Beranda blog Halaman 45

Merawat Asa di Tengah Karut-Marut Sepak Bola Indonesia

0

Judul : Merawat Sepakbola Indonesia

Penulis : Fajar Junaedi, dkk

Penerbit : Fandom Indonesia

Tahun : 2019

Tebal : x + 192 halaman

ISBN : 978-602-52096-8-0

Dewasa ini, berbicara mengenai kemajuan sepak bola tentu tidak hanya berbicara perihal perbaikan teknis olah bolanya saja, ada berbagai aspek melingkupinya yang juga perlu diperbaiki.

Mulai dari pembangunan ekosistem industri yang baik, federasi yang sehat, tata kelola klub yang baik, pentingnya keterlibatan Pemerintah Daerah di beberapa kebijakan, dan upaya membuka kesadaran suporter bahwa mereka bukan hanya konsumen dalam sepak bola.

Melalui buku Merawat Sepakbola Indonesia, Fajar Junaedi dan dua puluh penulis lain mencoba menuliskan ulasan berkaitan dengan aspek-aspek tersebut. Yang justru tidak terfokus pada permainan sepak bola itu sendiri.

Dalam buku ini terdapat dua bagian, yaitu Kultur dan Asa. Dengan total 21 bab yang masing-masing ditulis oleh penulis berbeda. Hal ini membuat setiap bab memiliki gaya penulisan yang khas dan terkesan tidak membosankan saat dibaca.

Dalam bagian pertama, yaitu Kultur. Ada empat bab yang mengulas tentang sekelumit permasalahan sepak bola di level daerah. Yaitu di Kota Ponorogo, Madiun, Cirebon, dan Bekasi.

Kota yang jarang terdengar hingar-bingarnya di kancah sepak bola nasional tersebut ternyata memiliki sekelumit masalah yang cukup kompleks.

Mulai dari kepedulian masyarakat dan dukungan dari pemerintah daerah yang minim. Lalu dualisme yang terjadi dalam tubuh kepengurusan klub. Menjadikan daerah tersebut belum mampu berbicara banyak di kancah Sepak Bola Nasional.

Dengan dibalut penulisan yang apik dan jujur, sekelumit masalah ini berhasil membuat pembaca seakan ikut merasakan kebingungan dan kemarahan seperti yang dialami para suporter di kota tersebut.

Di sisi lain, keberanian para penulis dalam mengutarakan kebobrokan sepak bola daerah yang dibalut rasa emosional tinggi, secara tidak langsung telah menularkan semangat revolusi kepada suporter di daerah lain.

Beralih ke bagian Asa, di awal bagian ini kita akan bertemu dengan sekelumit hal lain yang terkadang menjadi benalu dalam tubuh Sepak Bola Indonesia. Yaitu hubungan antara Sepak Bola dan Politik.

Dalam bab berjudul “Merawat Sepakbola Indonesia dari Politik yang Berjerawat: Langkah Preventif Terhadap Janji Manis Politis”, penulis seolah berusaha membuka mata para pembaca untuk melihat busuknya politik yang masuk lalu menggerogoti sepak bola.

Sepak bola dan politik memang sulit dipisahkan, karena dua hal tersebut ibarat dua sisi mata uang logam yang akan terus berkelindan.

Faridhian Anshari memberikan beberapa catatan terkait langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah Dementor berwujud politik merasuki sepak bola.

Pertama, berupaya memisahkan aura politik dari sepak bola. Baik itu di ranah manajemen klub, maupun dalam internal kepengurusan suporter.

Lalu langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi kepada anggota suporter mengenai bahayanya menghubungkan politik dan sepak bola.

Dua langkah di atas perlu dilakukan. Karena hubungan politik dan sepak bola seringkali dianggap sebagai hal wajar dan berujung pada pengabaian karena dianggap dapat membantu finansial klub, dan memang terbukti beberapa klub maju setelah adanya campur tangan politik di dalamnya.

Tapi di lain sisi, hal itu tidak bisa berlangsung lama. Seperti kasus di beberapa kota, nafas klub yang disandarkan kepada elite politik akan mudah naik tapi juga mudah tenggelam. Bahkan dapat menghantarkan ke jurang degradasi setelahnya.

Dan hubungan politik dengan sepak bola yang dibiarkan dapat berbahaya di kemudian hari. Entah suporternya akan digunakan sebagai alat untuk menggapai tujuan terselubung para elit politik, ataupun klub yang bisa ditinggal kapan saja saat tujuan sudah terpenuhi.

Dapat disimpulkan, bahwa dari hubungan kedua elemen tersebut, sepak bola yang akan selalu terkena imbas buruknya.

Sedikit melangkah ke permasalahan di level nasional. “Naturalisasi, Buah Simalakama Sepakbola Indonesia?” sebuah judul sekaligus pertanyaan yang diajukan oleh Rijal Fahmi seorang pria kelahiran Gresik.

Tentu naturalisasi pemain ada dampak baik dan buruknya. Namun naturalisasi biasanya hanya dijadikan sebagai jalan pintas untuk meraih prestasi secara instan.

Pada akhirnya, naturalisasi akan mengesampingkan pembinaan usia muda dan lupa untuk membenahi faktor penunjang lain. Seperti menggelar liga yang sehat dari level junior hingga senior, program yang jelas, dan perbaikan fasilitas.

Karena jika beberapa hal penunjang tersebut dijalankan dengan baik, tentu akan mempunyai dampak positif lebih besar terhadap prestasi sepak bola nasional di masa mendatang.

Namun, berbicara perihal nasib masa depan Sepak Bola Indonesia tentu tidak harus menunggu gerak PSSI selaku federasi. Karena selama ini, penggemar acap kali dibuat kecewa karena itu.

Ada hal yang bisa dilakukan oleh semua kalangan yang merasa memiliki, mencintai, dan peduli terhadap masa depan sepak bola Indonesia melalui perannya masing-masing.

Seperti dalam bab berjudul “Eksistensi Apparel Lokal di Indonesia: Antara Kebanggaan dan Konsistensi” tulisan Awal Ramadhan.

Melalui perannya, Apparel lokal coba meningkatkan kualitas jersey agar dapat menambah kepercayaan diri serta kenyamanan untuk meningkatkan performa pemain dalam lapangan.

Sehingga, mereka mampu bersaing dengan apparel luar dan dapat meyakinkan ke beberapa klub di Indonesia untuk mengenakan jersey dengan merek lokal.

Dengan menggunakan merek lokal, akan timbul simbiosis mutualisme antara apparel dan klub. Selain harga yang relatif masuk akal sehingga dapat menghemat anggaran belanja klub.

Hal tersebut turut mendukung perkembangan ekosistem industri yang baik di Sepak Bola Indonesia.

Dalam bab terakhir, tulisan berjudul “Mewujudkan PSS Menjadi Klub Profesional”, seolah-olah menunjukan eksistensi dan peran suporter bahwa kehadiran mereka tidak hanya sebagai konsumen dalam sepak bola.

Melalui delapan tuntutan, Brigata Curva Sud atau yang biasa dikenal dengan sebutan BCS berupaya menjadikan PSS Sleman sebagai klub profesional di berbagai lini.

Mulai dari mengkritisi para Sumber Daya Manusia (SDM) yang berperan ganda dalam tubuh kepengurusan PSS Sleman, menuntut adanya program pembinaan dan akademi usia muda, hingga menagih Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam tubuh perusahaan.

BCS tak hanya lewat unjuk rasa dalam menyampaikan delapan tuntutan tersebut, mereka melakukan boikot pertandingan dan melakukan gerakan yang masif di media sosial.

Upaya yang dilakukan BCS adalah contoh perbaikan ekosistem dan keprofesionalan dalam sepak bola daerah, yang dapat dilakukan oleh kalangan suporter.

Contoh lain upaya suporter dalam mendukung iklim sepak bola yang baik di level daerah adalah yang dilakukan oleh Pasoepati, suporter loyal Persis Solo.

Melalui PFA (Pasoepati Football Academy), Pasoepati mencoba turut berperan dalam pembangunan sepak bola daerah, dengan fokus pembinaan usia muda.

Hal ini tentu akan bermuara pada tim kebanggaan mereka, Persis Solo. Yang secara khusus tidak akan kehabisan stok pemain berbakat dan secara umum PFA akan mendukung regenerasi pemain di Sepak Bola Indonesia di masa mendatang.

Dua contoh di atas perlu dilakukan oleh kalangan suporter di daerah lain. Karena pembenahan harus dimulai dari level terendah, baik kota maupun kabupaten.

Tak hanya itu, kemajuan di beberapa aspek pendukung sepak bola seperti yang saya tuliskan di atas, seperti perkembangan apparel lokal pun harus dilakukan.

Bagaimana pun, iklim sepak bola daerah dan aspek-aspek pelingkup yang baik akan bermuara pada kebaikan sepak bola di level nasional.

Dan melalui Buku Merawat Sepakbola Indonesia, merupakan bukti nyata sumbangsih masyarakat dengan turut menyemarakkan literasi bertema sepak bola.

Para penulis coba merawat sejarah, mengkritisi kebijakan di level daerah maupun nasional, membagikan asa, serta memberikan edukasi bagi seluruh pelaku sepak bola di Indonesia.

Namun, masih ada kekurangan dalam buku ini. Seperti penulisan yang seringkali tipo sehingga mengurangi kenyamanan pembaca saat menyelami topik demi topik.

Lalu isinya pun masih terbatas. Belum bisa mencakup banyak kabar dari sepak bola di berbagai daerah Indonesia.

Dengan itu, harapannya akan lahir Buku Merawat Sepakbola Indonesia edisi selanjutnya dengan membahas daerah lain di Indonesia yang tentu di setiap wilayah akan mempunyai ciri khas dan permasalahan berbeda.

Karena secara tidak langsung, perkembangan literasi sepak bola melalui penerbitan buku-buku bertema sepak bola semacam ini akan menjembatani terwujudnya ekosistem sepak bola yang baik. Salam!

Little Women: Pernikahan Bukan Sekadar Menaikkan Ekonomi Keluarga

Judul: Little Women

Genre: Drama, Percintaan

Sutradara: Greta Gerwig

Durasi: 135 Menit

Pertama kali melihat cuplikan film Little Women, kesan pertama saya tentu saja tidak jauh dari kata feminis dengan latar waktu kuno di Barat sana. Benar saja, ternyata film ini adaptasi novel klasik karya Louisa May Alcott sejak 1868. Penyajian yang apik oleh Greta Gerwig berhasil membawa Little Women meraih enam nominasi Piala Oscar 2020. 

Disambut latar waktu natal penuh kehangatan keluarga, cerita ini sebagian besar menyuguhkan konflik keluarga serta perdebatan empat remaja perempuan menuju dewasanya. 

Jo March merupakan tokoh utamanya. Ia merupakan anak kedua keluarga March yang penuh semangat menjadi seorang penulis. Kakaknya, Meg, sosok yang selalu Jo ingatkan untuk bisa meraih cita-citanya menjadi aktris opera ditengah keadaan keluarga yang tak seberuntung bibinya. 

Putri ketiga March, Beth sangatlah baik hati, lemah lembut, serta pianis terbaik keluarga. Terakhir, anak bungsu March, Amy, membawa sifat manja dan egois namun tak patah arang menjadi seorang pelukis. 

Sejak awal cerita saya menyukai Jo. Tanpa saya duga, Jo dengan lantang mengatakan “Aku tidak suka menjadi perempuan.” Frasa yang cukup menggambarkan bagaimana dirinya dan ketiga saudaranya dibesarkan dalam lingkungan yang merepresi peran wanita. 

Saat novel tersebut dibuat, gerakan dan ideologi yang bernafaskan feminis tentu saja belum muncul, mengingat kata feminisme baru diperkenalkan pertama kali pada 1872. Tokoh Jo telah melampaui pemikiran gadis pada masanya kala itu. Jika saja novel tersebut muncul beberapa tahun kemudian, Jo tentulah akan dicap seorang feminis sembari membakar pergerakan yang ada. 

Jo menentang pernikahan. Baginya, menikah akan menghancurkan mimpi-mimpi yang telah ia susun. Jo memegang teguh dengan kuat hingga ia menyadari masanya bahwa pernikahan tidak seburuk itu. 

Menikah dengan lelaki kaya adalah jalan keluar seorang wanita untuk menikmati kehidupan glamour serta membantu keluarganya terlilit belenggu ekonomi pas-pasan. Setidaknya itu yang diyakini oleh Bibi March. Seorang wanita kaya yang memiliki obsesi menikahkan salah satu putri March dengan lelaki bangsawan, beradab, dan tentunya bergelimang harta. 

Jo menjadi kesayangan bibi March. Jo pun selalu mengikuti arahan bibinya itu. Bukan berarti ia menyetujui pendapat bibinya itu, namun semua ia lakukan semata-mata agar bisa berkeliling Eropa bersama bibi March menjadi penulis terkenal.  

Nahas, hanya karena Jo memotong rambutnya untuk dijual demi mendapatkan dolar membiayai Ibunya pergi guna merawat ayahnya yang sakit setelah berperang, bibi March membuangnya. Rambut adalah mahkota. Rambut panjang menandakan status sosial wanita yang tinggi pula kala itu.

Bagaimana seorang wanita akan terlihat anggun, berkelas, dan cukup menarik dihadapan lelaki bangsawan jika rambutnya terpotong cepak. Mungkin begitu yang ada dalam otak bibi March ini.

Lucunya, wejangan menikahi orang kaya dari bibi March masih kita temukan hari ini. 19 Februari 2020 lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy memberikan saran kepada Menteri Agama, Fachrul Razi untuk mengeluarkan fatwa warga kaya menikahi warga miskin.

Dalih ekonomi kembali menjadi alasan serta beliau mengamati fenomena kecenderungan seseorang menikah dengan pasangan yang ekonominya setara. 

Jika saja Jo March tidak hanya tokoh fiksi, ia pasti telah menjadi aktivis garda terdepan masyarakat Indonesia yang menentang pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode lalu tersebut. 

Jo tidak akan rela mempercantik fisiknya hanya untuk dinikahi lelaki konglomerat. Fisik seorang wanita bukan sebuah komoditas ekonomi, fisik wanita adalah harga diri, kualitas, serta kekuatan dirinya.

Dalam film Little Women, lambat laun diceritakan kehidupan empat gadis itu menuju dewasa. Tentu saja dunia semakin kompleks dibarengi perpecahan dalam rumahnya. 

Beth, pianis berbakat itu jatuh sakit. Bertahun-tahun ia menghadapi penyakit demam berdarah, hingga suatu ketika ia menjadi orang pertama yang pergi meninggalkan rumah untuk selama-lamanya.

Tak lama setelah itu, Meg memutuskan menikah bersama John, seorang pengajar di rumah tetangganya, Laurie. Menentang prinsip Bibi March, Meg tidak menikahi seorang pria kaya. Untuk menjahit sebuah kain sutra saja, John tidak bisa menghidupi Meg. 

Sebelum pemberkatan pernikahan, Jo memohon kepada Meg untuk memertimbangkan kembali keputusannya. Tapi Meg dengan halus mengatakan pernikahan adalah kebahagiaannya. Meg meyakinkan Jo jika mimpinya bisa ia raih suatu saat nanti bersama John. Pernikahan tidak akan membuatnya berhenti menginjak panggung opera suatu saat ini. 

Sama seperti Jo, saya pun yakin dari penggalan film di atas. Jika Meg hidup di Indonesia sekarang, Meg akan menentang pernyataan Bapak Muhadjir Effendy. 

Pernikahan bukan hanya sekadar masalah ekonomi, rasa sayang antar pasangan adalah yang utama. Meg dengan senang hati akan membangkang nasihat itu sebagaimana Ia yang tak mengindahkan anjuran Bibi March. 

Niscaya, kemiskinan yang melilit keluarga March, pun dirinya, akan menghilang dengan pernikahan berlandaskan cinta dan cita. Menikahnya Meg ialah awal perjuangan menjemput kemakmuran tanpa perlu menjadi parasit kepada salah satunya. 

Mendekati akhir cerita, Amy yang sejak awal beradu menandingi Jo menjadi pusat perhatian, mendapatkan tempat. Akhirnya bibi March memilih Amy berkeliling Eropa bersamanya dan mengembangkan sayap menjadi seorang pelukis. 

Amy tumbuh meninggalkan keluarga sederhananya, menjadi sosok wanita bangsawan yang patuh kepada bibinya. Tak hanya itu, Amy mendapatkan Laurie, tetangga sekaligus lelaki yang ia cintai sejak remaja. Mendapatkan cinta Laurie tidak semudah membalikkan tangan bagi Amy. 

Laurie tak pernah memandang Amy, ia hanya melihat Jo. Kala itu hanya tertinggal Jo dan Ibunya di rumah. Kesempatan ini diambil Laurie untuk menyatakan cintanya serta mengajaknya menikah.  Dengan prinsipnya yang kuat, Jo menolak Laurie seketika. Jo tidak ingin menikah. 

Jo yakin mampu menghidupi dirinya sendiri. Pernikahan ia yakini hanya akan menghambatnya meraih mimpi. Hingga akhirnya Laurie benar-benar meninggalkan Jo menuju Eropa menyusul Amy. 

Lambat laun, Jo merasa kesepian. Titik itulah ia menyadari kebenaran ucapan Meg. Pernikahan masih ia butuhkan. Ia berusaha meraih Laurie kembali. Namun terlambat, Amy telah dipinang Laurie kala itu. 

Seorang rekan kerja Jo, Friedrich, di akhir cerita secara mengejutkan menjadi penutup manis akhir kisah Little Woman ini. Jo memilih bersama Friedrich dan membuat cerita berakhir happy ending sesuai keinginan pasar katanya.  

Saya merasa tokoh Amy yang memiliki perangai manja, terkesan lebih mementingkan penampilan dibanding saudaranya. Amy akan melakukan hal apapun demi mencapai mimpinya, termasuk mengikuti saran bibi March menikahi laki-laki kaya raya, nyatanya masih memiliki jiwa feminis dan dewasa. 

Sebelum menikah dengan Laurie, Amy dekat dengan bangsawan Eropa, Fred Vaughn. Ia dekat pun karena mematuhi saran bibinya. Mendekati hari lamarannya, perangai buruk lelaki itu semakin terlihat. Amy menerima perlakuan buruk itu demi menyukseskan ambisinya. 

Lambat laun, saat Laurie mulai mendekati Amy, ia tersadar. Ia merasa akan lebih bahagia saat semua tidak dipaksakan. Sama seperti Meg, perasaan cinta yang telah ia pupuk sejak remaja kepada Laurie mengalahkan hasrat ambisi menikahi bangsawan. 

Sejatinya Jo juga tidak pernah merubah prinsipnya. Entah ia menikah atau tidak, prinsipnya ialah menjadi mandiri, berambisi penuh meraih cita-cita, tanpa mau direpotkan dengan stigma masyarakat yang ada.

Jo menikah bukan untuk mendapatkan harta. Bukan pula untuk berpangku tangan kepada penghasilan suaminya. Ia menikah untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Mencari teman untuk berjalan bersama menyusuri setiap mimpi yang akan ia raih.

Jo sejak awal menentang pernikahan karena ia ingin membuktikan seorang perempuan mampu menaikkan derajat keluarganya sendiri. Ia ingin mengaktualisasikan diri sepenuhnya, dipandang, dan dihormati secara utuh. 

Jika dia tidak mampu menopang ekonomi keluarganya, itu karena ia tidak diberikan kesempatan untuk berkarya secara optimal, bukan karena ia perempuan. 

Menikahi bangsawan kaya memang ampuh untuk menaikkan ekonomi keluarga. Tak perlu susah payah berpikir dan mengorbankan waktu bekerja keras, semuanya tiba-tiba akan membaik. 

Namun, menikahi lelaki kaya tidak akan menaikkan value seorang perempuan dan menjadikannya berdiri di atas dirinya sendiri. Sebaliknya, ia akan terus-menerus bergantung tanpa tau cara bertahan dan tentu saja bisa terhuyung cepat.

Indonesia Belum Layak Menyandang Status Negara Maju

Sejak 10 februari 2020 lalu, United State Trade Representative (USTR) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dalam organisasi perdagangan dunia. Namun status negara maju tersebut malah membuat beban bagi pebisnis lokal. 

Sebagian pebisnis seperti Sarman Simanjorang selaku ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia dan Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menanggapi status tersebut banyak merugikan sektor dagang indonesia. Dicabutnya berbagai hak istimewa yang selama ini melekat pada Indonesia seperti bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor impor dianggap sangat merugikan. 

Selain itu konsideran yang dipakai untuk mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang masih dianggap tidak relevan dalam ukuran ekonomi. Dapat dilihat dari Gross Domestic Product (GDP) Per kapita yang terakhir dirilis oleh Bank dunia, GDP per kapita Indonesia masih di angka $3.893,60 per tahun sedangkan negara maju minimal berada pada $8.000,00 per tahun. 

Dalam hal ini gini rasio Indonesia pun masih keteteran. Terlihat data rasio gini Indonesia terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih berada pada angka 0,38 yang menggambarkan kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” di Indonesia masih sangatlah tinggi. kedua Hal tersebut menjadi tolak ukur bahwa Indonesia belum layak dikatakan sebagai negara maju.  

Indonesia bersama dengan Tiongkok, India dan beberapa negara lainnya yang dicabut statusnya dari negara berkembang. Dalam beberapa pernyataan yang disampaikan USTR,  beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dihapuskannya status tersebut adalah keterlibatan negara tersebut sebagai anggota G20. Kebijakan Bank Dunia pun juga ikut andil yaitu dalam penetapan ambang batas atas oleh Bank Dunia dengan negara berpenghasilan tinggi dan negara berpenghasilan rendah. 

Bukan hanya Amerika Serikat, status negara maju Indonesia juga masih dianggap suatu hal yang positif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pencabutan Indonesia dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bukan suatu masalah. Malahan, hal itu dinilainya membanggakan karena Indonesia bisa berada di status negara maju, meski dalam versi AS..

Bukan hanya Airlangga Hartarto sebagian kalangan masyarakat juga berpendapat demikian, mereka menanggapi status tersebut merupakan cerminan kuatnya perekonomian Indonesia yang sekarang sejajar statusnya dengan negara maju seperti Amerika Serikat. 

Mereka juga menganggap dengan status tersebut menjadi suatu kelebihan dalam hal berdiplomasi dan martabat suatu bangsa. Namun, status hanyalah status, di tengah perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat ini tentunya kebijakan  tersebut diambil bukan tanpa perhitungan. 

Ajib Hamdani selaku ketua Himpunan Pengusaha Muda  Indonesia sepakat menilai Kebijakan tersebut dilatarbelakangi untuk memperbaiki neraca dagang Amerika Serikat yang beberapa tahun belakangan ini selalu defisit saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi Indonesia (04/02/20). 

Pada tahun 2019 dikutip dari News Research Center (NRC) neraca dagang Indonesia dan Amerika Serikat selalu mengalami defisit. Penjualan Indonesia ke Amerika Serikat berkisar $17,72 miliar dan pembelian Indonesia dari Amerika Serikat hanya $9,26 miliar. 

Bila ditotal, surplus Indonesia berkisar $8,46 miliar. Hal tersebut tentulah menguntungkan bagi Indonesia dengan angka surplus yang begitu besar. Namun, di bawah kepemimpinan presiden Donald Trump keuntungan tersebut bukan hal yang baik untuk perdagangan Amerika Serikat. 

Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus mengusulkan Indonesia mendeklarasikan penolakan terhadap pencabutan status negara berkembang. Jika tidak, dikhawatirkan akan ada dampak berkelanjutan dari pencabutan status ini. 

Sebagian pebisnis lainnya juga mengharapkan pemerintah menegosiasi ulang terkait kebijakan tersebut. Banyaknya beban tanggungan setelah kehilangan Generalized System of Preferences (GSP) yaitu bea masuk rendah untuk ekspor tujuan Amerika Serikat sehingga membuat ekspor Indonesia kalah bersaing dari negara seperti Thailand, Vietnam dan Malaysia. 

Hal itu juga senada dengan yang diutarakan oleh Sarman Simanjorang selaku ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. “Dari sisi bisnis mereka ini adalah politik dagang nanti Amerika Serikat itu mampu melakukan intervensi, proteksi dari barang impor baik dari Tiongkok maupun Indonesia, mereka mungkin sesukanya menaikan tarif ini akan menjadi tantangan bagi kita,” ucap Sarman saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi swasta. 

Indonesia memang menargetkan menjadi negara maju pada tahun 2045 selaras dengan awal Pidato kenegaraan pertama Presiden Jokowi periode kedua, “Mimpi kita, cita-cita kita di tahun 2045 pada satu abad Indonesia merdeka mestinya, Insya Allah, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah,” kata Jokowi.

“Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama,” imbuh Jokowi di Gedung MOR, Minggu (20/10/19).

Dengan target ini, GDP nasional bisa mencapai $7,4 triliun atau menempati lima besar di dunia. Namun siapa sangka mimpi 2045 itu sudah datang duluan, gini rasio masih di angka 0,38 dan GDP per kapita yang masih $3.800,00 telah dianggap oleh Amerika Serikat sebagai negara maju. 

Namun sebelum berangan-angan jauh menjadi negara maju parameter pembangunan sosial seperti angka kematian bayi dan tingkat harapan hidup juga harus ditingkatkan. Utamanya adalah tingkat kemiskinan. 

Berdasarkan data dari Katadata (08/10/19), penduduk dengan Tingkat kemiskinan di perdesaan non metro sebesar 14,6%, sedangkan masyarakat yang mengalami rentan kemiskinan mencapai 27,9%. Angka kemiskinan tertinggi selanjutnya terdapat di perkotaan non metro, yaitu tingkat kemiskinan sebesar 11,4% dan rentan kemiskinan sebesar 26,1%.

Bersamaan dengan status negara maju ini Indonesia harus bersiap-siap. Setidaknya untuk beberapa bulan ke depan para pebisnis dan pemerintah dapat melakukan langkah strategis yang tepat. Satu di antaranya adalah memperluas ekspor dari negara selain Amerika Serikat. 

Inovasi dan kualitas kontrol juga menjadi kunci kekuatan ekspor Indonesia. Dengan kualitas yang terjaga dan inovasi yang baik diharapkan tetap dapat mempertahankan minat beli  barang dagang Indonesia di pasar global.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Sepasang Telinga

0

Sejak lahir, aku dianugerahi kemampuan mendengar banyak hal. Berbeda dengan orang kebanyakan, aku dapat mendengar celotehan para semut. Aku mendengar percakapan pepohonan tentang musim kemarau yang terlalu panjang. 

Bahkan aku sanggup mendengar pembicaraan dua janin kembar dalam kandungan seorang perempuan. Aku juga mendengar keluhan dedaunan sebelum pepohonan meranggas. Aku mendengar rasa khawatir air danau yang tercemar limbah.

Aku mendengar semuanya. Tanpa kecuali.

Pernah, kuceritakan hal ini kepada beberapa orang kawan. Tentu saja mereka tertawa sementara yang lainnya menganggap aku sinting. Aku melihat dua ekor ulat bulu, mendengar ocehannya sepanjang hari tentang siapa diantara mereka yang kelak terlahir menjadi kupu-kupu paling cantik. Sejak saat itu, aku putuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun.

Hingga pada suatu ketika, datanglah segerombolan orang menemuiku. Setelah berbincang-bincang dengan berbagai cara yang cukup sulit dimengerti oleh kebanyakan manusia, barulah aku tahu maksud kedatangan mereka. 

Aku ditawarkan untuk masuk ke panti asuhan. Kata mereka, di sana aku akan diajarkan banyak hal. Salah satunya yakni bagaimana cara yang paling tepat untuk mendengar. 

Menyadari hal ini, bukan main girang hatiku. Tanpa membuat pertimbangan lagi, kuputuskan untuk mengikuti mereka ke sana. 

Betapa kagetnya aku karena di panti asuhan itu terdapat begitu banyak orang sepertiku. Maksudnya, mereka yang dikategorikan cacat fisik. 

Ada pria dewasa yang tidak memiliki kaki namun mampu melakukan banyak hal. Ada juga remaja putri yang buta matanya tetapi sanggup berjalan ke mana saja tanpa menggunakan alat bantu seperti tongkat. Juga ada pula lelaki tua yang tidak bisa berbicara sejak lahir namun cakap dalam membahas segala sesuatu. 

Singkat cerita, entah bagaimana caranya, mereka sangat kreatif dan melakukan apapun dengan begitu bersemangat. Selain itu, mereka suka bekerja sambil tertawa atau tersenyum tanpa alasan. Selama beberapa minggu di panti asuhan, inilah alasan yang membuat aku kerasan.

Meskipun demikian, aku membenci sesuatu. Semua kami dikelompokkan berdasarkan kebutuhan masing-masing. Tentu saja aku tulis kata ‘kebutuhan’ dalam arti yang mereka maksudkan. 

Bersama dua belas orang lainnya, aku dimasukkan ke dalam kelompok tunarungu. Kelompok ini terkenal paling gemar berbicara tanpa tahu siapa yang sanggup mendengar. 

Mungkin karena alasan itulah, kami diajarkan berkomunikasi dengan cara yang ganjil dan paling aku benci. Mereka menyebut hal itu sebagai bahasa isyarat. 

Maksudnya, mereka mengajarkan kami berkomunikasi dengan menggunakan jari-jari tangan. Pernah, aku berusaha semaksimal mungkin bahkan nyaris hampir gila untuk mengerti apa yang mereka sampaikan. Celakanya, aku tidak mengerti apa-apa dan menertawai ketololanku itu. 

Sederhana saja alasanku. Seumur hidup, aku belum pernah menyaksikan jari-jari tangan manusia berbicara.

Dilanda kesengsaraan yang begitu hebat karena tinggal di sana, aku putuskan untuk melarikan diri. Setelah berpamitan dengan beberapa kawan yang sudah aku anggap sebagai sahabat, aku lalu meninggalkan tempat tersebut. 

Di jalan, aku berhenti sejenak di lampu merah . Berjejer kendaraan bertumpuk-tumpuk seperti ular tangga. Kusaksikan ratusan pengendara menunjukkan raut wajah yang begitu letih seperti baru saja dihajar habis-habisan oleh pekerjaan dan rasa gelisah. Tampak mulut beberapa orang komat-kamit, tenggelam di dalam bunyi pacuan hasrat minta didahulukan. 

Sementara itu, isi kepala mereka bukan main ributnya. Keributan itu membuat kepalaku mendadak pening. Jika tidak kutinggalkan tempat itu dengan segera, mungkin aku bisa pingsan di sana. Sambil memijat kepalaku, dengan susah payah kutinggalkan tempat paling macet di dunia itu.

Dalam perjalanan, secara tak sengaja aku melihat sebuah rumah ibadah. Didorong oleh rasa penasaran, aku melangkah masuk. Sesaat sebelum kakiku mencapai pintu, kepalaku kembali pusing. Aku paksakan saja melangkah masuk dan memilih tempat duduk paling depan.

Kulemparkan pandanganku ke seisi ruangan. Semua kepala tertunduk. Mulut mereka bungkam. Tetapi aku begitu heran, mengapa aku mendengar begitu banyak suara? 

Dilanda kebingungan yang luar biasa, aku tinggalkan tempat itu. Rupanya beberapa manusia sekarang semakin aneh. Ketika berdoa, mereka sanggup berbicara tanpa membuka mulutnya.

Setelah meninggalkan rumah ibadah, aku berjalan menuju pusat kota. Di tengah keramaian aku melihat seorang pemuda. Dari cerita-cerita yang kudengar dan beberapa selebaran yang kubaca, ia seorang tabib. 

Bersamanya ada segerombolan orang ikut serta. Pemuda dan gerombolan itu berhenti sebentar di sebuah bangunan tua. Beberapa menit kemudian, pemuda itu lalu berbicara, sementara puluhan orang lainnya duduk di tanah membentuk sebuah lingkaran. 

Melihat itu, tanpa berpikir panjang, kuberanikan diri menerobos kerumunan itu dan tersungkur di kakinya. “Aku ingin mendengar,” kataku padanya. Ia menghentikan pengajarannya sejenak dan menatap mataku.

“Apa yang ingin kamu dengar?”

“Bahasa manusia,” jawabku singkat, sesaat sebelum aku merasa bingung dengan permintaanku sendiri. Mendengar itu, beberapa orang tampak tertawa.

“Apakah kamu yakin?”

“Tidak ada keragu-raguan yang cukup tangguh di dalam permintaan ini.”

Sampai di situ, aku hilang akal. Bagaimana aku bisa mendengar dan bercakap-cakap dengan orang ini padahal tidak pernah sekalipun ia membuka mulutnya?

“Aku mendengarmu,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kaget bukan main. 

Pemuda itu lalu menyentuh kedua telingaku dengan tangannya. Tepat ketika ia menarik kembali tangannya, aku mendengar bunyi ribut-ribut.

“Imanmu telah menyelamatkan engkau,” katanya sambil berjalan pergi. 

Untuk beberapa saat, aku bergeming sambil menyaksikan kepergiannya dengan hati yang kalut. Lamat-lamat, aku mendengar keributan yang luar biasa hebat. Setelah meneliti secara saksama keadaan sekitar, barulah aku sadar ternyata aku berada di tengah-tengah pasar.

Dua bulan kemudian, tersiar kabar menggemparkan. Pemuda itu mati dibunuh dengan cara digantung di atas salib. Dahulu, ketika bertemu, ingin rasanya kuperingatkan dia. Aku pernah mendengar rencana pembunuhan itu sebelumnya. 

Sayangnya, setelah telingaku sembuh, aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi, termasuk bagaimana kelanjutan rencana pembunuhan itu. Telingaku terlalu kecil untuk menampung begitu banyak hal yang dibicarakan orang.

Diam-diam aku merasa sedih karena telah terlanjur dapat mendengar. Rasanya telingaku mulai memanas. Aku tidak sanggup mendengar terlalu banyak keluhan. Di mana-mana orang mengumbar bualan dan omong kosong. Bahkan terkadang telingaku diserang gatal-gatal ketika berhadapan dengan caci maki dan ujaran kebencian. 

Hingga pada suatu hari, aku ambil sebuah belati. Kulepaskan belati itu dari sarungnya dan kutatap kilaunya. Sebuah sinar kebebasan memancari mataku sesaat sebelum kupenggal sepasang telingaku sendiri. 

Darah semerah kunyahan pinang menetes di sekujur tubuhku. Meskipun demikian, aku sama sekali tidak merasa sakit. Luka bekas sayatan belati rupanya tidak seberapa dibandingkan dengan hatiku yang mulai merasa damai. 

Bukan main girangnya hatiku saat itu. Aku tidak lagi mendengar apa-apa selain sebuah keheningan yang teramat agung. Hingga beberapa saat menjelang, terdengar sebuah suara datang dari kejauhan entah dari mana. 

Suara itu semakin jelas terdengar dan menjelma keributan yang luar biasa. Kulemparkan pandangan ke sekitar berharap menemukan orang yang sedang bercakap-cakap. Tidak ada siapa-siapa selain diriku sendiri. 

Setelah hampir dibuat nanar dengan fenomena ganjil ini, barulah aku tahu. Suara ribut itu justru berasal dari dalam kepalaku sendiri. Aku mengerling sebentar pada belati yang masih bersimbah darah. Sekali lagi kutatap kilaunya secara saksama. Aku tahu apa yang harus kuperbuat selanjutnya.

Kota Kenangan

0

Pada tanggal yang sudah saya lupa (mengingat dalam kisah ini, hari dan tanggal seolah telah mati), Pimpinan tertinggi Serikat Sabda Allah di Roma mengeluarkan sebuah surat. Sejak menjadi seorang biarawan SVD (Societas Verbi Divini), belum pernah saya mendapat surat seperti itu. Kekagetan saya memuncak ketika pada surat tersebut ditulis bahwa saya dipindah tugaskan ke Indonesia. 

Meskipun kaget dan takut, saya akhirnya menerima dengan hati yang lapang. Selain menekankan aspek kemurnian dan kemiskinan, menjadi seorang pastor dalam kongregasi tersebut juga berarti harus taat. 

Sebagai manusia biasa, saya khawatir luar biasa. Alasan terkuat yang menyebabkan saya belum berani tinggal di negara dengan bendera kebangsaan berwarna merah putih itu yakni: Pertama, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, dalam masa-masa ini, negara tersebut sedang dalam situasi pergolakan.

Sebagai orang Belanda, otomatis saya tentu dimusuhi. Apalagi dalam kondisi demikian, di mata masyarakat Indonesia, bangsa Belanda dimeterai sebagai penjajah dan musuh kelas wahid yang mesti diusir atau dibasmi sampai ke akarnya.

Atas pertimbangan serasional mungkin, saya akhirnya memutuskan pergi ke Indonesia. Beberapa tahun hidup di negara tersebut, saya seperti menemukan alasan di mana hati saya mulai tertambat. 

Kota itu tidak terlalu besar. Letaknya di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduknya bertani atau bekerja di ladang, selain beberapa yang melaut sebagai nelayan. Jumlah pegawai yang bekerja di perkantoran pun tidak terlalu banyak. Mungkin bisa dihitung dengan jari. 

Dengan kata lain, kota itu lebih mirip sebuah desa. Karena tuntutan administratif beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1958 disebut sebagai kota kabupaten. 

Hingga pada suatu hari, tepatnya pada bulan Februari 1934, datanglah sebuah kapal yang beberapa saat kemudian dikenal dengan nama Jan van Riebeeck. Tiang setinggi empat meter tertanam di buritan. Pada ujung tiang itu, tersemat sebuah kain yang mengingatkan saya pada Negeri Tulip, daerah di mana saya berasal. 

Karena tinggal di sebuah kamar yang terletak di ketinggian pada sebuah bukit, cukup mudah bagi saya mengawasi pemandangan lautan atau deretan rumah penduduk yang berjejer tak beraturan di bawah kaki Gunung Meja. 

Lima belas menit kemudian, kapal itu bersandar di dermaga. Sekitar lima kilometer jarak antara tempat saya tinggal dan dermaga tersebut. Rakyat Ende lebih mengenal tempat ini sebagai Biara Santo Yoseph. 

Letaknya bersisian dengan sebuah Gereja Katedral milik para pastor diosesan. Dimana pada hari Minggu, umat Katolik yang hendak merayakan Ekaristi berkumpul, membuat halaman Katedral dipenuhi ribuan manusia. 

Menjelang senja, pada hari yang sudah saya lupa, pintu kamar saya diketuk. Belum sempat bertanya tentang siapa yang datang, terdengar sebuah suara asing di sisi luar pintu dengan aksen bahasa Belanda yang cukup fasih.

Awalnya saya cukup kaget ketika menyaksikan sosok seorang yang berdiri di luar. Pemuda yang saya taksir berusia sekitar 30-an tahun itu berpakaian begitu rapi, tidak seperti masyarakat asli daerah ini. Ia mengenakan setelan jas berwarna putih pucat dengan menggenggam sebuah tongkat pada bagian kanan tangannya. 

Setelah memperkenalkan diri masing-masing, kami lalu duduk bercakap-cakap dalam bahasa Belanda yang canggung. Pertama-tama, ia menjelaskan alasan utama kedatangannya ke Ende dan bagaimana kondisi tempat tinggalnya di sisi barat daerah tersebut. 

Menurut dia, warga di Ende begitu ramah dan mudah diajak kerja sama. Selanjutnya, topik pembicaraan kami beralih pada konstelasi politik di Indonesia khususnya pemetaan kekuasaan adat di wilayah Ende. Dari penuturannya, menurut saya orang ini cukup cerdas mengingat meskipun belum lama berada di wilayah ini tetapi pemahamannya tidak bisa dianggap remeh. 

“Pantas saja orang ini dinobatkan sebagai pemimpin berjiwa revolusioner.” Saya bergumam dalam hati seolah-olah sedang meyakinkan diri sendiri. Pemuda itu lalu pamit pulang ketika hari hampir gelap. 

Setelah hari itu, sesering mungkin kami berjumpa. Hal lain yang membuat saya cukup tertarik dengan pemuda tersebut yakni, selain penulis naskah drama yang piawai, ia lawan debat yang cukup fasih. 

Sayangnya, delapan dari dua belas naskah dramanya hilang antara lain, “Rendo”, “Joela Goebhi”, “Koetkoetbi”, “Hantoe Goenoeng Boengkoek”, “Si Ketjil (Kleinduimpje)”, dan “Maha Iblis”. Sedangkan naskah yang berhasil diselamatkan yakni “Dokter Sjaitan”, “Aero Dijnamiet”, “Anak Haram Djadah”, dan “Rahasia Kelimoetoe”.

Dalam lakon “Dokter Sjaitan” dan “Aero Dijnamiet”, sang penulis naskah mengingatkan pentingnya kearifan lokal manusia dalam menyikapi perkembangan sains dan teknologi. Lewat tokoh Ayah dan Ibu dalam lakon “Dokter Sjaitan” misalnya, ia mengingatkan generasi muda agar lebih arif terutama dalam menghayati aspek-aspek keilahian.

Hingga pada bulan Februari tahun 1938, ia meninggalkan Ende, dengan kapal De Klerk bertolak menuju Surabaya. Beberapa tahun kemudian, datanglah kapal perang Jepang yang memporakporandakan hampir seluruh wilayah Pulau Flores tak terkecuali Ende. 

Setelah melewati perundingan yang cukup alot dan lama, sesudah dideportasi oleh prajurit Jepang, saya mendengar kabar, ia menciptakan sejarah paling penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. 

***

Seandainya lelaki itu punya kesempatan kembali lagi ke Flores, tentu saja ingin sekali ia kunjungi kota itu. Tanpa Ende yang kadang tak terjamah itulah, nama Pancasila dikenang. 

Sayangnya, kondisi tubuhnya tak setangguh harapan yang bergelora di balik dada. Sejak Agustus 1965, ia nyaris tak mampu berjalan. Setahun sebelumnya Professor K. Fellinger dari Wina menyarankan agar bagian kiri ginjalnya diangkat jika ingin kesehatannya lekas pulih. 

Namun sebagian dirinya yang lain menolak anjuran tersebut. Entah mengapa, ia lebih menyukai pengobatan tradisional. “Bukan karena saya keras kepala. Bukan! Tubuh saya pulih dari serangan malaria di Ende justru karena pengobatan tradisional,” demikian bunyi salah satu suratnya. Seperti ada batas yang kabur antara keras kepala dan nasionalisme dalam setiap alasan yang ia sampaikan.

Hingga dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya 10 Desember 1967, barulah lelaki itu sadar. Tidak ada tindakan besar yang datang dari tubuh yang ringkih, sakit-sakitan, dan yang terpenting, dikucilkan oleh negara. Setelah ditetapkan sebagai tahanan politik oleh negara, hatinya hancur berantakan.

Pada suatu sore, lelaki itu duduk di depan teras Wisma Yaso, memikirkan semuanya sambil menangis tanpa air mata. Sementara itu, empat orang penjaga bersenjata lengkap berdiri mematung. Dua orang di gerbang wisma dan duanya lagi di sisi kanan dan kiri rumah. Diam-diam, hatinya mendadak makin hancur. Rupanya ramalan tentang ‘jauh lebih berat dijajah oleh bangsa sendiri’ sungguh-sungguh terjadi, sekarang, dan di sini.

Ingin rasanya lelaki itu berteriak sekeras-kerasnya sekadar mengurangi rasa sesak di balik dada. Namun sebelum membuka mulut, sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut. Ia menoleh sebentar dan melihat seorang pria sedang menatap matanya. 

Perlahan ia tersenyum. Seakan-akan bersyukur karena hingga saat ini ia masih memiliki ajudan yang setia seperti Sidarto. “Tapi catat ya, To,” ujarnya seraya menatap mata Sidarto dengan sesekali mengerling ke arah dua orang penjaga, “Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh!”

Melihat lelaki itu dan Sidarto berbicara setengah berbisik, dua orang penjaga berjalan mendekat. Sidarto tidak sempat mengatakan apa-apa sebelum ia diusir ke luar wisma dan dilarang datang kembali. Dan sejak saat itu, tinggalah lelaki itu sendirian menderita sakit dan kesepian yang maha hebat.

***

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Juni 1970, karena sakit yang makin parah dan nyaris hampir mati, lelaki malang itu dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Masih dalam kesepian dan penderitaan dengan kadar yang semakin hebat, ia terkenang akan Ende. 

Di bawah kaki Gunung Meja, dengan pantai yang landai, kota itu tampak begitu menawan. Dari sanalah cerita tentang perjuangan berawal. Kalau bukan karena Ende, mungkin saja ia sudah tewas lebih awal di Bengkulu.

Di kota kecil itulah, ia pernah mati dan bangkit lagi. Keputusan membuang lelaki itu ke Ende memang pilihan paling strategis yang pernah dibuat Belanda. Di sana, jangankan penerangan listrik, jaringan komunikasi benar-benar tidak ada. 

Bahkan ia pernah melukiskan tempat itu melalui surat kepada Samuel Koperberg “betapa cuaca di sini mulai menjadi tidak ramah. Setiap hari terasa seperti kemarau. Apakah kamu pernah mengalami temperatur dari 95 derajat fahrenheit?”

Namun berkat Inggit, lelaki itu mampu melewati semuanya. Tidak ada perempuan setangguh dan sesetia istrinya itu. Sampai-sampai kata-katanya kembali terngiang di kepala. Kalau bukan Inggit, mungkin ia sudah menyerah sebelum bertanding. 

“Cinta saya kepada Ngkus tak bisa diukur hanya dengan ikut Ngkus ke tanah buangan. Saya bahagia karena bisa berbakti dengan suami. Saya bahagia. Tapi Ngkus janji ya, Ngkus harus bangkit,” ucap perempuan itu sambil menyeka tetesan air mata yang sejak tadi mendekam di balik kelopak mata sang lelaki itu. Sungguh, pada waktu itu, ia merasa paling terberkati di antara para lelaki di seluruh dunia.

Ingin rasanya ia kembali ke Ende dan menikmati semua kenangan itu, terutama bagaimana rasanya gelora hidup kembali setelah mati. Itu memang terjadi. Lima hari kemudian, sebelum pandangannya menjadi kabur dan gelap, ia merasakan keheningan puncak gunung Kelimutu yang disentuh kabut. Sementara itu, terdengar isak tangis pecah di segala penjuru ruangan.

Lelaki itu tidak tahu mengapa mereka menangis. Satu-satunya hal yang saya tahu pasti, beberapa jam kemudian, di headline media massa tertulis: “Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, Wafat”.

Teknik Lingkungan dan Teknik Sipil Wajibkan Bayar Rp 3,25 Juta untuk Ikut Cilacs

“Prodi Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan wajib mengikuti Cilacs dengan membayar Rp 3,25 juta. Pembayaran yang diakui mahal oleh Prodi ini memiliki evaluasi sistem jadwal dan materi yang masih terasa seperti materi SMA di mata mahasiswa.” 

Himmah Online, Kampus Terpadu – Program Studi (Prodi) Teknik Lingkungan (TL) dan Teknik Sipil (Teksip) Universitas Islam Indonesia (UII) memberlakukan program pembelajaran bahasa Inggris yang berkolaborasi dengan Cilacs (Center for International Language and Cultural Studies) UII. Program dengan biaya Rp 3,25 juta ini bersifat mengikat dan wajib bagi mahasiswa tahun pertama.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Teksip UII, Sri Amini mengatakan alasan pemberlakuan program ini karena tidak sedikit mahasiswa tingkat akhir yang berkendala dengan tes Certificate of English Proficiency Test (CEPT). Banyak di antara mahasiswa yang tak mampu memenuhi memenuhi nilai batas minimal CEPT yakni 425.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kaprodi Teknik Lingkungan, Eko Siswoyo. Oleh karena itu kedua prodi kemudian sepakat untuk bekerja sama dengan CILACS, memasukkan program pembelajaran bahasa Inggris sebagai persiapan tes CEPT yang wajib diikuti seluruh mahasiswa.  

“Hasil evaluasi analisa prodi bahwa untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa. Kemudian ada beberapa mahasiswa itu yang alasannya dipanggil diskusi TA (red- tugas akhir). Kemudian untuk menjembatani itu akan lebih efektif dan murah kalau kursusnya itu langsung di-organize oleh jurusan, kita bekerja sama dengan Cilacs.” kata Eko.

Prodi Teknik Lingkungan telah menerapkan program ini sejak 2014 lalu. Sementera Prodi Teksip baru mengikuti jejak prodi tetangganya itu pada 2017, dan saat ini masih dalam hadap pengembangan.

“Jadi kita masih beradaptasi sama perbaikan sistemnya,” tutur Sekretaris Prodi Teksip sekaligus pengurus administrasi Cilacs Teksip, Deska Arini.

Diakuinya pula program Cilacs Teksip memang mencontoh prodi TL yang telah menerapkan Cilacs lebih lama dan dirasa memberikan dampak yang cukup signifikan pada skill mahasiswa untuk menghadapi tes CEPT.

Biaya Program Cilacs Satu Tahun

Program Cilacs masuk dalam penilaian Mata Kuliah Umum (MKU) bahasa Inggris sejumlah dua Sistem Kredit Semester (SKS). Namun tidak selayaknya MKU biasa, dengan Cilacs diberlakukan enam SKS. 

Program MKU bahasa Inggris dua SKS saja tidak cukup untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam berbahasa Inggris yang lancar. Program ini tentu berisi materi yang menunjang mahasiswa menghadapi tes CEPT di tahun terakhir.

Mahasiswa TL dan Teksip tidak perlu membayar MKU bahasa Inggris 2 SKS. Mahasiswa hanya ditagih membayar program Cilacs selama satu tahun sebesar Rp 2,9 juta untuk program reguler sedangkan untuk program plus Rp 3,25 juta yang telah tertera pada brosur program Cilacs. 

Program plus mencakup kelas bahasa Inggris intensif dan CEPT short course sedangkan program reguler hanya kelas bahasa Inggris intensif. Mahasiswa berhak memilih sendiri program yang akan mereka ambil, entah itu program plus ataupun program reguler.

“Waktu semester satu lalu, ada bayar Rp 1,5-an juta, Cuma untuk semester dua nanti belum tau. Tagihannya kan langsung dikirim ke email orang tua, jadi kami ndak tau.” Ujar Nanda.

Saat dikonfirmasi kembali dengan melihat brosur program Cilacs, biaya angsuran pertama, mahasiswa wajib membayar Rp 1,7 juta untuk semua pilihan program lalu selanjutnya angsuran kedua Rp 1,2 juta untuk program reguler dan Rp 1,55 juta untuk program plus.

Prodi Menyadari Biaya Cilacs Mahal

Terdapat sosialisasi pengadaan Cilacs di awal semester satu, sejumlah uang yang dibayarkan tentu menjadi keresahan sejumlah mahasiswa. Dibanding dengan MKU bahasa Inggris biasa yang hanya memakan biaya dua SKS, program Cilacs ini mengharuskan mahasiswanya membayar kira-kira hingga sembilan kali lipatnya. 

Pihak prodi memahami jika mahasiswa mengeluhkan masalah pembiayaan bahkan saat ditemui Reporter Himmah Online, Sri terkejut mengetahui mahasiswanya membayar biaya cukup tinggi untuk program Cilacs. Kaprodi TL sendiri telah menyadari masalah tersebut, namun memang belum ada penyelesaiannya. 

“Untuk masalah pembiayaan, kita itu masih belum dapat funding yang bisa mensponsori begitu,” ungkap Eko. 

Bagi mahasiswa Teksip, pembiayaan ini juga bisa menjadi polemik kembali tatkala mahasiswa harus mengulang program Cilacs sebab absensi kurang dengan tidak hadir lebih dari tiga kali. 

Deska menerangkan selama dua tahun program Cilacs berjalan di Teksip, belum ada mahasiswa yang harus mengulang. Jika hal ini sampai terjadi, prodi menyatakan mahasiswa tersebut harus mengulang satu semester dengan membayar separuh biaya Cilacs tahun pertama. 

“Kalau dari nilai mungkin kita (red- prodi) bisa bantu, kalau misalnya dari presensi, itu kan ke-record ya jadinya, otomatis harus bayar karena sudah ada MOU-nya dari Cilacs sendiri” tambah Deska. 

Materi Pembelajaran Cilacs

Tidak hanya mengenai pembiayaan, aspirasi muncul dalam aspek materi yang disampaikan kepada mahasiswa. Selama semester satu, mahasiswa akan mendapatkan materi structure, speaking, dan TOEFL Preparation 1. 

Menginjak semester dua mahasiswa akan mempelajari academic presentation, reading comprehension, serta TOEFL Preparation 2. Hal ini telah tertera pada brosur program Cilacs.

Walaupun seperti itu, Muhammad Reyhan Hanif, mahasiswa Teksip angkatan 2018 tengah menjalani program Cilacs sendiri mengaku materi yang diajarkan hampir sama seperti materi SMA sehingga cukup membosankan. 

Merespon keluhan Reyhan, kedua kaprodi sepakat akan menjadikan isu tersebut sebagai bahan evaluasi dengan Cilacs. 

“Itu nanti akan saya jadikan masukan bagi Cilacs karena saya bilang berkali-kali jangan sampai mahasiswa itu bosan, lihat suasana kelas lah”, kata Eko.

Jadwal Pembelajaran Kurang Tepat

Dalam pelaksanaannya, Cilacs Teksip dan TL dilaksanakan tiga hari dalam seminggu selama satu tahun pertama pembelajaran. Pada semester pertama, mahasiswa Teksip 2018 mendapat jadwal pada hari Rabu sebanyak dua SKS tiap malam hari dan empat SKS pada hari Sabtu. Sedangkan di semester kedua, Cilacs dilaksanakan pada hari Rabu sebanyak empat SKS dan hari Sabtu sebanyak dua SKS. 

Pemberlakuan jadwal Cilacs diatas menuai keluhan dari kalangan mahasiswa, satu di antara datang dari Muhammad Ricky El Fatah. Ia menyatakan pengaturan pembelajaran program Cilacs dilaksanakan pada hari yang kurang tepat. 

Bagi Ricky, jadwal yang diadakan hari Sabtu cukup memberatkan karena selain dilaksanakan pada akhir pekan, sehari sebelumnya yaitu hari Jumat diakuinya saat bertemu Reporter Himmah Online. Seluruh mahasiswa angkatan 2018 tidak memiliki jadwal mata kuliah lain sehingga libur. 

Menjawab dari keluhan itu, Deska Arini menyatakan jadwal tidak bisa dilaksanakan hari Jumat karena terkait ruang pembelajaran yang terbatas. Pihak prodi menyadari serta telah menerima banyak aspirasi mengenai jadwal tersebut. 

Saat ditemui, pihak prodi mengaku masih berupaya menjadwalkan pada hari kerja, namun pihak prodi juga menyatakan tidak bisa memaksakan jadwal kala itu mengingat banyaknya mahasiswa yang asistensi hingga malam. Maka dari itu, jika terpaksa tidak dapat dilakukan pada hari kerja, prodi mengupayakan jadwal di hari Sabtu dengan satu mata pelajaran saja.  

“Biasanya kita jadwal kan terpacu sama ruang kelas sama mahasiswa jadwalnya bisa atau tidak gitu. Walaupun sudah dipaketkan, kalau ruang kelasnya ngga ada, kita juga bingung ya, mau di mana gitu. Karena di FTSP kan sudah mulai banyak prodinya, terpakai semua gitu. Setiap prodi kan punya ruangnya masing-masing.” Imbuh Deska.

Tak hanya Teksip, penjadwalan Cilacs pada Prodi TL juga dikeluhkan mahasiswanya, Nanda. Ia mengeluhkan bahwa program Cilacs di TL dilaksanakan pukul 15.30 pada tiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Jadwal yang selalu dilaksanakan sore hari ini dirasa kurang efektif serta tak jarang mahasiswa merasakan kantuk. 

Jadwal yang diberlakukan ini menurut Eko tidak dapat dilaksanakan pagi hari sebab terhambat mata kuliah lain. Selain itu, mahasiswa TL memiliki jadwal kuliah pribadi yang berbeda sedangkan Cilacs sendiri mengadakan kelas serentak dalam satu waktu yang bersamaan untuk seluruh mahasiswa tahun pertama. 

“Karena mereka itu mahasiswa baru, jadwal yang semuanya bisa itu ya sore, yang tidak ada perkuliahan.” Jelas kaprodi TL tersebut. 

Pihak prodi sudah memahami tingkat efektivitas pembelajaran di sore hari tentu akan berbeda dengan pagi hari, untuk itu prodi telah berupaya mendorong Cilacs untuk menyajikan proses belajar-mengajar yang aktif, dalam istilah Eko, having fun with English.

Penulis: Janneta Filza A.

Reporter: Janneta Filza A., Hersa Ajeng Priska, Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Kisah Di Balik #GejayanMemanggilLagi

Himmah Online, Yogyakarta – Jam menunjukan pukul 12.00. Massa aksi tampak bergerak dari Taman Pancasila Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berjalan ke titik aksi di Persimpangan Gejayan. Sekitar seratusan massa aksi yang sudah sampai langsung membuat lingkaran dan mempersiapkan podium.

Tampak enam orang sedang mempersiapkan podium dengan menurunkan berbagai macam peralatan sound system seperti speaker, kabel, mikrofon, dan peralatan lainnya.

Ndadak, Mba,” ujar Eko, penyedia sound system daerah Godean. Ia mengatakan pihak Parlemen Jalanan baru memesan sound system dalam aksi ini dua hari yang lalu.

Kata Eko, biaya yang harus dikeluarkan dalam menyewa sound system berkisar sampai dua juta. Setelah itu, Eko melanjutkan pekerjaannya dengan mengulurkan kabel bersama tiga temannya dari mobil pikap berwarna biru putih.

Setelah persiapan sound system, jauh dari Bundaran UGM, terdengar riuh bunyi klakson rombongan kendaraan bermotor yang semakin lama makin jelas di telinga.

“UMY datang,” ujar beberapa massa aksi setelah melihat rombongan tersebut mengenakan jas almamater berwarnah merah.

Sontak massa aksi yang sudah menunggu rombongan massa aksi UMY berteriak bernyanyi.

“Datang dari Timur. Datang dari Barat. Mahasiswa …”

Sembari menunggu rombongan massa aksi dari UMY memarkirkan kendaraannya di Parkir Gedung PKK UGM, massa aksi di Titik Kumpul UGM mengheningkan cipta untuk mengenang kawan-kawan seperjuangan yang gugur pada aksi-aksi sebelumnya di beberapa daerah.

Setelah mengheningkan cipta selesai, massa aksi mengangkat tangan kiri sembari menyuarakan sumpah mahasiswa.

Di antara kerumunan massa aksi, ada salah seorang menggunakan kemeja putih, berkacamata hitam, celana hitam yang menarik perhatian karena pada bagian perutnya terdapat tumpukan kain yang menonjolkan perutnya. Ditambah ia mengenakan kalung kardus yang bertuliskan “investor turun aksi”.

Di samping itu, para massa aksi dari UIN kemudian mulai mendekati pertigaan antara Jalan Laksda Adisucipto dan Jalan Affandi.

“Berhenti! Berhenti!” Teriak beberapa bapor, seirama dengan teriakan orasi dari mobil komando aksi yang bersorak, “tolak Omnibus Law!”

Terlihat salah seorang menghantamkan dirinya ke barisan bapor berkali-kali. Kejadian itu mengundang keributan dalam barisan massa aksi, rupanya tindakan tersebut memang disengaja untuk mengetes ketahanan bapor untuk jaga-jaga apabila terjadi bentrok. 

Selanjutnya massa aksi melanjutkan perjalanan ke titik aksi.

“Pak ini menghalangi jalan kami, tolong pinggirin dulu,” ucap salah satu massa aksi setelah melihat mobil patroli polisi menghalangi jalan yang akan dilewati oleh massa aksi dari UIN.

“Tapi ini untuk memblokir jalan dari kendaraan mas,” balas seorang polisi yang menjaga blokade jalan agar tidak dilalui kendaraan.

“Iya, biarkan kami lewat dulu, setelah massa lewat baru ditutup silakan,” tutup salah seorang massa aksi.

Setelah beradu argumen beberapa saat, akhirnya salah seorang memindahkan mobil patroli polisi, sehingga massa aksi dari UIN bisa melanjutkan perjalanan menuju Pertigaan Gejayan.

Massa aksi dari UIN akhirnya tiba di Pertigaan Gejayan pada pukul 12.25. Mereka disambut oleh massa aksi lain yang terlebih dulu tiba di titik aksi, salah satunya massa aksi dari UNY.

Teriakan reformasi lima langkah reformasi mengantarkan semua massa aksi bergabung menjadi satu untuk melakukan aksi bersama di Pertigaan Gejayan.

Riuh Lantang Mewarnai Orasi

Tepat di titik aksi yang berada di pertigaan Gejayan, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta memaparkan alasan mereka menolak Omnimbus Law.

Menurutnya akses untuk mengetahui perancangan ini tidak ada sama sekali.

“Dewan pers lah yang menangani sengketa pers bukan pemerintah,” ujar perwakilan AJI dalam orasinya.

Masih di tempat yang sama, setelah itu, pukul 12.50, perwakilan Solo Rakyat Bergerak naik ke atas podium.

“Hidup rakyat yang berjuang! Hidup rakyat yang berjuang! Hidup rakyat yang berjuang!” Teriaknya dengan lantang sebagai pembuka orasinya.

Inti dari orasinya berbicara tentang buruh dibayar secara tidak layak, “buruh-buruh hanya dieksploitasi untuk kepentingan oligarki.”

Di tengah-tengah orasi, laki-laki berpeci hitam, berkemeja merah melintas dari belakang podium menuju salah satu massa aksi yang lain kemudian berujar, “UGM (red- massa aksi di Titik Bundaran UGM) belum datang?”

Belum sempat pertanyaanya dijawab oleh massa aksi yang lain, tiba-tiba ambulans melintasi Gejayan, orator pun mengarahkan massa aksi untuk memberi jalan. Alhasil ambulans yang badannya terdapat tulisan “Panti Rapih” tersebut melaju ke arah Barat.

Massa aksi Titik Kumpul UGM pada waktu yang sama saat itu masih menunggu massa aksi lain. Nyanyian lagu Indonesia Raya kemudian bersenandung mengiringi massa aksi dari UMY untuk bergabung dengan massa aksi UGM yang sedari tadi menunggu di Bundaran UGM. 

Setelah mempersiapkan barisan, tepat pada pukul 12.57, massa aksi yang berkumpul di Bundaran UGM Mulai bergerak ke titik aksi di Pertigaan Gejayan.

Massa Aksi Titik Kumpul UGM Akhirnya Datang, Orasi Terus Belanjut

Pengawalan ketat dilakukan oleh petugas keamanan, terlihat ada 17 orang polisi dan seorang sekuriti UGM menemani dan mengawal barisan massa aksi yang bergerak dari bundaran UGM tesebut.

Baru berjalan beberapa saat, dari arah Timur terlihat sebuah ambulans melaju menuju ke arah massa aksi, seketika massa aksi pun membuka jalan untuk dilalui oleh ambulans yang bodinya bertuliskan Panti Rapih tersebut.

Massa aksi bergarak sambil bernyanyi bersama. Terlihat beberapa perangkat aksi membagikan selembaran rilis pers kepada masyarakat dan penjual yang dilewati oleh massa aksi di pinggir jalan.

Terlihat beberapa masyarakat duduk di depan rumah atau toko mereka sambil melihat massa aksi lewat. Terlihat beberapa orang mengambil selfie saat massa aksi lewat di depan toko mereka, juga beberapa masyarakat mengambil gambar menggunakan telepon genggamnya.

Di antara kerumunan massa aksi yang bergerak menuju titik aksi, terdapat orang-orang yang selalu membawa trash bag sebagai tempat untuk membuang sampah. Selain itu, tepat di depan barisan massa aksi, ada dua laki-laki menaiki kendaraan roda dua yang menawarkan minuman gratis kepada massa aksi.

Kedua lelaki itu juga menghampiri salah seorang polisi yang sedang bertugas.

“Pak, minum dulu, tugasnya berat,” ujar lelaki itu dengan raut muka yang memperlihatkan giginya, seketika kejadian ini mengundang tawa ringan bagi orang yang melihatnya.

Di lokasi yang berbeda, tepatnya di titik aksi, perwakilan Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) yang mengenakan kemeja hitam putih, memakai topi bermodel flat cap, kaus hitam, dan celana hitam mengawali orasinya dengan berteriak.

“Hidup Buruh! Hidup Tani! Hidup perempuan yang melawan! Hidup laki-laki yang memperjuangkan kesetaraan,” ucapnya lantang.

Menurutnya dalam orasi, kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan saat ini bertujuan untuk menjadikan mahasiswa dan pelajar sebagai komoditas yang siap dieksploitasi oleh para investor.

“Kebijakan kampus merdeka, kuliah lima semester dan selanjutnya magang tiga semester ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri”, ujar perwakilan GNP dalam orasinya.

Sembari GNP berorasi, terlihat beberapa orang sedang menikmati minuman dan sebatang rokok di angkringan pinggir jalan, juga beberapa yang hanya berdiri dipinngir jalan menunggu massa aksi dari Bundaran UGM lewat. Semakin dekat dengan titik aksi, maka volume massa aksi juga semakin bertambah.

Tepat pada pukul 13.39, massa aksi dari Bundaran UGM tiba di titik aksi. Bergabungnya massa aksi dari bundaran UGM menambah volume massa aksi yang hadir pada aksi Parlemen Jalanan kali ini. Sekitar 1.200-an orang memenuhi Pertigaan Gejayan yang terdiri dari massa aksi, media, medis dan keamanan.

“Omnibusuk! Tolak! Tolak! Dan gagalkan!” Teriak perwakilan LBH Yogyakarta dalam orasinya. Menurutnya, Omnibus Law hanyalah merupakan titipan dari kaum imperialisme untuk memudahkan jalan mereka.

“Jika Omnibus Law disahkan, maka hak istimewa bagi investor akan diberikan,” ujar salah satu perwakilan Walhi Yogyakarta dalam orasinya. Menurutnya, Indonesia akan kembali lagi ke masa penjajahan VOC di mana kolonialisme kembali dihidupkan, selain itu penghapusan perizinan lingkungan juga tidak lebih akan membuat rakyat semakin menderita.

Dialog Musisi Pada Parlemen Jalanan

Tak berselang lama dengan kedatangan massa aksi dari Bundaran UGM, hujan rintik-rintik mulai membasahi titik aksi, salah satu inisiator yang memakai kemeja biru dan tas sandang hitam menanyakan komitmen massa aksi melihat kondisi Gejayan semakin hujan.

“Jika hujan, apakah teman-teman akan bubar?”

“Tidak!”

“Baik, saya pegang omongan teman-teman.”

Selanjutnya suasana semakin hening ketika Fafa Agoni melantunkan beberapa lagu miliknya disertai rintik hujan yang semakin membasahi permukaan Pertigaan Gejayan. Terlihat ada beberapa orang yang yang menjajakkan es teh dan air mineral, sejenak berhenti menaruh nampan di kepalanya sambil menonton Fafa Agoni bersenandung dari balik panggung orasi.

Suasana semakin khidmat saat Fafa Agoni mulai menyanyikan lagu keduanya yang ditulis sendiri olehnya untuk para petani yang berjuang melawan oligarki.

“Kupu-kupu kecil terbanglah… kepakkan sayapmu…” begitulah salah satu bagian lirik lagu Merajut Badai yang dibawakan Fafa Agoni.

Hujan rintik-rintik semakin lama berubah menjadi deras, beberapa massa aksi terlihat sibuk menutup Sound System dengan terpal biru. Massa aksi juga terlihat mengeluarkan payung dan memakai jas hujan.

Di antara kerumunan massa aksi, terlihat beberapa orang menawarkan jas hujan yang dijualnya, selain itu tak sedikit juga massa aksi memilih untuk berlari mencari perteduhan di teras-teras toko.

Suasana seketika menjadi riuh ketika Jessica Amoeba mengisi panggung orasi dengan menari. Massa aksi yang semula duduk pun berdiri kemudian ikut berjoget dan melompat-lompat.

Terlihat beberapa massa aksi yang berteduh memilih untuk ikut berjoget di bawah hujan yang kian deras. Setelah Amoeba tampil, inisiator kembali mengisi dengan mengajak massa aksi bernyanyi.

“Di sini ditindas, di sana ditindas, ke mana-mana kita ditindas.”

Setelah Amoeba, Rebellion Rose yang tampil dengan musik khasnya, seketika mengundang massa aksi untuk kembali berkumpul dan ikut bergoyang. Terlihat di depan podium beberapa massa aksi bergoyang sambil saling membenturkan badan satu sama lain.

Tak lama kemudian terlihat keributan saat beberapa orang menggiring salah satu massa aksi, rupanya massa aksi tersebut mengalami cidera pada pergelangan kakinya, sehingga harus dibawa ke mobil ambulans dan langsung ditangani oleh tim medis.

Berbeda dengan aliran musik rock yang dibawakan oleh Rebellion Rose, Kepal SPI dengan aliran musik Country membuat massa aksi bergoyang santai, sambil sesekali melepaskan lirik lagu yang menindas ketidakadilan di negeri ini.

Tepat pada pukul 17.18, massa aksi sudah berangsung membubarkan diri secara berkala. Sesekali inisiator memberikan imbauan kepada massa aksi untuk menyampaikan kesan pada Aksi Parlemen Jalanan kali ini kepada masyarakat yang ditemui.

Dibukanya blokade jalan menuju Pertigaan Gejayan, menandakan Aksi Parlemen Jalanan yang dilaksanakan pada Senin, 9 Januari 2020 berakhir dengan dengan aman.

Penulis: Ahmad Sarjun

Reporter: Armarizki Khoirunnisa D., Ahmad Sarjun, Isnanda Muhamad Ismulia, Hilmi Fahrul

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Aksi Diam Wagenan: Upaya Gagalkan Omnibus Law

Himmah Online, Yogyakarta – Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (JAMPIKLIM) Yogyakarta mengadakan “Aksi Diam Wagenan” sebagai respon dan upaya penggagalan RUU Omnibus Law. Aksi berlangsung pada Jumat, 28 Februari 2020 di depan Gedung Agung Yogyakarta.

Adi, selaku koordinator lapangan menegaskan aksi kali ini berfokus pada penggagalan RUU Cipta Kerja dalam Omnibus Law. 

“Jika Omnibus Law ini disahkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih masif,” tegas Adi.

Menurut Adi, RUU Omnibus Law terlalu mengabaikan aspek lingkungan dan perubahan iklim. Aturan yang dibuat hanya untuk memudahkan investor masuk dan mengembangkan industrinya di Indonesia. 

“Proyek pemerintah di beberapa titik juga ikut andil dalam merusak lingkungan, industri kita pun masih ditopang energi yang ekstraktif, yang rakus energi. Itu juga imbasnya ke lingkungan,” lanjut Adi.

Aksi yang dilakukan setiap sore Jumat Wage ini dihadiri 15 anggota JAMPIKLIM dan beberapa partisipan dari organisasi lain. Sebelumnya, JAMPIKLIM juga telah melaksanakan aksi serupa untuk merespon isu perubahan iklim internasional.

Konsep “Aksi Diam Wagenan” adalah aksi diam yang tidak menggunakan model orasi. Aksi ini hanya menggunakan poster-poster yang akan mengedukasi dan menjadi bacaan bagi masyarakat. 

Tujuannya untuk menyadarkan pemerintah sekaligus masyarakat mengenai pentingnya keberlangsungan lingkungan kita.

“Harapannya sih mereka (pemerintah) mendengar keresahan-keresahan kita. Karena alam kita ini kan semakin tua, terus kerusakan alam juga semakin masif. Kalau ini dieksploitasi secara terus-menerus, generasi mendatang, anak cucu kita hanya akan menerima kerusakan,” pungkas Adi.

Salah satu massa aksi, Sana Ulaili mengikuti kegiatan ini untuk menyuarakan keresahannya tentang perubahan iklim kepada publik. Anggota dari Solidaritas Perempuan Kinasih ini ingin memberitahu masyarakat yang lewat maupun media agar menyadari persoalan tersebut.

Menurut Sana, iklim tidak lagi menjadi permasalahan yang diprioritaskan dalam penanganannya. Dalam konteks wilayah, Kota Yogyakarta yang merupakan satu dari dua puluh kota di Indonesia yang memiliki potensi tinggi terhadap dampak perubahan iklim.

Sana menyayangkan soal kebijakan yang tidak lagi peduli terhadap aspek iklim. Misalnya kebijakan yang tidak memikirkan pembangunan yang menggusur lahan-lahan pepohonan. 

“Segala dampak perubahan iklim yang sudah berat, ditambah lagi dengan kebijakan yang semakin menggila,” tutur Sana. 

Dampak iklim yang dirasakan oleh masyarakat contohnya terjadi kepada para petani. Perubahan iklim yang tidak menentu berdampak pada perubahan jadwal masa panen maupun menanam. 

“Hal ini yang menjadi indikator bahwa cuaca sudah tidak dapat diharapkan,” jelas Sana.

Menurut pemaparan Sana, dalam segi kebijakan, JAMPIKLIM akan melakukan audiensi dengan para pengambil kebijakan. 

Hal ini supaya lebih memperhatikan persoalan perubahan iklim dalam bentuk jaminan kebijakan. Dengan harapan kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang adil bagi masyarakat. 

Penulis: Muhammad Prasetyo

Reporter: Muhammad Prasetyo, Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Diskusi “Omnimbus Law Cipta Kerja Atau Cipta Masalah?”, Bhima Yudistira: Pemerintah Salah Kaprah

0

Himmah Online, Yogyakarta – Bhima Yudistira, selaku peneliti dari Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Jakarta, menyoroti masalah RUU Cipta Kerja saat menjadi pembicara di diskusi terbuka KM UII bertema “Omnimbus Law Cipta Kerja Atau Cipta Masalah” yang berlangsung 27 Februari 2020 di Pascasarjana FH UII.

“Permasalahan jam kerja dan lembur yang ditambah ini, pemerintah salah kaprah. Di negara seperti Finlandia misalnya perdana menterinya menginkan empat hari kerja dalam seminggu dan enam jam per harinya”, ucapnya, mengomentari salah satu masalah di RUU Cipta Kerja terkait jam kerja yang ditambah.

Menurut Bhima, jam kerja yang ditambah dari 6 hari menjadi 8-10 jam per hari yang dicanangkan di RUU Cipta Kerja justru mengikuti pola pikir Bangladesh dan Ethiopia, bukan meniru negara maju seperti FInlandia. 

Belum lagi setiap buruh yang dipekerjakan, negara malah menjual upah murah di mana produktivitas dilihat dari jam kerja yang banyak, bukan melihat pada inovasi dan teknologi. Menurutnya, inovasi dan teknologi adalah kunci mendapatkan produktivitas yang maksimal.

Tidak hanya itu, Bhima kemudian mengulas maksud di balik adanya RUU Cipta Kerja ini memang bertujuan untuk meningkatkan investasi besar-besaran. Padahal menurut Bhima, selama ini investasi di Indonesia tidak minus dan mengalami pertumbuhan.

“Analisis yang pertama bahwa Omnimbus Law meningkatkan investasi itu sudah salah. Yang dibutuhkan bukanlah nominal investasi yang baik, melainkan investasi yang berkualitas,” tambahnya. 

Dalam pembahasan kluster pertanian, Omnibus Law menjadikan impor sebagai cadangan nasional itu bertentangan dengan Undang-undang Pangan. Bhima menjelaskan impor itu dilarang kecuali jika produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan. 

Bhima menganggap hal itu dapat menjadi cipta kerja untuk para importir dan cipta masalah untuk para petani lokal. Hal itu disebabkan dengan asumsi harga produksi dalam level petani akan murah karena impor dapat dilakukan kapan saja akibat penyamaan dalam aturan Omnimbus Law tersebut. 

Terakhir Bima juga berharap kepada para semua mahasiswa dan para intelektual lainya untuk lebih jeli dan melihat potret besar Omnibus Law untuk menganalisis dan mengkiritisi.

“Buruh para pekerja dan petani tidak punya waktu untuk melototi 15 struk prerizinan dalam RUU Cipta Kerja. Nelayan di tengah laut juga tidak punya waktu untuk membaca draf Omnibus Law di tengah laut. Jadi siapa yang dapat melototi satu satu dan melakukan kritik terhadap Omnibus Law? Satu-satunya jawaban adalah kaum intelektual,” ucap Bhima di akhir sesi diskusinya. 

Penulis: Anggah

Reporter: Anggah, Hersa Ajeng Priska

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Serikat Buruh Vs Investor Dalam RUU Cipta Kerja

Himmah Online, Yogyakarta – Masifnya kritikan dan penolakan tentang RUU Cipta Kerja melatarbelakangi diskusi publik berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja; Dari Cilaka Menjadi Petaka”.

Diskusi ini dimotori oleh Dewan Pemimpin Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta – Asean Trade Union Council (DPD K. SPSI DIY – ATUC).

Diskusi berlangsung pada Kamis, 27 Februari 2020 di Ruang Paripurna Gedung DPRD DIY, Jalan Malioboro, Sosromenduran Gedongtengen, Yogyakarta. 

Prata Jatmiko selaku ketua penyelenggara diskusi publik tersebut mengungkapkan tujuan diskusi ini untuk menilik lebih dalam regulasi yang berat sebelah karena akan membawa konsekuensi berat bagi buruh. 

“Di sini kami, secara tegas tidak menolak investasi masuk ke Indonesia. Yang kami tolak adalah diskriminasi, regulasi yang menurut kami akan mengurai hak-hak kami selaku pekerja,” jelas Prata.

Menanggapi RUU Cipta Lapangan Kerja, Ari Hermawan, pembicara dari salah satu pakar ketenagakerjaan UGM, berpendapat akan lebih tepat dinamai RUU Investasi karena konsiderasi lebih berpihak kepada investor.

“Tiga tugas negara (red- seharusnya) adalah yang pertama penyatuan keragaman masyarakat, selanjutnya industrialisasi sebagai perkembangan ekonomi, dan yang terakhir adalah kesejahteraan; meminimalkan dampak dari industrialisasi, “ tambah Ari.

Ari lanjut menjelaskan investor yang berinvestasi biasanya menyukai dua hal, yaitu keamanan dan kenyamanan. Salah satunya berbentuk regulasi. 

Sehingga menurut Ari akibatnya jika dalam Industrialisasi negara memihak pada investor, maka kesejahteraan buruh hanya tertuang dalam angan dan mimpi. Analogi sederhananya, buruh sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Menurut Ari, alasan RUU Cipta Kerja mendapat penolakan adalah karena adanya pasal-pasal yang bermasalah dan tidak berpihak kepada serikat pekerja/buruh. 

Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pasal perizinan tenaga kerja asing yang dipermudah, penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), dan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) menggunakan UMK terendah di provinsi terkait.

Tak luput juga menurutnya, pada sistem pasar tenaga kerja fleksibel (Labour Market Flexibility). Sistem tersebut memungkinkan akan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelah pihak. 

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat mengakibatkan nasib pekerja alih daya menjadi tak menentu atau outsourcing

Hingga jam kerja yang dinilai tidak manusiawi, lebih dari 8 jam kerja sehari serta jam lembur lebih dari 3 jam per hari. 

Dalam perspektif gender, Budi Wahyuni, pendiri Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan yang juga menjadi salah satu pembicara, kemudian mengemukakan RUU Cipta Kerja bukanlah emansipasi, melainkan eksploitasi terhadap wanita.

“Perusahaan seharusnya memberi fasilitas kesehatan di saat pekerja/buruh wanita yang hamil membutuhkan istirahat,” lanjutnya. 

Pemerintah Daerah Tegas Menolak dan Kurang Tahu Selama Proses RUU Cipta Kerja

Dalam lanjutan diskusi, Kirnadi, selaku pembicara dari Sekjen Asosiasi Buruh Yogyakarta dan Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DIY, menyampaikan draf RUU Cipta Kerja menjadi pukulan telak bagi serikat pekerja/buruh jika disahkan menjadi undang-undang.

“Rancangan undang-undang ini tidak semata-mata menjadi sebuah petaka bagi temen-temen buruh di pabrik, tetapi ini juga akan menjadi ancaman nyata bagi temen-temen yang dia akan menjadi pekerja atau buruh,” tegas Kirnadi.

Selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Andung juga menyampaikan dirinya hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan tidak tahu-menahu tentang pembahasan draf RUU ini.

“Prosesnya sangat cepat, sekitar empat bulan sejak November tahun lalu, sehingga kami di daerah pun sulit memantau pergerakan.”

 Huda Tri Yudiana, selaku Pimpinan DPRD D.I Yogyakarta, menyatakan secara pribadi menolak RUU Omnibus Law. 

“Faktanya, penopang ekonomi utama DIY adalah UKM-UKM kecil, yang bersistem atau bersifat persahabatan, dimana antara pengusaha dan pekerja saling membutuhkan,” ungkapnya.

Huda juga menambahkan, pentingnya kehadiran negara saat terjadi konflik antara pekerja dan perusahaan sehingga hak-hak pekerja bisa dipertahankan. 

Di akhir sesi diskusi, peserta diskusi menandatangani petisi yang akan dikirim ke pemerintahan pusat sebagai tanda penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

Penulis : Acmad Dhiyaul Khaq

Reporter : Acmad Dhiyaul Khaq, Velya Juwita

Editor : Muhammad Prasetyo