Aunur Rohim: Kesaksian Seorang Murid

“Kehidupan itu singkat. Jangan lupakan hal terpenting dalam kehidupan, hidup untuk orang lain, dan melakukan hal baik untuk mereka” (Marcus Aurelius)


Dua tahun telah berlalu. Saya meninggalkan kampus bernama UII dengan penuh pertanyaan dan persoalan, sebab saya menemukan bagaimana pendidikan makin menjauh dari harapan, menyerah pada realitas pasar, tak menikmati ilmu pengetahuan melainkan hanya sebatas persiapan memasuki lapangan pekerjaan. Kampus kehilangan kemampuan kritisnya.

Pergolakan tersebut saya temukan bukan hanya karena membaca buku, bergabung pada organisasi mahasiswa atau pertemuan beragam forum mahasiswa, melainkan terpengaruh oleh gagasan Pak Aunur Rohim, seorang yang pernah singgah dalam kehidupan saya dan membuat saya pernah bangga menjadi bagian dari UII. 

Saya memang tak punya hubungan istimewa dengan beliau sebagaimana kawan-kawan lainnya  atau mengerjakan proyek akademik apapun dengannya, tetapi ia membantu saya berpikir dan bersikap atas persoalan sosial yang terjadi sekaligus mengantarkan saya pada gerbang ilmu pengetahuan yang lebih luas ketimbang ukuran ruang kelas. 

Pria sederhana dan bersahaja, sosok ini melekat di tubuh Pak Aunur. Saya senang dan bersyukur pernah menjalani kuliah dengan dosen seperti beliau.

Sosok Aunur Rohim

Pertemuan pertama kami di kelas, saya masih ingat ia hanya membawa pakaian yang ada pada tubuhnya dan sebuah spidol, ketika pelajaran Hukum Pernikahan dalam Islam. Alih-alih membicarakan sesuatu yang membosankan di dalam kelas, Pak Aunur membawa kami pada hal yang rumit namun menyenangkan. Menurutnya, banyak orang memilih untuk tidak menikah bukan karena tak ingin, melainkan himpitan ekonomi dan kelas sosial.

Kelas ditutup dengan pernyataan yang membuat isi kelas hening dan takjub. “Kalian tak perlu khawatir soal pakaian yang kalian kenakan karena yang saya didik adalah isi kepalamu, tak usah risau soal nilai ujian asalkan kalian mau belajar membaca dan menulis dengan membuat paper, essay, atau makalah. Menulis dan menulis, karena itu akan membuat kalian membaca,” ujarnya.

Sebagai seorang dosen hukum, ia banyak mengajarkan logika dan cara berpikir ketimbang meminta kami menghafal pasal atau undang-undang. Tak lupa ia mengenalkan kami pada dunia sastra seperti novel maupun puisi perlawanan, tujuannya agar mahasiswa memiliki kepekaan atas nurani maupun empati dan mampu berdiri mengambil jarak dengan kemungkaran. Ia hadirkan kepada kami para begawan keadilan untuk belajar bahwa hukum kerap disalahgunakan, bahkan disalahartikan, dan dari mereka kita mampu melihat itu semua.

Di luar kelas pak Aunur memiliki posisi struktural, yaitu sebagai Dekan Fakultas Hukum. Bukan suatu kekuasaan yang ia buru melainkan membuat kesempatan untuk mendidik yang dibutuhkan. Posisi tersebut tak membuatnya berjarak. Ia mudah ditemui, hingga aktif memberikan dukungan kegiatan mahasiswa. Suatu saat Pak Aunur adalah orang yang membuat kebijakan penundaan pembayaran kuliah bagi mahasiswa yang ingin mengikuti ujian semester. Memang hanya menunda namun banyak pihak terbantu dengan keputusannya. 

Di sisi lain, Pak Aunur adalah pemimpin yang berani. Ia membuka ruang kebebasan akademik seluas-luasnya dan mempermudah seluruh kegiatan apapun. Diskusi di Fakultas Hukum pada saat itu tak mudah diselenggarakan apabila tak berkaitan dengan nilai-nilai keislaman UII. Namun Pak Aunur punya tafsir yang berbeda. Terbukti ketika kami menghadirkan istri almarhum Munir ke Fakultas Hukum UII untuk membongkar temuan tim pencari fakta dibalik dalang pembunuhan Munir, Pak Aunur mempersilakan, bahkan acara tersebut kami selenggarakan hingga larut pagi. Novel Baswedan juga pernah duduk di ruang seminar Fakultas Hukum UII, tak banyak yang tahu sebab situasi politiknya masih memanas, Pak Aunur berani pasang badan untuk kelancaran acara tersebut. 

Pak Aunur tak pernah mengkritik tiap diskusi yang kami ajukan, malah seperti meniupkan tantangan untuk terus menghadirkan wacana alternatif di pelataran FH UII yang sempit, padat, dan pasti panas. Yang mengagumkan bagi saya adalah pada saat itu moralitas diukur bukan melalui penampilan atau cara menyampaikan, melainkan gagasan yang berpihak pada yang lemah atau yang berkuasa. Mungkin ialah dekan terbaik yang pernah saya temui: mendidik agar tak hanya jadi pintar tapi juga berani sebab jika pintar kita tak gampang dimanipulasi dan keberanian membuat kita tak takut jika diteror.

Itulah Pak Aunur, sosok yang membangun jalannya sendiri, tak terbawa arus, dan percaya bahwa keadaan harus diubah. Terima kasih Pak Aunur, semoga kami mampu mengikuti jejak langkahmu.

Saya ingin mengakhiri tulisan sederhana ini dengan catatan pidato seorang kolega dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Djoko Supriyanto. “Hal paling penting di dunia telah ditunjukkan oleh orang-orang yang tetap bertahan dan berusaha meskipun mereka tidak melihat sedikitpun harapan di depan matanya. Bukankah kita bisa belajar dari mereka?”

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Serial Laporan Khusus:

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya
Skip to content