Beranda blog Halaman 19

Bahasa Jaksel dan Budaya Alih Kode

Himmah Online Bahasa anak Jakarta Selatan (Jaksel) merupakan campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam satu kalimat. Kata at least, even, literally, hingga which is kerap diselipkan dalam susunan kalimat Bahasa Indonesia dalam gaya bahasa anak Jaksel tersebut.

Menurut Ni Wayan Sartini, dosen Studi Bahasa dan Sastra Universitas Airlangga (UNAIR), fenomena tersebut dikenal dengan istilah code-switching atau alih kode. Code-switching dapat terjadi karena ada pengaruh dari lingkungan komunikasi.

“Tidak akan menjadi masalah jika masyarakat menggunakan bahasa yang bercampur. Selama penggunaannya berada dalam situasi yang tepat. Artinya, hanya pada ranah pergaulan atau informal,” tutur Sartini dikutip dari laman UNAIR.

Tertuang dalam jurnal berjudul Bahasa Anak JakSel: A Sociolinguistics Phenomena milik Dzakiyyah Rusydah, setidaknya terdapat empat alasan utama yang mendukung fenomena bahasa ini terjadi.

Pertama, bahasa Inggris sebagai bahasa kebanggaan. Di Indonesia, bahasa Inggris masih dianggap sebagai bahasa asing yang tidak semua orang Indonesia bisa menguasainya, sehingga setiap kali orang Indonesia berbicara bahasa Inggris akan mengangkat gengsi (prestige).

Kedua, berbicara bahasa Inggris sebagai bagian dari status dan gaya sosial. Selain membawa gengsi, setiap kali seseorang berbicara bahasa Inggris, ada juga bagian dari status dan gaya sosialnya karena gengsi akan mengangkat status sosial seseorang, maka gaya sosial akan mengikuti atau sebaliknya.

Misalnya, anak-anak di Jakarta Selatan yang berlatar belakang menengah ke atas. Biasanya mereka bersekolah di background internasional, yang dalam percakapan sehari-hari mereka mengutamakan bahasa Inggris.

Ketiga, terdapat kosa kata bahasa Inggris yang tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia begitu saja, karena tidak ada padanan kata yang tepat dan akan kurang ekspresif. Penerjemahan bukan tentang makna, tetapi harus melibatkan aspek linguistik kedua bahasa, budaya yang sesuai dari bahasa tersebut, dan konteks yang dapat menyampaikan makna.

Selanjutnya alasan terakhir anak muda Jakarta berbicara bahasa Jaksel untuk memperkaya kosakata bahasa Inggris, karena merupakan bahasa asing yang harus ditingkatkan dengan berlatih. Tak hanya itu, berbicara dua bahasa bukanlah hal yang mudah, disebabkan adanya dua budaya yang melebur menjadi satu.

Selain itu, bahasa Jaksel dengan bahasa Inggris sebagai pelengkap komunikasi, juga berkaitan dengan prestise status sosial. Tingkat sosial masyarakat Jaksel dianggap lebih tinggi sehingga merasa perlu untuk memasukkan unsur bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.

Hal tersebut dilihat dari penggunaan bahasa Inggris dalam perilaku sosial masyarakat perkotaan di Jabodetabek, yang mempresentasikan status pendidikan tinggi, status sosial menengah ke atas, gaya hidup modern dan berkelas.

Secara geografis wilayah Jaksel juga banyak dikelilingi oleh instansi pendidikan bertaraf internasional yang mayoritasnya memiliki guru native speakers. Hal ini menjadi faktor pendukung yang kuat bagi orang-orang Jaksel yang sering mencampur kosa kata bahasa Inggris ketika berkomunikasi dengan lawan bicaranya

Meskipun begitu, menggabungkan dua bahasa bukan berarti membawa dampak buruk bagi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tetap tidak akan tergeser kedudukannya dengan adanya bahasa Jaksel tersebut.

Melansir dari tirto.id, menurut Bernadette Kushartanti, pakar linguistik Universitas Indonesia, fenomena bahasa yang terjadi seperti bahasa Jaksel ini bukanlah sebuah ancaman yang mengkhawatirkan. Meskipun mempertahankan bahasa asli itu penting, tetapi di sisi lain hadirnya fenomena campuran bahasa ini mampu menambah wawasan dan juga memperluas lingkup bahasa kita.

Reporter: Magang Himmah/Alfi Syahrin Yuliantari, Ayu Dyah Chaerani, Izzatu Rahmatillah

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Menilik Relasi Henk Sneevliet dan Semaoen hingga Lahirnya Komunisme di Indonesia

Himmah Online Henk Sneevliet, seorang tokoh komunis berkebangsaan Belanda, sukses membendung kekuatan dalam skala yang amat   besar di Hindia Belanda. Bukan hanya dari kaum sebangsanya saja, banyak tokoh bumiputera yang tergabung dengannya. Mereka menyebarkan paham komunis yang radikal di Hindia Belanda.

Mereka semua terwadahi oleh organisasi bernama Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) yang dalam bahasa Indonesia berarti Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia (PDSH). Beberapa tokoh yang terlibat ialah Semaoen, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo, dan juga Darsono.

ISDV adalah organisasi pertama yang memperkenalkan paham komunisme di Hindia Belanda.

Henk Sneevliet dulunya adalah seorang yang aktif dalam organisasi buruh kiri di Belanda. Ia tercatat ikut serta dalam pemogokan massal di Hari Pelaut Internasional tahun 1911. Perseteruan dengan tokoh serikat buruh Belanda membuatnya hengkang dari negeri asalnya. (Floriberta Aning S, 2005). Dengan demikian, ia mendapat alasan untuk berlayar menuju Hindia Belanda.

ISDV berdiri pada tanggal 9 Mei 1914. Sneevliet sendiri tiba di Pulau Jawa satu tahun sebelumnya. Sneevliet datang bersama J.A. Brandsteder, Ir. A. Baars, Dr. Rinkes, dan beberapa tokoh lainnya (Yunani Hasan, 2014: 7).

Di Hindia Belanda, Sneevliet ingin meneruskan dakwah humanistiknya. Ia tetap setia pada haluan kiri.

Ia membentuk grup diskusi kecil-kecilan sambil bekerja di Serikat Dagang Semarang. Meskipun berada di Hindia Belanda, Sneevliet tetap terhubung dengan jaringan komunis internasional.

Bumiputera Komunis Pertama

Sneevliet bertemu dengan Semaoen ketika ia berada di Surabaya. Ini adalah perkenalan pertamanya. Pada fase ini, mereka belum terhubung dengan baik.

Tak lama kemudian Semaoen ditugaskan H.O.S Tjokroaminoto untuk memimpin SI afdeling Semarang, Tepat ketika Sneevliet berpindah di kota yang sama. Hubungan mereka terjalin lebih akrab hingga Semaoen memutuskan untuk bergabung dengan ISDV.

Pada tahun 1901 ketika kolonial Belanda menetapkan politik etis, ia genap berusia tujuh tahun. Semaoen kecil menempuh pendidikan di Tweede Klas atau setingkat dengan sekolah dasar (Bonnie Triyana, 2017). Setelah lulus ia melanjutkan pendidikan di Eerste Klas Inlandsche School. Kelas ini akan dikenal sebagai HIS (Holland Inlandsche School) (Takashi Shiraishi, 1997).

Menjajaki kelas VI, ia diperbolehkan mengikuti ujian pegawai Pamong Praja. Berkat kecerdasannya, Semaoen kecil dapat menempuh ujian ini. Ia pulang membawa sertifikat kelulusan ujian.

Sebenarnya, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Lagi-lagi, kendala utama yang dihadapi adalah besarnya biaya pendidikan. Akhirnya, di umur yang ke-13 tahun, Semaoen memutuskan untuk bekerja di stasiun kereta api (Soewarsono, 2000: 40).

Keinginan untuk belajarnya begitu kuat. Sambil bekerja, ia banyak membaca buku. Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan gagasan kemanusiaan.

Semaoen pernah belajar kepada Tjokro di Gang Peneleh bersama Soekarno dan Sjahrir. Dari ketiganya, ia paling unggul di bidang agitasi politik. Kemampuan agitasi politiknya muncul seperti bakat dan menarik perhatian Tjokro. Sehingga Tjokro menempatkannya sebagai sekretaris SI afdeling Surabaya.

Sneevliet tampaknya ikut terpukau dengan kelihaian Semaoen ihwal propaganda. Semaoen juga memiliki minat serta arah yang sama dengan Sneevliet: Organisasi Buruh dan Term Kereta Api (VSTP). 

Keterlibatan Semaun dalam SI, organisasi dengan basis masa yang banyak, juga merupakan pertimbangan penting demi lancarnya misi ISDV. 

Akhirnya, di tahun 1915, murid Tjokro itu resmi dinobatkan sebagai anggota bumiputera pertama yang bergabung dengan ISDV dan nantinya diikuti oleh Darsono, Alimin, serta banyak kader lainnya.

Titik Temu

M.C Ricklefs mencatat Sneevliet sebagai tokoh mistikus Katolik yang secara tiba-tiba berubah haluan menjadi sosok aktivis sosialis radikal (Ricklefs, 2005: 357). Sneevliet lahir dari keluarga miskin di Rotterdam. Ia hanya mampu mengenyam pendidikan di sekolah kelas dua (Hogerburgerschool) sembari bekerja untuk mencukupi kebutuhan finansialnya. Setelah lulus ujian sekolah, ia lantas bekerja sebagai pegawai kereta api yang dikelola oleh negara (state railways).

Kondisi hampir serupa dialami oleh Semaoen. Ia berasal dari keluarga abangan miskin. Bapaknya, Prawiroatmodjo, bekerja sebagai pegawai rendah di bidang kereta api sebagai tukang pemecah batu. Ia juga menempuh sekolah kelas dua.

Latar belakang yang hampir serupa berdampak pada hubungan Sneevliet dan Semaoen. Marxisme yang dibawa oleh Sneevliet dianggap sesuai dengan nafas Islam dalam hal keberpihakannya pada kaum lemah dan tertindas. 

Sarekat Islam di bawah Semaoen hadir dengan mengedepankan ajaran Islam yang lebih humanistik. Keberpihakan pada kaum marginal dan buruh adalah titik temu antara kedua tokoh tersebut.

Hal tersebut tercermin dalam sikap Sneevliet, misalnya, ketika ia dan Semaoen sedang di Surabaya. Mereka berdua hendak menginap di salah satu hotel yang banyak berisi orang-orang berkulit putih. Sesampainya di lobi, petugas hotel bertanya kepada Sneevliet:

“Siapakah orang di samping Anda, Tuan?”.

Ia menjawab “Ini adalah kolega saya”

“Apakah ia seorang guru?”

“Ia kolega saya, tak lebih dan tak kurang”

Sneevliet dan pemilik hotel itu terus berseteru. Pemilik hotel terus mengelak dengan alasan tidak enak pada tamu-tamu yang lain. Ia menunjukkan bahwa di sekitar area itu terdapat satu hotel milik Tionghoa yang dapat ditinggali oleh koleganya tersebut.

Sontak Sneevliet marah dan berujar “Tuan, manusia macam apa tamu Anda itu, mereka biasa mengeruk keuntungan dari bumiputera, tapi cara mereka memperlakukan manusia sama sekali tidak bisa diterima” (Bonnie Triyana, 2017). Hal ini juga yang membuat Semaoen begitu terkagum-kagum dengannya. Oleh karena itu, Semaoen menyebut Sneevliet sebagai “Mijn Goeroe” (Guruku).

Semaoen Bergemilang

Pada tahun 1916, Semaoen berpindah ke Semarang. Ia memimpin SI afdeling Semarang. Ricklefs mencatat keberhasilan Semaoen mempengaruhi corak SI menjadi anti kapitalis yang radikal serta peningkatan jumlah anggota yang begitu pesat. Awal mula ia datang, anggota SI afdeling Semarang hanya berkisar 6000 anggota dan setahun kemudian mencapai 20.000 anggota.

Humanisme radikal Semaoen dikenal sangat luas. Suasana kolonialisme menjadikan wacana ini begitu populer. Segala bentuk nilai diwujudkan melalui pola gerakan Semaoen. 

KH Ahmad Dahlan pernah mengundang Semaoen, Darsono, dan Ir. A. Baars. Mereka diundang untuk mengikuti perkumpulan Muhammadiyah di Kauman demi memperkuat perspektif dalam bidang pendidikan politik. 

Pada akhirnya, pendiri Muhammadiyah itu memantapkan makna “orang miskin” yang ada di surat Al Ma’un tidak hanya sebagai orang-orang yang tak mempunyai harta, namun juga orang-orang yang tidak berdaya. Hal ini seperti yang dicatat oleh Imron Mustofa dalam bukunya KH. Ahmad Dahlan si Penyantun (2018).

Dari ISDV Menuju PKI
Pada Perang Dunia I tahun 1914-1918, Hindia Belanda mengalami guncangan ekonomi. Belanda membentuk Volksraad untuk mengatasi gejolak yang dikhawatirkan timbul dari partai-partai yang ada di Indonesia. SI mendapat tempat dalam Volksraad

Semaoen dengan mayoritas pengikutnya menolak untuk masuk dalam keanggotaan Volksraad dan menganggapnya sebagai sandiwara belaka. Tjokro sangat khawatir akan perpecahan yang timbul dalam internal SI. Ia melakukan manuver dengan mengeluarkan slogan anti kapitalis kepada Volksraad.

Sebenarnya, perpecahan SI dimulai sejak perdebatan Semaoen dengan Mohammad Joesoef. Joesoef merupakan ketua SI afdeling Semarang sebelum digantikan oleh Semaoen.

Mereka berbincang tentang keterlibatan SI dalam pembelaan atas Marco Kartodikromo. Atas beberapa karya tulisnya, Marco dijatuhi hukuman penjara dengan delik sebaran kebencian. 

Sejak itu, radikalisme Semaoen mendapat tempat di mayoritas anggota SI. Posisi Semaoen dalam SI semakin kuat. Banyak para anggota yang bersimpati atas semangatnya, didukung dengan perangainya yang baik dan tulus memperjuangkan keadilan. 

Tjokro kehilangan rasa simpatik pada Semaoen. Bukan karena radikalisme seorang pemuda, justru kehadiran Sneevliet sebagai “pengaruh buruk” bagi Semaoen, itu yang ia benci.

Tegangan antara kaum muda radikal dengan kaum tua mempersulit keadaan SI. Perbedaan ideologi menyebabkan perpecahan antara keduanya. SI menetapkan disiplin partai ketika Semaoen telah memegang kendali atas ISDV. 

Beberapa tahun kemudian, SI terbagi menjadi dua: SI Merah/PKI dan SI Putih. SI Merah menganut paham sosialisme-komunisme sedangkan SI Putih berpaham nasionalisme-religius.

Tahun 1917, ketika terjadi revolusi besar di Rusia, ISDV menampakkan wajah aslinya. Karena mereka sudah mulai tak terkendalikan, pemerintah memutuskan untuk mengasingkan Sneevliet beserta beberapa radikalis Belanda lainnya. Kini ISDV dikuasai oleh Semaoen.

Tahun 1920, untuk mendapatkan basis masa yang lebih luas, ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Hindia, lalu berubah lagi empat tahun kemudian, menjadi Partai Komunis Indonesia. Menjadi partai pertama yang menggunakan nama Indonesia sebagai identitasnya.

Reporter: Magang Himmah/R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Syahnanda Annisa

Lekra dan Tjidurian 19 dalam Gelombang Politik dan Seni

Himmah Online Pada 17 Agustus 1950 A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna, Joebar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan sayap kiri yang dibentuk untuk menghimpun para penulis, seniman, sastrawan, dan pekerja budaya lainnya. Ketujuh orang tersebut tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lekra hadir sebagai wujud kritik terhadap pandangan politisi dan seniman tua yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka (GSM). Mereka menganggap bahwa revolusi telah gagal mengantarkan Indonesia menuju negara demokrasi.

Karena dinamika politik yang terjadi saat itu, banyak partai yang memiliki lembaga kebudayaan. Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Partai Indonesia (Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI) dengan Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (Laksmi), dan Nahdlatul Ulama pun turut membentuk Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi).

Sehingga, kesenian-kebudayaan menjadi syarat ajang tarung politik. Lantas lembaga kebudayaan pun dianggap sebagai jurus terjitu untuk menarik, menghimpun, dan mempengaruhi massa.

Awal Kantor Sekretariat dan Sanggar Lekra di Tjidurian 19

Njoto kala itu sedang berada di Surabaya. Di sana ia berkenalan dengan seorang pengurus surat kabar Sin Tit Po keturunan Tionghoa, Oey Han Djoen.

Oey kemudian pindah ke Semarang. Lalu pada 1958 Oey memboyong istri dan anaknya untuk pindah ke Jakarta lantaran ia terpilih sebagai wakil rakyat. Dengan selektif Oey memilih karakter rumah yang akan dihuninya. Jatuhlah ia pada rumah yang berdiri di Jalan Tjidurian, Nomor 19, Menteng, Jakarta Pusat.

Di Jakarta, Oey aktif di Lekra. Atas keinginannya sendiri, ia menjadikan rumahnya sebagai kantor sekretariat dan sanggar Lekra.

Saat rumah itu dijadikan kegiatan kesenian, Jane Luyke, istri Oey, sempat merasa kerepotan karena harus menyediakan makan dan minum untuk setiap tamu. Lama-kelamaan, Jane merasa kehilangan privasinya di rumah itu. Lalu Oey mengajak istri dan anaknya pindah ke Rawamangun, Jakarta Timur. Tjidurian 19 pun ditempati Lekra sepenuhnya.

Perjalanan Lekra

Mengutip mukadimah Lekra, bahwa mereka secara tegas berpihak pada rakjat dan mengabdi kepada rakdjat, adalah satu-satunya djalan bagi seniman-seniman, sardjana-sardjana, maupun pekerdja-pekerdja kebudajaan lainja untuk mentjapai hasil jang tahan oedji dan tahan waktu.

Garis berkesenian yang ditetapkan Lekra adalah kebudayaan yang mengacu pada rakyat. Dengan kata lain, seluruh seni budaya harus berpihak pada rakyat. Berkumandanglah seni rupa untuk rakyat, dengan realisme kerakyatan atau realisme sosialis (Dermawan 2000:48).

Istilah realisme sosialis ada setelah kongres pertama Persatuan Pengarang Uni Soviet pada 1934, walaupun diyakini istilah itu sudah ada sejak lama. 

Terdapat dua aspek yang ditekankan pada realisme sosialis. Pertama, bahwa seni harus memperlihatkan realitas. Kedua, bahwa seni harus bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan kondisi yang sedang terjadi. Sehingga, ia dianggap bisa menciptakan keadaan yang lebih baik.

Lekra menggariskan gagasan realisme sosialis dalam konsep 1-5-1. Maksudnya, 1 artinya politik, politik yang merupakan panglima tindakan dalam seni. Lalu 5 yang artinya meluas dan meninggi; tinggi mutu ideologi dan mutu artistik; tradisi baik dan kekinian revolusioner; kreativitas individu dan kearifan massa; serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Sedangkan 1 yang terakhir yaitu metode turun ke bawah (turba), artinya seniman harus turun ke masyarakat.

Karena memiliki paham yang sama, Lekra dan PKI pun menjadi dekat. Namun, bukan berarti Lekra dikuasai oleh PKI. Kedekatan ini menjadi simbiosis mutualisme. Lekra untung karena karya tulisan seniman-senimannya diterbitkan di surat kabar Harian Rakjat milik PKI. Begitu pun PKI yang mendapat dukungan Lekra dalam setiap acara kebudayaannya.

Lekra mengadakan konferensi nasional pertama pada 1959 di Surakarta dan dihadiri oleh Soekarno

Bagi Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni, seni harus menghamba kepada politik yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen. Tidak ikut organisasi berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan dengan revolusi berarti musuh rakyat.

Namun tak semua seniman di Tjidurian 19 memahami politik. Banyak seniman yang merasa keberatan dengan konsep 1-5-1 Lekra. Mereka kerap mendapat komentar dan didikte oleh partai. Banyak seniman yang bergabung dengan Lekra karena semata-mata untuk belajar, bergaul dengan seniman besar, mencari uang, dan Lekra punya fasilitas menyekolahkan ke luar negeri. Bahkan ada dari mereka yang tidak mengerti politik kiri-kanan. 

Pertentangan Lekra versus Manikebu 

Lekra semakin vokal pada 1962 terhadap mereka yang dianggap melawan gerakan rakyat. Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, ia kerap dikritik oleh Lekra. Lekra pun jadi mendapat lawan pandang dalam kesenian.

HB Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin dan beberapa orang lain kemudian memprakarsai Manifes Kebudayaan (Manikebu). Kelompok yang tidak setuju bahwa seni harus terkotak dalam perspektif. Bagi mereka seni bersifat universal.

Wiratmo Soekito membuat naskah Manifes Kebudayaan yang rampung pada 17 Agustus 1963. Kemudian naskah tersebut diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang diajukan dalam diskusi pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh, Nomor 19, Jakarta. Naskah tersebut diperbanyak dan disebarkan ke beberapa seniman sebagai landasan ideologi.

Sidang panitia pada 24 Agustus 1963 memutuskan bahwa Manifestasi Kebudayaan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Kemudian hasil tersebut dipublikasi lewat surat kabar Berita Republik dalam rubrik Ruang “Forum” Sastra dan Budaya.

Beberapa bulan kemudian, Manikebu mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah.

Sebenarnya Manikebu sudah berbenturan sejak tahun 1950-an dengan Lekra lantaran mereka yang tergabung dalam GSM. Meskipun begitu, baik Lekra dan Manikebu memiliki pandangan yang sama bahwa seni harus mengabdi pada kepentingan masyarakat.

Tetapi, mereka memiliki cara pandang yang sangat berbeda. Jika Lekra menitikberatkan pada realisme sosialis, sedangkan Manikebu berprinsip humanisme universal yang memiliki kebebasan dalam berekspresi.

Pada 1963-1965 PKI melakukan gerakan besar-besaran untuk memerahkan seniman, kaum muda, dan perempuan. Lekra didesak untuk menyatakan diri bahwa Lekra adalah PKI. Lekra menentang itu, sebab bagi mereka kegiatan kesenian tidak hanya semata untuk tujuan PKI. Hal itu melatarbelakangi konflik antara beberapa seniman Lekra dan PKI.

Lekra menjajaki puncak kejayaannya pada 1963. Mereka mengklaim memiliki 100.000 anggota dan 200 cabang organisasi.

Tahun 1964-1965 politik Lekra semakin kuat. Mereka ikut dalam demonstrasi untuk menentang perusahaan-perusahaan minyak asing dan gerakan politik lainnya.

Namun karena kedekatannya dengan PKI, Lekra terkena imbas dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Karya mereka dilarang beredar atau dihancurkan. Aktivisnya dihabisi dan diasingkan ke pulau terpencil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tidak pulang dari tempat pengucilan.

Akhir dari Lekra dan Tjidurian 19

Pertengahan Oktober 1965, Komando Distrik (Kodam) Militer Jakarta Timur menangkap Oey, pemilik rumah Tjidurian 19.

Pramoedya Ananta Toer, Henk Ngantung, dan seniman lainnya yang berafiliasi dengan Lekra juga ikut tertuduh terlibat dalam penyebaran paham komunis. Mereka menjadi tahanan politik di Pulau Buru selama belasan tahun tanpa proses peradilan.

Seiring dilarangnya PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya, Lekra pun akhirnya dibubarkan pada 1966 oleh rezim Orde Baru.

Tjidurian 19 pun turut terkena imbasnya, rumah tersebut mengalami perpidahan kepemilikan hingga fungsi bangunan.

Tjidurian 19 pernah diambil alih oleh Kodam Jaya dan dijadikan mess pasukan Angkatan Darat. Lalu rumah itu dijual kepada seorang pengusaha tanpa surat lengkap pada pertengahan 1990-an. Kemudian rumah tersebut dirobohkan dan dibangun Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya yang masih bertahan hingga sekarang.

Tjidurian 19 menjadi hilang begitu saja dari ingatan masyarakat sebab propaganda politik yang membuat stigma bahwa Lekra merupakan salah satu lembaga yang ikut menyebarkan paham komunis.

Reporter: Himmah/Syahnanda Annisa

Editor: Pranoto

Bantu Abu Nawas Cari Arsip Majalah MUHIBBAH dan Majalah HIMMAH!

Halooooo teman-teman pembaca himmahonline.id yang Abu sayangi.

Saat ini Abu sedang mendata ulang sekaligus melengkapi arsip majalah yang pernah diterbitkan di zaman MUHIBBAH (1967-1982) dan HIMMAH (1982-Sekarang).

Per hari ini, Abu sudah menghimpun 36 edisi Majalah MUHIBBAH dan 57 edisi Majalah HIMMAH. Daftarnya dapat ditinjau melalui pranala berikut: https://bit.ly/ArsipMajalahLPMHIMMAH.

Jika ditinjau dari nomor edisi tiap tahunnya, ternyata masih cukup banyak edisi yang kosong, nih.

Untuk melengkapi edisi yang masih kosong, Abu minta tolong bagi para pembaca himmahonline.id yang masih menyimpan Majalah MUHIBBAH maupun Majalah HIMMAH dengan edisi berbeda dari daftar yang telah dihimpun agar berkenan memberikannya untuk Abu.

Jika memiliki koleksi dengan edisi yang sama pun Abu dengan senang hati menerima. Pasalnya, terdapat beberapa arsip majalah yang kondisinya sudah rusak atau hanya terdapat satu eksemplar saja di tiap edisi.

Jika koleksi Majalah MUHIBBAH atau Majalah HIMMAH yang teman-teman simpan berkenan diberikan ke Abu, teman-teman dapat mengisi formulir melalui pranala berikut: https://bit.ly/BantuAbuNawas.

Atau dapat menghubungi:
Zalsa (Koordinator Penelitian dan Pustaka): 0819-3567-5518
Pran (Pemimpin Redaksi): 0823-2512-9817

Terima kasih!

Tapak Tilas Sudut Kota Yogyakarta Tahun 2003

Reporter himmahonline.id memotret ulang beberapa sudut Kota Yogyakarta yang diambil dari Arsip Foto LPM HIMMAH UII tahun 2003. Selain untuk menilik perbedaan kondisi di beberapa sudut tersebut, naskah ini sekaligus sebagai wadah penerbitan arsip foto milik LPM HIMMAH UII.

Himmah Online, Yogyakarta — Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang masih aktif menjadi staf Penelitian dan Pustaka (Pelita) di LPM HIMMAH UII, membuka arsip foto lawas sudah menjadi rutinitas untuk mengisi waktu luang. 

Melihat beberapa foto lanskap Kota Yogyakarta yang berlatar tahun 2003, jiwa tukang arsip ini tertarik untuk melihat perubahan Kota Yogyakarta sambil memotret ulang dari sudut yang sama.

Gedung Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII menjadi tempat pengambilan foto pertama. Ya, gedung ini merupakan “markas” LPM HIMMAH UII.

Selain menjadi kantor YBW UII, sekarang gedung ini juga menjadi tempat berkuliah mahasiswa Program Pendidikan Pascasarjana Fakultas Hukum UII, kantor Bank Syariah, sekretariat DPM UII, MAPALA UNISI, dan tentunya LPM HIMMAH UII. 

Perubahan signifikan dapat terlihat pada pepohonan dan kabel listrik yang ikut meramaikan Jalan Cik Di Tiro. Sementara gedung utama YBW UII tampak tidak banyak perubahan.

Badan wakaf 2 Badan Wakaf 1

Selepas memotret gedung YBW UII, perjalanan dimulai dengan melewati Jalan Kahar Muzakir menuju Jalan C. Simanjuntak untuk mengunjungi sudut berikutnya.

Setelah sampai pertigaan Jalan C. Simanjuntak, belok ke arah timur, tidak jauh akan terlihat gerai Pizza Hut, perusahaan waralaba piza ternama di dunia yang memiliki 564 gerai di Indonesia per Mei 2022. Bangunan utama, bangunan di sekitarnya, ruas jalan, pepohonan, semuanya hampir berubah total dalam kurun waktu 19 tahun.

Pizza Pizza

Berikutnya menyusuri arah selatan Jalan Hayam Wuruk dan belok ke Jalan Mas Suharto Jambu. 

Sampai di ujung Jalan Mas Suharto Jambu, kita akan menemui Jembatan Jambu. Di bawah jembatan tersebut mengalir sungai yang pernah menjadi aliran lahar dingin Gunung Merapi pada tahun 2010 dan 2011 lalu, yaitu Kali Code. Kali Code memiliki panjang 41 kilometer yang melewati Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul.

Kondisi di sekitar Kali Code sekarang tampak lebih rimbun dengan tanaman liar dan juga sampah yang hanyut mengikuti aliran sungai.

Code Code

Melanjutkan perjalanan ke Jalan Mataram dan mengikuti arus ke arah barat menuju Jalan Pasar Kembang, kita akan tiba di pintu selatan Stasiun Yogyakarta, tempat kedatangan bagi para turis yang akan melancong ke Yogyakarta dengan moda transportasi kereta api.

Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu mulai beroperasi pada 12 Mei 1887 sebagai pemberhentian pengiriman hasil bumi antara Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Namun, pada tahun 1905 beralih fungsi untuk mengangkut penumpang.

Sekarang rel kereta api di Stasiun Yogyakarta terlihat lebih rapi jika dibandingkan dengan kondisinya pada tahun 2003. Beberapa bangunan di sekitarnya pun tampak tidak banyak berubah.

Tugu Tugu

Jalan kaki sedikit ke arah selatan, turis dapat langsung tiba di Kawasan Malioboro. Kawasan sepanjang dua kilometer yang terdiri dari Jalan Ahmad Yani dan Jalan Malioboro ini merupakan sumbu imajiner selatan hingga utara Kota Yogyakarta.

Dulu, Malioboro terkenal sebagai jalan yang dipenuhi pedagang dan angkringannya. Sekarang wajah baru Malioboro tampak lebih lenggang dengan pelebaran bahu jalan dan relokasi pedagang kaki lima ke Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.

Malioboro Malioboro

Tidak jauh memasuki kawasan Malioboro, turis dapat mampir ke Gedung Perpustakaan Nasional Provinsi yang sekarang berganti nama menjadi Jogja Library Center. 

Fungsi awalnya sebagai toko buku dan penerbitan pada masa Hindia Belanda, lalu menjadi kantor berita Domei pada masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, bangunan ini menjadi Gedung Perpustakaan Nasional Provinsi.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menetapkan gedung ini sebagai cagar budaya pada tahun 2007. Sampai sekarang pengunjung masih dapat masuk untuk melihat koleksi buku, koran, dan arsip-arsip lama.

Perpus Perpus

Setelah berkeliling Kota Yogyakarta untuk memotret ulang beberapa sudutnya, waktunya pulang ke sekretariat LPM HIMMAH UII melewati jembatan layang Janti. Jembatan layang ini dibangun pada tahun 1999.

Ruas jalan sebelah kanan pada tahun 2003 tampak difungsikan sebagai turunan menuju kota, sementara saat ini ruas tersebut digunakan untuk naik ke jembatan layang Janti.

Janti 2003 Janti 2022

Jika langit sedang tidak berawan, kemegahan Gunung Merapi dapat terlihat saat menaiki jembatan layang yang memiliki panjang 1.250 meter ini. 

Foto Lama: Arsip LPM HIMMAH UII

Reporter: Himmah/Muhammad Prasetyo

Editor: Nadya Auriga D.

Mencari Putri Duyung

Akhir-akhir ini, Emak terlihat lebih muram daripada biasanya. 

Pada hari-hari lain, Emak akan menjemur pakaian sambil menyenandungkan lagu lama yang sering diputar di radio. Waktu membersihkan rumah, senyum kecil akan terukir di wajahnya yang sudah berkeriput kala menemukan uang receh di bawah bantal milik Bapak. Teriakannya bisa mengalahkan lantunan azan Maghrib dari surau saat memanggil Ulin yang tengah asyik bermain bersama temannya.

Ulin, sebagai satu-satunya orang yang menemani Emak saat Bapak melaut, sadar betul akan perubahan mendadak ini. Emak akan menyiapkan makanan sebelum Zuhur, sebelum Ulin pulang dari sekolah. Namun, sekitar tiga hari ini Emak baru mulai menanak nasi setelah Ulin mengeluh kalau ia lapar setelah kembali dari sekolah. Saat menemani Ulin makan pun, Emak lebih banyak melamun daripada menanyakan apa yang Ulin pelajari di sekolah.

Saat Bapak pulang setelah melaut, Emak biasanya akan menyambut dengan segelas kopi untuk Bapak. Bapak pun akan mencium kening Emak lalu bercerita mengenai apa yang ditangkap selama melaut. Ulin bisa tahu rutinitas itu karena Bapak akan pulang sebelum Ulin pergi bermain.

Rutinitas itu, sepekan terakhir tidak pernah Ulin lihat lagi. Bocah berumur sepuluh tahun yang gemar bertelanjang dada tiap bermain ini bingung saat Emak hanya masuk kamar kala Bapak pulang. Tidak ada obrolan ramah di antara keduanya. Tidak ada kecupan manis di kening Emak atau segelas kopi hangat untuk Bapak.

Hari itu, Ulin memberanikan diri untuk bertanya.

“Ada apa dengan Emak, Pak?” Ia bertanya setelah mencium tangan bapaknya yang baru pulang setelah melaut, sekalian meminta uang untuk membeli es cekek saat bermain.

“Tidak ada apa-apa. Wajar kalau Emakmu begitu,” Bapak yang terlihat kelelahan masih bisa tersenyum tipis sebelum merogoh kantung celananya dan mengeluarkan selembar dua ribuan, “Maaf bapak cuma bisa kasih segini. Uangnya buat besok lagi, ya?”

Ulin mengangguk lalu cepat-cepat memasukkan uang tersebut ke saku celananya. Biasanya Bapak akan memberikan uang lima atau sepuluh ribuan. Hari ini hanya dua ribu, dan Ulin sudah cukup dengan itu. Harga es cekek di dekat rumahnya hanya berharga seribu saja. Biasanya uang sisa dari Bapak akan ia tabung di celengan ayamnya.

Meskipun begitu, ia masih belum mendapat jawaban mengenai apa yang terjadi pada Emak.

Setelah membeli es cekek dan menggantungkan plastiknya di salah satu paku rumah milik Wiro, Ulin berlari menghampiri teman-teman sepermainannya yang tengah bersiap-siap bermain voli dengan bola kumal yang mereka temukan di tempat sampah. Garis-garis pembatas tanda lapangan digambar seadanya menggunakan ranting pohon. Tidak ada net, yang ada hanya sandal berjajar di tengah-tengah “lapangan”.

“Kata Bapak aku, belakangan ini tengkulak membeli ikan dengan harga lebih murah,” Wiro, yang kebetulan satu tim dengan Ulin saat permainan voli ini, membuka percakapan. Ulin menengok ke arah temannya itu sambil mengepalkan tangannya untuk membalikkan bola dari tim lawan.

“Betulkah?”

“Ya, Emak aku jadi uring-uringan dibuatnya,” bukannya Wiro, Harun yang ada di tim lawan lah yang menjawab. Bola dari Ulin dikembalikkan dengan pukulan kerasnya. Tim Harun berhasil mencetak poin karena Ulin dan Wiro gagal menghalanginya.

Ulin memandang kosong ke arah Harun dan Bayu yang tengah melakukan tos sambil tersenyum satu sama lain. Wiro berjalan di belakangnya untuk mengambil bola voli. Permainan dimulai lagi setelah Putri, sebagai wasit, memberikan aba-aba agar keempat orang itu mulai bermain.

Sebelum azan Maghrib berkumandang, Ulin sudah sampai di rumah sambil mengucap salam. Bapak tengah menonton teve dengan saluran paling jernih dibandingkan saluran-saluran lain. Saluran itu menyiarkan telenovela Turki yang mungkin tidak Bapak tonton sejak episode pertama. Pokoknya saluran yang paling jernih, itulah yang akan ditonton Bapak. Di meja yang ada di sebelah kursi Bapak, ada segelas air putih yang tinggal setengah. Aneh, biasanya jam segini Bapak akan minum kopi sebelum bersiap-siap pergi ke surau.

“Emak di mana, Pak?” Ulin menengok kesana-kemari mencari keberadaan Emak-nya.

“Di kamar, sedang menjahit baju koko Bapak yang robek. Bawakanlah minum untuknya,” mendengar itu, Ulin bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air. Langkah pendeknya lalu membawanya ke kamar Bapak dan Emak. Benar saja, ketika ia menyingkap tirai, ia menemukan Emaknya tengah menggigit ujung benang sebagai tanda bahwa kegiatan jahit-menjahitnya telah selesai.

Ulin baru menyadari bahwa raut wajah Emak terlihat lelah dan lebih muram daripada sebelumnya. Meskipun begitu, Emak tetap tersenyum pada Ulin dan menerima air dari anaknya itu. Setelah menenggaknya sampai habis, Emak memberikan lagi gelas kosongnya pada Ulin. Selain itu, Emak juga memberikan baju koko milik Bapak yang sudah dijahit. “Berikan pada Bapakmu. Emak mau menyiapkan makan malam.”

Ulin mengangguk ketika Emak melewatinya dan keluar dari kamar. Tidak tahu kenapa, tapi sekarang Ulin merasa bahwa dirinya adalah seekor burung merpati yang digunakan untuk berkirim pesan. Bapak bisa saja memberikan air pada Emak, dan Emak bisa saja memberikan baju ini pada Bapak. Kenapa semuanya harus lewat Ulin? Sungguh tidak biasa.

Kala azan Maghrib berkumandang, Ulin keluar dari kamar Emak dan Bapaknya. Ia menyerahkan baju koko milik Bapak lalu masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap ikut ke surau.

***

Pagi harinya, Ulin banyak melamun dan tidur di kelas. Raganya memang ada di kelas, tetapi pikirannya masih ada di tempat tidur. Hari itu ia terlambat bangun karena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tengah malam saat bapaknya akan melaut, ia mendengar sayup-sayup suara keributan dari ruang tamu. Walaupun hanya setengah terjaga, Ulin yakin bahwa pemilik suara-suara itu adalah Bapak dan Emak.

Emak sempat berteriak sebelum ditenangkan oleh Bapak. Ulin juga mendengar kalau Emak sempat menangis dan Bapak tidak terdengar mengatakan apapun. Pintu terbuka lalu tertutup lagi tanpa salam dari Bapak. Ulin mendengar Emak menyeka ingusnya kemudian berjalan menuju kamar. Suara tirai kamar yang ditarik beberapa kali jadi akhir dari keributan kecil pada malam itu. Namun, Ulin malah terjaga sepenuhnya saat rumahnya menjadi sunyi seperti tidak ada keributan apapun sebelumnya.

Yang ia lakukan selama terjaga di tengah malam hanya menatap langit-langit kamarnya. Kadang ia mencoba memiringkan tubuhnya, melihat lubang-lubang kecil di dinding anyaman bambunya. Ia jadi memikirkan bagaimana perubahan sikap yang mendadak dari Emak membuatnya sedikit takut. Padahal selama ini, satu-satunya hal yang membuatnya takut adalah dimarahi oleh guru agamanya.

Diamnya Ulin bertahan sampai pada pukul tiga pagi. Selanjutnya, ia sudah terlelap lagi karena bosan dan lelah hanya diam saja saat terjaga. Di saat yang sama, Emak sudah keluar dari kamarnya dan bersiap salat Tahajud.

Pikiran tentang kejadian malam itu membuat Ulin tidak bisa fokus mengikuti pelajaran. Saat pelajaran olahraga, kepalanya terkena bola sepak karena tak mendengarkan peringatan dari teman-teman maupun gurunya. Saat pelajaran Bahasa Inggris, Ulin terpaksa dikeluarkan dari kelas karena tidak memperhatikan guru yang sedang mengajarinya tata bahasa, grammar, atau apalah itu. Tidak biasanya Ulin begini.

Saat istirahat, biasanya Ulin dan teman-temannya akan bermain sepak bola di lapangan sekolah. Namun, karena Ulin terlihat lesu hari itu, teman-teman sepermainannya pun duduk di dekat bangku Ulin. Yang ada di sana hanya Wiro dan Putri. Harun dan Bayu tidak bersekolah.

Kedua temannya berniat untuk menghibur Ulin. Yang dihibur sebetulnya merasa bahwa itu adalah hal yang tak perlu dilakukan, karena ia cuma butuh tidur. Namun, mana mungkin Ulin menolak usaha kedua temannya? Toh, yang mereka lakukan cuma mengobrol dan saling melontarkan kelakar agar setidaknya Ulin bisa tersenyum.

“Eh, aku baru dapat cerita ini dari Lina, tapi kalian jangan bilang siapa-siapa, ya?” Putri menurunkan suaranya, yang lain pun refleks mendekat, ‘kemarin Lina bertemu dengan putri duyung. Dia lalu memohon agar putri duyung yang sedang bernyanyi itu memberi ayahnya perahu yang baru. Lalu saat sampai di rumah, ayahnya betul memamerkan perahu barunya pada Lina!’

“Ah, yang betul kamu, Putri?” Wiro meragukan ucapan Putri. Ulin juga sebetulnya meragukannya, karena bisa jadi Ayah Lina membeli perahunya dengan uangnya sendiri. Lagi pula, khayalan seperti itu hanya ada dalam cerita rakyat yang sering diceritakan Emak pada Ulin sewaktu ia masih kecil.

“Aku serius! Kalian juga tahu sendiri kalau tengkulak akhir-akhir ini membeli ikan ayah-ayah kita dengan harga yang sangat rendah. Perahu yang dimiliki ayah kalian pun semuanya menyewa. Tapi Ayah Lina? Ia mendapatkannya dengan cuma-cuma, dan perahu itu jadi punya ayahnya! Tidak ada sewa-sewa lagi,” Ulin rasa, mungkin Putri sedikit jengkel karena ceritanya tidak dipercaya oleh Wiro, makanya sekarang Putri terdengar seperti berteriak.

Putri kembali ke tempat duduknya saat Wiro tertawa terbahak-bahak. Wiro senang tiap kali Putri marah. Ulin hanya terkekeh. Putri dan teman sebangkunya, Lina, selalu penuh dengan imajinasi. Keajaiban-keajaiban yang mustahil ada di dunia nyata pun mereka percayai begitu saja. Lagipula, di kehidupan ini, mana ada putri duyung yang bisa mengabulkan permintaan.

Setelah istirahat, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi pelajaran terakhir untuk hari itu. Saat kelas dibubarkan, guru sekaligus wali kelas Ulin belum memperbolehkan Ulin untuk pulang dan mengikuti teman-temannya. Ada sesuatu yang harus dibicarakan, kata wali kelasnya.

“Bagaimana kabar Ulin hari ini?” tanya wali kelas sambil tersenyum tipis.

“Aku baik, Bu,” Ulin menjawab sekenanya, “Ada apa Ibu memanggil aku?”

“Tidak, tidak ada apa-apa. Apa kondisimu keluarga Ulin baik juga? Apa Bapak dan Emak baik-baik saja?” Pertanyaan itu hanya dibalas dengan anggukan oleh Ulin. Walaupun sebetulnya, ia masih memikirkan sikap Emak yang menjadi aneh akhir-akhir ini.

“Kenapa Ibu bertanya begitu?”

“Tidak ada apa-apa,” wali kelas Ulin mengubah senyumannya menjadi senyuman getir, “Tenggat waktu untuk pembayaran sekolah sudah lewat tujuh hari. Guru-guru di sekolah cukup khawatir dengan Ulin, apalagi Ulin adalah murid berprestasi di sekolah,”

Ulin cuma mengangguk-angguk saat wali kelas menyuruhnya untuk menyampaikan hal tentang pembayaran sekolah pada Emak dan Bapaknya. Ada beberapa hal yang tidak terlalu ia mengerti. Mungkin kalau wali kelasnya tidak memperhalus bahasa saat berbicara dengannya, Ulin akan mengerti sepenuhnya.

Ucapan wali kelas Ulin langsung disampaikan ketika Ulin sampai di rumah. Emak tengah mencuci baju di kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Ulin hampir mengurungkan niatnya untuk menyampaikan apa yang ia dengar siang ini saat melihat Emak dalam keadaan yang benar-benar tidak seperti biasanya. Rambut Emak terlihat begitu lusuh, seperti tidak disisir setelah bangun tidur. Baju daster yang digunakannya masih baju yang kemarin. Emak juga mencuci baju dengan kasar. Rasa-rasanya baju yang bahannya tidak terlalu bagus akan segera robek kalau Emak menguceknya.

“Mak,” Emak tidak menanggapinya dan Ulin pun menelan ludahnya, “Bu Guru bilang, aku belum bayar sekolah bulan–”

“Diam!” Bohong namanya kalau Ulin tidak terkejut dengan bentakan Emak. Bocah itu mundur selangkah mendekati pintu kamar mandi saat Emak semakin kasar mengucek pakaian. “Kau dan Bapakmu sama saja. Bisanya hanya menyulitkan Emak masalah duit. Bapakmu lebih buruk, sudah tidak bisa cari duit, sekarang dia berani berhutang sama lintah darat. Memang harusnya aku tidak menikahi bajingan itu.”

Merasa kalau Emak akan semakin meledak-ledak apabila ia melanjutkan perkataannya, Ulin pun membalikkan badannya dan pergi ke kamarnya. Ia mencoba menahan air matanya tetap berada di tempatnya. Ia tidak mau menangis karena hal seperti ini. Meskipun begitu, ia cukup sedih dan terkejut karena Emak dan Bapak, nyatanya, sedang bertengkar sekarang.

Memikirkan hal itu, Ulin tak kuasa untuk menahan tangisannya. Ia menangis tersedu-sedu seperti ia telah dilukai oleh seseorang. Memang hatinya terluka karena selama ini, Emak dan Bapak tidak pernah bertengkar. Kondisi keuangan keluarganya bukan golongan yang begitu baik atau buruk, jadi Emak dan Bapak jarang sekali membicarakan masalah uang.

Selama di sekolah, ketika Wiro bercerita tentang ayah dan ibunya yang sangat sering bertengkar, Ulin tidak terlalu mendengarkannya. Buatnya, obrolan seperti itu tak ada bedanya dengan khayalan Putri tentang putri duyung atau unicorn. Ia merasa semua keluarga yang ia kenal pasti baik-baik saja karena keluarga Ulin sendiri baik-baik saja.

Namun, kini Ulin merasakan ketakutan yang dirasakan Wiro, dan Ulin membenci hal itu.

Ulin menghapus air matanya dengan seragam yang masih ia pakai, begitu juga dengan ingusnya. Rasa sedih yang tadi hadir, kini digantikan dengan amarah yang meluap-luap. Masih berseragam, Ulin keluar dari rumahnya. Ia berjalan dengan langkah yang memperlihatkan kalau ia sedang marah. Ulin hafal betul arah menuju rumah tengkulak karena sebelum masuk sekolah, Bapak sering mengajaknya ke rumah tengkulak ini. Ia tidak menghiraukan Bapak yang baru sampai rumah setelah melaut.

Dari kejauhan, Ulin bisa melihat tengkulak yang biasa membeli ikan Bapak sedang menimbang ikan dari nelayan-nelayan lain. Wajahnya jadi merah-hitam karena terbawa emosi. Saat Ulin lebih dekat, tengkulak itu menyapanya dengan wajah gembira, bak melihat kemenakan yang sudah lama tak ia temui.

Ulin tak membalas sapaan si tengkulak dan malah berjalan menuju timbangan gantung besar yang terikat pada tiang kayu. Timbangan yang tengah menimbang satu jaring besar penuh ikan pun ia tendang begitu saja. Ikan yang sedang ditimbang pun berhamburan keluar. Nelayan yang tengah mengantre pun kaget bukan main, apalagi si tengkulak. 

Dengan tenaga yang masih tersisa, Ulin membalikkan bak-bak berisi ikan yang ada di halaman rumah tengkulak itu. Ikan-ikan pun bergelimpangan karena keluar dari air. Ulin benar-benar membuat kekacauan di sana. Ia melempari tengkulak dengan beberapa ikan yang ada di dekat kakinya.

“Tengkulak sialan! Karena kau, Bapak aku jadi harus berhutang. Bapak dan Emak bertengkar karena kau membeli ikan-ikan Bapak dengan harga murah. Keluargaku jadi berantakan!” Ulin terengah-engah saat mengucapkan kalimat itu. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah tengkulak. Ia tidak peduli kalau-kalau umur tengkulak itu lebih tua dari Bapak. Ia terlampau marah untuk saat ini.

“Ha?” Tengkulak yang tadinya terkejut bukan main itu justru tersenyum bengis sambil menatap Ulin, “Bapak kau itu lah yang terlalu malas. Tangkapannya terlalu sedikit dan ikan yang ditangkapnya kecil-kecil. Jangan salahkan aku kalau kau jadi tidak bisa makan karena itu,”

Tengkulak itu lalu mencengkram kerah seragam Ulin dengan erat. Tengkulak mengangkat tubuh Ulin sedikit kemudian satu bogeman pun dilayangkan ke pipi bocah itu. Ulin pun terlempar ke tanah. Ujung bibirnya berdarah dan ketika tengkulak mencoba memaksanya untuk berdiri lagi agar mereka bisa kembali berkelahi, nelayan-nelayan yang tadinya mengantre pun memisahkan mereka berdua.

“Pak, itu anak Tono. Jangan dipukul gitu,” Ulin bisa mendengar salah satu nelayan berkata begitu sambil terus menahan tubuh tengkulak. Dua nelayan lain pun mencoba menjauhkan Ulin dari rumah tengkulak agar pertikaian tidak berlanjut.

Amarah dalam benak Ulin masih membara-bara. Nelayan yang mencoba menenangkannya pun ketakutan saat melihat ke mata Ulin. Anak itu lalu dibiarkan untuk pulang sebelum berusaha ditenangkan. 

Ulin berjalan perlahan ke rumahnya. Amarahnya kian mereda saat perih di bibirnya mulai terasa. Pipinya juga terasa sakit karena bagaimanapun juga, ia masih berumur sepuluh tahun, dan wajahnya ditinju oleh seorang pria dewasa. Separuh wajahnya terasa kaku dan sakit. 

Belum sempat mengobati rasa sakit yang ada, Ulin sudah dikejutkan dengan pemandangan rumahnya yang dipenuhi preman-preman. Hampir seluruhnya bermuka garang dan bajunya cukup bisa dikenali apabila Ulin melihat preman-preman yang sering berhutang di warung milik Harun. Ulin langsung berlari ke rumahnya saat ia mendengar Emak berteriak-teriak.

“Sudah kubilang, suamiku akan membayar utang dan bunganya. Kami cuma perlu waktu,” mata Emak cukup berkaca-kaca, tapi suaranya begitu keras untuk menggertak preman-preman itu keluar dari rumah. Ulin menghambur memeluk Emak. Emak pun langsung menyembunyikan Ulin ke belakang tubuhnya.

“Duh, miskin, miskin. Kalau tidak bisa bayar utang, tidak usah berutang!” Salah satu yang tubuhnya paling besar mengejek keluarga Ulin. Matanya beralih dari pandangan remeh untuk Emak dan Ulin, menuju suara ribut-ribut yang berasal dari dapur. Dua orang bertubuh kekar tengah menggiring Bapak yang sudah babak belur.

“Aku bawa si tua bangka ini sebagai jaminan. Setidaknya kalau kalian tidak bisa bayar seminggu lagi, ginjalnya bisa dijual,” orang itu membalikkan badannya dan keluar dari rumah Ulin sambil menendangi beberapa perabot rumah. Baik Ulin maupun Emak tidak bisa menahan rentenir-rentenir itu untuk tidak membawa Bapak. Kehadiran pria-pria kasar itu saja sudah membuat keduanya takut dan berlinang air mata.

“Ulin, ayo bereskan semua kekacauan ini,” Ulin tahu kalau Emak mencoba untuk tegar dari suaranya yang bergetar.

***

Tiga hari pertama setelah kepergian Bapak dihabiskan oleh Emak yang mulai mencari pinjaman ke tetangga-tetangga. Nominal lima juta adalah nominal yang sangat besar di lingkungan Ulin. Seumur-umur, melihat satu juta pun Ulin tidak pernah. Angka itu terdengar sangat besar, padahal utang pokok yang dimiliki Bapak cuma tujuh ratus ribu. Namun, bunga dari lintah-lintah darat itu terlalu besar. Bapak menggunakan uang itu untuk membayar sewa perahu dan memberi uang untuk Emak.

Sekali-kali, Harun akan memberi uang pada Ulin barang sepuluh ribu atau dua puluh ribu. Uangnya ia ambil dari hasil jualan warungnya. Ulin selalu menolak uang itu, berkata bahwa Harun tidak perlu melakukan hal sejauh itu untuknya. Namun, tetap saja Harun akan membawakan uang-uang itu pada Ulin.

Ulin juga terpikir untuk memecahkan celengan ayamnya. Walaupun isinya hanya recehan, tapi setidaknya bisa membantu Emak sedikit. Emak menolak, “Yang menyebabkan semua ini adalah Bapak. Biar Emak yang menyelesaikan. Simpan saja uang itu untuk dirimu sendiri.” 

Tiga hari ini juga, Ulin merasa bahwa Emak semakin kurus. Pandangannya juga selalu ke bawah. Rambutnya acak-acakan dan Emak baru mandi pagi tadi setelah ditinggal Bapak. Rumah tidak terurus dan Ulin hanya makan mi instan. Emak menghabiskan waktunya di kamar. Entah melakukan apa.

Emak juga melarang Ulin untuk bertemu teman-temannya dan pergi ke sekolah. Emak bilang kalau Emak cukup malu setelah kedatangan rentenir. Ulin juga tak kunjung membayar uang sekolahnya. Jadi, lebih baik Ulin tetap di rumah saja, walaupun Ulin juga tidak tahu harus berbuat apa selama di rumah saja.

Pada pagi hari keempat, Emak membangunkan Ulin pagi-pagi sekali untuk salat Subuh. Ulin tidak langsung bangun, tetapi matanya sedikit terbuka saat Emak memaksanya bangun. Emak berdandan begitu rapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya.  Sayup-sayup terdengar Emak menangis terisak. Namun, Ulin tidak memperdulikan hal itu dan kembali pada tidur lelapnya.

Ulin pun akhirnya bangun pukul tujuh pagi, saat sinar matahari masuk melalui lubang-lubang kecil di antara dinding anyaman bambunya. Tangannya tergerak untuk mengucek matanya saat ia duduk di tepian ranjang. Buat Ulin pagi ini sepi sekali. Biasanya Emak sudah sibuk memasak di dapur. Namun, saat Ulin ke dapur, tidak ada Emak di sana.

Nyatanya, tidak ada Emak di rumah.

Ulin panik dan kebingungan. Emak tidak pernah pergi tanpa pamit. Dan sekarang, Ulin pun ditinggalkan sendiri di rumah. Pikiran bahwa Emak meninggalkannya membuat lutut Ulin terasa lemas. Setelah Bapak direnggut darinya, kini Emak pun juga membuangnya. Ulin merasa bahwa sekarang ia sendirian dan tidak punya siapapun di sisinya.

Bocah itu berjalan ke ruang tengah dan duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Bapak. Ia menatap kosong pada teve yang mati. Rumahnya kini begitu sunyi. Telinganya hanya menangkap suara deburan ombak yang menabrak batuan karang. Ia merasa hampa dan pikirannya dipenuhi berbagai pemikiran buruk.

Saat nyaris tertidur, Ulin mendengar suara ketukan di pintu. Ia pun segera berlari menghampiri pintu, berharap bahwa yang mengetuk adalah Emak. Ia berharap bahwa Emak akan memberikan kejutan dan meminta maaf telah meninggalkannya. Mungkin, Emak juga akan membawa Bapak, dan mereka bisa hidup dengan tenang seperti sedia kala.

Namun, yang ia temui hanya seorang nelayan tua dengan sepasang sepatu basah di tangannya. “Ulin, apa Emak-mu memang membuang ini ke laut? Aku ingat betul kalau Bapak-mu lah yang membelikan ini saat dia masih bujang. Aku menemukannya mengapung tadi di tengah laut.”

Otak Ulin tidak bisa memproses apapun sekarang. Yang ia lakukan hanya mengambil sepatu itu dari tangan nelayan tua itu lalu menutup pintu dengan keras.

Ulin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Emak bukan tipe orang yang akan membuang barang pemberian begitu saja. Apalagi tadi pagi Emak berdandan begitu rapi. Emak pasti sedang menjemput Bapak. Pokoknya Emak tidak melakukan sesuatu yang buruk, kan? 

Bocah itu pun terduduk di depan pintu rumahnya sambil menunduk. Keluarganya runtuh dalam waktu yang begitu cepat. Penyesalan mulai memenuhi otaknya. Dadanya sesak dan matanya panas. Ulin menangis karena ia tidak punya siapa pun sekarang.

***

Dua hari berlalu dan Emak tak kunjung pulang. Selama ditinggal, Ulin tak makan apapun dan hanya minum air. Sekarang ia jauh lebih kurus daripada sebelum-sebelumnya. Tubuhnya terlihat lusuh karena ia tidak mandi. Ia tidak lagi tidur di kamarnya, tetapi tidur di kamar Emak dan Bapak. Wangi minyak angin milik Emak masih tersisa dan tiap membaunya, Ulin akan menangis lagi. Walaupun ia bukan orang penakut seperti Bayu, tetapi tetap saja semua ini membuatnya resah.

Malam hari datang dengan cepat tanpa sempat Ulin sadari. Ia pun jadi teringat tentang cerita putri duyung dari Putri. Putri duyung yang bisa mengabulkan permintaan. Rasanya, imajinasi itu seperti oase di tengah padang pasir penderitaan milik Ulin ini. Lagipula, esok hari rentenir-rentenir itu akan kembali ke rumahnya. Kalau ia meminta Bapak dan Emak agar kembali secepatnya, ia tidak akan mendapat masalah besar. Sungguh, ia hanya meminta agar Bapak dan Emaknya agar bisa kembali.

Ulin pun keluar dari rumahnya dengan jaket kebesaran milik Bapak. Dengan tenaga yang tersisa, ia melepaskan tali-tali yang mengikat perahu sewaan Bapak dan mencoba mendorongnya sekuat tenaga ke lautan lepas. Saat separuh bagian bawah perahu sudah menyentuh air, Ulin cepat-cepat untuk naik ke perahu. Ia mendayung kapal itu sedikit demi sedikit.

Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah mencari suara nyanyian dari putri duyung. Setelah menemukannya, Ulin tinggal mengucapkan permintaannya. Setelah itu, saat ia kembali, ia akan menemukan Bapak dan Emak tengah menunggu kepulangannya. Membayangkan itu pun membuat hati Ulin menghangat.

Namun, bukannya nyanyian yang ia temukan, Ulin hanya mendapat rasa hampa. Setelah hampir dua jam mendayung, tidak ada suara nyanyian yang terdengar. Bahkan seorang putri duyung yang tengah duduk di atas batu sambil menunggu pelaut yang akan melewati lautnya pun tidak ia lihat.

Ulin berhenti mendayung dan diam di tengah laut yang ujungnya tidak terlihat. Rasa kosong pun kembali memenuhi dadanya dan sekarang ia ingin muntah. Kesunyian tidak pernah se-menyesakkan ini sebelumnya. Ulin pun menatap refleksi dirinya sendiri di air laut yang cukup tenang. Ia merasa telah dibohongi dirinya sendiri.

Ia paham betul bahwa Putri dan Lina hanya membual, tetapi ia tetap mencari putri duyung. Hal itu jadi satu-satunya harapan yang Ulin pegang dan kini setelah ditipu oleh dirinya sendiri, Ulin merasa hampa. Tatapan matanya pun kosong dan ia tidak bisa berpikir. Ia tahu bahwa Emak menenggelamkan diri di laut, tetapi ia enggan mempercayai pikirannya sendiri. Kini, ia juga mau menyusul Emak.

Maka dari itu, Ulin pun menjatuhkan dirinya ke laut.

***

Batal Digelar, Hiforiafest 2022 Tak Kunjung Penuhi Kewajiban

0

Konser musik sebagai rangkaian acara kedua dalam gelaran Hiforiafest 2022 yang diprakarsai KOMAHI UII batal digelar. Hingga kini, kewajiban pengembalian dana tiket terhadap penonton dan membayar penampil secara penuh tak kunjung rampung.

Himmah Online – Jum’at, 21 Oktober 2022 di tempat kerjanya, Resti Ayu (25) baru saja meminta izin kepada supervisor untuk mengurangi waktu lembur esok hari. Ia berencana mengunjungi konser musik Hiforiafest 2022 yang bakal digelar di Candi Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dua kawannya.

Adanya grup musik Reality Club dalam jajaran penampil melatarbelakangi Resti bergegas membeli tiket saat penjualan tiket kategori Presale 1 akan berakhir. Satu tiket seharga 175 ribu akhirnya berhasil diamankan. Keinginan melihat Reality Club secara langsung segera menjadi kenyataan. Pikirnya.

Namun saat malam hari sepulangnya dari tempat kerja, ia mendapat kabar bahwa konser musik yang kurang dari 24 jam bakal meriuhkan Candi Prambanan tersebut batal digelar. Resti gagal melihat idolanya manggung secara langsung.

Kesedihan Resti tidak hanya berhenti di situ. Satu bulan setelah pembatalan konser, ia tak kunjung mendapatkan pengembalian dana tiket yang telah dijanjikan panitia sesaat setelah pengumuman pembatalan.

“Jadi Hiforiafest bikin Instagram story bahwa acaranya di-cancel karena kekurangan dana. Terus katanya tiketnya mau di-refund seratus persen, tapi sampai sekarang belum ada kejelasannya,” tutur Resti kepada reporter himmahonline.id melalui sambungan telepon pada Selasa (23/11).

Kekecewaan juga dialami Massey Prima Febrianti (22), seorang mahasiswi Universitas Amikom Yogyakarta. Ia berencana mengunjungi konser musik Hiforiafest 2022 bersama satu kawannya. Namun setelah menanti cukup lama, konser tersebut malah batal digelar.

“Kecewa, karena saya udah nunggu dari lama. Acaranya tiba-tiba cancel. Terus katanya mau refund, tapi belum refund. Kecewa, sih,” tutur Massey pada Rabu (24/11).

Kekurangan Dana, Konser Dibatalkan Sehari Sebelum Acara

Hiforiafest 2022 diselenggarakan oleh Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) Universitas Islam Indonesia (UII). Terdiri dari dua rangkaian acara: seminar nasional dan konser musik.

Seminar nasional bertajuk “Youth Empowerment in Politics & Public Diplomacy” telah digelar pada 13 Oktober 2022. Arga Dumadi, Josefhine Chitra, dan Sujiwo Tejo didapuk jadi pembicara dalam rangkaian acara pertama tersebut.

Dalam rangkaian acara kedua, terdapat enam grup musik yang bakal tampil. Yakni Aftershine, Diskoria, Kangen Band, Impromptu, Ndarboy Genk, dan Reality Club.

Namun sehari sebelum rangkaian acara kedua digelar, mereka dipastikan batal tampil “karena kurangnya pendanaan untuk memenuhi operasional acara,” tulis akun @hiforiafest pada 21 Oktober 2022 lalu.

Rayhan Rasyid Swandono (21), ketua panitia Hiforiafest 2022, menuturkan alasan pembatalan konser karena target penjualan tiket tidak tercapai. Dari sejumlah tiket yang terjual, nilainya dianggap kurang untuk memenuhi operasional digelarnya rangkaian acara kedua.

“Pembeli tiket itu tidak sesuai target. Dari yang ditargetkan kita di angka 1000 sampai 1500, sampai tanggal 20-21 (Oktober) itu jauh di bawah itu, kurang dari 50 persen,” tutur Rayhan kepada reporter himmahonline.id pada Selasa (06/12).

Melihat alasan pembatalan karena kekurangan dana, Martinus Indra Hermawan (40), seorang yang bekerja di agensi band tur asal Yogyakarta, beranggapan bahwa penyelenggara Hiforiafest 2022 tidak bisa mengkalkulasikan kebutuhan dan potensi dana masuk.

“Seharusnya bisa mengkalkulasikan, sih. Maksudnya selama ini kalo bikin konser atau festival gede itu sebenarnya tidak langsung untung. Biasanya mereka juga bakar duit istilahnya, ada investor yang masuk di situ. Dan mungkin ini (Hiforiafest 2022) nggak kepikiran di situ. Mikirnya cuma jualan tiket. Artinya cuma bergantung ke tiket doang,” ungkap Indra, Selasa (23/11).

Senada dengan Indra, menurut Nuran Wibisono (34), salah satu penulis musik menuturkan jika gelaran konser atau festival yang sumber pendanaannya hanya dari penjualan tiket, bisa dipastikan gelaran tersebut akan rugi.

“Gimana caranya biar nggak rugi, ya, pastikan sumber pendanaan tidak hanya mengandalkan tiket. Karena pendanaan dari tiket itu kayaknya tidak sebanyak sponsorship. Tidak akan menutupi ongkos produksi,” papar Nuran, Rabu (07/12).

Pembatalan konser Hiforiafest 2022 yang sebelumnya direncanakan pada 22 Oktober 2022 tersebut bukanlah kali pertama. Delapan bulan sebelumnya, gelaran Hiforiafest 2022 seharusnya digelar pada 12 dan 14 Februari 2022 di Kamala dan Malika Ballroom, Sleman City Hall, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kegiatannya terdiri dari dua rangkaian acara. Pertama seminar nasional dengan tajuk “Politics and Diplomacy” yang bakal diisi Sujiwo Tejo dan Gusti Ayu Amanda Clarissa Himawan. Lalu, konser musik bertajuk “Live to Give” dengan penampil Kunto Aji dan Ndarboy Genk.

Kedua rangkaian tersebut batal digelar lantaran tidak mendapatkan perizinan dari pihak kepolisian akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Ndarboy Genk menjadi salah satu penampil yang berada di rencana gelaran pertama dan kedua. Bonaventura Rendy Danarja (32), Manajer Ndarboy Genk, menuturkan bahwa sebetulnya perubahan jadwal hingga berakibat pada pembatalan telah dilakukan penyelenggara sebanyak tiga kali.

“Tiga kali mundurnya. Untuk Ndarboy itu sampai tiga kali. Februari, terus Maret, terus Oktober,” tutur Rendy kepada reporter himmahonline.id melalui sambungan telepon pada Senin (28/11).

Di bulan Oktober, penyelenggara sebetulnya juga telah meminta perubahan jadwal sebanyak tiga kali. Pertama pada 8 Oktober, lalu 12 Oktober, dan terakhir 22 Oktober hingga akhirnya konser dibatalkan. Rendy baru diberi kabar terkait pembatalan dua hari sebelum konser digelar.

Alasan pembatalannya pun tidak disampaikan secara transparan kepada Rendy. “Panitia tidak menjelaskan. Cuma bilang ‘ada masalah yang sama sekali tidak bisa diatasi’,” tuturnya.

Rendy menyayangkan pembatalan konser Hiforiafest 2022 yang bakal digelar kurang dari sepekan. Hal tersebut sangat merugikan bagi pihaknya. Pasalnya ia telah menolak berbagai tawaran manggung di hari tersebut.

“Aku udah nolak job banyak di tanggal tersebut, yang harusnya aku bisa maen di tanggal tersebut. Apalagi tanggal 22 Oktober itu hari Sabtu, banyak banget aku nolak job. Dikabarin pun H-2,” keluh Rendy.

E-ticket Hiforiafest 2022 kategori Presale 1. Foto: Himmah/Fathoni Abdul Mukti

Sementara menurut Indra, pembatalan gelaran konser secara sepihak memiliki banyak kerugian bagi berbagai pihak.

“Pembatalan itu yang dirugikan ya jelas vendor: vendor alat, vendor venue. Belum tentu mereka dibayar lunas. Terus kemudian band-nya juga dirugikan karena kadang mereka belum dibayar lunas juga. Sementara mereka udah booking tanggal. Mereka punya kru juga yang harus dibayar. Seumpama mereka nyewa mobil, ya, biasanya udah di-DP,” papar Indra.

Indra juga menuturkan, bahwa pembatalan konser bagi penonton kerugiannya bersifat personal. Namun bagi penampil dan vendor, kerugiannya secara berkelompok.

Tenant, FNB, mereka mungkin udah di-DP untuk bayar alat atau nyewa orang jadi hangus. Kemudian penonton juga. Mereka kan secara individu, jadi kerugiannya ke personal mereka. Sementara seperti band, vendor, tenant, itu ruginya ada yang lain. Tidak cuma menanggung kerugian sendiri,” jelas Indra.

Seperti Dendam, Kewajiban kepada Penampil dan Penonton Harus Dibayar Tuntas

Sehari setelah konser dibatalkan, pihak Hiforiafest 2022 melalui unggahan Insta Story di akun Instagramnya meminta para pemegang tiket untuk mengisi Google Form pengembalian dana tiket. Pengisian tersebut diberi waktu hingga 5 November.

Namun setelah mengisi, para pemegang tiket mengaku tidak mendapat informasi lebih lanjut terkait proses pengembalian dana.

“Seharusnya dihubungi satu-persatu, kan tiap pembeli ada kontak personal. Jadi biar kita sebagai pembeli bisa tau pasti bahwa kita akan di-refund. Tapi kalo ini kan ndak dihubungi sama sekali, jadi kaya digantungin,” keluh Massey.

Senada dengan Massey, Resti beranggapan skema pengembalian tiket yang hanya mengandalkan pengisian Google Form dianggap kurang efektif dan tidak memberikan kejelasan.

“Temen-temenku ada yang belum kerja, sehingga uang segitu cukup besar. Seenggaknya dikasih kejelasan, atau (dihubungi) via email, one by one, bahwa uang akan dikembalikan. Maksudnya kaya ditenangin dulu lah, bukan cuma lewat IG story, itu pun update-an terakhir empat minggu yang lalu. Google Form juga tau dari Instagram dia (Hiforiafest 2022), bukan email satu-satu,” papar Resti.

Dalam unggahan pengumuman yang sama, penyelenggara menuturkan bakal melakukan proses pengembalian tiket hingga 5 Desember. Namun hingga Selasa malam (06/12) Resti dan dua kawannya, serta Massey dan satu kawannya, belum juga mendapatkan pengembalian dana tiket.

Hingga hari itu juga, pihak penyelenggara mengaku telah mengembalikan dana untuk 200-an tiket dari total 650-an tiket yang terjual. Baik tiket yang terjual atau dana tiket yang telah dikembalikan, mereka tidak dapat menyebutkan angkanya kepada reporter himmahonline.id secara konkrit.

Kemudian, beberapa hari setelah Resti melakukan pembelian tiket melalui yesplis.com, ia mendapat email berbunyi, “HIFORIAFEST AKAN MEMBERIKAN DANA CASHBACK TIKET YANG AKAN DIBERIKAN VIA TRANSFER BANK/E-WALLET! WOWWW!”.

Skemanya, penerima email diarahkan untuk mengisi formulir dengan tenggat waktu dua hari setelah email diterima. Dalam email disebutkan bahwa pemegang tiket kategori Presale 1 akan mendapatkan cashback sebesar 25 ribu, lalu kategori Normal UII sebesar 50 ribu, dan kategori Normal Umum sebesar 100 ribu. Namun hingga Selasa malam (06/12) cashback tersebut tak kunjung diterima Resti.

Saat dikonfirmasi mengenai cashback, Rayhan mengaku lupa dengan skema itu. Dia hanya ingat bahwa cashback akan diberikan kepada pembeli tiket kategori Normal UII secara langsung sesaat pembelian tiket.

Kemoloran pengembalian dana tiket diakui Rayhan karena fokus panitia tidak hanya memikiran tentang pengembalian dana tiket, tetapi juga pembayaran terhadap para penampil.

“Jadi gini, yang perlu difokuskan dari temen-temen panitia itu nggak cuma berfokus pada pengembalian tiket penonton, tapi juga kita harus mengembalikan dana cancellation fee kepada guest star. Kepada pihak MC juga ada,” paparnya. “Nah, jadi temen-temen panitia itu fokusnya rata, nggak ada yang cuma fokus ke pengembalian refund tiket penonton,” tambahnya.

Sementara untuk penampil, berdasarkan penuturan Rayhan hingga Selasa (06/12) baru 2 dari 6 penampil yang telah rampung dituntaskan pembayarannya. Mereka adalah Aftershine dan Diskoria.

Sedang Ndarboy Genk, salah satu penampil yang sudah berada dalam jajaran penampil sejak rencana pertama Hiforiafest 2022 pada Februari 2022 lalu, hingga Rabu siang (07/12) belum dipenuhi kewajibannya.

Mengacu MoU, pihak penyelenggara semestinya melunasi kewajiban full payment yang masih kurang 35 juta. Kemudian, terjadi kesepakatan bahwa penyelenggara cukup membayar 20 juta.

Rendy berharap, meskipun kewajiban kepada Ndarboy Genk belum terpenuhi, pengembalian dana tiket harus segera dituntaskan. Ia khawatir nama Ndarboy Genk turut mendapat reputasi buruk sebagai buntut pengembalian dana tiket yang tak kunjung rampung.

“Jadi fanbase Ndarboy Genk terutama yang pingin lihat, kan pasti kecewa, ya. Penonton ndak peduli siapa yang undang gitu-gitu, taunya ndelok Ndarboy, udah beli tiket, terus ndak dikembalikan. Yang kena Ndarboy, bukan panitianya. Ndak mungkin dong mau liat UII gitu, pasti mau lihat Ndarboy gitu. Apalagi mau liat HI, ndak mungkin,” ungkap Rendy.

Menyikapi proses pengembalian dana tiket yang belum rampung, Muhammad Ihsan (21), Ketua KOMAHI UII 2021/2022 berharap para pemegang tiket bisa lebih bersabar. Ia menjamin pihaknya akan memenuhi kewajiban Hiforiafest 2022 kepada para penampil maupun pemegang tiket.

“Kami minta teman-teman lebih bersabar dan kami memohon waktu sedikit lagi untuk mengembalikan semuanya. Dan di sini baik dari Hiforiafest selaku panitia dan KOMAHI selaku penanggung jawab tidak akan lari dari tanggung jawab dan kewajiban kami semua,” tutur Ihsan.

Setelah tenggat pengembalian dana tiket yang dijanjikan sebelumnya pada 5 Desember tak kunjung dipenuhi, Rabu malam (07/12) pihak Hiforiafest 2022 melalui akun Instagramnya mengumumkan bahwa proses pengembalian dana tiket akan dilakukan maksimal hingga 31 Maret 2023. Itu artinya, para pemegang tiket akan mendapatkan pengembalian dana tiket maksimal lima bulan sejak pembatalan.

Kemoloran hingga tidak jelasnya skema pengembalian tiket, bagi Nuran menunjukkan perlindungan konsumen konser di Indonesia belum diperhatikan.

“Harusnya ada sistem yang bisa melindungi konsumen. Itu harusnya salah satu tugas YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Yang kulihat selama ini belum ada obrolan dari YLKI soal ini, padahal ini ranah mereka,” ungkap Nuran.

Reporter: Himmah/Fathoni Abdul Mukti, Pranoto, Primadiani Difida Widyaputri

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Menilik Sepak Terjang Kahar Muzakkir dalam Dunia Pendidikan

Himmah Online – Pada 16 April 1907 di Desa Gading, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Dalhar. Lahir dari pasangan Mudzakkir dan Siti Khadijah, menuju dewasa Dalhar lebih dikenal dengan nama Abdul Kahar Muzakkir. Ia kemudian banyak bergerak di bidang politik dan pendidikan. 

Pak Kahar, sapaan akrabnya, tumbuh dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di Kotagede, Yogyakarta.

Ia merupakan keturunan orang-orang yang faqih dalam Islam. Sehingga pendidikan masa kecilnya dienyam dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain.

Tertuang dalam naskah berjudul “Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” yang terbit dalam Majalah MUHIBBAH No. 07/Thn. IX/1975, mula-mula Pak Kahar disekolahkan di SD Muhammadiyah Selokraman, Kotagede. Setelah tamat beliau pindah ke Pondok Pesantren Gading dan Pondok Krapyak.

Dari Pondok Krapyak, beliau melanjutkan dan menjadi santri Pondok Jamsaren Surakarta di bawah asuhan K.H. Muhammad Idrus di samping menjadi siswa di Madrasah Mamba’ul ‘Ulum di kota yang sama.

Di tahun 1925 hingga 1937, Pak Kahar menuntut ilmu di Kairo, Mesir. Sekembalinya dari Mesir, ia mulai aktif di Muhammadiyah dan terlibat dalam usaha perjuangan kemerdekaan melalui jalur politik.

Menurut Achmad Charris Zubair, budayawan sekaligus kerabat dekat Pak Kahar, Pak Kahar merupakan bagian penting dalam bidang pendidikan di Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, tetapi visinya jauh melampaui zaman.

Melansir laman Republika, Pak Kahar merupakan salah seorang pemrakarsa berdirinya Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta, cikal bakal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Ia juga menyampaikan gagasan tentang pentingnya perguruan tinggi bagi kaum perempuan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta. Ide tersebut akhirnya tertuang dengan berdirinya Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.

Jauh sebelum itu, sepak terjang Pak Kahar dalam dunia pendidikan juga terlihat dalam keterlibatan langsung menggagas berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Indonesia pada tahun 1945 silam yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Berawal dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian menjadi embrio Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), mereka mempunyai gagasan untuk mendirikan STI, yang kala itu tidak hanya Pak Kahar, tetapi juga Moh. Hatta dan Kasmat Bahuwinangun yang memotori pendiriannya.

Kebutuhan akan sekolah tinggi agama menjadi sangat penting. Sebab di masa pemerintah Hindia Belanda, sekolah tinggi yang paling popular adalah sekolah kedokteran School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan sekolah teknik Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).

Berangkat dari hal itu, didirikanlah STI pada tanggal 8 Juli 1945. Pak Kahar didapuk sebagai rektor pertama.

Disebutkan dalam artikel “Rektor UII dari Masa ke Masa” dalam laman UII, Pak Kahar menjabat sebagai rektor selama dua periode, yaitu 1945-1948 (pada masa STI) dan 1948-1960 (pada masa UII). Beliau tercatat sebagai rektor yang paling lama menjabat, yaitu selama 15 tahun.

Selain sebagai penggagas berdirinya UII, Pak Kahar juga merupakan tokoh yang berjuang dalam mengembangkan dan memajukan institusi yang dipimpinnya tersebut.

Sejak awal UII dibentuk, mahasiswa UII sudah berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Pak Kahar selalu jadi marketing yang canggih bagi UII dengan tugasnya berkeliling ke seluruh Indonesia.

Dalam perilisan film dokumenter tentang KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Jauharoh Abdul Kahar selaku putri Pak Kahar sekaligus salah satu mahasiswa di awal perintisan UII, bercerita bahwa saat itu ia ikut merasakan prihatin terhadap kondisi UII. Tetapi dari keprihatinan dengan keadaan yang masih terbatas itu justru menciptakan suasana kekeluargaan.

Nama Abdul Kahar Muzakkir tidak bisa dilupakan oleh generasi penerus UII. Warisan epistemologinya, keulamaannya, dan keteladanan beliau di dalam mengemban amanah besar yang mencerdaskan bangsa ini patut untuk ditiru dan diteladani.

Menurut M. Muslich K S, budayawan muslim sekaligus dosen senior UII, Pak Kahar termasuk sosok jalma pinilih, atau manusia yang dipilih oleh Allah untuk mengantar peradaban Islam di Indonesia. Khususnya di UII Yogyakarta dan umat Islam pada umumnya.

Reporter: Magang Himmah/Ayu Dyah Chaerani

Editor: Nisa Widi Astuti

Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir

*Naskah “Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 7/Thn. IX/1975 halaman 4-8, 28, dan 32. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk memperingati 49 tahun kepulangan A. Kahar Muzakkir. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Dua tahun yang lalu, tepatnya 2 Desember 1973, kita bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpin, pejuang kemerdekaan yang dengan segala dayanya mempersiapkan kemerdekaan bangsa. Beliau adalah Prof. Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang penanda tangan naskah Piagam Jakarta.

Ketika upacara mengantar jenazah beliau ke peristirahatannya yang terakhir, betapa kabut duka menutupi Kota Yogyakarta dengan puluhan ribu massa yang tersendat-sendat menahan tangis mengiringi kepergian beliau.

Tiada upacara kebesaran yang sebenarnya patut kita lakukan untuk menghormati kepergian beliau, juga tak ada sesuatu yang berarti yang dilakukan oleh pemerintah untuk melepas kepergian beliau. Tapi justru dalam upacara yang sederhana inilah kesan tentang kebesaran beliau semakin terasa.

Almarhum dilahirkan pada 1907 di Kampung Gading sebelah selatan Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta, dibesarkan di Kampung Selokraman, Kotagede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta. Pada waktu kecilnya beliau dikenal dengan nama Dalhar.

Ibu Almarhum bernama Khotijah dan ayahnya bernama H. Muzakkir–kakak dari H. Munawir seorang ulama dan pendiri Pondok Krapyak sebelah selatan Yogyakarta. Beliau adalah cicit dari Kyai Hasan Bashori seorang guru agama dan seorang pemimpin Tarekat Syattariyah yang pernah menjadi Komandan Laskar Pangeran Diponegoro dan ikut dibuang bersama Pangeran Diponegoro yang kemudian wafat di Tondano, Minahasa.

Mula-mula beliau disekolahkan di SD Muhammadiyah Selokraman, Kotagede. Setelah tamat, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Gading dan Pondok Krapyak untuk mendapatkan pelajaran agama Islam masa itu.

Dari Pondok Krapyak, beliau melanjutkan dan menjadi santri Pondok Jamsaren di Sala, di bawah asuhan K.H. Muhammad Idrus, di samping menjadi siswa di Madrasah Mamba’ul ‘Ulum.

Selama di Sala, beliau selalu didorong-dorong oleh gurunya seorang tokoh Muhammadiyah, K.H. Mukti, agar setamatnya nanti mau meneruskan studinya ke Saudi Arabia atau ke Mesir. Rupanya saran gurunya tersebut ditanggapi beliau secara serius.

Tahun 1924 setelah beliau tamat di Sala, bersama dengan kakaknya, Makmur, meninggalkan tanah air untuk ibadah Haji. Selesai menunaikan ibadah haji beliau tetap bermukim di Mekkah guna menuntut ilmu. Akan tetapi karena pada masa itu terjadi perang saudara antara kerajaan Saudiyah dengan kerajaan Arab, maka beliau pun pindah studi ke Al Azhar, Kairo, Mesir.

Tahun 1927 Gerakan Pelajar Indonesia di Kairo mengadakan anjuran baru, agar para pelajar Indonesia yang di Kairo jangan hanya belajar di Al-Azhar saja, hendaknya mereka ada juga yang masuk sekolah atau perguruan lain agar dapat menyongsong hari depan Indonesia merdeka dalam segala bidang. Sejak adanya seruan inilah kemudian Prof. Kahar pindah dari Al-Azhar ke Universitas Darul Ulum.

Jenazah diusung menuju tempat peristirahatan terakhir. Foto: Muhibbah

Selama 13 tahun di Mesir, beliau termasuk pemuda yang aktif berjuang bagi kemerdekaan Indonesia dan bagi kebangkitan kembali dunia Islam. Beliau aktif di dalam perjuangan untuk Palestina, yang ketika itu masih berada dalam mandat Inggris bersama dengan Yordania.

Di Kairo beliau tinggal bersama pemuda sekotanya yaitu Rasyidi yang kini telah menjadi seorang profesor pula. Beliau tinggal dirumah pelayan suatu terrace building kepunyaan Kementrian Wakaf Mesir. Di rumah ini beliau sibuk menerima tamu dari segala bangsa seperti Mesir, Palestina, Syria, Polandia, dan Yugoslavia.

Tahun 1930 seakan-akan beliau menjadi lambang Indonesia di timur tengah. Beliau tidak saja aktif memperkenalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di luar negeri, tapi juga aktif mengikuti perkembangan di tanah air. Beliau mendirikan dan memimpin Perhimpunan Indonesia Raya yang sejajar kegiatannya dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menjadi Sekretaris Jendral Jamaah Al-Khairiyah.

Atas persetujuan Pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia dalam kongres Islam sedunia di Baitul Maqdis. Kongres dipimpin oleh mufti besar Palestina Sayyid Amin Al Husaini dan Prof. Kahar Muzakkir sebagai sekretaris.

Pada tahun 1932 beliau bertindak sebagai anggota redaksi dan administrator surat kabar Ashoura yang dipimpin oleh Muhammad Ali al-Tahir. Mulai tahun ini beliau banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia pada beberapa surat kabar seperti Al-Ahram, Fajar Asia, Al Hajat, Sedio Tomo dan Aksi. Dan juga menerbitkan Seruan Azhar bersama sama dengan Fathurrahman dan Prof. Farid Ma’ruf.

Sebelum ada Duta Besar Indonesia di dunia Arab, maka pada tahun 1930-1936 beliau berperan sebagai duta besar di sana. Misalnya saja: ketika Dr. Soetomo datang ke Kairo pada 1934, beliaulah yang mempersiapkan segala sesuatunya laksana duta besar mempersiapkan kedatangan kepala negaranya.

Tahun 1936 beliau dan Prof. Rosyidi selesai dari studinya di Darul Ulum, lalu kembali ke Indonesia.

Sejak tahun 1938, beliau terus aktif di Muhammadiyah dan diangkat sebagai Direktur Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, Pengurus Majlis Pemuda, Majlis PKU Muhammadiyah bersama Prof. Dr. Hamka dari 1953 hingga akhir hayatnya.

Di bidang politik, beliau pernah aktif bersama Prof. Dr. H.M. Rosyidi, K.H. Mas Mansoer dan Prof. K.H Farid Ma’ruf dalam Partai Islam Indonesia (PII) yang diketuai oleh Dr. Soekiman Wiryosanjoyo almarhum dan Sekretaris jendralnya bekas Rektor UII, Mr. Kasmat Bahuwinangun. Karena keaktifan ini, maka beliau diangkat untuk menjadi Ketua Delegasi Islam Indonesia ke Tokyo bersama Mr. Kasmat Bahuwinangun dan Abdullah al-Amudy dari Al-Irsyad Surabaya.

Bersama-sama dengan 8 orang temannya yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo Wachid Hasyim dan Mr. Muhammad Yamin, ia membuat pernyataan kepada pemerintah Jepang yang dikenal dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 di mana pernyataan ini kemudian dipakai sebagai dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang kini kita pakai bersama.

Pecahnya Perang Pasifik 1941 dan jatuhnya Pemerintahan Hindia Belanda kepada Jepang (1942-1945), maka seluruh partai Indonesia dibubarkan, kecuali 4 organisasi Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perikatan Ummat Islam (PUI), dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). Keempat organisasi ini merupakan anggota federatif Majelis Islam A’la Muslimin Indonesia (MIAMI) yang kemudian berubah jadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Dalam Musyawarah Masyumi dengan tokoh-tokoh keempat organisasi ini, terbentuklah panitia perencanaan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada April 1945. Panitia ini diketuai oleh Drs. Moh. Hatta; Wakil Ketua Mr-Soewandi; Sekretaris Dr. Ahmad Ramli; anggotanya masing-masing KH. Mas Mansoer, KHA. Wachid Hasyim, KHA. Fathurrachman Kafrawi, Prof. K.H. Farid Ma’ruf, Prof. KHA. Kahar Muzakkir dan Karto Sudarmo.

Keluarga yang ditinggalkan. Foto: Muhibbah

Pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 (bertepatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad), bertempat di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Menteng, Jakarta Selatan dibukalah dengan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) dengan rektornya Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir dan Bung Hatta sebagai ketua Dewan Kuraktor. Periode Jakarta (1945-1946) ini mempunyai dua fakultas yaitu Fakultas Agama dan Fakultas Ilmu Sosial.

Ketika Ibu Kota Pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta tahun 1946, berdasarkan pertimbangan objektif, STI pun ikut berhijrah ke Yogyakarta pada 10 April 1946. Rektor dan Badan Kuraktornya tetap dijabat beliau dan Bung Hatta. Pada saat ini kuliah kurang lancar karena hampir seluruh pengurus, dosen, dan mahasiswanya ikut bergerilya.

Akhir November 1947 terbentuk Panitia Perbaikan STI di mana beliau bersama almarhum KHA Fathurrahman Kafrawi sebagai anggota. Dalam sidangnya akhir Februari 1948, panitia memutuskan untuk mengubah nama STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dan berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat itu UII mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi. Selain itu panitia telah berhasil menyusun Dewan Pengurus Pusat UII. Tahun 1947-1948 beliau selain rektor UII juga merangkap sebagai Dekan Fakultas Agama.

Akibat perang kedua UII terpaksa ditutup. Namun demikian beliau sebagai rektor UII tetap menyelenggarakan dies natalisnya yang ke-IV di Tegalayang, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam suasana gerilya dan keprihatinan. Beliau sendiri membacakan sambutan dies natalisnya berjudul “Dasar-dasar Sosialisme Dalam Islam” dan Ustadz Sulaiman memberikan kuliah umum dengan judul “Sejarah Penyiar Aran Nasroni di Indonesia”. 

Setelah DIY kembali di tangan RI pada September 1949, kuliah-kuliah dibuka kembali di UII untuk semua fakultas.

Sementara itu pada 20 Februari 1951 terjadi penggabungan antara UII Yogyakarta dengan PTII Surakarta dengan nama UII di mana mempunyai lima fakultas yakni Fakultas Hukum, Agama, Pendidikan dan Ekonomi di Yogyakarta dan Fakultas Hukum di Surakarta.

Selanjutnya Fakultas Pendidikan UII Yogyakarta diambil alih oleh Universitas Gadjah Mada yang kemudian menjadi IKIP sekarang ini (Universitas Negeri Yogyakarta). Sedang untuk Fakultas Agama UII oleh Kementerian Agama pada 22 Agustus 1950 diambil alih yang selanjutnya 26 September 1951 menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan seterusnya 1960 menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga sekarang ini.

Almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakir selalu aktif dalam kegiatan di UII. Atas nama UII beliau menghadiri pertemuan antar perguruan tinggi Islam se-Indonesia di Jakarta pada 12 sampai 15 Juni 1954. Selain itu aktif pula dalam panitia persiapan PTAIN tahun 1950 yang diketuai KHR Fathurrahman Kafrawi. Tahun 1955 menjadi presidium panitia penerbitan buku peringatan 10 tahun UII. Tahun 1957 menjadi ketua panitia perencana ijazah. Rencana UII bersama-sama Mr R. Santosa, Drs. Hindarsah Wiratmaja (mantan Rektor UNPAD Bandung) dan Moh. Fahrurozy.

Kemudian pada 1957 ini pula beliau menjadi anggota panitia pembentukan program studi di Fakultas Hukum UII yang diketuai Prof. Mr. Kasmat Bahuwinangun dan berhasil menetapkan jurusan: Ketatanegaraan, dengan ketua Drs. Lafran Pane; Kepindahan ketua Mr. Roeslan Saleh; Kepeperdataan ketua Mr. R. Soeroto; dan Hukum Islam ketua beliau sendiri. Selain itu pula berhasil disusun kurikulum yang disamakan dengan kurikulum Universitas Gadjah Mada ditambah dengan kekhususan UII.

Pada tahun 1956 beliau menjadi Ketua Panitia Usaha Pengakuan UII yang bertugas memperjuangkan ijazah UII kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dipercayai sebagai Ketua Senat dan Rektor UII sejak 1955 sampai 1960. Setelah tahun 1960 beliau memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum UII sampai akhir hayatnya.

Dalam masa perjuangan pernah menjadi pemimpin Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta khusus dalam pembinaan mental anggotanya. Karena keberaniannya bertempur melawan Belanda, maka beliau diberi penghargaan dari almarhum Jendral Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang politik. Beliau aktif dalam Masyumi dan pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP); ketua umum Masyumi Wilayah Yogyakarta; dan menjadi anggota konstituante dari Fraksi Masyumi.

Berbincang-bincang antar Rektor Al-Azhar dengan Rektor UII di kampus UII. Foto: Muhibbah

Ketika Punjab University di Lahore mengadakan seminar Islam yang besar dan mengundang para orientalis, sarjana dan ahli fikir, beliau ikut menghadirinya bersama Prof. Hasbi Ashshiddeqy dan Prof. Dr .H.M. Rasyidi yang saat itu menjadi Duta Besar RI untuk Pakistan.

Atas undangan Universitas Al-Azhar, maka bulan Maret 1970 beliau menghadiri Mu’tamar Ulama Islam sedunia. Pulangnya beliau berkesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Yordania, Yaman Selatan, Saudi Arabia, Lybia, Kuwait, Thailand dan Malaysia, untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Islam setempat.

Di Saudi Arabia beliau sempat melaksanakan ibadah haji dan di Yordania bertemu dengan Yasse Arafat dan sempat meninjau dari dekat Front Yordania. Satu setengah tahun kemudian atau tepatnya 12 Desember 1971, beliau pergi ke Lybia untuk memberikan prasaranannya pada Mu’tamar Da’wah Islam, yang dihadiri ulama dan sarjana dari 20 negara. Dalam seminar ini beliau sempat berjumpa dengan pemimpin Islam Jepang Prof. Abdul Karim Saito, dll.

Pada tahun 1972 beliau mengunjungi Aljazair dan Maroko dan melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menghadiri Muktamar Organisasi Islam Internasional yang diadakan 13-16 Februari 1972.

Kehadiran beliau ini mewakili Muktamar Alam Islamy. Pulangnya ke tanah air melalui Malaysia untuk bertemu dengan bekas Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman, Sekretaris Jenderal Negara-negara Islam.

Beliau seorang yang lemah lembut, menghargai orang lain, setia kepada teman serta hormat kepada tamu, sekalipun jauh di bawah usianya dan jabatannya. Beliau sangat ulet dan setia serta amat sederhana. Tidak segan pulang pergi memberi kuliah, ke pertemuan-pertemuan naik andong bersama-sama dengan bakul (pedagang) pasar Beringharjo atau hanya naik Ducati (bromfiets) tua yang seharusnya pensiun.

Sampai saat meninggalnya beliau tetap menghuni rumah kuno peninggalan nenek beliau 75 tahun yang lalu dan tidak meninggalkan tabungan untuk keluarga yang ditinggalkan. Demikian pula beliau tidak canggung tidur di pondok tempat berkumpulnya para santri atau tidur di rumah yang sangat sederhana tempat beliau berdakwah.

Beliau tetap gembira walaupun tidak mempunyai tanda jasa yang disematkan di dadanya pada upacara-upacara. Salah satu kesukaan beliau adalah menziarahi teman-temannya, sehingga banyak sahabat-sahabatnya berasal dari berbagai golongan dan tingkatan. Ia menziarahi pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, dan sebagainya tanpa membedakan yang diasuh kyai Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Beliau sangat senang sekali diziarahi taman-temannya, sangat senang menerima tamu. Hari Jumat adalah hari libur bagi beliau dan khusus digunakan untuk menerima tamu. Kalau tiba waktu makan, sang tamu belum boleh pulang sebelum ikut makan lebih dahulu. Apapun lauknya tak segan menghidangkan.

Beliau seorang pemimpin yang sangat berwibawa dan sangat dicintai mahasiswanya dan lagi pula beliau banyak humornya. Itulah sebabnya para mahasiswa sangat dekat sekali dengan beliau. Hubungan beliau dengan mahasiswa ibarat seperti bapak dan anak.

Khusus di UII beliau adalah satu-satunya orang yang paling setia membina, membimbing dan mengembangkan universitas dengan segala suka dan dukanya.

Karena hampir seluruh waktu beliau digunakan untuk aktivitas organisasi, maka tidak ada waktu untuk mengarang. Sebagai akibatnya, tidak banyak ilmu beliau yang sempat dicetak untuk bacaan umum sebagaimana yang dilakukan Prof. Dr. H.M. Rosyidi, Prof. Hasbi dan Prof. Hamka.

Massa yang mengantar almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir. Foto: Muhibbah

Yang ada hanyalah diktat dari mata pelajaran yang beliau berikan di Fakultas Hukum Ull mengenai Hukum Islam dan Kenegaraan Islam. Yang diketahui dengan pasti hanya lima buah buku terjemahan beliau. Pertama buku karangan Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa, guru besar Syari’ah Islamiyah Universitas Ainusyi-Syams, Kairo, berjudul Al Madkhal Li Dirasatil Fiqh Al Islami (Pengantar untuk mempelajari Syari’ah Islamiyah).

Kedua karangan Abdul Fatah Hasan, wakil hakim tinggi Majlis Daulat di Kairo berjudul Mitsaqatul Uman Asy-Syu’uh (piagam bangsa-bangsa dalam Islam). Ketiga buku Syah Muh. Abu Zaaroh berjudul Al-‘Alaqatul Dauliyah Lil Islamy (hubungan antar negara dalam Islam).

Keempat buku milik Prof. Sajjid Musthofa Darwisj, hakim pada Majlis Daulah di Mesir berjudul Islam dalam Menghadapi Kapitalisme dan Sosialisme. Lalu yang kelima oleh Dr. Ahmad Sjalabi, assisten guru besar di Fakultas Darul Ulum Universitas Cairo berjudul Politik dan Ekonomi dalam Pemikiran Islam. Kedua yang terakhir ini dipakai literatur di Fakultas Ekonomi UII.

Beliau telah pergi meninggalkan kita dalam usianya yang ke-67, dengan tanpa meninggalkan pesan apapun bagi kita yang ditinggalkan dan juga tanpa membawa apapun dari kita semua; tanpa bintang tanda jasa, tanpa gelar-gelar kehormatan; juga tanpa pangkat-pangkat sebagai tanda kebesaran.

Beliau telah pergi meninggalkan kita hanya dengan membawa amal ibadah beliau selama hidup di dunia yang fana ini, karena sesungguhnya beliau dan keluarganya tidaklah mengharapkan penghargaan apapun atas segala yang telah diperbuatnya untuk bangsa, negara yang dicintainya.

Akan tetapi kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang pandai menghargai jasa pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa tentunya tidak akan lupa untuk memberikan suatu penghormatan dan tanda rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau.

Maka sewajarnyalah apa yang telah diusulkan oleh PII cabang Yogyakarta dan bapak Imam Suhadi S.H.–selaku anggota DPR RI–yang mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir.

Memang bagi beliau itu tiada berarti apa-apa tetapi bagi kita yang masih hidup, juga bagi generasi yang mendatang, hal itu akan berarti besar: berupa kesan bahwa kita adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Dua tahun sudah kita kehilangan beliau, kehilangan seorang pemimpin yang patut untuk digugu dan ditiru. Dan bagi keluarga besar UII kepergian beliau merupakan kehilangan seorang bapak, seorang pelopor pendiri universitas Islam tertua di bumi tercinta ini.

Semoga Allah SWT akan memberikan tempat di sisi-Nya sebagaimana Dia menempatkan seorang syuhada. Aamiin.

Penulis: MUHIBBAH/Harun Al-Rasyid

Pengalih media: HIMMAH/Zalsa Satyo Putri Utomo dan Pranoto