejolak lantaran ia melihat Maluku yang menjadi pusat eksplorasi rempah-rempah Belanda kala itu. Sehingga membuat Tirto menjadi lebih berani dalam menajamkan tulisan-tulisannya.

Tahun 1906 Tirto mengadakan penggalangan dana untuk membiayai penerbitan surat kabarnya, hal itu mudah baginya berkat status kebangsawanannya. Berkat hal itu juga, ia berhasil menghimpun para kaum ningrat dan saudagar kaya yang kemudian melahirkan organisasi Sarekat Prijaji dengan tujuan untuk memajukan (memberikan pengajaran) kepada anak bangsa yang selama ini berada di dalam belenggu Belanda. 

Kemudian tahun 1907 ia bangkit dengan kantor berita barunya yaitu Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Karena baginya, surat kabar adalah alat advokasi rakyat dan pembentuk pendapat umum. Ia juga menegaskan bahwa pilihan jurnalistiknya mengarah untuk warga yang mendapat penindasan, apabila diperlukan bantuan hukum maka ia akan menyediakan. Sekaligus memperkenalkan jurnalisme advokasi kepada pribumi.

Suatu ketika Tirto diseret ke pengadilan dan dijerat dengan kasus delik pers karena menerbitkan berita tentang praktik persengkongkolan antara calon pengawas Purworejo, yaitu Siman dengan Wedana Cokro Sentono di Desa Blapangan Distrik Cangkrep, Purworejo, Jawa Tengah.

Akibatnya, Tirto langsung dibuang ke Lampung. Selama masa pembuangan itu pun ia terus menulis. Dampaknya tak jarang ia mendapatkan teror atau ancaman dari pemerintah dan pribumi pro pemerintah kolonial karena ketajamannya dalam mengkritik yang dimuat dalam surat kabar.

Tidak hanya berperan di dunia pers, pemikiran Tirto juga menjadi perubahan pergerakan nasional. Era itu banyak terbentuk organisasi pergerakan yang mempunyai surat kabar sendiri. 

Tirto juga terlibat dalam Organisasi Boedi Oetomo yang dibentuk tahun 1908. Namun akhirnya ia mengundurkan diri dari Boedi Oetomo dan Sarekat Prijaji karena ia merasa tidak lagi sepaham, terlalu elitis, dan tidak dapat menjangkau masyarakat luas. 

Lalu ia merintis surat kabar Poetri Hindia untuk menghidupkan peran kaum perempuan yang terbit perdana pada 1 Juni 1908 di Batavia. Surat kabar ini  dikelola oleh perempuan dan mendapat pasokan dana dari Tirto Koesoemo selaku Bupati Karanganyar yang juga salah satu penyokong berdirinya Boedi Oetomo. 

Poetri Hindia mendapatkan apresiasi dari Ratu Emma, permaisuri Raja Willem III atau ibu dari Ratu Kerajaan Belanda Sri Ratu Wilhelmina pada tahun 1909. Namun sayangnya surat kabar ini pun harus ditutup karena Tirto mendapatkan kasus yang menjadi langganannya, yakni teror dan ancaman akibat dari keberaniannya dalam mengkritik pemerintah kolonial.

Di tahun yang sama, ia juga menggagas berdirinya Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di Buitenzorg, Batavia.

Kemudian ia bertemu dengan saudagar batik asal Surakarta yaitu KH. Samanhudi. Atas permintaan KH. Samanhudi, ia lalu merumuskan sebuah laskar keamanan bernama Rekso Rumekso yang kemudian diubah menjadi SDI Cabang Surakarta. Agar tidak dicekal pemerintah kolonial, SDI lalu dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto.

Medan Prijaji pun semakin luas jangkauannya dan menjadi surat kabar yang disorot atas keberaniannya. Akibatnya, ia mengalami banyaknya perlawanan karena tulisannya kritis dan frontal.

Sayangnya, keuangan pun semakin merosot karena kurang tepat dalam mematok harga berlangganan Medan Prijaji. Lagi-lagi, Desember 1912 ia tersandung kasus karena tidak dapat melunasi hutang. Kemudian ia diseret ke pengadilan dan diasingkan ke Ambon, Maluku selama dua tahun. 

Akhir Gerak Tirto Adhi Soerjo 

Juni 1915 Tirto kembali ke Tanah Jawa (Batavia). Namun kondisinya tidak seperti dulu, ia kehilangan semuanya (pengaruh dan harta). Kehidupannya juga diawasi oleh pemerintah kolonial.

Konon ia mengalami depresi berat selama bertahun-tahun, bahkan nyaris kehilangan ingatannya. Semua itu karena penderitaan tekanan fisik dan batin yang didapatkan terus-menerus. Hingga surat kabar De Locomotief memuat tulisan “Tirto Adhi Soerjo telah menjadi korban kerja kerasnya sendiri. Dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir, Tirto mengalami kerusakan ingatan hingga takut bertemu orang.”

Pemerintahan Kolonial membuat propaganda yang menyebutkan bahwa “Tirto orang yang menyeramkan dan jangan didekati. Hal itu mendapat kepercayan publik,” tutur Muhidin Dahlan seorang peneliti sejarah dalam Channel Youtube Melawan Lupa Metro TV yang bertajuk “Melawan Lupa – Tirto Adhi Soerjo : Sang Pemula”. 

Tirto menghabiskan akhir hidupnya dalam kesepian dan kesunyian di Hotel Medan Prijaji, hotel yang dulu menghidupi surat kabarnya tersebut dibeli oleh sahabatnya, Gunawan.

Tirto kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 Desember 1918. 

Ironisnya ketika pengantaran jenazah, tak banyak orang yang mengantarkan jenazahnya dari Keramat ke Mangga Dua, Batavia, lantaran propaganda. Akhir 1918 De Locomotief juga menerbitkan kabar “Sebuah kuburan di Mangga Dua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, merupakan tempat istirahat terakhir seorang Jurnalis yang pernah memperjuangkan bangsanya.”

Setelah ia meninggal, nama dan perannya hilang dalam dunia pergerakan nasional. Kemudian bangkit lagi ketika ia menjadi tokoh dalam buku Bumi Manusia dengan nama “Minke”.

Tirto Adhi Soerjo ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers Republik Indonesia pada tahun 1973 dan Pahlawan Nasional pada tahun 2006 setelah 100 tahun mendirikan surat kabar Medan Prijaji. 

Reporter: Himmah/Syahnanda Annisa

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

25 November 1960: Kematian Mirabal Bersaudara hingga Lahirnya Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Himmah Online – Melalui Sidang Umum PBB, 25 November 1981 ditetapkan sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tanggal tersebut dipilih untuk mengenang kematian Mirabal bersaudara pada 25 November 1960 silam.

Mirabal bersaudara yang terdiri dari Patria Mercedes Mirabal (1924-1960), Minerva Argentina Mirabal (1926–1960), dan Maria Teresa Mirabal (1935–1960) merupakan anak dari pasangan dari Enrique Mirabal Fernandez dan Mercedes Reyes.

Keluarga Mirabal cukup kaya dan terpandang karena memiliki beberapa bidang usaha seperti perkebunan kopi, pabrik pengolahan kopi dan beras, pergudangan, peternakan, hingga toko daging. 

Dari ketiga bersaudara tersebut, Minerva menjadi yang paling dulu terjun di dunia politik dan menjadi aktivis anti-Trujillo bawah tanah. Rezim diktator yang lahir dari sebuah kudeta di ibu kota Santo Domingo pada 1930.

Hal tersebut dikarenakan sejumlah temannya mengaku punya kerabat yang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh oleh aparat rezim Trujillo.

Saat itu Trujillo dianggap sangat bobrok, anti kritik, dan buruk bagi perempuan. Trujillo dikenal suka membangun rumah di seluruh negeri untuk ditinggali oleh gadis–gadis simpanan.

Sialnya, Trujillo terobsesi dan mengincar Minerva sebagaimana dia terobsesi pada gadis-gadis lain yang telah didapatnya.

Suatu hari di tahun 1949, Trujillo mengadakan pesta dan mengundang Mirabal bersaudara. Di pesta tersebut Trujillo melamar Minerva namun ditolak. Hal itu membuat Trujillo sangat marah sehingga di lain waktu terjadi penguncian Minerva beserta ibunya saat mereka menginap di sebuah hotel. Minerva beserta ibunya tidak diperbolehkan keluar sampai Minerva setuju untuk tidur dengan Trujillo.

Kejadian tersebut membuat kebencian Minerva terhadap Trujillo semakin kuat. Minerva bukan lagi menjadi aktivis anti-Trujillo bawah tanah, tetapi sudah menjadi musuh rezim.

Tak hanya Minerva yang terjun ke dunia politik, Patria dan Maria pun mengikuti jejak saudaranya tersebut. Patria mulai terjun ke dunia politik setelah melihat pembantaian yang dilakukan oleh anak buah Trujillo di sebuah kegiatan keagamaan. Lalu Maria terjun ke politik setelah ia mulai tinggal di rumah Minerva.

Tiga bersaudara yang dijuluki “Kupu-Kupu” tersebut kemudian bersatu dengan para aktivis anti-Trujillo di berbagai kota. Mereka semakin gencar menggabungkan ideologi yang mempromosikan kebebasan, kesetaraan, pendidikan, serta kebebasan memilih dan berkehendak. 

Pada 14 Juni 1959 terjadi gerakan yang dikepalai oleh suami Minerva, Manolo. Gerakan tersebut menetapkan hari itu sebagai hari pelaksanaan Luperon Invasion, sebuah operasi pengiriman para anggota Dominican Liberation Movement (DLM) ke kota-kota Costanza, Estero Hondo, dan Maimon di bawah komando Enrique Jimenez Moya. Sayangnya invasi tersebut dimatikan oleh rezim Trujillo bahkan sebelum dilakukan.

Akibatnya, lebih dari 100 anggota invasi ditangkap oleh aparat termasuk Manolo, Minerva, Maria, Leandro, dan Pedro. Mayoritas ditahan di penjara La Cuarenta yang dikenal angker karena kerap menjadi tempat penyiksaan hingga pembunuhan.

Setelah ditahan, keluarga Mirabal rela dimiskinkan oleh rezim Trujillo dengan dilakukannya penyitaan tanah, mobil, dan rumah. Meskipun demikian, tindakan Trujillo tidak menyurutkan nyali Patria dan kedua saudaranya yang ditahan. 

“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita tumbuh dalam rezim yang korup dan tiran ini, kita harus melawannya, dan saya bersedia menyerahkan segalanya, termasuk hidup saya jika perlu,” ungkap Patria.

Malam Kematian Mirabal Bersaudara

Negara-negara di kawasan Karibia dan Amerika mulai memberi perhatian dan dukungan sehingga menyebabkan perlawanan terhadap Trujillo semakin besar. Venezuela dan Amerika yang awalnya kawan Dominika memutar haluan menjadi lawan. Ditambah dukungan dari Kuba di bawah Fidel Castro yang menjadi penyokong utama gerakan perlawanan terhadap Trujillo.

Akibat tekanan dari luar membuat Trujillo membebaskan Minerva dan Maria pada 8 Agustus 1960. Tetapi tidak untuk Manolo dan Pedro, mereka dipindahkan dari penjara La Cuarenta ke penjara San Felipe.

Mirabal bersaudara juga diberi kesempatan untuk menjenguk suami-suaminya, Manolo dan Pedro, walaupun jarang dan waktunya dibatasi.

Namun tak disangka-sangka pada 25 November 1960, malam itu mereka dihentikan oleh sekelompok polisi rahasia ketika dalam perjalanan pulang setelah menjenguk suami. Kondisi cuaca sedang hujan lebat, mereka dipaksa keluar dari mobil dan digiring ke pinggir jurang.

Mirabal bersaudara bersama dengan supir mereka, Rufino de la Cruz, dipukuli kemudian dicekik hingga tewas. Jasad mereka dimasukkan ke dalam mobil yang mereka kendarai. Tak berhenti sampai di situ, mobil tersebut didorong ke dalam jurang untuk menciptakan situasi di mana kematian mereka terkesan alami akibat kecelakaan.

Tragedi pembunuhan itu dilakukan pada saat Patria berusia 36 tahun, Minerva 34 tahun, dan Maria berusia 24 tahun. Mengetahui berita tersebut, publik marah dan meyakini bahwa kematian Mirabal bersaudara disebabkan oleh ulah orang-orang suruhan Trujillo.

Peristiwa itu menjadi salah satu faktor yang mendorong gerakan anti-Trujillo semakin meluas. Trujillo kemudian dihukum mati enam bulan kemudian.

Hari kematian Mirabal bersaudara kemudian diperingati sebagai International Day for the Elimination of Violence Against Women atau Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Kisah Mirabal bersaudara menjadi sangat populer dan dimasukkan ke dalam buku-buku teks pelajaran sejarah di Dominika.

Kini, rasa sakit dan darah perjuangan Mirabal bersaudara tak sia-sia begitu saja. Perjuangan mereka masih terus disambungkan oleh perempuan-perempuan di seluruh dunia. Sebab, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di zaman sekarang dalam bentuk pelecehan seksual, penganiayaan, perkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga pembunuhan.

Reporter: Magang Himmah/Ivana Nabila Putri

Editor: Siti Tabingah