Massa aksi International Women's Day (IWD) Yogyakarta membawa spanduk bertuliskan "Perempuan dan Rakyat Bersatu Lawan Seksisme, Tolak KUHP & Ciptakerja" saat persiapan melakukan long march di Gerbang Ketandan, Malioboro, Yogyakarta, Rabu (8/3). Aksi long march tersebut berangkat dari Gerbang Ketandan menuju Titik Nol Kilometer, Yogyakarta. Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Massa aksi IWD Yogyakarta membawa poster-poster saat long march di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Massa aksi IWD berderet menunjukan poster-poster tentang perempuan dan kesetaraan, di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Salah satu massa aksi, Gading (22), sedang berorasi tentang kesetaraan perempuan dan patriarki di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Salah satu massa aksi, Anggun (29), memimpin massa aksi beryel-yel di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Salah satu massa aksi membawa serbet bertuliskan "19 TAHUN MANGKRAK, PRT MERANGKAK #SAHKAN RUU PPRT" di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Beberapa massa aksi membawa poster menyuarakan kekerasan seksual di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Sebuah poster bertuliskan "YES, I AM A FEMINIST. NO, I DON’T HATE MEN" diangkat oleh salah satu massa aksi di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Himmah Online, Yogyakarta – Anggota Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta melakukan aksi protes sembari menaiki skuter di halaman Balai Kota Yogyakarta pada Senin (06/03). Aksi yang digelar mulai pukul 10.00 WIB tersebut adalah respon atas penyitaan skuter oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Yogyakarta pada Kamis (02/03) malam.
Terdapat dua tuntutan yang dibawa oleh Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta, yakni dicabutnya Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 71 Tahun 2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Tertentu Dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik dan dikembalikannya skuter yang sebelumnya telah disita oleh Satpol PP Kota Yogyakarta. Aturan dan tindakan tersebut dirasa amat merugikan bagi penyedia sewa skuter.
Nafiri (38) selaku sekretaris Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta menyatakan bahwa sebelum adanya penyitaan skuter, pihak Satpol PP telah menyampaikan Surat Edaran (SE) yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan adanya operasi skuter di Jalan Margo Utomo, Jalan Margo Mulyo, dan Jalan Mangkubumi di luar jam car free day.
“Setelah muncul SE, kami dioperasi oleh Satpol PP dan yang membuat kami bertanya-tanya, Satpol PP bertindak seolah kami ini bukan manusia. Maksudnya, datang ke Selter 1, 2, 3, diangkut semua,” ujar Nafiri.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta juga turut andil dalam melakukan berbagai upaya dalam konteks dialog melalui audiensi kepada pihak pemerintahan, baik kota maupun provinsi. Selain itu juga, Rakha (25), selaku divisi advokasi LBH Serikat PRT di Yogyakarta mengatakan bahwa terdapat dua konteks pendampingan kepada para penyedia sewa skuter itu.
“Satu, masalah penegakan atau penindakan yang ada di lapangan. Sama, kedua, dalam konteks kebijakan,” tutur Rakha.
Pihak Satpol PP Kota Yogyakarta menjelaskan, terdapat berbagai pertimbangan dalam mekanisme penetapan Perwali tersebut. Hasilnya, suka maupun tidak, mereka akan tetap melakukan penertiban terhadap para pelanggar yang ada di Malioboro.
“Bahwa, intinya, kami akan tetap melaksanakan peraturan yang ada. Selama masih ada aturan itu dan ada pelanggaran penggunaan kendaraan listrik di sana, ya, kami tertibkan,” Ujar Herry selaku Pelaksana Harian Kepala Satpol PP.
Proses audiensi dilaksanakan melalui rapat yang dihadiri oleh perwakilan Satpol PP Kota Yogyakarta, Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta, dan LBH Yogyakarta. Hasilnya, pihak Satpol PP memberikan jaminan hukum, bahwa kepada setiap pelanggaran, akan diberikan sanksi berupa penahanan skuter listrik selama tiga hari. Apabila terjadi pelanggaran berulang, tempo sanksi dinaikkan, dari 3 hari menjadi 30 hari. Hasil ini kemudian disetujui oleh pihak Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta.
Ketika proses audiensi, pihak Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta juga mengharapkan adanya penetapan jam operasional yang jelas demi menghindari terulangnya penyitaan serupa.
“Kami minta jam operasional kami. Kami dibatasi jam operasional juga gak papa. Makanya, tadi saya sampaikan, ketika car free day buka, kami buka, ketika car free day tutup, kami tutup,” jelas Nafiri.
Terakhir, Naufal (21) selaku anggota Paguyuban Skuter Listrik Yogyakarta berharap, apapun usaha yang dijalankan oleh masyarakat, baik itu kelas menengah maupun bawah mendapat bantuan dan sokongan penuh dari pemerintah.
“Kalo harapan saya, apapun segala jenis usaha yang dijalankan oleh masyarakat, baik itu masyarakat kelas menengah atau bawah, ya, setidaknya tuh dapat bantuan dan sokongan penuh dari pemerintah kota ataupun pemerintah provinsi,” ujar Naufal.
Himmah Online, Yogyakarta – Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Yogyakarta menggelar aksi serbet raksasa pada Rabu (15/2) di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Aksi tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional.
Jumiyem (48), selaku Koordinator Acara aksi dan anggota tim kampanye Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menyampaikan, bahwa aksi serbet raksasa dilakukan di tujuh wilayah, yakni Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Lembang, Sumatera Utara, Makassar, dan Surabaya. Khusus aksi di Jakarta memakai serbet raksasa yang dikirimkan oleh serikat PRT sebagai simbol alat kerja mereka.
“Tiap-tiap wilayah itu kita melakukan aksi maupun audiensi. Kalau hari ini, aksi di wilayah Jakarta itu di Senayan menggunakan serbet raksasa. Serbet itu juga kiriman dari kita, serikat PRT yang ada di wilayah Yogyakarta, Semarang, Sumatera Utara, Medan, dan juga Palembang,” ujarnya.
Aksi tersebut merupakan upaya untuk mendorong DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah mendapatkan persetujuan dan dukungan dari presiden dan staf kepresidenan.
“Aksi ini menuntut agar DPR RI segera memparipurnakan RUU PPRT kemudian dibahas dan disahkan di tahun 2023 ini. Pemerintah sendiri sudah dari Oktober 2022, dari staf kepresidenan sudah membentuk gugus tugas untuk membahas draf RUU PPRT ini. Kemarin, Joko Widodo pada tanggal 18 Januari 2023 sudah memberikan dukungan untuk segera mengesahkan RUU PPRT ini,” ucapnya.
Jumiyem melanjutkan bahwa tepat pada 1 Juli 2020 lalu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah memutuskan RUU PPRT menjadi inisiatifnya. Kemudian, hasil draf tersebut diberikan ke Ketua DPR.
“Jadi, hampir dua tahun setengah yah, RUU ini mandek di sana atau mangkrak di sana. Jadi, tinggal bagaimana ketua DPR menyetujui bahwa RUU ini menjadi RUU inisiatifnya. Kemudian, dibahas bersama pemerintah dan disahkan oleh DPR seperti itu,” tuturnya.
Ernawati (50) perwakilan Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) turut memaparkan hal yang sama bahwa draf RUU PPRT sudah cukup singkat karena telah dilakukan banyak perbaikan. Namun, draf RUU tersebut belum juga dibahas pada rapat paripurna.
“Ini sudah masuk ke Baleg tapi kita masih menunggu siapa yang akan mengajukan ke sidang paripurna. Jadi, sampai saat masih belum ada keputusan dari DPR untuk menjadikan RUU sebagai inisiatif dari DPR,” ucapnya.
Erna juga menambahkan bahwa DPR harus mengajukan RUU PPRT sebagai inisiatifnya. Kemudian, masuk ke sidang paripurna paling lambat akhir tahun ini karena tahun depan sudah masuk ke tahun pemilu.
“Kemungkinan DPR akan lebih sibuk lagi dan kita tidak mau RUU ini menjadi bahan yang kemudian diombang-ambingkan oleh komisi-komisi di DPR untuk kepentingan-kepentingan politik dari partai-partai yang ikut pemilu,” pungkasnya.
Heni (47) selaku peserta aksi, mengungkapkan harapannya agar DPR segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah 19 tahun diusulkan untuk menghindari korban-korban lain berjatuhan.
“Tahun ini di Jakarta itu udah ada beberapa kasus PRT berupa kasus kekerasan. Nah, mungkin dengan ini kawan-kawan anggota DPR ini terketuk hatinya,” ucapnya.
Reporter: Himmah/ Nurhayati, Muhammad Mufeed Al Bareeq, Ani Chalwa Isnani
Himmah Online, Yogyakarta – Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Malioboro 2 menggelar doa bersama memperingati satu tahun relokasi lapaknya. Mereka berkumpul di area depan Teras Malioboro 2 pada Rabu (8/2) mulai pukul delapan malam hingga pukul sepuluh malam. Acara ini digelar sebagai bentuk dukungan antar sesama PKL yang masih merasa dirugikan sebab relokasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Selama 40 tahun melapak sebagai PKL di Malioboro, Rini (70) mengungkapkan bahwa daya beli pengunjung justru menurun pasca relokasi dari Lorong Malioboro ke Teras Malioboro 2.
“Pengunjungnya memang ramai, tapi daya belinya tidak ada. Harapannya, bisa kembali ke Lorong lagi karena lebih menjanjikan,“ ujar Rini.
Senasib dengan Rini, Arifin (50), salah satu PKL, juga mengeluhkan bahwa pedagang semakin dirugikan oleh beralihnya lapak ke Teras Malioboro 2. Terlebih dengan bangunan yang dirasa kurang layak, bahkan tidak mumpuni.
“Benar-benar menurunkankan omzet bagi saya. PKL gak masalah kalo direlokasi, asal diberi tempat yang layak, bukan yang seadanya seperti ini. Yang terasa, ya, di ekonomi kecil. Kalo menengah ke atas masih bisa berputar uangnya. Kalo nasibnya bagus walaupun tempatnya jelek masih mending. Lah, ini udah nasib jelek, tempat juga jelek,” ujarnya.
Menurut Shinta Septiani (26), anggota PKL sekaligus panitia penyelenggara acara, pemerintah masih abai atas nasib PKL di Teras Malioboro 2. Pasalnya, selama satu tahun dibukanya Teras Malioboro 2, pemerintah yang awalnya menjanjikan jaminan hidup, justru tidak melaksanakan kewajiban itu.
“Jaminan hidup itu ga harus satu bulan penghasilan, separuh saja. Dulu, penghasilan bisa sampai puluhan juta, pemerintah sekarang ga bisa nanggung. Kalau memang ga bisa ditanggung, minimal ditata, bukan dihilangkan. PKL mau ditata, mau dirapikan, tapi jangan dihilangkan atau dibuang,“ tegas Shinta.
Sejak masa pra-relokasi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta juga terus melakukan berbagai audiensi untuk membuka hak peningkatan kualitas dan taraf hidup PKL di Malioboro. Hal ini dilakukan karena Teras Malioboro 2 hanya bersifat sementara.
Raka Ramadhan (25) selaku staff divisi advokasi LBH Yogyakarta menandaskan bahwa pendampingan terus dilakukan untuk mencegah berbagai masalah ketika akan terjadi relokasi kembali. Bahwa pemerintah harus lebih terbuka dengan relokasi yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2024, sebab, hingga kini, belum ada kepastian dari Pemerintah Daerah maupun Provinsi mengenai relokasi itu.
“Hingga detik ini dokumen perencanaan dan dokumen hukum itu masih sangat sulit untuk diakses. Perihal transparansi terhadap masyarakat, perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi agar kita semua bisa pelajari,“ pungkasnya.
Reporter: Himmah/Ani Chalwa Isnani, Ibrahim, Muhammad Mufeed Al Bareeq
Himmah Online, Yogyakarta – Ketua paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro, Supriyati, menyampaikan bahwa dari jajak pendapat pada para PKL Malioboro, sebanyak 711 dari 1014 pedagang mengalami penurunan omzet secara drastis setelah relokasi. Hasil jajak pendapat ini sudah dilaporkan pada pemerintah, tapi tidak segera digubris.
“Selama setahun kemarin kami sudah menjalani di Teras Malioboro 2. Terus terang, kami merasakan keprihatinan karena di sana kami mengalami penurunan omzet yang anjlok,” terang Upi dalam diskusi publik bertajuk “Bahagia di Tanah Istimewa? Potret Kemiskinan dan Penyingkiran Rakyat di Yogyakarta” yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Selasa (07/02).
Keprihatinan Upi berlanjut pada kondisi Teras Malioboro 2 yang dirasa panas dan bocor tiap hujan turun. Hal ini membuat pengunjung enggan masuk ke Teras Malioboro 2. Selain itu, pedagang yang memiliki lapak di daerah belakang pun tidak bisa terjangkau oleh pengunjung karena posisinya yang tidak strategis.
Perwakilan LBH Yogyakarta, Raka Ramadhan (25), menyebutkan bahwa surat edaran mengenai relokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki kejanggalan.
“Pada saat dikeluarkan, surat edaran tersebut tidak memiliki payung hukum yang kuat di atasnya. Surat edaran yang diterbitkan per 1 Februari itu terdapat kesalahan. Pertama, eksekusi surat edaran tersebut dilaksanakan pada saat hari libur. Kedua, surat edaran yang diterima oleh para pedagang tertanggal 31 Februari 2022, dari mana kita dapat tanggal tersebut?” paparnya.
Ketika surat edaran telah diterbitkan dan relokasi mulai dilakukan oleh aparat, para pedagang mencoba melakukan dialog kepada DPRD Kota dan Pemerintah Kota. Namun, bukannya aspirasi PKL yang didengar, pemerintah malah mencabut Peraturan Walikota (Perwali) Kota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010, yang merupakan legalitas bagi PKL Malioboro untuk dapat berdagang di sepanjang Jalan Malioboro, melalui Perwali Kota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2022.
“Jadi kalau dari konteks hukumnya, legalitasnya dicabut kemudian diterbitkan alas hak untuk menggusur mereka. Sementara yang menjadi masalah, sudah sejauh mana pemerintah mengajak dialog PKL untuk mencari solusi terbaik,” ujar Raka.
Selain PKL, dampak kebijakan relokasi ini juga berimplikasi pada pendorong gerobak sebagai mitra PKL Malioboro. Pemerintah memberi mereka pekerjaan sebagai petugas kebersihan di sepanjang Jalan Mangkubumi dan Jalan Malioboro. Para pendorong gerobak ini baru mendapatkan pekerjaan kembali setelah empat bulan dilakukannya relokasi.
“Tanggung jawab pemerintah tidak hanya sekadar mencarikan tempat yang baru, namun juga harus dilihat dan diukur besar penghasilannya antara tempat lama dan tempat baru. Ketika dipindahkan, minimal pendapatannya harus sama atau bahkan lebih baik dari tempat sebelumnya,” tutur Raka.
Syahdan, Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia periode 2021/2022 akhirnya berakhir pada 16 Januari 2023 lalu. Rampungnya periodisasi HIMMAH menandakan rampung juga kerja-kerja bidang di bawahnya, termasuk bidang redaksi.
Setelah kurang lebih sebelas bulan bergelut dengan kerja-kerja pembuatan produk jurnalistik sejak dilantik pada 6 Februari 2022 silam, kami, Redaksi HIMMAH, ingin berbagi cerita tentang apa yang telah coba kami lakukan.
Di awal periode kami sepakat bahwa konsistensi publikasi produk menjadi target utama. Tiga produk per pekan harapannya bisa kami suguhkan. Produk yang masuk dalam hitungan adalah produk yang terbit di rubrik Berita, Reportase, dan Lensa di laman himmahonline.id serta produk infografik yang terbit di media sosial milik HIMMAH.
Target 3 produk per pekan kemudian diubah menjadi 2 produk per pekan saat rapat lembaga pertama. Maka dalam waktu kerja efektif 10 bulan (Februari-November), kami diharuskan memproduksi 88 produk.
Dalam realisasinya, setidaknya hingga waktu kerja efektif berakhir, kami telah memproduksi 97 produk. Lalu hingga 11 Januari 2023 (hari pertama pelaksanaan musyawarah anggota), angkanya bertambah menjadi 109 produk.
Optimalisasi seluruh awak HIMMAH juga coba dilakukan untuk turut aktif terlibat dalam proses produksi produk. Hasilnya, 33 dari 42 pengurus telah terlibat dalam produksi produk. Sedang magang, 23 dari 31 telah terlibat.
Selain berfokus pada kerja-kerja pembuatan produk, pembaruan rubrik hingga penyajian di laman himmahonline.id juga coba kami lakukan.
Dimulai dari penambahan sub-rubrik Laporan Khusus (lapsus) dalam rubrik Reportase. Sub-rubrik ini disadur dari rubrik yang ada di Majalah HIMMAH.
Di himmahonline.id sub-rubrik lapsus digunakan sebagai wadah penerbitan serial liputan. Ia menjadi wadah satu topik liputan yang disajikan menjadi seminimalnya dua produk. Liputan Pemilwa 2022 dan Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong adalah contoh dari penyajian lapsus.
Kemudian rubrik Lensa yang sebelumnya menjadi rubrik tunggal dan berisi penerbitan produk photo story anaknya kembali dihidupkan. Mereka adalah Foto Berita, Foto Cerita, dan Foto Tunggal. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi jenis produk foto yang kami bikin.
Redaksi–lewat sub-bidang Penelitian dan Pustaka–kemudian coba memberi banyak perhatian kepada arsip produk cetak MUHIBBAH dan HIMMAH. Hal ini dimulai dengan upaya pencarian dan pendataan ulang arsip produk. Hasilnya, tercatat 36 edisi Majalah MUHIBBAH dan 57 edisi Majalah HIMMAH tersimpan di lemari arsip sekretariat HIMMAH. Daftarnya bisa pembaca tinjau di sini.
Di laman himmahonline.id, kami turut memberi perhatian untuk rubrik Arsip. Dimulai dengan menjadikan rubrik Arsip sebagai rubrik utama. Ia kemudian memiliki tiga sub-rubrik: Buletin KOBARkobari, Majalah HIMMAH, dan Majalah MUHIBBAH. Masing-masing sub-rubrik berisi arsip produk yang telah didigitalisasi.
Masih berkaitan dengan urusan pengarsipan, kami juga coba melakukan alih media beberapa naskah yang berada di Majalah MUHIBBAH maupun HIMMAH untuk diterbitkan di himmahonline.id. Ini menjadi upaya memunculkan kembali naskah-naskah lama yang relevan dengan isu terkini.
Penyesuaian bahasa dan penyuntingan tanda baca dilakukan untuk mengoptimalkan keterbacaan. Struktur hingga susunan kalimat tidak diubah untuk menjaga orisinalitas naskah. Hasilnya 4 naskah berhasil dialih media dan tujuh foto dijadikan satu produk dengan tajuk kilas balik.
Menjelang akhir periode, kami juga coba menyajikan satu laporan berbentuk video yang dipublikasikan melalui kanal YouTube LPM HIMMAH UII.
Selama sebelas bulan berjalan, kami pun turut belajar tentang jurnalisme data dan berfokus pada ranah visualisasi interaktif untuk digunakan dalam laman himmahonline.id. Meskipun dalam implementasinya, ia justru terlihat seperti jurnalisme yang gagah-gagahan dan sok paham data beserta visualisasinya.
Menilik naskah-naskah yang telah terbit sebelumnya, visualisasi data interaktif rupanya pernah diterapkan dalam naskah “LPM Meraba Zaman” yang terbit di himmahonline.id pada 2016 silam.
Selain itu, gaya penulisan jurnalisme sastrawi juga coba kami pelajari (lagi). Agustus 2022 lalu, dua pengurus HIMMAH berangkat ke Yayasan Pantau untuk turut belajar serta mendalami gaya penulisan tersebut.
Di periode ini kami cukup membatasi penerbitan naskah non-jurnalistik dari kontributor. Hal ini dilakukan karena kami ingin fokus terhadap produksi produk jurnalistik dan merasa cukup kekurangan daya jikalau harus memproses banyak-banyak naskah dari kontributor. Pada akhirnya terdapat 9 naskah untuk rubrik Analisis dan 7 naskah untuk rubrik Ruang yang kami terbitkan di himmahonline.id.
Uraian di atas adalah sedikit cerita dari apa yang telah kami kerjakan. Kami menyadari bahwa kerja-kerja kami jauh dari kata sempurna. Pekerjaan rumah pun masih berserakan hingga periode ini berakhir.
Misalnya saja, kami tak cukup banyak menyorot isu kampus (19 produk), tidak sedikit naskah yang membutuhkan waktu lama untuk terbit, menurunnya kualitas produk, hingga tak cukup mendalam dalam menyorot atau menuliskan sebuah isu.
Akhir kata, kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca himmahonline.id atas kekurangan-kekurangan tersebut. Kami juga haturkan banyak terima kasih karena pembaca himmahonline.id telah mengambil keputusan untuk tetap setia menikmati produk-produk yang kami suguhkan.
Kami pamit undur diri. Sampai jumpa di periode depan. Tabik!
Pengajuan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah dilakukan sejak 2004 kepada parlemen. Tercatat, RUU ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR pada 2019. Meski telah melalui 86 kali perubahan, hingga kini, pelbagai upaya tersebut belum kunjung membuahkan hasil berupa produk hukum.
Guna mengangkat isu tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah Universitas Islam Indonesia (UII) mengundang sejumlah akademisi serta perwakilan serikat pekerja dalam diskusi dengan tajuk “Semrawut Nasib PRT di Indonesia: Urgensi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga”, pada Rabu (04/01).
Acara yang digelar di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII, Kampus Terpadu UII, Jl. Kaliurang KM 14,5, Sleman, tersebut menyoroti isu kesemrawutan status PRT serta RUU PPRT yang selama ini terus diadvokasi.
Pengakuan dan Perlindungan PRT
Kedudukan PRT sendiri dinilai tidak diakui dan dilindungi sebagai pekerja. “Terbukti tidak ada peraturan perundangan yang jelas atau tegas dan mengikat, (misalnya) tidak masuk dalam Undang-Undang (tentang) Ketenagakerjaan,” ujar Lek Jum, perwakilan dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia, Yogyakarta.
Jumlah PRT saat ini berada di kisaran 4,2 juta jiwa secara nasional, serta 45 ribu jiwa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri. “PRT yang berorganisasi baru sekitar 2.000-an. Lebih sedikit,” lanjutnya.
Berbagai tanggapan menunjukkan seolah RUU ini hanya berupa sarana untuk melindungi PRT. Lebih lanjut, RUU ini justru juga melindungi para pemberi kerja atau majikan, hingga hubungan kerja antara keduanya.
“RUU (PPRT) melindungi kepentingan relasi atau hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT … (jadi) tidak hanya mengatur terkait perlindungan dan jaminan kepada PRT, tapi juga pemberi kerja atau majikan,” ucapnya.
RUU ini juga mencakup kategorisasi kelompok dalam profesi PRT, seperti pemasak, pencuci pakaian, serta pembersih rumah. “Kemudian juga pekerjaan merawat anak, menjaga orang sakit atau berkebutuhan khusus, juga pengemudi dalam satu keluarga … juga kelompok pekerjaan menjaga keamanan rumah,” ujarnya.
Semrawutnya Pengesahan RUU PPRT
Lek Jum menyatakan, ketidakjelasan jam kerja dan hari cuti hingga nihilnya jaminan sosial–kesehatan maupun ketenagakerjaan, merupakan sejumlah isu yang meningkatkan urgensi pengesahan RUU PPRT. “Upah (juga) yang sangat rendah, antara 30-40 persen dari UMP (Upah Minimum Provinsi),” tuturnya.
Selain itu, urgensi lain yang diperhatikan adalah pandangan masyarakat terhadap PRT yang masih belum menganggap PRT sebagai profesi yang penting. “Di situlah urgensinya kita memiliki peraturan, memiliki hukum yang bisa mengubah paradigma masyarakat,” kata Angga Suanggana.
Pengawas Ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY tersebut juga menyatakan bahwa Yogyakarta sendiri sempat mengakomodasi isu perlindungan PRT melalui Peraturan Gubernur (Pergub) serta Peraturan Walikota (Perwali). “Sampai sekarang masih berlaku. Ya … cuman, implementasinya itu,” kisahnya.
Apabila dibandingkan dengan RUU lain, seperti RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang pertama kali disampaikan pada 2019 dan mencakup berbagai isu justru dapat disahkan dalam waktu yang singkat. Angga menilai, hal demikian terjadi akibat pengaruh political will dari pemerintah dan DPR yang sangat signifikan.
Ernawati sendiri menyebutkan, meskipun bermacam aksi sudah dilakukan setiap tahunnya, RUU ini hanya dapat disahkan apabila menjadi inisiatif DPR. Sebelum bisa masuk ke ruang sidang tersebut, RUU PPRT mengalami proses lobbying yang cukup panjang. “Biasanya ada Panja (Panitia Kerja)-nya. Bagaimana caranya kita melobi … supaya deal ketika sidang mereka bilang ‘iya’,” ungkapnya.
“Kalau ini bisa masuk ke sidang paripurna, kita akan punya banyak ‘kerjaan’lagi yang lebih intensif untuk menggolkan supaya setiap anggota DPR sepakat untuk membacakan ini (RUU PPRT) di ruang sidang,” sebut aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumpun Tjoet Nyak Dhien (RTND). Meskipun demikian, ia mengakui bahwa dukungan masyarakat luas yang paling menentukan.
PRT adalah Pekerja, bukan Pembantu
Terlepas dari kepelikan pengesahan RUU, hal mendasar yang dapat dimulai dari tingkat masyarakat adalah memahami bahwa huruf ‘P’ pada PRT bukan merupakan pembantu, melainkan pekerja.
“Membiasakan lidah kita untuk mengubah kata dari ‘pembantu’ menjadi ‘pekerja’ itu satu poin. Satu langkah pertama yang harus kita buat. Itu yang mau kita ajarkan,” ucapnya menasihati.
Perubahan tersebut memang terkesan sepele, tetapi akan sangat berpengaruh, terutama dalam ranah hukum serta psikologi. “Udah kebiasaan tertanam seperti itu … akhirnya bukan habit lagi, (tapi jadi) karakter. Dan itu menunjukkan bahwa kita tidak menghargai pekerja yang bekerja di rumah kita,” katanya.
“Satu, kita mulai dengan satu kata: mengubah kebiasaan mengucapkan ‘pembantu’ menjadi ‘pekerja’,” pungkasnya.
*Naskah “Kenangan-Kenangan yang Terbelah” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 02/Thn. XXXVII/2005 dalam rubrik Dialog di halaman 56. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk melepas kepulangan Siti Dyah Sujirah atau Mbak Sipon yang mangkat kemarin, 5 Januari 2023. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.
Sehimpun cerita dalam suatu percakapan ringan yang disampaikan Sipon, istri dan penyair Solo, Wiji Thukul.
Siti Dyah Sujirah, atau lebih akrab disapa Mbak Sipon, bingung sendirian sepanjang perjalanan di atas kereta yang menuju Jakarta. Ia tak tahu-menahu mesti berkata apa kepada Saiyem, ibu mertua suaminya. la tahu selama ini ia telah berbohong kepadanya. Juga Wito, bapak mertuanya. Meskipun yang ia lakukan demi kebaikan, namun saat itu rupa-rupanya ia merasa amat bersalah.
Sipon gamang. Terdampar dalam persimpangan di antara dua pilihan. Apakah harus ia katakan secara terbuka saat itu juga, ataukah memendamnya saja dan mereka mengetahuinya dari mulut orang lain. Karena, pikir Sipon, tanpa ia utarakan langsung, toh mereka bakal mengetahuinya sewaktu perhelatan di hari penghargaan tiba, untuk tujuan itulah mereka pergi ke Jakarta.
Perempuan kelahiran 21 September 1966 itu teramat mengerti bahwa jika ia mengatakannya secara jujur maka sekaligus ia telah menghancurkan perasaan kedua orang tua suaminya. Bagi kedua mertuanya, keberangkatan ke Jakarta kali ini karena menyangka akan bertemu si anak sulung tersayang. Karena sekian tahun mereka tak pernah bertemu. Karena sekian tahun mereka tak pernah bertemu. Karena itu mereka rindu. Sangat rindu.
Mereka hanya tahu melalui kabar yang disampaikan oleh si menantu bahwa si sulung tersayang dalam keadaan baik. Mereka tak menduga terlalu jauh bahwa Sipon selama ini rupanya telah berbohong.
Jauh sebelumnya, ketika sepasang mertua itu bertanya mengenai kabar anaknya, Sipon selalu menjawab bahwa suaminya baik-baik saja. Tak lupa, sewaktu ia berkunjung ke rumah mertua, untuk menutupi kesalahannya sekaligus meyakinkan mereka supaya percaya, ia kerap membawa oleh-oleh seraya bilang yang dibawanya itu adalah kiriman dari anak sulung mereka. Dan peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang.
Sampai akhirnya tibalah suatu hari yang menentukan berupa undangan penghargaan buat anak sulung tersayang. Sampai akhirnya terbitlah di dada Sipon sebuah situasi perasaan bimbang yang menekan. Suatu perasaan bersalah dan bingung setengah mati.
“Udah kayak kesobek dadaku,” begitu kenangnya.
Sipon yang duduk di bangku kereta itu sejatinya sangatlah gelisah. Ia dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Sehari di kereta itu pikirannya cuma disibukkan buat berkata jujur bahwa sebetulnya ia tidak pernah bertemu sama sekali dengan suaminya. la ragu hendak bercerita serupa apa tentang si suami tercinta. Sebelum sempat terucap, cerita yang akan ia utarakan itu seakan terhenti lebih dulu di ujung kerongkongan. Akhirnya, Sipon mengambil sikap diam.
“Wah, itu aku kayak orang gila.” la berkata mengenang. “Aku merasa, aku membohongi mertuaku sekian tahun.”
Selain kedua mertuanya, dalam keberangkatan itu turut juga Wahyu Susilo, adik lelaki suaminya. Sipon membawa pula kedua anaknya. Si sulung seorang perempuan bernama Fitri Nganthi Wani, sedang yang bungsu, yang saat itu berumur 9 tahun punya nama Fajar Merah.
Si sulung, yang kala itu masih berusia 13 tahun akan membacakan puisi karyanya sendiri dalam penghargaan itu. Sebelumnya , puisi itu sudah dikirim lewat faksimile. Sipon kemudian mendapatkan balasan: “Ini Mba Sipon, puisinya beneran apa nggak?”
Terang dari jauh menanyakan hal itu, karena selepas hari puncak penghargaan tersebut tergelar dan si sulung telah selesai membacakan puisinya, Todung Mulya Lubis, seorang pendiri Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham)–sebuah lembaga nonpemerintah yang berkonsentrasi pada isu-isu HAM di tanah air, seperti yang ditirukan Sipon kepada saya, berkata, “Itu kemarahan anaknya Mbak Pon.”
Si penerima penghargaan itu adalah Wiji Widodo alias Wiji Thukul. Tapi sosok wadag Thukul tak ada. Thukul tak pernah naik podium itu.
Sementara Todung mengumumkan nama Thukul sebagai si penerima hadiah, Saiyem terkesiap di tempat duduknya. Ia menggigit lengan Sipon sembari berujar, “Kamu ngapusi (bohongi) aku.”
Lampu sorot kamera merekam kejadian ini. Seluruh keluarga itu terlihat tak mampu lagi menahan emosi.
“Videonya ada itu. Aku kayak orang gila. Aku merasakan diriku bukan diriku. Aku melihat mataku itu kok kosong, gitu loh. Jadi aku melihat di video itu kayak bukan aku. Aku bener-bener kayak orang gila. Shock betul.”
Sebelum penyerahan sertifikat kehormatan diserahkan, Sipon diberi waktu tiga puluh detik untuk naik ke atas panggung. Sipon naik ke podium namun hanya sebentar. Selepas berkata, “Jangan sampai terulang lagi kejadian hal seperti ini…”, ia pun bleg. Sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Jatuh pingsan. Akhirnya, Wahyu Susilo yang mewakili proses penyerahan tersebut.
Puisi dengan judul “Untuk Bapakku dan Orde Baru” yang dibacakan si sulung pun rupanya menerbitkan rasa kaget tak dinyana oleh Sipon. la sampai bilang, “Lho, kok serem, Nduk?”
Besok harinya Todung berkomentar “Yang kemarin itu bukan puisi. Tapi itu kemarahan anaknya Mbak Pon. Biarin ajalah supaya dia nggak down. Kalau nggak, mungkin dia pingsan juga.”
Begitulah, acara puncak penghargaan Yap Thiam Hien kesepuluh, 10 Desember 2002.
Ilustrasi: HIMMAH/Pandu Lazuardy P.
Penghargaan tersebut diberikan bagi orang-orang yang dinilai telah berjasa besar dalam tegaknya keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah-tengah wajah moyak kekuasaan Orde Baru yang kerap melakukan tindakan tak senonoh di luar batas akal waras yang biadab dan kurang ajar, Thukul adalah salah satu miniatur korbannya. Ia perwakilan absolut yang menentang segala macam mulut besar para penguasa otoritarian, yang doyan melahap doyan menguap orang-orang yang dianggap penyempal.
Dalam kata-kata sambutannya, Todung Mulya Lubis berucap bahwa Thukul sangat layak mendapatkan penghargaan ini. Thukul semacam representasi dari sosok pejuang kemanusiaan sejati, karena ia tidak hanya berjuang untuk hak-hak kemanusiaan, melainkan juga mengangkat daya martabat manusia.
Todung berkata, “Di negeri yang hak-hak hidupnya dikhianati, Wiji melawannya lewat kata-kata. Beberapa dari hasil kerjanya itu menjadi senjata ampuh bagi para aktivis dan pelajar dalam setiap gerakan.”
Kemudian Todung memberi penilaian, “Puisi-puisi Wiji dipenuhi bahasa sederhana dan bijaksana, penuh perenungan, terasa pahit, peka, dan dalam beberapa hal, sangat berbau politik. Suara Wiji menyiarkan ketidakadilan dan menyingkap wajah asli otoritarianisme.”
Sebelum perayaan tersebut dimulai, yang digelar di gedung Museum Nasional Jakarta Pusat, Sipon berkata mengenai suaminya, “Hari-hari pahit ketika rumah kami dirampok dan diawasi telah selesai, walaupun keluarga saya akhirnya harus rela membayarnya dengan hilangnya seseorang yang begitu dicintai oleh anaknya, kedua orang tua, dan adiknya.”
“Bagaimanapun,” lanjut Sipon, “saya beruntung karena saya masih bisa menyaksikan anak-anak saya tumbuh besar, tetapi saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suami saya yang tidak dapat menyaksikan anak-anak kesayangannya.
Wani berkata, “Saya bangga terhadap ayah saya tapi saya tidak ingin seperti dia. Dia tidak kembali dan itu yang menyebabkan nenek dan ibu saya sangat sedih.”
Dari penghargaan ini, Sipon merasa sangat bersyukur.
“Aku terima kasih sekali bantuan teman-teman. Sangat kuat sekali buat saya. Saya melihat, aku punya banyak teman, karena ternyata saya tidak sendirian.”
Masa Kehilangan dan Pencarian
Sipon dan Thukul menikah pada 21 September 1988. Mereka hanya butuh setahun untuk berpacaran dan setahun selepas menikah itu pula mereka butuhkan buat memiliki momongan. Selang lima tahun kemudian Fajar Merah lahir.
Dalam ingatan Sipon, sewaktu Fajar masih kecil, Thukul pernah berkelakar, “Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya dengan kamu.”
Sipon menganggap sepi ucapan tersebut, dan hanya menimpali, “Wah, kaya arep mati wae (seperti ingin meninggal saja). Sapenake dhewe, kene sing meteng, ha.. ha..ha.. (seenaknya sendiri, sini yang mengandung).”
Di sekian tahun kemudian, setelah sang suami tak juga kembali, Sipon mengenang dan berpikir, “Mungkin dia keroso (terasa).”
Benar atau tidak dugaan Sipon itu, rupa-rupanya kenyataan yang menimpa suaminya telah bikin catatan sejarahnya sendiri.
Tahun 1992, bersama warga Jagalan-Pucang Sawit lainnya, suami Sipon ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil Sariwarna Asli. Tahun-tahun berikutnya ia terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang jadi bagian Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tahun 1994, Thukul bergabung dalam aksi perjuangan petani di Ngawi, la ditangkap dan dipukuli militer.
Maret 1995 adalah mimpi buruk baginya. Kala memimpin aksi pemogokan buruh PT Sritex di Sukoharjo, Surakarta, sebelah mata Thukul nyaris buta akibat dipopor seorang tentara. Kelopak mata kanannya sobek dan retina matanya terganggu. Ia harus beberapa kali menjalani perawatan di rumah sakit mata Dr. Yap di Yogyakarta.
Lalu terjadilah peristiwa celaka itu. Sabtu, 27 Juli 1996, massa bayaran yang riuh didukung aparat polisi dan tentara, dengan mengenakan kaos bertulis “PDI Pro Soerjadi”, menyerbu markas besar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengambil alih secara paksa sambil ditingkahi pengrusakan dan pembakaran.
Suhu politik nasional kemudian amat panas. Genting. PRD terkena imbasnya. Dituduh sebagai dalang dari penyerangan itu. Para aktivisnya lalu banyak diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara yang pengap. Pemerintah Soeharto melalui Soesilo Soedarman, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, lantas mengumumkan nama-nama aktivis itu sebagai orang yang diburu. Thukul termasuk di antaranya.
Cepat-cepat Thukul mesti bersigegas, menyeret nyawanya, dan menghilang. Di sekian hari kemudian, oleh teman-teman sesama aktivis, ia hanya berwujud puisi yang muncul di internet. Nada puisi masa pelarian itu terkesan murung. Tak lagi pekik sorai membahana seperti sebelumnya yang kerap menghiasi aksi-aksi di jalanan. Tak lagi menggelora.
Puisi-puisi itu seakan jadi arah petunjuk untuk melacak jejak Thukul berada. “Hayati”, salah satunya.
hayati bapak mamak ingin bawa kau ke madura tanah bapaknya bapakmu tanah mamaknya mamakmu
tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati dari pontianak ke madura ratusan kali pulang pergi
tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati karena beaya selalu tertunda-tunda karena beaya hayati
lebaran sepuluh hari lagi
Ada kata Madura dan Pontianak tertera di situ. Tak ada yang tahu Thukul menulisnya di mana. Tapi ini cukup bisa untuk dibayangkan. Dalam kumpulan puisinya, Aku Ingin Jadi Peluru, terbitan Indonesia Tera, 2004, tertulis 6 Januari 97 sewaktu puisi itu dibuat. Ini sepenggal rentang masa pelarian Thukul.
Linda Christanty, seorang kawan semasa di PRD, yang kini jadi perempuan penulis cerita pendek dengan karya-karyanya yang sudah dibukukan dalam Kuda Terbang Mario Pinto, dalam artikel “Wiji Thukul dan Orang Hilang”, menulis bahwa “Thukul pergi ke Kalimantan dan hampir setengah tahun tinggal di sana”.
Sekembalinya dari Kalimantan, seperti yang ditulis Linda, Thukul kemudian diminta membantu kawan-kawan di Jakarta. Linda lantas bekerja kembali bersama Thukul. November 1997, Thukul meminta izin pulang ke Solo pada Linda dengan maksud menemui keluarganya.
Linda tak menyangka bahwa saat itulah terakhir kali ia akan berkontak dengan Thukul. Linda hanya mampu mengenang.
Desember 1997, Thukul secara diam-diam menemui Sipon dan kedua anaknya.
Awal Februari 1998, Sipon hanya bisa meyakini suaminya masih hidup lewat sehimpun suara di ujung telepon. Namun secara bersamaan, itulah kontak terakhir kalinya dengan Thukul.
Di masa pelarian suaminya itu, Sipon mengenang bahwa ia hanya bertemu beberapa kali. “Tidak bisa lama,” kata Sipon, “mirip kucing ditembak peluru.”
Situasi perjumpaan mereka pun terasa berat. Hanya lewat bahasa tubuhlah mereka saling melepas dan menangkap rasa kangen.
“Inginku ketemu langsung dan bisa enak, tapi nggak tahunya sulit.”
Mei 1998, Soeharto jatuh. Kerusuhan etnis merebak ke mana-mana. Bermula di Jakarta, lalu seperti api yang melantak kota tanpa rasa belas kasihan, menyebar ke segala arah. Situasi kemudian agak mereda. Tapi Thukul tak lekas kembali. Tak berbentuk suara. Tidak juga jasadnya. Thukul seakan tersesat dalam riuh rimba kekacauan itu.
Masa-masa kritis pun dimulai. Sipon sampai tak mengenal mana kawan mana lawan. Orang-orang di lingkaran aktivis suaminya saling melempar tanya: ke mana larinya Thukul?
Kawan-kawan suaminya mengira Sipon tahu–mungkin saja disembunyikan. Sipon mengira mereka malah yang lebih tahu. Ia bertanya ke teman-teman yang pernah bertemu dengan Thukul. Mungkinkah suaminya pernah sempat bersinggah ke tempat mereka? Kalau ya, lantas ke mana? Serupa dengannya, mereka pun tak tahu. Tak ada yang lebih tahu. Segalanya serba sumir.
Sementara di luar tanda-tanda kemunculan suaminya tak kunjung berbekas, di rumah, Sipon kebingungan harus berusaha menenteramkan kedua anaknya.
Ia berusaha memberikan apa saja yang diminta oleh anak-anaknya. Ia berusaha keras supaya mereka merasa tenang.
“Tapi kalau minta ketemu bapaknya,” ucap Sipon mengenang, “matilah aku.”
Suatu kali, Wani hanya diam membatu sepanjang hari. Sipon ingat betul Wani saat itu masih kelas dua sekolah dasar. Wani selalu bertingkah seperti itu jika ada sesuatu menggelisahkan hatinya. Karena bingung, Sipon menyuruh Wani menulis di kertas buku.
“Kamu tulis aja keinginan kamu apa, kalau itu akan bisa bantu, Ibu akan bantu.”
Wani ketiduran di atas halaman buku tulis yang baru selesai ditulisnya. Sigap Sipon membacanya. Rupanya, Wani teramat rindu bapaknya.
Dalam ingatan Sipon, tulisan itu berbunyi: Pak, kowe neng endhi, ora mulih-mulih. Aku pengen sinau karo kowe, aku pengen garep PR karo kowe. Pak, kowe ora mulih-mulih. Sesuk mulih yo, aku kangen, ibu kangen… (Pak, kamu di mana, tidak pulang-pulang. Aku ingin belajar sama bapak, aku ingin mengerjakan PR dengan bapak. Pak, kok tidak pulang-pulang. Besok pulang ya, aku rindu, ibu rindu…).
Sipon terhenyak. Ia menangis tersedu.
Tak ingin seterusnya berdiam menunggu, Sipon mencari lagi. Sekeras-kerasnya. Sesekali di simpang jalan ia terhenti, tapi itu hanya perhentian sementara. Sebab selanjutnya ia pun berpusing lagi. Menemui teman-teman yang pernah bersentuhan dengan kehidupan suaminya. Semua-muanya.
Ia telah menancapkan tekad, dan sebab itu ia bersikukuh, bahwa selama jasad suaminya belum terlihat dengan mata kepala telanjang sendiri, maka sepanjang itu pula pencariannya tetap tiada henti. Sekeras-kerasnya.
Namun Sipon tetap saja manusia. Ia memiliki keterbatasan. Seperti yang lain-lainnya. Seperti halnya Thukul. Suaminya berbadan kurus, ringkih, dan tak berotot. Tapi justru karena itulah Thukul melawan kaum penindas tidak lewat belulang kecil tersebut, melainkan dengan kata-kata. Penguasa kemudian takut. Terancam. Mereka marah. Lantas membungkam sesuara kebenaran; sesuara yang bernada lapar yang telah terkuras tandas buat mengganjal perut buncit kaum penindas.
Sebab tubuh Thukul kurus, dan ia amat mengerti keterbatasannya itu, maka perlawanannya lewat cara lain. Jalan lain. Semampu-mampunya. Tapi manusia tetap memiliki keterbatasan. Dan pada titik itulah Sipon terhenti. Bukan berarti ia menyerah. Sama sekali bukan! Hanya capai. Sangat capai.
la bilang, “Memang sulit untuk menemukan Thukul.” Kemudian dengan suara tertekan, ia melanjutkan, “Yah…, akhirnya aku kembali lagi. Apa ya…, ehmmm… pasrah ya. Aku harus pasrah dan mau menerima.”
Di rumah, anak-anaknya sudah mulai menyadari bahwa mereka juga bingung menemukan keberadaan ayahnya. Mereka bilang, “Udahlah, itu terserah ibu, tergantung ibu.”
Sipon agak lega mendengarnya, sebab alasan utama ia mencari-cari suaminya juga dikarenakan mereka.
April 2000, Sipon lalu melaporkan hilangnya Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Beberapa bulan kemudian KontraS mengumumkan bahwa Thukul termasuk korban praktik penghilangan orang yang dilakukan pemerintah rezim Orde Baru.
Inilah rupa-rupanya “politik penghilangan orang secara paksa”. Inilah kejahatan maha celaka. Inilah Crimes Against Humanity.
Thukul tertelan ke dalam pusarannya.
Sipon berkata, “Bayanganku, kalau dia masih hidup, mungkin dia sekarang jadi orang yang disembunyikan, atau dihormati atau dihargai, yang tidak bisa ke mana-mana. Terus apa mungkin dia jadi gelandangan yang harus menyamar jadi orang gila? Terus apakah dia memang benar-benar mati? Kadang aku nggak bisa inilah…, karena aku nggak tahu pasti.”
“Kepastian itu sulit,” kata Sipon kemudian, lirih.
Masa Perkenalan
Sipon anak kelima dari enam bersaudara. Ia mengenal Thukul sewaktu berteater. Kalau Thukul sempat bersekolah sampai kelas dua Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), sedang Sipon hanya mencicipi pendidikan sampai kelas lima sekolah dasar.
Mereka bertemu kali pertama di Sanggar Teater Jagad, pimpinan Cempe Lawu Warta di Kampung Jagalan. Mereka sama-sama anggota teater itu. Pertemuan tersebut diawali dalam suatu lokakarya teater di Pantai Glagah, Yogyakarta, yang diselenggarakan Emha Ainun Nadjib dan Halim HD.
Ada suatu sebab yang bikin Sipon kepincut hati dengan Thukul. Selain karena mereka sama-sama menyukai aktivitas membaca dan menonton teater, juga karena Sipon melihat Thukul punya cara lain dalam memandangi tiap persoalan.
Bagi Sipon, Thukul memiliki cara berpikir yang jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Ini terkait dengan puisi-puisi Thukul yang berisi sekumpulan gugatan buat penguasa. Bahwa teman-teman mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik, tukang parkir dan penarik becak, bukanlah karena perkara takdir semata, melainkan mereka bekerja seperti itu disebabkan pembagian ekonomi yang sangat tidak adil, sehingga menciptakan jurang teramat lebar antara golongan si miskin dan si kaya; semacam eksploitasi dan perampasan hak-hak kehidupan layak. Sementara penguasa makin getol saja menggelembungkan kekayaannya, rakyat banyak hidupnya malah kian tersisih.
Tentu saja, Thukul tidak sedang berteori. Ia merasakan sendiri kehidupan pahit sekaligus keras ini. Beragam puisinya adalah jeritan hatinya, fragmen kehidupan dari lingkungan sekitar.
Ia berpuisi bukan berdasar dari pengalaman melihat saja, melainkan ia merasakannya sendiri, menanggungnya sendiri. Puisi yang lahir dari tangannya berasal dari tubuh yang sakit. Tubuh yang diterjang penderitaan hidup dan hancur dikebiri oleh tangan jahat kaum penguasa.
Di sinilah Thukul sebagai seorang yang selalu gelisah. Pribadi yang getir ketika bersitentang dengan kesewenang-wenangan. Di sinilah Sipon masuk ke dalam kehidupan Thukul. Dan keduanya bersikap.
Untuk soal ini, Sipon mengenang dengan sebuah canda, “Mungkin aku menyalahi takdir ya, ha..ha..ha…”
Karena semasa pacaran dengan Thukul, Sipon kerap diingatkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Temannya pernah bilang, “Kamu jangan dekat-dekat dengan Thukul, kamu nanti menyesal.” Ia heran. Dalam batinnya, “Kok nggak boleh dekat sama Thukul. Thukul itu punya masalah apa?” Bahkan almarhum ayahnya, Atmojuhari, melarangnya untuk berhubungan.
Sipon tambah tidak mengerti. Pikirnya, “Lho, Thukul itu tidak ngapa-ngapain kok!”
Sampai suatu ketika Thukul melamar Sipon. Thukul bilang, “Maukah kamu jadi istriku?” Sipon tergeragap, “Oh, gila kamu! Kacau kamu!” Hingga beberapa bulan lamanya, Sipon tak menanggapi lamaran tersebut.
Lain waktu, saat sedang tidak punya pekerjaan, Thukul pernah berkata, “Aku itu sulit cari pekerjaan.”
Sipon lalu menanggapi, “Tidak ada yang sulit kalau ada niat. Kerja apapun bisa kalau ada niat.”
Thukul kemudian jadi tukang pelitur. la menunjukkan kerjaannya itu kepada Sipon. Sipon pun tambah kagum.
Ada peristiwa lucu yang bikin Sipon semakin bersimpati dengan Thukul. Waktu itu mereka tengah latihan teater. Cerita teaternya tentang raja-rajaan Jawa. Thukul yang jadi rajanya. Ia diharuskan untuk berteriak lantang. Padahal Thukul tidak bisa mengucapkan huruf ‘r’. Ia dikenal sebagai penyair cadel.
Teman-temannya kemudian mengisenginya. Sipon disuruh mendengarkannya dari jarak jauh. “Coba dengarkan. Kamu dengar nggak suaranya?” Sipon lihat Thukul di kejauhan bersusah-payah mengucapkan: “Akulah Raja Jawa… Akulah Raja Jawa…”
Melihat ini, Sipon menimpali ke temannya, “Gila! Dia bisa mati.”
Awak teater sudah istirahat, tapi Thukul masih saja berteriak-teriak. Timbul di benak Sipon rasa kasihan. Ia lantas menghampiri Thukul.
“Udah kita keluar aja. Kita makan ke manalah,” ajak Sipon. Lalu mereka makan di warung. Thukul merasakan sikap Sipon yang amat perhatian. Secara bersamaan, Sipon juga begitu kasihan dengan Thukul. Benih cinta pun kian berkembang.
Sipon mengenang, “Lama-lama aku kasihan. Karena setiap orang membenci dia. Setiap orang harus menjauhi dia. Mungkin di situ ya, karena kasihan itu, saya punya ehmmm… empati. Masak sih tidak boleh bergaul dengan Thukul?”
Ilustrasi: HIMMAH/Pandu Lazuardy P.
Akhirnya mereka menikah. Pada saat acara pernikahan itu, rupanya teman-teman Thukul yang seniman jalanan datang menghadiri. Mereka datang dari banyak tempat. Ada yang dari Solo, Klaten, dan yang paling banyak dari Yogyakarta. Kota-kota ini pernah Thukul sambangi sewaktu mengamenkan puisi-puisinya.
Sipon terperanjat alang-kepalang melihat teman-teman suaminya itu. Bukan karena mereka melakukan tindakan macam-macam, tapi karena penampilan mereka yang aneh-aneh.
“Ya…, pengamen Malioboro itu dua… teng semua ke sini pas mantenan itu,” aku Sipon tergelak.
Sesaat sebelum pernikahan, Atmojuhari memberi restu kepada Sipon. Merasa dulu bekas tentara pejuang, Atmojuhari amat paham soal aktivitas calon menantunya ini. Dirasa rentan bagi kehidupan keluarga anaknya di tengah kekuasaan model Orde Baru.
Atmojuhari berpesan, “Udah, ini pilihan kamu sendiri. Aku nglihat dari suamimu itu yang harus kuat kamu. Yang bisa memilih itu kamu. Kalau suamimu itu orang politik, kamu siap ditinggal pergi. Tapi kalau suamimu seorang seniman, kamu siap mempunyai suami sebagai orang gila.”
Sipon terperangah. “Mati! Padahal dua-duanya…”
Ia terngiang terus akan ucapan itu. Sipon agak bingung. “Wah ini dua-duanya…,” pikirnya, lagi. Ia lantas memberitahu pesan ayahnya itu kepada Thukul.
“Wah…, nggak lah, aku bukan siapa-siapa,” timpal Thukul singkat.
Hingga kini nasehat tersebut selalu diingat Sipon.
“Mungkin sampai mati pun aku ingat terus,” ucap Sipon.
Masa yang Terbelah
Sipon sungguh bahagia menjalin kehidupan rumah tangga bersama Thukul. Ia bangga punya suami seperti Thukul. Bangga bukan sebatas suaminya bisa membikin gerah kaum penguasa, namun sosok yang amat dikenalnya ini jika berada di tengah keluarga begitu penyayang, sangat pengertian, dan penyabar.
Bersama kedua anaknya, Sipon merasakan betul kasih sayang yang diberikan Thukul. Bagi Sipon, Thukul adalah suami yang baik, pengertian, dan bertanggungjawab kepada anak-anaknya. Karena itu, ketika Thukul jauh dari rumah semasa pelarian hingga perlahan-lahan menghilang tak tentu rimba, ia dan kedua anaknya sangatlah terpukul.
Benar-benar terpukul. Seperti ada palu hitam besar menggodam jantungnya. Melumat kehidupan yang telah ia bangun sedari lama tiba-tiba jatuh berkeping. Serasa dunia di selingkar kehidupannya menyempit, semakin menyempit, hingga sejenak ia tak bisa bernapas lega, sesaat ia tak mampu berpikir jernih.
Waktu kemudian terbelah: ada masa sebelum kehilangan, ada masa sesudah kehilangan. Namun kesemuanya menerbitkan ketidakwajaran. Menghujani segenap perasaan yang hambar dan sakit yang tak tertahan.
Sipon mencatatnya sebagai kenangan-kenangan.
la ingat betul, setiap kali Thukul pulang ke rumah setelah pergi berhari-hari ke suatu tempat yang ia sendiri kadang tak tahu benar untuk apa, selalu yang hadir di ambang pintu adalah sepotong pakaian kumal yang membungkus tubuh kurus suaminya itu.
Ia melihat Thukul begitu capai. Ia melihat pakaian yang melekat di sekujur tubuh suaminya dan pakaian lain yang dibawa dalam kepergian itu seperti berhari-hari saja tak pernah tersentuh air.
Dengan sigap dan ramah, Sipon lantas menyiapkan air panas dan menuangkannya ke dalam bak cucian yang sebelumnya telah terisi air dingin hingga air itu terasa hangat. Barulah kemudian ia merendam semua pakaian suaminya itu yang telah lama bersahabat dengan udara kotor di luar sana, agar kuman-kuman yang menempel di kain-kain pakaian itu lebih cepat terangkat.
Dengan cara yang sama pula, bak mandi yang berisi air hangat telah ia siapkan. Suaminya lantas mandi. Selesai membersihkan sekujur tubuh yang kotor, yang beraroma keringat bercampur daki, suaminya jatuh tertidur. Lelap sekali. Mirip orang yang tak mengenal nikmatnya tidur sekian lama.
Di sela-sela terjaga, suaminya tiada henti menulis. Isi tulisan-tulisan itu bercerita tentang penderitaan. Lewat tulisan itu, Sipon tahu ke mana saja suaminya pergi.
“Urip awak dhewe wis rekoso (hidup kita sendiri sudah susah), nulis penderitaan kayak gitu-gitu lagi,” pikir Sipon, separuh bercanda.
Di sela-sela tidurnya, Thukul lantas membagi pengalaman berpergiannya. Bercerita tentang penderitaan yang ia saksikan dan rasakan. Sipon tak tahan mendengarnya. Tubuhnya tak kuat ia gerakkan.
Suatu kali suaminya menangis kala bercerita itu.
Saat itu, lebih dari sebelumnya, Sipon melihat suaminya sangat capai. Sembari terisak di hadapannya, suaminya berkisah bahwa di pelosok sana ada banyak orang yang makan masih pakai garam dengan nasi jagung, banyak dari mereka yang tidak sekolah dan kekurangan makan, padahal jaman sudah merdeka. Dari kondisi yang diceritakan itu, Sipon paham. Bahwa penderitaan buruk yang dijumpai suaminya itu harus dimengerti setiap orang; bahwa pemerintah selama ini selalu berbohong di tiap siaran tiap pertemuan tentang Indonesia yang kaya raya.
“Dari situ,” ungkap Sipon, “suamiku sosial banget.”
Sewaktu Thukul memperoleh uang dari aktivitas berkesenian, meski tak seberapa, uang itu pun dipotong. Diberikan sebagian uang itu kepada Sipon. Thukul bilang jujur kepadanya, sebagian lagi akan digunakan buat membeli kertas bagi anak-anak, entah yang berada di sekitar lingkungan rumah maupun di tiap tempat yang jadi persinggahan aktivitasnya. Sipon senang mendengarnya. Karena ia nilai itu baik. Sebuah tindakan yang sangat mulia.
Rasa solidaritas Thukul itu tidak kemudian membuatnya lupa dengan rumah. Malahan dia rajin melakukan apa saja yang kiranya bisa meringankan beban dan menyenangkan hati Sipon. Padahal semasa masih lajang, Thukul pernah bilang tak ingin direpotkan pada urusan kerja-kerja rumah.
Kenyataannya, ketika telah menikah, Thukul dengan sangat murah hati membantu Sipon mencuci pakaian, menyapu dan membersihkan rumah, serta memandikan anak-anak.
Sipon bilang, “Aku enak punya suami dia.” Selanjutnya ia berucap, “Kita saling menghargai bahwa itu kewajiban kita.”
Suatu malam, di saat Sipon tengah mengandung Fajar, karena tahu kebiasaannya yang suka ngidam malam-malam, suaminya pergi diam-diam membeli makanan. Setelah dapat nasi angkringan dan segelas air hangat, Thukul kembali dan membangunkannya, lantas menyuruhnya untuk cepat makan.
Sipon pun lantas makan dengan kedua mata yang masih terpejam-pejam. Nasi angkringan, yang ukurannya cuma sekepal tangan dan terbungkus daun pisang, tanpa sambal. Padahal orang ngidam biasanya amat suka makanan pedas. Rupanya suaminya ini hati-hati sekali akan tiap makanan yang masuk ke perutnya, sebab hal itu bisa berpengaruh terhadap kondisi si janin.
Ini akhirnya berlanjut pada pembawaan si bayi. Kalau Fajar masih sering sakit-sakitan sampai usia kelas dua sekolah dasar. Kalau Wani, karena sempat lebih lama mencicipi kebersamaan dengan ayahnya dan waktu dulunya terbiasa dimanja, punya kekebalan tubuh yang agak rentan sampai sekarang. Terkena kesiur angin sedikit saja si sulung sudah menggigil dingin. Sedang bagi si bungsu, bepergian ke mana pun dengan naik bus dan digendong ibunya sambil mengayuh sepeda dijemur panas matahari, dirasa santai saja.
Anak-anak inilah yang sering di saat-saat tertentu ingin sangat bertemu dengan Thukul.
Semisal Desember menjelang perayaan natal. Mereka kerap mengajak ibunya untuk pergi ke mana saja asalkan nantinya mereka bisa berjumpa.
Maka, tiap Desember itu Sipon selalu bilang kepada anak-anaknya, “Kita nggak mungkin ketemu bapak lagi. Walaupun orang bilang bapakmu masih, bapakmu belum meninggal, tapi nggak jelas di mana dia. Kita harus menerima saja kenyataan ini, bahwa kita memang harus bisa mengerti, memahami….”
Sipon melanjutkan, “Kita hanya kita, tanpa bapak. Jadi hanya ada kamu dan aku. Aku ibumu, kamu anak-anakku.” Terkadang, ketika dalam kondisi kelelahan hebat yang amat berat, Sipon tak kuat memahami semua peristiwa yang menimpa suaminya.
Kenapa suaminya mesti diburu-buru? Kelakuan semacam apakah yang telah diperbuat? Kekuasan macam apa yang tega menyebabkan suaminya mesti berlari sejauh mungkin dari rumah?
Ia kenal sosok suaminya melalui sesuatu yang terasa dekat; sebuah kesan mendalam dari tindakan-tindakan sederhana yang tercipta di rumah. Dan tiba-tiba saja, seakan tanpa isyarat, ihwal semacam itu lenyap, hilang, menanggalkan bekas berupa lubang hitam yang menganga lebar di hatinya yang tak mungkin bisa terbayar tak dapat tertebus, bahkan meski lewat pergantian kekuasaan.
“Demi Allah, aku nggak ngerti. Yang aku tahu, aku adalah ibu rumah tangga. Suamiku aktivis. Seniman. Yang aku tahu gitu, karena aku kenal dia sudah seperti itu. Yang aku tahu dia baik di rumah.”
Sejatinya, Sipon harus melewati berbilang tahun untuk mencapai pada batas kesimpulan mengenai kekuasaan sekejam apakah yang menghilangkan suaminya. Keinginan seperti apakah yang diidam-idamkan Thukul.
Suatu hari sewaktu masih bersama, suaminya pernah ditangkap gara-gara menggelar acara kesenian yang isinya menggugat pemerintah. Sipon datang ke penjara untuk menjenguknya.
Batin Sipon, “Apa salah dia ditangkap?”
Jauh setelah kejadian itu, Sipon kemudian menyadari.
“Ternyata, setelah lama dan dipelajari sampai sekarang, saya tahu bahwa dia menginginkan sebuah demokrasi.”
Masa pelarian suaminya, yang dilanjutkan dengan masa kehilangan, hanya dipisahkan oleh sekeping pintu rumah. Sebuah rumah di mana Wani dan Fajar lahir, di mana anak-anak mengenali dunia kali pertama, dan di mana Sipon bersama Thukul menghidupi mereka dengan penuh ketekunan.
Keduanya menumbuhkan kesadaran pada mereka bahwa rumah adalah selasar tanah lahir, tempat yang menarik-narik si penghuninya agar bersicepat pulang ketika berada di luar.
Dalam puisi-puisi Thukul sewaktu ia jauh dari rumah, kesan kerinduannya akan tempat yang tetap itu terasa sekali. Ia sangat ingin untuk kembali, meski hanya sesaat. Kemewahan untuk jadi diri sendiri di sebuah masa kekuasaan yang penuh tipu daya rupanya amat mahal harganya. Menjadi diri sendiri adalah semacam tindakan subversi. Meski kemudian harus memakai baju dan celana lain, nama dan identitas lain, buku yang dibaca dan bahan percakapan lain, namun Thukul tetap menolak untuk patuh.
Sekeping pintu tak hanya sekadar pelengkap; satu dari rangkaian bagian yang menyusun sebuah tempat bernama rumah. la tidak hanya berfungsi sebagai pengusir udara jahat, debu jejalan, atau penghalang tetamu yang punya niat melukai si penghuni rumah. Sekeping pintu adalah juga pemisah; sesuatu yang menandakan mana yang privat dan yang publik.
Tetapi semua-muanya itu telah dihancurkan oleh sejenis hantu terkutuk bernama kekuasaan; kekuasaan yang bertabiat buruk melenyapkan warganya dengan cara mana suka, yang gemar mengontrol siapa saja atas dasar phobia, tak peduli dari orde apa saja.
Di titik inilah, saya ingin menyitir fragmen alegoris mengenai makna sebuah rumah; tentang pemahaman liris yang mengandung ironisitas yang amat banal antara kehidupan di dalam dan luar rumah.
Beginilah bunyinya:
“…dunia di dalam rumah dan dunia jalanan terpisah hanya oleh sekeping pintu… Sebuah rumah memungkinkan seseorang makan tanpa dilihat orang lain–dan makanan yang dimakan tanpa dilihat orang lain terasa enak, serta sanggup mengajarkan kebijaksanaan. Sebuah rumah memberi rasa aman dari keadaan yang tetap, memberi jaminan bahwa penghuninya selalu diterima oleh masyarakat… Sebaliknya: jalan. Jalan terasa sebagai sebuah dunia yang goyah, berbahaya, penuh kejadian, palsu bagaikan kaca–tempat suci umum untuk mencuci kain-kain semua penduduk yang terkotor.”
Saya mendapati rangkaian kalimat itu dari nobelis sastra asal Guatemala, Miguel Angel Asturias, melalui sebuah novelnya, El Senor Presidente. Novel ini diterjemahkan menjadi Tuan Presiden dari edisi bahasa Inggris, Mr. President, diterbitkan Pustaka Jaya, 1985.
Bagi saya, Asturias tidak sedang bermain-main dalam ruang hampa. Sebab, meski Tuan Presiden bercerita mengenai suatu negeri dari kawasan Amerika Latin yang diperintah seorang pemimpin diktatorian, namun ia bisa jadi anasir menarik bagi sebuah pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Seorang presiden yang gemar benar menguapkan sesuatu yang berbau menentang. Kaum oposisi diberangus, arus informasi warga diatur dengan membungkam suara kebebasan pers, lalu militer dibariskan rapat sembari memacak mata siaga di tiap tempat tiap wilayah.
Sementara itu ia membangun tembok kukuh di sekeliling kekuasaannya. Dan hanya kerabat juga menteri-menteri yang dipercaya olehnya saja yang boleh masuk ke lingkaran tersebut. Dari tempat semacam itu, bertahun-tahun lamanya, kekayaan dari hasil berkongsi serta menguras keringat jerih payah kaum papa ditimbun, bertumpuk-tumpuk, dan mirip kue dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan saudara, sejawat dan kenalan yang loyal.
Suami Sipon kemudian berpuisi:
jika kami bunga engkau adalah tembok tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur! (Bunga dan Tembok, Solo 87-88)
Orde Baru hancur, memang. Namun ia memakan korban. Amat banyak.
Mei 1998 itu, Soeharto limbung. Menyusun kekuatan militernya. Lalu lewat Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dipimpin menantunya, Prabowo Subianto, membentuk sebuah regu bernama Tim Mawar. Tim ini kemudian menculik orang-orang pro-demokrasi, sebagian lantas dilenyapkan, sebagian hilang tak berjejak.
Data KontraS menyebutkan, sepanjang periode 1997/98 setidaknya 23 orang telah diculik. Sembilan orang telah kembali, satu ditemukan meninggal, dan selebihnya dinyatakan hilang, termasuk Thukul.
Di akhir tahun 1998, Mahkamah Militer menggelar pengadilan militer untuk mengungkap kasus penculikan disertai penghilangan itu. Namun rupanya hanya perwira muda Kopassus saja yang diadili. Sementara perwira dari golongan elit, yang jelas-jelas merancang kebijakan membentuk Tim Mawar, melenggang seenaknya.
Muncullah kemudian Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang beranggota para jenderal, untuk menanggapi kesimpang-siuran itu. Tetapi kejadian berikutnya mereka dicopot dari jabatan dengan alasan yang tak jelas. Seolah-olah kejahatan terkutuk itu terjadi karena faktor kebetulan semata. Seakan-akan pelakunya hanya dilekatkan pada sekumpulan orang bernama “oknum”.
Kini telah dua pemilu tergelar, sudah tiga presiden berganti, dan telah banyak sederetan peristiwa penting politik yang berkejar-kejaran dalam rentang masa itu.
Pada pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan Abdurrahman Wahid lewat impeachment di parlemen, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terbentuk. KKR ini digunakan buat menyelesaikan beragam perkara kejahatan politik masa lalu. Bukannya disambut hangat, KKR ini malah memunculkan beragam tanggapan negatif. Karena dengan memakai KKR ini, sangat mungkin para aktor dan lembaga yang terlibat bisa terhindar dari kejahatannya. Rantai impunitas mudah saja terjadi.
Kata Sipon, “Setiap ada pengulangan baru akan ada korban baru. Ada pengulangan baru, ada korban baru. Selalu ada kayak gitu. Paling tidak kan saya melihat keseriusan mereka untuk menemukan, mencari fakta-fakta walaupun belum ditemukan.”
“Apa Mba Sipon tidak capai bercerita tentang suami Mba?” Tanya saya.
“Ya…, karena aku mikirnya kaya gini: jangan sampai mereka mengalami hal-hal seperti saya. Karena imbasnya, kalian sendiri. Karena kalau aku punya pengalaman kayak gini aku diam, aku malah nggak suka. Mungkin bisa juga orang lain yang nggak mau menceritakan itu, tapi kalau ada korban yang lain lagi, bagaimana? Kan lebih parah itu…”
Masa Bertahan dan Berusaha
Kini sudah tujuh tahun berlalu selepas Mei 1998. Belum banyak kemajuan berarti yang didapat. Sipon masih tetap berusaha mengetuk pintu-pintu keadilan.
Di rumahnya yang kecil di Kampung Kalasan, sebuah pemukiman padat di jantung Kota Solo, ia selalu berusaha, berusaha, dan berusaha.
la membuka usaha menjahit. la taburi kesehari-hariannya dengan menyibukkan diri lewat kerja. Ia melampiaskan kekesalan dan kegundahan serta rasa sakitnya lewat kerja. Ia memohon kepada Tuhan supaya selalu diberi pekerjaan dikasih kekuatan. la tak ingin kekecewaan terhadap orang-orang yang dirasa telah bikin hidupnya menunggu yang berlarut-larut itu berdampak pada kedua anaknya.
Ia bekerja untuk membiayai Wani dan Fajar. la masih punya tanggung jawab kepada mereka. Ia tak ingin terus-menerus diam dan menangisi sesuatu yang lewat. Ia kuatkan jiwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, minta bantuan untuk dibimbing, diarahkan, agar tidak selalu bingung dan bingung.
16 Desember 2004 silam, saat kami datang ke kediamannya, Sipon terlihat sering mengumbar tawa. Ia bercerita, berkisah, tentang kenangan-kenangan, tentang hari-hari lewat, tentang suatu masa yang terbelah, tentang waktu sebelum dan sesudah suaminya hilang.
Sesekali ucapannya mendadak terhenti. Sesekali melaju cepat. Sesekali sepasang matanya menerawang. Sesekali wajahnya lepas, berseri, lalu terhenti, dan ia kemudian tergelak-gelak.
Rumahnya kini diberi bilik dari kayu tipis, membagi ruangan depan dan dalam. Di ruangan depan itu kami berempat duduk di atas selembar karpet merah menutupi sebagian lantai bersemen.
Ada lukisan wajah suaminya terpasang menempel di tembok. Ada sosok suaminya berupa patung perunggu, pemberian pematung Dolorosa Sinaga, di atas meja kayu kecil di sudut ruangan.
Suaminya itu dipahat tengah menelengkan muka ke atas, dengan mulut terbuka, menatap lembaran kertas yang terpegang oleh salah satu tangannya dan tangan lainnya mengepalkan tinju ke udara. Seperti tengah memekik. Seperti tengah menggugat.
Lalu kursi-kursi merapat ke tembok di ruangan yang sempit itu. Lalu seperangkat alat jahit terpacak kaku membelakangi pintu rumah yang terbuka lebar itu. Ada gundukan kain-kain bekas jahitan dekat pintu, di muka lorong, di mana rak buku memanjang berdiri di dinding lorong tersebut.
Buku-buku yang berderet dan berserak itulah salah satu benda istimewa Thukul.
Kenangan-kenangan bergulir. Kenangan-kenangan mengendap. Kenangan-kenangan melekat di tiap-tiap benda di rumah itu.
Tujuh tahun berlalu? Itu masih bisa dihitung jari, bukan?!
Penulis: HIMMAH/SF. Salam
Reporter: HIMMAH/Nugroho Nurcahyo, Tri Atika Wijaya, dan Adhitya Awan
Pengalih media: HIMMAH/Zalsa Satyo Putri Utomo dan Pranoto
Himmah Online – Menurut laman indonesiabaik.id, ujaran kebencian diartikan sebagai tindakan berkomunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, dan penghinaan yang ditujukkan kepada suatu individu ataupun kelompok lain.
Praktik ini sebetulnya bukan hal baru. Akan tetapi menjadi semakin masif seiring dengan bertambah cepatnya perkembangan teknologi digital. Praktik ujaran kebencian di ranah digital kerap terjadi di media sosial.
Gawai yang semakin canggih dan penetrasi internet ke banyak daerah, namun tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang baik, menjadi salah satu penyebab maraknya praktik ujaran kebencian di ranah digital.
Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, organisasi yang berfokus pada upaya memperjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara, membagi praktik serangan di ranah digital menjadi dua jenis. Yakni praktik serangan kasar dan serangan halus.
Praktik serangan kasar dapat berupa peretasan, penyadapan secara ilegal, maupun pengawasan tanpa izin. Sementara praktik serangan halus contohnya seperti pengungkapan identitas pribadi tanpa persetujuan untuk menjatuhkan (doxing), komentar secara membabi buta (trolling), dan ujaran kebencian (hate speech).
Terdapat beberapa aspek yang mendorong terjadinya ujaran kebencian. Seperti politik identitas, isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), disabilitas atau orientasi seksual seseorang.
Susan Benesch dalam laporan Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya menuturkan, jika suatu ujaran membuat orang lain terinspirasi untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang ataupun kelompok lain, maka ujaran kebencian tersebut berhasil dilakukan.
Dalam pendapat ahli yang lain di laporan yang sama, Brink menyebutkan bahwa ujaran kebencian lebih buruk dari sekadar pernyataan yang bersifat diskriminatif. Yaitu sang pengirim hate speech memakai simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena memiliki hubungan dengan kelompok tertentu. Penghinaan tersebut sebagai bentuk ekspresi agar korban mengalami kesengsaraan secara psikologis.
Melansir kanal okezone.com, Dedy Permadi selaku Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) menuturkan bahwa sejak tahun 2018 hingga awal tahun 2021 Kominfo telah melakukan pemutusan akses atau takedown terhadap 3.640 konten yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Menurut laporan Ujaran Kebencian di Ranah Digital: Korban, Pelaku, dan Metode Penanganan yang diterbitkan SAFEnet, saat ini ujaran kebencian masih belum menjadi kesadaran bersama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyebaran informasi terkait bahaya ujaran kebencian belum merata (edukasi); minimnya orang yang mau melakukan pencegahan ujaran kebencian (keterlibatan); dan minimnya orang yang mau merancang lebih banyak inisiatif warga untuk meredam ujaran kebencian (kepemilikan terhadap sebuah isu).
Selain itu, Pipit Djatma, Fundraiser Consultant & Psychosocial Activist IBU Foundation, dikutip dari industry.co.id, menyebutkan dampak dari ujaran kebencian kepada para korban adalah mendapatkan diskriminasi dari masyarakat, hilangnya nyawa atau keinginan bunuh diri dari korban, terjadi kekerasan, konflik sosial antar masyarakat, sanksi sosial hingga berujung rasa malu, hingga hilangnya reputasi baik.
Guna mencegah diri sendiri menulis ujaran kebencian di media sosial, setiap orang harus mengerti tentang bagaimana beretika di ranah digital. Seperti menyadari bahwa manusia tidak hidup sendirian, berpikir dulu sebelum menulis komentar, menggunakan bahasa yang baik, menggunakan media sosial untuk berbagi kebaikan, tidak mengganggu privasi orang lain, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan yang terakhir berusaha memaafkan kesalahan orang lain.
Indriyanto Seno Adji dalam Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya juga menyebutkan salah satu cara untuk menghentikan ujaran kebencian adalah dengan mengembangkan budaya toleransi sebagai bentuk pencegahan dan melalui instrumen peraturan pemerintah.
Senada dengan itu, dijelaskan dalam penelitian SAFEnet bahwa cukup banyak cara yang efektif untuk mencegah ujaran kebencian dari masing-masing daerah. Salah satunya menyesuaikan turunan peraturan pemerintah pusat ke daerah dengan konteks lokal dengan melibatkan semua pihak, terutama kelompok-kelompok yang kesulitan mendapatkan akses.
Robert Kiyosaki mengawali buku Rich Dad Poor Dad yang pertama kali ia tulis pada tahun 1997 tersebut dengan menceritakan dua sosok ayah dengan pemikiran dan latar belakang yang berbeda.
Ayah pertama adalah ayah kandungnya sendiri, disebut sebagai ayah miskin (poor dad). Ayah miskin adalah seseorang yang berpendidikan tinggi, memiliki gelar Ph.D, dan bekerja di kantor pemerintahan. Namun, memiliki masalah finansial.
Sedangkan ayah kedua adalah ayah dari temannya bernama Mike, yang disebut sebagai ayah kaya (rich dad). Berbeda dengan ayah miskin, ayah kaya tidak pernah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Tetapi berprofesi sebagai seorang entrepreneur.
Pada bagian pendahuluan, Robert menuliskan alasan orang kaya makin kaya dan kelas menengah terjebak dalam hutang. Singkatnya, hal ini disebabkan oleh cara pandang mereka tentang uang dan literasi finansial yang minim.
Semakin dalam membaca, terdapat beberapa hal yang dapat dipetik dari perbedaan mindset ayah kayadan ayah miskin.
Pertama, ayah miskin mengatakan bahwa Robert harus belajar dengan giat dan memperoleh nilai tinggi di sekolah agar mendapatkan pekerjaan yang bagus. Sama seperti pola pikir orang pada umumnya, bekerja untuk mendapatkan uang.
Ayah kaya setuju bahwa sekolah itu penting. Namun, yang lebih penting bukanlah memperoleh nilai tinggi melainkan pelajaran yang diperoleh. Singkatnya, pelajaran dari ayah kaya yang ingin disampaikan adalah seharusnya uang yang bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuk uang.
Kedua, menurut ayah kaya rumah adalah beban. Sedangkan menurut ayah miskin, rumah adalah aset berharga.
Orang kaya membeli aset, sedangkan orang miskin hanya membeli beban pengeluaran, dan orang kelas menengah membeli beban yang dikira aset.
Meskipun harga rumah akan terus naik, tetapi rumah membutuhkan banyak pengeluaran untuk perawatan, pajak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, menurut ayah kaya rumah adalah beban.
Bagi ayah kaya aset adalah saham, obligasi, bisnis yang berjalan sendiri. Karena aset adalah sesuatu yang menghasilkan uang tanpa butuh pengeluaran berkala.
Ketiga, ayah miskin menyuruh Robert untuk menabung sedangkan ayah kaya menyuruhnya untuk berinvestasi.
Keempat, saat kondisi sulit ayah miskin selalu berpikiran “Saya tidak mampu mencapainya”. Sedangkan ayah kaya selalu berpikir “Bagaimana saya mampu mencapainya”.
Kelima, menurut ayah miskin anak adalah sebab ia tidak memiliki uang. Sedangkan menurut ayah kaya, karena anaklah ia memiliki uang.
Pada bagian terakhir buku ini Robert menyimpulkan bahwa orang miskin dan menengah bekerja untuk uang. Sedangkan orang kaya mempunyai uang yang bekerja untuk mereka.
Ia berpandangan dan menyarankan pembaca untuk memulai berbisnis dan keluarlah dari rat race. Atau kehidupan tanpa tujuan yang jelas, hanya bekerja terus menerus untuk menutupi kebutuhan tanpa sempat menggandakannya.
Robert juga menyebutkan lima rintangan yang akan dihadapi oleh seseorang untuk menjadi kaya.
Rintangan pertama adalah sinisme atau memikirkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. Seperti “Bagaimana jika ini…, bagaimana jika itu…”.
Rintangan kedua adalah kemalasan, seringkali kita berkata pada diri sendiri bahwa “Saya tidak mampu untuk mencapainya”. Hal ini yang membuat kita terlena dan akhirnya malas untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Rintangan ketiga adalah sikap boros. Kebiasaan menghambur-hamburkan uang akan menjadikan kita miskin.
Keempat adalah kesombongan. Seseorang yang memiliki sifat sombong tidak akan pernah maju karena dia menganggap dirinya tidak perlu lagi untuk belajar.
Dan rintangan kelima adalah rasa takut. Seseorang yang takut kehilangan uangnya tidak akan berani untuk memulai investasi.
Pada halaman terakhir buku ini, Robert juga berpesan untuk “Mulailah berfikir untuk mengambil risiko yang akan membawa anda kepada kemenangan, yaitu menjadi lebih kaya dan memiliki lebih banyak uang dibandingkan apa yang telah anda miliki sekarang. Jangan biarkan rasa takut menguasai diri anda”.
Buku ini ditulis dengan gaya yang menarik dengan disertai ilustrasi contoh sederhana. Hal tersebut membuat pembaca cepat mengerti tentang dasar-dasar keuangan yang disampaikan oleh penulis.
Untuk pembaca yang ingin mengetahui hal tentang dunia investasi lebih dalam akan sedikit kecewa. Sebab buku ini tidak memberikan banyak contoh atau jenis investasi yang cocok untuk menambah investasi, mengetahui kiat-kiat berinvestasi, menanam saham, atau menghasilkan passive income.
Akan tetapi, jika pembaca mencari tahu bagaimana cara agar cerdas secara finansial, buku ini jawabannya. Buku ini dilengkapi dengan komponen kunci IQ finansial dan langkah-langkah untuk membangkitkan keahlian finansial.
Selain menambah wawasan mengenai literasi finansial, buku ini juga mampu mengubah cara pandang terhadap uang dan mengatur keuangan pribadi. Saya jadi tahu pentingnya pendidikan keuangan, yang mana hal itu tidak saya dapatkan di bangku sekolah. Membuat lebih tertarik akan dunia investasi. Lalu mulai memahami perbedaan antara aset dan liabilitas. Hingga bisa memahami perbedaan cara pandangan orang kaya, orang menengah, dan orang miskin menurut Robert T. Kiyosaki.
Pada akhirnya, buku ini direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan. Sebab, perencanaan keuangan perlu dilakukan oleh siapapun. Selamat membaca!