Jatilan Turonggo Mudho Tri Manunggal dan Upaya Pelestarian Budaya
Himmah Online – Waktu magrib sudah terasa. Tepat pukul 17.00 WIB, para pedagang kaki lima mulai memasuki kawasan pertunjukan. Satu persatu dari mereka bersiap membuka lapak untuk acara jatilan malam itu, Sabtu (10/6). Seketika itu juga bumi perkemahan Dewi Tanggalsari, Duwet, Wukirsari, Kabupaten Sleman tampak gemerlap dengan lalu-lalang pedagang, gaung sound system, dan lampu sorot beraneka warna.
Dengan tajuk Pembinaan Kesenian Jaranan Turonggo Mudho Tri Manunggal, acara ini dimaksudkan sebagai ajang pelestarian budaya. “Daripada temen-temen anak muda malam minggu ngga jelas mending ke sini dengan syarat dengan tertib, menjaga keamanan bersama-sama,” jelas Totok (35) selaku kepala Dukuh Gungan, Wukirsari, Cangkringan.
Turonggo Mudho Tri Manunggal adalah kelompok jatilan yang tampil kali ini. Mereka juga yang sekaligus menjadi penyelenggara utama dari acara tersebut. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) turut berpartisipasi melalui Dana Keistimewaan.
Selain itu, pihak bumi perkemahan juga membebaskan biaya sewa lahan atas terselenggaranya acara ini. Mereka hanya mengenakan retribusi sewa pada warga non-lokal desa. “Sekali lagi tujuannya, kan, untuk masyarakat. (Kami) takut membebani. Dan jatilan juga (berasal dari) kelompok kita sendiri,” jelas Anwar (49) sebagai pengelola lahan bumi perkemahan.
Selama acara terselenggara, ia terlihat mondar-mandir demi memastikan semuanya berjalan sesuai dengan arahan. Keamanan acara menjadi urusan paling vital yang ia tangani.
Parman (65), ketua paguyuban jatilan, juga ikut berkeliling. Ia berjalan dari ruang ganti pemain, lalu ke panggung pentas, kemudian menyapa orang-orang yang ia temui.
Kelompok jatilan ini bertempat di Padukuhan Gungan (Huntap Dongkelsari), Wukirsari, Cangkringan. Usia paguyuban ini “Kurang luweh itu wis meh 20 tahun (red-kurang lebih itu sudah hampir 20 tahun),” tutur Parman.
Babak Pentas
Pukul 20.24 WIB, kendang ketipung ditabuh dari atas panggung. Penonton berduyun-duyun mengelilingi sasana pementasan yang terletak tepat di bawahnya—di sepetak tanah berbentuk persegi yang dipagari oleh bambu.
Pengunjung tampak ramai dan penuh sesak memadati area pentas. Mereka menunggu empat babak yang akan ditampilkan malam itu, yaitu kreasi putra, kreasi putri, mataraman, dan blendrong.
Mula-mula, Parman memimpin upacara panyuwun. Dia duduk di tengah kuda-kuda tiruan. Terlihat asap kemenyan membumbung tinggi. Tak lama, ia bangkit memecut langit dari empat penjuru. Kemudian memercikkan seluruh properti jatilan dengan minyak wangi.
Babak pertama ialah kreasi putra. Diawali dengan masuknya dua pemuda bertopeng buto. Lalu disusul enam pemain yang masuk perlahan dengan tarian yang tegas. Mereka menenteng anyaman bambu berbentuk kuda sembari membawa sepotong bambu di tangan kanannya.
Usai kreasi putra, babak kedua diisi oleh kreasi putri. Enam pemudi memasuki arena dengan anggun. Berbeda dengan putra, kreasi ini tak membawa senjata apapun. Hanya ada kuda tiruan di antara kedua tangan mereka.
Sesi mataraman kembali diisi oleh delapan pria. Kali ini, mereka berdandan lebih sangar. Penunggang kuda jatilan juga lebih matang dalam tariannya. Kuda jatilan diangkat ke langit sembari mereka memasuki lapangan. Tak lupa juga dengan sebilah bambu tumpul.
Partai terakhir adalah yang paling menarik. Secara fisik, delapan pemain itu tampak lebih tua dari tiga babak sebelumnya. Kuda lumping sudah tertata sebelum mereka mulai masuk dan menari. Tariannya juga lebih rapi dan terarah.
Tiga babak yang diisi oleh pria mengalami kerasukan setelah adegan pertarungan. Hal ini tidak ditemui di penampil putri. Mereka kerasukan hanya dengan sentuhan tangan dari satu orang yang terlebih dulu kerasukan.
Secara alur cerita, jatilan diambil dari salah satu bagian reog ponorogo. Tapi, jatilan juga dapat menggambarkan situasi peperangan antara Arya Jipang dengan Danang Sutawijaya, dan bahkan perang Diponegoro. “Itu (red-cerita) mung digabungke (red-hanya dipadukan) untuk (sebuah) garapan,” tutur Parman.
Para pemain merupakan gabungan dari tiga padukuhan, yaitu Gungan, Cakran, dan Srodokan. Melalui paguyuban jatilan ini, Parman berharap adanya persatuan antar pemuda dari ketiga Dukuh tersebut. “Dadi (red-jadi) saling menjaga, saling menolong,” pungkas Parman.
Reporter: Himmah/R Aria Chandra Prakosa, Himmah/Muhammad Fahrur Rozi, Magang Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Magang Himmah/Reza Sandy Nugroho
Editor: Jihan Nabilah
Aunur Rohim: Kesaksian Seorang Murid
“Kehidupan itu singkat. Jangan lupakan hal terpenting dalam kehidupan, hidup untuk orang lain, dan melakukan hal baik untuk mereka” (Marcus Aurelius)
Dua tahun telah berlalu. Saya meninggalkan kampus bernama UII dengan penuh pertanyaan dan persoalan, sebab saya menemukan bagaimana pendidikan makin menjauh dari harapan, menyerah pada realitas pasar, tak menikmati ilmu pengetahuan melainkan hanya sebatas persiapan memasuki lapangan pekerjaan. Kampus kehilangan kemampuan kritisnya.
Pergolakan tersebut saya temukan bukan hanya karena membaca buku, bergabung pada organisasi mahasiswa atau pertemuan beragam forum mahasiswa, melainkan terpengaruh oleh gagasan Pak Aunur Rohim, seorang yang pernah singgah dalam kehidupan saya dan membuat saya pernah bangga menjadi bagian dari UII.
Saya memang tak punya hubungan istimewa dengan beliau sebagaimana kawan-kawan lainnya atau mengerjakan proyek akademik apapun dengannya, tetapi ia membantu saya berpikir dan bersikap atas persoalan sosial yang terjadi sekaligus mengantarkan saya pada gerbang ilmu pengetahuan yang lebih luas ketimbang ukuran ruang kelas.
Pria sederhana dan bersahaja, sosok ini melekat di tubuh Pak Aunur. Saya senang dan bersyukur pernah menjalani kuliah dengan dosen seperti beliau.
Sosok Aunur Rohim
Pertemuan pertama kami di kelas, saya masih ingat ia hanya membawa pakaian yang ada pada tubuhnya dan sebuah spidol, ketika pelajaran Hukum Pernikahan dalam Islam. Alih-alih membicarakan sesuatu yang membosankan di dalam kelas, Pak Aunur membawa kami pada hal yang rumit namun menyenangkan. Menurutnya, banyak orang memilih untuk tidak menikah bukan karena tak ingin, melainkan himpitan ekonomi dan kelas sosial.
Kelas ditutup dengan pernyataan yang membuat isi kelas hening dan takjub. “Kalian tak perlu khawatir soal pakaian yang kalian kenakan karena yang saya didik adalah isi kepalamu, tak usah risau soal nilai ujian asalkan kalian mau belajar membaca dan menulis dengan membuat paper, essay, atau makalah. Menulis dan menulis, karena itu akan membuat kalian membaca,” ujarnya.
Sebagai seorang dosen hukum, ia banyak mengajarkan logika dan cara berpikir ketimbang meminta kami menghafal pasal atau undang-undang. Tak lupa ia mengenalkan kami pada dunia sastra seperti novel maupun puisi perlawanan, tujuannya agar mahasiswa memiliki kepekaan atas nurani maupun empati dan mampu berdiri mengambil jarak dengan kemungkaran. Ia hadirkan kepada kami para begawan keadilan untuk belajar bahwa hukum kerap disalahgunakan, bahkan disalahartikan, dan dari mereka kita mampu melihat itu semua.
Di luar kelas pak Aunur memiliki posisi struktural, yaitu sebagai Dekan Fakultas Hukum. Bukan suatu kekuasaan yang ia buru melainkan membuat kesempatan untuk mendidik yang dibutuhkan. Posisi tersebut tak membuatnya berjarak. Ia mudah ditemui, hingga aktif memberikan dukungan kegiatan mahasiswa. Suatu saat Pak Aunur adalah orang yang membuat kebijakan penundaan pembayaran kuliah bagi mahasiswa yang ingin mengikuti ujian semester. Memang hanya menunda namun banyak pihak terbantu dengan keputusannya.
Di sisi lain, Pak Aunur adalah pemimpin yang berani. Ia membuka ruang kebebasan akademik seluas-luasnya dan mempermudah seluruh kegiatan apapun. Diskusi di Fakultas Hukum pada saat itu tak mudah diselenggarakan apabila tak berkaitan dengan nilai-nilai keislaman UII. Namun Pak Aunur punya tafsir yang berbeda. Terbukti ketika kami menghadirkan istri almarhum Munir ke Fakultas Hukum UII untuk membongkar temuan tim pencari fakta dibalik dalang pembunuhan Munir, Pak Aunur mempersilakan, bahkan acara tersebut kami selenggarakan hingga larut pagi. Novel Baswedan juga pernah duduk di ruang seminar Fakultas Hukum UII, tak banyak yang tahu sebab situasi politiknya masih memanas, Pak Aunur berani pasang badan untuk kelancaran acara tersebut.
Pak Aunur tak pernah mengkritik tiap diskusi yang kami ajukan, malah seperti meniupkan tantangan untuk terus menghadirkan wacana alternatif di pelataran FH UII yang sempit, padat, dan pasti panas. Yang mengagumkan bagi saya adalah pada saat itu moralitas diukur bukan melalui penampilan atau cara menyampaikan, melainkan gagasan yang berpihak pada yang lemah atau yang berkuasa. Mungkin ialah dekan terbaik yang pernah saya temui: mendidik agar tak hanya jadi pintar tapi juga berani sebab jika pintar kita tak gampang dimanipulasi dan keberanian membuat kita tak takut jika diteror.
Itulah Pak Aunur, sosok yang membangun jalannya sendiri, tak terbawa arus, dan percaya bahwa keadaan harus diubah. Terima kasih Pak Aunur, semoga kami mampu mengikuti jejak langkahmu.
Saya ingin mengakhiri tulisan sederhana ini dengan catatan pidato seorang kolega dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Djoko Supriyanto. “Hal paling penting di dunia telah ditunjukkan oleh orang-orang yang tetap bertahan dan berusaha meskipun mereka tidak melihat sedikitpun harapan di depan matanya. Bukankah kita bisa belajar dari mereka?”
Editor: R. Aria Chandra Prakosa
Menilik Realita Sistem Pendidikan di Yogyakarta
Himmah Online – Yogyakarta dijuluki sebagai kota pelajar, tetapi pada realitanya masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikannya, seperti tingginya angka putus sekolah, kasus pungutan liar, penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan korupsi di bidang pendidikan.
Untuk mengampanyekan kritik terhadap implementasi sistem pendidikan, LBH Kota Yogyakarta mengadakan diskusi publik dengan topik “Pungutan Liar, Pendidikan Mahal, dan Jogja bukan Kota Pendidikan” pada Jumat (10/03) di Yayasan LKIS, Sorowajan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
“Dalam laporan Pers Mahasiswa Poros UAD, merekap dan mendapatkan data bahwa ada ratusan anak yang tidak sekolah, bahkan putus sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujar Kamaluddin selaku moderator dalam membuka diskusi.
Data tersebut membabarkan pada tahun 2017 terdapat 161 kasus putus sekolah, di 2018 mengalami penurunan menjadi 101 kasus. Lalu tahun 2019 kembali meningkat, yaitu 104 kasus, tahun 2020 102 kasus, dan yang tertinggi di tahun 2021 mencapai 365 kasus. Jenjang SMA/SMK menjadi penyumbang angka putus sekolah tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda), persentase angka putus sekolah yang ada di DIY pada tahun 2022 di tingkat SD sebesar 0.10%, tingkat SMP 0.11%, dan tingkat SMA 0,25%.
Penelitian yang dilakukan Septianto (2021), menjelaskan bahwa maraknya angka putus sekolah di Yogyakarta ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu aspek ekonomi, rendahnya minat sekolah dari para anak, adanya kesenjangan yang dialami anak di lingkungan sekolah, kurangnya motivasi dari lingkungannya, dan tidak naik kelas. Namun, menurut Dinas Pendidikan, faktor ekonomi menjadi alasan tertinggi dari anak mengalami putus sekolah.
Selain putus sekolah, Pungutan liar (Pungli) juga menjadi permasalahan dalam sistem pendidikan di DIY. Zaenur Rohman, selaku Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa dilihat dari data Putusan Pengadilan, angka pungli dinilai cukup tinggi.
“Meskipun pungli itu kecil, tapi jumlahnya sangat banyak dialami oleh orang tua siswa dan itu bisa menghambat hak kepada pendidikan dan bahkan menghancurkan,” ujar Zaenur.
Zaenur juga menambahkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar sekolah, pihak sekolah yang terdiri dari kepala sekolah; guru; dan tenaga kependidikan, penyedia barang dan jasa, serta kepala daerah adalah pelaku yang paling banyak melakukan pungli.
Selain pungli, juga marak terjadinya penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang masuk ke dalam jenis korupsi di bidang pendidikan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai dari dana pendidikan yang cukup besar.
Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 pasal 49 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“20 persen dari APBN, 20 persen dari APBD, ya, tentu sebesar itu menarik banyak ‘semut’, salah satunya adalah aparat penegak hukum,” ujar Zaenur.
Tidak hanya itu, Zaenur juga menyebutkan, penyebab penyalahgunaan dana BOS lainnya adalah dalam pelaksanaannya tidak ada pengawasan karena basisnya, yakni bukti Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang sangat mudah untuk dimanipulasi.
Pihak sekolah mengaku pungutan dilakukan sebab sekolah kerap kekurangan dana BOS. Hal ini dipaparkan oleh Yuliani, selaku perwakilan orang tua siswa, yang mendapati kasus tersebut pada SMK Negeri 2 Jetis dan SMK Negeri 2 Depok dengan jumlah siswa sebanyak 2.500 anak.
“Itu muridnya segitu banyaknya. Di situ, dari BOS pusat dan BOS daerah itu totalnya sekitar 3 juta setengah. Coba dikalikan dengan muridnya, itu kan bunyinya sudah, ‘M’ (red–miliar), toh, terus juga enggak cukupnya tuh dimana?,” ujar Yuliani.
Dari kasus tersebut, Yuliani merasa pihak sekolah harus terbuka dengan masyarakat mengenai ketidakcukupan dana BOS yang dimiliki dan keterbukaan laporan penggunaan dana BOS.
Selain korupsi dana BOS, Zaenur menyebutkan terdapat jenis korupsi di bidang pendidikan lainnya, yakni pertama Dana Alokasi Khusus (DAK). Dimana korupsi pembangunan fisik dalam DAK banyak terjadi, seperti korupsi alat peraga, pemotongan anggaran, serta pembelian komputer; laptop; dan buku. Kedua, berbagai macam jenis Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
Zaenur menambahkan bahwa maraknya kasus korupsi terjadi karena dua hal, yakni pejabat yang ikut korupsi dan jual beli jabatan pada saat rekrutmen.
“Sangat marak korupsi di sekolah karena dari ‘atas’ itu juga sudah sangat korup. Nah, yang kedua terkait dengan pendidikan, itu juga menemukan soal rekrutmen. Jadi, problem jual beli jabatan,” ujar Zaenur.
Reporter: Himmah/ Nawang Wulan, Utami Amalia Sudarman
Editor: Jihan Nabilah
Ketika Api Membakar Sekam
*Naskah “Ketika Api Membakar Sekam” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 01/Thn. XXXI/1998 dalam rubrik Laporan Utama di halaman 12-15. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk mengetahui proses berakhirnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.
BAGAIKAN mimpi di siang bolong, akhirnya 21 Mei 1998, pukul 09.10 WIB, sang diktator Soeharto lengser keprabon. Tanda-tanda kejatuhan tampak di depan mata, ketika bapak 6 orang anak yang telah berkuasa selama 32 tahun ini sudah tak mampu lagi menahan bola salju tuntutan rakyat.
Badai ekonomi yang melanda menjadi momentum sejarah, di mana 200 juta rakyat Indonesia sudah mengalami kesumpekan dan kemuakan yang amat sangat. Tak pelak, gelombang demonstrasi berkecipak keras menghantam karang rezim Orde Baru (Orba). Berdebur-debur rakyat menggemakan tuntutan perubahan yang kian diabaikan oleh rezim Soeharto.
Seluruh negeri, mulai dari tukang becak sampai para penjilat akhirnya menginginkan reformasi, terutama turunnya Soeharto.
Harga-harga yang mencekik leher ditambah kesumpekan yang sudah menggumpal tak bisa dibendung lagi. Tangan terkepal dan suara lantang merobek langit telah menggetarkan para penguasa Kurawa Orba. Desingan peluru dan tapal kekerasan anjing penjaga pemerintah Orba, tak menyurutkan rakyat untuk terus bergerak. Hanya satu kata: rezim Orba harus tumbang.
Tak terbantah, sejarah akhirnya menorehkan tinta emas. Satu babak cerita usai dipagelarkan, di mana Sang Tiran Suharto jatuh oleh kekuatan rakyat yang datang bagaikan air bah. Kekuasaan yang korup dan menindas, telah lumat ditelan gelombang perlawanan.
Dari Mana Api Berasal?
Menyulut api dalam sekam itu berbahaya. Setidaknya ini menjadi peringatan terhadap apa yang telah dilakukan rezim Orba selama 32 tahun berkuasa. Sejarah telah membuktikan, kekuasaan yang semakin lama bertumpu pada satu orang ini, akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Tidak adanya jaminan dan tanda-tanda yang mengarah pada suksesi secara damai merupakan faktor dominan timbulnya berbagai keresahan,” kata Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI.
Pendapat yang sama disodorkan Dr Amien Rais, pengamat politik UGM. Dalam suatu negara yang membuat situasi tidak menentu, tidak lain adalah para pemimpinnya. “Pepatah Yunani
mengatakan, kalau ada ikan busuk itu pasti lewat kepalanya,” kata Amien bertamsil.
Tak bisa dibantah, penindasan rakyat yang menggumpal menyeruak menyodorkan fakta. Dalam setiap aksi massa, tuntutan turunnya Soeharto beserta penghuni kekuasaan selalu menggema. Tak hanya mahasiswa saja, bahkan sampai penghuni kolong jembatan pun cukup lantang. “Soeharto dalang semua bencana,” bunyi salah satu poster dalam aksi massa itu.
Namun, kekuasaan yang bertumpu pada Presiden Soeharto masih saja memunculkan ketakutan yang luar biasa. Belum puas rasanya dengan empat kedudukan sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, mandataris dan panglima tertinggi angkatan bersenjata – dan enam kekuasaan kekuasaan eksekutif, administratif, legislatif, yudikatif, diplomatik, dan kekuasaan militer, masih ditambah dengan menghidupkan kembali Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/1998. Tap yang berisi pelimpahan wewenang kepada Presiden RI ini, bisa jadi suatu pengabsahan tindakan presiden atas nama pembangunan.
“Tak adanya pembatasan secara tegas, inilah kelemahannya,” kata Harun Alrasyid seperti dikutip dari Majalah Forum Keadilan.
Akar persoalan inilah yang menjadi penyebabnya. Dengan kekuasaan yang demikian besar ini, cenderung menjurus pada upaya menjadikan diri Presiden Soeharto sebagai presiden seumur hidup. “Kultus individu ini lebih berbahaya karena menjadikan manusia di atas Tuhan,” kata Amien Rais.
Namun tak hanya pemimpinnya saja yang harus dilumat, tapi sistem yang mengungkungnya pun harus diganti. “Sistem yang dimainkan Orba ini sudah sangat buruk,” tegas Amien. Alasannya, selama ini tidak ada mekanisme yang mengawasi penyelewengan yang terjadi.
Lembaga perwakilan rakyat yang bertugas mengontrol jalannya pemerintahan, sekarang ini sudah tak bergigi lagi. Masih tampak di hadapan mata, bagaimana Sidang Umum MPR yang menelan dana 45 miliar ini, hanyalah paduan suara tanpa makna. Begitu pula susunan kabinet pembangunan VII, ibarat memilih kucing dalam karung. Penempatan orang-orang yang tak profesional ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat. Isu nepotisme pun menyeruak, menyambut masuknya Tutut, si puteri sulung, dalam jajaran kabinet tersebut.
“Rakyat sudah sulit percaya karena timing-nya sudah agak terlambat. Sudah 32 tahun rakyat dikhianati,” kata Amien.
Menurut Megawati, sumber dari kegagalan pembangunan politik ini pada dasarnya disebabkan oleh dipertahankannya arogansi dan hegemoni kekuasaan. “Seakan kita hidup dalam suatu negara berdasar kekuasaan yang jauh dari harapan hidup di sebuah negara berdasarkan hukum,” tegas Megawati.
Pemilu yang merupakan pesta demokrasi ini telah dinodai tingkah laku penguasa yang tetap ingin mempertahankan status quo. Pemilu 1997 menjadi gambaran yang amat jelas, bagaimana kekuasaan dengan jalan apapun berusaha merekayasa kehidupan demokrasi. Ketika hasil resmi diumumkan tiga minggu kemudian, ternyata perolehan di seluruh provinsi mengalami perubahan secara fantastis. Di Sumatera Utara, perolehan PDI bertambah 62.279 dari hasil final yang diumumkan, sedangkan di Jawa Tengah PDI kehilangan 35.802 suara.
“Transparansi proses politik sebagai landasan utama demokrasi nyaris tak terlihat,” kata Riswanda, mantan aktivis GMNI ini. “Sehingga Pemilu tidak menjamin ikatan emosi antara rakyat dan para wakilnya,” tambah Riswanda.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa ketertutupan proses politik selama ini semakin menumbuhkan penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak bisa dibantah, penyakit ini telah melembaga dalam struktur kekuasaan. “Demi status quo, penyakit ini memang sengaja dilestarikan,” tegas Amien Rais.
Pendapat Amien Rais ini diamini pula oleh Drs. Revrisond Baswir, MBA., Direktur Institute Development dan Economic Analisis (IDEA). Tak bisa dipungkiri, pemerintah telah membangun basis pertahanan ekonomi untuk melestarikan kekuasaannya. “Fasilitas dan jabatan strategis hanya diberikan kepada orang-orang yang loyal pada kekuasaan saja, tak peduli rakyat menderita atau tidak,” kata Revrisond, pengamat ekonomi dari UGM, dan pakar perkoperasian ini.
Tak heran penyakit korupsi ini begitu mendarah daging. Salah seorang pengamat masalah ekonomi Indonesia dari Northern University, Amerika Serikat, Jeffrey Winters, pada 30 Juli 1997, menyatakan bahwa sepertiga pinjaman Bank Dunia untuk Indonesia bocor ke dalam birokrasi pemerintahan dan hilang. Fakta yang diungkapkan pada Forum Internasional Lembaga Swadaya Masyarakat tentang pembangunan Indonesia ini mengabsahkan pendapat Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo. “Kebocoran di sektor dana pembangunan negeri ini, selama Pelita V sekitar 30 persen,” kata Sumitro, Begawan ekonomi Indonesia, tiga tahun lalu.

Kasus yang paling tampak di depan mata, misalnya, pembangunan Bendungan Kedungombo, Jawa Tengah. Proyek yang salah satu dananya berasal dari Bank Dunia ini sejak mulai dikerjakan pada tahun 1985-1986 hingga sekarang masih bermasalah. Terutama, soal kesepakatan ganti rugi proyek senilai Rp 560 miliar ini memang sangat menindas rakyat.
Bisa jadi, tingkat korupsi ini hanya omong-kosong saja, kalau tak ada bukti yang kuat. Tapi ini lain soal, karena hasil survei Transparancy International – sebuah lembaga swadaya masyarakat berpusat di Berlin, Jerman, yang dipimpin oleh Peter Eigen, seorang pejabat Bank Dunia, menempatkan Indonesia di urutan pertama negara yang tingkat korupsinya paling tinggi, dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 1995 dan 1996.
Bahkan, ketika 25,9 juta orang (sumber: BPS) berada di bawah jurang kemiskinan, masih ada beberapa orang yang mempunyai kekayaan berlebihan. Menurut laporan Majalah Forbes, majalah ekonomi terkemuka di Amerika Serikat, edisi 28 Juli 1997, kekayaan Presiden Soeharto mencapai US$ 16 milliar, atau dengan kata lain apabila kurs Rp 10 ribu per dolar, maka senilai 160 triliun. Padahal, hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 140 miliar. Tentu saja, rakyatlah yang akan menanggung beban hutang luar negeri itu.
Potret kehidupan berbangsa dan bernegara seperti inilah yang menjadi penyebab terjadinya krisis. Badai krisis moneter yang menerpa mengamini kebobrokan pemerintahan Orba. Penyakit kronis yang melanda Indonesia ini memang telah dibayar mahal dengan penderitaan rakyat. Bayangkan, akibat krisis moneter ini rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa. Angka pengangguran menurut SPSI, tahun 1998, mencapai 67,7 juta orang dibarengi dengan kenaikan harga sembako yang membumbung tinggi. Tingkat inflasi pun sama saja, semakin tidak terkendali. Hingga bulan April ini, tercatat sebesar 33,09% padahal dalam target adalah hanya sekitar 20% saja. Bahkan, kondisi ini akan semakin diperparah dengan adanya kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Dan tentu saja harga barang kebutuhan lain akan saling bersahutan meminta harga dan tarif penyesuaian.
“From bad to worse, dari keadaan yang sudah buruk bergerak ke keadaan yang lebih parah,” kata Dr Amien Rais, yang juga Ketua Pengurus Pusat Persyarikatan Muhammadiyah.
Keadaan rakyat ini sangat bertolak-belakang dengan sikap pemerintah. Meski penderitaan dan tuntutan rakyat ini terus bergumul, tapi hanya dianggap seujung kuku hitam saja. Watak Orba dengan ciri stabilitas politik dan pembangunan ekonomi inilah yang selalu dipelihara.
“Keserakahan telah merajalela dalam kehidupan para penguasa politik dan ekonomi,” kata Megawati.
Ketika People Power Tiba
Benih-benih perlawanan memang sudah mulai bersemi meski dalam bentuk kekerasan. Tercatat rentetan peristiwa sosial-politik yang terjadi sepanjang tahun 1997, seperti peristiwa Situbondo, Sanggau Ledo, Tasikmalaya, Timika, Ujung Pandang, Medan sampai Tanah Abang.
Belum reda derai air mata menetes, masih ditambah dengan pembantaian mahasiswa dalam aksi menuntut reformasi. Pemerintah masih saja berlaku picik dengan kekuatan senjata membalas tuntutan rakyat dengan berondongan peluru.
Rakyat yang sudah terlanjur muak kembali memecah lamunan pemerintah. Berbagai kota telah berkobar, korban- korban pun berjatuhan.
“Kasus itu sebagai akumulasi aspirasi sosial yang tidak mendapat tanggapan memadai dari penyelenggara sistem politik,” ujar Riswanda.
Padahal, lanjut Riswanda, rangkaian kasus itu terjadi ketika masyarakat makin cerdas, makin paham akan mekanisme politik yang dikehendaki UUD ‘45. “Kecerdasan masyarakat ternyata tidak diikuti dengan pola permainan politik yang cerdas pula,” papar Riswanda.
Kesenjangan komunikasi politik antara pemerintah dengan rakyatnya yang sudah terpelihara sejak lama, telah memunculkan kebekuan politik. Tak ada jalan lain, kata Arbi Sanit, maka harus dibuka dengan jalan people power. “People power bisa mendorong perubahan,” jelas Arbi Sanit beralasan.
Selama ini, berbagai himbauan maupun peringatan kepada pemerintah tak satupun yang didengar. Meski tuntutan reformasi itu kian menggelembung, tapi sistem yang ada tidak memungkinkan adanya perubahan. Sehingga people power menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. “Karena sistemnya tertutup perlu dijebol dengan people power,” kata dosen UI yang berambut gondrong ini.
Apalagi bila para penyelenggara negara tetap saja tidak menunjukkan sense of crisis dan masih menganggap enteng situasi yang sudah parah ini, maka people power semakin menggumpal padat. Aksi “Akhirnya menjadi suatu kenyataan yang sulit dibendung,” kata Amien.

Bahkan, Prof Dr Selo Sumardjan, sosiolog UI, memberikan resep bagaimana mendorong people power tersebut. Aksi-aksi mahasiswa ini harus keluar dari kampus dan masuk ke berbagai pelosok menerangkan kepada rakyat perlunya bergerak untuk perubahan. “Sekarang ini orang bicara tentang perlunya people power, ini timing yang baik,” kata Selo Sumardjan.
Jalan menuju people power ini memang tak semulus jalan tol. Tak begitu saja disepakati pemerintah. Alasannya, people power akan memakan korban rakyatnya sendiri. Perubahan, menurut kaca mata penguasa, haruslah berjalan secara konstitusional melalui mekanisme yang ada.
Namun Amien membantah keras bahwa people power mengarah pada kekerasan. Kasus people power di Filipina merupakan contoh yang amat agung. Pergantian rezim ini tidak melalui jalan kekerasan, apalagi sampai meneteskan darah rakyat. “People power itu konstitusional dan bisa dengan cara damai,” tegas Amien.
Upaya ini akan sukses dan krusial untuk mewujudkan people power, lanjut Amien, apabila ada faktor ABRI sebagai the true power holder di Indonesia. Sejarah memang telah membuktikan koalisi tersebut. “Kalau seribu orang rakyat saja maka akan berhadapan dengan ABRI. Tapi kalau satu juta orang, maka ABRI akan di belakang rakyat,” papar Amien.
Bukan aneh lagi kalau ABRI ini tergolong makhluk yang selalu berdiri pada pihak yang akan menang. Sebab, kata Amien, posisi ABRI itu tergantung persepsinya pada tuntutan perubahan atau reformasi yang sudah demikian meluas di seluruh kalangan di Indonesia.
Persoalan ini memang sangat dilematis. Di satu sisi, tumbangnya rezim oleh kekuatan rakyat yang didukung militer pasti akan kembali ke siklus semula. Kelahiran Orba menjadi cermin buram, di mana kekuatan militer akhirnya mendominasi segala sektor kehidupan.
“Koalisi bisa terjadi apabila ada kesepakatan antara mahasiswa atau rakyat dengan militer. Setelah ini langsung dibentuk aturan hukum segera agar tidak terjadi kesalahan lagi,” kata Riswanda.
Angin pun bisa berbalik arah. Suara sumbang terhadap perlawanan rakyat ini terbantah dengan keberhasilan menumbangkan sang tiran Suharto. Tak perlu koalisi ataupun harus berada di ketiak tentara. Mahasiswa bersama rakyat bersatu padu memenuhi jalanan dengan berbagai tuntutan perubahan.
Yang pasti, people power tidak lah memerlukan pendamping untuk melumatkan kekuasaan. Sebab, mengingat tuntutan rakyat semakin menggumpal dan makin bergejolak. Sementara itu pemerintah sendiri, masih terlalu segan mendengar jerit hati rakyat ini. Bahkan membuangnya dalam tong sampah kekuasaan.
“Kalau segala upaya dan jalan secara demokratis untuk melakukan reformasi telah ditempuh namun kenyataannya rakyat semakin menderita, maka people power dapat dilakukan untuk mengganti kepemimpinan nasional,” tegas Amien Rais.
Sejarah pun tertulis dengan tinta emas. People power terbukti telah melumatkan kekuasaan yang tiran. Letusan peluru dan tetesan darah tak membungkam perlawanan mahasiswa, malah justru kebangkitan itu berkibar.
Tak terbantah, sang tiran Suharto bertekuk lutut dalam hangatnya pangkuan rakyat. Ketika api people power membakar sekam kekuasaan, tak ada lagi tempat bagi sang tiran.
Penulis: HIMMAH/Tedy Novan
Pengalih Media: HIMMAH/Nurhayati
Peringatan Hari Buruh Internasional dan Isu Perbudakan Modern di Indonesia
Himmah Online- Aliansi Masyarakat Untuk Demokrasi mengadakan aksi, pada peringatan hari buruh internasional di depan Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (01/05). Pada tahun ini, aksi tersebut mengangkat isu “Perbudakan Modern” sebagai tajuk utama.
Dalam aksi tersebut, massa aksi mengajukan beberapa tuntutan diantaranya kenaikan upah buruh, penghapusan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, penghapusan Sistem Kerja Kontrak, dan penghapusan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2023.
Adapun inti dari semua tuntutan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, yang selama ini masih kurang menjadi perhatian pemerintah maupun pemilik perusahaan.
Meski peringatan hari buruh Internasional atau May Day diadakan setiap tahun, tetapi isu perbudakan modern yang diangkat sebagai tajuk utama pada peringatan kali ini menjadi terlihat cukup menarik.
Berdasarkan penuturan dari Irham, selaku koordinator lapangan aksi, alasan disorotinya isu perbudakan modern pada tahun ini, yakni karena semakin masifnya perbudakan modern yang terjadi di Indonesia. Dimana masih banyak buruh yang tidak mendapatkan perlindungan, khususnya perlindungan dari Undang-Undang negara.
“Selama ini, Undang-Undang mengatur tentang buruh yang ada di perusahaan korporat atau formal saja. Namun ternyata, jumlah buruh yang bekerja di sektor informal itu jauh lebih banyak,” jelas Irham.
Perbudakan Modern
Anti-Slavery International, organisasi non-pemerintah yang berbasis di Inggris, mendefinisikan perbudakan modern sebagai seseorang yang dieksploitasi oleh orang lain untuk keuntungan pribadi atau komersial.
Menurut mereka, Perbudakan modern ada di sekitar kita, bahkan seringkali tersembunyi walaupun ada di depan mata. Orang bisa diperbudak dengan membuat pakaian, menyajikan makanan, memetik hasil panen, bekerja di pabrik, atau bekerja di rumah, seperti juru masak, petugas kebersihan, dan pengasuh anak.
Berdasarkan data dari Global Estimates of Modern Slavery, pada tahun 2021 sebanyak 50 juta orang di dunia hidup dalam perbudakan modern. Adapun 28 juta orang mengalami kerja paksa dan 22 juta orang terjebak dalam pernikahan paksa.
Jumlah perbudakan modern meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Perbudakan modern terjadi hampir di seluruh negara di dunia saat ini. Sebagian besarnya, yakni sebanyak 86 persen adalah kasus kerja paksa yang ditemukan di sektor swasta.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbudakan modern.
Faktor pertama, yaitu keterpaksaan, bisa dilihat dari kasus kemiskinan yang membuat orang bekerja secara paksa karena tidak ada pilihan lain untuk mencari penghasilan. Faktor kedua adalah sulitnya posisi tempat bekerja untuk diakses, bukan saja oleh keluarga ataupun masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah. Hal tersebut membuat akses mereka untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan itu masih sulit. Faktor ketiga adalah masih adanya negara yang tidak terlalu memperhatikan hak-hak buruh.
Perbudakan Modern di Indonesia dan UU Cipta Kerja
Adapun di Indonesia, perbudakan modern ternyata juga masih banyak terjadi. Hal tersebut diungkapkan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga dalam webinar yang diadakan oleh Yayasan Parinama Astha dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2021 lalu.
“Realitas perbudakan di Indonesia masih terjadi, fenomenanya seperti gunung es yang terlihat hanya di permukaan saja, kasus Benjina dan Sumba contohnya,” jelasnya.
Sandra melanjutkan bahwa perbudakan modern banyak terjadi di berbagai sektor, seperti sektor perikanan, perkebunan, dan buruh migran luar negeri.
Mengaitkan isu perbudakan modern di Indonesia dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal tersebut melihat banyak tuntutan buruh yang menolak UU tersebut karena dianggap mendukung adanya perbudakan modern di Indonesia.
Dilansir dari situs SindoNews.com, UU tersebut secara cepat disahkan pada 5 Oktober 2020. Kemudian telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo meski banyak menuai kontroversi, seperti labilnya jumlah halaman, minimnya partisipasi publik, naskah akademik yang amburadul, dan sebagainya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan bahwa dalam UU Cipta Kerja diperbolehkan menerapkan sistem kerja outsourcing pada semua jenis pekerjaan.
Secara sederhana, tenaga outsourcing adalah tenaga kerja yang bekerja di satu perusahaan atau institusi, tetapi secara hukum, mereka berada di bawah perusahaan lain atau agen yang menaungi. Adapun dalam konteks perbudakan modern ini, bisa dibilang yang menjadi agen mereka adalah negara.
Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam sistem kerja outsourcing seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Dalam praktiknya, agen outsourcing sering tidak bertanggung jawab terhadap masa depan pekerjanya karena agen outsourcing hanya menerima “success fee” per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna.
“Saya berharap agar negara lebih memperhatikan nasib para buruh, khususnya buruh informal. Jangan hanya karena ingin meningkatkan perekonomian, negara mempertaruhkan nasib rakyat. Saya juga berharap agar para buruh bisa lebih bersatu agar kita menyuarakan hal yang sama kepada para pemangku kebijakan,” ungkap Irham.
Reporter: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi, Qothrunnada Anindya Perwitasari
Editor: Jihan Nabilah
PPLP-KP Terus Tumbuh dan Melawan: Syawalan dan Hari Lahir ke-17
Himmah Online, Yogyakarta – Anggota Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP) mengadakan Syawalan sekaligus memperingati hari lahir mereka yang ke-17 pada Minggu (07/05). Mulai dari orang tua hingga anak-anak, turut memeriahkan forum yang difungsikan untuk menyambung napas perjuangan mereka dalam menolak pertambangan pasir besi di kawasan pesisir pantai Kulon Progo.
Kegiatan tahunan ini berlangsung selama dua hari. Hari pertama digunakan untuk pengajian dan mujahadah. Mereka membaca doa secara serentak, pada Sabtu malam (06/05). Besok paginya, tepat pukul 08.00 WIB, gunungan yang terdiri dari hasil bumi petani diarak mengelilingi desa menggunakan mobil bak terbuka.
Bertajuk “Terus Tumbuh dan Melawan”, kegiatan ini menyedot banyak perhatian warga setelah dua tahun dilakukan secara internal akibat dampak Covid-19. Dalam kegiatan ini, juga turut dihadiri oleh masing-masing perwakilan dari aktivis Bandung, Tumpang Pitu Banyuwangi, petani Pakel, dan petani Wadas.
PPLP-KP Bermula
“Wiwit adeg ipun, PPLP sampun nggadahi sedya, nolak tambang pasir besi (sejak berdirinya, PPLP sudah mempunyai niat, menolak tambang pasir besi),” gelegar orasi Supriyadi, koordinator PPLP-KP dalam membuka acara ini.
PPLP-KP telah ada sejak 2006. Awal mula berdirinya diinisiasi sejak adanya isu pertambangan pasir oleh PT. Jogja Magasa Iron, sebuah perusahaan pemegang kontrak penambangan pasir besi di kawasan pesisir pantai Kulon Progo. Beberapa kelompok berkumpul dan bersatu membentuk sebuah organisasi yang dinamakan PPLP-KP.
“Waktu itu kita dari sekian banyak kelompok tani yang ada di wilayah pesisir bersatu untuk membentuk organisasi, yaitu PPLP-KP yang hari ini kita peringati yang ke-17 tahun itu untuk melakukan rencana penolakan tambang besi, pasir besi itu,” tegas Didi, salah satu anggota PPLP-KP.
Menurut penuturan Supriyadi (58), selain sebagai wadah untuk menyatukan suara penolakan tambang pasir besi, sebagai fungsi awal, PPLP-KP juga membantu petani dalam mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, seperti kelangkaan pupuk, harga jatuh, dan sebagainya. Kegiatan utamanya adalah untuk melindungi dan mengamankan keberlangsungan hidup para petani lahan pesisir.
“Tapi yang menjadi persoalan yang menyusul itu kan justru persoalan lahan,” ujar Supriyadi.
Lima Poin Perjanjian
Parno (53), salah satu juru bicara PPLP-KP, mengungkap adanya perjanjian yang dikeluarkan oleh PT. Jogja Magasa Iron (JMI). Ia menuturkan ada lima poin perjanjian yang dilakukan oleh JMI kepada masyarakat.
“Pasal pertama, mengakui tanah PA (Pakualaman). Kalau masyarakat tidak mengakui tanah PA, itu tidak mungkin PA bisa mensertifikat tanah tersebut. Pasal dua, surat rahasia dalam dua tahun dari 2013. Pasal tiga, ikut mengamankan lokasi yang telah dikompensasi dan sekarang dalam beteng. Pasal empat, biaya administrasi ditanggung oleh JMI. Yang bahaya pasal lima ini. Pasal lima, ini isinya bila petani tidak punya bukti hak garap, uang akan diminta kembali oleh JMI,” tutur Parno.
Parno menilai akan ada “tukar guling” yang disebabkan tidak adanya bukti hak garap. Warga yang tidak memiliki bukti hak garap dan tidak memiliki tanah selain di pesisir diharuskan mengembalikan uang kompensasi dari JMI. Jika uang itu tidak mencukupi akan diadakan appraisal (penilaian) pada rumah petani tersebut dan petani akan kehilangan rumahnya.
“Bila kurang, ya, bagaimana menutupi. Bila lebih, ya, akan dikembalikan pada yang punya rumah tersebut,” ujar Parno.
Surat Keramat PPLP-KP
Puncak acara diisi dengan pembacaan press release dengan judul “Surat Keramat PPLP-KP Terus Tumbuh dan Melawan”. Dalam surat tersebut, PPLP-KP menegaskan sikapnya dalam enam poin.
Pertama, menolak rencana tambang pasir besi di pesisir Kulon Progo. Kedua, menolak Sultan Ground/Paku Alaman Ground (SG/PAG) dan segala rencana sertifikasi dan pendataan tanah pesisir Kulon Progo oleh Kesultanan dan Pakualaman. Ketiga, menolak perampasan ruang hidup dalam bentuk apapun di Indonesia. Keempat, hentikan tindakan kriminalisasi warga yang berjuang mempertahankan ruang hidup. Kelima, bebaskan para petani yang dipenjarakan dengan secara tidak adil. Keenam, menolak undang-undang minerba dan undang-undang cipta kerja.
Sultan Wis Ngendika
Berbagai inovasi dilakukan oleh para petani lahan pesisir kulon progo. Salah satunya adalah dengan uji coba penanaman cabai dengan jenis bibit LABA F1 keluaran Panah Merah. Usaha itu menuai hasil yang memuaskan–mereka panen besar.
“Kita undang yang berkuasa di Yogyakarta, gubernur ngarso dalem HB (red–Hamengkubuwono) X, kita undang untuk panen raya,” ujar Supriyadi.
Saat itu, ada salah satu warga yang menyampaikan rasa khawatirnya atas adanya rencana pertambangan pasir besi yang akan mengenai lahan sawah mereka kepada Gubernur Yogyakarta.
“Beliaunya ngendika (mengucapkan), ‘Woh… tidak bakalan ada. Tidak akan ada rencana penambangan pasir di Kulon Progo, itu enggak ada. Monggo lahan-lahan yang masih “tidur”, lahan-lahan yang masih belum digarap, silahkan digarap, dioptimalkan. Ke depan akan bisa mengangkat perekonomian masyarakat pesisir ini’,” tutur Supriyadi sambil mengingat ulang peristiwa tersebut.
Perkataan tersebut, menurut Supriyadi, yang menjadi landasan bagi petani lahan pesisir agar tetap menanam dan menggunakan lahan tersebut, untuk kegiatan produktifitas sehari-hari hingga hari ini.
“Di samping itu juga, sabda pandita ratu tan kena wola wali (perkataan raja tidak boleh berubah-ubah). Itu yang dipegang oleh masyarakat sampai saat ini. Makanya, ya, nyuwun sewu, yo wis nek beliaunya sudah ngendikan bedini, ya, masyarakat kan tentrem,” tandas Supriyadi.
Reporter: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Galuh Nugraheni Hana Pratiwi, Qothrunnada Anindya Perwitasari, R. Aria Chandra Prakosa
Editor: Jihan Nabilah