Beranda blog Halaman 17

Syawalan Warga dan Peringati Hari Lahir Ke-17 PPL-KP: Terus Tumbuh dan Melawan

Salah satu poster bertuliskan "Jaga Ibu Bumi, Tolak Tambang Emas Trenggalek" dipasang di Desa Gupit, Pedukuhan IV, Karang Sewu, Galur, Kulon Progo dalam rangka memperingati Hari Lahir dan Syawalan Warga Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) ke-17 pada Minggu (7/5). Foto: Himmah/Galuh Nugraheni Hana Pratiwi.
Supriyadi (58), selaku koordinator dalam acara PPLP-KP ke-17 melakukan pemotongan tumpeng dan memberikan kepada perwakilan generasi muda Desa Gupit, Pedukuhan IV, Karang Sewu, Galur, Kulon Progo pada Minggu (7/5). Foto: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri

Perwakilan dari generasi muda Desa Gupit memakan sepiring nasi tumpeng yang telah diberikan oleh Supriyadi (58) pada Minggu (7/5). Foto: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Didi (39), selaku pembaca Surat Keramat membacakan rilis pers di depan awak media dalam rangkaian acara PPLP-KP ke-17 pada Minggu (7/5). Foto: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Warga Desa Gupit, Pedukuhan IV, Karang Sewu, Galur, Kulon Progo antusias dalam mengambil hasil bumi yang ada di gunungan pada Minggu (7/5). Foto: Himmah/Galuh Nugraheni Hana Pratiwi
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Salah satu warga Desa Gupit, Pedukuhan IV, Karang Sewu, Galur, Kulon Progo mendapatkan hasil bumi dari gunungan dalam acara PPLP-KP ke-17 pada Minggu (7/5).Foto: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri

Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja

Montaba (23), selaku koordinator lapangan dalam aksi tolak UU Cipta Kerja dari Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi, berorasi di depan gedung DPRD Provinsi DIY pada Senin (17/4). Foto : Himmah/Muhammad Mufeed Al Bareeq

Bendera Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) dibentangkan oleh beberapa massa aksi di Gedung DPRD Provinsi DIY pada Senin (17/4). Foto: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Perwakilan orang tua korban salah tangkap dan rekayasa kasus klitih Gedongkuning melakukan orasi terkait peringatan satu tahun anak mereka ditangkap di depan gedung DPRD Provinsi DIY pada Senin (17/4). Foto: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Salah satu massa aksi membawa poster bertuliskan “CABUT PERPU CIPTA KERJA TURUNKAN BBM” pada Senin (17/4) dalam longmars dari gedung DPRD Provinsi DIY menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Foto: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Massa aksi melanjutkan aksi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta setelah melakukan aksi di gedung DPRD DIY pada Senin (17/4). Foto: Himmah/ Muhammad Mufeed Al Bareeq

Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta: Tolak UU Cipta Kerja Hingga Tak Lagi Percaya Pemerintah

Himmah Online, Yogyakarta — Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta bersama Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, melakukan aksi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Senin (17/04). Aksi tersebut dimulai dengan longmars dari Taman Parkir Abu Bakar Ali, Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Aksi dengan tajuk “Perkuat Persatuan, Rebut Kedaulatan Rakyat, dan Cabut UU Cipta Kerja” ini melayangkan 20 tuntutan. Salah satunya pencabutan UU Cipta Kerja, di mana keterlibatan partisipasi masyarakat dalam regulasi tersebut dianggap minim dan dapat merugikan masyarakat.

Becky (23) selaku perwakilan dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta, mengatakan bahwa apabila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja dijadikan UU Cipta kerja, maka dinilai akan merugikan dan tidak berpihak pada buruh serta rakyat.

“Banyak yang kerja lembur tanpa dibayar, di-PHK secara sepihak, ada pasal-pasal yang mengatur tentang cuti hamil dan cuti melahirkan, tapi itu tidak direalisasikan,” ujar Becky.

Hal lain yang dapat merugikan buruh dan rakyat, menurut pemaparan Becky, adalah penambahan jam kerja yang pada awalnya 8 jam per hari selama 5 hari dalam seminggu, menjadi 6 hari dalam seminggu.

“Itu 6 hari kerja dengan UMR yang segitu dan bahkan UMR juga tidak ada peraturan yang benar-benar secara eksplisit mengatur itu dengan baik,” tegas  Becky.

Montaba (23) selaku koordinator lapangan dalam aksi ini mengatakan bahwa di dalam UU Cipta Kerja juga membahas terkait dengan bank tanah, dimana itu terhubung langsung dengan reforma agraria Joko Widodo (Jokowi) yang sarat dengan hutang.

“Nah, di dalamnya mengatur bahwa bank tanah ini bertugas bagaimana mengkonsolidasi tanah-tanah untuk kepentingan investasi,” ujar Montaba.

Montaba juga menambahkan bahwa apabila aturan tersebut dimuat, maka akan mempermudah korporasi ataupun berbagai investasi mengambil alih fungsi lahan rakyat. Alih-alih reforma agraria Jokowi yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan agraria, ternyata hal tersebut tidak tercapai.

“Justru yang terjadi adalah perampasan tanah dan ketimpangan struktur permasalahan tanah makin menajam, dan kemiskinan secara struktural juga terjadi di pedesaan,” tutur Montaba.

Becky juga mengatakan bahwa Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta meyakinkan perjuangan aksi ini akan menempuh waktu jangka panjang–melakukan konsolidasi lanjutan, diskusi, dan melakukan aksi kembali pada Hari Buruh Internasional.

“Nah, di sini kita ada aksi hari ini dan kemudian besok di akhir bulan itu akan mengadakan kegiatan, seperti konsolidasi lanjutan untuk menuju Hari Buruh Sedunia dan juga Hari Pendidikan Nasional,” ujar Becky.

Senada dengan Becky, Montaba juga mengatakan gerakan ini akan berkelanjutan sampai lingkup nasional mulai dari Sumatera, Jakarta, hingga Sulawesi.

“Targetnya adalah melakukan pembangkangan sipil atas protes dan tidak percaya terhadap kekuasaan,” tegas Montaba.

Di samping melakukan aksi tolak UU Cipta Kerja, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta juga membawa isu-isu genting lainnya, seperti korban salah tangkap kasus klitih di Gedongkuning, hak menentukan nasib sendiri di West Papua, UU Minerba, dan isu lainnya yang masih berkaitan dengan UU Cipta Kerja, seperti Reforma Agraria Sejati ala Jokowi.

Terlepas dari berbagai tuntutan tersebut, Becky berharap masyarakat dalam aksi ini dapat bersatu dan melawan pemerintah.

“Misalnya pemerintah, mereka itu hanya 1 persen dan menindas seluruh masyarakat yang 99 persen ini. Kami ingin mengabarkan kepada masyarakat bahwa kita 99 persen ini, bisa merebut kekuasaan ketika kita bersatu dan mengguling kekuasaan itu,” jelas Becky.

Reporter: Himmah/Muhammad Mufeed Al Bareeq, Mutiara Alya Adifa, Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Jihan Nabilah

Ampas Kopi Pengintip Takdir

0

Malam itu, aku dan dua temanku, seperti biasanya, duduk takzim di hadapan tiga cangkir kopi hitam, sepiring pisang goreng, dan tiga buah ponsel pintar. Tak ada percakapan penting selain umpatan kekalahan. Kondisi semacam ini akan berakhir kala gelas-gelas kaca di depan kami hanya menyisakan ampas, notif lowbatt, dan pemilik warkop yang mulai beres-beres tanpa kalimat pengusir. Sebelum beranjak, kusempatkan untuk bermain-main dengan ampas kopi di depanku. Dipersenjatai jari telunjuk dengan ampas kopi sebagai tintanya, iseng saja kubuat gambar sesukaku—semacam lukisan pasir, namun ini lukisan ampas kopi. Malam itu kubentuk segitiga, asap, dan letusan.

Salah seorang temanku berkomentar, “Lumayan juga hasil kreasimu, tapi serem sih.”

Aku hanya terkekeh pelan. Malam telah berganti menjadi ‘dini’ dan sunyi, seakan menyimpan sebuah misteri yang baru akan diketahui esok hari. 

***

Kontrakan mendadak gempar gegara celoteh samar teman-temanku yang membuat perdebatanku dengan Plato tentang Teori Imitasi terganggu. Ketika aku keluar dari kamar, salah seorang temanku langsung berteriak, “Nah, ini dia Si Pengintip Masa Depan.” Kondisi setengah sadar membuatku tidak bisa mencerna dengan baik kalimatnya.

“Tadi malam kau telah mengintip masa depan lewat lukisanmu dengan ampas kopi di atas lepek,” jelas temanku yang sepertinya sadar atas kebingunganku.

Aaahhh, aku masih ngantuk dan jangan ganggu mimpi berkelasku dengan ocehan aneh kalian,” selorohku.

“Lihat ini, kawan!,” ucap temanku yang lain sambil menunjukkan berita dari ponsel pintarnya. Dari layar ponsel pintar itu tertulis: Gunung Tangkuban Perahu Kembali Erupsi di Hari Rabu, 4 September 2019. Kantukku buyar, hatiku ambyar, dan pikiranku gusar. Bukankah tadi malam hanya sebuah bentuk keisengan? Tak lebih dari kegabutan seorang mahasiswa yang sedang menunggu teman-temannya selesai menunaikan kewajiban sebagai seorang pembeli terhadap penjual. Aku harus menyingkirkan dugaan-dugaan irasional tentang ampas kopi. Aku yakin itu hanya sebuah kebetulan dan bukan sebuah kemampuan.

***

Tahun telah berganti dan kejadian mengintip masa depan berlalu, begitu saja digerus oleh waktu. Aku memutuskan untuk tak bermain-main lagi dengan ampas kopi. Mungkin aku memang takut, tapi setidaknya itu bisa menghilangkan kegusaran hatiku. 

“Semenjak erupsi Gunung Tangkuban Perahu, tak kulihat kau melukis dengan ampas kopi lagi. Mengapa? Kau takut? Jangan kau pikirkan sebutan Si Pengintip Masa Depan, kami hanya bergurau. Kami percaya itu hanya sebuah kebetulan belaka,” kata salah satu temanku memecah keheningan di warkop langganan kami.

Sindiran temanku ada benarnya juga. Jika memang aku yakin bahwa itu hanyalah kebetulan, mengapa aku harus menghindarinya? Dengan menghindar, justru menunjukkan bahwa aku memang merasa mampu mengintip masa depan. Baiklah, setelah kopi ini habis, aku akan bermain-main lagi dengan ampas kopi. Tak ada lagi acara kabur-kaburan.

Di penghujung malam, kulihat gelasku hanya menyisakan ampas. Saatnya aku bertugas. Kubentuk lukisan kartun dalam wujud lingkaran-lingkaran kecil dengan duri-duri tumpul yang mengelilingi tubuhnya. Sekilas seperti bola mainan anak-anak yang bertekstur lunak, dipenuhi rambut, dan juga bisa menyala sambil mengeluarkan suara. Bulatan-bulatan kecil itu kuberi mata terbuka dan mulut menganga serta bersanding dengan para manusia. 

“Kau berbakat melukis dengan ampas kopi, kawan,” puji temanku. Kali ini aku yakin kreasiku tak akan menjadi kenyataan. Memang ada bulatan-bulatan kecil seperti itu yang bisa hidup dan bersanding dengan manusia?

***

Selang beberapa minggu, kontrakan kembali gempar. “Apa kubilang, dia itu memang bisa mengintip masa depan,” kata temanku sedikit berteriak yang terdengar hingga kamarku. Suaranya mengganggu ritualku melihat cuplikan menyayat hati skala internasional ketika Luffy kehilangan Ace di depan matanya sendiri. Keributan itu berhasil memancingku keluar dari kamar yang langsung disambut keroyokan teman-teman kontrakan yang berebut menunjukkan berita dari ponsel pintar mereka. Kubaca dengan teliti judul beritanya, tentang virus yang sedang menyerang salah satu Negara besar di Asia. Aku mengernyitkan dahi, apa hubungannya virus ini denganku? 

Seorang temanku yang lain berganti menunjukkan sebuah ilustrasi tentang wujud virus tersebut. Kini aku tak bisa berkata-kata lagi. Wujud virus dalam ilustrasi tersebut sama persis dengan lingkaran-lingkaran kecil yang kubentuk lewat ampas kopi beberapa minggu yang lalu. 

Aku tidak tahu apakah virus itu berbahaya atau tidak. Aku tidak tahu apakah virus itu akan berkunjung ke Indonesia atau tidak. Satu hal yang aku tahu, lagi-lagi ampas kopi kreasiku berhasil mengintip masa depan. Kabar buruknya lagi, teman-teman kontrakan benar-benar percaya dengan ampas kopiku—tak butuh waktu lama untuk menyebar ke seluruh penjuru kampus. Salah seorang temanku bahkan rela menjadi abdi-ku asalkan diterawang masa depannya. Kali ini apa lagi? Nasib dunia, manusia, dan sejenisnya apakah ditentukan hanya dari sebuah ampas kopi?

***

Hari-hari selanjutnya kugunakan untuk membuat solusi atas fenomena virus dari ampas kopi yang kubentuk. Sialnya, tak ada satu pun lukisan yang terbentuk. Hanya ceceran ampas kopi yang berserakan di atas lepek seperti kombinasi warna kulit sapi perah. Setiap berkunjung ke warkop, tak ada lagi sensasi nikmat menyeruput kopi, sebab buru-buru kuhabiskan bak meminum sirup agar bisa segera berkutat dengan ampasnya. Mungkin aku satu-satunya manusia yang membeli kopi untuk menikmati ampasnya, bukan airnya. Hasilnya tetap sama, aku seperti kehilangan sentuhan magis

Hingga di hari ke-21 pasca berita virus yang menyerang salah satu Negara besar Asia itu, datang salah seorang teman kelasku di kampus ke warkop langganan kami dengan mata sembab. Ia bercerita bahwa gadis cantik —bahkan paling cantik di kampus—yang ia cintai selama ini menolaknya mentah-mentah dengan alasan ia memiliki wajah yang biasa-biasa saja. Rasa cinta membuatnya lupa arti luka, hingga ia rela tetap menanggung derita dengan mencintainya. Ia percaya bahwa kelak gadis pujaannya tersebut akan mencintainya dengan tulus apa adanya seperti kisah-kisah di FTV tentang seorang gadis cantik kaya raya yang jatuh cinta pada seorang laki-laki yang biasa-biasa saja. 

Ia memohon kepadaku agar aku mengintip masa depannya dengan si gadis pujaan hatinya, apakah mereka akan berjodoh atau tidak. Melihat betapa merana wajahnya, tak tega aku untuk menolak permintaannya, meskipun aku tak yakin akan berhasil membuatnya. Akhirnya, kucoba lagi bermain-main dengan ampas kopi dan anehnya kali ini berhasil. Terbentuk sebuah siluet seorang laki-laki yang bergandengan tangan dengan seorang wanita. Seketika temanku langsung meloncat kegirangan dan berkata, “Sepertinya alam dan seisinya telah sepakat untuk membuatku dan dia tetap terikat hingga akhir hayat.”

***

Gegara ampas kopiku—yang aku sendiri tak pernah tahu apa maksudnya—temanku mulai sesumbar bahwa gadis tercantik di kampus akan menjadi istrinya. Perempuan-perempuan yang dulu menghinanya, ia hina balik. Setiap gadis yang bertemu dengannya, akan mendapatkan kultum bahwa setiap gadis tidak boleh meremehkan seorang lelaki yang biasa-biasa saja. 

Sayangnya, sesumbar hanya berlangsung selama sebulan kurang sehari. Sesumbar itu kabur tak berkabar saat sebuah undangan pernikahan antara si gadis pujaan hatinya dengan salah satu dosen di kampus tersebut, mendarat di tangannya dengan selamat. 

Aahh, baiklah. Lupakan tentang solusi virus dari sebuah ampas. Lupakan tentang ampas kopi yang bisa mengintip takdir. Terlalu naif menggantungkan urusan kehidupan hanya dari seampas kopi. 

Takjilan Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe

Suasana maghrib di Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Sabtu (08/04). Foto : Himmah/Muhammad Fahrur Rozi

Hidangan soto ayam sebagai menu buka puasa Ramadan di Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Sabtu (08/04). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi 

Takmir masjid membagikan hidangan berbuka untuk  jemaah Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Sabtu (08/04). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi 

 

Himmah Online, Yogyakarta – Gapura Paduraksa—gapura dengan atap tertutup serupa Pura—menandai kami telah memasuki komplek Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Sabtu (08/04).

Melansir Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe adalah masjid tertua di Yogyakarta yang mulai dibangun pada era Panembahan Senopati, tahun 1578 Masehi. Masjid ini menjadi saksi perkembangan Islam di Yogyakarta, khususnya, dan di pulau Jawa, umumnya.

Kehadiran kami di Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe disambut oleh Siti Jasmaniah (70), Takmir Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe, tak lupa dengan suguhan teh manis hangat dan tiga buah kurma untuk takjil berbuka. Saat itu, jemaah sudah ramai duduk di emperan masjid mengikuti tausiah yang dimulai pada pukul 17.00 WIB sampai menjelang azan maghrib berkumandang.

Perempuan yang sudah 10 tahun menjadi takmir masjid itu menjelaskan, setelah sholat maghrib berjamaah akan ada buka bersama dengan menu yang disediakan oleh Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe, “Njuk nanti makan buka sekalian di sini,” tandasnya.

Tradisi buka bersama atau yang biasa masyarakat sebut “takjilan” ini dilakukan satu bulan penuh di bulan Ramadan, dengan jumlah 250-an porsi untuk tiap harinya, “Sejak hari pertama kemarin kami menyediakan sekitar 250 porsi. Ya sekitar itulah, 250 atau 225 porsi,” jelas Siti.

Jemaah yang datang untuk ikut berbuka, pun tidak hanya dari masyarakat sekitar masjid atau dari kabupaten Bantul. Ada beberapa jemaah yang kami temui memang sengaja mampir untuk menikmati suasana buka bersama. Selain itu, terdapat juga jemaah yang berkunjung setelah mereka berziarah di makam raja-raja Mataram, karena memang Masjid Gedhe Mataram Kotagedhe satu kawasan dengan makam raja-raja Mataram. 

Setelah buka bersama, satu persatu jemaah meninggalkan kawasan masjid. Tidak sedikit juga jemaah yang menunggu azan Isya dengan bertadarus Al-quran. 

Narasi : Himmah/Nawang Wulan

Editor Narasi : Aria Chandra Prakosa

Foto : Himmah/Muhammad Fahrur Rozi & Nawang Wulan 

Ia yang Terlupakan

*Naskah “Ia yang Terlupakan” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH No. 01/Thn.XXXIV/2002. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini berbarengan dengan wafatnya Sutan Sjahrir pada hari ini, di tahun 1996. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.


Ada tiga tokoh yang biasa disebut triumvirat – pendiri bangsa ini. Selain Soekarno-Hatta, masih ada Sutan Sjahrir. Namun, sejarahnya telah banyak terlupakan.

Pemuda yang lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang – Bumiputera dari Hoofd, Djaksa Mohammad Rasjad, gelar Maharaja Sutan. Dialah Sutan Sjahrir.

Sjahrir menimba ilmu di Europese Lagere School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan – Sekolah Menengahnya dihabiskan di AMS Bandung. Kemudian, tahun 1929 ia berangkat ke negeri Belanda untuk belajar ilmu hukum di Leiden. 

“Namun, ia sekolah tidak sampai lulus karena suara negerinya begitu kuat memanggil jiwanya,” kata P. J. Suwarno, ahli sejarah Universitas Sanata Dharma, kepada Dian Dwi Kurniawati, dari LPM Himmah.

Di Belanda, Sjahrir mempersunting permaisuri, Maria Duchateau – gadis jelita warga Belanda. Walaupun akhirnya harus putus di tengah jalan tanpa memperoleh satu pun keturunan. Tahun 1951 ia ke Kairo dan menikahi Siti Wahjuni Poppy Saleh S.H., putri dr. Saleh Manundiningrat dari Solo. Mereka dianugerahi dua anak, Krya Arsjah dan Siti Rabijah Parvati. Istri kedua inilah yang menemani hingga kematiannya. 

Pernikahannya disaksikan Rektor Universitas Al Azhar – orang Mesir yang telah menikahkannya dan secara kebetulan juga orang yang menutup peti mati jenazahnya di Zurich, Swiss – 9 April 1966 pukul 07.31 waktu setempat. Sjahrir wafat karena serangan stroke dan hipertensi. Sakitnya diperparah karena kekecewaannya terhadap bangsa ini – menjadi tahanan politik teman sendiri, rezim presiden Soekarno, dan kekecewaannya terhadap bungkamnya kaum terpelajar terhadap politisasi UUD 1945.

Kembali dan bergerak dalam masa belajar di Belanda, ternyata sangat berpengaruh pada pandangan-pandangan hidupnya. Di negeri inilah ia belajar tentang sosialisme, pernah bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional, bergaul akrab dan seperjuangan dengan Hatta, serta aktif di Perhimpunan Indonesia.

Sebagai putra bangsa, Sjahrir terpanggil untuk membangunkan semangat kehidupan rakyat Indonesia yang tersungkur. Meninggalkan kuliah untuk berjuang demi bangsa, walaupun ia kagum dengan negeri Belanda yang makmur dan tentram itu.

Sesampainya di tanah air, ia langsung terjun ke dunia politik – bersama Hatta mendirikan Partai Nasional Indonesia Pendidikan (PNI-Pendidikan) dan memperjuangkan cita-cita pendidikan ala Barat. Pada 31 Desember 1931 di Yogyakarta, Sjahrir menjadi ketua PNI-Pendidikan, yang merupakan partai kader berdasarkan asas self-help –  apabila pemimpinnya ditangkap, partainya tidak mati.

Selain memimpin PNI-Pendidikan (1933-1934), ia juga memimpin Sentral Persatuan Buruh Indonesia (SPBI). Beliau menghendaki tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dari pengaruh kapitalisme dan imperialisme. Gerakan sjahrir membuat Belanda tergopoh-gopoh dan menuduhnya mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang secara langsung membahayakan pijakan kaki kolonialisme Belanda di Indonesia.

Melalui Gouvernement Besluit – 16 November 1934, Sjahrir dan Hatta akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul bersama anggota PNI-Pendidikan yang lain. Tak berhenti di situ saja, tahun 1936 ia diasingkan ke Banda Neira dan baru dibebaskan menjelang pendudukan Jepang pada Maret 1942.

Di zaman pendudukan Jepang (1942-1943), Sjahrir memimpin pergerakan bawah tanah menentang fasisme Jepang bersama para mahasiswa yang tergabung dalam persatuan mahasıswa di Jakarta. Dialah yang menyusun dan memimpin kelompok perlawanan yang beroperasi di seluruh pulau Jawa.

Pada 16 Oktober 1945, Sjahrir tampil sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mempunyai kekuasaan penuh dalam legislatif. Ketika itulah keluar risalah Sjahrir “Perjuangan Kita” yang menegaskan bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan revolusioner, demokratis, dan bukan kaum nasionalis yang telah membiarkan diri mereka digunakan sebagai kaki tangan fasisme kolonial Belanda dan fasisme militer Dai Nippon.

Sjahrir dengan politik diplomasinya mengusahakan Republik Indonesia (RI) agar mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pada 1947, ia menghadiri Inter Relation Asian Conference di New Delhi. Dimana ia menggariskan politik luar negeri Indonesia bebas aktif.

Pasca aksi militer Belanda I, Sjahrir menembus blokade Belanda untuk berangkat ke Luke Success. Di sana ia mewakili bangsa Indonesia membela perjuangan RI di muka mimbar Dewan Keamanan PBB.  

Sjahrir mendesak PBB membentuk Komisi Jasa Baik untuk menjadi arbiter antara Belanda dan RI, yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Sjahrir juga menuntut agar pasukan Belanda pada hari itu juga ditarik mundur ke garis demarkasi sesuai Perjanjian Linggarjati.

Usaha Sjahrir tidak sia-sia. Diprakarsai Amerika, Komisi Jasa Baik terbentuk pada tanggal 18 September 1947 – beranggotakan Amerika, Belgia, dan Australia. Ditambah dengan kunjungan keliling dunia mencari dukungan ke berbagai negara sebelum dan sesudah peristiwa itu.

Sosialisme Kerakyatan Sjahrir

Tiga dasawarsa pasca diktum proklamasi dibacakan, Sjahrir memilih garis perjuangan melalui Partai Sosialis (PARSI) yang ia dirikan pada tanggal 20

November 1945, sesuai dengan ideologi politiknya. 

“Sjahrir sebenarnya seorang nasionalis. Namun, setelah melalui banyak perjalanan kehidupan dan pengalaman politik, keyakinannya berubah menjadi condong ke sosialis,” kata P. J. Suwarno.

Pada awal Desember 1945, partai ini bergabung dengan PARSI yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan menjelma sebagai Partai Sosialis dengan Sjahrir, selaku ketua umum pertama.

Seperti yang dijelaskan P. J. Suwarno, setelah 18 bulan, timbul perpecahan antara Sjahrir dengan Amir Syarifuddin. Amir condong memihak kubu Soviet, menempuh garis Marxis-Leninis-Stalinis. Sementara, Sjahrir berpendirian bahwa Partai Sosialis harus menempuh garis sosialisme kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif. Sosialisme Sjahrir, seperti yang diakui Romo Mangun bercorak Lokal-Sosialisme di Indonesia.

Gagasan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan membuat perpecahan antara kubu Sjahrir dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertentangan kelas (Struggle of Class) dalam sosialisme modern menurut Sjahrir tidak terlalu penting. Dalam opum magnum-nya Sjahrir membedakan sosialisme dalam dua tahap perkembangan historis, yakni sosialisme tradisional dan modern.

Pertentangan kelas terjadi pada masa sosialisme tradisional abad ke-19 di Eropa. Saat kapitalisme muda melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kaum proletar. Dalam perkembangan historis, pertentangan kelas baginya bukan merupakan fakta historis yang berlaku universal, tetapi hanya berlaku dalam kurun waktu dan tempat tertentu. 

Sosialisme modern lahir sebagai antitesa kapitalisme semu pada Abad ke-20. Sosialisme Indonesia yang dicita-citakan Sjahrir menurut Romo Mangun adalah integrasi sosialisme dan jiwa nasionalisme negarawan yang tinggi.

Sejak saat itu, sosialis pecah, apalagi setelah Musso kembali dari Moskow. Amir semakin dipengaruhi kaum komunis – akhirnya PKI menikam RI dari belakang dengan mengadakan pemberontakan di Madiun, September 1948. 

“Namun, beruntung sebelum pemberontakan itu terjadi Sjahrir telah keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) bulan Februari 1948, dengan Djohan Syahruzah, dan Subadio Sastrosatomo,” ungkap P. J. Suwarno.

Usaha Sjahrir dalam mengembangkan cita-cita sosialisme kerakyatannya tidak terbatas dilakukannya di dalam negeri. Di luar negeri, dalam merealisasikan cita-citanya itu, ia menjadi salah satu pendiri Konferensi Sosialis Asia yang dibentuk di Rangoon, Burma. Konferensi Sosialis Asia terdiri dari delapan anggota,  yaitu partai-partai sosialis dari Indonesia, Malaya, Burma, Jepang, Pakistan, Israel, dan Libanon.

Pada tahun 1961, PSI dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 16 Januari 1962 pukul 04.00 WIB, Sjahrir ditangkap dan ditahan di Mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Baru pada tanggal 19 Januari 1962 dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru, bersama kawannya yang lain.

Hati Sjahrir benar-benar patah dan hancur. Ia kecewa bukan karena ditangkap, tetapi ia kecewa karena sebagian besar kaum terpelajar Indonesia (1960 ke atas) bungkam atas “pemerkosaan” UUD 1945, bungkam atas

kecurangan-kecurangan politik, dan bungkam atas segala ketidakadilan.

“Hal ini mengakibatkan Indonesia kian terpuruk dan terjerembab kubangan lumpur yang dalam,” keluh Suwarno.

Sjahrir berperan besar dalam mendesak dikumandangkannya proklamasi RI – 17 Agustus 1945. Ketika Jepang hampir kalah dari Sekutu, Jepang memberikan janji akan memerdekakan Hindia Belanda

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tetapi Sjahrir tidak mempercayainya.

Memang, sejak pertama kali Jepang menginjakkan kaki di bumi Indonesia. Sjahrir sudah tidak percaya kepada Jepang yang fasis. Maka saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Saigon, Vietnam – 9 Agustus 1945 – berunding dengan panglima tertinggi Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Terauchi. Sjahrir memprovokasi Hatta dengan mengatakan riwayat Jepang sudah berakhir dan telah tiba waktunya untuk kita membuat situasi se-revolusioner mungkin dan menjaga agar kaum nasionalis tidak pecah. 

Setelah menerima berita Nagasaki dan Hirosima dibom Sekutu, Sjahrir semakin yakin Jepang telah kalah dan Indonesia harus merdeka, apapun konsekuensinya.

Teks proklamasi yang ditulis Sjahrir sebanyak 300 kata, berisi tentang pernyataan bahwa rakyat Indonesia tidak mau menjadi inventaris yang diserahkan dari pemerintah kolonial yang satu ke pemerintah kolonial yang lain – petang itu tidak jadi dibacakan.

“Soekarno punya pertimbangan dan pandangan sendiri,” ungkap Pak Warno, panggilan akrab Suwarno. Padahal Lambert Giebels pernah berkata bahwa Soekarno bersalah soal romusha.

Setelah berhasil mendesak kemerdekaan RI, Sjahrir menghilang. Namun, melalui penelusuran sejarah diketahui bahwa dia berkeliling pulau Jawa untuk melihat semangat rakyat, yang oleh Suwarno disebut sebagai “Sebuah semangat setelah ribuan nyawa menjadi tumbal” – khas seorang elite bangsa yang membumi.

Sjahrir adalah tauladan seorang pemuda visioner dan ideologis. Tak heran jika Mochtar Lubis mewajibkan generasi muda membaca biografi Sjahrir, yang ditulis Rudolf Mrazek. Sebab, bangsa ini masih menunggu lahirnya Sjahrir-Sjahrir muda yang visioner, yang memiliki dedikasi besar bagi bangsa dan negara tercinta.

Penulis: HIMMAH/Asriani Pravita Indraswuri dan Dian Dwi Kurniawati

Pengalih Media: HIMMAH/Farah Azizah

Aksi Wong Cilik

Beberapa hasta karya miniatur yang terbuat dari kertas bertuliskan “GREEN BANKING BNI NGAPUSI!” dan “AKU JADI HANTU AKIBAT BENCANA IKLIM” dipamerkan dalam Aksi Damai BNI bertajuk “Aksi Wong Cilik” yang diselenggarakan oleh Fossil Free Jogja (FFJ) di depan Gedung Bank BNI Trikora, Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Selasa (14/03). Tajuk “Wong Cilik” dalam bahasa jawa memiliki arti “Orang kecil” atau “Orang-orang biasa” menunjukan bahwa mereka-lah yang mendapatkan dampak dari adanya krisis iklim.  

Pada Tahun ini, FFJ mengawal Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk sepenuhnya digunakan dalam pendanaan transisi energy terbarukan. Dengan adanya rapat pemegang saham yang diselenggarakan pada 15 Maret 2023, FFJ mengingatkan kembali bahwa BNI segera melakukan transisi energy.

Arami (29) dari Fossil Free Jogja (FFJ) mengatakan aksi ini berfokus untuk menuntut BNI agar tidak lagi mendanai batu bara dan fokus serta serius sebagai Bank berkonsep Green Banking yang mencerminkan tindakan ramah lingkungan untuk menangani krisis iklim.  

Lintas Sejarah Majalah Kita

*Naskah “Lintas Sejarah Majalah Kita” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH No. 2 Th. XIX/Nopember 1985 halaman 28-29. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini, bertepatan dengan milad Himmah ke-56, untuk melihat kembali sisi historis transisi Majalah Muhibbah ke Majalah Himmah. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.


Sejak awal berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), nama majalah kita adalah MUHIBBAH. Berkala penerbitannya ialah setiap bulan. Dan tahun 1967 adalah tahun perdana penerbitannya. Sedangkan pemrakarsanya yaitu Siswo Wiratmo, Dahlan Mandai, dan kawan-kawannya. Menurut Siswo Wiratmo, yang berpostur pendek itu, motivasi yang mendasari penerbitan antara lain untuk lebih memperkenalkan UII kepada masyarakat dan untuk lebih membantu pelaksanaan risalah UII dalam mencetak muslim yang intelektual.

Kemudian, dalam salah satu laporan yang dimuat pada editorial majalah MUHIBBAH 1977, dalam rangka peringatan ulang tahunnya yang ke-10, dikatakan bahwa tujuan diterbitkannya MUHIBBAH oleh para mahasiswa UII adalah untuk menyuarakan perjuangan mahasiswa UII, melawan kepincangan-kepincangan sosial waktu itu, tahun 1966 (yang) adalah tumbangnya Orde Lama dan naiknya Orde Baru. Karenanya, untuk ikut berpartisipasi dalam melancarkan perjuangan Orde Baru, MUHIBBAH pun bermaksud ikut men-support-nya. Dan, seperti kita maklumi juga, naiknya Orde Baru itu ke permukaan peta politik Indonesia juga mendapatkan dukungan dari berbagai masyarakat, misalnya ABRI dan mahasiswa, termasuk, tentu saja, UII dengan segenap mahasiswanya itu. Jadi, majalah MUHIBBAH diterbitkan untuk membuktikan partisipasinya dalam menegakkan perjuangan Orde Baru.

Ide dasar penerbitan majalah MUHIBBAH, terutama, memang muncul dari para mahasiswa. Rupa-rupanya, keinginan untuk menerbitkan sebuah majalah ini tidak hanya datang dari mahasiswa, tetapi juga dari kubu pimpinan UII sendiri. Ini terbukti dari sambutan Rektor UII waktu itu, Prof. Dr. Sardjito, dalam menghantar terbitnya MUHIBBAH:

“Saya sampaikan pula kepada mahasiswa UII, agar hendaknya membantu para pengasuh majalah MUHIBBAH, sehingga dapat terus menerbitkannya. Di samping itu, janganlah hendaknya ada mahasiswa UII yang ingin merongrong dan menghalangi penerbitan majalah MUHIBBAH.”

Pada mulanya, untuk enam bulan pertama penerbitannya–6 edisi–diberi bantuan pihak universitas secara prodeo. Tetapi, sesudah itu, para pengasuhnya menarik langsung iuran dari para mahasiswa.

Pada awal kelahirannya, MUHIBBAH diterbitkan oleh Badan Penerbit Majalah MUHIBBAH–semacam Dewan Presidium–yang ditangani oleh pihak Universitas. Barulah pada tahun ketiga penerbitan (1969), pengelolaannya diserahkan kepada Dewan Mahasiswa, melalui Departemen Humas. Ini terjadi pada periode kepemimpinan Darwin Harsono (1969-1970).

Siswo Wiratmo. Foto: Himmah

Lalu tahun 1973, Amir Effendi Siregar naik sebagai pemimpin umum. Pada kepemimpinan Amir Effendi inilah, timbul pemikiran untuk melepaskan MUHIBBAH dari Dema (Dewan Mahasiswa). Alasannya, agar ia bisa otonom. Sebab jika masih bergantung kepada Dema, maka kebebasannya, terutama dalam segi keuangannya yang tidak mencukupinya – karena memang dana yang disediakan juga terbatas. Juga dikhawatirkan tersendat-sendatnya kontinuitas penerbit. Padahal sudah dikonsensuskan: MUHIBBAH wajib terbit tiap bulan! Namun wajar belakalah jika kehendak untuk berotonom ini pada mulanya ditampik oleh Dema. Tambahan lagi ‘pejabat-pejabat teras’ di Dema, dari segi tingkatan tahun angkatannya di atas Amir. Nah… ‘kan!

Baru pada babak kedua masa jabatannya (1974), bobol juga ‘gawang’ Dema. Usut punya usut, pejabat-pejabat di Dema sudah bukan lagi kakak-kakak angkatan Amir Effendi–dengan kata lain–justru ‘adik-adik’ kelasnya. Gantian dong! Seorang adik ‘kan musti mengalah dengan kakaknya.

Kemudian, untuk lebih gamblangnya, para pemimpin umum yang pernah memegang MUHIBBAH adalah:

  1. Kurun waktu 1967-1969, diterbitkan oleh Badan Penerbit majalah MUHIBBAH, yaitu R. Dahlan Mandai, B.A., M. Damon Yunus, dan Abdul Haris.
  2. Kurun waktu 1969-1974, diterbitkan oleh Departemen Humas Dema ialah Darwin Harsono, Umu Kusumawardani, A. Halim Ali, dan Amir Effendi Siregar.
  3. Kurun waktu 1974-1982, diterbitkan oleh LPM-UII MUHIBBAH, adalah Amir Effendi Siregar, SUhaimi El Haitamy, Totok Daryanto, Syarief Hans, dan Moh. Mahfud MD.

Waktu mula berdirinya (1967), majalah MUHIBBAH terbit tanpa surat ijin dari Departemen Penerangan, sebab memang waktu itu belum ada keharusan bagi pers khusus–seperti pers mahasiswa–untuk memiliki surat izin terbit.

Kemudian, tahun 1975, keluarlah Peraturan Menteri Penerangan No. 11/1975 berhubungan dengan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/1975 yang mengharuskan agar setiap pers khusus–termasuk pers mahasiswa–mempunyai STT (Surat Tanda Terdaftar). Maka, MUHIBBAH pun mengajukan permohonan STT tersebut agar memenuhi peraturan, alias supaya tidak dicap ‘liar’. Dan syukur saja, tahun 1977 MUHIBBAH berhasil memperolehnya. Nomornya 368/SK/Ditjen/PPg/STT/1977. STT ini menyusul Surat Izin Terbit (SIT) No. 178/ps/516/a/12/japendi DIY, 11 Maret 1976, yang telah didapatkan sebelumnya.

Namun, baru beberapa tahun MUHIBBAH menikmati STT, pada tahun 1978 tertimpa musibah: diberangus Pak Domo–waktu itu Kopkamtib. Ternyata, pembrangusan tidak hanya menimpa MUHIBBAH, tetapi juga Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, Pos Sore, dan Kampus (ITB). Dalih pembredelan: penerbitan-penerbitan dianggap ‘mengguncang’ stabilitas nasional.

Khusus MUHIBBAH, meski dibredel–menurut pemahaman pengurus yang dibredel adalah majalahnya, bukan lembaganya–ia malahan menjalankan ‘gerilya’. Artinya, meski sedang bredel, kita pun menerbitkan semacam koran bulanan. Namanya: DETENTE. Dus (red-jadi), ia terbit tanpa STT. Yah, itulah yang namanya perjuangan!

Alhamdulillah, akhirnya 1979, STT MUHIBBAH dicairkan kembali. Dan, optimis dengan dicairkannya STT tersebut, DETENTE pun dihentikan.

Lagi-lagi, baru beberapa saat kita mengenyam STT, ternyata musibah datang lagi: dibredel tahun 1982. Kalau alasan pembredelan tahun 1978 karena MUHIBBAH mengguncang stabilitas menjelang Sidang Umum MPR 1978, maka dalih pemberangusan 1982 adalah karena MUHIBBAH dianggap telah menjalankan praktek politik praktis. Praktis pula MUHIBBAH pun “ditidurpanjangkan”.

A. Fadlil M.M dan Chairil Anwar. Foto: Ahmad Busyairi

Tetapi, kemudian, berdasarkan rapat pleno LPM-UII, kita sepakat untuk menerbitkan sebuah media atau sebuah majalah baru. Di samping itu, usaha pencairan STT MUHIBBAH untuk yang kedua kalinya tetap dilakukan, meskipun sangat sulit, atau sangat boleh jadi memang sengaja dipersulit oleh pihak penguasa.

Sementara itu, rapat pleno akhirnya berkonsensus menerbitkan sebuah majalah baru lagi. Ini terjadi sekitar April 1983. Mengenai namanya, semula (yang) diusulkan ialah HIKMAH, tapi tidak diterima forum rapat. Alasannya, nama majalah HIKMAH pernah ada di tahun 1950-an. Majalah itu, dulu adalah diterbitkan oleh partai Masyumi, partai Islam yang tidak disukai penguasa, baik dulu maupun sekarang. Meskipun, menurut sejarah yang benar, Masyumi tidaklah ‘dibubarkan’ oleh penguasa, tapi justru ‘membubarkan diri’. Maka, berdasarkan alasan-alasan seperti itulah, akhirnya nama HIKMAH diganti menjadi HIMMAH. Dan untuk diketahui, nama HIMMAH ini sama sekali bukan kependekan dari ‘himpunan mahasiswa’, tetapi ia mengandung makna tekad, kemauan, atau niat.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit pembredelan, pertimbangan-pertimbangan strategi, dan sebagainya, HIMMAH menitikberatkan pada peningkatan kualitas imani dan mentalitas islami, serta menghindarkan diri dari masalah-masalah ‘politik praktis’. Dan, HIMMAH meskipun secara formal berumur tiga tahun berjalan, namun secara essensial ia adalah rentetan sejarah penerbitan atau jurnalistik yang lahir sejak tahun 1967. Juga layak untuk disyukuri, kendati dalam waktu sesingkat itu HIMMAH ajek terbit, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Sedangkan, secara periodesasi, HIMMAH baru menjalani dua dekade kepengurusan. Periode pertama dipimpin oleh Acep Fadlil Munawar Mashur, (antara tahun) 1983-1985; dan dekakde yang sedang berjalan ini (antara tahun) 1985-1986, HIMMAH dikomandani oleh Chairil Anwar.

Pengalih media: HIMMAH/Farah Azizah dan Nurhayati

Peringati Hari Perempuan Internasional, Relawan Yogyakarta Menyuarakan Kuota Kebijakan Afirmasi 50 Persen

Himmah Online, Yogyakarta – Sejumlah Relawan International Women’s Day (IWD) melakukan aksi dengan berjalan kaki dari Gerbang Kampoeng Ketandan Malioboro menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Rabu (08/03). Para massa aksi mulai memadati lajur kiri Jalan Jendral Ahmad Yani pada pukul 11.58 WIB sembari mengangkat spanduk-spanduk orasi.

Aksi bertajuk “Perempuan dan Rakyat Bersatu Lawan Seksisme, Tolak KUHP, dan Cipta Kerja” ini mengusung beberapa wacana, salah satunya adalah kuota 50 persen untuk perempuan di semua jabatan publik dan partisipasi aktif. Mereka menuntut agar kompetensi, kredibilitas, serta peran perempuan dalam penyelenggaraan negara ditingkatkan.

Menurut Indira (20), salah satu massa aksi dari perwakilan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), dengan adanya penambahan kuota dalam kebijakan afirmasi (affirmative action) ini, aspirasi perempuan akan jauh lebih terdengar.

“Itu akhirnya memberikan ruang lebih banyak bagi kita untuk lebih berkontribusi secara nyata, untuk memastikan bahwa keresahan-keresahan perempuan juga terdengar,” ujar Indira.

Selain itu, Ignas (22), salah satu partisipan aksi, mengatakan bahwa pembacaan isu ini bermula dari banyaknya kasus perempuan yang berada di tampuk kekuasaan, dan mereka merupakan istri atau anak dari pejabat tertentu.

“Apa yang terjadi adalah karena misalnya, ada pemilu walikota, begitu. Ketika perempuan yang maju, kebanyakan yang maju itu adalah istrinya, anak pejabat,” ujar Ignas

Ia juga menuturkan bahwa naiknya kuota 50 persen bukan hanya persoalan keterwakilan, tetapi juga soal partisipasi aktif dari setiap perwakilan tersebut.

“Jadi kita mengangkatnya tidak hanya partisipasi 50 persen, tapi kita ingin partisipasi  yang aktif. Kata kuncinya di situ, ‘partisipasi yang aktif’,”  tegasnya.

Ade, salah seorang anggota kelompok kerja (pokja) Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic (SOGIESC) Partai Hijau Indonesia, juga turut berpartisipasi dalam aksi ini. Menurutnya, penetapan kuota 50 persen dalam instansi pemerintahan adalah batas minimal keterwakilan.

“Jadi, justru harus. Lima puluh persen buat saya minimal karena juga belum banyak keterwakilan yang terjadi,” ujar Ade.

Seturut dengan Ignas tentang partisipasi aktif, Ade juga menyuarakan perlunya kapabilitas, integritas, dan kemampuan inteligensi bagi setiap perempuan yang akan maju dalam kontestasi perpolitikan. Ia menyayangkan bahwa selama ini, 30 persen keterwakilan yang ada masih menyisakan berbagai persoalan.

Pertama, hanya 30 persen. Kedua, 30 persen itu, itu punya gak kesadaran yang untuk kesetaraan dan keadilan gender,” tandas Ade.

Dengan beragam analisis, Ade menilai bahwa persoalan utama terletak pada budaya patriarki yang begitu kuat. Budaya ini juga yang menyebabkan adanya kuota affirmative action seolah tak berpengaruh pada keterwakilan suara mereka.

“Jadi, kalau kita ukurannya adalah kapabilitas, integritas, kemampuan pengetahuan, kepakaran, itu selesai persoalannya. Kalau sekarang masih akar persoalannya terus kaya gitu, kalau sebatas kuota, ya, tidak menjamin begitu,” pungkas Ade.

Reporter: Himmah/Ani Chalwa Isnani, Eka Ayu Safitri, Nawang Wulan, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Jihan Nabilah

Pemberian Ruang dan Kebebasan Perempuan Melalui International Women’s Day

Himmah Online, Yogyakarta – Massa aksi berjalan dari Gerbang Utama Ketandan Malioboro menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta sambil menyanyikan yel-yel dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) pada Rabu (08/03). Aksi IWD tahun ini memiliki tema “Perempuan dan Rakyat Bersatu Lawan Seksisme, Tolak KUHP, dan Cipta Kerja”.

Terdapat sepuluh tuntutan yang disuarakan, salah satunya adalah menciptakan ruang aman di instansi pendidikan dan keagamaan, serta menghentikan pembungkaman peserta didik. 

“Tentang pembungkaman, contohnya ketika terjadi kekerasan seksual di kampus. Seringkali itu yang akhirnya dibungkam adalah korban dan mahasiswa-mahasiswa yang bersolidaritas terhadap korban karena beberapa pertimbangan, salah satunya tentang nama baik kampus,” tutur Begi, perwakilan dari Aliansi IWD. 

Begi juga menerangkan bahwa adanya support system yang mendukung akan memunculkan keberanian pada penyintas dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bersolidaritas untuk speak-up.

“Sebenarnya keberanian dari individu itu, kan, muncul begitu saja kalau ada support system yang mendukung. Jadi, membutuhkan support system dari lingkungan sekitar kita, dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan,” jelasnya.

Tuntutan untuk mendorong adanya ruang aman di lingkup perguruan tinggi disampaikan oleh Eli selaku perwakilan Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) AR. Fakhruddin Yogyakarta. 

“Selain sejalan dengan isu yang dibawa, kita juga menambah (Red– tuntutan) ruang aman terkait dorongan implementasi RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), kemudian mendorong ruang aman di perguruan tinggi serta mengusut tuntas terkait kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),” ujar Eli.

Terkait dengan ruang aman, Eli juga menambahkan kalau selama ia hidup, ia tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih. Padahal, perempuan juga bisa memilih dan memutuskan apa yang mereka mau.

“Saya merasa apakah selama ini perempuan itu hidupnya hanya diatur berdasarkan norma sama agama? Saya tergerak untuk menyuarakan isu-isu yang diangkat karena ingin memberikan suara juga kepada masyarakat bahwa perempuan itu hidupnya juga bisa memilih. Perempuan itu bisa untuk memutuskan apa yang mereka mau,” terang Eli.

Kendati demikian, kebebasan dalam melakukan segala tindakan kian terbatas akibat disahkannya Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (UU KUHP). Begi mengatakan bahwa negara berusaha untuk mengintervensi hak-hak perempuan. 

“Misal di KUHP, aborsi itu dikriminalisasi, sedangkan kita tahu bahwa hak reproduksi, hak otonomi tubuh perempuan itu, perempuan seutuhnya untuk mengatur itu. Tetapi, masih saja, negara berusaha untuk mengintervensi,” terang Begi.

Dian, salah satu massa aksi dan juga seorang seniman, mengungkapkan kegelisahannya mengenai aksi IWD tahun ini.

“Kita berada di dalam posisi yang kita tidak tahu apakah kita bisa menang, apakah kita bisa didengar atau apapun itu. Tapi ya mungkin aktivis berjuang sebisa mungkin, walaupun kita tidak tau hasilnya,” tutur Dian.

Reporter: Himmah/ Ani Chalwa Isnani, Eka Ayu Safitri, Nawang Wulan, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Qothrunnada Anindya