Beranda blog Halaman 44

Belajar Dari Mas AE

0

Mula-mula muncul pemberitahuan di Whatsapp Grup (WAG) yang tanpa pikir saya buka dan membaca isi grup tersebut. Saya terkejut membaca pemberitahuan dari kawan saya bahwa Mas AE meninggal dunia pada Minggu, 12 April siang di Rumah Sakit Polri, Jakarta. Indonesia kehilangan tokoh yang dikagumi oleh banyak orang. Kontribusi besar bagi Indonesia melalui karya-karya-nya yang sampai sekarang sangat perlu dibaca oleh generasi saat ini.

Saya tidak pernah bertemu dan mengetahui bagaimana pengalaman-pengalaman Mas AE secara langsung. Saya mengintip biografi dan perjalanan hidupnya oleh orang-orang yang sangat dekat dengan beliau. Kebetulan saya dekat dengan alumni mahasiswa UII, Fahim Fahmi, Atha Mahmud dan beberapa lainnya, kebetulan bergelut sebagai aktivis di Rumah Gerakan Rode 610 angkatan 80 dan 98-an kalau tidak salah. Saya sering mendengarkan cerita mereka tentang AE Priyono sewaktu menjadi mahasiswa FH UII. Ditambah saya membaca beberapa karyanya yang memukau dan membuka ruang berpikir lebih terbuka. 

Tulisan orang-orang yang dekat dengan beliau, seperti Hamid Basyaib, Mahfud MD, dan lainnya. Saya membaca dan sekaligus mengenang bagaimana perjalanan panjang tokoh pergerakan Indonesia ini. Terutama sekali, saya heran dan kagum ketika melihat banyak sekawanan beliau, pada masa itu, banyak terjun ke panggung politik, beliau lebih memilih untuk bekerja, menekuni dan mengembangkan karya-karya-nya yang besar itu. 

Satu hal yang sangat berkesan tentang Mas AE bagi saya; sebegai generasi milenial, yang juga aktif dalam pergerakan mahasiswa di Rumah Gerakan Rode 610, adalah prinsip hidupnya yang tak pernah lelah dalam berjuang, konsisten, berprinsip dan berani melawan rezim yang represif orde baru. 

Kalo boleh saya sebutkan, buku ‘Api Putih di Kampus Hijau, Gerakan Mahasiswa UII Dekade 1980-an’ yang disunting oleh Mas AE Priyono, semasa saya kuliah semester I FH UII, saya dibuat penasaran dan membacanya. Bagaimana pemberedelan pers mahasiswa oleh rezim orde baru sangat masif dan represif. Mas AE sebagai pemimpin redaksi Himmah UII waktu itu, bisa dibayangkan bagaimana ketekunan, kejelian, dan keberanian menantang rezim diktator Soeharto. Sikap salah satu tokoh memperjelas kiprahnya membangun tatanan baru dikemudian hari. Kita merasakan saat ini.

Saya menyangka perjuangan mas AE terdorong oleh keberpihakan dan sikap pribadi melawan rezim orde baru. Di dalam kepribadiannya, kata Hamid Basyaib, Mas AE Priyono memegang teguh sistem meristokrasi kepada kawan-kawannya dalam satu kelompok. Beliau tidak pernah merasa sebagai senior dan paling berilmu daripada lainnya. Sikap rendah hati dan mempercayakan kepemimpinan kepada orang lain yang dianggap mumpuni adalah patut ditiru oleh generasi sekarang. Sikap tidak menyepelekan kemampuan seseorang, melainkan memberikan kepercayaan besar kepada orang untuk lebih belajar, teliti, objektif dan memberikan pengalaman hebat kepada yang lain bahwa lingkungan yang egaliter dan harmoni itu sangat penting. 

Sabar dan tekun membaca buku membuat AE Priyono tidak berpretensi seakan ia-lah yang memiliki legal standing dalam hal intelektualitas. Ilmu dan pengetahuan-lah yang memang membentuk sikap Mas AE seperti itu. Tidak merendahkan siapapun. Melainkan, menunjukkan sikap peduli dan bekerja sama untuk belajar.

Pengalaman seorang tokoh ini sangat penting bagi kehidupan generasi awal abad 20, apalagi yang berada di lingkungan organisasi pergerakan. Lingkungan yang egaliter dan sikap merisktokrasi kepada kawan-kawan se-penerusnya. Menjadi bagian paling penting dalam mengelola solidaritas perjuangan namun tetap pada garis yang dituliskan dalam buku perjuangan organisasi tersebut.

Sampai kapanpun orang-orang akan mengenang perjalanan panjang tokoh yang dihormati ini. Karya-karya-nya menambah cakrawala ilmu pengetahuan. Apa yang dikerjakan selama ini menjadi saksi sumbangsih besar bagi Indonesia. Tak menyangka harus secepat ini beliau meninggalkan kita semua.

Selamat jalan, Mas AE.

Selamat Jalan, Mas AE

0

Begitu mendengar kumandang azan Zuhur, Minggu siang, 12 April 2020, saya terbangun dari tidur. Seperti biasa, saya membuka handphone untuk melihat pesan-pesan WhatsApp. Ternyata ada pesan dari kawan mantan anggota DPR Erwin Muslimin dengan isi yang mengejutkan, ”Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia teman, sahabat kita AE Priyono hari ini, Minggu 12 April 2020…”

Saya menerawang. Dua hari yang lalu saya bermimpi membuka album keeper, album plastik penyimpan kartu-kartu kecil seperti KTP dan kartu nama.

Saya tak membaca firasat apa pun dari mimpi itu. Tapi, setelah mendengar berita meninggalnya A.E. Priyono, saya jadi ingat bahwa di album kecil itu saya menyimpan beberapa kartu identitas lama seperti KTP lama, kartu PNS, kartu ATM lama, dan lain-lain.

Di album kecil itu juga ada satu kartu pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum UII Jogjakarta yang ditandatangani oleh A.E. Priyono. Ya, pada 1980‒1981 itu A.E. Priyono adalah ketua Komisariat HMI Fakultas Hukum UII dan saya adalah salah seorang anggota pengurus. Kami bersahabat sebagai aktivis. Sering begadang sampai pagi sambil menikmati balok (singkong goreng), tempe, dan bajigur khas nyamikan malam untuk para aktivis di Jogja.

Saya mengagumi AE (panggilan akrab A.E. Priyono) yang tampak cerdas sejak tahun-tahun awal kami menjadi mahasiswa. Bayangkan, pada 1978‒1979, ketika masih mahasiswa tingkat I pada Fakultas Hukum UII, dia sudah menulis di majalah Pustaka yang diterbitkan oleh ITB. Tulisannya berjudul ”Nasionalisme Sehari-hari”. Dialah yang mendorong saya menjadi penulis. ”Kalau AE yang orang Temanggung bisa, saya yang orang Madura harus juga bisa.” Demikian saat itu saya membatin untuk berkompetisi dengan A.E. Priyono. Saat itu kami sama-sama berusia sekitar 21 tahun. Ya, sekitar 40 tahun yang lalu.

Di saat-saat mahasiswa itu A.E. Priyono selalu mengajak berdiskusi tentang isi buku-buku keislaman yang terkait dengan filsafat, politik, dan sosiologi yang penting seperti karya-karya Muhammad Iqbal, Ali Shariati, Abul A’la al-Maududi, dan sebagainya. Setiap ada buku baru, AE langsung membeli dan mengajak mendiskusikan. AE pernah berdiskusi agak panas dengan saya ketika membedah buku Al-Ikhwan Al-Muslimun. Ketika masih mahasiswa junior, AE selalu membawa majalah Prisma dan majalah Tempo terbaru, dua majalah yang dianggap menjadi bacaan kaum intelektual dan warga kampus yang maju saat itu.

Dengan basis HMI sebagai organisasi ekstra-universiter kami memilih aktif di jalur lembaga kemahasiswaan yang sama, yakni dunia pers atau dunia tulis-menulis. Pada 1981‒1982 saya menjadi pemimpin umum majalah tingkat universitas Muhibbah dan AE menjadi pemimpin redaksinya. Di tingkat fakultas hukum AE menjadi pemimpin umum majalah Keadilan, sedangkan saya menjadi pemimpin redaksinya.

Selain banyak teman seangkatan dari berbagai fakultas di UII, saya dan AE mempunyai kader-kader (tepatnya kawan main) yang adalah adik-adik kelas dari Fakultas Hukum UII yang kami ajak aktif di dunia tulis-menulis seperti Hamid Basyaib, Fadhil Munawar, dan lain-lain yang kemudian termasuk menjadi penulis-penulis bagus dan terkenal. Hamid Basyaib menjadi penulis andal yang kemudian menjadi Komut PT Balai Pustaka. Fadhil Munawar sekarang menjadi guru besar di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat saya menikah di Semboro (Jember), 1982, AE dan kawan-kawan aktivis kampus hadir. Pun saat AE menikah dengan seorang putri Jogja, 1983, saya hadir di Temanggung. Sampai kami berpisah karena sama-sama lulus dari Fakultas Hukum UII (1983), saya masih mengagumi AE karena kegilaannya pada buku-buku berat. Terutama terkait dengan demokrasi dan Islam modern. Ketika lulus dari Fakultas Hukum UII, saya memilih menjadi dosen di almamater, sedangkan AE pergi ke Jakarta.

Di Jakarta AE mengembangkan bakatnya dalam menulis dan meneliti. Dia aktif di berbagai civil society organizations (CSO), termasuk di LP3ES yang bergengsi itu. Dia juga melanjutkan studi tingkat doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Sekitar seminggu yang lalu saya mendengar kabar, melalui tulisan Saifuddin Simon, bahwa AE dirawat di rumah sakit dan Minggu kemarin siang saya mendapat kabar duka bahwa Mas AE meninggal dunia.

Kita ada karena Allah, kita kembali kepada Allah sesuai dengan waktu dan cara yang juga ditentukan oleh Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan, Mas AE.

*Tulisan pernah tayang sebelumnya di jawapos.com dan sudah seizin Redaksi Jawa Pos serta penulis Mahfud MD untuk diunggah kembali di laman himmahonline.id.

Keterlambatan Proteksi Tim Penghijauan Selama Maret 2020

Himmah Online, Yogyakarta– Tim Penghijauan Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) Universitas Islam Indonesia (UII), Arkodin, merasa khawatir terkait keamanan kerja yang kurang memadai saat wabah virus COVID-19. Pernyataan itu diberikan kepada Reporter Himmah Online pada Kamis, 26 Maret 2020.

“Tidak ada pembekalan khusus, masker tidak ada, paling murah aja lah masker gak ada, buat cuci tangan satu botol-botol gitu (red- hand sanitizer) juga tidak ada,” lanjut Arkodin yang sehari-hari bekerja merawat Lapangan Bola UII. 

Arkodin menambahkan pihak Badan Wakaf UII yang menaungi PFK belum memberikan pembekalan khusus bagi Tim Penghijauan PFK UII selama Maret seperti Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019, yakni seharusnya menggunakan masker, disediakannya hand sanitizer serta pengecekan suhu kepada pekerja.

Proteksi tersebut baru diberikan kepada para pekerja diketahui mulai 15 April 2020 yaitu berupa masker bagi para pekerja.

Menjawab keluhan para pekerja terkait dengan fasilitas kesehatan selama Maret 2020, Danang selaku Staf Divisi Lingkungan PFK Yayasan Badan Wakaf UII, yang membawahi tim penghijauan memaparkan barang seperti masker dan sebagainya itu langka di pasaran.

“Dalam masalah perlengkapan keamanan kerja, dari pihak Badan Wakaf UII sudah dicarikan. Tetapi, barang tersebut langka di pasaran. Sehingga, personil bisa membeli sendiri dan nanti biaya bisa di rembers (mengganti uang -red) ke kantor,” jawabnya.

Terkait jam kerja, selama beredarnya isu COVID-19, Arkodin mengatakan kegiatan kerja masih berjalan normal dari jam enam pagi hingga pukul tiga sore sampai kemudian diliburkan sementara di hari Senin, 23 Maret 2020.

“Mulai dari hari Selasa, 24 Maret 2020 di instruksikan untuk libur total, belum ada jadwal lebih lanjut,” terangnya. 

Arkodin menjelaskan instruksi masuk kerja lagi kembali dari pihak Badan Wakaf UII yaitu tanggal 7 dan 14 April 2020. 

Setelah masuk kerja kembali, Danang, menyebutkan prosedural dan operasional kerja dari para pekerja kebersihan akan dilaksanakan 1-2 kali seminggu, tergantung kondisi lapangan. 

Jadwal kerja tersebut juga sesuai dengan yang disepakati pada rapat dan disetujui oleh Faishal, selaku Pimpinan PFK, hal tersebut guna menghindari risiko penyebaran virus COVID-19.

Danang juga menambahkan bahwa hal tersebut telah disampaikan lama ketika rapat, tetapi Danang tidak menyebutkan tanggal pasti dilaksanakannya rapat tersebut ketika dikonfirmasi.

“Itu sudah disampaikan lama saat rapat,” tutupnya.

Penulis: Zumrotul Ina Ulfiati

Reporter: Zumrotul Ina Ulfiati, Acmad Dhiyaul Haq

Editor: Hersa Ajeng Priska

Hermeneutika Perempuan

Suatu sore ketika hendak membeli novel di toko buku, saya dikagetkan dengan kehadiran seorang perempuan muda (Sales Promotion Girl) yang mengenakan pakaian serba mini hingga memperlihatkan bagian lekuk tubuhnya sambil menawarkan produk rokok. Bagai tersihir berduyun-duyunlah para lelaki mendekati. Namun, para lelaki sepertinya tidak tertarik dengan promosi harga rokok, melainkan hanya terpukau oleh kemolekan tubuh perempuan muda itu.

Pemandangan serupa juga setiap hari kita saksikan; produk ‘iklan kecantikan’ di televisi selalu ‘mengemas’ model perempuan dengan mengeksploitasi ‘ketubuhannya’ untuk ‘kontes bisnis’. Akibatnya, mitos standar kecantikan ialah putih, langsing, dan tinggi telah menjadi kebenaran absolut di masyarakat. Jika meminjam teori JF. Lyotard dalam bukunya ‘Libidinal Economy‘ hal itu tidak lepas dari ‘logika hasrat’ (the logic of desire); lalu lintas ekonomi disertai lalu lintas hasrat (hasrat konsumen dirangsang lewat sensualitas komoditas).

Sudah menjadi rahasia umum dalam kebudayaan kita yang androsentrisme, bahwa tubuh perempuan selalu dijadikan ‘medan magnet’ dalam hal apapun; bisnis, korporasi, politik, hukum, pendidikan, dan teologi. Meminjam istilah Supartiningsih (2004), libidonomics; sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan, dan kegairahan dalam masyarakat. Libidonomics itulah yang disindir oleh Gadis Arivia, “Andaikata tubuh perempuan dapat dijadikan saham, maka saya anjurkan bermain saham agar cepat menjadi kaya sebab tubuh perempuan di seluruh dunia selalu laku untuk dijual,” (Jurnal Perempuan: 2011).

Di sisi lain, sepertinya lembaga publik juga ikut menikmati ‘perayaan tubuh’ perempuan. Bukti perayaan itu ialah masih terjadinya aturan diskriminasi terhadap perempuan. Perda-Perda misoginis bagai musim hujan: menjamur. RUU Ketahanan Keluarga tak luput dari sorotan; peran perempuan semakin dilembagakan di wilayah domestik. Sebaliknya, kekerasan terhadap perempuan justru banyak terjadi di ruang privat. Kampus juga ikut latahnya; mengatur mahasiswi berpakaian. Jika ruang akademis saja tidak mampu mengucapkan tata bahasa feminisme, apa yang diharapkan dari institusi-institusi hari ini. Ini bukan persoalan ketidakmampuan untuk mengolah kata, tapi lebih pada ketidaktahuan kita mengucapkan ketidakadilan yang melekat pada pengalaman perempuan.

Perempuan: Tubuh yang Tak Merdeka

Dalam peristiwa lain belum lama ini ada seorang suami yang tega menjual tubuh istrinya kepada teman-temannya. Dari peristiwa itu, kita tak dapat menyimpulkan ada persoalan serius di tengah masyarakat yang selalu menganggap perempuan sebagai objek-pasif. Ada ‘dorongan kebudayaan’ yang memaksa kita untuk melihat perempuan sebagai tubuh yang bertuan.

Tentu bukan perempuan itu sendiri yang dimaksud sebagai tuannya. Jika ia seorang istri, maka suaminya lah tuannya (pemilik ketubuhannya). Jika masih lajang tentu orangtuanya yang mempunyai kuasa untuk merestui anaknya dimiliki oleh tuannya (suaminya). Padahal, dalam etika feminisme kita mengenal ethics of care; harapan untuk memelihara kesetaraan. Tapi sepertinya konsep kesetaraan hanya berlaku di antara laki-laki: ethics of right.

Di sisi lain, kebudayaan patriarkis menjadi sponsor utama terjadinya diskriminasi atas tubuh perempuan. Senada dengan argumentasi Foucault yang mengatakan, “Bahwa kekuasaan tidak netral dari gender.Terma biopolitik menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan,” (Sejarah Seksualitas: 1997). Dengan demikian, baik di ruang privat maupun publik ada kekuasaan yang mengendalikan tubuh perempuan. Pendek kata, perempuan dilahirkan dalam keadaan tidak merdeka atas kepemilikan tubuhnya. Stigma itu masih berlangsung dalam kehidupan perempuan hari-hari ini.

Persoalan itu memberi pesan dan kesan, bahwa tubuh perempuan terikat di ruang privat dan terperangkap di ruang publik. Keduanya bersekutu sebagai ‘penebar moral’ atas tubuh perempuan untuk memberi label mana yang baik dan buruk. Akhirnya kita dibuat mengerti ada kekuasaan yang menentukan status sosial makhluk bernama perempuan. Ketidakadilan itu membuat perempuan hanya memiliki satu bahasa tubuh: mengangguk.

Bahasa juga tidak lepas dari kendali ‘watak patriarkis’. Lewat bahasa budaya patriarkis meringkus tubuh perempuan. Misalnya, perempuan ‘terjebak’ dalam pengendalian narasi atas nama ‘kesucian’, ‘mahkota’, dan ‘kehormatan’ sebagai suatu penghargaan atas tubuhnya. Pertanyaan jika perempuan telah kehilangan ‘kesuciannya’ apakah perempuan tidak lagi berharga?

Jelas ini penghinaan terhadap perempuan. Seakan-akan ‘gairah’ (desire) hanya dimiliki oleh lelaki. Perempuan harus submisif dalam seks. Bahwa kenikmatan (pleasure) hanya dalam kendali biologis lelaki: logos spermatikos. Jadi, perempuan yang terkungkung di sarang patriarkis hermeneutikanya menjadi pendek: menyoal ketubuhan perempuan. Padahal, kita mengenang Kartini karena ‘keindahan pikirannya’ bukan tentang pakaiannya.

Persoalan semacam itu sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer melukiskan kuasa tubuh perempuan lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Coba kita tengok sisi lain kehidupan seorang ‘Nyai’ (gundik) yang luput dari mata publik. Seorang ‘Nyai’ hanya dijadikan ‘penghangat ranjang’ oleh para konglomerat laki-laki Belanda. Saat ‘Nyai’ melahirkan anak, maka akan diserahkan anaknya untuk dibawa pulang ke Belanda. Karena anak keturunan Belanda harus mendapatkan pendidikan ala Belanda.

Di situlah bekerja politik hukum yang dikotomis, hierarkis, dan hegemonis. Tentu ini bukan semata-mata persoalan kepentingan nasionalisme. Akan tetapi, di balik itu ada kepentingan patriarkis. Bahwa subjek hukum ditentukan berdasarkan status gender bukan kesetaraan gender. Apakah subjek hukum berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Seorang ‘Nyai’ tidak lebih dari sekadar ‘babu’ (pelayan kelamin), bukan semata-mata karena ia pribumi, melainkan ‘gundik’ (perempuan). 

Kendati zaman telah berubah, namun sampai hari ini penjajahan atas tubuh perempuan masih berlangsung. Dengan berbagai dalil diucapkan untuk menyelundupkan kepentingan ‘watak patriarkis’. Sejatinya pada tubuh perempuanlah melekat simbol perlawanan: equality gender. Di ruang privat kita mengenal Inggit Ganarsih, di ruang publik kita mengenang Marsinah. Begitulah sejarah mencatat dan peristiwa akan diingat.

Hanya dengan terus-menerus menggugat ketidakadilan yang menimpa perempuan kita menulis ulang hukum dan peradaban untuk menghasilkan legal theory feminist. Dengan cara itu kita merayakan separuh umat manusia untuk memperoleh kemerdekaan tubuhnya. Hanya dengan cara itu pula kita memperjuangkan perempuan untuk bebas. Bukan mengendalikan perempuan dengan bebas.

*Tulisan pernah tayang sebelumnya di malangvoice.com

Jalan Khidmad Mas AE

0

Anang Eko Priyono atau saya biasa sebut Mas AE menghembuskan nafas terakhir pada Minggu 12 April siang di Rumah Sakit Polri, Jakarta. Indonesia kehilangan seorang tokoh intelektual gerakan masyarakat sipil yang otentik, konsisten dan prinsipil.

Saya tahu Mas AE pertama kali saat saya menginjak masuk organisasi Pers Mahasiswa HIMMAH di tahun 2000-an. Saat itu saya masuk kepengurusan organisasi sebagai staf redaksi. Saya tidak kenal Mas AE secara langsung, namun senior – senior kami yang menyambungkan masa kepengurusan kami saat itu dengan generasi kepengurusan Mas AE, sekira 20 tahun sebelumnya.

Dokumentasi Majalah HIMMAH dan sebelumnya, yang bernama Muhibbah, sebagian masih tersimpan di kantor kami, yang dulu terletak di tepi jalan Cik Di Tiro, sebelum dibongkar menjadi area pelataran parkir Bank Mandiri Syariah. Melalui manuskrip-manuskrip tersebut terbayang betapa dahsyatnya kepengurusan majalah mahasiswa UII pada masa itu.

Sejarah memang mencatat bahwa ada yang janggal pada transisi pergantian Majalah Muhibbah menjadi HIMMAH, periode tahun 1982-1983. Sebagaimana disebut oleh Hamid Basyaib dalam obituarinya mengenang meninggalnya Mas AE, Majalah Muhibbah dibredel oleh rezim Orde Baru pada 9 Desember 1982, sehari sebelum dunia Internasional merayakan Hari HAM sedunia.

Pada struktur Majalah Muhibbah saat dibredel, Mas AE adalah Pemimpin Redaksi, sedang Pemimpin Umum dijabat oleh Moh. Mahfud MD. Sejumlah aktivis saat itu dan belakangan menjadi deretan intelektual top masuk dalam jajaran kepengurusan, seperti Hamid Basyaib dan Priyambudhi, jika tidak salah.

Apa dasar gerangan pembredelan oleh Pemerintah saat itu? Saya tak tahu persis. Menurut senior kami, langkah pembredelan bersumber pada dimuatnya sebuah artikel rubrik internasional yang mengulas tentang kesamaan sistem politik Indonesia–tentu di bawah Orde Baru–dengan pemerintahan junta militer di Myanmar. Sama-sama negara otoritarian dipimpin militer, mengontrol penuh kebebasan warganya dan tak kenal oposisi.  

Benar – tidaknya kabar itu, bagi generasi kami tidak tahu secara pasti. Jarang sekali ada yang mengulas bagian sejarah ini, termasuk sebuah memoar bernada marah oleh Iman Masfardi di buku Api Putih di Kampus Hijau, yang disunting Mas AE, terbit sekira tahun 2013. Iman Masfardi selaku penulisnya sendiri tidak mengupas kasus itu secara lugas. Namun dengan nada eufemistik dia menggugat keabsahan kepengurusan HIMMAH yang dia anggap sebagai bagian dari deal-deal pragmatis antara sebagian pengurus Majalah dengan pimpinan kampus atas represi dari aparat.

Pragmatisnya adalah alih-alih memperjuangkan kembali surat izin penerbitan yang dianggap seperti nyawa pers, termasuk pers mahasiswa, oleh Pemerintah saat itu, pengurus baru merestui permintaan untuk mengeluarkan sejumlah nama dari struktur kepengurusan Majalah Muhibbah. Tentu alasannya adalah mengancam kepentingan Pemerintah. Nama Mas AE masuk dalam daftar terlarang yang masuk dalam struktur HIMMAH terbaru yang di luar sepengetahuannya sebagai bagian dari barter dari deal-deal tersebut. Demikian cerita yang pernah saya dengar dari almarhum. Benar-tidaknya hal ini perlu klarifikasi banyak pihak tentu saja.

Yang saya tekankan di sini adalah bagaimana sifat non komprominya Mas AE terhadap kekuasaan. Pilihan ini dia pilih hingga akhir hayat, sebagaimana juga tersirat dalam memori Denny JA mengenang almarhum. Dalam beberapa tahun terakhir dia aktif mendalami sufisme ketimbang ikut keriuhan politik nasional, meski dia punya kesempatan besar sebagai bagian dari pendukung Jokowi Jilid 1, mungkin juga Jilid 2. Namun dia tetap setia di trek independen, jalur masyarakat sipil dengan memprovokasi gagasan dari luar kekuasaan.

Secara rendah hati sikap non komprominya itu yang sering saya perhatikan dalam percakapan di antara kami. Saya membayangkan dia lebih senang menyelesaikan tulisan dengan menginap di kantor berhari-hari, dibanding menghabiskan waktu rapat-rapat pimpinan manajemen perusahaan atau perkantoran, misal. 

Cara khidmad yang ditempuh Mas AE memang demikian. Dan saya kira Muhibbah saat itu menjadi saksi konsistensi sikapnya di masa lalu. Lewat jalan itu dia tumbuh dan berkembang, mengembara mengarungi cakrawala pemikiran luas. 

Selamat jalan Mas AE.

Epitaf Sendu untuk AE Priyono

0

Di kelas 2 SMA saya membaca dua tulisan AE Priyono di majalah Scientiae terbitan ITB, salah satu judulnya: “Nasionalisme Sehari-hari”. Bukan saja judul itu membuat saya penasaran, isinya pun hal yang sama sekali baru dan tidak pernah saya pikirkan sebelumnya (meski saya lupa pokok-pokok idenya). 

Priyono waktu itu masih di tahun pertama kuliah di Fakultas Hukum UII, sehingga saya melacaknya melalui senior teman kos yang kuliah di Fakultas Ekonomi universitas yang sama. Kata teman itu, AEP dikenal sebagai mahasiswa yang menonjol, meski dia tak kenal pribadi. 

Setelah saya sendiri masuk FH-UII dua tahun kemudian, saya bukan hanya mengenal AEP, tapi menjadi sahabat kentalnya. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah kampus “Muhibbah”, dan saya dimintanya menjadi anggota dewan redaksi, setelah diajak masuk menjadi staf redaksi oleh pemimpin umum terpilih, Moh. Mahfud MD. 

Semangat egaliter intelektual Priyono sangat mengesankan. Ketika saya menolak posisi di dewan redaksi itu, dengan alasan saya baru tiga bulan menjadi mahasiswa — sementara dewan itu lazimnya diisi oleh para senior — Priyono dalam rapat resmi berkata tegas: “Kita di sini tidak peduli dengan soal senioritas. Ukuran kita hanya satu: kemampuan!”

Belakangan saya baru mengerti bahwa yang dia gariskan itu disebut sistem meritokrasi. Dan sejak itu AEP diam-diam saya jadikan mentor informal; dia sendiri konsisten dalam hal ini: tidak pernah berperan atau merasa diri menjadi mentor atau berpretensi mengantungi kredensial superioritas intelektual, lalu memperlakukan juniornya sebagai anak buah atau “binaan”. 

Padahal seandainya ia berpretensi demikian (sesuatu yang lumrah dalam kehidupan aktifis kampus), ia pantas. Dan memang tak sedikit mahasiswa yang ingin pintar yang berusaha menjadikannya sebagai pembimbing. 

Apalagi Priyono sendiri pernah menjadi ketua komisariat HMI, sebuah lembaga pengkaderan ekstra universiter. Ia seolah menganggap mentor-mentoran dan pretensi senioritas itu bagian dari feodalisme yang sangat tidak disukainya. 

Dengan sikapnya itu, saya, yang berasal dari keluarga yang egaliter dan demokratis, merasa nyaman bergaul dengan dia. Beda angkatan kuliah 3 tahun dan usia hampir 4 tahun, tak membuat jarak emosional di antara kami.

Dan kami sama-sama malas belajar ilmu hukum. Ilmu-ilmu sosial, yang di awal 1980an itu sedang meriah, jauh lebih memikat. Tentu saja saya dengan tertatih-tatih ikut membaca kitab suci ilmu-ilmu sosial Indonesia, jurnal Prisma, terbitan LP3ES. 

Dalam keadaan konstan kekurangan uang, kami tetap berusaha memburu buku-buku, terutama di perpustakaan Gereja Katolik Kotabaru, tempat ajaib yang menyimpan puluhan ribu buku dalam belasan bahasa (tapi kami hanya berkepentingan dengan yang berbahasa Inggris). 

Perpustakaan itu menyediakan jasa fotokopi berikut penjilidannya, yang mampu membuat fotokopian sangat mirip dengan buku aslinya. Ini sangat mengagumkan dan menyenangkan. Maka, misalnya, kami juga punya “buku” Orientalism karya Edward Said yang saat itu menghebohkan dunia akademis Amerika karena pendekatan Said yang radikal membongkar agenda-agenda minor Barat terhadap budaya Timur melalui karya sastra, film, studi antropologi dll.

Tidak ada pula tempat di Jogja selain perpustaan gereja itu yang menyediakan jurnal-jurnal seperti The Third World Quaterly, bahkan Afkar Inquiry, sebuah majalah hasil kolaborasi intelektual-intelektual Muslim seperti Ziauddin Sardar, Meryl Wyn Davies, Gulzar Haider dan para akademisi Muslim yang mengajar di Kanada, Amerika dll. 

Kami juga selalu memburu South, majalah bulanan terbitan publisher Pakistan Humayun Gauhar dan ekonom-ekonom “alternatif” seperti Kurshid Ahmad ata dan Altaf Gauhar. Tentu saja kami juga menggandrungi Arabia, majalah bulanan yang konon dibiayai pemerintah Arab Saudi tapi punya kebebasan penuh dalam editorialnya. Belakangan terjadi konflik di antara mereka, dan Saudi menyetop pembiayaannya.

Sebagai mahasiswa yang meminati penerbitan, kami heran dan penasaran bagaimana majalah Afkar itu dikelola, dengan para editor yang tersebar di berbagai negara. 

Afkar mengandung semangat bahwa ilmuwan sosial Islam mau dan mampu ikut bicara di forum akademis internasional dengan standar akademis setara, meski mereka skeptis dengan proyek Islamisasi sains ala Ismail Al Faruqi, akademisi Palestina yang mengajar di Amerika dan meninggal karena ditikam berkali-kali dengan pisau besar oleh sejumlah orang yang menerobos masuk ke rumahnya di tengah malam; Lamya Faruqi, isterinya yang menjadi profesor kebudayaan Islam, juga tertikam beberapa kali, tapi selamat. (Seingat saya kasus 1986 itu tetap gelap sampai sekarang, meski kecurigaan mengarah pada kelompok radikal Jewish Defence League).

Majalah “Muhibbah” yang sedang dengan antusias kami geluti siang-malam, dibredel Departemen Penerangan pada 9 Desember 1982; ironis: itu sehari sebelum Hari Hak Azasi Manusia Internasional. Surat pembredelan ditembuskan ke 26 instansi — seolah untuk memastikan bahwa semua celah bagi kami telah ditutup rapat, karena gerak kami pasti akan diawasi oleh 26 instansi itu. 

Setelah serangkaian perundingan yang alot, majalah bisa terbit lagi, cukup dengan SK Rektor, tapi harus ganti nama. Terbitlah “Himmah”, dengan pemimpin umum tetap Mahfud MD dan saya ditunjuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan AE Priyono. 

Tak ada lagi kiriman wesel dari Jenderal A.H Nasution, Ali Sadikin atau mantan Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya — merekalah antara lain yang konstan menyemangati kami dengan mengirim dana bulanan, meskipun anggaran kampus mencukupi untuk mencetak 10.000 eksemplar majalah tiap bulan (dan kami masih dapat tambahan dari penjualan bebas di kios-kios).

Priyono menikah sebelum lulus kuliah dan harus menghidupi keluarganya dengan cara-cara yang tidak bisa jauh dari minat utama dan kemampuan terbaiknya. Ia menjadi koresponden majalah ilmiah populer “Akutahu”, menerjemahkan buku-buku keislaman dan ilmu sosial. 

Ia juga menjadi koresponden majalah “Kiblat”, dan memuat terjemahan saya atas ceramah Fazlur Rahman (idola kami waktu itu) di IAIN Sunan Kalijaga, dengan moderator eks Menteri Agama Mukti Ali. (Tak lama kemudian kami sama-sama “diimpor” ke Jakarta untuk bekerja di majalah Islam yang ingin melakukan rebranding itu — kami hanya sempat menanganinya satu edisi, karena konflik ide yang tak terdamaikan dengan pengurus lama serta tekanan eksternal, dan kami harus kembali ke Jogja). 

Ia juga meyakinkan saya bahwa saya pasti mampu menerjemahkan buku-buku Inggris dengan baik, dan penerbit penampungnya sudah ada, terutama Shalahuddin Press (milik Mas Ahmad Fanani) dan P2M (Amrullah Ahmad), keduanya berpusat di Jogja.

“Dan kamu bisa dapat honor yang lumayan dari menerjemahkan buku-buku itu,” kata Priyono, yang dengan tepat memahami faktor pendorong terkuat untuk memotivasi saya (sebab saya pun sering pula menggunakan alat itu untuk mendorongnya).

Saya pun mulai mencoba dengan menerjemahkan “Capitalism Wakes Up?!”, buku kecil Ali Syariati, seorang intelektual Iran yang waktu itu menebar sihir di kalangan aktifis Islam, setelah terbit bukunya yang diterjemahkan Amien Rais, “Tugas Cendekiawan Muslim”. Saya juga menerjemahkan artikel panjang Syed Hossein Nasr, “Islamic Work Ethics”; semuanya diterbitkan Shalahuddin. 

Priyono bekerja sama dengan saya antara lain menerjemahkan The Origin of Human Being (?) karya Maurice Bucaille (rasanya buku tebal yang cukup membosankan itu tak tuntas kami kerjakan). 

Melihat tak banyak peluang bagi keahliannya di Jogja, ia hijrah ke LP3ES Jakarta, dan mengurus divisi buku. Ia selalu kagum pada Kuntowijoyo (siapa yang tidak?), dan berinisiatif mengumpulkan dan mengedit kumpulan tulisan-tulisan panjang Pak Kunto, menjadikannya buku “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”, terbitan Mizan, Bandung. Buku itu disambut hangat, hal yang sudah sepantasnya, dan dicetak ulang berkali-kali. 

Priyono mengerjakan buku itu dengan sepenuh ketekunan, dan membuahkan karya yang membanggakan — dengan menekankan subjudul “Interpretasi untuk Aksi”, sebuah pesan terselubung terhadap mereka yang hanya suntuk melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam, tanpa program aksi yang operasional. 

Kuntowijoyo adalah sejarawan didikan Prof Sartono Kartodirdjo di UGM, yang merambah pemanfaat teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah yang berwatak “Indonesia-sentris”, bukan lagi dari perspektif kolonial Belanda sebagaimana lazim di masa sebelumnya. 

Namun dalam pemanfaatan teori-teori ilmu sosial ini, saya rasa Kuntowijoyo, seorang yang sangat pintar dan mendalam sekaligus sangat rendah hati, cukup jauh melampaui gurunya. Pak Kunto benar-benar mengamalkan semangat akademis dalam tingkat tertinggi: ia tak pernah menjadi plagiat, juga terhadap karyanya sendiri; ia tak pernah mengulang ide yang sama di forum mana pun. 

Dan ia tak membedakan “kualitas” dan kebesaran forum; untuk diskusi di forum kecil HMI pun, ia selalu mengajukan ide-ide segarnya dengan penuh kesungguhan. AE Priyono turut berjasa menyebarkan banyak ide Pak Kunto yang terserak di berbagai sumber melalui buku “Paradigma Islam” yang ia beri pengantar singkat, selain pengantar M. Dawam Rahardjo yang sangat baik.

Kerjasama kami terakhir adalah di Republika, di awal pendirian koran itu di awal 90-an, sekeluar Priyono dari LP3ES. Kami berada di satu divisi, penelitian dan pengembangan. Sejak itu kami makin jarang berjumpa, meski saya selalu berusaha mengikuti berbagai aktifitasnya dari jauh. Ia kemudian bekerja di Demos, lembaga riset dan advokasi isu-isu HAM, minat abadinya, bersama intelektual Swedia Olle Tornquist dan lain-lain. 

Ia terdengar mulai mengidap diabetes. Ia rupanya sempat menempuh pendidikan S2 di UGM, tak sampai selesai. Jantungnya mulai dipasangi ring. Ia juga sempat kembali ke LP3ES untuk menduduki jabatan penting di sana, tapi ketika saya menghadiri ulang tahun ke-45 lembaga itu beberapa tahun lalu, dan berharap ketemu dia di Hotel Shangrila, ia absen. Sayup-sayup saya mendengar hubungannya dengan lembaga itu berakhir dengan tak menggembirakan.

Kami belakangan hanya terhubung melalui beberapa grup WA, dan dari situ terlihat ia masih terus menekuni isu-isu favoritnya, dan tetap dengan lontaran-lontaran ide yang ia sajikan dengan tajam dan keras — sering dengan determinasi yang membuat saya heran dan terkejut. Ia terutama sangat garang menghantam ide-ide yang bersemangat ateistik, terutama dari khazanah Fisika; hal yang sangat mengherankan saya untuk seorang yang biasa bersikap open mind terhadap ide-ide.  

Sejak dulu, di samping menekuni isu-isu “duniawi” yang berwatak progresif dan anti kemapanan, Priyono selalu menyisakan ruang kontemplasi spiritual dan meminati kajian-kajian sufisme. Ia selalu terpukau dan mengapresiasi Iqbal, Rumi dan Ibn Arabi. 

Ia suka membaca karya-karya Louis Massignon dan, terutama, Henri Corbin tentang para sufi itu; ia menaruh perhatian khusus pada sufi Iran Mulla Sadra. Ia tak jarang menawari anggota grup WA buku-buku terbaik hasil kurasinya dalam format PDF. 

Seminggu lalu Priyono dilarikan ke rumah sakit; setelah berkeliling ke beberapa, ia dirawat di RS Polri Kramat Jati, dan kami kawan-kawan lamanya langsung mencurigai wabah ini, karena dari info yang saya terima hampir semua cirinya terpenuhi. 

Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Sebelumnya ia mengeluhkan telinganya yang sangat sakit, sampai memgeluarkan darah. Foto-foto yang saya terima hanya saya edarkan kepada beberapa sahabat. Beberapa hari kemudian ia mulai sadar, dan dipindahkan ke ruang standar di RS. 

Kepada setiap kawan yang bertanya, selalu saya katakan: jangan kuatir, jika tak ada kabar dari anaknya, itu artinya kabar baik. No news is good news. Barangkali saya hanya menghibur diri.

Ketenteraman saya robek tengah hari tadi, ketika begitu banyak telepon dan pesan WA masuk ke HP saya, mengabarkan apa yang saya kuatiri sejak seminggu terakhir. Berulang-ulang saya menyaksikan apa yang kemudian saya curigai: sinyal tentang kepulihan cepat seakan isyarat bahwa itu adalah daya hidup terakhir sebelum lenyap. 

Sambil menggigit bibir, saya menulis epitaf di dalam hati: Anang Eko Priyono, lahir di Temanggung 6 November 1958, wafat di Jakarta 12 April 2020; seorang intelektual sepanjang hayat, seorang penulis nonfiksi yang sangat baik dan selalu mampu mencapai formulasi kalimat-kalomat panjang yang bersih dan cerdas, yang tak henti gelisah dan merisaukan banyak hal tentang orang banyak, melampaui kerisauannya tentang dirinya sendiri. 

Begitu lama kita tak bertemu, Nang, dan begitu banyak agenda baru yang hanya bisa saya inginkan untuk kita obrolkan, persis seperti kita memulainya pertama kali, 39 tahun silam.

*Tulisan pernah tayang sebelumnya di geotimes.id, republika.co.id, medcom.id, dan sudah seizin penerbit pertama Hamid Basyaib lewat laman Facebook pribadinya.

Mengenang Mas AE, Pemimpin Redaksi Terakhir Muhibbah

0

Nama Anang Eko Priyono atau biasa dipanggil Mas AE mungkin sudah familiar di kalangan mahasiswa UII dan aktivis mahasiswa Yogyakarta paruh awal 1980-an. Sebab ia aktivis mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat itu dan dikenal juga karena tulisan-tulisannya, terutama dalam produk majalah pers mahasiswa UII saat itu, Muhibbah, di mana ia menjadi pemimpin redaksinya. Mas AE jugalah yang merupakan pemimpin redaksi terakhir majalah tersebut, sebelum akhirnya berubah menjadi Himmah.

Kebiasaan hidup dalam lingkaran aktivisme sosial, riset, kajian islam dan politik, serta menulis inilah yang barangkali terus dilakoninya hingga ia menghembuskan nafas terakhir pada Minggu, 12 April 2020 kemarin. Saat kabar duka itu datang, sahabat dan koleganya menulis Mas AE melalui obituari singkat dan seolah-olah semua sepakat mengenang AE terutama melalui tulisan-tulisannya. 

Sebab hal yang sama saya alami. Mulai dan terus mengenal Mas AE ‘hanya’ melalui tulisannya.

Saat awal-awal menjadi mahasiswa UII, saya disodorkan oleh senior sebuah buku hasil suntingan Mas AE, yaitu Api Putih di Kampus Hijau: Gerakan Mahasiswa UII Dekade 1980-an. Buku yang merangkum kumpulan tulisan tersebut terutama menceritakan untuk mengenang salah satu sosok aktivis mahasiswa UII saat itu, Slamet Saroyo yang meninggal (tahun 1989) akibat konflik antara mahasiswa dengan dalang berasal dari birokrat kampus maupun badan wakaf. 

Motifnya diiringi dugaan korupsi dalam proyek pembangunan kampus Antara yang kini adalah gedung Ace Partadiredja atau kompleks Fakultas Ekonomi UII yang berada di Condong Catur, Yogyakarta.

Dalam pengantarnya, Mas AE menulis meski tak mengenal secara pribadi dengan Slamet Saroyo (mungkin karena rentang angkatan yang cukup jauh), tetapi kematiannya tak boleh begitu saja dilupakan. Ia bahkan mengusulkan nama Slamet Saroyo diabadikan menjadi auditorium UII di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta.

Dari tulisannya, Mas AE juga tak hanya menceritakan kronologi kematian Slamet Saroyo, tapi lebih jauh lagi menggambarkan lanskap gerakan mahasiswa UII dan Yogyakarta dekade itu. Mulai dari fragmentasi isu mahasiswa yang ingin dikawal (antara isu dalam atau luar kampus), internal HMI, cikal bakal terbentuknya gang rode, dan lain sebagainya.

Dari situ saya mulai mengikuti Mas AE melalui laman Facebook-nya. Saat itu, sekitar tahun 2014 dan 2015 ia sering menulis dan membagikan tulisan tentang gerakan Civic Islam. Makanya saat ia sedang berada di Yogyakarta untuk menjadi narasumber dalam bedah buku Api Putih di Kampus Hijau yang digelar oleh HMI, beberapa pengurus Himmah “menculiknya” dan membawa ke sekretariat usai acara selesai, untuk berdiskusi tentang Civic Islam (beruntung hasil diskusi tersebut terekam di sini).

Kelakar Mas AE saat diskusi bersama kami di sekretariat,” lho, sekarang pengurus kalau diskusi dan rapat di atas lantai, dulu pas zaman saya ada kursi hingga meja. Mau makan tinggal pesan.”

Kelak, setelah saya menjadi alumni dari organisasi dan kampus yang sama, saya masih terus mengikuti tulisan-tulisan Mas AE lewat Facebook-nya. Dua tahun belakang, tema tulisan yang Mas AE bagikan sedikit berubah menjadi Islam dan Sufisme. Ia bahkan membuat grup untuk membagikan soft file buku dengan tema yang sama untuk diresensi anggota grup.

Pemimpin Redaksi Muhibbah Terakhir

Pada tahun 2017, Redaksi Himmah memutuskan untuk mengangkat laporan sejarah majalah Muhibbah/Himmah karena bertepatan sekaligus untuk memperingati setengah abad LPM UII. Saat itu kami juga ingin tahu lebih banyak bagian-bagian yang hilang, terutama pasca pemberedelan Muhibbah tahun 1982 hingga akhirnya berubah menjadi Himmah pada tahun 1983.

Pada periode kepengurusan LPM UII tahun 1982, Mas AE menjadi Pemimpin Redaksi Muhibbah dengan Mahfud MD (yang kini menjadi Menkopolhukam) sebagai Pemimpin Umum. Ini bukan perjumpaan pertama Mas AE dengan Mahfud MD dalam satu kepengurusan. 

Sebelumnya keduanya aktif di LPM UII tingkat fakultas dengan produknya majalah Keadilan di mana Mas AE menjadi Pemimpin Umum dan Mahfud MD sebagai pemimpin redaksi. Keduanya juga sama-sama aktif di HMI Komisariat Fakultas Hukum UII di mana Mas AE jadi ketuanya dan Mahfud MD jadi salah satu wakilnya.

Sebagai orang nomor satu di Redaksi Muhibbah, Mas AE punya pengaruh besar dalam menentukan orientasi redaksi. ”Saat itu ada upaya depolitisasi pemerintah terhadap mahasiswa,” ujar Mas AE, dikuti dari Majalah Himmah No.1 Tahun 2017. “Kami mengevaluasi Muhibbah sebelumnya. Ini jurnalistik standar saja, hanya isu kampus dan tidak mendalam.”

Iman Masfardi, Redaktur Muhibbah saat itu, menjelaskan pada rapat redaksi segalanya diperhitungkan. Dari pemilihan kasus, pemilihan narasumber, sampai kemungkinan mendapat teguran bahkan sampai pembredelan. Menurut Iman, Muhibbah mencoba mengungkap hal-hal yang tidak mungkin diungkap oleh pers umum saat itu.

Hal ini bisa dilihat dari beberapa laporan utama yang disajikan Muhibbah. “Menggugat Parpol Islam” menghadirkan narasumber yang berasal dari anggota petisi 50 yang kontra dengan Soeharto saat itu. “Rezim Militer Kita” mengkritik dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sedang berada di puncak kekuasaan. Lalu “Posisi Kita Dimana” yang membahas doktrin bebas aktif politik luar negeri.

Namun kini, dari sembilan edisi yang diterbitkan Muhibbah tahun 1982 hanya terarsip lima edisi terakhir. Saya pernah menemui Mas AE di Stasiun Pondok China, di dekat rumahnya, untuk meminta beberapa edisi yang tidak ada. Namun, ternyata Mas AE hanya menyimpan majalah edisi yang sama dengan yang terarsip di sekretariat.

Konten kritis itu pula yang membuat Muhibbah sering mendapat teguran dari Menteri Penerangan, Rektorat UII, Komando Daerah Militer (Kodam), dan Komando Resort Militer (Korem), baik melalui lisan maupun surat. Bahkan terdapat penulis-penulis yang sudah dicatat sebagai pembangkang. Hal itu pula yang akhirnya membuat Muhibbah diberedel dan mati lalu berganti menjadi Himmah.

Mas AE dan Iman merupakan dua dari beberapa penulis yang di-blacklist dari kepengurusan saat itu, jika LPM UII ingin tetap mengeluarkan produk jurnalistik. Syarat yang lain mengharuskan nama Muhibbah diganti yang akhirnya berubah menjadi Himmah dan tidak boleh lagi mengangkat dengan tema sosial dan politik, tetapi hanya konten keislaman saja (makanya bagi Iman sampai saat ini, Himmah adalah monumen pengkhianatan aktivis pers mahasiswa). 

Sebenarnya faktor kepemimpinan sosok rektor saat itu turut berpengaruh terhadap gerakan kemahasiswaan. Mas AE mengatakan Rektor UII saat itu, GBPH Prabuningrat (yang notabene orang Kraton dan meninggal pada 31 Agustus 1982) lebih mengayomi dibanding rektor setelahnya, Ace Partadiredja.

“Zaman pak Ace itu, kan dia penakut. Dia ditelpon aja marah-marahnya ke kami. Pak Prabu itu sangat mem-back up mahasiswanya. Contohnya, setiap sidang Maqdir dia datang ke pengadilan,” kata Mas AE. Maqdir Ismail merupakan salah satu akivis UII yang ditangkap oleh pemerintah karena ikut menghadiri perkumpulan Dewan Mahasiswa di Bandung.

Karier Mas AE selalu ada dalam lingkaran aktivisme sosial, riset, kajian islam dan politik, serta penulisan. Intelektual ini juga dikenal banyak terutama dari buku-buku yang disuntingnya maupun yang ditulisnya. Mulai dari pemikiran-pemikirannya tentang Kuntowijoyo (salah satu dosen FIAI UII, Yusdani, bahkan menyebut Mas AE ini sangat Kuntowiyan sekali), Islam, demokrasi, hingga politik.

Sebagaimana kebiasaan Mas AE yang gemar menulis, mungkin ia juga ingin dikenang hanya melalui tulisan-tulisannya. Lahul Al-Fatihah.

Membedah Sistem Kelembagaan KM UII

Keluarga Mahasiswa (KM) UII sudah memasuki usia yang ke- 69 sejak didirikan pada 21 September 1950, namun hingga kini KM UII belum mengetahui identitas kelembagaannya. Salah satunya yakni terkait sistem yang sedang dijalankan.

Sistem yang sedang dijalankan dalam KM UII adalah Student Government. Student Government adalah sistem yang menjadi kebangaan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), karena dirasa menjadi ikon dan memiliki bargaining position tersendiri.

Jika sistem Student Government UII dikomparasikan dalam konsep dan sistem yang berlaku di Indonesia, sistem yang berlaku di KM UII berbeda dengan konsep dan sistem negara.

Di Indonesia, eksekutif (presiden) kedudukannya lebih tinggi dari legislatif (DPR). Keduanya pun dipilih langsung oleh rakyat secara terpisah dalam waktu yang sama. 

Sedangkan sistem yang berlaku di KM UII, hingga saat ini Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) sebagai legislatif memiliki kedudukan lebih tinggi daripada eksekutif Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM).

Karena secara garis struktural KM UII, LEM berada di bawah DPM. Dalam artian, peran legislatif lebih tinggi dibandingkan dengan eksekutif. 

LEM bisa dikatakan tidak begitu kuat dalam kalkulasi politik, karena bisa saja sewaktu-waktu DPM mencabut mandatarisnya atas ketua LEM tersebut dan menjadi bagian dari DPM kembali. 

Ada satu hal yang perlu kita ketahui bersama dalam pesta demokrasi di KM UII yang sudah menjadi budaya. 

Prosesi pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPU KM UII adalah pemilihan calon legislatif dan tidak untuk pemilihan eksekutif. 

Dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut, KPU juga melaksanakan berbagai tahapan sebelum ke tahapan pemungutan suara, salah satunya yakni debat kandidat caleg. 

Sehingga pelaksanaan debat kandidat caleg adalah untuk merebutkan kursi DPM yang tidak ada batasnya, asalkan memenuhi syarat dan ambang batas suara minimal (threshold). 

Sangat berbeda dari sistem negara di mana debat kandidat adalah untuk merebutkan kursi kekuasaan eksekutif.

Hal lain yang menjadi menarik adalah, masing-masing caleg menyampaikan visi dan misi sebagai legislatif. Sedangkan salah satu dari caleg yang lolos akan menjadi ketua LEM. 

Hal ini dipertanyakan, lantas visi dan misi eksekutif yang akan dijalankan oleh ketua LEM kapan dikampanyekan atau ditawarkan kepada mahasiswa? Sehingga mahasiswa dapat mengetahui dan mendukung arah gerak kabinet LEM dalam satu periode tersebut.

Sering disampaikan oleh sebagian besar caleg dalam setiap kampanye, “banyaknya mahasiswa yang apatis atau kurang perhatian terhadap lembaga kampus”. 

Ketika kita perhatikan bersama, ini merupakan dampak dari sistem yang berlaku yang mengakibatkan kurangnya konstelasi politik di KM UII. 

Sehingga bisa dimungkinkan berdampak terhadap minat mahasiswa untuk ikut berpartisipasi baik dalam proses pemilwa maupun berlembaga di tingkat DPM/LEM.  

Berbeda halnya dengan himpunan jurusan, mekanisme pemilihan pimpinan tertinggi dipilih secara langsung oleh anggota, serta adanya penyampaian gagasan atau visi misi calon eksekutif.

Sehingga anggota mengetahui arah gerak yang akan diperjuangkan masing-masing kandidat pimpinan himpunan.

Memahami sistem merupakan suatu keharusan agar tahu akan arah dan tujuan demi berjalanya tatanan kelembagaan. 

Telah dijelaskan dalam sejarah berdirinya KM UII bahwa Student Government merupakan kelembagaan yang menganut konsep negara. 

Namun ketika kita analisa, ternyata tidak sesuai dengan konsep dan sistem yang dijalankan oleh suatu negara tertentu.

Oleh karena itu, alangkah progresifnya jika kita mampu mendobrak sebuah perubahan bagi keluarga mahasiswa UII, dan tidak hanya mengandalkan nama besar kampus dan pendahulu kita. 

Perlu adanya tatanan dan kejelasan mengenai sistem yang berlaku di KM UII. Sehingga hal ini dapat merangsang euforia dan dinamisasi kelembagaan di dalam KM UII.

*Analisis ini telah diunggah pada 16 November 2019. Namun, karena kesalahan sistem, naskah tersebut tidak dapat diakses dan diputuskan untuk diunggah kembali.

Dilema Marsinah: Kuliah, Karir, Nikah, atau Bisnis

“Fokus saja dulu, jangan mulai bisnis, jangan mikir tentang pernikahan, jangan mikir tentang organisasi, jangan mikir tentang hobi hingga berlebihan. Belajar hingga lulus, baru kemudian lanjut kerja. Untuk sekarang, jangan berpikir yang lain-lain dulu. Fokus saja lah.”

Telepon Marsinah terputus. Salam penutup diucap olehnya, tatkala paman Mulyo hendak undur pamit dari komunikasi antar kota itu. Marsinah, sebagai gadis berusia 18 tahun, bermuka datar; tak tahu harus bicara apa. Ia berpikir, O ya sudahlah, dengan harap-harap tidak ada apapun lagi di hidupnya. Ia hanya ingin dirinya diam saja; menghampakan diri. 

Sejenak, Marsinah yang yatim piatu itu merasa sadar, bahwa paman Mulyo berhak-berhak saja untuk menentukan garis hidupnya. Jelas, paman Mulyo-lah yang membiayai seluruh kehidupannya. Tiap paruh waktu, kiriman uang ditransfer dari paman Mulyo. 

“Tidak sepantasnya aku macam-macam selama perkuliahan ini. Toh, aku di sini hanya diamanahkan untuk kuliah saja. Paman Mulyo tidak membiayaiku untuk aktif di lembaga, dan bukan juga urusan bikin usaha. Apalagi soal nikah? Hah, betapa bodohnya diriku.”

Marsinah, seorang mahasiswi ilmu ekonomi, memang baru saja cerita kepada paman Mulyo tentang Setyo. Terkata, Setyo berjanji mau menikahinya. Marsinah, dengan hati riang namun sedikit terheran pun langsung kabari paman Mulyo. “Waduh, kamu ini. Kok bisa sampai dijanjikan begitu sama Setyo? Anak mana dia, sampai sembarang menjanjikan begitu? Permasalahan kalian apa, kok sampai dia begitu dan kamu mau aja dijanjiin sama anak itu?” 

Bingung, Marsinah pun menjawab, “Paman Mulyo, Setyo itu laki-laki baik. Setyo berkali-kali bantu Marsinah. Waktu Marsinah mau restock barang jualan Marsinah, Setyo sempet menawarkan jasa bawa barang-barangnya ke tempat Marsinah. Paman Mulyo nda usah khawatir, dia itu lelaki baik.” 

“Loh, kamu masih jualan kerajinan itu? Kan paman udah bilang kamu harus fokus saja kuliah, tidak usah mikir cari duit dulu. Nanti pikiran kamu terbagi, kamu gak bisa fokus lagi. Sudah, hentikan saja bisnismu itu, urusan duit biar paman saja yang carikan. Tugas kamu hanya kuliah, bukan untuk cari duit sekarang.”

Marsinah, sebagai gadis yang penurut namun tidak begitu penurut secara totalitas, akhirnya jatuh sebagai pendengar saja. Kodratnya yang cenderung tidak ingin meninggi, menjadikan Marsinah melihat bahwa dirinya tengah di lubang kesalahan. “Baiklah, Paman. Marsinah nda akan gitu-gitu lagi sama Setyo, dan nda jualan lagi. Marsinah janji. Insyaallah.”

Karir, menjadi mata hidup yang besar bagi paman Mulyo. Sudah terkenal, paman Mulyo selalu bilang untuk cari uang yang banyak, capai jenjang tinggi-tinggi. Nasionalis telah menjadi darah paman Mulyo, sehingga pemikirannya ialah tentang bagaimana berkontribusi kepada negara. 

Patriotismenya menjadikan paman Mulyo rela menggelontorkan dana kepada seluruh sanak pengasuhannya, asalkan itu ada manfaat bagi sesama. Seng penting awak dewe ora kesulitan lan tetep iso bantu liyane, demikianlah ucap paman Mulyo. Jiwa sucinya yang ingin membantu sesama, telah mengalirkan akar kuat di hatinya, bahwa: jika nyawa pun bisa dijual, maka biarlah negara dan bangsa yang membelinya!

Ya, nasionalisme! Itu penyebab segala larangan paman Mulyo kepada Marsinah. Ia ingin anak dari saudaranya itu bisa memberikan effort besar kepada Marsinah sendiri, kepada masyarakat, kepada negara, dan juga kepada bangsa. 

Ia hanya ingin Marsinah menjadi orang besar yang ternama, yang dikenal berbagai orang. Ia hanya ingin kebaikan bagi Marsinah. Tidak mungkin dirinya bermaksud jahat kepada Marsinah. O, benar-benar, tidak mungkin ia bermaksud jahat kepada Marsinah!

Marsinah pun yakin, bahwa paman Mulyo adalah keluarga yang murni mengurusnya untuk kebaikan Marsinah sendiri. Paman Mulyo bukan seorang pemeras yang menyekolahkan dirinya, demi untuk untungi paman Mulyo pribadi. 

Maka, jika pun apa yang dikatakan paman Mulyo tidak logis dan tidak sesuai dengan ilmu, tiada kata lain bisa terucap, melainkan: ya pokoknya paman Mulyo inginkan yang terbaik untuk diri Marsinah!

Bahkan, jika ambisi S1 itu belum mencukupi, biarlah Marsinah ambil S2, lagi-lagi juga S3. Kejar gelar profesor jika bisa. Intinya, semakin banyak Marsinah bisa berkarya bagi negeri, sedemikianlah dirinya menjadi manusia seutuhnya. Marsinah masihlah muda, tidak patut kepandaiannya disia-siakan untuk sekadar bisnis, apalagi hanya nikah; berkeluarga dan beranak-pinak saja. 

Dalam dunia yang saling bermulia diri untuk memberi kontribusi bagi negeri, Marsinah diminta untuk mencicipi kesenangan berupa dua hal saja: (1) have fun di destinasi wisata internasional; (2) take pride saat di podium penerimaan award

Tiada lagi, tidak ada opsi selain itu. Maka, bila kita mau kunjungi kamar Marsinah, akan ternampak bahwa kerlap-kerlip kamarnya sangat megah, ada hiasan monumen Eiffel, ada foto-foto pantai di Bali, juga ada menara jam yang ada di Inggris. 

Di temboknya, ada papan yang terpasak lembar-lembar kecil, yang tertulis to-do-list untuk bulan dan tahun kedepan. Marsinah, sebagaimana di to-do-list-nya, ingin menjadi ekonom besar, mampu menulis 15 buku sebelum usia 27 tahun, bisa keliling ke Melbourne dan Hawaii. 

Tak lupa, hiasan Eiffel di kamarnya juga dilingkar besar, seakan menanda bahwa Paris-lah destinasi utamanya. Ibarat kata orang, cita-citakanlah sekarang, karena dengan begitu lebih bisa terwujud kelak.

Namun untuk menikah? He, jangan tanya. Marsinah tidak menulisnya di to-do-list. Urusan bisnis dan menjadi pemilik saham besar pun tak tercantum di daftar itu. Tentang organisasi dan hobi juga, ya, menjadi debu di kamarnya saja. 

Ia tidak berharap banyak soal itu. Semua ada waktunya, menurut Marsinah. Karena, sama seperti ajaran paman Mulyo: berkaryalah sebanyak-banyaknya mumpung masih muda, supaya menjadi kontribusi besar bagi negeri, bangsa, dan negara.

Karir menjadi medali terbesar di kehidupan paman Mulyo dan Marsinah. Terpenting adalah: kuliah aman, kerja aman, dan tetap bantu sesama.

Kontribusi pada negeri pun menjadi satu mata sisi: hanya karir-karir itu sajalah moncong kontribusi bagi negeri. Hanya karya-karya itu sajalah bukti otentik untuk bangsa dan negara. Sedangkan yang lainnya, itu hanya hal kecil, hal remeh temeh.

Bisnis-bisnis kreatif, sebagaimana ucap paman Mulyo, “Hanya kerjaan orang gak punya ijazah. Mereka gak diterima di perusahaan, jadinya ya cuma jual barang-barang kayak gituan.”

Sedangkan untuk pernikahan, “Nek nikah kui yo nggo seng wes mateng. Kamu gak usah mikir soal nikah-nikah dulu, Marsinah. Nikah iku berat, perlu ilmunya, perlu kesabaran tinggi. Harus sudah matang emosionalnya, dan harus punya kemampuan finansial dulu. Kamu jangan sandarkan finansial pada suamimu saja, tapi kamu juga harus kerja. Sia-sia kalau kamu sekolah tinggi, neng yo ora kanggo nggo negeri iki.”

Bisnis dan pernikahan. Siapa lagi mahasiswa yang tidak berhadapan tentang itu? Marsinah juga di tengah ombang-ambing, antara benar ikuti paman Mulyo sebagai kebaktian rasa terima kasihnya, atau dengan keras kepala ikuti hal benar sesuai pendapatnya. 

Padahal, bisnis tidak baik jika dimulai saat usia tua. Tidak bisa juga semua orang mengandalkan pekerjaan pada jenjang karir di instansi pemerintahan atau rekrutmen perusahaan saja. Sedangkan untuk pernikahan, Marsinah sengaja ingin menyegerakan karena ia tidak ingin hal aneh-aneh jatuh pada dirinya.

Ia memulai bisnis sejak semester awal perkuliahan, dengan harapan saat sudah lulus 2-3 tahun mendatang, bisnis itu sudah besar dan bisa menjadi penopangnya saat ia lulus kelak. 

Dengan jiwa mudanya, ia melihat itu lebih masuk akal. Sebab, tahun pertama berbisnis saja sudah sangat melelahkan dirinya, membuat diri tertatih-tatih karena banyak sekali instrumen bisnis yang harus dipelajari. Jika memulai bisnis tidak sejak sekarang, Marsinah ragu di kemudian waktu potensi bisnis bisa leluasa seperti masa mudanya ini.

Sedangkan untuk pernikahan, Marsinah biasa andalkan kalimat ustadzahnya, “Dek, setan itu sangat mudah sekali menggoda manusia. Dan kalian sebagai akhawat, merupakan sumber godaan paling besar dari setan kepada para lelaki. Itulah sebabnya, kita disyariatkan memakai hijab syar’i. 

Bahkan lebih baik kalian menggunakan penutup wajah, seperti cadar dan niqab. Itu lebih menyelamatkan. Selain itu, hindari komunikasi tidak perlu kepada lelaki. Dan apabila kalian bisa sesegeranya menikah, maka menikahlah, tatkala lelaki baik agama dan akhlaknya tiba. Karena itu benar-benar lebih menyelamatkan kalian dari fitnah dari setan terhadap lelaki.”

Saat mengingat kembali tentang hasrat besar paman Mulyo untuk memberi kontribusi besar bagi negeri, Marsinah jadi tersadar: apakah kontribusi itu hanya melalui karir-karir itu saja? Ya, otak tajam dari Marsinah yang muda mulai teraktivasi; ia mulai kritis, melihat bahwa tidak logis ucapan paman Mulyo itu. 

Jika misal, seperti pernikahan, bukankah itu bisa menjadi sumber kontribusi juga bagi negeri? Ibu-ibu dan ayah-ayah yang terdidik ilmu parenting, kelak menghasilkan generasi yang memiliki daya kompetensi tinggi dan jiwa psikologis yang kuat. Generasi emas itu hanya bisa lahir dari ibu dan ayah yang memang mendedikasikan diri untuk keluarga dan penghasilan anak-pinak!

Kemudian bisnis, tidak mungkin perusahaan itu bisa ada, jika sebelumnya mereka tidak berasal dari bisnis-bisnis yang Marsinah tengah ingin bangun sekarang ini! Bisnis yang Marsinah bangun itu adalah model sederhana dari perusahaan berstatus IPO di pasar bursa sekarang. 

Efek dari saham dan berbagai mudhorobah lainnya itu juga dari bisnis-bisnis para penjual barang juga. Bahkan barang ecek-ecek, itu bisa menjadi emas bagi pasar yang membutuhkannya.  

Plastik sampah, bisa menjadi profit belasan juta jika dijual ke industri tekstil; yang mulai beralih menggunakan bahan plastik. Asalkan punya akal dan ilmu, bisnis bisa saja lebih bermanfaat bagi negeri dan bangsa, daripada sekadar jadi orang kantoran —yang mungkin hanya menulis 3-4 dokumen reguler per hari— di perusahaan. Ah, ya, mengapa Marsinah tidak sampaikan saja argumen ini kepada paman Mulyo tadi?

Sungguh, kontribusi bagi negeri, negara, bangsa, bahkan juga agama tidak mungkin hanya didapat lewat jalur S1-S2-S3 dan keprofesoran itu saja, dan tidak juga sekadar bekerja di instansi pemerintah atau divisi-divisi perusahaan. Bagi lelaki dan perempuan yang menikah, mereka pun sudah berkontribusi besar bagi negeri. Marsinah pun lahir dari lelaki dan perempuan. Bayangkan jika para lelaki dan para perempuan tidak ingin menikah? Siapa “calon kontributor” yang bisa lahir kelak?

Lelaki dan perempuan yang menikah di usia muda juga tidak patut disalahkan dan dinilai tak bisa kontribusi bagi negeri. Bukankah mereka yang punya usia lebih awal untuk beranak-pinak juga jadi nilai positif bagi perkembangan anak kelak? Selain itu, jenjang mereka untuk mempelajari ilmu parenting juga lebih awal, daripada pasangan yang menikah di usia tua. Ilmu parenting, sebagai ilmu terapan, sangat erat dengan praktik langsung. 

Sekadar teori, dan menunda usia hingga tua, justru memforsir waktu pembelajaran ilmu parenting di usia lebih muda. Tentu, ini satu positifnya saja. Mereka yang menikah muda pun belum terbahas bagaimana sambilan kerja yang mereka ambil. Sebab, menjadi bukti di berbagai tempat, pemuda-pemudi yang muda, lalu kerja bersama, sama-sama juga bisa mendapat award dan podium penghargaan!

Bagi negeri, aset terpenting apa jika negeri tidak memiliki penyambung keturunan? Pun jika ada yang mengatakan “banyak orang dilahirkan, tapi otaknya kosong semua, pendidikannya pada rendah, dan cuma bisa jadi konsumen,” maka menjadi konsumen dari hasil impor barang luar negeri pun lebih logis, daripada kekurangan sumber daya manusia; seperti negara luar sana yang sampai harus “impor” pasangan yang mau menikah beranak-pinak. 

Marsinah yang calon sarjana ekonomi, sedikit terbayang bagaimana supaya konsumerisme tidak menjadi nilai negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Plus, bila pun para manusia berotak kosong itu disebut berpendidikan rendah, bukankah salah satu faktornya dari pemikiran yang serba mengagungkan karir semata itu juga? 

Karir, sebagai acuan pendorong rakyat supaya tetap kerja, jika menjadi ambisi dan dianggap menjadi juru kunci selamat menuju kebahagiaan abadi, akan membuat chaos di masyarakat. Pemikiran tajamnya akan tumpul, dan mulai mengabaikan hal-hal selain karir itu semata.

Moralitas dan agama, kian diabaikan seiring ambisi besar terhadap karir tinggi itu. Dari moralitas dan agama yang terdegradasi, etos kerja rakyat juga akan bermasalah; menjadi malas, cenderung stres dan tidak fokus kerja, malah-malah sibuk urus kondisi psikologisnya daripada berproduktivitas tinggi. Dan jelas, pendidikan juga menurun hingga ke lembah kehinaan.

Sedangkan untuk bisnis, ah, apalagi yang harus dijelaskan oleh Marsinah? Ia bisa saja sekarang jadi investor, belajar mendapat “cuan-cuan” dari dividen saham nanti, dan dalam kesenangannya menikmati dividen itu, perusahaan negeri yang diinvestasikannya pun juga tengah berpesta menambah produksi lagi. 

Soal bisnisnya sendiri yang ia ingin bangun, ia mulai terpikir bahwa negerinya tengah jatuh dari angka wirausahawannya. Apakah wirausaha itu bisa ditingkatkan angkanya, jika ia sekadar ambil jalur karir di instansi pemerintah dan jadi karyawan perusahaan saja? 

Artinya, ia harus tetap jadi wirausaha, supaya angka wirausahawan negeri meningkat; karena indikator pertumbuhan ekonomi negeri adalah meningkatnya angka wirausahawan. “Nah, itu dia, bukankah paman Mulyo harusnya pun sadar hal itu, jika yang segala diinginkannya ialah kontribusi bagi bangsa dan negara?”

Maka, tanpa olah basa-dan-basi, Marsinah kembali membuka telepon genggamnya, dan berkata, “Paman Mulyo, Marsinah pengen tetep berbisnis dan ingin menikah dari sekarang aja. Nanti kuliah Insya Allah gak Marsinah abaikan, kok. Setyo kan juga bisa bantu Marsinah nanti. Takutnya kalau Marsinah gak nikah-nikah, malah galau dan betulan jadi gak fokus kuliahnya. Takutnya Marsinah juga jatuh ke hal yang nda bener. Dan bisnis Marsinah juga untuk kebaikan Marsinah sendiri, kok. Supaya saat sudah lulus nanti Marsinah bisa perluas lagi bisnis Marsinah. Nanti perusahaan-perusahaan yang paman Mulyo tawarkan itu bisa aja loh Marsinah bantu investasi. Justru malah lebih menguntungkan perusahaan itu, daripada Marsinah sekadar jadi karyawan saja. Dan, Insyaallah, ini lebih bisa memberikan kontribusi bagi negara dan bangsa kita, Paman.”

Haduh, kamu ini kalau udah yang namanya kebelet nikah, ya. Ya wes lah, sudah Paman Mulyo bilangin berkali-kali gak kamu denger. Nanti Setyo suruh dateng aja ke sini, biar ngobrol sama Paman. Soal bisnismu nanti jangan sampai buat kamu kewalahan, yo, nduk. Yang penting kamu sudah dapet pesan Paman: selalu berikan kontribusi neng negara lan bangsa.”

“Baik Paman.”

Yey, dalam ucap hati Marsinah, riang gembira.

Mencoba Trans Jogja Pertama Kali, Sejak Delapan Tahun di Jogja

Apabila bukan karena aplikasi transportasi online yang minta di-update, sementara memori smartphone yang tidak mencukupi, mungkin sampai sekarang aku belum pernah merasakan naik bus Trans Jogja. Ini tahun ke delapanku sejak tinggal di Jogja untuk kuliah pada tahun 2012. Dan ya, baru tahun ke delapan aku mencoba Trans Jogja, salah satu alat transportasi publik vital di Jogja.

***

Setelah urusan mengirim barang melalui kargo bandara Adisutjipto selesai, aku menuju halte Trans Jogja (selanjutnya disebut Trans saja biar gampang). Pengiriman barang yang terlampau banyak membuatku meninggalkan motor di daerah jalan Urip Sumoharjo dan menggunakan transportasi online. 

Sialnya, setelah memesan mobil, aplikasi untuk memesan transportasi online itu minta untuk di-upgrade. Kenapa sial? Karena aku tahu smartphone-ku sudah tidak memiliki cukup memori untuk upgrade. Maka terpikirlah untuk mencoba Trans untuk pertama kalinya.

“Tiga ribu lima ratus, Mas,” kata petugas di dalam halte setelah aku mengucapkan tujuanku ke halte jalan Urip Sumoharjo. Tidak ada sapaan pertemuan apalagi senyum yang membuat nyaman. Hanya kalimat terkait tarif saja yang keluar.

Kondisi halte yang lebarnya kira-kira 10 x 2,5 meter itu cukup lengang. Sepertinya karena bukan jam kerja atau sekolah. Kala itu pukul 17.55 WIB. Masih ada beberapa kursi yang kosong. Semua orang tampak lelah dan tidak saling berbincang.

Pelayanan ini mengingatkanku pada pelayanan di kampus tempatku kuliah atau kampus tempatku kursus. Pelayanan terkait akademik berisi orang-orang tua yang senantiasa cemberut. Apabila bertanya sesuatu, dia balik bertanya dengan nada seolah kesal. 

“Coba kamu ke sana, coba kamu situ, temui bapak ini, temui ibu itu.” Seakan kita pengganggu yang harus segera dilenyapkan. Belum lagi jam kerja yang disambi sarapan.

Bukankah bekerja di pelayanan ada kriteria yang setidaknya dicukupi. Tidak perlu seramah pelayanan di kedai pizza, tapi juga jangan segalak saat kita bikin SIM (Surat Izin Mengemudi) dong. 

Setidaknya saling bekerja sama dengan menjalankan tugas dengan senyum, memberi informasi yang lengkap, dan tidak perlu marah-marah. Itu di kampus ya, bukan di Trans.

Trans pertama lewat, ada dua petugas yang berdiri. Satu petugas membacakan rute yang dilewati Trans dengan sangat cepat. Ya mirip-mirip lah sama battle rap. Misal Rich Brian di situ, mungkin dia akan tertantang dan langsung melawan si petugas halte. 

Merasa bingung harus naik atau tidak, aku memutuskan bertanya pada petugas lain yang membawa semacam catatan. “Ini ke jalan Urip Sumoharjo, Mbak?” Kataku. “Bukan Mas,” jawabnya.

Ada dua tujuan dari pertanyaan itu. Pertama untuk menanyakan arah Trans, kedua sebagai tanda apabila sudah ada Trans yang perlu aku naiki, aku akan diingatkan, kan dia sudah tahu tujuanku. Sayangnya tidak. Beberapa kali Trans lewat, tidak ada pengarahan sama sekali. Nama-nama rute juga membuatku cukup bingung.

Setelah pengamatan beberapa menit, ternyata memang tidak ada halte Urip Sumoharjo. Patokan rute tidak menggunakan nama jalan, tapi mayoritas menggunakan nama gedung di belakang halte. Misal kamu ingin menuju halte jalan si Urip itu, maka dengarkan baik-baik kalimat “halte LPP”, merujuk gedung Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) di belakang halte.

Belum sampai mendapatkan Trans, waktu salat maghrib tiba. Aku memutuskan untuk keluar halte dan menuju ke masjid. Bukan sok alim atau tepat waktu dalam salat, tapi kita tidak tahu kan sampai alamat butuh waktu berapa lama. 

Sekadar informasi, apabila menggunakan motor, dari bandara Adisutjipto ke jalan Urip sekitar 20 menit. Kita lihat nanti berapa lama perjalanan menggunakan Trans, tentu termasuk proses menunggu dan serangkaiannya.

***

Aku kembali duduk di salah satu kursi halte bandara. Penumpang yang menunggu sudah berkurang dan lebih sedikit dari sebelumnya. Trans masih sering lewat. Namun rute-rute yang disebutkan masih terasa asing. 

Beberapa menit kemudian baru lah rute yang agak familiar terdengar. Entah benar atau tidak aku langsung naik. Misalpun salah, setidaknya tidak terlalu jauh dari tujuan awal.

“Tidak usah pegangan, langsung masuk saja,” kata petugas di dalam Trans. Entah apa maksudnya. Yang jelas aku tidak jadi pegangan besi dekat pintu lantaran agak terguncang. Hanya ada sekitar sepuluh orang di dalam bus. Masih ada beberapa kursi yang kosong. Bisalah tiduran kalau kamu tidak tahu malu. Posisi kursi melingkar, mengikuti tepian bus.

Salah satu temanku pernah bilang, kalau suasana di dalam Trans cocok untuk melamun dan merenung. Dia suka melihat pergantian pemandangan dari jendela sembari mendengarkan musik. Apabila ramai, masih kata temanku, kita akan melihat orang-orang yang saling tolong-menolong, misalnya menawarkan tempat duduk. 

Sebuah ikatan sementara yang membuatnya merasa “awesome” katanya. Namun temanku yang lain membagikan pengalaman naik Trans dari Malioboro ke Condong Catur. Katanya ada jaminan kamu akan mabuk kendaraan. 

Benar juga sih. Bagi orang yang punya hobi melamun sepertiku, suasana malam Jogja dari dalam Trans memberikan perasaan yang berbeda. Seakan kita berada di dimensi lain dan merasakan semacam rindu. Entah rindu pada siapa dan di mana. Pernah dengar sebuah ungkapan apabila kamu merasa rindu tapi tidak jelas rindu kepada siapa, maka kamu sedang kesepian. 

Trans melewati beberapa halte yang tidak memberikan penumpang tambahan. Seringkali, setiap bus melewati halte, dan tidak ada penumpang yang hendak naik, maka petugas halte akan membuat tanda nol menggunakan tangannya (ya mirip lah seperti tanda okre ocre). 

Sebaliknya, petugas di dalam bus juga akan memberikan tanda pada petugas halte. Kala itu, petugas Trans menunjukan sepuluh jari tangannya. Sepertinya tanda apabila ada sepuluh orang di dalam Trans.

Apabila diperhatikan, tidak semua tempat terjangkau oleh Trans, atau setidaknya titiknya tidak merata. Sebut saja jalan Kaliurang yang sebenarnya sudah cukup ramai, ada kampus pula di jalan itu. Namun tidak ada rute Trans menuju jalan itu. Atau daerah Condong Catur yang cukup masuk. 

Hal ini menjadi penghambat bagi orang yang ingin menggunakan transportasi publik. Dia akan berjalan jauh (jauh banget sebenarnya) untuk sampai halte terdekat. Halte terdekat yang sangat jauh.

Belum lagi jam operasional Trans dari pukul 05.30 sampai pukul 21.30 WIB. Mengingat Jogja merupakan kota pendidikan dan hampir 24 jam ada aktivitas masyarakatnya, sistem jam kerja Trans tentu tidak relevan untuk menjadi pilihan utama. 

Itulah salah satu alasan transportasi online bak dewa yang bisa memecahkan salah satu masalah terkait transportasi di kota Jogja. Dia bisa datang sampai tempat penjemputan dan harganya jelas. Bandingkan dengan taksi konvensional, ojek pangkalan atau transportasi lain. Selain harga yang sering berubah (terutama hari liburan), perasaan aman dan nyaman juga jarang muncul.

***

Perjalanan berlanjut menyusuri kota Jogja. Jalan-jalan yang dilewati searah dengan rute yang aku tuju. Perasaan lega mulai muncul, “Berarti tidak salah Trans.” Saat Trans sedang melambat, misal hendak berhenti atau awal berjalan setelah lampu lalu lintas, supir Trans kadang memainkan smartphone-nya.

Saat diperhatikan lebih detail, dia sedang membuka aplikasi chat. Saat bus sudah mulai berjalan perlahan, dia masih sempat-sempatnya membalas chat. Kala itu entah chat pribadi atau obrolan dalam grup. Mencekam juga perjalananku.

Trans hampir sampai di halte tujuanku. “Halte LPP, halte LPP,” kata petugas di dalam bus yang senantiasa berdiri sepanjang perjalanan. Sesekali dia melakukan gerakan yang aneh. Meliuk ke kanan, meliuk ke kiri. 

Sepertinya semacam peregangan atas tubuh yang mulai pegal. Aku mendekat menuju pintu bus. Trans berhenti dan aku keluar dengan senang hati. “Pantesan orang jarang pakai Trans,” kataku di dalam hati sembari keluar.

Melihat jam di smartphone, waktu menunjukan sekitar pukul tujuh malam. Perjalanan yang seharusnya hanya ditempuh dalam 20 menit menjadi hampir satu jam. Tentu dengan serangkaian ditinggal salat, menunggu dan lainnya. Itu dalam keadaan yang sedang sepi, tidak terbayang saat sedang jam-jam sibuk, mungkin bisa lebih lama lagi.

Cobalah kamu sesekali naik Trans. Kamu akan tahu alasan orang jarang menggunakan transportasi publik di Jogja. Kecil kemungkinan apabila para otoritas yang berwenang tidak mampu untuk memperbaiki sistem. Di Jogja banyak orang cerdas atau konsen dalam hal transportasi publik. 

Apalagi banyak kampus kan. Banyak pihak yang bisa diajak berdiskusi atau semacamnya. Sepertinya bukan tidak mampu memperbaiki sistem, tapi tidak mau. Apabila pelayanan publik tidak efisien waktu, ramah, murah, dan mudah, tidak perlu banyak berharap masyarakat akan berpindah. Eh tapi kalau bagian murah si udah ya.