Beranda blog Halaman 46

Para Pengancam Koloni Lebah (3)

Himmah Online – Fenomena Colony Collapse Disorder (CCD), secara masif mulai dilaporkan oleh ahli dan peternak lebah pada sekitar tahun 2006. Keruntuhan koloni lebah ini merebak di hampir seluruh populasi lebah madu di dunia.

Sudah memiliki predator dan patogen alami, populasi lebah di beberapa negara masih mengalami CCD. Fenomena CCD pada koloni lebah umumnya memiliki gejala berupa hilangnya populasi koloni hanya pada waktu singkat, tanpa terdapat jejak berupa bangkai lebah atau patogen dan pestisida di koloni yang telah ditinggalkan. 

World Economic Forum menilai pengaruh serangga polinator terhadap ekonomi diperkirakan mencapai 235 – 577 miliar dolar AS.

“Kalau sepengetahuan saya ini besar sekali gitu loh (red- pengaruh terhadap ekosistem). Sepertiga dari makanan yang dihasilkan dari tumbuhan, polinatornya itu si lebah. Jadi satu koloni itu bisa sampai kalau ga salah 3 juta polinasi dalam sehari, sedangkan satu orang manusia itu cuma bisa 30 polinasi pohon per hari,” ujar Elfediyah Dinansari, mahasiswi Kelompok Studi Entomologi Fakultas Biologi UGM.

Terdapat setidaknya empat klasifikasi musuh utama populasi lebah madu, yaitu insektisida berupa Imidacloprid dan Clothianidin, insektisida jenis Neonicotinoid sebagai insektisida dengan penggunaan paling luas. Lalu terdapat fungi seperti Nosema sp dan Deformed Wing Virus (DWV), lingkungan, dan mikroorganisme terutama tungau Varroa dan bakteri Foulbrood.

Lain halnya dengan Indonesia. Jenis tanaman di Indonesia yang tidak terlalu mengandalkan lebah dikarenakan komposisi polinator beragam (Damayati Buchori et al., 2019). Meskipun begitu, lebah tetap menjadi polinator yang paling bisa diandalkan dikarenakan anatomi mereka secara efektif membawa serbuk sari ke putik bunga.

Peran Insektisida

Pada sekitar tahun 1990-an, petani di seluruh dunia diberikan kabar baik akan datangnya insektisida yang efektif dan tidak memiliki dampak mematikan terhadap lebah maupun serangga, yaitu neonicotinoid. Sebelumnya, petani menggunakan bahan kimia berupa minyak tanah, belerang, arsen, tembaga hingga air tuba yang digunakan masyarakat Jawa. 

Insektisida hadir dari kebutuhan agrikultur manusia dalam bentuk pertanian monokultur, berakibat selain lebah mendapatkan makanan yang terkontaminasi, asupan gizi lebah pun kurang beragam.

Terdapat studi mengenai lebah sebagai polinator di area yang ditanami padi oleh Annika Louise H. dkk. pada 2018 dan terbukti bahwa kurangnya keberagaman sumber makanan ikut mempengaruhi keragaman jenis polinator.

Racun serangga neonicotinoid bekerja dengan mengganggu saraf makhluk hidup, akibat yang diterima lebah madu berupa hilangnya kemampuan lebah untuk kembali ke sarang mereka, seperti yang ditemukan (Collin Monchanin dkk, 2019).

Selain itu, penelitian Harvard pada tahun 2014 yang ditulis oleh Chenseng Lu dkk., ikut mengungkapkan jika enam dari dua belas koloni yang dirawat menggunakan neonicotinoid menunjukkan gejala CCD berupa matinya lebah. Namun kejadian tersebut dapat dianggap sebagai langkah lebah untuk mengendalikan populasi koloni dan tidak meninggalkannya.

Sistem imun lebah yang terpapar neonicotinoid ikut melemah, mengakibatkan lebah rentan terserang penyakit dan melemahkan daya tahan koloni. 

“Nah kalau sarafnya rusak itu mesti. Mudah terserang Varroa, sudah lemah, di tunggangi Varroa lagi, diserap hemolymph-nya (darah lebah) lagi, Varroa-nya mengandung virus lagi, mengandung Nosema lagi,” ungkap Hari Purwanto, Dosen Fakultas Biologi UGM.

Bagi lebah, bisa dikatakan, neonicotinoid merupakan gerbang masuk dari permasalahan CCD. Beruntung, Uni Eropa pada tahun 2013 mulai melarang penggunaan neonicotinoid yang merupakan salah satu produk perusahaan industri kimia, Bayer. 

Tungau Varroa dan Virus

Alam memberi lebah beberapa mikroorganisme perusak koloni lebah, Ilmuwan banyak menemukan bahwa koloni terdampak CCD didapati tungau Varroa, tungau yang pertama kali ditemukan pada tahun 1904 di jawa dengan spesies Varroa Jacobsoni.

Anehnya, menurut Hari Purwanto, Tungau Varroa bukan menjadi pelaku peruntuh koloni lebah di Indonesia. 

“Tapi jumlahnya sedikit sekali, sangat sedikit sekali, 0,6 persen. Terus ada konferensi 93 di Jogja, saya sampaikan pada pakar di dunia, di Indonesia gak masalah, saya antara ditertawakan dan tidak dipercayai” jelasnya.

Saat ini, Varroa telah memiliki empat klasifikasi spesies, Varroa Destructor, Varroa Jacobsoni, Varroa Renderi, dan Varroa Underwood.

Varroa telah tersebar di seluruh dunia kecuali Australia, dikarenakan klasifikasi oleh para peneliti, sehingga mencegah parasit tersebut masuk, serta letak geografis Australia tidak mendukung akan persebaran parasit tersebut. Pengklasifikasian Varroa membantu peneliti untuk memahami perilaku parasit utama koloni lebah tersebut. 

“Denis Anderson dan David (David Trueman), akhirnya mempublikasi pada tahun 2000, yang kita kenal sebagai Varroa Jacobsoni ternyata ada dua, tapi kemudian ada satu jenis yang bisa berpindah ke (Apis) Mellifera, yaitu Varroa yang seperti Jacobsoni, nah mereka namakan Varroa Destructor, yang bikin merusak,” ungkap Hari Purwanto.

Baca juga: Colony Collapsed Disorder Tidak Pengaruhi Ternak Lebah di Indonesia.

Menurut artikel Varroa Mite, Varroa Destructor Anderson and Trueman (Arachnida: Acari:Varroidae) ditulis James D. Elis dkk., yang merangkum hasil penelitian David Anderson, Varroa betina dewasa dapat ditemukan pada lebah madu dewasa dan anakan. Sedangkan anakan Varroa hanya dapat ditemukan di sarang tertutup dan Varroa jantan tidak pernah keluar dari sarang lebah.

Betina Varroa dewasa mengalami dua fase dalam siklus hidup mereka, fase phoresis, fase dimana organisme menempel ke inang dan reproduksi. Selama fase phoresis, betina akan memakan lebah dewasa dan ditularkan dari lebah ke lebah saat lebah lalu-lalang di koloni.

Selama phoresis, Varroa betina hidup dengan lebah dewasa, dan biasanya dapat ditemukan di antara segmen perut lebah. Varroa menusuk jaringan lunak di antara segmen dan memakan lemak tubuh lebah.

Varroa selain berdampak langsung dengan menjadi parasit, memiliki peran sebagai vektor virus dan bakteri yang umumnya berupa Deformed Wing Virus (DWV) yang menghalangi pertumbuhan sayap lebah, dan fungi Nosema sp. sebagai penyebab diare pada lebah.

Perubahan Kondisi Ekosistem Lebah

Faktor-faktor CCD diatas diperburuk oleh hadirnya perubahan lingkungan koloni lebah. Lebah memiliki semacam sistem untuk menjaga kondisi koloni tetap ideal. Jika terlalu panas, beberapa lebah pekerja mengepakkan sayapnya di pintu masuk koloni. 

Pada musim dingin, lebah mengurangi populasi mereka untuk menghemat cadangan makanan, dengan lebah pejantan sebagai jenis yang pertama kali dikurangi. Suhu ideal koloni lebah adalah 15 °C sampai 37 °C.

Pemanasan global ikut menjadi tersangka dalam usaha yang mendukung faktor CCD tersebut. Belum lagi polusi udara dan suara, serta kebutuhan perluasan ruang untuk manusia, bertolak belakang dengan karakter lingkungan ideal bagi lebah. 

Suparlin, Seorang pemilik peternakan lebah asal Kaliurang, ikut merasakan perubahan jumlah populasi lebah dikarenakan perubahan lingkungan. 

“Penurunan itu karena alam, pohon randu itu yang dulu jawa tengah itu banyak, karena kapuknya gak payu dijual, akhirnya do ditebangi, dari kehutanan yang melindungi peternak lebah itu menanam, itu pertama itu areal makanannya. Kedua, areal tanamannya itu disemprot, nah pestisida tadi, jadi betul, populasi untuk lebah itu karena areal makanannya,” terangnya.

Penulis: Dhia Ananta

Reporter: Dhia Ananta, Janneta Filza A., Ika Rahmanita, Dadang Puruhita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

*Naskah ini merupakan seri ketiga dari tiga serial laporan khusus tentang lebah.

Dark Waters: Pertumbuhan Ekonomi dan Kelestarian Lingkungan

Judul: Dark Waters

Genre: Biografi, Drama, Sejarah

Sutradara: Todd Haynes

Durasi: 126 Menit

Argumen bahwa pengusaha lebih berkuasa dari negara bisa jadi benar adanya. Para pengusaha yang menggerakkan berbagai industri atau perusahaan sering kali dapat mempengaruhi kebijakan atau keputusan suatu negara. 

Misalnya peraturan tata kelola perizinan sampai dengan keputusan pengadilan apabila mereka berperkara. Ada semacam simbiosis mutualisme antara pengusaha dan negara.

Pengusaha dapat kemudahan dalam kegiatannya, negara (atau mungkin personal pejabat) akan mendapat kucuran dana berupa pajak. 

Bahkan besarnya produksi suatu perusahaan atau industri menjadi satu di antara tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun saat kedua pihak mendapat keuntungan, selalu ada pihak ketiga yang menjadi korban, dalam hal ini adalah masyarakat.

Kita dapat melihat gambaran hubungan perusahaan atau industri dengan masyarakat sebagai korban dalam film Dark Waters (2019) karya Sutradara Todd Haynes. 

Sebuah industri kimia besar bernama Dupont telah beroperasi selama puluhan tahun. Mereka membuat berbagai produk rumah tangga, bahkan menjadi pionir teflon. Sayangnya, selama puluhan tahun pula Dupont merahasiakan bahaya bahan baku yang mereka gunakan.

Tidak hanya menyembunyikan bahaya dari segi produk yang sudah dipasarkan, Dupont juga menyalahi pengelolaan limbah mereka. Polusi asap mereka terbang bebas di udara, limbah cair mereka mengalir di sungai dan terpendam di tanah. 

Dampaknya, banyak ternak yang sakit dan meninggal. Salah satu peternak melaporkan bahwa sapinya yang keracunan dan meninggal sebanyak 190 ekor. Tidak hanya pada binatang, warga juga terkena dampak berupa penyakit kanker dan sejenisnya.

Dupont berdalih bahwa penggunaan bahan berbahaya PFOA atau C8 untuk produk mereka belum diatur kadar amannya oleh pemerintah. 

Namun menyembunyikan dampak buruk yang telah mereka ketahui jelas hal yang salah. Apabila sudah seperti ini, apakah jargon-jargon pertumbuhan ekonomi lebih penting dari keselamatan masyarakat serta keseimbangan alam? 

Dalam film ini, tokoh utama Robert Bilott (Mark Ruffalo) merupakan pengacara yang mengadvokasi korban pencemaran limbah Dupont.

Pendapatan ekonomi

Banyak negara, termasuk Indonesia, mengukur pertumbuhan ekonomi dengan banyaknya produksi dan konsumsi dalam negeri. Menurut Ekonom Sadono Sukirno, pertumbuhan ekonomi menggunakan model Gross Domestic Product (GDP) atau dalam istilah Indonesia Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan pendapatan yang dihasilkan dalam suatu negara, termasuk pendapatan orang asing yang bekerja di dalam negeri. 

Metode GDP mengukur nilai barang dan jasa yang di produksi di suatu wilayah negara (domestik) tanpa membedakan kewarganegaraan, pada suatu periode tertentu. 

Secara sederhananya, semakin banyak barang atau jasa yang diproduksi dan dikonsumsi menandakan suatu negara baik secara ekonomi. Dampak buruk metode ini bisa terlihat dari kekikukan negara saat Dupont sudah terlampau besar dan menjadi salah satu penyangga ekonomi negara. 

Bahkan keadaan menjadi semakin sulit lantaran Dupont mempekerjakan banyak orang di negara itu, sesuatu yang dianggap berjasa pada pendapatan masyarakat.

Pertanyaannya, apakah sepadan mendapatkan beberapa miliar atau triliun dolar dengan kehilangan aset yang lebih tidak ternilai seperti keseimbangan alam? 

Mungkin menjadi prestasi saat bisa ekspor bahan kimia atau batubara, namun bagaimana dengan laut atau hutan yang semakin merana? 

Apabila dihitung, perbaikan lingkungan yang rusak jauh lebih mahal dibandingkan pendapatan yang diterima. Belum lagi kita berbicara kekayaan ekosistem yang hilang seperti tumbuhan dan hewan yang punah akibat pencemaran. 

Dalam Dark Waters, air yang merupakan sumber penghidupan sudah mati secara fungsi. 

“Itu seperti kau meminum ban karet,” kata salah seorang ahli dalam film, menganalogikan apabila meminum air yang telah tercemar industri Dupont. Matinya sumber air ini tentu tidak bisa dihitung secara nominal.

Orientasi suatu negara dalam perekonomian tercermin dengan metode yang mereka gunakan. Apabila melihat Indonesia yang menggunakan GDP, orientasinya jelas konsumsi dan produksi yang diharapkan semakin tinggi. 

Sebenarnya ada alternatif metode penghitungan ekonomi lain seperti menggunakan Genuine Progress Indicator (GPI). 

Apabila GDP menghitung baiknya pertumbuhan ekonomi dari pendapatan nasional saja, GPI menghitung pula kesejahteraan masyarakat serta dampak lingkungan.

Sebagai contoh, misal GDP menghitung kemacetan sebagai tanda yang bagus karena jumlah mobil yang meningkat dan sebagai tanda bahwa masyarakatnya berpenghasilan tinggi.

Namun GPI melihatnya sebagai hal yang tidak bagus karena membuat terbuangnya waktu di jalan dan bahan bakar serta polusi yang bertambah. Makin tinggi GDP semakin buruk GPI.

Dalam sebuah penelitian tahun 2014, Robert Constanza (Guru Besar Kebijakan Publik di Australia National University) melihat bahwa GDP merupakan mekanisme kuno yang mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan. 

Tujuan dari pertumbuhan ekonomi menurutnya adalah kesejahteraan manusia dan alam. Mungkin GDP meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan biaya mengatasi kejahatan, kerusakan keluarga, polusi, dan perubahan iklim (Kubiszewski et al., 2013). 

Dalam penghitungannya, metode GPI memasukkan 26 indikator di tiga kategori: ekonomi, lingkungan dan sosial (Vemuri dan Costanza, 2006; Costanza et al., 2007; Costanza et al., 2014b).

Bahkan Bank Dunia juga mengakui kekurangan GDP dan mengusulkan ukuran alternatif kesejahteraan ekonomi dengan Genuine Saving Indeks (GSI). 

Konsep yang mirip dengan GPI ini juga dikenal sebagai Adjusted National Savings (ANS). Metode GSI muncul dari kesadaran bahwa ‘keberlanjutan’ adalah konsep vital dalam ekonomi di seluruh dunia yang “bergantung pada sumber daya yang dapat habis”. (Hamilton, 2000; Bank Dunia, 2013).

Apabila alam menjadi prioritas suatu negara, pencemaran alam seperti yang dilakukan oleh Dupont seharusnya tidak akan dibiarkan dengan dalih pendapatan nasional. 

Sayangnya, Indonesia masih jauh dari memprioritaskan alam sebagai indikator pertumbuhan ekonomi. Jangankan menerapkan dengan ketat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum menyetujui suatu industri, bahkan pernah ada wacana untuk menghapuskan Amdal dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memudahkan investasi.

Kita Berhak Menuntut Ganti Rugi

Setiap ada industri di kawasan kita, maka kita juga berhak meminta ganti rugi atas alam dan tubuh yang tercemari. Efek pencemaran lingkungan yang kemudian berakibat buruk pada tubuh tidak terasa langsung, tetapi dalam jangka waktu yang lama dan seringnya tidak terasa. 

Masyarakat di kawasan industri Dupont baru merasakan akibat pencemaran pada ternak dan tubuh mereka selama beberapa tahun setelah proyek teflon berjalan. 

Di Indonesia juga tidak kekurangan kasus seperti ini, contoh paling besar adalah dampak pembangkit listrik yang menggunakan batu bara, salah satunya di Cilacap

Mungkin meminta ganti rugi menjadi salah satu solusi, tetapi jauh lebih penting tetap menghentikan asal pencemaran dengan menutup industri yang nakal.

Banyak dalih industri untuk mencari “aman”. Bisa jadi dengan mempekerjakan masyarakat sekitar, memberikan dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR), atau memberikan banyak hadiah untuk para karyawannya. 

Dalam film terlihat bahwa karyawannya diberi katalog untuk memilih hadiah yang mereka inginkan. Karyawan merupakan orang yang sangat dekat dengan industri dan sangat mungkin yang terpapar lebih dahulu. Dampaknya, banyak yang terserang sakit bahkan meninggal sejak bekerja di Dupont. 

Mungkin pemberian dana atau hadiah bahkan lapangan pekerjaan terasa menggiurkan. Namun tetap saja, itu tidak seberapa dengan kerugian yang alam dan manusia dapatkan. 

Saat alam dan manusia sedang menuju proses pesakitan, para bos industri bersantai dan datang di acara amal dengan makanan enak dan tentunya jauh dari pusat pencemaran.

Terasa Datar dan Tidak Lengkap 

Sedari awal masalah muncul, seakan jalan pengungkapan kasus pencemaran lingkungan lancar saja. Tidak ada kendala berarti yang Robert Bilott hadapi misal ancaman keselamatan. Penonton akan santai menerka bahwa Bilott pasti akan menang dalam menjalankan kasus ini.

Dark Waters juga menjadi semacam “berat sebelah” saat tidak menampilkan perspektif negara maupun industri. Sebenarnya memberikan pola dan hubungan bawah meja antara industri dan negara menjadi penting. 

Hal itu agar kemudian masyarakat bisa mengontrol berbagai sektor yang mungkin mereka gunakan. Ketidakseimbangan ini dalam istilah jurnalisme disebut tidak cover both side

Terlepas posisi industri dan negara yang bersalah, mereka perlu diberi porsi untuk “klarifikasi” dalam kegiatan sehari-hari, bukan hanya dalam pengadilan yang juga ditampilkan secara singkat-singkat itu.

Sebagai penggambaran bahwa masyarakat punya hak atas industri yang secara langsung atau tidak merugikan menjadi penting dan mudah diterima dalam penyampaian film ini. Walaupun banyak istilah kimia, penjelasan oleh para pemeran mempermudah pemahaman. 

Mungkin saat ini tidak semua orang peduli akan isu lingkungan, karena tidak semua orang pernah mengalami atau dekat dengan perkara. Itu sah saja. Tapi jika kita hanya diam dan acuh, jangan terlalu marah juga apabila suatu saat justru kita yang diacuhkan.

Gaung Revolusi di Dalam Sebuah Bus

0

Jam 9 pagi lewat beberapa menit aku menaiki sebuah bus antar provinsi di terminal A (karena beberapa alasan aku tidak akan menyebutkan nama tempat itu). 

Ada rasa senang mendapatkan bus pagi ini. Aku memilih jadwal pagi ini agar bisa menikmati pemandangan alam yang seharusnya sudah masuk musim hujan. 

Namun banyak daerah belum juga turun hujan, petani tentu mengeluh. Sementara itu para akademisi masih saja membicarakan perubahan iklim melalui seminar-seminar.

Mereka mencari apa penyebab musim kemarau berkepanjangan ini, tetapi tidak mampu menemukan cara mengatasi kemarau berkepanjangan yang menyusahkan banyak orang. 

Para penguasa yang menggencarkan investasi terus saja menggunduli hutan, meratakan gunung-gunung, dan membuat kering badan sungai nyaris sepanjang tahun. 

Sumber air yang telah ada sejak ratusan atau ribuan tahun lalu tiba-tiba kerontang. Orang-orang tetap mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih untuk kehidupan sehari-hari.

Di dalam bus penuh sesak dengan banyak penumpang. Tempat duduk yang disiapkan bus ini sudah terisi penuh. Beberapa penumpang yang baru naik terpaksa memilih untuk berdiri, termasuk aku sendiri. 

Salah satu penumpang terpaksa harus turun, sambil berucap pada bapak Kernet yang berada di pintu belakang.

Tak tunggu yang berikut aja, Pak.”

“Ini paling juga di depan banyak yang turun,” balas Pak Kernet sedikit merayu.

Ucapan Kernet ini juga seolah menguatkan semangatku untuk menumpangi bus ini. Meski tahu penuh penumpang, pandanganku masih mencari-cari kursi yang kosong, berharap ada yang memberi kesempatan. 

Desak-desakan para pedagang menawarkan proses transaksi juga kadang mengganggu posisi berdiriku, yang juga ikut mengganggu mereka yang sudah terlanjur nyaman pada kursi bus.

Bus melaju keluar, dan di pintu keluar terminal beberapa pedagang dengan cekatan melangkah menuju pintu untuk turun. Bus berhenti, pedagang bergegas turun semua. 

Dua orang naik lagi dari pintu belakang. Satu di antara mereka berpakaian seragam polisi, lengkap dengan sepatu boneng hitam kebanggaannya yang dibeli dengan keringat rakyat yang kini sedang berdesak-desakan di dalam bus ini juga. 

Seorang lelaki berpakaian compang-camping membawa juk (gitar kecil) ikut masuk bersama dengan Pak Polisi. Sungguh rupa-rupa benar penumpang bus seperti ini.

Kebetulan tempatku berdiri semula dekat dengan pintu belakang, yaitu di posisi paling ujung. Setelah aparat negara berseragam coklat itu masuk, ia mengambil bagian di sampingku (otomatis ia menjadi yang paling ujung berdiri). 

Aku digeser menjadi nomor dua dari ujung belakang. Pengamen meminta permisi lalu mengambil posisi ke bagian tengah. Bus melaju lagi.

Pengamen memulai pekerjaannya. Tapi ia tak mampu menarik perhatianku. Aku memperhatikan beberapa tempelan pada bagian bahu baju pak polisi, mencari tahu apa pangkatnya, untuk kuajak ngobrol sesuai tingkatan pangkatnya. 

Namun, sepertinya ia telah mencopot identitas tersebut. name tag-nya juga agak sulit aku baca karena posisi hadap kami searah dan aku tidak mungkin menengok ke bagian dadanya dengan menundukkan kepala ke depan. 

Ah, lupakan saja keinginan untuk ngobrol. Apalagi ngobrol dengan petugas negara macam ini.

“Tujuannya mana, Mas?” Pak Kernet bertanya sambil memandang padaku. 

“Mau ke kota Z, Pak,” jawabku sekenanya.

“Bentar ya Mas, di depan (kota B) banyak yang turun,” Pak Kernet mencoba menghiburku. 

Aku hanya menganggukan kepala. Aku merasa dihipnotis karena Pak Kernet melihat ulang rute penumpang dari tiket yang ia pegang. Memastikan bahwa omongannya serius dan jujur.

Sekitar dua puluh menitan dari terminal A, beberapa kursi mulai ditinggalkan penumpang yang turun di tempat tujuan mereka, kota B seperti yang dijanjikan Pak Kernet barusan. 

Alhamdulillah, aku dan Pak Polisi mendapat kesempatan untuk duduk di kursi karena tempat duduk yang kosong ini tepat pada posisi aku dan Pak Polisi berdiri. 

Beberapa penumpang masih berdiri. Pak Polisi duduk di kursi baris kedua dari belakang dan aku duduk di kursi baris ketiga, kursi bagian tengah bus dekat dengan jalan lorong tengah.

Di luar jendela ada penampakan yang menurutku aneh dan lucu. Sisi bagian kanan bus, menampilkan bentangan tikar aspal yang tampaknya tak berujung. Ditopang oleh ribuan pancang beton yang berdiri kokoh di atas lahan sawah yang kehilangan air.

Bentangan jalan beraspal itu terbagi menjadi dua jalur untuk kendaraan yang melaju di atasnya, dibatasi oleh tembok-tembok batu setinggi satu meter. 

Kedua sisi hamparan  dipagari kawat duri. Mungkin jalanan itu enggan bertetangga bersama pohon-pohon tanpa dedaunan yang berdiri pasrah memohon hujan. 

Sedangkan di sisi bagian kiri bus, empat buah besi tua kecoklatan dikerumuni koloni kerikil-kerikil batu, sedang berbaris menentang sinar matahari. Siap menjadi orbit untuk dikangkangi teknologi ular besi. 

Mengantarkan mobil dan kendaraan buatan pabrik besar entah dari mana itu masuk ke desa-desa, lalu menukarnya dengan hasil bumi yang bermutu. 

Diangkut menuju kota-kota yang juga entah di mana. Menuju Amerika, menuju Eropa, menuju seluruh Dunia. 

Rinduku pada bantal lebih besar daripada pemandangan-pemandangan kering-kerontang yang membuat muak dan kurang menggoda sepanjang jalan. 

Sejak kekuasaan tiran para oligarki yang berpihak investor itu memenangkan pemilu dengan cara menipu rakyatnya, aku sudah tak berselera lagi menikmati pemandangan seperti ini. 

Maka dengan terduduk di dalam bus, aku melepas kantuk yang sejak semalaman menyiksaku demi menikmati kopi malam bersama saudara sedaerah.

Tas ransel aku peluk supaya tidak mengganggu sandaran tulang belakangku pada kursi bus. Tidak ada bawaan berharga di dalamnya selain sebuah sarung dan beberapa kaos. 

Sebuah syal etnik pemberian ibuku yang selalu kubawa kemana-mana saat bepergian baik jauh maupun dekat menutupi wajahku. Dunia mulai gelap dan semuanya seolah hilang dalam bayang.

***

“CUUKK,” perasaanku menggerutu. Kaget, kesal, dengan cepat kusibak syal yang menutup segala keanehan ekspresi wajahku waktu tidur. Pandanganku segera mencari-cari. 

Seorang lelaki bertubuh pendek muncul dari arah belakang. Tangannya mencengkram rambutku bersama bagian atas kursi tempat dudukku. 

Aku seolah dijambaknya. Kemarahan menguasaiku, moralitas mengajakku berpikir ulang. 

Bentuk fisiknya membuatku jatuh kasihan. Ia sepertinya membutuhkan medium pembantu. Berusaha melewati kepadatan manusia yang sedang berdesak-desakan membutuhkan sebuah ruang. 

Orang ini tidak membawa apapun di tangan, sebuah topi menutupi rambutnya, terus maju, maju dengan bersusah payah. Tanpa menyadari sesuatu telah ia perbuat padaku.

Tatapanku masih saja mengikuti perjuangannya untuk sampai ke depan. Mencoba mencari tahu di mana ia akan mendapatkan tempat yang layak. 

Penglihatanku terhalang oleh mereka yang berdiri lebih banyak lagi dari sebelum aku terlelap. Benakku masih berputar pada sosok orang itu.

Tak lama kemudian, ada suara memenuhi ruangan bus. “Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, salam sejahtera, selamat siang”

“Permisi Pak Sopir, dan kedua krunya yang sedang bekerja, mohon maaf sebelumnya dan bla bla bla…” 

Ocehan itu terasa seperti uluk salam dan permohonan seorang tamu yang meminta izin pada tuan rumah. 

Setelah kuselidiki lebih teliti ternyata yang bicara adalah lelaki pendek yang tadi telah menjambakku.

“Para penumpang yang sedang melakukan perjalanan, mohon maaf  kalau saya sedikit mengganggu perjalanan Anda semua.”

Suara itu masih terus layaknya seseorang hendak berpidato sebelum sampai pada isi dan inti pembicaraan.

Aku yang duduk sebagai penumpang, semakin tidak karuan. Kekesalanku atas tindakannya barusan mulai berlipat ganda. 

Suara dari mulutnya hilang sesaat, namun bunyi-bunyian dari beberapa logam yang saling bersentuhan dalam gerakan yang tidak karuan mulai memenuhi udara. 

Entah di mana ia menaruh logam-logam itu, yang jelas bahwa barusan saat ia lewat, tangannya menggenggam udara hampa. 

Mungkin itu memang bagian dari strateginya untuk mencari makan. Mengelabui aparat yang menjalankan aturan pemerintah terkait larangan ngamen. 

Menghindari operasi Dinas Sosial setempat yang menyarankan masyarakat tidak memberikan sesuatu kepada pengamen ini. 

Aku menutup mataku lagi. Mengambil posisi melanjutkan tidurku yang sempat terganggu. Mencoba apatis terhadap lingkungan sekitar.

“Buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota…”

Suaranya muncul lagi dengan nada dan pengaturan napas yang sedemikian rupa. Menggema bersama bunyi logam-logam saling mendukung satu sama lain. 

Aku terkejut, kaget kalang kabut melebihi cara ibu membangunkan anaknya dengan cara membawakan air dan sapu lidi di waktu pagi semasa sekolahku dulu.

Daun telingaku bangkit tersentak siap menerima semua gema suaranya. Semua tindakannya atas diriku barusan seolah termaafkan dengan lagu yang ia bawakan. 

Hatiku meluas samudra, menghapus segala kesalahannya. Pentasnya memercik seluruh jiwaku seperti kebakaran yang menjalar pada padang ilalang.

“…Bersatu padu rebut demokrasi

Gegap gempita dalam satu suara

Demi revolusi sejati…”

Kata “revolusi” sampai di gendang telingaku. Aku hafal betul lirik lagu ini. Sebuah lagu wajib yang sering dinyanyikan saat menyampaikan kritik-kritik di muka umum. Menjadi suluh semangat saat menyuarakan kebenaran-kebenaran di pertigaan depan kampusku dulu. 

Dendang harapan anak bangsa demi menjalankan tugas suci melalui jalanan. Kepalaku muncul dari samping kursi, menengok belakang ke arah Pak Polisi. 

Memastikan ekspresi apa yang ditampilkannya. Tidak ada yang aneh di wajah Pak Polisi, ia diam, matanya terbuka pertanda sedang sadar dan mendengarkannya juga. 

Ketidakadilan menuntut hadirnya revolusi, bukan hanya sebagai sebuah harapan, namun sebagai solusi yang wajib untuk diwujudkan menjadi nyata. 

Revolusi juga sejarah yang melekat erat dalam diriku. Revolusi kembali merawat ingatanku, di mana aku pernah berurusan dengan aparat negara, disalahkan karena aku mengucapkannya.

***

“Uhuuuii” suara sumbang dari kernet dan beberapa penumpang seolah ikut mendukung kata “REVOLUSI”. Yang lainnya masih saja diam, entah mereka tidur atau memang asyik mendengarkan. Jiwaku pun berontak, seakan ingin mengangkat kepalan tangan kiri sambil meninju atap-atap bus menembus langit biru.

“…Hari-hari esok adalah milik kita

Terciptanya masyarakat sejahtera

Terbentuknya tatanan sosialis

Indonesia baru tanpa investor…”

Bukan, bukan anutan ideologi yang ia sampaikan. Tapi ia mengatakan sebuah mimpinya sekaligus rasa kekesalannya atas kenyataan-kenyataan masyarakat yang jauh dari harapan akibat ulah dan janji-janji politik. 

Tidak ada arti duka cita seseorang harus memohon perubahan dan mimpinya diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa atas hidup dan mati rakyatnya.

“Marilah kawan, mari kita kabarkan

Di tangan kita, tergenggam arah rakyat

Marilah kawan, mari kita nyatakan

Sebuah lagu tentang pembebasan

Sebuah lagu tentang revolusi…”

Sebuah kabar gembira perjuangan para nabi, yang disampaikannya bersama ajakan-ajakan untuk menjalankannya bersama-sama.

“…Di bawah caping jerami, kususuri garis matahari

Di bawah kuasa tirani, kususuri garis jalan ini

Berkali kali turun aksi, berjuta kali bertani

Bagiku satu langkah pasti

Berjuta kali turun aksi, bagiku sosialis pasti jaya”

Ia mulai menyatakan latar belakang kehidupan sosialnya, keinginannya pada perubahan digambarkan dalam wibawa melawan terik panas berkepanjangan ini. Jangan biarkan sang surya malu atas tindakan tirani yang sewenang-wenang terhadap masyarakat.

Keberanian harus bertindak membela kebenaran. Ketakutan telah dimatikan sejak kami dilahirkan di ranjang kemiskinan.

Menceritakan cara-cara perlawanan terhadap kezaliman. Sikap percaya diri terhadap sebuah tata dunia yang baru. 

Dunia yang memberi kesempatan bagi semua orang untuk mendapatkan dan menikmati perlakuan yang sama. Dunia yang tanpa memilah mayoritas dan minoritas. 

Terwujudnya keadilan seperti yang dijanjikan dalam salah satu butir Pancasila, sebagai falsafah negara yang dianggap final serta sakti oleh pemangku kepentingan tanpa bisa menjelaskannya, apalagi mewujudkannya. 

Aih, pikiranku melantur kemana-mana terkenang dengan kehidupan jalanan yang masih kukhidmati sampai sekarang.

Nalarku memenuhi segala semesta, pikiranku mulai berkelana menjelajahi alam raya. 

Dari lirik-lirik yang ia gubah, mulai dari apa yang ia bawakan setidaknya ia memahami bahwa ketidakadilan dan ketimpangan atas cara untuk memenuhi kebutuhannya ini tidak lagi berkutik pada halal haramnya kehidupan. 

Ini bukan pilihan dirinya sendiri, ini bukan keinginannya. Tapi pembentukan dan juga pemaksaan dari sebuah tangan yang menciptakan kesenjangan ini. Ada suatu sistem yang sengaja merancang krisis ini. 

Yah, tangan itu adalah tangan pemodal dan sistem itu adalah ekonomi kapitalis. Sayang pengamen ini tak paham tangan siapa yang telah mencekik lehernya. Atau mungkin ia paham dengan caranya sendiri.

Handphone mulai kukeluarkan dari saku celana. Menengok penunjuk waktu pada layarnya, kudapati tanggal 02 Desember 2019, pukul 10 lewat 19 menit WIB. 

Waktu hanya kuhapalkan saat sedang rajin masuk kuliah saja, mendengarkan ocehan-ocehan birokrasi, namun beberapa minggu ini aku mengalami kebosanan dalam ruang-ruang fetisisme yang mengumbar janji-janji serta harapan palsu atas keberhasilan masa depan tersebut. 

Semua hari sama saja, yang membedakan adalah nama-nama almanak. Momen indah yang tak boleh kulewatkan, kejadian yang harus kutulis setelah tiba di kota Z tujuanku nanti. Aku mencatatnya di lembaran ingatan kepalaku.

Beberapa saat kemudian bunyian-bunyian logam mulai padam, tapi suaranya terus saja menggema. 

Mengucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada Pak Sopir dan krunya. Permohonan maaf beserta beberapa kata penutup ditujukkan kepada semua penumpang.

Aku yang juga turut senang atas pentasnya itu, mulai merogoh beberapa recehan yang sengaja kusiapkan sebelumnya. Kebaikan hati hasil dari didikan moral yang sering disarankan ibuku di saat kami hendak bepergian. 

Tas ransel yang berada di pangkuanku, sengaja kuturunkan, jaket yang kukenakan, kusibak agar terbuka. 

Menampakkan desain kaos yang kukenakan. Saat ia sampai di hadapanku menyodorkan topi yang harusnya ia kenakan di atas mahkota kepalanya, seolah menuntut simpati atas ketimpangan sosial ini.

Sebelum kumasukkan sesuatu pada topi itu, kutunjukkan tulisan yang tertera pada kaosku “DAULAT TANI TANPA PENGGUSURAN”, sambil berbisik di telinganya.

 “Salam Kamerad.”

 Ia pun membalasnya. 

“Salam,” dengan nada yang lebih lantang namun pandangannya tetap fokus ke arah depan, arah Pak Polisi yang berada tepat di belakangku. 

Tanpa berbalik lagi, ia pun langsung menuruni bus bersama beberapa penumpang yang sudah sampai pada tujuan perjalanan mereka. 

Ia berlalu, namun meninggalkan kenangan dan ide-ide yang kurawat sebagai harapan. Harapan yang ia sampaikan lewat lirik-lirik lagu yang beberapa telah diubah olehnya.

Begitu si pengamen turun. Pak polisi yang persis berada di belakangku, membuang napas panjang sambil berucap santai.

“Revolusi Mbah-mu…”

Sepucuk Surat Cinta untuk Pak Rektor

0

Yang kami banggakan,

Pak Fathul Wahid,

Di Kampus Perjuangan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hai, Pak Rektor! Apa kabar? Kami berdoa semoga Bapak sekeluarga  selalu dilimpahi rahmat dan kesehatan, ya, Pak. 

Tidak lupa juga kami selalu berharap kepada Allah SWT untuk selalu memberikan Bapak kekuatan dan kesabaran dalam mengemban amanah yang sedang dipikul saat ini.

Pak, surat ini adalah salah satu cara mengungkapkan perasaan cinta, bangga, serta apresiasi kami terhadap kebijakan terbuka pak rektor dalam merespon situasi sosial politik Indonesia akhir-akhir ini.

Kemungkinan besar Bapak tidak mengenali kami berdua karena banyaknya jumlah mahasiswa UII. Perkenalkan, kami berdua adalah Inda Sembiring dan Kenny Meigar, dua mahasiswa dari program studi Hubungan Internasional UII.

Kami bukanlah mahasiswa dengan segudang prestasi maupun aktivis ulung. Kami hanyalah mahasiswa biasa yang mencoba peduli dengan kampus kita tercinta.

Jadi, Pak Rektor hanya perlu duduk manis dan membaca surat ini dengan tenang.

Akhir-akhir ini, akun resmi media sosial UII aktif mengunggah konten mengenai prestasi kampus kita. Hal ini terjadi karena memang pada tahun 2019, UII mendapat beberapa penghargaan bergengsi.

Mulai dari PTS (Perguruan Tinggi Swasta) terbaik dalam kinerja penelitian, PTS terbaik dalam kinerja pengabdian masyarakat dan PTS paling lestari di Indonesia. 

Bahkan, berdasarkan QS Asia University Ranking 2020, UII kembali masuk jajaran 500 Universitas terbaik se-Asia!

Berbagai penghargaan tersebut diterima karena memang di periode Bapak kami melihat UII mulai menggencarkan peningkatan kualitas pelayanan di setiap aspek. Meskipun tidak banyak yang memperhatikan, salah satunya adalah penyediaan komputer khusus low vision di perpustakaan. Fasilitas ini tentu menunjukan bahwa UII merupakan kampus yang terbuka untuk semua orang.

Tapi Pak, sebenarnya masih banyak “PR” di kampus tercinta ini yang harus kita selesaikan bersama. Berikut dua hal yang semoga mendapatkan perhatian lebih dari bapak dalam beberapa tahun ke depan.

Pertama, meningkatkan kesadaran di lingkungan kampus agar lebih ramah terhadap perbedaan.

Kedua, menjadikan UII sebagai institusi yang dapat diakses oleh siapa saja.

Mari Pak, kita bahas satu per satu;

Meningkatkan Kesadaran di Lingkungan Kampus agar Lebih Ramah Terhadap Perbedaan

Bapak Rektor yang sangat kami banggakan, Bapak pasti sadar, akhir-akhir ini bapak sedang menjadi pusat perhatian dan perbincangan masyarakat Indonesia. Khususnya di kalangan para sivitas akademika. 

Kami bangga memiliki rektor yang mampu menghidupkan kembali esensi netralitas akademis di tengah hiruk-pikuk situasi politik Indonesia. Kami sangat bangga bahwa Pak Fathul Wahid berani “tampil beda” dari tokoh universitas lainnya.

Kami ingat betul Pak, bagaimana bapak turut berpartisipasi dalam demonstrasi dengan mahasiswa ketika aksi #GejayanMemanggil sebagai sarana menyampaikan aspirasi. 

Kami juga ingat betul Pak, bagaimana Bapak menerima UAS (Ustaz Abdul Somad) sebagai simbol bahwa penting bagi sebuah universitas untuk tetap mempertahankan ruang-ruang dialog di tengah kontroversi dan perbedaan yang ada. 

Hal ini senada dengan perkataan Bapak, yaitu berbeda bukan berarti tidak bisa hidup berdampingan.

Dalam ranah akademis, memang sudah seharusnya kita mengkaji sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kami yakin Bapak sudah sangat paham akan hal ini, dan inilah semangat akademis di UII yang harus selalu kita jaga. 

Jangan sampai terdapat sivitas akademika UII yang berpikir pendek terhadap paham atau suatu hal hanya karena hal tersebut bersifat baru dan tidak terlalu familiar, seperti anggapan bahwa feminisme adalah produk gagal dan paham sesat dari Barat. 

Salah satu dosen kami pernah mengatakan, “kenapa ya, kita mudah sekali sesak napas terhadap perbedaan?” 

Tahun 2019 kemarin dalam memperingati hari ibu, UII mengadakan kajian dengan tema “Kemuliaan Perempuan dalam Islam” yang merupakan bagian dari rangkaian seminar moderasi Islam. 

Hal ini sangat luar biasa, Pak, kenapa? Karena UII mampu menunjukan bahwa kita dapat mengadakan kajian yang mengangkat isu gender di masjid. Bahkan, kami sangat senang pemateri yang dihadirkan adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. yang merupakan satu di antara ahli tafsir terkemuka yang ramah gender.

Kami sangat senang, UII mulai memberikan perhatian terhadap isu kekerasan perempuan. 

Dalam salah satu Pojok Rektor tentang kajian RUU-PKS yang diadakan oleh UII, Pak Fathul pernah mengatakan bahwa memperjuangkan hak perempuan tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan sendiri, namun juga perlu melibatkan laki-laki.

Dari penjelasan di atas, kami dapat melihat bahwa Pak Fathul Wahid merupakan dosen yang ramah terhadap perbedaan dan memiliki semangat keadilan dan kesetaraan. 

Keterbukaan ini sangat penting pak, mengingat visi kampus kita yaitu terwujudnya UII sebagai kampus yang rahmatan lil’amin. UII hadir bukan hanya untuk orang Islam saja, namun juga bagi seluruh semesta. 

Di sinilah peran para akademisi UII menjadi penting, yaitu sebagai “jembatan penghubung” antara kitab kuning dan kitab putih, atau ajaran agama dan ilmu pengetahuan modern. 

Jadi, kami harap kedepannya jangan sampai terjadi pembatalan sepihak atau bahkan pembubaran kegiatan kajian akademis mahasiswa hanya karena isu yang diangkat dianggap sensitif di masyarakat.

Menjadikan UII Sebagai Institusi yang Dapat Diakses oleh Siapa Saja

Senang sekali rasanya ketika menyusuri Boulevard UII yang mendukung akses teman-teman penyandang tuna netra. 

Fasilitas yang mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan manusia yang memang hakikatnya selalu berbeda. Perbedaan yang ada menjadikan ungkapan “There’s always room for improvement,” sangat relevan. 

Di UII misalnya, meskipun telah terdapat berbagai kemajuan, namun fasilitas yang mendukung mobilitas kelompok dengan kebutuhan khusus masih sangat minim. 

Terlebih lagi belum semua fasilitas di UII bersifat accessible. Dua di antaranya adalah Masjid Ulil Albab dan Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito. Memang ini hanyalah berdasarkan pengalaman pribadi yang kami alami, namun tetap dapat dijadikan catatan dan mendapat perhatian. 

Selain para disabilitas, pihak yang menghadapi kesulitan untuk mengakses Masjid Ulil Albab dan GKU adalah lansia dan ibu hamil. Sungguh disayangkan bahwa terdapat orang yang kesulitan hingga harus berfikir dua kali untuk mengakses Masjid Ulil Albab.

Tentu saja ibadah salat dapat dilakukan di banyak tempat yang aksesnya lebih mudah, namun pengalaman dan perasaan sense of belonging menjadi bagian dari UII ingin dirasakan pula. 

Bisa dibayangkan bagaimana jika ada orang yang menggunakan kursi roda ingin sholat di Masjid Ulil Albab? Apakah ada akses untuk mereka? 

Apalagi pengalaman melihat pemandangan Boulevard UII yang indah dari masjid, serta lampu menawan dan suasana syahdu yang dirasakan ketika berada di dalamnya. Rasa cinta dan syukur kepada Sang Pencipta sungguh dapat dirasakan. 

Beberapa waktu yang lalu, kami mendapati sosok guru berusia lanjut dan kondisi kesehatan terbatas dari salah satu sekolah naik ke lantai tiga GKU. Beliau tertatih dan menghela nafas berkali kali ketika tiba di lantai tiga. 

Sebuah pemandangan yang meremuk hati, khususnya ketika membayangkan apabila beliau adalah orang tua kita atau kita berada di posisi beliau.

Andai saja terdapat fasilitas yang mampu mendukung kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Kami sangat berharap bahwa UII sebagai institusi yang sedang menggapai mimpi untuk menjadi universitas kelas dunia dapat menyelesaikan tantangan tersebut. 

Tentu banyak dari kita yang menemukan keluarga baru di institusi ini, sehingga UII adalah sebuah rumah. Layaknya rumah yang kita miliki sendiri, tentu kita semua ingin menjadikannya sebuah tempat yang nyaman dan berkesan baik. 

Dukungan dan Semangat untuk Pak Rektor

Pak Rektor, mungkin pengalaman dan pemahaman kami mengenai hidup dan kepemimpinan masih jauh lebih sedikit dibandingkan Bapak, sehingga tentu saja ini bukanlah nasihat atau tulisan yang bermaksud menggurui. 

Menjadi pemimpin pasti tidaklah mudah, ya, Pak, terdapat banyak sekali harapan dari berbagai pihak yang terus mengikuti Bapak.

Belum lagi berbagai pertimbangan pribadi yang Bapak miliki karena harus mempertanggungjawabkan semuanya kelak di akhirat. 

Namun, kami yakin bahwa Bapak telah melakukan usaha terbaik demi kemajuan dan cita-cita UII. Terimakasih atas perjuangan dan usaha bapak sejauh ini, kami berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan dan kebaikan yang sesuai untuk Pak Rektor beserta jajaran. 

Pak Rektor, ternyata benar bahwa amanah tidak perlu dicari-cari, namun ketika ia menghampiri, kita harus mengerjakannya dengan sepenuh hati, bukan lari. Kami merasakan kesepenuhatian Bapak. 

Pak Rektor, 

Sering kali memimpin terlihat tidak sukar,

Memang hanya lapisan luar lah yang sekilas membuat mata berbinar.

Namun, layaknya manusia lainnya, pemimpin mestilah gusar,

Berfikir mengenai apa apa yang dirasanya masih belum benar.

Menjadi pemimpin bukanlah perihal wajah sangar,

Apalagi lisan kasar dan ayunan tangan yang siap menggampar.

Namun, perihal bagaimana telinga selalu siap mendengar,

Dan tutur kata berbalut doa dari hati yang tegar,

Serta tangan penuh kesiapan untuk merangkul dengan balutan rasa sabar. 

Selamat berjuang, Pak Fathul Wahid.

Hormat Kami, 

Inda Sembiring dan Kenny Meigar

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Seorang Mahasiswa UII Meninggal Dunia Karena Kecelakaan Lalu Lintas Saat Masa KKN

Himmah Online, Kebumen – Sigit Tiswo Arrahman, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (PBI UII) angkatan 2016 meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, bertepatan pada masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) unit 125, angkatan 60 yang dilaksanakan pada 21 Januari – 21 Februari 2020. 

Menurut informasi dari warga sekitar, Sigit ditemukan pada tanggal 12 Februari 2020 pukul 22.30 WIB di daerah Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, berjarak 38 km dari lokasi KKN-nya yang berada di Kecamatan Buayan.

Warga setempat kemudian melaporkan kejadian tersebut pada Polsek Ambal, lalu kepolisian mengidentifikasi Sigit sebagai mahasiswa UII lewat tanda pengenal yang ada. 

Selanjutnya, kepolisian mengambil tindakan untuk menghubungi unit KKN UII terdekat dengan tempat kejadian perkara. Informasi tersebut disampaikan kepada Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan DPPM UII. 

Edi Fitriyanto selaku Kepala Pusat KKN Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM UII) memberikan penjelasan, Sigit meninggal dunia akibat cedera berat pada bagian kepala.

Edi menyatakan pihak DPPM baru dapat berangkat pada dini hari, 13 Februari 2020 karena mengalami keterbatasan dalam mobilitas. Sebelum berangkat, DPPM melakukan koordinasi terhadap pihak rektorat, fakultas, prodi, dan orang tua untuk memberi kabar terkait peristiwa yang menimpa Sigit. 

“(Sigit- red) dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan meninggal dunia,” terang Edi.

Sedangkan pada kronologi kejadian, Edi menjelaskan tidak adanya saksi mata ketika peristiwa yang menimpa Sigit berlangsung. Pada tempat kejadian perkara tidak ditemukan kendaraan lain selain yang dikendarai oleh Sigit. 

“Dari kepolisian itu ada beberapa versi yang mungkin tidak dapat kita sampaikan, baru berupa dugaan-dugaan (kronologi kecelakaan -red). Almarhum ditemukan, tidak ada kendaraan lain kecuali kendaraan yang dikendarai dalam keadaan rusak,” jelas Edi.

Pada penanganan selanjutnya, Edi mengatakan DPPM bersama mahasiswa KKN UII dan Camat Ambal mengantarkan jenazah ke rumah duka. 

Ayah dari Sigit, Suratman ketika ditemui di rumah duka mengatakan tidak mengetahui dengan jelas kronologi kecelakaan yang menimpa anaknya. 

“Saya itu memang nggak tahu persis kejadiannya seperti apa. Intinya keluarga sudah ikhlas, tidak akan menyalahkan siapa-siapa,“ ungkap Suratman. 

Suratman merasa berterima kasih pada pihak rektorat yang telah membantu kelancaran proses rangkaian jenazah mulai ditemukannya hingga pemakaman. 

Di lain sisi, Edi selaku penanggung jawab KKN menjelaskan DPPM akan melakukan evaluasi dengan meninjau kembali regulasi KKN.

“Pada wilayah tertentu perizinan kita perketat, perizinan meninggalkan lokasi. Kita harapkan kemudian itu meminimalkan perjalanan jauh, karena kebanyakan mahasiswa belum terbiasa dengan medan,” tambah Edi.

Edi juga mengatakan regulasi tersebut bertujuan agar mahasiswa lebih fokus pada rangkaian KKN, sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan lebih cepat. 

Langkah preventif yang akan dilakukan DPPM UII untuk mencegah kejadian serupa terjadi berdasarkan paparan Edi adalah meninjau celah-celah yang dapat menimbulkan risiko terhadap mahasiswa, seperti radius perjalanan dan jam berkegiatan. 

Selain itu, juga akan dilakukan evaluasi kembali pada safety riding. Pihak UII juga akan diberikan pengetahuan terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) kepada mahasiswa. 

Pembekalan seperti kejelasan konsep kegiatan pun diperlukan sehingga mahasiswa menyadari benar tujuan yang harus dicapai dalam rangkaian KKN.

“Nanti akan kita lihat lagi efektif apakah tidak (regulasi yang dicanangkan -red), kalau memang tidak efektif kita akan evaluasi lagi. Mungkin suatu saat kita juga ingin ada komponen kemahasiswaan yang ikut juga dalam penyusunan regulasi,” ujar Edi. 

Edi mengatakan pada aspek lain di luar kendali kemahasiswaan, DPPM akan melanjutkan program asuransi BPJS yang mulai berjalan tahun ini di KKN angkatan 60, yaitu adanya keterlibatan pihak luar yang ikut menjamin bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.  

Penulis: Hersa Ajeng Priska

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

RUU PKS: Bagaimana Hukum Melindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual?

Himmah Online, Yogyakarta – Women March Yogyakarta bersama dengan Lavender Study Club dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadakan diskusi mengenai urgensi pengesahan RUU PKS. Diskusi yang berjudul “Mau Dibawa Ke Mana RUU PKS?” diadakan pada Senin, 3 Februari 2020 sore hari di kantor LBH Yogyakarta, Prenggan, Kotagede.

Staf divisi penelitian, informasi dan dokumentasi LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah menyampaikan meningkatnya angka kasus kekerasan seksual dan minimnya perlindungan terhadap korban terus berkembang. Berdasarkan data Komnas Perempuan, selama tahun 2019 terdapat setidaknya 569 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Yogyakarta.

“569 itu jumlah kasus kekerasan seksual, sementara Yogyakarta juga mempunyai kasus kekerasan seksual dengan korban kaum disabilitas yang paling tinggi, yaitu 47 korban perempuan,” papar Meila.

Selain itu, dalam kurun waktu 2017 hingga 2019, tercatat lima kasus utama yang marak terjadi terhadap korban kekerasan seksual. Di antaranya yaitu penganiayaan dan percobaan pemerkosaan, kejahatan terhadap kesusilaan, revenge porn, eksploitasi seksual dan hacking.

Menanggapi hal tersebut, Pipin Jamson, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan komentarnya. Ia berpendapat dari semua kasus kekerasan seksual, negara bukanlah satu-satunya aktor kunci dalam penyelesaian masalah ini. Tetapi juga bagaimana struktur masyarakat yang selama ini dapat memungkinkan orang menjadi seksis. “Contohnya tadi, baru mau lapor tapi sudah dicerca sama pihak kepolisian. Belum stigma masyarakat yang tentu saja berpihak kepada pelaku,” ujar Pipin.

Ia juga menambahkan RUU PKS tidak dapat otomatis mampu menyelesaikan segala bentuk penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Namun dengan adanya RUU PKS ini nanti dapat menjadi taktik untuk mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan sehingga perlu untuk terus dikawal. “Oleh karena itu gerakannya juga harus diperkuat, tidak hanya sampai undang-undangnya goal saja. Tapi juga setelahnya,” jelasnya.

Melanjutkan pemaparan Pipin, pembicara lain Kalis Mardiasih, penulis buku “Muslimah yang Diperdebatkan” juga memberikan pendapatnya tentang bagaimana agama memandang otoritas tubuh perempuan. 

Kalis menyampaikan ada beberapa faktor penyumbang kesalahpahaman masyarakat dalam memandang wacana RUU PKS. Faktor tersebut adalah minimnya pengetahuan dasar terkait pemaknaan syariat, fiqih, dan State Law serta bagaimana kita dapat berfikir kritis untuk men-challenges produk hukum seperti State Law yang sudah tidak relevan.

“Ya contohnya child marriage kalo dalam Kompilasi Hukum Islam, itu untuk perempuan 16 tahun, untuk laki-laki 19 tahun. Baru setelahnya nyodorin data-data angka perceraian itu tinggi karena penyumbangnya adalah perkawinan anak. Selain itu juga merupakan penyumbang tinggi angka kematian ibu,” ujar Kalis.

Padahal menurut Kalis, meskipun dalam syariat dan fiqih tidak membahas usia minimal batas pernikahan, namun dengan adanya aturan yang dibuat ulama saat itu sudah menjadi awal yang cukup baik karena telah memperimbangkan banyak hal. Perubahan-perubahan terhadap aturan yang berlaku tersebut merupakan bentuk lanjutan perjuangan para pejuang yang lalu. 

“Padahal yang menjadi basis syariat itu ujungnya kepada kebaikan, kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan untuk hak-hak setiap manusia,” tambah Kalis.

Selanjutnya Endah, selaku peserta diskusi menanyakan bagaimana menanggapi perbedaan penafsiran yang terjadi di masyarakat terhadap substansi RUU PKS. Menurutnya apabila dengan memperbaiki diksi yang ada, hal itu dapat menyeragamkan pemaknaan pada suatu pasal tersebut.

Pipin kemudian menanggapi mengenai perdebatan terhadap salah satu substansi pasal RUU PKS semakin menguatkan bahwa dalam memperjuangkan RUU PKS tersebut tidak dapat satu atau dua isu saja. 

“Artinya permasalahan struktur sosial itu masih sama ketika membahas isu kekerasan seksual yang sifatnya privat dan tidak bisa dilepaskan termasuk untuk membongkar yang di atasnya. Di mana seolah-olah kekerasan seksual itu merupakan hal yang privat padahal seharusnya negara dapat memberikan hak dan pelayanan yang baik kepada korbannya,” jelas Pipin.

Di penghujung acara, Meila berharap agar RUU PKS dapat terus diperjuangkan. Tidak lain agar ke depannya hak-hak korban dapat terpenuhi dan mendapatkan perlindungan yang terjamin serta bagaimana kita dapat lebih menyuarakannya kepada orang-orang disekitar kita.

Penulis: Yustisia Andhini L.

Editor: Muhammad Prasetyo

Obituari dari FPSB UII

Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd – Karl Marx

Demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan mendapat banyak suara dari pendukungnya – Aritoteles

Berita dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) KOGNISIA yang mengeluarkan hasil liputannya mengenai pembekuan lembaga mahasiswa lingkup Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) cukup mengejutkan dan menggelitik. Mengejutkan karena ternyata ada seseorang yang tak sadar bahwa dirinya dimajukan sebagai calon legislatif. Menggelitik, sebab fenomena seperti ini tak baru sekali terjadi.

Pergolakan di ruang lingkup FPSB selalu menarik untuk disoroti terutama dinamika mahasiswanya. Keberadaan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) maupun Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) ternyata tak begitu memiliki andil besar dalam upaya membangkitkan gairah berorganisasi serta dialektika mahasiswa. Seolah dua lembaga tersebut sebuah formalitas, atau bisa jadi hanya dibutuhkan dalam dua hal: pencairan dana dan izin kuliah ketika ingin mengikuti kegiatan.

Terdapat kabar bahwa terdapat anggota DPM yang tidak menjalankan fungsinya hingga tak memahami aturan PDKM dan PKM. Ironi dan tragis, andai founding father UII mengetahuinya tentu mereka akan sedih melihat kualitas pimpinan lembaga mahasiswa hari ini.

Di samping itu, saya senang sekali dengan teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang terdapat di FPSB, sebab mereka tak pernah menunggu apalagi terpatron dengan kondisi dan keadaan DPM ataupun LEM FPSB. Hal ini menandakan bahwa DPM atau LEM tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal yang paling penting dalam dinamika mahasiswa. Artinya, telah terjadi perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang realitas dinamika mahasiswa FPSB.

Misi Suci HMJ FPSB

HMJ menginginkan sebuah perubahan sistem di mana pimpinan lembaga eksekutif dipilih langsung oleh mahasiswa dengan suara terbanyak sementara DPM sendiri cukup menjalankan fungsi-fungsi legislatif. Untuk menginisiasi kekosongan legislatif, HMJ FPSB wajib mengirimkan dua nama bakal calon legislatif. Begitulah apa yang disampaikan Sekjen HMJ HIMAKOM.

Berangkat dari keresahan dan kegelisahan selama ini, HMJ mengeluarkan statement yang bersejarah serta rasional. Antitesis yang ditawarkan sangat imajinatif dan unik. Terobosan yang saya rasa tak pernah terpikirkan dalam benak DPM dan LEM selama ini. Hegel pernah mengungkapkan bahwa sejarah bergerak maju secara dialektis menuju kebebasan yang semakin besar dan rasional. Artinya apa yang dilakukan oleh HMJ FPSB adalah suatu hal yang perlu didukung dan dikritisi bersama.

Perubahan sistem yang diinginkan tentu sebuah hal yang patut dipertanyakan. Apa yang sekiranya membuat FPSB bergejolak dengan sebuah keinginan perubahan sistem hari ini. Pada dasarnya kita tentu mesti curiga dengan sistem pemerintahan KM UII hari ini. Sistem yang dirasa tak mampu meningkatkan nafsu berorganisasi mahasiswa lagi, apalagi dalam kontestasi politik elektoral.

Paling tidak beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama atas sistem hari ini. Pertama, Student Government yang seharusnya menghasilkan solidaritas justru menciptakan rasa saling curiga satu sama lain. Kedua, Student Government yang seharusnya melindungi pluralitas justru membiarkan kekuatan-kekuatan religio-political yang mengancam pluralitas. Ketiga, Student Government yang seharusnya menghasilkan kesetaraan kondisi-kondisi justru menghasilkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan. 

Sistem ini sering dinilai paling demokratis, padahal menurut F. Budi Hardiman (2013) dalam bukunya yang berjudul Dalam Moncong Oligarki, demokrasi adalah suatu gerak perjalanan yang jika kehilangan arah juga dapat mengalami disorientasi. Sementara Student Government setiap tahunnya membahas garis besar haluan mahasiswa guna menentukan arah gerak KM UII. Namun, hari ini siapa yang berhak menentukan garis besar haluan tersebut? Jika memang DPM bersama mahasiswa lainnya, seberapa besar partisipasi mahasiswa dalam penentuan hal itu? Kita semua sudah tahu jawabannya. 

Teman-teman FPSB membantu menyadarkan kita tentang pentingnya berpikir kritis atas setiap wacana maupun fenomena. Kekosongan kursi legislatif adalah cara efektif untuk memberi peringatan kepada penguasa bahwa tak selamanya perubahan dapat dilakukan oleh kekuasaan semata. Kini waktunya memberikan tawaran kepada mahasiswa semua, tawaran yang tentunya lebih baik dari sistem hari ini. Lebih baik berjalan di tengah kekacauan atau justru meluangkan sedikit waktu untuk berpikir serta memperbaiki keadaan.

Kesalahan sistem atau ketidakberanian kita

Suatu sistem yang baik tentu akan menghasilkan orang-orang yang baik. Baik dalam konteks ini secara sederhana mampu merangkul semua kalangan dan golongan, tanpa memandang latar belakang orang tersebut. Lebih banyak mendengar daripada mengomentari. Mengayomi bukan menggurui. Melindungi bukan justru menghakimi: masih ingat kasus UII Story, Judul Skripsi dan persoalan lainnya.

Lahirnya sistem Student Government sebab konteks pada saat itu berada pada zaman paceklik. Di saat ini tentu berbeda jauh, hal ini kembali melahirkan sebuah pertanyaan: apakah memang benar sistem ini sudah sangat sempurna atau pada dasarnya otak kita yang tak berfungsi dengan baik sehingga tak mampu hingga tak berani untuk mengkritisi kelemahan sistem saat ini? Wallahu a’lam bish-shawab.

Student Government sebagai dasar sistem kelembagaan di KM UII memang tak begitu buruk. Namun bukan berarti menghalangi kita untuk mengkritisinya bahkan menambah, mengurangi hingga mengubah semuanya yang terdapat dalam sistem tersebut. Usulan dihadirkannya sebuah pemilihan eksekutif secara langsung bisa menjadi tawaran yang rasional.

Selama ini sebagai pelaksana program kerja yaitu LEM yang dipimpin langsung oleh mandataris DPM. Anda tentu tahu suara terbanyak belum tentu menjadi ketua DPM apalagi LEM, visi misi yang disusun akan dileburkan sehingga tak ada gunanya berteriak visi misi pada masa kampanye. Fenomena yang sering terjadi dimana LEM merancang program sendiri, melaksanakannya sendiri, serta mengevaluasi sendiri. Fenomena yang sudah menjadi rahasia umum dan sialnya tak pernah sadar diri untuk merubahnya.

Andai pucuk pimpinan eksekutif dipilih langsung oleh mahasiswa maka akan lain ceritanya. Pertama, akan lahir sebuah koalisi yang melahirkan kelompok-kelompok tertentu untuk mengusung calonnya (kelompok yang kelak akan menjadi partai) dan melahirkan partisipatif yang tinggi. Kedua, untuk berhasil merebut kursi eksekutif kelompok-kelompok ini tentu tidak hanya mengusung calonnya namun menjual gagasan, pemikiran serta grand design program yang ditawarkan. Ketiga, akan lahir oposisi nyata yang akan menciptakan suasana pendidikan politik pada pengusung dan pemilih. Keempat, siapa yang terbaik dengan perolehan suara terbanyak maka dia yang pantas menduduki kursi pimpinan eksekutif.

Kekhawatiran akan lahir money politic tentu akan melahirkan sebuah gagasan baru untuk mencegahnya seperti mendirikan lembaga yudikatif misalnya, sehingga jelas ketika terjadi pelanggaran maupun penyelewengan diadukan dan diadili di mana. Saat ini jika terjadi penyelewengan kekuasaan kemana kita mengadu? Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Butuh keseriusan untuk merancang perubahan. Butuh keberanian lebih untuk melakukan perubahan. Butuh dukungan yang tinggi untuk melangkah lebih. Sudah saatnya fakultas lain memikirkan tentang sistem hari ini, sebab kita tak boleh mendiamkan hal-hal yang kita ragukan kesahihannya.

Apa yang dilakukan teman-teman FPSB adalah bentuk keberanian yang perlu kita dukung. J.K Rowling berpesan dalam bukunya yang berjudul Very Good Lives: bila kalian memilih menggunakan status dan pengaruh kalian untuk bersuara mewakili mereka yang tidak punya suara; memilih berpihak bukan hanya dengan mereka yang berkuasa, tetapi juga dengan mereka yang tidak berdaya; bila kalian mempertahankan kemampuan untuk membayangkan diri kalian berada dalam posisi mereka yang tidak memiliki kesempatan seperti kalian, maka bukan hanya keluarga yang akan merayakan keberhasilan kalian, melainkan ribuan-bahkan jutaan orang yang kehidupan nyatanya berubah berkat kalian.

Sekarang saatnya kita memilih dan bersuara, bertahan dengan sistem yang tak pernah diuji kembali pada hari ini atau berpihak pada mereka yang dengan tulus merancang sebuah perubahan!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Kabar dari Cik Ditiro No. 01: Pamit dan Maaf

Sejak tulisan ini diterbitkan dan ketika para pembaca membaca tulisan ini, kami dari redaksi himmahonline.id yang bernaung dibawah Lembaga Pers Himmah UII periode 2018/2019 mohon pamit dari kepengurusan periode ini.

Hampir selama 11 bulan kepengurusan redaksi sebagai penjaga gawang pemberitaan di LPM HIMMAH UII tentu banyak hal yang terjadi.

Pada awal periode 2018/2019, kami masih mencoba untuk menyeimbangkan haluan dan merapikan geladak keredaksian setelah di periode sebelumnya LPM HIMMAH UII melakukan konvergensi media menjadi himmahonline.id.

Jika sebelumnya LPM HIMMAH UII mengeluarkan tiga produk; majalah, buletin bulanan, dan media daring, sejak periode lalu kami hanya mengeluarkan satu produk. Perubahan bentuk produk tersebut jelas mempengaruhi ritme kerja keredaksian di internal lembaga.

Pada awal periode, keredaksian dipimpin Hana Maulina Salsabila. Saat itu kami bersepakat bahwa kami akan berfokus untuk menghasilkan tulisan-tulisan longform. Kemudian kami membagi tim kerja untuk melakukan indepth repoting. Namun, dari beberepa tim yang dibagi, kami hanya mendapatkan tiga liputan yang rampung.

Tentu ini menjadi sebuah hal yang memalukan bagi kami. Kami mencoba untuk melakukan evaluasi dan autokritik pada sistem kerja keredaksian. Dari hasil analisis kami, kami merasa bahwa salah satu faktor yang menyebabkan liputan tidak berjalan dengan baik adalah kemampuan para individu di lembaga yang belum siap untuk melakukan proses peliputan secara mendalam.

Selain itu, kami juga menemui masalah klasik kelembagaan: proses pengkaderan yang mandek dan vakumnya beberapa pengurus tengah berjalannya periodesasi. Dua hal di atas cukup menyita perhatian lembaga sehingga cukup menghambat proses kerja keredekasian untuk menghasilkan konten jurnalistik yang menjadi kewajiban kami.

Hal yang kami sadari selama berproses di Lembaga Pers Mahasiswa adalah bahwa lembaga ini tidak hanya tentang keberlanjutan kaderisasi, namun juga tentang penggemblengen wacana, dan peningkatan kapasitas untuk melakukan kerja jurnalistik. Ketiga hal tersebut menjadi kunci bagi keberlangsungan pers mahasiswa.

Kapal keredaksian terus berlayar terombang ambing di lautan dangkal.

Medio 2019, tepatnya di bulan Juli, lembaga melakukan reshuffle. Hana Maulina Salsabila diangkat menjadi Sekretaris Umum LPM HIMMAH UII dan posisi pemimpin redaksi diemban oleh Zikra Wahyudi Nazir yang sebelumnya sebagai redaktur pelaksana. Namun tidak banyak hal yang berubah signifkan.

Hingga berakhirnya kepengurusan redaksi di periode ini, masih banyak masalah teknis terkait kerja keredaksian yang mestinya menjadi PR bagi lembaga kedepannya. Periode kedua setelah kami melakukan konvergensi media tampaknya masih menjadi masa eksperimen bagi kami untuk mencari bentuk ideal dari kerja-kerja keredaksian.

Kedepan, seiring perkembangan teknologi dan informasi, tantangan-tantangan bagi pers mahasiswa khususnya himmahonline.id juga akan semakin kompleks.

Terakhir, kami ingin memohon maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca himmahonline.id karena kami belum mampu untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas selama satu periode ini. Namun, di periode selanjutnya kami akan terus berusaha untuk bisa meningkatkan kualitas produk jurnalistik kami dengan disiplin jurnalistik dan reportase yang mendalam.

Kepada para pembaca, kami undur diri. Sampai jumpa di periode depan.

Tabik.

Keotentikan Kedai Kopi Mbah Surah

“Kurang atau lebihnya sebuah rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi”- Joko Pinurbo

Dari zaman Pak Karno menyusun kemerdekaan hingga zaman Pak Karni mengisi acara televisi, ngopi adalah ritual yang banyak digemari masyarakat Indonesia. Perlu saya akui bahwa seperti ada yang kurang, bilamana seharian belum nyeruput minuman berkafein ini.

Seperti ada yang kurang kalau dalam satu minggu tak ada kalimat “Yuk ngopi.” yang terlontar dari kawan-kawan.

Dewasa ini, ngopi bukan saja menjadi kebiasaan. Tetapi lebih dari itu, ngopi bagi masyarakat Indonesia bagaikan lifestyle. Ada orang-orang yang percaya bahwa kualitas seseorang ditentukan oleh kopi yang ia minum. Bahkan ada kaum-kaum extrimis kopi.

Saya tidak menyalahkan orang-orang seperti itu, yang saya permasalahkan adalah kebiasaan mereka men-judge bahwa peminum kopi sachet-an adalah kaum-kaum yang tak tau selera. Mengerikan bukan? Heu heu heu..

“Yuk ngopi, dimana nih enaknya?” 

Bagi saya ngopi itu seperti traveling. Tidak melulu harus merogoh kocek dalam-dalam, yang penting entitasnya dapat, feel-nya dapat, ngopinya dapat, dan tentunya kesenangannya pun dapat.

Mulai dari ngopi di emperan, angkringan, kedai-kedai kecil, hingga cafe-cafe bagi saya semuanya sama. Seperti itulah tempat ngopi yang cozy menurut saya. Senyamanya.

Teman-teman saya  itu sering melakukan ekspedisi warung kopi di Jogja. Mulai dari perkotaan sampai yang di lereng Gunung Merapi, mulai dari kedai kopi paling mencolok sampai kedai-kedai kopi paling pelosok.

Beberapa jadi tempat nongkrong favorit, tapi lebih banyak yang cuma jadi bahan coba-coba saja. Datang sekali, kecewa patah hati dan kami pun tak pernah kembali. Lah gimana ya, wong tradisi kami seperti itu.

Ngobrolin kecewa dengan warung kopi, beberapa bulan lalu saya dan teman-teman nyoba ngopi di daerah Palagan. Tempatnya lumayan bagus, duduk lah kita, pas mau pesan loh kok mahal-mahal. Sekali ngopi disini uangnya bisa buat makan dua sampai tiga kali.

Kami masih mencoba ber-khusnuzon, mungkin kopi disini enak, mesin yang dipakai mahal,  barista atau peramu kopinya hebat, atau mereka punya resep rahasia atau apalah.

Seperti itulah analogi sederhana kami yang masih khusnuzon dengan harga kopi ditempat itu.

Sampailah beberapa cangkir kopi dimeja kami, pas saya icip-icipsrupuutttt….mmm… ternyata nggak lebih enak dari kopi Mbah Surah yang seharga parkir motor itu. Nah, terus saya mikir la ini margin sekian banyak larinya kemana?

Ngomongin Mbah Surah, beliau itu seorang barista sekaligus koki di angkringan pinggir jalan. Kopinya dikulak dari kebun tetangga yang kemudian di-roasting sendiri oleh istri beliau. Diolah sekadarnya saja di pawon belakang rumah pakai wajan sederhana yang bokongnya sudah terlampau hitam. 

Mbah surah dan warung kopinya itu nggak kenal yang namanya kopi sachet-an. Nggak kenal yang namanya mesin kopi mahal, nggak kenal yang namanya kelas-kelas barista. Tapi ya kopinya bisa diterima  dan dicintai semua kalangan, dari kalangan mas-mas, mbak-mbak, pakde-pakde, simbah-simbah.

Buktinya saya saja bolak-balik ngopi di sana, kalau sudah duduk di sana Mbah Surah sudah nggak nanya lagi mau pesan apa. Mesti kopi ireng ala legend of surah. Fyi, menu minuman di sana juga nggak banyak sih.

Menurut saya jika ada lembaga akreditasi warung kopi, warung kopi Mbah Surah mungkin dapat A. Di sana nggak ada standar-standar perkopian ala barista masa kini, harus ini harus itu nggak boleh ini nggak boleh itu. Mbah Surah sudah punya standarisasi kopinya sendiri, berbekal pengalamannya menyeduh kopi di angkringan selama puluhan tahun, bareng princess-nya itu Mbah Tarni. Seromantis itu~

Laahhh kalo gitu? Kenapa kok warung kopinya itu mentok gitu-gitu aja? Nggak ada perkembangan, nggak ada kemajuan.”

Sebentar ya sobat perkopian yang berbudi pekerti luhur. Nah, gimana mau sugih materi? Lawong Mbah Surah itu sepertinya memang nggak berniat buat sugih. Jual kopinya saja seharga parkir, nggak tau dia untungnya berapa.

Baginya, itu sudah urusan yang di atas. Tentunya Mbah Surah sudah merasa cukup dengan pekerjaannya. Yang penting cukup buat menyambung hidup. Baginya kepuasan pengunjung itu lebih dari cukup. Tanpa ada intimidasi harga oleh beliau kepada para pengunjungnya, yang penting pengunjung datang, makan, jajan, ngopi, ngebul, serta puas dengan rogoh kocek yang sukarela. Bahkan ada beberapa pelanggan Mbah Surah yang nggak mau nerima uang kembaliannya. 

Ada lagi itu kedai kopi baru di Jalan Kaliurang yang sekarang lagi favorit geng nongkrong saya, namanya Madjoe Djaya. Memang agak mahal, ngomong-ngomong sebetulnya bukan mahal, memang karena kitanya aja yang missqueen mungkin heu heu heu.

Saya dan kawan-kawan akui memang kopinya enak, jadi ya kita terima terima saja. Apa yang kita bayar sesuai dengan pengalaman ngopi yang kita dapat. Tempat bersih, nyaman, pelayanan yang ramah, pokoknya kalo bahasa sekarang itu tempat yang recommended buat nongkrong.

Semoga si owner yang baik hati ini baca tulisan ini dan saya dapat gratisan kopi, amin. Sedikit berusaha~

Kurang lebih seperti itulah cerita dan kisah saya dengan dunia perkopian. Semoga memberikan manfaat meski saya rasa kurang adanya manfaat dalam tulisan kisah ini.

Bagi saya, rasa dalam cangkir saja tak cukup untuk membangkitkan atmosfer ngopi yang sesungguhnya. Terkadang siapa yang di depan cangkir itulah yang membuat segelas kopi begitu istimewa. Kawan, sahabat, kekasih, merekalah yang membuat segelas kopi menjadi lebih bermakna. Betul memang kalau ada istilah Kopi yang kian mendingin, bersama obrolan kita yang semakin menghangat,” Aihhh…

Percaya atau tidak, kedai-kedai kopi kecil mampu memberikan keluasan hati para pengunjungnya. Perasaan betah dan nyaman yang dibangun mungkin bukan karena perkara rasa pada cangkir saja, melainkan atmosfer ngopi yang terbangun saat menikmati jajanan dan kopi di sana.

Semua orang saling sapa senyum ramah, yah walaupun basa basi, menurut saya itu sebuah keestetikan tersendiri. Semuanya melebur dengan begitu sempurna, siapa coba yang tidak betah? Meski ngopi di tempat asing, namun tidak merasa asing.

“Kopi itu sederhana, obrolannya saja yang terkadang membuatnya begitu istimewa.”

Tak dapat kita pungkiri kedai-kedai kopi kini hadir menghangatkan berbagai kalangan. Mahasiswa yang sok nugas, atau memang benar-benar menyelesaikan tugas, bapak-bapak, ibu-ibu arisan, mbak-mbak pecinta ghibah, dua kawula muda yang sedang memadu cinta, atau segerombolan anak muda yang gemar berkumpul bersama kawannya. Kini penyajiannya pun luar biasa ragam-nya, dimulai kopi tubruk khas jawa yang pekat, filter V60, vietnam drip, espreso, es kopi generasi lama, dan baru semuanya dapat dengan mudah kita jumpai. 

Di Jogja ini, “sejauh mata memandang, di sana pasti ada kedai kopi,” tutur kawan saya.

Entah lah, apa pendapat kamu tentang kedai kopi yang asik. Tapi jujur dari hati saya yang paling dalam, bagi saya kedai kopi yang asik itu sesederhana bahasa kopi yang mampu menuturkan rasa, cerita, merangkul siapa saja yang datang, dan tentunya tak menguras kantong kita.

Sedikit pesan mungkin:

Ngopi ya ngopi aja, nulis puisi ya nulis puisi aja. Semuanya aja sangkut pautin sama indie, kasian kan pak Sapardi, jadi minder nulis puisi gara-gara takut dibilang anak indie.

Habis Lapangan Baru, Terbitlah Problematika

Himmah Online, Yogyakarta – Universitas Islam Indonesia (UII) telah memiliki wajah baru dalam perkembangan pembangunan kampus. Renovasi lapangan sepak bola baru yang berada di kompleks kampus pusat UII Yogyakarta, menambah rasa kebanggaan tersendiri bagi para mahasiswa. Lapangan sepak bola UII atau UII Training Ground (UTG) yang diresmikan pada tanggal 13 April 2019 merupakan hasil pendanaan dari Yayasan Badan Wakaf.

UTG merupakan hasil dari renovasi lapangan lama. Sebelum dilakukan renovasi, lapangan sepak bola ini merupakan lapangan dengan tanah gersang yang hanya dilengkapi dengan dua tiang gawang sepak bola. 

Lapangan ini sebelumnya pernah digunakan untuk acara Pesta (Pesona Ta’aruf) UII dan penyelenggaraan salat Idul Adha pada 2018. Tidak hanya itu, lapangan ini juga menaungi kegiatan mahasiswa seperti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Sepak bola UII dan UKM Softball UII.

Kini, UTG bertransformasi menjadi lapangan dengan standar Internasional. Hal ini dibuktikan melalui ukuran lapangan yang berukuran 68×105 meter, mengacu pada FIFA (Federation International Football Association), di mana standarisasi ukuran lapangan sepak bola internasional harus memiliki panjang 90 – 120 meter dan lebar 45 – 90 meter. 

Terdapat pula fasilitas baru yang terdapat pada UTG seperti bangku penonton di sebelah barat, pagar pembatas di utara, barat, dan bagian timur garis lapangan sepak bola, jaring penghalau bola, serta rumput dengan tipe Cynadon dactylon

Rumput Cynadon dactylon dikenal sebagai rumput yang pertumbuhannya cepat dan cukup kuat, meskipun akarnya yang kurang kuat, rumput ini memiliki kemampuan untuk memulihkan dan menumbuhkan kembali ketika rusak, sehingga perawatan menjadi mudah.

UTG dan Mahasiswa UII

UTG yang saat ini telah diresmikan, membuat mahasiswa menaruh harapan akan pendayagunaan lapangan ini. Mahasiswa beranggapan lapangan tersebut bisa langsung dipakai ketika selesai direnovasi. Karena mereka beranggapan, lapangan ini merupakan salah satu fasilitas kampus. Namun dibalik itu, terdapat problematika pada mahasiswa yang ingin menggunakan UTG ini.

Salah satunya adalah Muhammad Zulfikar Ismail, selaku Ketua Organazing Committee Festival Economic (Feskon) mengatakan terkait peminjaman lapangan sepak bola yang tertunda untuk lomba sepak bola. Berdasarkan keterangannya, Feskon sudah meminjam UTG sejak masa pembangunan pada bulan Juli.

“Kita kan minjam dalam jangka panjang,(di bulan) September kan, masa kita pinjamnya bulan juli agustus ga di acc (disetujui).” 

Zulfikar mengatakan ia sudah mengajukan peminjaman untuk bulan September, namun masih menerima ketidakjelasan.

“Karena kita ngajuin berapa bulan sebelumnya karena alasan perbaikan, sekarang kan sudah dipake buat Unisi (tim sepak bola UII) latihan bola, dipakai Timnas (putri), juga seleksi bola Unisi, makanya kita follow up, mudah-mudahan kita bisa pakai lapangan bola itu,” ungkapnya.

Situasi yang berbeda dialami oleh UKM Softball, pembangunan UTG menimbulkan permasalahan baru terlebih pada penerimaan anggota baru. Rifki Afif selaku Ketua Softball UII. menjelaskan adanya renovasi lapangan membuat mereka harus mencari lapangan pengganti. 

Lapangan Palagan menjadi lapangan pengganti untuk mereka latihan, namun Rifki meragukan jika ingin membawa calon anggota baru ke lapangan tersebut, ia mengkhawatirkan akan kapasitas untuk para pemain dan rasa tidak enak terhadap anggota baru. Tidak hanya itu, ia juga tidak tau sampai kapan lapangan itu digunakan dikarenakan lapangan tersebut merupakan hasil meminjam dari warga sekitar.

 Selain itu renovasi juga berlangsung tanpa pemberitahuan. “Jadi kami kaget aja tiba-tiba lapangan ditandai,n dilabelin lapangan tidak boleh digunakan. Ya udah akhirnya gimana nih kita latihan, akhirnya kita latihan di (red- lapangan) Palagan,” tambah Rifki

Sementara UKM Softball juga tengah mengusahakan untuk lapangan pengganti, Rifki berujar pihak rektorat tengah mengusahakan untuk menggunakan lapangan di Utara GOR UII sebagai lapangan pengganti, namun belum ada tindak lanjut mengenai hal itu. Sehingga pihak UII pun sampai saat ini belum memberikan kepastian akan solusi bagi aktivitas UKM Softball UII ke depan.

Rifki juga mempertimbangkan jika ingin menyewa lapangan softball, lapangan softball yang layak di Yogyakarta hanya berada di UGM dan UNY. Namun Rifki belum mengetahui pihak rektorat dapat memberi bantuan dalam bentuk biaya untuk menyewa lapangan tersebut.

Tidak hanya itu, penggunaan sepatu Softball UII menjadi penghalang bagi mereka untuk menggunakan UTG. Padahal, menurut Rifki, tidak selalu dalam latihan mereka menggunakan sepatu khusus softball. Rifki menganggap ketika masa latihan, pemain menggunakan sepatu kets, ia juga melihat risiko apabila menggunakan sepatu khusus bermain softball digunakan di UTG.

Direktur Pengelola UTG, Achmad Irsan memberi penjelasan mengenai persoalan UTG yang berada di kalangan mahasiswa UII. Achmad dipercayai untuk mengelola, mengatur kualitas lapangan, penjadwalan, dan pengembangan dari UTG tersebut.

Dia menjelaskan bahwa pembangunan lapangan ini untuk mencerminkan World Class University, yang salah satu syaratnya memiliki fasilitas untuk pengembangan minat bakat dan olahraga. “Yang paling representatif adalah lapangan sepak bola,” terangnya.

 Namun dibalik itu, Achmad memberitahu bahwa sebenarnya awal mula dari UTG ini direncanakan menjadi tempat yang akan dialokasikan untuk pembangunan Fakultas Ekonomi UII, namun dikarenakan belum ada kepastian menyebabkan lapangan ini direnovasi menjadi UTG.

Pada saat peresmian UTG, Achmad menerangkan kembali penggunaan UTG ketika diserahkan kepada UII. Ia menjelaskan, penyerahan UTG ke UII yang dimaksud ialah agar UII dapat menggunakan lapangan ini untuk kepentingan bersama, tidak serta merta untuk kepentingan internal universitas.

Terkait pengelolaan UTG, Achmad mengatakan bahwa pengelolaannya bersifat profesional. Skema bisnis dalam pengelolaan tersebut tidak bergantung pada dana universitas atau yayasan. Namun, pihak pengelola memiliki wewenang atas pengelolaan lapangan secara mandiri.

Menanggapi permasalahan Feskon, Achmad berpendapat memiliki pandangan lain terhadap kebijakan penjadwalan yang dia buat, “September dan sampai sekarang pengajuan itu masih ditolak karena lapangan bola masih perawatan padahal yang kita tahu semua di bulan sebelum ini ada timnas yang memakai lapangan bola,” pungkasnya.  

Achmad juga membandingkan mengenai kepentingan yang dimiliki oleh timnas dalam peminjaman lapangan bola. 

“Sekarang begini, you akan memprioritaskan timnas atau teman-teman dulu?” Terangnya.

Meskipun pengajuan yang dilakukan oleh pihak Feskon telah dilakukan sejak bulan Juli 2019, namun Achmad berpendapat bahwa ini permasalahan prioritas.

“Ternyata teman-teman di PS UII ini di bulan September akan melakukan pertandingan. Mereka harus punya schedule yang baik. Saya berkesimpulan bahwa ini yang saya prioritaskan karena dari hulu ke hilirnya mana penggunaan lapangan ini agar lebih efektif adalah prestasi sepak bola kita yang diwakili oleh teman-teman Pusat UII,” tegas Achmad.

Upaya mengenai penjadwalan pun telah diatur oleh Achmad. Dalam pengaturan penjadwalan dibagi menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Pihak internal disini dikhususkan kepada UKM Sepak Bola UII, UKM sepak bola fakultas, dan Dokar fc (dosen karyawan), yang artinya pihak internal tidak diberi biaya sepeser pun. 

Kemudian terdapat pihak eksternal, pihak eksternal adalah pihak luar yang ingin menyewa UTG. Pada penyewaan pertama kali pihak eksternal yang dilakukan oleh Timnas Senior Putri, pihak timnas membayar biaya penyewaan sebesar dua juta per harinya.

Terdapat dua skenario dalam penjadwalan UTG, yaitu full operated dan semi operated. Pada bulan pertama pemakaian terdapat skenario full operated, di mana dalam satu minggu, Senin dan Kamis dilakukan perawatan lapangan, lalu Sabtu dan Minggu digunakan untuk pihak eksternal, sisa hari tersebut diperuntukan untuk pihak internal UII. 

Pada bulan kedua dinamakan semi operated, dalam satu minggu pemakaian dibagi menjadi beberapa slot seperti UKM Sepak bola akan memiliki tiga slot, Dokar FC satu slot, dan Super Thursday atau Super Friday (semacam latih tanding). 

Pada minggu pertama sampai minggu kedua pada bulan kedua, Senin sampai Jumat itu tidak dapat dipakai, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Lalu pada minggu sisanya digunakan untuk slot-slot yang telah ditentukan. 

Jadi total dalam satu bulan, mahasiswa UII pada bulan pertama bisa memakai dua kali, dan bulan kedua bisa memakai satu kali di Super Thursday.

Lalu terkait jadwal yang berbeda pada dua bulan tersebut, Achmad menjelaskan bahwa hal ini berurusan dengan satu hal yaitu perawatan lapangan, sama seperti mesin yang tidak diberi minyak tidak akan berjalan, maka perlu adanya perawatan.

Maka dari itu, dengan rencana di bulan pertama dan kedua, Achmad mencoba untuk mencocokkan dan mengusahakan konsisten melalui pertimbangan kondisi lapangan.

Tidak hanya persoalan mengenai Feskon, Achmad juga menanggapi permasalahan yang dialami oleh UKM Softball UII. Menurut penuturannya, ia merencanakan menjadikan tanah lapang di utara GOR sebagai lapangan pengganti UKM Softball.

Achmad menjelaskan terkait UKM Softball UII yang tidak bisa menggunakan UTG sebagai tempat latihan mereka. Ia menilai terdapat perbedaan fungsi antara lapangan untuk sepak bola dan softball, fungsi yang dimaksud ialah standar pemakaian seperti lapangan sepak bola yang identik dengan rumput hijau dan lapangan softball yang identik dengan terdapatnya tanah lapang dan rumput hijau.

 Penggunaan sepatu juga menjadi faktor utama yang menyebabkan UKM softball tidak bisa menggunakan UTG, dikarenakan sepatu pemain softball memiliki pull besi yang tidak sama seperti pemain sepak bola. Adanya perbedaan pull besi ini Achmad mengkhawatirkan jika sepatu ini digunakan, dapat merusak kualitas rumput dan tanah UTG.

Meskipun UKM Softball berdalih dengan menyatakan dapat mengganti sepatu tersebut dengan sepatu kets, namun Achmad memiliki pemikiran yang berbeda terkait itu. Ia menilai latihan softball harus sesuai dengan metode latihan sehingga dari segi teknik permainan dan teori lapangan, kedua hal tersebut dapat diterapkan.

 Pada saat bersamaan Perawatan UTG dirawat dengan sangat disiplin. Dalam masa perawatan, enam orang dalam satu hari penuh akan dikerahkan, termasuk hari minggu untuk merawat UTG. Achmad memaparkan terkait biaya perawatan yang digelontorkan per bulan.

“Perawatan 14-15 juta, itu tentatif, dek. Kenapa kita sampai 14-15 juta itu karena penggunaan intensitasnya begitu tinggi apa lagi dipakai tim nasional kemarin,” terangnya.

Perawatan UTG terdiri dari perawatan rumput, seperti penyiraman, pemotongan, pemupukan dan penambalan. Dilakukan penyiraman kemudian dipotong lalu pemupukan merupakan tahap dari perawatan lapangan, jikalau terjadi pemupukan berulang, akan ada tenggat waktu dalam satu hari penuh untuk tidak digunakan. 

Selain itu mengenai penambalan, UII bekerja sama dengan kontraktor Cipta Flora. Apabila terdapat rumput yang tercabut, mereka akan segera mendatangkan cadangan rumput. Penambalan juga membutuhkan tenggat waktu, butuh waktu satu minggu untuk mengistirahatkan rumput tersebut agar kembali tumbuh lalu dilakukan pemotongan untuk mendapati ukuran rumput yang sesuai. 

Achmad menjelaskan mengenai sumber dana dan biaya yang dikeluarkan dari penyewaan UTG “Sewanya untuk eksternal itu di rata-rata dua juta. logic-nya begini, dalam satu bulan jika itu full 100% artinya kan dalam satu bulan ada berapa hari Sabtu dan Minggu, delapan kali sebulan. Ketika dua juta dikali delapan jadi 16 juta, perawatan kita berapa 14-15 juta, sisanya satu sampai dua juta,” ungkapnya.

Berkaitan tentang pembiayaan UTG, Supomo Hariyadi selaku kontraktor pengerjaan lapangan merincikan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan UTG “Kalau saya itu 500 (juta) tidak termasuk pajak, tambah pajak sama pph yang nanggung UII”.

Supomo menjelaskan bahwa 500 juta tersebut hanya sebatas konstruksi lapangan dan sistem drainase. Lalu menurut Achmad bila ditambah biaya pembangunan digabung dengan kontraktor akan sebesar 800 jutaan, ditambah dengan fasilitas tambahan pendukung yang berada di UTG, maka total pembiayaan sebesar 900 juta.

Terkait pemberitahuan yang dipublikasikan hingga satu miliar, Achmad mengklarifikasi hal tersebut. “Satu milyar, tapi itu sebenarnya tidak sampai segitu karena itu kan untuk booming, ya biasalah Bahasa medianya” ungkapnya

Dengan adanya fasilitas UTG ini, Achmad mengharapkan adanya peningkatan kualitas bagi PS UII kedepannya “Ada fasilitas berarti ada prestasi itu ada, peningkatan kualitas yang dimaksud adalah peningkatan kualitas tim kebanggaan kita supaya bisa berbicara di kancah nasional,” ujarnya.

Muhammad Fikri selaku ketua PS UII, sebagai satu diantara orang yang menggunakan UTG menanggapi baik perihal pembangunan UTG ini.

“Lapangan baru sangat bagus buat menambah minat mahasiswa untuk bermain bola dan mungkin bisa menambah prestasi,” ujarnya.

Penulis: Farrel Alfaiz

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia, Farrel Alfaiz, dan Pradipta Kurniawan

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.