Beranda blog Halaman 43

14 Tahun Kejahatan Lumpur Lapindo dan Dampak Kegiatan Ekstraktif yang Belum Usai

Memperingati Hari Anti Tambang (HATAM) yang bertepatan pada 29 Mei 2020, Wahana Lingkungan Hijau (WALHI) Jawa Timur beserta Jaringan Anti Tambang Nasional (JATAMNAS) dan Komunitas Pejuang Lapindo hendak kembali mengorek ingatan masyarakat Indonesia tentang tragedi semburan lumpur Lapindo. 

Konferensi pers yang disiarkan langsung melalui Facebook, Twitter, Youtube, dan Zoom ini juga membahas bahaya aktivitas ekstraktif yang bertajuk Empat Belas Tahun Lumpur Lapindo dan Hari Anti Tambang 2020: Hentikan Bencana Industri oleh Tambang, Batalkan Omnibus Law Cilaka dan RUU Minerba.

29 Mei 2006,  merupakan awal semburan lumpur Lapindo berlangsung tanpa henti. Kini, 14 tahun kemudian, dampak dari bencana tersebut masih mengancam keselamatan warga secara luas, terlebih dikala pandemi seperti saat ini. 

Berdasarkan penuturan Ki Bagus selaku anggota JATAMNAS, tidak hanya peristiwa Lumpur Lapindo, namun di banyak daerah-daerah di Indonesia juga ikut terdampak akibat industri pertambangan. 

Pada tahun 2019, bencana seperti banjir menerpa di sekitar daerah tambang seperti Kutai Kartanegara, banjir bandang dan lumpur di Bengkulu, serta di Konawe Utara di Sulawesi Tengah juga terkena banjir berminggu-minggu yang tidak lepas dari konsesi tambang. 

Hal tersebut menjadi potret bagaimana bencana industri yang diakibatkan oleh tambang mendatangkan kesengsaraan serta bangkrutnya infrastruktur sosial-ekologis.

Meluasnya industri ekstraktif terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat dalam bentuk yang lebih rumit. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lahirnya regulasi yang tidak berpihak terhadap keselamatan ruang hidup rakyat.

Rere Christanto, selaku Direktur WALHI Jawa Timur, beranggapan bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan salah satu tragedi ekologi sosial paling nyata yang berdampak pada keselamatan rakyat. 

Hasil pemeriksaan kesehatan pada bulan Maret 2020 terhadap 30 warga yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo ditemukan indikasi kuat buruknya kualitas air. Hal itu menjadikan warga rentan terhadap infeksi saluran kencing.

Pada data dalam siaran pers HATAM 2020, pemeriksaan kualitas air di sungai dan irigasi yang dilakukan oleh Pos Koordinasi dan Keselamatan Lumpur Lapindo di sembilan titik  menunjukkan telah tercemar oleh timbal dan kadmium di atas ambang baku kesehatan.

Bahkan dengan indikator biologi makhluk invertebrata air, menunjukkan hampir tercemar berat secara keseluruhan. Penyakit infeksi saluran pernafasan juga menempati peringkat pertama penyakit paling banyak di tiga puskesmas sekitar semburan lumpur: Tanggulangin, Jabon, Porong. 

“Logam berat yang ditimbulkan dapat mengancam kesehatan warga di sana, terlebih ketika pandemi.  Tidak hanya di lingkungan, tapi juga sudah ada di tubuh biota. Kalau biota ini termasuk dalam rantai makanan, maka kandungan logam tersebut dapat masuk ke tubuh manusia,” ujar Rere.

Ki Bagus, juga mengatakan bahwa tambang, dengan daya rusaknya sudah masuk ke dalam bencana industri. Begitu pula menurut Rere, bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo sudah dapat dikatakan sebagai sebuah bencana industri. 

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bencana-bukan-alami salah satunya berupa gagal teknologi dan gagal modernisasi. Selain itu, United Nation of International Strategies for Disaster Reduction mendefinisikan kegagalan teknologi sebagai: “Semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan atau industri,” sehingga bencana industri merupakan bagian dari bencana yang disebabkan oleh tangan manusia, yang termasuk socio technical disaster.

Namun, pemerintah sendiri belum menetapkan semburan lumpur Lapindo sebagai bencana industri. Rere juga mengatakan kalau BNPB pun belum pernah melakukan penanganan terhadap bencana industrial, hanya bencana alam.

“WALHI telah melakukan diskusi serta advokasi, tapi belum ada tindakan apapun dari pemerintah. Pemerintah seharusnya melakukan penelitian sendiri sejauh apa logam berat yang muncul dari semburan tersebut yang diakibatkan dari pengeboran tersebut dan apa dampaknya bagi masyarakat,” kata Rere.  

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan PT Lapindo Brantas dengan memberikan kompensasi ganti rugi, dinilai merupakan upaya pengerdilan kasus yang hanya semata-mata soal tenggelamnya tanah dan bangunan. 

Pemerintah pun dinilai telah abai terhadap keselamatan rakyat dari ancaman dampak bencana industri pada aktivitas ekstraktif serta mengabaikan permasalahan yang mendasar, yakni hilangnya hak-hak warga akibat semburan lumpur Lapindo.

“Kejadian di Lapindo sudah termasuk sebagai bencana industri. Namun pemerintah tidak menggunakan kekuasaannya untuk memikirkan keselamatan masyarakat dari investasi,” kata Rere.

Melalui siaran pers HATAM 2020, pembahasan UU Cipta Kerja dan pengesahan UU Minerba yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa negara lebih mementingkan perlindungan bisnis ekstraktif ketimbang memastikan keselamatan rakyat.

Revisi UU Minerba lebih berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan perusahaan pertambangan. Tidak ada aspek yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat. Sebaliknya RUU Minerba akan makin menguatkan oligarki tambang, melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat.

WALHI Jawa Timur, JATAMNAS, dan Komunitas Pejuang Lapindo mengajak untuk menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sektor pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan kehidupan. 

“Harapannya di tahun ini kita mendesak pemerintah untuk menetapkan lapindo sebagai bencana industri,” tutur Bagus. 

Penulis: M. Rizqy Rosi M.

Reporter: M. Rizqy Rosi M.

Editor: Hersa Ajeng Priska

Otonomi Melawan Pandemi

Candi Winangun. Foto: Alwan

Dusun Clumprit. Foto: Dhia Ananta

Ngentak RW 23. Foto: Dhia Ananta

Dusun Candi Winangun. Foto: Ika Rahmanita

Dusun Gadingan. Foto: Ahmad Sarjun

Pasar Beringharjo. Foto: Alwan

Entah memakai bambu ataupun spanduk-spanduk bekas dengan tulisan menggunakan cat spray. Menampilkan frustasi warga terhadap virus yang sedang naik daun.

Atmosfer ini, suasana sedih dalam senyap ini, merupakan pengalaman pertama bagi setiap orang di Yogyakarta. Per 30 Maret 2020, sudah ada 15 warga positif dengan 3 orang meninggal dan 1 sembuh. 

Beruntung warga mengalihkan tekanan ini dengan perlawanan mereka sendiri. Beberapa kampung menutup seluruh akses, yang lain membuat 1 pintu dengan semprotan disinfektan di gerbang masuk.

Aksi kolektif warga tidak berhenti di pelarangannya saja. Seperti di RT 11 RW 037 Jongkang Baru, warga berinisiatif untuk membagikan sembako untuk mendukung persediaan rumah tangga.

Dalam perlawanan terhadap virus ini, terlihat peran organisasi semacam karang taruna. Walaupun sering dipandang sebelah mata, perkumpulan pemuda kampung lebih efektif dalam memukul mundur pergerakan virus di tingkat kampung dengan menampung semangat pemuda sekitar secara kolektif untuk melakukan perlawanan dibanding pemangku kepentingan di tingkat atas.

Narasi: Dhia Ananta

Reporter:Alwan Nur Fakhry, Ika Rahmanita, Dhia Ananta, Ahmad Sarjun

Redaktur Foto: Hilmi Fahrul

Editor Narasi: Muhammad Prasetyo

Antara Ekofasisme dan Pembenahan Kehidupan di Tengah Pandemi

Dampak yang ditimbulkan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) secara global tidak bisa dianggap remeh.Terlihat dari angka kematian mencapai lebih dari 100 ribu jiwa di seluruh dunia dan respon kebijakan berbagai negara dalam menangani pandemi ini. 

Hampir di segala lini terkena imbas pandemi ini, khususnya bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Sekiranya tidak berlebihan jika berkata bahwa akibat yang ditimbulkan tidak hanya dalam bentuk penyakit jasmani, melainkan melahirkan suatu stigma. 

Stigma terhadap kelompok tertentu hingga melemahkan perputaran dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di tengah semua dampak yang saat ini kita rasakan, terdapat satu dampak yang kiranya memiliki nilai positif yaitu dampak terhadap lingkungan hidup.

Berbagai data dirilis mengenai turunnya kadar nitrogen dioksida di berbagai negara terdampak pandemi. Hal tersebut dikarenakan berhentinya berbagai aktivitas masif seperti kegiatan industri, transportasi yang mengeluarkan emisi, serta berbagai aktivitas lain yang menimbulkan polusi. 

Sehingga tidak sedikit pihak yang berpendapat bahwa Covid-19 merupakan “antibodi” terhadap virus sejati yang ada di bumi ini yaitu manusia itu sendiri.

Bukan hal aneh memang jika banyak yang berpendapat demikian, mengingat hampir semua perusakan dan pencemaran lingkungan hidup pelakunya adalah manusia dengan beragam motif tentunya. Bumi merespon kita sebagai ancaman dan mengeluarkan “antibodi”-nya yang bernama Coronavirus Disease 2019

Narasi seperti ini terdengar familiar bukan? tentu saja saya tidak memiliki kapasitas untuk menyatakan apakah hal tersebut benar secara ilmiah atau tidak. Tapi jujur dalam lubuk hati, saya meng-amini pernyataan tersebut. Didasarkan sifat destruktif kita yang bukan omong kosong belaka.

Tidak perlu selalu menyalahkan para penguasa kita dalam hal perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Coba renungkan saja bagaimana dampak yang ditimbulkan dari minimnya wawasan dan aplikasi hidup ramah lingkungan. 

Mulai dari mengurangi penggunaan plastik dengan membawa tas kantong sendiri. Belum lagi berbagai aktivitas lainnya, bayangkan hal tersebut dilakukan oleh jutaan bahkan milyaran manusia di muka bumi ini. 

Fakta nyata yang terpampang di depan kita saat ini adalah dampak virus ini yang tidak bisa dianggap remeh sekaligus kegiatan destruktif kita terhadap lingkungan. Mulai banyak yang menyatakan bahwa kita manusia lah penyebab semua ini terjadi hingga kitalah “virus” sebenarnya. 

Disinilah letak poin yang sering diistilahkan sebagai “ekofasisme”. Berasal dari kata “eko” yang berarti ekosistem (red: lingkungan) dan “fasisme” yang berarti sebuah kepemimpinan absolut yang harus dipatuhi. Sehingga dapat disimpulkan ekofasisme bermakna suatu kepemimpinan atau ideologi absolut yang harus dipatuhi demi kepentingan lingkungan hidup. 

Terdapat definisi lain tentang ekofasisme menurut Encyclopedia of Religion and Nature (2008). Sejarawan lingkungan kontemporer paling terkenal, Michael Zimmerman, mendefinisikan ekofasisme sebagai “A totalitarian government that requires individuals to sacrifice their interests to the well-being and glory of the ‘land’, understood as the splendid web of life, or the organic whole of nature, including peoples and their states.” 

Berdasarkan definisi tersebut basis ekofasisme berada pada pemerintah dalam bentuk paksaan penerapan suatu kebijakan. Meski begitu, tentu pemaknaan istilah ekofasisme dapat dikaitkan dengan konteks isu yang relevan. 

Tentu saya sangat terbuka untuk membahas ekofasisme, akan tetapi menurut pemahaman saya. Ekofasisme sudah terlihat saat ini, dimana tidak sedikit pihak yang menganggap bahwa korban yang berjatuhan akibat virus ini adalah buah dari aktivitas destruktif kita sendiri. 

Saya tidak ingin memperdebatkan apakah itu benar dan salah, sekali lagi itu soal perspektif. Tetapi hal yang ingin saya tekankan, bahwa nyawa manusia tidak akan bisa di-“daur kembali”. Sedangkan lingkungan kita bisa olah kembali meskipun tidak akan sama seperti kondisi semula. Sehingga rasanya cukup kejam jika kita beranggapan  bahwa 100 ribu nyawa yang berjatuhan akibat virus ini adalah suatu konsekuensi yang wajar.

Bukan berarti tidak memperdulikan keberlangsungan lingkungan hidup. Tetapi pemahaman totaliter dan absolut cenderung menutup ruang komunikasi sehingga menyebabkan kondisi yang semakin sulit. 

Kenyataan bahwa manusia hidup bergantung pada alam adalah suatu keniscayaan. Sehingga hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana pemanfaatan dan pembangunan ini dapat berjalan secara berkelanjutan. 

Bukan justru menjustifikasi dari satu sudut pandang saja bahwa semua hal yang kita lakukan di era modern ini bersifat destruktif kepada lingkungan hidup. Inilah poin diskusi yang harusnya mulai terus kita pikirkan dan kembangkan bersama. 

Satu hal yang harus kita percayai bahwa wabah ini merupakan teguran oleh Tuhan. Bahwa kita manusia sejatinya diciptakan sebagai pemimpin di bumi dengan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. 

Bukan malah dengan intelektualitas yang kita miliki mendorong melakukan eksploitasi tak beraturan dan berbagai kegiatan yang mendatangkan keuntungan ekonomis tapi merugikan aspek ekologis. Kenyataan politik hukum kita lebih cenderung berat di aspek ekonomi dengan tujuan “kesejahteraan”. Tetapi melupakan keberlanjutan kehidupan manusia di masa yang akan mendatang.

Manusia yang dibekali akal dan pikiran serta kuasa untuk mengatur jalannya berbagai hal di bumi ini. Sehingga dengan kuasa dan intelektualitasnya seharusnya kita bisa berpikir, mengolah, mengevaluasi sepak terjang sejarah kehidupan manusia terhadap lingkungan dimana ia menapakkan kaki, bernafas sedalam mungkin, makan minum hingga mati kelak. 

Bagaimana sikap kita terhadap entitas utama yang menopang kita untuk hidup? Pandangan bahwa sumber daya alam tak terbatas adalah omongan bohong belaka! janji-janji program pembangunan berkelanjutan nyatanya hanyalah konsep yang sulit diterapkan, bukan karena sulit secara konseptual tapi sulit secara politik, ekonomi dan implementasinya.

Kekuasaan politik adalah segalanya saat ini. Lihat bagaimana negara industrial seperti China bisa menerapkan lockdown, semua itu karena adanya kekuasaan politik. Sama halnya di negara lain. Kekuasaan politik lah atas dasar kepentingan kehidupan rakyat sebagai sumber daya dalam menopang aktivitas ekonominya harus diselamatkan. 

Maka hanya dengan kekuasaan politik pula, bumi ini bisa kita selamatkan. Tinggikan rasa kemanusiaan kita! bukan saatnya meng-amini ribuan orang meninggal sebagai suatu hal yang wajar! Saatnya kita sebagai masyarakat biasa saling memahami bahwa kita hanyalah butiran debu dalam susunan alam semesta kepunyaan-Nya. 

Jika kekuasaan politik yang dipegang para penguasa tidak ditujukan untuk pembenahan kehidupan berkelanjutan di masa yang akan datang. Maka kita sebagai kekuatan politik sesungguhnya yang seolah-olah “diwakilkan” harus bergerak. 

Senjatai diri kita dengan pemahaman atas pentingnya menjaga lingkungan. Bergerak aktif mengurangi polusi dengan mengurangi berbagai sebabnya dan aktif mengedukasi siapapun yang bisa kita jangkau. 

Saat kekuasaan politik tersebut tidak mengindahkan adanya kebijakan pembenahan lingkungan sebagai suatu bentuk refleksi atas pandemi yang kita rasakan saat ini. Maka kita harus bergerak bersama sebagai suatu kekuatan massa dalam merubah cara pandang kekuasaan politik yang ada. 

Bukan demi diri sendiri saja, tetapi demi anak, cucu, cicit dan generasi mendatang kelak. Agar mereka mampu melihat sungai mengalir dengan jernihnya, menghirup udara sejuk sedalam-dalamnya, dan bahagia karena mampu melihat birunya langit ciptaan-Nya.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Sempitnya Kegiatan Islam Kami

Demi menjaga mahasiswa terus berada pada koridor ajaran dan nilai-nilai Islam, Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII), membentuk kelompok-kelompok studi yang dikenal dengan istilah ta’lim. Tujuannya untuk menjalankan misi keagamaannya. 

Misi yang mulia itu kemudian menjadi salah satu rangkaian kegiatan bagi mahasiswa. Bahkan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika hendak melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). 

Diwajibkannya kegiatan ta’lim menjadi ciri tersendiri yang dimiliki oleh UII yang diterapkan kepada setiap mahasiswa. Beragamnya latar belakang pendidikan mahasiswa UII menjadi salah satu pertimbangan penting untuk kegiatan ini. 

Harus dipahami bahwa mahasiswa UII tidak semuanya berangkat dari pondok pesantren ataupun sekolah-sekolah yang berbasis Islam. Di antara mereka ada yang dari SMA dan juga SMK yang notabene bukan merupakan sekolah berbasis pada pengetahuan ajaran agama Islam. Dengan hadirnya ta’lim ini diharapkan akan diperoleh keserasian dari beragam latar belakang tersebut dengan berpengetahuan dasar mengenai Islam itu sendiri.

Secara umum, kegiatan ta’lim, PNDI dan pesantrenisasi memang sepatutnya memperoleh apresiasi dan disambut baik oleh mahasiswa. Namun ada beberapa hal yang perlu kembali diingat bahwa setiap kegiatan tidak selamanya akan berjalan dengan lancar. 

Oleh karena itu, harus ada evaluasi untuk selalu memperbaiki kegiatan ini agar lebih baik lagi. Jangan sampai kegiatan tambahan dari kampus yang bersifat wajib ini kemudian tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang menjadi basis keilmuan dalam ta’lim ini.

Kegiatan ta’lim ini dilakoni selama empat semester. Tapi tidak ada makna dari kegiatan yang kami ikuti ini selain hanya untuk hafalan dalam setiap pertemuannya. Dari kegiatan itu kemudian muncul pertanyaan.

Apakah kegiatan beragama dalam Islam hanya dimaknai sesempit menghafal seperti ini? bagaimana kurikulum yang dibangun? Kenapa kegiatan ta’lim ini terasa begitu stagnan? Apakah tidak ada pengembangan ilmu pada setiap periode? Mulai dari semester satu hingga semester empat tidak ada perbedaan materi pengajaran maupun materi pengujiannya.

Berkaitan dengan kegiatan yang saya pikir cukup stagnan ini, timbul pertanyaan. Apakah memang benar bahwa kegiatan ini minim evaluasi? Karena jika ditilik secara jenjang periode, harusnya kegiatan ini dapat membawa mahasiswa kepada sebuah lingkungan ilmu pengetahuan berbasis Islam dan tidak terpusat hanya pada kegiatan ibadah vertikal langsung kepada Tuhan saja. 

Ta’lim ini sebenarnya sudah banyak menjadi topik perbincangan saya dan beberapa kawan saya. Bukan sekadar menyalahkan. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk kepedulian kami terhadap kegiatan kampus yang satu ini. Pun, kalau ta’lim tidak wajib dan tidak menjadi bagian dari syarat administrasi kelulusan KKN, saya yakin tidak akan banyak mahasiswa yang mengikuti ini. Perbincangan kami ini kemudian semakin hari semakin menjadi keresahan tersendiri bagi kami. 

Hal penting yang harus kami sampaikan adalah substansi daripada kegiatan ta’lim itu sendiri. Janganlah kegiatan ta’lim yang sangat berharga ini disia-siakan dan, terbatas hanya pada kegiatan menghafal sepanjang pertemuan saja. Tentu tidak ada yang salah dalam kegiatan menghafal ayat-ayat Alquran. 

Bukankah sebaiknya ada pengelompokan materi untuk setiap jenjangnya. Kalau hal ini terus berlanjut, maka sampai kapan pun kita tidak akan mampu untuk merealisasikan kegiatan beragama kita dengan baik di masyarakat. Harusnya kegiatan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membicarakan masalah-masalah lingkungan, sosial, budaya dan sebagainya melalui pengkajian perspektif Islam itu sendiri. 

Kami pikir hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak penyelenggara. Kalau pun masih bertahan pada tradisi lama, seperti menghafal juz 30, doa-doa dan cara bersuci. Bukankah yang demikian itu kemudian dapat dikombinasikan?

Kami sangat menyayangkan kegiatan ta’lim yang selama ini berjalan sekadar sebagai formalitas kegiatan keagamaan belaka. Kegiatan ini harus dimaksimalkan untuk berbicara masalah kehidupan sehari-hari dan bukan sekadar ibadah yang sifatnya individual. 

Islam bukan sekadar agama peribadatan, menyembunyikan diri untuk bercinta dengan Tuhan di sepertiga malam, tapi Islam juga mengajarkan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan kehidupan, sebagai rahmatan lil alamin.

Iqro (pembaca situasi, kondisi sosial masyarakat), agama yang harus mengentaskan kemiskinan dan untuk menciptakan kesejahteraan bagi penganutnya dan juga orang-orang di sekelilingnya karena memang Islam itu sejuk dan tidak kaku. 

Bagaimana kemudian Islam akan diselaraskan dan sesuai dengan perkembangan waktu dan di mana pun ia berada, ketika ia sendiri enggan untuk berbaur dengan kondisi budaya masyarakat penganutnya. Bagaimana akan diintegrasikan jika terlalu sibuk mengurusi kegiatan rohani semata. 

Kami setuju bahwa kegiatan rohani memang baik, tapi bukankah kita dituntut untuk menyeimbangkan antara kegiatan duniawi dan kegiatan rohani? Kita akan kembali teringat pada sebuah revolusi besar dunia yang membawa kedamain bagi siapa pun di sekitarnya. 

Bukan Revolusi Prancis, bukan revolusi industri apalagi Revolusi Bolshevik. Tapi revolusi umat Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW. 

Bahkan sang pembawa ajaran pun tidak hanya berpatok pada kegiatan ibadah yang bersifat kerohanian semata, ia juga mengatur masalah lingkungan hidup dengan membaca situasi sosial masyarakatnya, hingga bagaimana kemudian ia berbuat baik kepada sesama manusia baik muslim maupun non-muslim di Madina. Piagam Madina menjadi legalitasnya. Piagam yang tentu saja berpatok pada sandaran ajaran ajaran Islam.

Jadi, dengan banyak berbicara kehidupan sosial, ketika memang ini akan dipertimbangkan untuk diberlakukan dalam kegiatan ta’lim, tidak akan mengurangi asas keislaman, malah justru di sinilah akan dibumikan ajaran-ajaran Islam agar dapat disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya penganutnya. Ini yang kami sampaikan sebagai pembuka kritik. 

Jika memang dibutuhkan, kami akan berusaha memperinci pokok permasalahan yang kami ajukan. Karena kami mengapresiasi kegiatan mulia ini. Kami juga menghendaki perbaikan atas kegiatan yang ada di dalamnya agar lebih substansial dan tidak stagnan lagi. 

Masa, kegiatan yang dijalankan selama empat semester, isinya itu-itu saja; hanya datang, kumpul, setor hafalan dan belajar menulis. 

Kami pikir, kegiatan seperti ini, tanpa difasilitasi dari kampus pun tetap dapat dilakukan mahasiswa. Serahkan saja prodi untuk memberikan tugas pada mahasiswanya setiap bulan untuk setoran. Bukankah itu lebih efektif daripada menggaji mualim dan menghabiskan beberapa juta rupiah setiap semesternya.

Ketika ia dikembangkan pada tahapan diskusi mengenai problem-problem sosial yang berkembang, malah ini menjadi hal penting, di mana setiap mahasiswa dapat terasah untuk berpikir analitis, dan juga solutif dalam menanggapi permasalahan sosial, lingkungan yang ada. 

Tentu ini bukan satu-satunya dan tidak harus. Karena masih banyak hal lain yang dapat dikembangkan untuk mengisi kegiatan sebagus ini. Ta’lim ini sangat potensial sebagai ladang dakwah dengan sifatnya yang wajib sehingga dapat mengorganisir mahasiswa, bahkan mahasiswa rebahan (apatis) sekalipun akan bangkit karena sifatnya yang memaksa.

Sekian, terima kasih.

MAHASISWA, DAN MEWAKILI MAHASISWA YANG TERWAKILI.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Tradisi Mudik dan Pelampiasan dari Penatnya Pola Masyarakat Urban

Tradisi mudik kini tampak mulai menjadi perbincangan hangat. Bukan hanya perkara Presiden Jokowi yang buat kita ling-lung antara perbedaan mudik dan pulang kampung, kini masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit. Sudah tidak dapat mudik karena pandemi, ditambah pula tidak dapat berkumpul lebaran dengan sanak saudara nun jauh di sana.

Lalu, apakah tidak adanya mudik ini akan signifikan berpengaruh kepada masyarakat secara luas? Mari kita ulas bersama.

Mudik dalam rangkaian sejarah, dapat ditelaah dari aspek sosio-kultural dan spiritual. Dalam hal sosio-kultural, mudik dimaknai sebagai kebutuhan kultural yang tak lepas dari masyarakat ketika menjelang lebaran. Sedangkan jika ditilik dari akar historisnya, menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik di Indonesia dilacak berasal dari tradisi primordial petani di Jawa jauh sebelum zaman Majapahit. 

Pada saat itu para petani menggunakannya sebagai acara membersihkan kubur leluhur sambil memanjatkan doa kepada para dewa-dewa di khayangan, agar siapa pun yang ingin merantau dari tanah kelahiran diberi keselamatan dan keluarga yang tinggal tidak diterpa banyak masalah. 

Namun, pemaknaan spiritual tersebut kemudian perlahan mulai tenggelam seiring masuknya ajaran Islam ke nusantara, yang kemudian menganggap hal tersebut adalah sebagai bagian dari syirik.

Mudik kemudian mulai eksis sebagai tradisi menjelang lebaran sekitar tahun 1970-an. Karena pada rentang itu, terjadi proses urbanisasi besar-besaran di Indonesia. Di mana masyarakat yang hidup di desa berbondong-bondong ke Jakarta untuk mengadu nasib. 

Saat itulah kebijakan libur panjang menjelang lebaran muncul dan membuat tradisi mudik sebagai suatu momentum bagi para perantau untuk kembali ke kampung halamannya. 

Fenomena mudik tentu sebenarnya tidak lepas dari pemaknaan ruang yang jauh berbeda. Karena mudik berasal dari bahasa Betawi ‘udik’ yang berarti kedesa-desaan. Artinya, mudik adalah proses pulangnya masyarakat desa dari kota menuju kampung halamannya. 

Sifat yang ditonjolkan kota sebagai wilayah modernis, industri, dan di mana budaya terus-menerus dipertukarkan membuat kota sebagai ruang yang dibentuk melalui ‘nurture’. Sedangkan desa, adalah representasi ruang dengan sifat-sifat alamiah manusia yang terus terawat. 

Tentu bagi perantau yang mengadu nasib di kota asing, mudik akan menjadi pengobat batin dan penyeimbang alam bagi mereka yang kian terus diusik oleh modernitas yang membuat sebagian kelas masyarakat dalam bayang-bayang ancaman struktural. 

Berkembangnya kota menjadi kawasan industri nan konsumeris membuat perantau yang mengadu nasib menjadi merasa terasing dengan kehidupan serba individualis sebagai efek domino dari kapitalisme. Jauh dari kehidupan asal mereka di desa yang hidup secara kolektif, saling membantu, dan serba guyub.

Mudik adalah apa yang sewayahnya saya simpulkan seperti kembali ke “alam”. Di sana, manusia-manusia berkumpul untuk menjalankan tradisi kolektif dari hal-hal kecil seperti masak bersama, panen bersama, dan saling bahu membahu mempersiapkan misal, hari lebaran sebagai agenda yang sakral. 

Jauh dari agenda kehidupan kota yang penuh dengan keriuhan atau apa yang disebut Agus Maladi sebagai hidup yang penuh dengan logika fungsional industrialisasi. 

Secara spiritual, mudik disebut tidak hanya menjalankan fungsi sosial-vertikal sebagai dari rangkaian ibadah kepada Tuhan, namun menjalankan fungsi sosial-horizontal dalam rangka bersilaturahmi dan melepas kerinduan pada sanak saudara. 

Sering kali kita mendengar keluarga-keluarga yang memaksa diri untuk pulang mudik walaupun balik dengan modal serba pas-pasan, tidak jarang banyak yang berhutang. 

Bahkan mengemper di tepi stasiun untuk menunggu kereta api dan bus datang segera menjemput mereka kembali ke rumah. Bagi mereka yang sangat paham maknanya menjadi manusia di tanah kelahiran mereka, kerinduan kembali ke ‘alam’ akan mengalahkan apa pun yang menjadi rintangan.

Tentu, ini tidak selamanya berjalan linear. Atau saya menyebutkan bahwa desa adalah tempat yang paling ideal. Toh, sekarang hal itu tidak berlaku dengan fenomena yang kita pandang hari ini sebagai masuknya pola-pola modernis ke desa. Contoh kecil saja, desa-desa yang kemudian didayagunakan sebagai kawasan pariwisata. 

Hal ini tentunya akan membuat desa mulai tergerus perlahan nilainya dengan kultur baru yang serba konsumeris dan hedonis. Tak lain pula, pola kultural kini telah sebagian berubah dan kehilangan makna mudik yang disebutkan di atas. 

Misal, orang-orang yang mengadu nasib di perkotaan kembali ke kampung sebagian memiliki motif untuk memperlihatkan kesuksesan dan pola kehidupannya yang kini telah beradaptasi pada kultur kehidupan modernis. Agus Maladi menyebut fenomena ini kemudian mudik sebagai keretakan budaya.

Lalu bagaimana dengan realita hari ini? Masyarakat yang belum sempat untuk mudik disebabkan pandemi akan cukup merasa terguncang. Tidak ada pilihan lain selain mendekam di tempat berdomisili, berani mudik artinya melanggar aturan pemerintah sekaligus membawa risiko-risiko terjangkit virus yang cepat menyebar ini bersama dirinya. 

Belum lagi tentang buruh yang mayoritas telah kehilangan pekerjaannya dan kini tak dapat pula balik ke kampung halaman, hidup serba dalam ketidakpastian. Atau lagi-lagi seperti penjual tetap Tanah Abang yang saya lihat di berita kehilangan tempat tinggal dan memilih tidur di jalanan, karena tidak sanggup membayar indekosnya. 

Dampak-dampak yang membersamai ini tentu akan berefek pada ranah psikologis. Harapan dalam kembali ke rumah dan merindu kedamaian kampung halaman sebagai salah satu upaya manifestasi terapi diri tidak dapat terwujud. 

Oleh karenanya, percaya tidak percaya, kini saya pun mulai kepada titik pemaknaan dari mudik itu sendiri. Mudik sebagai suatu ritual ternyata tidak hanya dalam rangka bersilaturahmi. Lebih dari itu, saya membutuhkannya sebagai wadah meluapkan rasa rindu kembali melihat asrinya kampung halaman dan segala kedamaian yang tinggal di dalamnya. 

Dan lucunya, kita selalu memaknai suatu hal ketika kita telah berada di luar ‘kotak-kotak’ tersebut.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Modus IM dan Seberapa Siap UII Menyoal Kekerasan Seksual

“Terkuak kasus kekerasan seksual IM sejak masih menjadi mahasiswa aktif UII. Terlepas benar tidaknya laporan-laporan tersebut masuk ke rektorat di tahun sebelumnya, kekerasan seksual tampaknya belum menjadi fokus UII dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman.”

Mengetahui adanya dugaan kasus pelecehan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII), reporter kami langsung menelusuri kasus tersebut. Tepat 29 April 2020, kami berkesempatan untuk mendengarkan cerita dari salah satu penyintas, selanjutnya disebut V (bukan nama sebenarnya). Kejadian tersebut terjadi pada tahun ajaran 2015/2016, ketika V masih menjadi mahasiswa baru dan IM masih berstatus sebagai mahasiswa aktif tingkat akhir.

Saat itu IM sering menjadi pembicara di acara-acara kampus. Mereka berkenalan, lalu saling bertukar Instagram. IM sering melontarkan komentar pada Instagram Story V dan tidak banyak obrolan terjadi. Hingga suatu ketika IM melontarkan pertanyaan kurang sopan dan menawarkan ajakan untuk mandi bersama. Padahal mereka baru kenal, hanya bertemu sekali saja. V sadar bahwa itu adalah bentuk dari kekerasan seksual. Akhirnya V tidak lagi menggubris IM. 

Beberapa tahun belakangan ini, isu pelecehan seksual di perguruan tinggi mulai terbuka satu  per satu. UII merupakan salah satu yang tidak beruntung, sebab kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa tahun silam baru terbongkar saat ini. 

Hal ini juga disesali oleh pihak Rektorat UII dalam Rilis Media Universitas Islam Indonesia tentang Dugaan Tindak Pelecehan dan Kekerasan Seksual oleh IM dalam poin nomor 3, bahwa UII terkendala keterbatasan informasi mengenai tindak pelecehan seksual di kampus pada tahun sebelumnya.

Pada penelusuran tahun-tahun sebelumnya, UII baru menemukan adanya dua korban yang mendapatkan pendampingan psikologis oleh Layanan Konseling UII dua tahun lalu. Di samping itu, pihaknya juga mengatakan bahwa UII belum menerima pengaduan dan laporan resmi terkait kasus pelecehan seksual saat itu.

Dikutip oleh Tirto.id, menurut International Labour Organization, yang termasuk pelecehan seksual adalah bentuk diskriminasi seksual serius yang mempengaruhi wibawa perempuan dan laki-laki. Lalu Komnas Perempuan mendefinisikan pelecehan seksual adalah salah satu dari tiga belas tindak kekerasaan seksual. Kekerasan seksual dapat berbentuk fisik dan non-fisik serta dapat menimpa laki-laki dan perempuan. Pesan-pesan serta cuap-cuap sensual di luar consent adalah bentuk dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya dimonopoli oleh tindak perkosaan saja.

Awal Mula Kasus Terangkat

Kabar kekerasan seksual di UII pertama kali datang dari pesan broadcast yang dikirim oleh Rumi Azhari, Ketua Umum Lembaga Dakwah Al-Fath UII. Mengetahui kabar tersebut beredar, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UII, melalui Komisi II memintanya untuk menarik kembali  pesan tersebut. 

“Apa yang ditulis Rumi adalah kesepakatan oleh satu korban, kita belum tau kesepakatan korban yang lain. Apakah korban yang lain mau pemberitaannya itu sangat besar dengan framing-framing yang kita nggak tau seperti apa,” kata Fadila Adkiras, Anggota DPM UII Komisi II yang meminta Rumi untuk menarik kembali pesan broadcast tersebut. 

Pesan broadcast oleh Rumi sebenarnya ditujukan untuk koleganya di Lembaga Dakwah di UII, dimaksudkan agar Lembaga Dakwah Universitas dan Fakultas tidak lagi mengundang IM sebagai pembicara. 

Hal ini juga selaras dengan isi Press Release Aliansi UII Bergerak yang mengatakan bahwa ada salah satu penyintas, selanjutnya disebut Z (bukan nama sebenarnya) yang memberi peringatan kepada Ketua Lembaga Dakwah Al-Fath agar tidak mengundang IM sebagai pembicara lagi.

UII Bergerak melalui rilisnya menuliskan kronologi kasus kekerasan seksual oleh IM kepada Z yang terjadi pada tanggal 11 April 2020. Z melaporkan kasus tersebut pada Kemahasiswaan UII dan tidak kunjung direspon. Atas lambannya Kemahasiswaan UII dalam merespon laporan tersebut, Z menghubungi pihak luar sebagai kuasa hukumnya. 

Modus dan Pola Umum Tindak Kekerasan Seksual oleh IM

Isu mengenai kekerasan seksual oleh IM diduga sudah terhembus sejak lama, tetapi tidak banyak yang menyuarakan. “Banyak yang memilih bungkam karena adanya relasi kuasa yang begitu besar,” ujar Karunia, Juru Bicara Aliansi UII Bergerak. 

IM kerap menjadi pembicara di acara-acara kampus. Ia terkenal cerdas dan berprestasi sehingga banyak mahasiswa yang mengidolakannya. “Penggunaan relasi kuasa itu tersirat gitu loh, karena kan kalo misalnya orang itu udah ngefans sama senior dan lain-lain, itu kan kayak anggap teman,” ucap Meila Nurul Fajriah, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. 

Secara tersirat, IM menggunakan privilege dan relasi kuasa yang dimiliki untuk menghubungi korban. “Karena ada beberapa yang modusnya memang dia mendekati anak-anak satu komunitas, atau adik-adik tingkat,  angkatan yang lebih bawah,” kata Meila.

Per hari Senin, 4 Mei 2020, jumlah korban IM yang melapor pada LBH Yogyakarta sebanyak 30 penyintas. Berdasarkan laporannya, kekerasan yang dilakukan oleh IM terjadi pada tahun 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, saat IM masih berada di Indonesia dan sudah berada di Melbourne. 

Kasus kekerasan seksual yang diterima 30 penyintas tersebut berbeda-beda, tetapi setidaknya memiliki empat pola pendekatan. Modus pertama, IM menghubungi korban melalui Instagram dengan membalas pada Instagram Story korban, lalu berlanjut pada percakapan lain yang akhirnya digiring pada pertanyaan berbau seksual. 

Modus kedua adalah IM menghubungi korban via telepon, atau video call, lalu tanpa basa-basi IM menanyakan hal-hal yang bernada seksual, serta mengarahkan kamera handphone-nya ke alat kelamin saat video call

Modus ketiga, IM menjual buku IELTS/TOEFL kepada korban dan meminta pembayarannya dengan Cash on Delivery (COD), tetapi saat bertemu IM malah tidak membawa bukunya. IM kemudian mengajak korban ke indekos dan menyuruh korban untuk mengambil sendiri di kamarnya. Ketika korban berada di kamarnya, IM langsung mengunci pintu dan memeluk korban dari belakang.

Modus keempat adalah kekerasan seksual fisik. Di antaranya adalah IM menggesekkan pahanya pada paha korban saat berada dalam forum. Lalu memegang paha korban. IM memojokkan badan korban ke dinding, lalu IM menciumnya secara paksa dan menggesekkan alat kelaminnya ke perut korban (kontak kulit) sehingga terjadi ejakulasi di luar alat kelamin korban. 

Ada juga yang melaporkan bahwa IM mencengkram tangan dan leher korban, lalu mencium korbannya dan memaksa untuk berhubungan badan (pemerkosaan) sehingga terjadi ejakulasi di luar kelamin korban.

Berdasarkan keterangan LBH Yogyakarta, mayoritas korban adalah junior IM di UII. Selain itu ada pula korban yang merupakan penggemarnya. Sehingga LBH juga mengatakan bahwa ada relasi kuasa yang kuat dan timpang. Saat ini LBH juga tengah menelusuri apakah terdapat korban yang masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di UII, mengingat saat telah menjadi alumni IM masih banyak mengisi acara-acara di kampus.

Respon Pihak Rektorat

Menyikapi adanya kasus yang muncul ke permukaan, Rektor UII angkat bicara melalui Rilis Media Resmi Universitas Islam Indonesia pada 29 April 2020 tempo hari melalui Himmah UII (LPM Universitas). 

Tak berapa lama kemudian DPM UII melalui laman Instagram-nya, mempublikasikan hasil kesepakatan dengan pihak Rektorat mengenai pembentukan Tim Khusus UII. Komposisi Tim Khusus UII terdiri dari akademisi, pendamping psikologis, dan praktisi pendamping hukum. “Jadi ada dua sub, yang pertama pendampingan psikologis, yang kedua fokus pendampingan hukum jika korban itu meminta,” kata Fadila Adkiras.

Dengan mencuatnya dugaan yang dilakukan oleh IM, UII sepakat untuk mencabut gelar Mahasiswa Berprestasi yang diberikan kepada IM pada tahun 2015. Kesepakatan ini dipertimbangkan melalui keterangan penyintas. Secara institusional UII tidak akan melibatkan IM kembali. Pihak Rektorat turut mengimbau mahasiswa untuk melakukan hal yang sama. Pihak Rektorat menganjurkan para penyintas untuk membawa kasus ini ke jalur hukum, mengingat pelaku sudah tidak berstatus mahasiswa di UII.

Mengapa Kasus Tidak Terbuka Sejak Dulu?

Terdapat kabar simpang siur mengenai adanya laporan kasus serupa di tahun sebelumnya. Terlepas dari benar atau tidaknya adanya laporan tersebut, kekerasan seksual tampaknya belum menjadi fokus UII dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman bagi siapa pun yang ada di dalamnya. 

Hal tersebut berdasar dari keterangan Rektorat UII yang mengatakan bahwa tidak menerima laporan apapun ketika Psikolog UII sudah melakukan layanan konseling kepada dua penyintas di tahun 2018. Sebuah layanan mahasiswa yang jelas berada di bawah DPBMKM (Direktorat Pengembangan Bakat Minat dan  Kesejahteraan Mahasiswa) UII.

Saat ingin dimintai keterangan terkait kasus pelecehan seksual yang masuk saat IM masih menjadi mahasiswa aktif dan telah menjadi alumni, psikolog yang menangani penyintas menolak untuk memberi jawaban. Sebab, informasi dari pihak kampus dialihkan melalui satu pintu yang dimanifestasikan dalam rilis rektor.

“Ada laporan setiap tahun terkait pelaksanaan program konseling, tetapi tidak mungkin mencantumkan jenis atau substansi masalahnya,” Kata Syarif Nurhidayat, Ketua Tim Pendampingan Korban, sekaligus menjadi pintu utama pernyataan pihak Rektorat saat ini.

Sampai saat ini, UII belum memiliki produk hukum yang spesifik mengatur kekerasan seksual. Dari keterangan yang dihimpun oleh LBH Yogyakarta dan Aliansi UII Bergerak, kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas selama menjadi mahasiswa aktif hanya dapat melakukan dua opsi, diam atau memakai layanan konseling. Fasilitas untuk melapor terbilang kurang dan rawan untuk diredam sebab tidak ada bagian yang menangani secara khusus.

Padahal jika kasus pelecehan seksual diproses di universitas, tindakan kekerasan seksual diatur dalam Peraturan Universitas tentang Disiplin Mahasiswa Universitas Islam Indonesia tetapi tidak spesifik. Pada BAB III Pasal 5 mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh mahasiswa UII. Tidak ada penjelasan konkrit terkait bentuk kekerasan seksual dan hukuman yang akan diterima oleh pelaku kekerasan seksual. 

Pada pasal tersebut terdapat poin Q yang berbunyi “Melakukan pelecehan seksual, pergaulan bebas, penyimpangan seksual, perbuatan tidak senonoh, atau yang dipersamakan dengan itu”.

Tanpa mengecilkan tindakan dilarang yang lain, narasi mengenai kekerasan seksual mendapat porsi yang kecil. Sanksi yang didapat apabila melanggar Disiplin Mahasiswa UII bersifat general: sedang untuk pelecehan seksual dan perbuatan tidak senonoh, serta berat untuk perkosaan.

“Menurut saya itu bukan sesuatu yang bisa ditolerir. Jadi bagaimanapun bentuk kejahatan seksualnya itu tidak ada yang parah, tidak ada yang setengah parah, tidak ada yang tidak parah. Semua itu kita anggap parah,” kata Meila. Menurutnya, kekerasan seksual bukanlah suatu tindakan yang dapat diukur besar kecilnya.

Lalu UII sebenarnya juga mempunyai media pengaduan melalui Badan Etika dan Hukum (BEH) UII. BEH adalah lembaga yang mengurus kasus-kasus terkait hukum yang ada di UII. Jika ditinjau dari laman pengaduan, terdapat beberapa jenis hal yang dapat dilaporkan, antara lain adalah Pemalsuan, Asusila, Pencurian, Penggelapan, Plagiat, Membocorkan Rahasia Lembaga untuk Kepentingan Pribadi, dan Penyalahgunaan Wewenang. Sayangnya, pemberitahuan mengenai wadah pelaporan kasus kekerasan seksual baru disosialisasikan ketika kasus IM terkuak.

Aturan Mengenai Tindak Pelecehan Seksual di Perguruan Tinggi

Saat ini perguruan tinggi di Indonesia dibawahi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setelah sebelumnya dibawahi oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti). Pada era Kemenristekdikti, tidak ada produk hukum yang mengatur pelecehan seksual di pendidikan tinggi, pun juga pada era Kemendikbud. Tidak adanya hukum yang mengatur kekerasan seksual akhirnya lengkap oleh absennya peraturan di tiap universitas, tak terkecuali UII.

Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) sudah mengeluarkan Penyampaian Keputusan Dirjen Pendis tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Keputusan ini ditujukan kepada Rektor Perguruan Tinggi Islam.

Namun setelah kami mengonfirmasi pada pihak rektorat, UII berada di bawah naungan Kemendikbud, yang mana Kemendikbud tidak mempunyai aturan yang mengatur tentang kasus ini. 

“UII tidak berada di bawah Kemenag, melainkan Kemendikbud, sehingga tidak otomatis menjadi konsen. Namun begitu, berdasarkan hasil koordinasi di tim kasus IM, sudah ada arahan pimpinan untuk melakukan review dan evaluasi pada peraturan internal yang ada, sehingga lebih menguatkan pada aspek ini,” kata Syarif.

Reporter kami juga mengkonfirmasi terkait aturan kekerasan seksual melalui Syarif, lalu diarahkan ke website beh.uii.ac.id. Kami mencoba mengakses website tersebut, tetapi kami mendapati kesulitan untuk mengakses peraturan ini sampai kami kemudian mendapatkannya melalui  DPM UII.

“Waduh saya tidak tahu persis, biasa bisa diakses oleh civitas pake wifi kampus, kalo dari luar kampus harus gunakan VPN UII,” tutur, Syarif, saat kami konfirmasi terkait kesulitan kami mengakses peraturan yang bersifat internal tersebut.

Salah satu universitas yang saat ini memiliki aturan khusus membahas kekerasan seksual adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Aturan tersebut disahkan pada 24 Januari 2020, dua tahun setelah kasus kekerasan seksual di UGM ramai diperbincangkan. Peraturan tersebut tidak hanya membahas tentang alur penanganan dan perlindungan kekerasan seksual, tetapi juga memastikan kampus menjalankan upaya preventif kekerasan seksual di kampusnya.

UII Terlambat Menangani Kasus Kekerasan Seksual

Setelah kasus kekerasan seksual di UGM pada 2018 silam terbuka, satu demi satu kasus pelecehan di kampus lain bergantian terbuka ke publik. berdasarkan data milik Tirto.id dalam “Kampus Jadi Lahan Subur Kasus-kasus Pelecehan Seksual”, disebutkan per Juli 2018, Tirto.id telah menerima 13 surel aduan mengenai pelecehan seksual di kampus. Sedangkan kasus pelecehan seksual di UII baru terbongkar pada 2020, dua tahun pasca isu kekerasan seksual di perguruan tinggi mulai terkuak ke permukaan.

Reporter kami sudah mencoba menghubungi Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Indonesia (PSGA UII) untuk mengkonfirmasi apakah sebelumnya pernah melakukan kajian dan usulan aturan terkait kekerasan seksual. Namun ketua PSGA UII, Trias Setiawati, tidak merespon banyak pertanyaan dari reporter kami.

Mengenai dibawa atau tidaknya perkara ini ke jalur hukum, hal itu kembali pada kesiapan dan kesediaan para penyintas. Sebab, ketika melapor, sebagaimana diungkapkan LBH, penyintas perlu untuk membuka kembali semua memori kelam itu. LBH juga menyebutkan sikap tersebut merupakan tindakan yang tidak mudah dilakukan.

Dalam rilisnya yang terakhir, UII telah menyatakan sikap #UIIBersamaPenyintas. Melalui LBH, para penyintas memberikan beberapa tuntutan. Tuntutan pertama ditujukan pada IM, para penyintas menuntut IM untuk mengakui perbuatannya kepada publik melalui media sosial. 

Tuntutan kedua ditujukan pada institusi, komunitas, organisasi, dan pihak lain agar tidak lagi mengundang IM sebagai pembicara, pengisi materi, dan segala bentuk glorifikasi lainnya. Terakhir, tuntutan yang ketiga, ditujukan kepada UII sebagai almamater dari mayoritas penyintas; UII harus membuat regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus agar tidak terjadi kejadian serupa.

Penulis : Ikrar Aruming Wilujeng

Reporter : Gilang B. Putra, Ikrar Aruming W., Citra Mediant, Marhamah Ika, Zakiyyah Ainun, Ahmad Sarjun, Mutia Shamila.

Editor : Armarizki Khoirunnisa D. & Iqbal Kamal

*Tulisan merupakan laporan kolaboratif LPM Himmah, LPM Ekonomika, LPM Kognisia, dan LPM Linier terkait dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia.

Ketika Pencuri Pulang dari Penjara

Berulangkali Anselmus menghembuskan napas sebelum mengklarifikasi perbuatan aibnya di hadapan seluruh mata warga. Wajah yang rapuh oleh kesalahan dikemasnya rapi dalam luas hati. 

La Lutta Continua, Abah

Saya tak pernah benar-benar mengenal Abah sebagai intelektual sepanjang hayat, meminjam sematan Hamid Basyaib. Saya mengenalnya hanya sebagai Ayah yang tenang berpikir, lugas berbicara. Bersahaja. 

Sesuai sifatnya yang melekat dalam kenangan saya, mungkin beliau berdoa kala memberi nama ke saya. Ranu. Artinya danau. Melambangkan keluasan dan ketenangan dalam berpikir. Harapannya saya mewarisi secuil sifat-sifat dalam dirinya.

Mengenang Abah dalam hati dan pikiran hanya memberikan sesak. Saya tak pernah ditinggal pergi ke alam Barzakh oleh seseorang yang saya cintai sebelumnya. Ternyata begini rasanya, galau seribu kali lipat. Terus membekas dalam kilas balik hari-hari terakhir Abah dalam angan, saya membayangkan betapa Abah kesepian di ruang isolasi RS Polri, dalam kondisi tidak sadar karena statusnya PDP (Pasien dalam pengawasan).

Saya yang setiap hari menjenguk kadang bersama kakak, ibu dan adik saya, agar bisa memantau dan menanyakan kondisi kesehatannya setiap hari. Bahkan tak mau luput pemahaman, saya selalu merekam penjelasan DPJP (Dokter penanggung jawab pasien), terkait kondisi terakhir, dan treatment apa yang diperlukan agar Abah cepat pulih. Ikhtiar keluarga sudah semaksimal mungkin.

Sampai beliau dikeluarkan dari ruang isolasi lalu dipindah ke ICU karena dari Rapid test dan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) atau biasa disebut SWAB test menunjukkan hasilnya negatif.

Di ruang ICU saya sempat nelangsa dalam hati, namun di satu sisi, saya jadi memiliki asa tinggi untuk kondisi kesehatan Abah. Untuk pertama kali saya melihat Abah berbicara seperti biasa, awalnya dia teriak dan marah kepada perawat, mungkin karena kesepian. Lalu saya masuk ke ruangan Abah (untuk pertama kali saya bisa bertemu Abah secara langsung) dan memegang tangannya, sambil saya berkata “Sabar ya, Bah. Kata dokter Abah udah boleh dikeluarkan dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap”.

Pemindahan dari ruang ICU ke ruang rawat inap membekas jelas, saya yang mendorong kasur beliau, dan melihat jelas wajahnya yang lemah namun sejatinya masih ada api semangat dalam diri. 

Namun takdir telah tergurat, beliau menghembus nafasnya di ruang rawat VIP Gedung Anton Soedjarwo (RS. Polri). Rahasia Allah menempatkan beliau di ruangan yang nyaman, dan memberi sisa daya hidup selama 2 hari (10-12 April) agar bisa berkumpul untuk terakhir kali dengan keluarga. Beliau wafat karena komplikasi sakit lemah jantung dan paru, akibat gula darah yang tinggi. Meninggalkan Ibu saya, 5 Anak: 3 perempuan, dan 2 lelaki, saya anak ke-3. Dan 4 Cucu. Insyaallah husnul khatimah.

Jauh Mengilas Balik. 

Beliau selalu mengagumi alam, memilih tinggal di Beji, Depok karena alasan demikian. Beliau selalu rindu dengan kesejukan udara, rindang, dan rimbun lingkungan penuh pepohonan. Maklum, masa kecil beliau tinggal di antara kaki gunung Sindoro dan Sumbing, Ngadirejo, Temanggung. 

Pindah dari rumah sebelumnya di Bogor, dan Kauman, Yogyakarta (tempat saya menumpang lahir), ke Depok sejak tahun 1997 sebelum krisis moneter. Saya selalu ingat di masa saya kecil kita, bersama kakak atau adik sering jalan-jalan bersepeda di sekitar lingkungan rumah atau ke Universitas Indonesia, yang kebetulan dekat. Sekedar foto-foto dan menghirup udara dari pepohonan yang lebat. Saya juga ingat, sampai ke masa saya dewasa, terakhir, kala saya dan Abah ke rumah nenek di Ngadirejo, saya dan beliau jalan-jalan melihat sunset di kaki Gunung Sumbing. Itulah kali terakhir saya berjalan-jalan santai bersama Abah menikmati kerindangan dan keindahan alam.

Beliau juga yang selalu mendukung saya menjelajahi gunung-gunung di Jawa, saya tak pernah luput mengabarkan saya sedang di gunung mana, sampai beliau menuliskannya di laman Facebook-nya tentang hobi saya.

Saya baru mengenal pemikiran dari tulisan beliau setelah saya memasuki fase kuliah, dimana saya membaca tulisan-tulisan beliau dari dokumen yang tersimpan rapi di tempat saya menimba ilmu dunia jurnalistik, di LPM Keadilan, FH UII. Selain disana, saya juga berdinamika di Rode 610. Beliau selalu berpesan pada saya, “Rakuslah membaca, karena hanya itulah yang meluaskan paradigma berpikirmu”.

Saya baru menyadari, sosok seperti Abah saya terbilang langka, intelektual muslim yang tekun dan konsisten menimba ilmu dari manapun kapanpun, menganggap semua orang itu guru, alam raya sekolah. Sifat egaliter yang tinggi dan rendah hati. 

Saya memilih jalan pedang yang berbeda jauh dengan beliau yang seorang penulis, intelektual muslim jauh dari partisan politik. Saya anaknya hanyalah anak panah, Abah saya bagai busur yang melesatkan jauh. Meminjam sajak Kahlil Gibran. Anakmu Bukanlah Milikmu. “Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.” 

Beginilah kehidupan, seperti di candradimuka. Suatu waktu saat keluarga kita kesulitan, beliau menasihati kita semua, ingatlah dan selalu yakin dengan berpegang teguh pada ayat Inna ma’al ‘usri yusran, Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan . (QS. 94:6). Yang sejatinya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.  

Kini, tak ada lagi yang duduk di meja kerjanya sambil menggema lagu karya John Williams soundtrack film Schindler’s List. Lagu yang menyayat hati, membuat saya menangis kala menyaksikan film tersebut, film tentang penderitaan orang-orang Yahudi Polandia yang dikirim ke Kamp konsentrasi Auschwitz oleh Nazi. Kini kesedihan saya, berlipat. Saya tersiksa rindu kepada Abah, mendengar lagu itu. 

Saya akan tetap menjadi anak kecilnya, persis seperti saat ini saya menangis ketika menulis ini dan saya yakin sekarang beliau mengusap pipi sambil berkata, “Kuatkan Mama, Alifa, Nina, Izat, Nurul, dan cucu-cucu, Abah”

La lutta continua, Abah.

Siaran Pers UII: Menyikapi Dugaan Pelecehan Seksual oleh IM

Pada 28 April 2020, kami, pimpinan Universitas Islam Indonesia (UII) membaca selebaran daring yang dibuat oleh Aliansi UII Bergerak terkait dengan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh IM, alumnus UII yang lulus pada 2016.

Kami langsung melakukan pelacakan informasi termasuk pengaduan atau laporan resmi yang masuk. Kami tidak menemukannya.

Meski demikian, kami mengganggap serius isu ini. Posisi UII sangat tegas, tidak memberi ruang kepada tindakan pelecehan atau kekerasan seksual. Kami membentuk tim untuk melakukan verifikasi terhadap tuduhan-tuduhan Aliansi UII Bergerak.

Pelacakan lanjutan menemukan ada dua psikolog UII yang dikontak oleh dua korban berbeda untuk mendapatkan pendampingan psikologis, pada sekitar Maret dan Juli 2018. Pada saat itu fokus pada pendampingan psikologis korban dan korban tidak meminta pendampingan hukum.

Pada pertengahan April 2020, seorang korban lain menghubungi Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII, melalui salah satu psikolog. Tim psikolog dan DPK UII sedang merencanakan forum untuk mendalami keterangan dari korban. Pendampingan psikologis kepada korban juga masih berjalan.

UII menyediakan bantuan pendampinan psikologis kepada korban lain, jika ada, melalui layanan konseling mahasiswa di DPK UII. Korban lain, jika ada, juga diharap melaporkan melalui formulir pengaduan daring di laman beh.uii.ac.id.

UII mendorong korban untuk membawa masalah ini ke ranah hukum, karena status IM sudah sebagai alumnus.

Pada 29 April 2020, UII sudah meminta LKBH Fakultas Hukum UII untuk memberi bantuan atau pendampingan hukum jika diperlukan korban.

 

Narahubung:

Ketua Tim Pendampingan Korban:

Syarif Nurhidayat

081328786863

Ngalap Barokah

0

Buah dari ilmu adalah akhlak yang mulia. Kalimat padat berisi ini yang menjadi landasan beberapa pondok pesantren untuk melahirkan generasi-generasi berbudi pekerti santun. Di mata masyarakat umum, tanda santri yang mendapatkan ilmu manfaat bisa dilihat dari tata kramanya terhadap sesama. 

Akhlak yang mulia merupakan kunci keberkahan di dalam hidup. Bahkan Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak-akhlak manusia.

Bagi para santri, faktor keberkahan yang paling ampuh adalah tata krama seorang santri kepada Pak Kyai. Cara para santri memuliakan Pak Kyai sering dianggap tidak masuk akal oleh sebagian masyarakat. Seperti ketika santri melihat Pak Kyai hendak melewati jalan di area Pondok, maka santri akan segera mengosongkan jalan yang hendak dilewati sebagai wujud memuliakannya. 

Contoh lainnya adalah ketika mencium tangan Pak Kyai, santri biasanya menciumnya bolak-balik. Bagi sebagian masyarakat, hal ini dinilai terlalu berlebihan sebab sama saja dengan menuhankan manusia. 

Tentu saja hakikatnya tidak seperti opini sebagian masyarakat, justru hal seperti itulah cara mendapatkan keberkahan dari orang yang dekat dengan Sang Pencipta. Para santri biasa menyebutnya dengan istilah Ngalap Barokah.

***

Dalam kitab Ta’limul Muta’allim dijelaskan bahwa ilmu manfaat dapat diperoleh dengan enam syarat. Satu di antaranya ialah harus dalam kurun waktu yang lama, bahkan dalam hadits disebutkan bahwa tuntutlah ilmu mulai dari ayunan ibu hingga ke liang kubur, atau dengan kata lain menuntut ilmu itu hingga hembusan nafas terakhir. 

Di Pondok Pesantren Raudhatul Muta’allimin yang terletak di Desa Kedung Cangkring, Jabon, Sidoarjo terdapat satu santri yang telah belajar di Pondok selama 18 tahun sekaligus menjadi Ustadz tertua di sana. Santri tersebut biasa dipanggil Ust. Reden. Ia dikenal sebagai sosok yang pendiam, bersuara halus, dan menguasai tiga pelajaran pokok pondok pesantren, yakni Tauhid, Fiqih, dan Nahwu Shorof

Sangat jarang seorang santri yang mampu menguasai tiga bidang ilmu tersebut, karena tiga bidang ilmu tersebut memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang-bidang ilmu lain. 

Saat mengajar, Ust. Reden selalu berkata bahwa ia bisa menguasai tiga bidang ilmu sekaligus bukan karena memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi semua itu karena berkah dari Pak Kyai. Suatu siang saat Ust. Reden mengajar Nahwu Shorof, ia menceritakan tentang cara-cara santri Ngalap Barokah kepada Pak Kyai.

Ia menjelaskan bahwa kata “berkah” diambil dari bahasa Arab “barokatun”. Menurut Imam Nawawi, berkah adalah kebaikan yang berlimpah dan abadi. Sedangkan dalam kitab Riyadhus Sholihin berkah berarti bertambahnya kebaikan. Jika ilmu seseorang itu berkah, maka akan menarik kebaikan-kebaikan yang lain.

“Akan aku ceritakan kepada kalian semua tentang tiga santri yang mendapatkankan keberkahan dari Pak Kyai dengan caranya sendiri-sendiri. Tiga santri tersebut bernama Arya, Rikan, dan Firdaus,” kata Ust. Reden. 

***

Tidak semua santri di pondok pesantren mampu menyerap ilmu yang diajarkan oleh guru dengan cepat. Ada yang dijelaskan cukup satu kali sudah memahami secara keseluruhan, namun ada juga yang dijelaskan berkali-kali pun malah mandi di kali hingga para santri menyebutnya Jahl Murokkab.

Itulah pondok pesantren, sebuah miniatur realita kehidupan di masyarakat. Salah satu santri yang mendapat gelar Jahl Murokkab adalah Arya. Meskipun begitu, Arya tak patah semangat sebab ia yakin bodoh atau pintar merupakan takdir yang bisa diubah jika ada niat yang sungguh-sungguh. Yang paling penting Arya yakin, ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar pintar, yakni berkah. 

Suatu pagi di ambang fajar, Pak Kyai sedang mengajar ilmu Faroidh. Ilmu Faroidh adalah ilmu yang membahas tentang tata cara membagi harta warisan sesuai dengan syariat Agama Islam. Pak Kyai menjelaskan bahwa setiap anggota keluarga memiliki bagian harta waris yang berbeda-beda, namun ilmu ini sudah jarang diterapkan oleh masyarakat umum. 

Sebagian masyarakat memilih membaginya secara rata agar tidak terlalu rumit. Setelah menjelaskan dengan tuntas, Pak Kyai ingin menguji tingkat kepahaman santrinya. Satu per satu diberi pertanyaan hingga tiba giliran Arya.

“Arya, apa yang dimaksud dengan Akhun Syaqiq?” tanya Pak Kyai. Arya hanya diam tertunduk tak menjawab. Bukan karena Arya tak bisa menjawab, tetapi Arya tidak tahu harus menjawab apa. Padahal Arya sudah berusaha mendengarkan dengan serius, berusaha tak melewatkan setiap kalimat yang disampaikan Pak Kyai meskipun satu kata saja. Namun tetap saja Arya tak mengerti. 

“Arya, dengarkan! Maksud dari Akhun Syaqiq  adalah saudara laki-laki sekandung,” kata Pak Kyai menjelaskan kepada Arya yang diulang sebanyak tiga kali dengan harapan memudahkan pemahaman Arya. 

“Arya, istilah apa yang digunakan dalam ilmu Faroidh untuk menyebut saudara laki-laki sekandung?” tanya Pak Kyai sekali lagi. Tentu saja masih dengan jawaban yang sama, jawaban yang tak berjawab. 

Arya bingung, mengapa pertanyaan yang diajukan Pak Kyai berbeda dengan yang pertama tadi? Andai saja Arya tahu bahwa sejatinya pertanyaannya sama. Pertanyaan yang hanya dibalik subjeknya, tetapi semua itu hanya tinggal andai saja. Sampai pada akhirnya Pak Kyai memanggil Arya untuk maju.

“Arya, majulah!” panggil Pak Kyai. Arya maju dengan tubuh gemetar.

“Buka mulutmu!” Perintah Pak Kyai diiringi terbukanya mulut Arya.

“Kurang lebar!” kata Pak Kyai. Arya langsung membuka mulutnya lebar-lebar.

“Hadapkan ke langit!” perintah Pak Kyai. Selang beberapa detik, Pak Kyai sudah mengambil ancang-ancang. Kejadian selanjutnya adalah suara “Huuueeekkkk Juuuhh” dari lisan Pak Kyai. Pak Kyai meludahi mulut Arya.

“Telan Ar!” kata Pak Kyai.

Ajaibnya, keesokan harinya Arya sudah hafal Furudhul Muqoddaroh.

***

Kisah kedua adalah tentang santri yang bernama Rikan. Seorang santri yang boleh disebut “nakal” dan juga boleh disebut “malas”. Ia disebut “nakal” karena sering melanggar peraturan pondok pesantren dan “malas” karena sering terlambat ketika mengaji.

Allah selalu saja mempunyai rahasia di balik rahasia. Meskipun bergelar “nakal” dan “malas”, Rikan sangat tawadhu’ terhadap Pak Kyai. Bagi Rikan, Pak Kyai adalah sebuah keharusan yang harus disegerakan. Satu kebiasaan favorit Rikan adalah mengharapkan sisa makanan atau minuman Pak Kyai yang tidak habis. 

Rikan rela berdebat sengit dengan Agus untuk memperebutkan nasi pecel sisa Pak Kyai yang tidak habis. Kebetulan saat itu Agus sedang lapar dan kondisi dompet yang sedang krisis moneter, sebab Agus belum mendapatkan kiriman uang saku dari orang tuanya.

“Gus, nasi pecel ini disediakan Pak Kyai untukku,” kata Rikan.

“Enak saja, kau sudah lihat bukan? Nasi ini sudah berada di tanganku, secara otomatis nasi ini adalah milikku,” bantah Agus.

“Aaahhh. Pokoknya tidak bisa. Sisa makanan Pak Kyai denganku itu sudah ibarat kucing dengan ikan tongkol, tak bisa terpisahkan,” kata Rikan.

“Aaahhh juga. Tidak bisa juga. Titik. Ini sudah aku stempel yang bertuliskan ‘milik Agus’,” kata Agus.

“Yasudah, begini saja nasi itu aku beli seharga makanan paling mahal di Mak Saroh,” kata Rikan mencoba memberikan penawaran.

“Nah gitu dong. Setuju dan deal,” ucap Agus sambil nyengir.

Sebelum pergi ke Warung Mak Saroh, Agus sempat bertanya kepada Rikan, “Kan, mengapa kau rela menukar nasi sisa Pak Kyai dengan harga yang jauh lebih mahal?”

“Sebab nasi sisa Pak Kyai itu berkah Gus, bahkan seluruh isi dunia pun tak kan mampu menandingi nasi pecel sisa Pak Kyai ini,” jawab Rikan.

***

Santri itu bernama Firdaus, nama sebuah surga terbaik di antara surga-surga yang lain. Firdaus terkenal sebagai santri yang lemah lembut. Gegara terlalu lembut, sulit dibedakan antara Firdaus yang marah dan tidak. 

Dari segi pelajaran, Firdaus tergolong papan tengah. Tidak bersaing di papan atas dan tidak bersusah payah berjuang keluar dari zona degradasi. Setiap Firdaus ditanyai perihal tujuannya menuntut ilmu di pondok pesantren ini, ia hanya menjawab ingin mendapatkan berkah. 

Alasannya terbukti dengan ketekunannya menyiapkan sandal Pak Kyai saat datang mengajar agar saat selesai mengajar Pak Kyai tidak kesulitan memakai sandalnya. Hal ini sudah menjadi rutinitas wajib bagi Firdaus, hingga ia dijuluki sebagai “Santri Sandal”.

Di penghujung senja saat hendak berangkat makan, Firdaus mendengar kabar bahwa Pak Kyai hendak berangkat memimpin shalat jenazah di rumah tetangga sebelah Pondok. Seketika itu juga Firdaus mengurungkan niatnya untuk berangkat makan. Ia ingin menyusul Pak Kyai dan mengamankan sandalnya agar tidak tertukar dengan sandal-sandal yang lain.

Setelah selesai memimpin shalat jenazah, Pak Kyai sempat kebingungan mencari sandalnya hingga Firdaus datang membawa dan menyiapkan sandalnya.

“Daus, kamu tidak makan?” tanya Pak Kyai.

“Sudah kenyang Pak Kyai,” jawab Firdaus.

“Mengapa kamu menyimpan sandal saya Daus?” tanya Pak Kyai.

“Takut sandal Pak Kyai tertukar dengan berpuluh-puluh sandal di sini,” jawab Firdaus.

Insya Allah namamu sesuai tempatmu kelak. Aamiin,” kata Pak Kyai.

***

Para santri masih terdiam menanti kelanjutan tiga santri istimewa yang telah diceritakan Ust. Reden.

“Apa kalian menunggu kelanjutan kisah Arya, Rikan, dan Firdaus? Kalian tak perlu bingung dengan hasil dari Ngalap Barokah tiga santri tersebut, sebab terkadang hal yang terbaik adalah tidak tahu. Agar kalian belajar ikhlas, karena ‘merasa tahu’ bisa saja mengurangi keikhlasan kalian atau bahkan hilang tak berbekas,” kata Ust. Reden.