Beberapa perwakilan anggota dari setiap Lembaga Khusus berbaris di depan panggung acara menghadap mahasiswa dan mahasiswi baru pada penutupan acara kegiatan Show Up UKM & LK Jumat (11/8). Foto: Magang Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah
Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala UNISI) mendemonstrasikan "Safety Rescue" dalam acara "Show up UKM dan LK" pada Jumat(11/8). Foto: Magang Himmah/Fairuz Tito
Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Tenis Lapangan UII sedang mengangkat poster bertuliskan “Come and Join Us Now!” di acara Stand UKM pada Jumat (11/8). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Beberapa brosur yang didapatkan salah satu peserta Pesona Ta'aruf Universitas Islam Indonesia 2023 di acara Stand UKM pada Jumat (11/8). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Pembagian brosur Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unisi Softball di acara Stand UKM Pesona Ta'aruf Universitas Islam Indonesia 2023 pada Jumat (11/8). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Pembagian brosur dan peragaan kostum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unisi Xaviera dalam acara Stand UKM Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia 2023 pada Jumat (11/8). Foto: Magang Himmah/Fairuz Tito
Himmah Online, Kampus Terpadu – Kegiatan melukis caping merupakan suatu inovasi baru dalam rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) 2023. Kegiatan yang berlangsung pada Kamis (10/8) ini melibatkan seluruh mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba). Mereka mulai melukis dari pukul 15.45 hingga 17.00 sore di depan panggung utama area Fakultas Kedokteran Gedung Dr. Soekiman Wirjosandjojo Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia (UII).
Penggunaan caping adalah bentuk evaluasi kecil dari acara tahun lalu, yakni kondisi yang tidak kondusif akibat cuaca panas.“Seperti yang bisa kita tahu pr (red-pekerjaan rumah) dari tahun lalu itu banyaknya maba-miba yang jatuh pingsan karena situasi yang sangat panas,” ungkap Rule Junior selaku ketua Organizing Committee (OC).
Caping bukan hanya digunakan sebagai media mitigasi panas, namun dapat digunakan sebagai media kreativitas bagi maba-miba. “Dari maba, itu, bisa mengkreasikan lagi kreativitasnya” tutur Rule.
Ia juga menuturkan, panitia ingin mengemas caping bukan hanya untuk dibawa tapi bisa menjadi alat untuk kreativitas dari situlah muncul ide menggunakan sampai mengadakan melukis caping. “Otomatis tercetuslah ide itu saat itu,” jelas Rule.
Menurut Marcel, ketua Steering Committee (SC), diadakannya acara ini tidak memberatkan mahasiswa jika dilihat dari fungsinya. Caping itu melindungi maba-miba dari terik panas matahari. Selain itu, hasil lukisan caping juga dapat menjadi kenang-kenangan semasa PESTA. Harga yang dikeluarkan maba-miba untuk pembelian caping dan cat warna juga sebanding dengan manfaat yang didapatkan.
“Iya, sebanding banget. Karena esensinya, kan, mitigasi panas. Untuk caping sendiri, nah, itu untuk kesehatan diri kita sendiri agar gak repot di belakang,” jelas Marcel.
Hasil dari lukisan maba–miba ini akan dinilai berdasarkan kreativitas dengan tema adanya kesan budaya nusantara. Panitia akan memberikan penghargaan untuk hasil lukisan terbaik dari maba-miba. “Tentu saja ada reward,” jelas Marcel.
Meski tidak memberatkan, Kayla Azla, miba Prodi Hukum mengaku lelah karena padatnya acara yang berlangsung sepanjang hari. “Cuma kan, yah… capek juga. Karena, kan, acaranya dari pagi,” keluh Kayla.
Caping juga tidak sepenuhnya menghalangi maba-miba dari sengat terik matahari. Karena ukuran caping yang kecil menyebabkan sebagian tubuh mereka tidak tertutupi. “Tapi salah satu cara kita untuk menguranginya mengurangi sentuhan langsung antara panas matahari dengan mahasiswa mahasiswi baru.” pungkas Rule.
Himmah Online, Kampus Terpadu – Pesona Ta’aruf (PESTA) sebagai rangkaian pengenalan kampus kepada mahasiswa baru Universitas Islam Indonesia (UII) kembali dilaksanakan pada Kamis (10/08). Seluruh mahasiswa baru berkumpul di lapangan depan Fakultas Kedokteran Kampus Terpadu UII untuk melangsungkan pembukaan acara PESTA mulai pukul 7.30 hingga 9.30 pagi.
Sambutan dari Rohidin, Wakil Rektor III UII, turut meramaikan jalannya acara pembukaan PESTA. Dalam sambutan itu Rohidin mewakili rektor UII, Fathul Wahid yang berhalangan hadir karena sakit.
Rohidin mengatakan bahwa demi mencetak cendekiawan muda, para mahasiswa akan disemai melalui prinsip-prinsip kebajikan intelektual dan moralitas. “Mahasiswa UII diharapkan mampu berkontribusi melalui pemikiran, gagasan dan inovasi untuk menebarkan manfaat bagi masyarakat luas” jelas Rohidin.
Pesta tahun ini mengusung tema “Berpendidikan dengan Rasa Merdeka Berdaya di Bumi Nusantara” (Bestari Nuraga Maharddhika Nusantara). Rohidin berharap agar tema ini tidak hanya menjadi jargon semata. “Namun, betul-betul terinternalisasi dan menjadi karakter pribadi mahasiswa dan mahasiswi Universitas Islam Indonesia,” harap Rohidin.
Mahasiswa UII dituntut agar terus berinovasi, berempati yang kuat serta proaktif dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Selain itu, mahasiswa UII juga harus aktif mendorong masyarakat dalam menghasilkan karya yang bertujuan menyiapkan masa depan yang gemilang. “Sebagai perwujudan visi rahmatan lil-alamin” tutur Rohidin.
Mahasiswa UII juga diharapkan untuk terus merawat nilai-nilai luhur yang ada di Nusantara dengan merawat keberagaman bangsa serta tidak lupa akan kesadaran perspektif yang mendunia. “Dan sadar akan pentingnya perspektif yang luas di tingkat dunia”, jelas Rohidin.
Sebuah pantun dibacakan untuk mengakhiri sambutan itu. “Perbanyak inovasi di era destruksi, demi menjamin kualitas pendidikan kita, mahasiswa UII penuh prestasi calon pemimpin masa depan Indonesia,” pungkas Rohidin.
Pada kesempatan yang sama sambutan juga disampaikan oleh Rule Junior, Ketua Organizing Committee (OC); Marcel Dewan, Ketua Steering Committee (SC); Muhammad Reyhan, Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII; serta T. Said Jihad selaku ketua Dewan perwakilan Mahasiswa (DPM) UII.
Acara diakhiri dengan proses pemindaian tangan oleh Ketua LEM, Ketua DPM, Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Keagamaan dan Alumni, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Karier, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset, dan Wakil Rektor III UII. Proses ini sekaligus menjadi simbol peresmian pembukaan PESTA 2023.
Himmah Online – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap minoritas Uighur tak hanya dilatarbelakangi oleh perbedaan agama dan budaya saja. Ada sebuah kepentingan yang berkait dengan wilayah tempat tinggal mereka, yakni Xinjiang.
China memiliki suatu proyek perdagangan dan infrastruktur yang dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI). Proyek ini pertama kali diperkenalkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013 di Kazakhstan, dengan istilah One Belt One Road (OBOR). Tujuannya untuk menghubungkan tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa) melalui jalur darat dan laut.
Sebenarnya, proyek besar ini terinspirasi dari konsep Silk Road (Jalur Sutra) yang dibangun oleh Dinasti Han China pada 206 SM hingga 220 M. Dan sejak itu, Xinjiang telah menjadi jalur utama perdagangan China, khususnya sutra.
Xinjiang dipilih karena berbatasan dengan delapan negara tetangga China: Afghanistan, India, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Pakistan, Rusia, dan Tajikistan.
Sejak zaman kuno, China terhubung dengan mitra globalnya melalui enam koridor ekonomi yang tiga di antaranya terletak di provinsi Xinjiang, yaitu (1) New Eurasian Land Bridge Economic Corridor (NELBEC) menghubungkan Xinjiang ke Rusia Barat dan kemudian ke Eropa; (2) China-Central Asia-West Asia Corridor (CCAWEC) menghubungkan Xinjiang ke Turki melalui Asia Tengah dan Barat; dan (3) China Pakistan Economic Corridor (CPEC) menghubungkan Xinjiang ke Laut Arab saat melewati Pakistan.
Letaknya yang sangat efisien ini kembali menjadikan Xinjiang sebagai sasaran jalur utama pada proyek BRI untuk menjangkau pasar Asia Tengah, Timur Tengah dan Eropa.
Pada tahun 2022, pemerintah China memberikan investasi infrastruktur transportasi kepada Xinjiang. Investasi tersebut mencapai 900 miliar yuan (135,09 miliar USD). Keseluruhan investasi aset tetap di Xinjiang mencapai 820 miliar yuan pada tahun 2021, dan terus meningkat 15 persen dari tahun ke tahun.
Namun, saat proyek tersebut berjalan, muncul kekhawatiran akan ketidakstabilan di Xinjiang. Uighur sangat berbeda dengan etnis Han-China. Mereka beragama Islam, bahasa dan budayanya seperti orang Asia Tengah. Perbedaan yang sangat signifikan ini, dianggap akan menghambat proses jalannya proyek BRI.
Partai Komunis China (PKC), khususnya para pemimpin di Beijing, mengkhawatirkan adanya keterkaitan antara Uighur dan gerakan transnasional Islam, yaitu gerakan Islam lintas negara seperti Al-Qaeda. Pasalnya, di tahun 2009, gerakan itu pernah meminta Uighur untuk melakukan jihad mengangkat senjata mereka demi melawan para penindas etnis Uighur.
Selanjutnya, pada tahun 2017, Islamic State of Iraq and Syria(ISIS) merilis video seorang pejuang Uighur di Irak yang menyuarakan serangan ke China.
Keterlibatan gerakan-gerakan Islam tersebut dianggap berpotensi memengaruhi Uighur untuk melakukan kerusuhan, yang dapat menimbulkan gerakan separatis. Apabila hal ini terjadi, legitimasi PKC dan kehidupan para pemukim Han-China akan terancam, kemudian menghambat proyek-proyek besar China di Xinjiang, khususnya BRI.
Oleh sebab itu, pemerintah China menerapkan berbagai kebijakan kejam untuk mengawasi pergerakan Muslim Uighur, guna menjaga stabilitas politik dan keamanan internal di Xinjiang, sebagai jalur utama proyek BRI.
Kebijakan PKC untuk Uighur
Uighur mendeklarasikan kemerdekaan pada 1933 sebagai Republik Turkestan Timur. Tetapi kemerdekaannya berumur pendek. Negara itu kembali digulingkan pada 1934, setahun setelah merdeka. Dan secara resmi menjadi bagian dari Komunis China.
Sejak 1950-an, PKC menerapkan kebijakan hanifikasi, yaitu pemindahan penduduk Han (etnis mayoritas China) ke Xinjiang untuk melemahkan kedudukan Uighur di wilayah itu secara sosial-ekonomi dan politik. Han-China di wilayah itu, yang mulanya hanya 300.000 pada tahun 1953, meningkat menjadi 6 juta pada 1990.
Kemudian, terjadi hanifikasi besar-besaran kedua pada 1990-an. PKC menawarkan “Big Development of the Northwest“, sebuah program ekonomi insentif. Program tersebut mendorong Han-China miskin dari daerah terbelakang untuk pindah ke Xinjiang. Alhasil, Han-China mencapai 41 persen dari total populasi Xinjiang pada tahun 2020.
Pada September 2021, China pertama kali merilis buku putih mengenai dinamika populasi di Xinjiang. Buku berjudul Xinjiang Population Dynamics and Data tersebut menunjukkan bahwa populasi Uighur telah meningkat dari 3,61 juta pada tahun 1953 menjadi 11,62 juta pada tahun 2020.
Namun, data tersebut dianggap tak sesuai dengan fakta. Rian Thum, seorang sejarawan Islam di China, mengungkapkan bahwa data peningkatan pertumbuhan 2010 hingga 2020 mengabaikan penurunan populasi dari 2017 dan seterusnya. Data disajikan dalam satu blok, sehingga penurunan populasi Uighur 2017-2020 tertutupi oleh tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi pada 2010-2016.
Selain hanifikasi, China juga menerapkan Kebijakan Satu Anak (One Child Policy) untuk menipiskan populasi Uighur. Kemudian mempromosikan Putonghua (Tionghoa Mandarin) sejak 1978 di wilayah Xinjiang, agar Uighur tidak mengembangkan bahasanya.
Para imam diwajibkan menghadiri kamp pendidikan politik yang dijalankan oleh otoritas negara. Mereka dilatih memeluk Islam moderat, layaknya Muslim Hui, muslim minoritas teladan di China, yang mampu beradaptasi dengan budaya dan bahasa Han-China.
Puncak kebijakan ini terjadi saat PKC mendirikan re-education camp (kamp pendidikan ulang) di Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR) pada 2014.
PKC menahan puluhan ribu populasi Uighur ke kamp-kamp tersebut. Mereka dipaksa menghapus budaya dan agamanya. Ada pula yang harus menjadi buruh pabrik. Dengan begitu, mereka akan semakin loyal kepada PKC sehingga mengurangi risiko munculnya terorisme.
Beberapa dari mereka yang ditahan berhasil menyelamatkan diri, kemudian muncul ke publik untuk menyuarakan kekejaman PKC terhadap etnis mereka. Mengetahui hal tersebut, pemerintah China menolak segala tuduhan yang disuarakan oleh mantan tahanan kamp dan mengatakan pernyataan itu sebagai fitnah.
Pemerintah China berdalih, kebijakan yang dilakukan adalah sebagai upaya untuk membendung adanya gerakan yang ingin memisahkan diri dengan China.
Akibat Kekerasan Kebijakan PKC
Berbagai kebijakan PKC yang disertai kekerasan telah membuat Uighur merasa terpinggirkan, bahkan di tanah air mereka sendiri. Orang-orang Uighur menyatakan bahwa operasi kekerasan negara seringkali menargetkan etnis mereka yang tidak bersalah di wilayah tersebut.
Proses ini menciptakan ketidakpercayaan antara Uighur dan Han-China, sekaligus Uighur terhadap pemerintah. Akibatnya, muncul gerakan separatis Uighur.
Pada tahun 90-an, terdapat gerakan pemberontak yang ingin mendirikan kembali Turkistan Timur di Xinjiang. Mereka mengklaim pemberontakan itu sebagai produk kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan PKC terhadap Uighur.
Salah satu kelompok tersebut adalah Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM). Pada 2002, organisasi ini dianggap sebagai organisasi teroris. Tetapi dihapuskan dari daftar tersebut oleh Amerika Serikat pada 2020. Lantaran tak ada bukti jika organisasi itu masih ada.
Lalu pada 2009, terjadi kerusuhan di ibu kota Xinjiang, Urumqi. Setelah kerusuhan itu, pemerintah China menganggap semua warga Uighur berpotensi menjadi teroris. Di tahun-tahun berikutnya, Uighur disalahkan oleh pihak berwenang atas berbagai serangan yang terjadi.
Sebenarnya kerusuhan tersebut bermula dari protes damai, namun menjadi kekerasan karena keluhan-keluhannya terabaikan. Ditambah lagi, PKC yang tampak tak ingin memberikan otonomi politik kepada Uighur.
Negara-negara mayoritas Muslim sudah seharusnya ikut serta memberikan solusi untuk memecahkan masalah Uighur. Ketidakadilan yang dirasakan Uighur akan terus berlanjut jika komunitas global terus saja diam.
*Naskah “Bercermin, Berharap Wajah Perubahan” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH No. 01 Thn. XXX/1997 halaman 62-66. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini, bertepatan dengan tanggal terjadinya Peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) di tahun 1996. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.
“Satu perlawanan, satu perubahan!”, begitu jargon Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sekarang, seakan telah hilang dari peredaran Ibarat “saudara tuanya”, PKI–paling tidak menurut kalangan ABRI–telah dianggap sebagai organisasi terlarang. Sejengkal tanah pun, tak ada tempat bagi mereka. Angin perubahan yang diimpikan untuk tidak mengatakan berhenti sama sekali, kini kian sayup bertiup. Banyak kalangan mengatakan termasuk aktivis Gema, bahwa sebuah perubahan, kadang bagai mimpi di siang bolong.
Pun peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (kudatuli), banyak dianalisis sebagai bukti nyata suatu “ketidaksabaran emosional” kaum muda untuk menanggapi sebuah perubahan. Pendapat ini dibenarkan oleh Adi Sasono, mantan tokoh Gema ini mengatakan bahwa hanya sebuah romantisme jalan pintas. “Terutama kalangan muda, ingin cepat-cepat mengubah keadaaan,” katanya.
Mengapa Perlu Refleksi?
Apa hendak dikata, Budiman dan kawan-kawannya telah ditangkap. Nasibnya pun masih menunggu keadilan sang tuan hakim di depan meja hijau. Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of changes) kian diyakini hanyalah sebuah mitologi dalam dunia pergerakan. Kudatuli seolah mengubah arah angin perubahan yang menerpa alam perpolitikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, seperti yang diutarakan oleh Adi Sasono, paling tidak dalam 3 tahun terakhir ada beberapa kemajuan.
“Petisi 50 tidak lagi dikucilkan secara politik,” katanya memberi sekedar bukti.
Seolah-olah semua usaha sebelumnya mentok. Istilah tiarap kemudian banyak digunakan untuk melihat aktivitas Gema pasca kudatuli. Namun, tiarap seperti yang diamati oleh beberapa kalangan yang berhasil ditemui HIMMAH mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah taktik perjuangan.
Nah, sampai disini, arifkah ketika kemudian untuk berlarut-larut latah mengkambinghitamkan PRD dan menggeneralisir bahwa Gema makin suram? Masih relevankah mahasiswa sebagai agen perubahan? atau tidakkah fenomena PRD itu bagian dari perubahan itu sendiri? Sederet pertanyaan bermunculan.
Menarik sekali ketika Afnan Malay berkomentar, “Yang penting, kudatuli harus dijadikan momentum untuk mempertimbangkan kembali strategi Gema selama ini,” tutur aktivis tahun 1980-an ini bijak.
Refleksi menjadi jalan penuntun meski memerlukan ruang dan waktu untuk bercermin. Yang diperlukan adalah bagaimana kita menjadikan kasus PRD dalam kudatuli menjadi sebuah cermin yang jernih dan bening.
“Buruk muka, cermin dibelah,” kata Ibu guru ketika dibangku sekolah dasar dahulu.
Kudatuli, Sebuah Cermin
27 Juli 1996, menyimpan banyak duka. PRD adalah salah satu yang dikorbankan. Lebih umum lagi, Gema, apapun bentuk organisasi dan ideologinya merasakan perjuangannya selama ini, meminjam istilah Bonar Tigor Naipospos, “patah di tengah jalan”. Bagaimana tidak, segala gerak-gerik Gema setiap saat berpotensi untuk ‘digebuk’, apalagi demonstrasi.
Aktivis PRD. Kepalan tangan tidak lagi kokoh. Foto: Forum
Akar dari pemberangusan ini dikarenakan penguasa tampak tidak bisa menyembunyikan kekalapan dan kepanikannya. Penguasa dengan dukungan militernya menganggap kekuatan senjata adalah jalan yang diambil.
“Perintah tembak di tempat” bagi pelaku kerusuhan sempat tersiar. Jam malam bagi kota Jakarta diberlakukan dalam beberapa hari. Pencidukan di gelapnya malam sempat mengganggu asyiknya mimpi di hari-hari para pejuang demokrasi ini. Demonstran pun lari terbirit-birit, sepertinya bermain kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Ibarat lebaran, banyak pula yang “mudik” untuk pulang kampung sekedar untuk mengamankan diri.
Apabila demonstrasi, sekedar menampakan muka pun dianggap sebuah “keberanian” dikala itu. Kota Yogya pun sempat merasakan suasana demikian sehingga banyak dikatakan Gema seakan semakin dibatasi ruang geraknya.
“Gara- gara PRD, aktivitas kami sekarang selalu diawasi dengan ketat oleh pihak keamanan,” kata kawan aktivis Medan berkabar.
Sinyalemen ini nampaknya dibantah oleh Coki, panggilan akrab Bonar Tigor Naipospos. Menurutnya, keadaan “tiarap” ini bukan sepenuhnya kesalahan PRD. Tapi, menurut Adi Sasono, “Kalaupun itu benar, ini hanya efek sementara.”
Pendapat ini pun didukung oleh Rizal Mallarangeng, seorang mantan pelaku Gema era 1980-an, pernah berkisah tentang PRD. “Kalau mau lebih arif memahami mereka, kita harus melihat mereka sebagai bagian dari pergerakan politik kaum muda yang lebih luas, dalam arti sepuluh tahun belakangan,” tutur Rizal mengawali kisahnya.
Alkisah, PRD sebagian besar berawal dan lahir dari “anak-anak gang Rode”, tepatnya pada sebuah rumah tua tak terawat di Jalan Sultan Agung, sekitar Pakualaman, Yogyakarta. Pasca peristiwa Malari, 1978, yang diikuti dengan pembersihan kampus–pergerakan mahasiswa praktis melempem. Hancur hingga ke akar-akarnya.
Kemudian muncul fenomena kelompok diskusi. Format aktivitas baru ini dianggap sangat cair dan lentur. Pengelompokan mereka tidak mengikuti garis ideologi dan politik kepartaian.
“Ada kalanya terpukau oleh ide modernisme Nurcholish Madjid, disaat lain mereka asyik berkencan dengan cita-cita besar Karl Marx,” kata alumnus UGM ini sedikit dramatis.
Menurut Rizal, satu satunya pengikat mereka adalah kerinduan akan ide alternatif dan perubahan yang dapat mendorong pembaruan masyarakat. Merasa tidak ada perubahan nyata, kelompok diskusi sudah dianggap tidak
lagi memadai sebagai wahana penyaluran aspirasi kritis mereka. Lebih-lebih dipicu dan terinspirasi oleh pengalaman dari negara-negara Filipina, Korea Selatan, dan Cina, di mana kekuatan mahasiswa menjadi bagian kekuatan rakyat yang signifikan untuk sebuah perubahan politik.
Demonstrasi dan aksi turun jalan menjadi pilihan. Untuk melebarkan sayapnya, mereka membentuk jaringan di luar kampus. Lahirlah Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Gema menyatu bersama membentuk sebuah gerakan rakyat.
Buruh, petani-petani, dan kaum miskin kota, kemudian diajak beraliansi karena dianggap sebagai kekuatan yang strategis. Dengan berbagai upaya yang tak kenal lelah mereka masih berbenturan dengan kendala kecilnya basis dukungan publik, sebagai akibat kebijakan depolitisasi rezim Orde Baru.
Secara kebetulan, muncul kasus tumbangnya Megawati dari singgasana PDI. PRD dan gerakan PDI pro-Megawati bertemu.
“PRD membutuhkan tangan untuk meninju ke atas, Megawati (PDI) seolah menemui kaki untuk menjadi pijakan di bawah,” tutup Rizal mengakhiri ceritanya.
Gema dari kasus ini, menurut Afnan Malay, menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Gema. “Apakah Gema signifikan untuk melakukan sebuah perubahan?” ungkapnya dengan nada tanya. “Dengan kenyataan ini, semakin memberi keyakinan bagi saya, bahwa mahasiswa bukanlah sesuatu yang signifikan bagi sebuah perubahan,” lanjut Afnan.
Mahasiswa: Agen Perubahan?
“Kelompok elit mahasiswa adalah prophetic minority,” kata Jack Newfield seperti yang dikutip dari Fachri Hamzah, UI dari aktivis mahasiswa (Republika,1996), yaitu kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang muda, tetapi mereka berperan sebagai pembawa profetik.
“Mereka adalah nabi secara kolektif, yang mencela kebobrokan dan membawa kebenaran,” lanjut Dawam Raharjo (1995).
Namun, dalam keadaaan rakyat serba takut dan patuh, setelah bertahun-tahun di bawah kekejaman kolonialisme, yang mampu menyuarakan aspirasi mereka adalah orang-orang muda terdidik dan terpelajar.
“Mahasiswa adalah kelompok elitis yang memiliki kesadaran politik lebih tinggi dari pada masyarakat umumnya,” kata Hariman, tokoh Malari.
Sedangkan menurut Bonar Tigor Naipospos, Gema adalah sebuah dialektika dinamis antara kesadaran subjektif dengan realitas objektif dalam bentuk dinamika struktur ekonomi politik dan negara. Berbeda dengan kelompok lainnya, kesadaran sosial mahasiswa ditentukan oleh gagasannya. Bukan karena keberadaannya (Prisma. 7 Juli 1996).
Lebih lanjut dijelaskan oleh anggota Yayasan Pijar ini, bahwa retorika populisme dan sikap kritisnya muncul dikarenakan bukan benturan dengan persoalan sehari-hari kehidupan.
“Tapi, mereka lebih dipengaruhi oleh pemikiran politik dan teori perkembangan pembangunan yang menjadi wacana tandingan dari kebijakan pembangunan selama itu,” lanjut mantan tahanan politik ini.
Hal senada juga diungkapkan Hariman Siregar, bahwa mahasiswa menjadi kekuatan yang mampu mendorong dan membawa elemen-elemen lain dalam sistem politik Indonesia.
Dalam realitas sejarah, mahasiswa berperan penting dalam proses revolusi Tahun 1945, ketika mahasiswa memelopori proklamasi kemerdekaan atas kolonialisme. Bahkan pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1966.
Terlebih, seperti yang dikatakan oleh Ali Imron A.M dalam artikelnya, “Mahasiswa dan Peran Politiknya” mengatakan, potensi mahasiswa, baik dinamika, penguasaan teknologi, maupun watak, lebih terbuka akan perubahan. Mengapa perubahan? Karena pada hakekatnya, pembangunan termasuk pembangunan politik adalah perubahan.
“Tentu ke arah yang lebih baik,” tulis pengamat Gema yang juga seorang dosen UMS Solo ini.
Sampai pada titik ini, “Mahasiswa sebagai sosok agen perubahan masih tetap relevan,” ungkap Hariman mencoba menyimpulkan.
Dan tatkala peran ini tak dapat diwarisi, dianggap menjadi sebuah beban moral bagi perjalanan gerakan mahasiswa.
“Celakanya, di Indonesia Gema acapkali dikaitkan dengan perubahan kekuasaan,” Ungkap Hariman Siregar melanjutkan.
Sehingga Gema begitu menakutkan terutama bagi pemegang kekuasaan karena peran tersebut, dalam konteks Indonesia, “Nyaris melegenda,” kata Ali Imron melengkapi.
Sehingga dalam perkembangan berikutnya, Gema menjadi sebuah fenomena yang menakutkan. Lantas, perubahan seperti apakah yang sebenarnya harus dirintis oleh kalangan Gema?
Demonstrasi SMID. Berkoalisi dengan kekuatan rakyat untuk perubahan. Foto: Gatra
Makna Sebuah Perubahan
Berbicara tentang perubahan, Hariman mengakui bahwa selalu saja terjadi kerancuan di kalangan aktivis Gema. Menurut Hariman, ada dua hal yang harus dibedakan. Pertama, ide atau gagasan. Kedua, situasi perubahan itu sendiri. Dilihat dari kualifikasi ini, yang umum dipahami kini adalah situasi perubahan itu.
“Memang, pada situasi perubahan mahasiswa tidak dapat berdiri sendiri,” kara Hariman. Dikatakannya pula, merupakan kesalahan besar jika menganggap perubahan selalu identik dengan pergantian kekuasaan. Bila melirik sejarah, kalaupun angkatan 66 berhasil merobohkan rezim Orde Lama, tidak lain karena kekuatan elit politik baik dari kalangan pemerintahan maupun militer berkoalisi.
Tanpa itu, peluang timbulnya perubahan melalui people power (kekuatan atau gerakan rakyat), seperti yang coba dibangun oleh aktivis PRD maupun beberapa kelompok pro-demokrasi lainnya hanya menjadi isu belaka.
“Jadi selama militer, dalam hal ini ABRI, masih loyal terhadap puncak kekuasaan (presiden), jangan mimpi adanya people power. Hal ini sudah terbukti di mana-mana,” tambah Hariman.
Lebih esensial lagi, diungkap oleh Denny JA, mantan aktivis Kelompok Diskusi, mengutip majalah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, “Gerakan mahasiswa harus berkoalisi dengan mereka yang punya komitmen terhadap demokrasi. Bisa dari kalangan sipil atau bisa dari kalangan militer.”
Namun, Nirwan Ahmad Arsuka, mantan aktivis tahun 80-an beranggapan lain. Menurutnya, koalisi sejati Gema bukanlah pada kelompok atau elit politik tertentu. “Tapi, koalisinya adalah pada nilai,” tandas Nirwan alumnus Fakultas Teknik Nuklir UGM ini.
Dalam konteks ini, kudatuli tidak menampakan adanya kekuatan koalisi yang jelas. Militer dan sipil masih begitu setia kepada presiden sehingga dapat dikatakan bahwa untuk perubahan struktur politik adalah masalah yang tidak gampang dan rumit. Memang rupanya, 1996 bukanlah 1966.
Menurut Hariman, lebih bijak kalau kita menempatkan Gema pada peran ide dan gagasan. Mahasiswa bisa saja bergerak membawa ide-ide perubahan, meskipun akhirnya kalah di tengah jalan. Namun, mahasiswa sebagai pelopor gerakan perubahan tak bisa dibantah.
Ciri yang menonjol dari sebuah Gema adalah spontanitas para pelakunya. Ada perasaan dan pikiran terhadap nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Persamaan perasaan dan pikiran terhadap nilai-nilai ini sangat kuat di kalangan kaum muda dan mahasiswa.
“Inilah yang mendorong mereka untuk bertindak yang sama,” ungkap alumnus Fakultas Kedokteran UI ini.
Keberhasilan menghapuskan SDSB pada tahun 1993 silam bisa menjadi contoh. Dengan muatan nilai seperti ini pula, tak ada alasan bagi kekuasaan untuk menganggap Gema menjadi suatu hal yang perlu ditakutkan.
Dari sini bisa diamati, ketika PRD berdemonstrasi, langsung saja dinilai macam-macam karena agenda perubahan yang diusung dianggap berorientasi perubahan politik kekuasaan. Akibatnya, beberapa kekerasan selalu dianggap terjadi dalam perjuangan mereka.
“Kami ingin revolusi,” kata Dita Sari, tokoh salah satu organisasi underbouw PRD.
Seolah mengesankan radikalisasi gerakannya. Menjadi kenyataan sejarah bahwa revolusi menjadi salah satu jalan yang efektif untuk perubahan. Pernyataan ini diperkuat oleh YB Wijaya Mangun pada sebuah kesempatan Forum Dialog Wacana Muda setahun silam.
“Tapi, revolusi tanpa kekerasan, revolusi yang berarti mutasi alami sebagai bagian integral dari sebuah evolusi,” kata Romo Mangun, panggilannya.
Sebab, revolusi berdarah hanya akan meminta korban jiwa yang amat banyak pada rakyat kecil. Padahal mereka tak bersalah, sedangkan kelanjutannya hanya varian saja dari generasi lama.
“Generasi yang percaya pada jalan kekerasan dari zaman kolonialisme dahulu,” ungkap Romo yang terlibat advokasi kasus Waduk Kedung Ombo ini mengingatkan.
Adakah revolusi yang tidak berdarah itu? “Ada dan banyak, namun untuk itu diperlukan sebuah proses pendidikan,” baca Romo dengan nada kalem.
Hal ini didukung oleh Toni, salah seorang aktivis Rode. “Kasus kudatuli seolah memberi bukti bahwa pendidikan untuk sebuah kesadaran bagi generasi muda, untuk membentuk sebuah militansi, belum tuntas!” ungkap mahasiswa berambut gondrong ini.
Kudatuli. Revolusi berdarah merugikan rakyat kecil. Foto: Istimewa
Soal pendidikan ini, dengan penuh kearifan Romo Mangun berkata, “Demokrasi, rasa kemanusian, keadilan bagi seluruh rakyat masih akan memerlukan proses yang panjang dan lama karena dirasakan sebagai proses internalisasi mendalam lewat sebuah pendidikan.”
Lanjutnya, dengan kata lain hanya mungkin dengan tumbuhnya generasi muda termasuk suatu mahasiswa yang baru dan bersikap “alternatif” terhadap generasi lama. Pada kenyataannya, menurut Ali Imron, banyak dan seringkali anjuran “mewariskan nilai-nilai” atau “menjaga kelestarian budaya” dari para penguasa sering menjebak pemahaman kaum muda. Hal ini disebabkan oleh cara menjelaskannya.
“Tidak jelas nilai-nilai apa yang mesti diwarisi,” ungkap Ali Imron kritis.
Di sisi lain, masih menurut Ali Imron, memang disadari adanya bayang-bayang kebesaran peran generasi terdahulu itu menjadi sebuah obsesi generasi muda masa kini.
“Mereka kemudian terbebani oleh sebuah peran heroik yang pernah dimiliki oleh generasi pendahulunya,” ungkap dosen pada FKIP UMS Solo ini.
Sementara itu, ada desakan dalam diri kaum muda sendiri untuk mengaktualisasikan misi dan peran atas harapan dan tuntutan masyarakatnya. Di sisi lain, atas harapan dan tuntutan masyarakat, sulit untuk mengatakan tidak.
Mengapa ini terjadi? Memang diakui ada yang “salah” dan terdapat perbedaan antara anak muda dan “orang tua” dalam memahami sistem pendidikan yang seharusnya diciptakan. Ditambahkannya pula, pendidikan sebagai upaya membangun sebuah kecerdasan menjadi urgen untuk diagendakan.
Lalu bagaimana proses pendidikan ini berlangsung? Dengan melihat kondisi sekarang, maka politik peran mahasiswa nampaknya akan kembali bergelut mencari alternatif yang terbaik, baik dalam kelompok-kelompok studi maupun melalui berbagai forum ilmiah, seperti dikatakan Safar Nasir dalam tulisannya yang berjudul “Apa tentang intelektual muda”.
Menurutnya, lebih tepat jika Gema lebih berorientasi pada upaya untuk menyingkap dan mensosialisasikan persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat sehingga mereka tahu dan mau terlibat untuk mengupayakan solusinya, dengan atau tanpa kooperatif.
Di sini, secara implisit dapat ditangkap bahwa Gema itu frontal dengan tidak selalu identik (unjuk rasa). “Kecuali, jika memang efektif atau memaksa,” kata Safar menambahkan.
Salah seorang aktivis Bandung pernah diajak diskusi oleh HIMMAH yang menilai bahwa Gema tidak berarti terhenti. “Karena, pada batas- batas tertentu mereka telah berhasil untuk merebut momen untuk tercatat dalam sejarah,” kata mahasiswa ITB ini.
“Yang penting, mereka telah memulai”, kata salah seorang aktivis Rode kepada HIMMAH.
Penulis: HIMMAH/M. Ramadhani
Pengalih Media: HIMMAH/Farah Azizah dan Jihan Nabilah
Layang-layang dipamerkan di Jogjakarta International Kite Festival 2023. Pada tahun ini, acara rutin tersebut memamerkan 1.001 layang-layang dari mancanegara, memperebutkan Piala Raja Hamengkubuwono X. Adapun festival diselenggarakan pada Sabtu (15/07) dan Minggu (16/07) di Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Salah satu wisatawan mengambil foto bersama layang-layang berbentuk naga yang dipamerkan Jogjakarta International Kite Festival 2023 pada Minggu (16/07) di Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Beberapa wisatawan bermain layang-layang Jogjakarta International Kite Festival 2023 pada Minggu (16/07) di Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Atraksi layang-layang oleh salah satu tim peserta Jogjakarta International Kite Festival 2023 pada Minggu (16/07) di Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Salah satu tim peserta Jogjakarta International Kite Festival 2023 sedang berusaha menurunkan layang-layang pada Minggu (16/07) di Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Suasana Pantai Parangkusumo ketika gelaran Jogjakarta International Kite Festival 2023. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Himmah Online – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan peluncuran Hasil Kajian 21 Tahun Catatan Tahunan (CATAHU). Peluncuran tersebut disiarkan melalui Zoom dan kanal YouTube Komnas Perempuan, pada Selasa (20/06). Selama lebih dari dua dekade, sajian data Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terlihat fluktuatif.
Melalui kajian tersebut, masyarakat diajak untuk melihat bagaimana dinamika, fenomena, kemajuan, serta penanganan KBG melalui data-data yang telah disajikan dan didokumentasikan dalam CATAHU.
“CATAHU sebetulnya adalah perhelatan besar dan rutin bagi Komnas Perempuan, dan tantangan terbesarnya adalah sebetulnya mengkompilasi data berskala nasional,” ungkap Andy Yentriyani, selaku Ketua Komnas Perempuan dalam membuka acara.
Pertumbuhan jumlah laporan KBG diiringi dengan perkembangan jenis kekerasan itu sendiri. Namun menurut Andy, pertumbuhan ini haruslah dilihat secara positif, sebagai bentuk keberanian korban dan dukungan untuk melaporkan kasusnya yang terus tumbuh dalam masyarakat.
Selanjutnya pada sesi pemaparan, Alimatul Qibtiyah, selaku Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa data dalam CATAHU dibagi menjadi dua, yakni data umum dan data Kekerasan Berbasis Gender (KBG).
Data umum adalah data yang belum diverifikasi basis gendernya. Selama 21 tahun CATAHU, jumlahnya mencapai 3.846.237 laporan. Sementara data KBG adalah data yang sudah terverifikasi “keperempuanannya”. Jumlahnya mencapai 2.766.474 laporan.
“Kekerasan yang dialami perempuan, karena dia seorang perempuan tersebut. Itulah yang dianalisis dan disebut sebagai KBG terhadap perempuan,” tutur Alimatul.
Siti Aminah Tardi, selaku Komisioner Komnas Perempuan menambahkan bahwa terdapat empat jenis kekerasan dalam Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Diantaranya adalah kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, yang terjadi baik dalam ranah personal, publik, maupun negara.
Berdasarkan data yang dipaparkan Komnas Perempuan, KBG dalam ranah personal didominasi oleh Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebanyak 484.993 kasus dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 26.629 kasus.
Sebanyak 87.430 kasus dicatat sebagai KBG dalam ranah publik, dengan dominasi kasus kekerasan seksual sebanyak 34.453 kasus. Dimana laporan tertinggi pada kasus tersebut adalah pemerkosaan dengan jumlah 8.272 kasus.
Sementara dalam ranah negara, KBG yang tercatat, yakni terdapat 2.292 kasus. Sepanjang 21 tahun CATAHU, kasus penggusuran menjadi yang tertinggi dengan jumlah 974 kasus. Sementara dalam tujuh tahun terakhir, banyak terjadi kasus konflik Sumber Daya Alam (SDA).
Alimatul menambahkan bahwa menariknya, selama 21 tahun CATAHU, menunjukkan bahwa rata-rata lima persen pelaku merupakan seorang pelindung atau suri tauladan.
“Siapa mereka? pejabat publik, aparat penegak hukum, dosen, dokter, guru, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Namun, dalam CATAHU dua tahun terakhir, terjadi peningkatan rata-rata dari data selama 21 tahun.
“Kalau kita hanya lihat di dua tahun terakhir, itu 9 persen pelaku yang seharusnya pelindung dan suri tauladan,” ujar Alimatul.
Menyikapi hal tersebut, komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, menjelaskan bahwa dalam pemulihan hak-haknya, korban selalu didukung oleh berbagai institusional. Diantaranya adalah pertumbuhan lembaga layanan pemerintah, perkembangan ruang layanan khusus, penguatan peran rumah sakit, peningkatan peran lembaga masyarakat, pendirian lembaga perlindungan saksi dan korban, serta penggunaan mekanisme judicial review.
Himmah Online – Komite Persiapan Sindikasi Wilayah Jogja menyelenggarakan diskusi terbuka tentang ketenagakerjaan pada Sabtu sore (15/07). Diskusi berjudul “Mengapa Upah Layak di Jogja Sulit Didapatkan Seperti Hidden Gems?” ini bertempat di Yayasan LKiS, Jomblangan, Banguntapan, Kec Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY. Diskusi terbuka kali ini diadakan untuk melihat realita yang sebenarnya dibalik sebutan kota Jogja yang “Serba Murah”.
Tiga pembicara turut meramaikan acara ini. Mereka adalah Amalinda Savirani selaku dosen FISIPOL UGM, Prima Sulistya selaku penulis dan pekerja media, serta Prabu Yudianto selaku penulis dan warga KTP Yogya.
Prima, mengatakan bahwa tingginya inflasi menjadi salah satu penyebab kecilnya upah pekerja di Yogyakarta.
“Setelah aku bertanya ke orang-orang yang belajar ekonomi dan tokoh serikat buruh, alasan-alasannya adalah inflasi tinggi, produktivitas tenaga kerja yang rendah, dan tidak adanya political will”, terang Prima.
Ia juga menjelaskan bahwa inflasi yang tinggi terlihat dari harga kos-kosan di Jogja yang memiliki harga termahal ke-3 di Indonesia dan harga pangan di Yogya nyatanya tak semurah itu. “Kalau kalian pernah tinggal di kota kecil kayak Kediri, Purwokerto, makanan di Jogja ga semurah itu lho”, ungkap Prima.
Sementara itu, pekerja manufaktur yang merupakan bagian dari sektor formal ternyata memiliki peminat yang lebih sedikit dibanding pekerja di sektor informal. Hal ini menjadi alasan lain dari rendahnya upah pekerja di Yogya, sekaligus mempengaruhi status negara kita, negara berkembang.
“Kalau negara-negara yang maju itu manufaktur nya kuat dulu baru kemudian geser ke jasa, tapi manufaktur kita terus menurun secara makroekonomi”, terang Amalinda.
Faktor lainnya ialah karakteristik masyarakat Jogja yang cenderung sulit menerima perubahan dan tidak menyukai pengaruh luar karena dianggap tidak mencerminkan Jogja. “Orang Jogja itu, meskipun ada perubahan yang sangat kecil, mereka itu sangat takut karena sudah merasa nyaman Jogja seperti ini”, ungkap Prabu.
Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan Prima terhadap pekerja Jogja dengan upah pas-pasan, bahkan di bawah UMP.
Berdasarkan survei yang dilakukan, didapatkan bahwa warga Jogja akan memilih untuk mencari pekerjaan sampingan dibanding membuat tuntutan bagi pemerintah agar dapat menaikkan upah mereka demi memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja.
“Aku pernah nanya ke salah satu temanku, kamu tahu gaji kamu rendah, terus kenapa nggak keluar? Dia menjawab bahwa dia tahu sektor ini memang profitnya rendah, jadi dia memilih untuk menambah pekerjaan dibanding keluar dari sektor dengan gaji rendah ini”, ungkap Prima.
Prima juga berharap fenomena tersebut menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan pemerintah untuk lebih bijak dalam hal ketenagakerjaan, lebih manusiawi, dan tidak membuat pekerja diperlakukan seperti budak.
“Teman-teman yang nanti punya kesempatan jadi pemberi kerja, tolong bayar mereka itu bukan lihat harga pasaran, tapi yang menurut kalian manusiawi”, tutur Prima sebagai penutup pemaparannya.
Diskusi terbuka ini membawa harapan bahwa masyarakat akan dapat lebih peduli terhadap hak-hak pekerja dengan menjadikan Serikat Buruh sebagai wadah mewujudkan hak-hak pekerja Jogja.
Reporter: Himmah/Jihan Nabilah dan Magang Himmah/Nurul Wahidah
Judul: Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965
Penulis: R. N. Bayu Aji
Penerbit: Kendi
Tahun: Pertama, 2022
Tebal: 211 Halaman
ISBN: 6239671954
“Sports has something to do with politics! Indonesia proposes now to mix sports with politics.” Begitulah antitesis Soekarno menanggapi pernyataan Frankly, wakil dari Komite Olimpiade Internasional. Suatu ketika Frankly pernah berujar “Sports are sports, do not mix sport with politics”. Bagi Soekarno, itu tidak benar. Justru dengan wataknya, olahraga menjadi semacam konvergensi yang mempertemukan berbagai kepentingan, termasuk politik.
Bukan tanpa dasar Soekarno mengatakan seperti itu. Ia melihat adanya kontradiksi setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional serta dilarangnya sebagian negara komunis bergabung dalam Olimpiade mencakup China, Vietnam, dan Korea Utara. Sejak saat itulah Soekarno kian tegas dan jelas mendeklarasikan bahwa olahraga selalu bertaut dimensi politik.
Apalagi di saat Soekarno harus menelan pengalaman pahit ditolak bergabung sebagai anggota perkumpulan sepakbola karena berasal dari kalangan inlander. Melalui Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Cindy Adams bercerita bahwa Soekarno kerap mendapat perlakuan rasis dari anak Belanda. “Hei, kau,, bruine,,, hei, anak kulit coklat goblok yang malang, bumiputera,,, inlander,,, anak kampung,,, hei kamu lupa memakai sepatu,,,”. Demikianlah umpatan rasis yang ditujukan kepada Soekarno.
Melalui pengalaman pahit inilah Soekarno jelas semakin tidak percaya bahwa olahraga adalah bagian yang terpisah dari dunia sosial dan politik. Justru olahraga dari waktu ke waktu kian memperlihatkan keterkaitannya dengan politik, terutama dalam pembentukan dan penerapan nilai nasionalisme, baik sebelum kemerdekaan maupun di awal-awal kemerdekaan.
Secara periodik, R.N. Bayu Aji menarasikannya dalam Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965. Kita bisa melihat perkembangan awal sepakbola Hindia Belanda yang ditandai dengan kemunculan tiga bond (perkumpulan) pada masa kolonial, yakni Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB), dan Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI).
NIVB menjadi satu-satunya organisasi sepakbola bentukan kolonial yang secara gradual dianggap tidak bisa mewadahi aspirasi keberadaan bond sepakbola selain orang Belanda maupun Eropa. Di saat yang sama, kemunculan bond sepakbola Tionghoa juga terus dinamis. Puncaknya, ketika HNVB didirikan pada 1930 sebagai bentuk nyata impian orang Tionghoa mempunyai induk organisasi tertinggi.
Dari golongan Bumiputera, induk organisasi sepakbola tertinggi juga turut didirikan sebagai bagian dari tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Pada 19 April 1930, utusan-utusan dari tujuh bond sepakbola Indonesia membentuk Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai bentuk persatuan sepakbola nasional. Ir. Soeratin terpilih sebagai ketua dalam pembentukan pertama PSSI itu.
Setelah PSSI terbentuk, keinginan kuat agar sepakbola Indonesia tidak terintervensi kepentingan pemerintah Kolonial pun berlangsung sengit. Salah satunya ketika terjadi pembatalan gentlemen’s agreement antara PSSI dengan NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie), nama baru NIVB terkait nama kesebelasan yang akan dikirim ke Prancis jelang Piala Dunia 1938. Meskipun PSSI bersikukuh bahwa wakil di Piala Dunia adalah PSSI, namun FIFA mengakui bahwa NIVU lah sebagai wakil Dutch East Indies (Hal-40).
Kehadiran PSSI bagi Indonesia membuat sepakbola Indonesia dapat diorganisir dengan baik. Setelah Indonesia merdeka, PSSI kian dinamis mengurus persepakbolaan Indonesia. Pada kongres ke XII di Semarang tahun 1950, namanya berubah menjadi “Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia” dengan mengikuti perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Pada kongres itu pula lah, R. Maladi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan Soekarno terpilih menjadi ketua.
Juga di era Maladi ini, Timnas Indonesia ikut serta dalam ajang Asian Games 1951 di India untuk pertama kalinya. Kendati kalah 3-0 dari tuan rumah, Maladi sadar bahwa PSSI mesti berbenah. Ia kemudian menekankan adanya pembangunan fisik dan mental yang menjadi modal utama PSSI seiring bergulirnya zaman. Sebagai salah satu paradigma gerakan, aspek historis latar belakang perjuangan dan pergerakan nasional di tahun 1930 berulang kali diingatkan Maladi agar PSSI senantiasa mengedepankan semangat perjuangan dalam tiap dinamikanya.
Sebab, mengedepankan perjuangan PSSI bagi Maladi, adalah sebentuk kekuatan olahraga yang berasaskan dimensi persatuan dan kekeluargaan, jiwa dan semangat kebangsaan, kesucian amatirisme, kerakyatan, dan semangat “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Melalui prinsip inilah dirinya digadang sebagai peletak dasar sepak bola modern. Di bawah kepemimpinan Maladi juga Indonesia masuk menjadi anggota FIFA setelah berhasil lepas dari belenggu kolonial sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Masing-masing kepengurusan PSSI di era Soekarno memiliki ciri khas tersendiri. Era Abdul Wahab Djojohadikusumo (1959-1964) misalnya selalu berpegang pada motto iklim yang sehat dalam sepak bola. Bagi Abdul Wahab, PSSI merupakan alat negara, baik dalam ide dan teknis. Karena itu, di eranya inilah pembinaan bibit-bibit usia muda sepak bola di bawah 16 tahun bernama Gawang terus digalakkan. Sama halnya dengan era Maulwi Saelan (1964-1967) yang menjadikan PSSI sebagai ruang pengabdian pada kebanggaan dan semangat nasionalisme.
Sepak bola adalah ruh bangsa. Di dalamnya, dimensi praksis nasionalisme terus digencarkan, seperti yang diperagakan oleh tiga kepengurusan PSSI di masa Soekarno. Ketiganya memiliki kesamaan, sama-sama memandang sepak bola dan juga PSSI sebagai alat pemersatu bangsa dan ruang memperkenalkan Indonesia di mata internasional. Upaya macam inilah yang membuat Indonesia terus eksis di kancah internasional kala itu.
Eksistensi sepak bola Indonesia dalam pelbagai kompetisi turut disorot oleh penulis. Mulai dari keikutsertaannya dalam Asian Games, Olimpiade Melbourne 1956, Piala Dunia, Ganefo (Games Of the New Forces), dan beberapa pertandingan persahabatan Tur Eropa Timur. Eksistensi Timnas pada berbagai perhelatan internasional selalu diiringi wacana politik. Ganefo, misalnya, dijadikan oleh Soekarno sebagai sarana untuk mendukung politik luar negerinya yang beraliran anti kolonialisme-imperialisme, atau saat tur ke Eropa Timur yang hendak menunjukkan eksistensi Indonesia setelah merdeka dalam dunia internasional.
Demikianlah sepakbola selalu berkelindan dengan dimensi politik, baik untuk tujuan positif maupun negatif. Di sisi lain, sepak bola menjadi sarana efektif penyaluran semangat nasionalisme. Seperti diungkap Sartono Kartidirjo bahwa prinsip nasionalisme, salah satunya, adalah artikulasi dalam bentuk prestasi yang diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara bangsa. (Hal-188)
Meski begitu, semangat nasionalisme mesti terus dikawal agar tidak mengalami pasang surut, seperti yang terjadi pada skandal suap yang menimpa dunia sepak bola kita di tahun 1962-1965. Di titik ini idealisme para pemain dipertaruhkan. Jangan sampai idealisme tergantikan oleh hasrat kepentingan dalam bentuk apa pun, kecuali hanya satu; nasionalisme. Salah satu penyangga terbentuknya prinsip idealisme adalah sejarah. Melihat masa lalu sebagai entitas sublim sumber pembelajaran inspiratif. Dan kita bisa belajar dari buku ini.
Berbagai cara diupayakan Lina agar tetap cantik dan awet muda seperti Yuni Shara, artis kelahiran Malang yang usianya kini nyaris kepala lima tapi masih terlihat singset dan awet muda. Sungguh, Lina sangat terinspirasi oleh sosok mungil berparas ayu khas perempuan Jawa bersuara lembut dan kerap menyanyikan lagu-lagu melankolis itu. Termasuk kebiasaan Yuni yang gemar mengonsumsi kopi. Bahkan saking sukanya Yuni sama kopi, konon sehari ia bisa ngopi lebih dari tiga kali. Selain bisa membikin tubuh lebih bersemangat saat beraktivitas, kopi diduga mengandung zat yang membuat kulit menjadi lebih cerah dan awet muda. Lina lantas meyakini bahwa salah satu rahasia awet muda Yuni Shara ialah rutin minum kopi setiap hari.
“Aduh lupa, nyaris saja,” pekik Lina sambil menarik sendok yang penuh gula putih dari atas cangkir berisi seduhan kopi yang mengepulkan asap tipis ke udara. Buru-buru ia memasukkan lagi gula tersebut ke dalam toples kecil bening di sebelahnya. Ia ingat kalau kopi yang dikonsumsi Yuni itu tanpa gula. Benar-benar kopi murni. Lina tengah berusaha mempraktikkan kebiasaan ngopi Yuni Shara yang tanpa dicampuri gula pasir. Ia sangat berharap di usianya yang ke-47 tahun ini bisa terlihat awet muda seperti Yuni Shara.
Sambil menikmati secangkir kopi pahit di beranda rumahnya yang dikelilingi taman aneka bunga, Lina membuka-buka majalah dan tabloid wanita langganannya. Meski kini era serba digital, di mana berita dan info terkini bisa diklik secara otomatis melalui gawai, tapi Lina masih tetap setia berlangganan majalah dan tabloid wanita. Bagi Lina, membaca tulisan lewat kertas itu lebih nikmat ketimbang membaca tulisan di layar smartphone-nya. Belum lagi, aroma kertas yang begitu khas dan baru keluar dari mesin percetakan, membikin Lina seolah terhipnosis dan betah berlama-lama membacanya.
Usai ngopi dan membaca, Lina bergegas ke halaman belakang. Di samping halaman ada ruang khusus yang cukup lega untuk berolahraga. Ia sengaja membeli beberapa peralatan olahraga agar setiap pagi bisa berolahraga dengan leluasa di rumahnya. Dulu, ia terbilang malas berolahraga. Tapi sejak ia tahu bahwa di antara rahasia awet muda Yuni Shara ialah rajin olahraga, maka Lina pun lantas mengikuti kebiasaan artis berpembawaan kalem dan ramah tersebut. Tak lupa, setiap akhir pekan ia sempatkan berkunjung ke sanggar senam yang letaknya sekitar tujuh kilometer dari rumahnya. Di sana ia bisa latihan senam zumba sampai puas bareng para perempuan yang memiliki minat yang sama.
Usai berolahraga Lina rehat sejenak. Sambil menunggu keringat mengering dari tubuh, ia mengambil gawai dan membuka-buka akun instagram. Tentu saja yang pertama kali dibuka adalah akun milik Yuni Shara. Ia memang rajin stalking perihal kehidupan Yuni Shara yang ia rasa nyaris sama dengan dirinya. Lina dan Yuni sama-sama hidup menjanda. Bedanya, Lina tak dikaruniai anak. Sementara Yuni memiliki dua putra tampan yang kini telah beranjak remaja.
***
Ah, tiap kali ingat kehidupan dirinya yang kini berstatus janda, hati Lina kembali teriris. Ia harus menelan getir kecewa saat Harlan, suaminya menceraikannya lima belas tahun silam. Terlebih saat ia tahu bahwa Harlan menceraikan dirinya bersebab beberapa alasan yang membuatnya sangat sakit hati. Salah satu alasannya karena ada sosok perempuan lain yang tentu saja berwajah cantik dan… langsing.
Sejak bercerai, Lina enggan menjalin kedekatan spesial dengan lelaki mana pun. Banyak sebenarnya yang berusaha mendekati. Tapi Lina merasa para lelaki yang mendekatinya itu tak benar-benar serius dan karena ada maunya. Di mata Lina, mereka tak benar-benar tulus mencintai, tetapi karena ada udang yang bersembunyi di balik bebatuan. Mereka hanya ingin memanfaatkan harta Lina saja. Memang, Lina bukan konglomerat. Namun ia memiliki kekayaan yang sangat lumayan dari hasil kerja kerasnya mengelola butik dan minimarket. Jiwa bisnis almarhum kedua orangtuanya benar-benar menurun kepadanya. Yang jelas, ia merasa senang bisa ikut andil membuka lowongan pekerjaan untuk masyarakat umum. Total ada 23 karyawan yang bekerja padanya. Sebagian menjaga dan mengurus dua butik miliknya. Sebagian lagi menjaga tiga minimarket warisan orangtuanya. Bagi Lina, hal terpenting saat ini ialah berusaha untuk selalu menjaga agar tubuhnya senantiasa sehat, bahagia, dan tentu saja bisa memiliki tubuh langsing, tetap cantik dan awet muda seperti Yuni Shara.
“Neng Lina, sarapannya udah siap,” suara Mbok Jum menghalau konsentrasi Lina yang tengah asyik melihat foto keseruan Yuni Shara saat sedang berkumpul bareng teman-temannya. Di foto tersebut, Yuni sedang duduk bersilang kaki dan tampak awet muda seperti perempuan baru lulus kuliah. Ia mengenakan kaus abu-abu lengan pendek, sambil tertawa memamerkan gigi-giginya yang putih dan rapi. Terlihat sekali kalau ia sangat rajin merawat kesehatan giginya ke dokter gigi langganannya.
“Bentar Mbok, Lina mau mandi dulu,” Lina tersenyum menatap Mbok Jum, perempuan sepuh yang sejak lama menjadi pembantu tetap di rumah orangtuanya. Bahkan kini saat Lina hidup sendiri di rumah warisan orangtua, Mbok Jum masih bersetia tinggal di rumah Lina bersama Pak Slamet, suami Mbok Jum, yang kesehariannya bertugas merawat tanaman bunga sekaligus menjaga kebersihan halaman rumah.
“Iya, Neng,” Mbok Jum mengangguk. Tersenyum. Lantas kembali ke dapur untuk membereskan dan membersihkan peralatan masak yang barusan digunakan.
Lina merasa sangat beruntung memiliki Mbok Jum dan Pak Slamet yang begitu telaten menjadi rewang di rumah orangtuanya sejak ia masih bayi, ah bahkan sejak ia belum terlahir ke dunia ini. Bagi Lina, mereka tak sekadar pembantu. Mereka ibarat orangtua sambung Lina yang begitu cekatan merawat dan menyiapkan segala keperluan dirinya tiap hari.
***
Usai mandi dan sarapan, Lina pun segera bersiap menuju ke sanggar senam langganannya. Kebetulan hari ini adalah jadwal rutin latihan senam zumba bersama para perempuan sebaya Lina yang sangat peduli dengan kebugaran fisik mereka. Sebagian dari mereka bahkan ada yang masih berusia muda yang memang menyukai aktivitas dance dan senam zumba dengan iringan musik-musik yang lagi nge-hits.
“Mbok Jum, Lina mau pergi ke sanggar dulu, ya?” izin Lina pada Mbok Jum yang sedang sibuk merapikan ruang tamu. Mbok Jum berhenti sejenak dari aktivitasnya.
“Nggak diantar sama Pak Slamet saja, Neng?” saran Mbok Jum dibalas senyum dan gelengan kepala Lina.
“Makasih, Mbok. Biar Pak Slamet di rumah saja merawat tanaman. Lina nggak bawa mobil kok, mau naik motor saja,” ujar Lina sambil memperlihatkan kunci motor matic di tangannya.
“Ya sudah kalau gitu, hati-hati di jalan, jangan ngebut, Neng,”
“Siap, Mbok,” balas Lina sambil bergegas keluar rumah.
***
Kedua alis tipis Lina nyaris bertaut saat pandangannya tertumbuk pada sosok perempuan berwajah ayu, berambut hitam lurus sepunggung, bertubuh langsing, yang tengah duduk santai di salah satu saung bambu di halaman sanggar yang sangat luas. Entah mengapa Lina merasa pernah melihat sosok perempuan cantik yang ia yakini sepuluh tahunan lebih muda ketimbang dirinya.
“Seperti tak asing,” gumam batin Lina sambil berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah berjumpa dengan perempuan itu.
“Ah, entahlah, aku benar-benar tak ingat,” gumam Lina saat ia benar-benar gagal mengumpulkan ingatan tentang perempuan yang kini tengah tersenyum sambil menatap dirinya. Lina langsung membalas tersenyum. Mau tak mau kedua kakinya melangkah menuju saung bambu.
“Hai, aku Sinta, anggota baru di sanggar ini,” perempuan itu begitu ramah dan langsung berdiri memperkenalkan diri.
“Aku Lina, anggota lama, hehehe,” Lina terkekeh sambil buru-buru mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan Sinta yang selain putih bersih seperti susu, juga terasa sangat lembut. “Sinta pasti rajin perawatan”, gumam batin Lina.
Sambil menunggu anggota lain datang, keduanya pun tampak terlibat obrolan seru. Lina benar-benar takjub dengan kecantikan yang dimiliki oleh Sinta. Tebakannya ternyata keliru. Semula ia mengira kalau Sinta sepuluh tahun lebih muda darinya. Saat Lina menyebut usianya, ternyata Sinta mengaku hanya selisih tiga tahun lebih muda dari usianya. Dan yang membuat mereka kian akrab adalah ketika Sinta mengaku mengagumi kecantikan Yuni Shara dan ingin awet muda seperti dirinya.
“Wah, idola kita samaan, dong,” Lina nyaris terpekik.
Sinta terkekeh lalu berkata, “Iya, makanya mulai hari ini aku akan rajin olahraga, biar bisa awet muda kayak Mbakyu Yuni Shara,”
“Jangan lupa rajin yoga dan minum kopi,”
“Rajin nyanyi juga, tapi di kamar mandi,”
“Hahahaha!”
Keduanya tergelak bersama. Obrolan Lina dan Sinta terhenti saat para anggota sanggar sudah berkumpul dan siap melakukan latihan senam zumba sebagaimana biasa.
***
Berulangkali Lina memandangi duplikat dirinya yang tengah berdiri mematung di dalam cermin ukuran besar di kamarnya.
“Kapan ya, tubuhku bisa sekurus Yuni Shara?” gumam Lina sambil memegang lipatan lemak di perutnya. Jujur, Lina memang perempuan berparas cantik, tapi selama ini ia merasa kurang percaya diri dengan bobot tubuhnya yang masih jauh dari kata ideal. Gemuk alias kelebihan berat badan. Itulah yang menjadi alasan lainnya, mengapa Harlan dulu berpaling ke perempuan lain yang lebih cantik dan langsing. Tidak gemuk seperti dirinya. Tentu masih ada alasan lain yang membuat lelaki jahat itu menceraikannya; karena rahim Lina tak kunjung memberikan keturunan. Lina sempat kesal dan ingin marah saat dulu pernah memergoki percakapan Harlan dan ibu kandungnya. Ibu menyarankan putranya agar tak perlu mempertahankan Lina karena mandul.
Lamunan Lina buyar saat mendengar suara notifikasi gawai yang tergeletak di ranjang. Bergegas ia meraih gawainya. Ia langsung tersenyum saat mengetahui sumber notifikasi tersebut. Sinta mem-follow akun instagramnya. Jadi ceritanya, usai latihan senam zumba di sanggar, sebelum pulang Sinta sempat menanyakan alamat akun instagramnya.
Lina pun segera menerima konfirmasi pertemanannya Sinta. Selanjutnya, Lina membuka Direct Messange (DM) yang ternyata dikirim oleh Sinta. Hai, Lin. Jangan lupa folbek, ya? Begitu isi DM Sinta. Lina tersenyum. Jari-jarinya begitu lincah mengetik balasan: Oke, Sin. Udah aku folbek.
“Hmm, cantik-cantik banget fotonya Sinta, bikin ngiri deh, apalagi tubuhnya mungil dan langsing kayak Yuni Shara,” gumam Lina sambil menelusuri postingan foto-foto Sinta dengan latar berbagai tempat wisata dan kafe.
Dada Lina berdegup kencang saat menit berikutnya menemukan beberapa foto Sinta bersama lelaki yang sangat ia kenali. Lelaki yang menceraikannya karena beberapa alasan yang membuatnya sakit hati. Foto mereka berdua terlihat sangat mesra dan membuat ingatan Lina mengumpul sempurna. Ya, tak salah, Sinta adalah istri Harlan.