Beranda blog Halaman 47

Colony Colapse Disorder Tidak Pengaruhi Ternak Lebah di Indonesia (2)

Colony Collapsed Disorder (CCD) yang terjadi di Eropa dan USA semenjak abad XIX dan booming kembali satu dekade terakhir, nyatanya tidak memberikan dampak besar pada kondisi lebah di Indonesia.

Fenomena yang membuat Bayern menghentikan produksi neonicotinoid itu tidak mampu mencuri perhatian khusus para pakar Indonesia. Tidak adanya laporan mengenai CCD membuat penelitian terkait hilangnya sejumlah besar lebah pekerja itu minim.

Tercatat ada 42 genus lebah di Indonesia dan yang paling sering dikembangbiakkan adalah jenis Apis mellifica dan Apis cerana. Dalam buku Beternak Lebah (Soedjono & Nuryani, 1991), Apis mellifica merupakan lebah impor dari Italia yang kemudian dikembangkan di Indonesia dan setiap tahunnya mampu menghasilkan madu hingga 45 kg.

Sedangkan Apis cerana adalah lalat lebah yang bahasa Jawa disebut tawon leler atau ondoan. Panjang sekitar 1,1 cm. Tinggal di sekitar manusia dan suka berkerumun di pasar sekitar tempat gula-gula. Dapat menghasilkan madu sekitar 7 kg tiap tahunnya.

Penyebab CCD belum pernah disebutkan secara pasti di berbagai jurnal internasional. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti kuat lebah mati disekitar sarang. Lebah pekerja pergi meninggalkan koloninya tanpa jejak sama sekali. Para penelitu pun hanya mampu menyediakan beberapa hipotesis terkait kejadian tersebut.

Hari Purnomo, seorang dosen biologi Univeristas Gajah Mada (UGM), menerangkan bahwa faktor-faktor yang diasumsikan sebagai pemicu CCD, seperti terjangkitnya lebah oleh varroa destructor, tidak terdeteksi di Indonesia.

“Belum ada penelitian (di Indonesia). Destructor (pada Apis) melifera Indonesia saya cari tidak ada, berarti populasi di Indonesia rendah karena peternak Indonesia menggunakan akarisida atau pestisida,” terang Hari.

Senada dengan penjelasan di atas, sebuah penelitian berjudul Tungau Varroa (Mesostiqmata: Varroidae) pada Lebah Madu Apis Mellifera Linnaeus, 1758 dan Apis Cerana Fabricius, 1793 (Nathania B, 2018), menyimpulkan bahwa Varroa destructor belum pernah ditemukan dan berkembangbiak pada lebah madu Apis mellifera. Nathania hanya menemukan Varroa jacobsoni dan Varroa underwoodi pada Apis cerana yang merupakan inang alaminya.

Kedua jenis Varroa tersebut hubungannya setimbang sehingga tidak akan membahayakan hingga membunuh Apis cerana.

Faktor CCD lain terkait habitat lebah madu seperti pemanasan global yang berdampak pada iklim Indonesia, dirasakan peternak lebah. CCD mungkin tidak terjadi, namun penurunan efektivitas produksi telah dirasakan para peternak.

Seorang peternak lebah asal Kaliurang, Sleman, Suparlin, menyatakan pernah merasakan fluktuasi produktivitasnya. “….karena ini berkaitan dengan alam, pernah saya kehabisan karena apa? Ada gangguan panen musim….,” terang Suparlin.

Musim memengaruhi tumbuh kembang tanaman dimana lebah mendapatkan makanannya sehari-hari. Pertumbuhan yang tidak optimal menjadikan lebah kesulitan mengumpulkan nektar bagi koloninya.

Sebenarnya tidak hanya musim, pengalihfungsian pada sektor kehutanan pun mampu menimbulkan masalah ketersediaan pangan lebah.

Pohon randu itu yang dulu (di) Jawa Tengah itu banyak karena kapuknya gak payu (red: laku) dijual, kan diganti busa, akhirnya do ditebangi, kayunya untuk kerjinan, punya petani habis,” jelas Suparlin.

Pemerintah, utamanya Dinas Kehutanan, telah melakukan upaya yang disebutnya melindungi peternak lebah. Di daerah Yogyakarta, penanaman pohon alpukat yang menggaet stakeholder luar negeri sudah pernah direncanakan.

Survei lokasi dan jajak pendapat praktisi telah dilewati. Sayangnya menurut Suparlin hal itu dirasa kurang memberikan solusi karena dari alamnya pun, musuh lebah madu Indonesia tidak terbendung jumlahnya, tawon siring misalnya.

Penggunaan pestisida yang disebut-sebut menjadi salah satu pemicu terjadinya CCD di Eropa pun, tidak nampak di Indonesia. Pestisida yang mengandung neonicotoid itu hanya menurunkan produktivitas ternak. Jika seekor lebah membantu penyerbukan tanaman yang diberi pestisida, maka nektar yang ia serap pun akan terkontaminasi senyawa kimia mirip nikotin tersebut. Saat lebah kembali ke sarangnya, disitulah waktu yang tepat menyebarkan penyakit lumpuh sayap kepada lebah satu koloni hingga madu yang dikumpulkannya menurun.

Dikutip dari jurnal Potensi Madu Hutan dan Pengelolaannya di Indonesia oleh Teguh Muslim (2014), Indonesia masih mengimpor 70% madu untuk mencukupi kebutuhannya di dalam negeri.

Impor yang besar ini diperkirakan karena rendahnya produksi madu di dalam negeri. Sejumlah 3.600 – 4.000 ton per tahun madu dikonsumsi rakyat Indonesia, namun sayangnya bangsa ini hanya mampu memenuhi 1.000 – 1.500 ton per tahun.

Sebagian besar produksi madu Indonesia masih mengandalkan alam (hutan) sehingga produktivitasnya pun sangat bergantung kepada kondisi alam kembali.

Proses beternak lebah di Indonesia sendiri tidaklah mudah dan cukup memakan waktu. Hal yang utama adalah mempelajari karakter dan kebiasaan lebah sehingga teknik beternaknya pun bisa tepat.

Lebah yang diternak harus dibawa sekitar seratus hingga dua ratus meter mendekati sumber pangannya. Biasanya para peternak akan menyewa sebuah perkebunan tertentu yang mana lokasinya cukup jauh dari perkotaan guna menghindari bising serta meningkatkan kecepatan produksi.

Setelah lima belas hari, madu pun dipanen dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar dua jam. Panen dilakukan dengan alat yang bernama blum, sebuah wadah penuh berisi madu, yang apabila telah selesai harus ditutup rapat dan segera dijauhkan dari lebahnya sendiri.

Dari perkebunan, blum dibawa ke rumah produksi untuk selanjutnya disaring serta dikemas dalam botol kaca. Kemasan madu asli tidak bisa menggunakan bahan plastik. Karena plastik akan bereaksi sehingga membuat madu berbau.

Tak seperti di Indonesia, Suparlin mengaku beternak lebah di luar negeri dirasa jauh lebih menguntungkan. Melimpahnya serangga lain, seperti kupu-kupu, menjadikan perkebunan Indonesia tak membutuhkan bantuan khusus lebah untuk penyerbukan.

Hal ini tentu berbeda dengan luar negeri yang kehadiran serangganya sangat minim. Saya dapat tamu dari Korea, dia juga berternak lebah. Bedanya apa peternak luar negeri dan disini, kalau diluar negeri itu, yang punya ternak lebah itu dicari oleh perkebunan, perkebunan kurma, perkebunaan anggur, mencari peternak lebah, kita ambil madunya, yang sana lancar”, tambah Suparlin.

Baca juga: Colony Collapsed Disorder: Kontribusi Manusia Pada Kepunahannya.

Madu asli yang diproduksi lebah memerlukan waktu cukup lama sehingga jika dipikir kembali, akan sangat sulit memproduksi sari madu secara massal dan terus-menerus. Banyak madu yang dipasarkan dengan klaim 100% madu murni, namun kenyataannya telah dicampur penjualnya untuk mendapat keuntungan besar.

Tingginya predator, lokasi ternak yang jauh, serta hasil produksi yang cukup minim dibanding permintaannya, menjadikan madu asli dibanderol dengan harga mahal.

Manusia berdampak besar bagi kelangsungan hidup lebah. Secara langsung, manusia bisa menjadi predator utama lebah di muka bumi.

Bagi mereka yang tidak mengerti bahkan memang tidak peduli, madu yang dihasilkan lebah bisa saja diambil seluruhnya. Padahal madu pun harus disisakan sedikit bagi kehidupan lebah selanjutnya.

Keseimbangan dan pelestarian alam harus dilakukan sehingga fenomena Colony Collapsed Disorder apalagi mencapai kepunahan lebah tidak terjadi di Indonesia.

Penulis: Janneta Filza A.

Reporter: Ananta Dhia, Janneta Fildza A., Ika Rahmanita, Dadang Puruhita

Editor: Zikra Wahyudi

*Naskah ini merupakan seri kedua dari tiga serial laporan khusus tentang lebah. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Merendahkan Status Influencer Hari Ini

Seorang wartawan sepuh Kompas, Andreas Maryoto sempat menulis sebuah curhatan serius. Sebuah curhatan berbentuk kolom yang menceritakan sejumlah rekan-rekannya yang bergerak dalam bidang kehumasan. Bukan karena kesal dengan klisenya hubungan media (wartawan) bersama orang-orang humas, melainkan me-repost curhatan rekan-rekannya itu tentang betapa repotnya ‘memanjakan’ para influencer.

Beberapa cerita serupa juga sudah menyebar di dunia maya. Unggahan-unggahan tentang tidak mulusnya proses kerja sama oleh pebisnis dengan para influencer sudah bisa kita temukan. Para pebisnis mengeluhkan betapa manjanya seorang influencer itu. Dalam kolomnya, Maryoto menjabarkan, selain patokan harga yang seenak jidat, mereka juga minta yang macam-macam.

Para pebisnis menyempatkan diri berperan sebagai warganet pada umumnya, mereka saling berbagi pengalaman: bagaimana jalinan ‘asmara’ mereka dengan para influencer itu. Kebanyakan, testimoni-testimoni yang akhirnya dikeluarkan itu berkesan buruk. Buruk karena penyewa jasa testimoni itu justru mengeluhkan orang-orang yang mereka bayar untuk mengeluarkan testimoni.

Di era yang serba kekinian ini, menjadi seorang influencer merupakan sebuah cita-cita baru. Status tersebut sudah seperti sederajat dengan para selebritis. Hari ini, kita bisa melihat bahwa selebritas itu terbagi ke dua kutub yang berbeda, yaitu selebritis konvensional dan selebritis dunia maya.

Kata influencer ini sendiri mencuat karena dijadikan sebagai penanda buat orang-orang yang dikenal dan diikuti oleh banyak orang di sosial media. Untuk mendapatkan status tersebut, orang berlomba-lomba menjadi yang terdepan dengan koleksi jumlah pengikut alias followers yang amat sangat banyak.

Dengan semakin banyaknya orang-orang yang punya status ‘artis sosmed’ ini, tak pelak influencer berubah menjadi sebuah profesi baru. Pebisnis dan para marketer menggunakan mereka yang punya julukan tersebut untuk membantu kepentingan sebuah merek bisnis. Status itu menjelma sebagai ladang penghasil duit.

Dalam Kamus Cambridge, istilah itu kurang lebih bermakna: “orang atau kelompok yang memiliki kemampuan mempengaruhi opini atau perilaku orang lain”. Namun, ketika melihat dinamika dunia maya, influencer sedikit demi sedikit menemukan tanda-tanda perubahan. Seperti apa dan siapakah influencer itu sebenarnya?

Kalaupun definisi berpatok terus pada era kekinian seperti saat ini, kasihan sekali orang-orang yang akun sosmednya miskin followers. Kedengarannya tidak adil. Sosial media sepertinya memang bukanlah tempat untuk benar-benar memerdekakan diri dalam hal eksistensi. Bisa jadi, dunia itu adalah dunia virtual yang terang-terangan mengedepankan konsep hukum rimba gaya baru.

Sosial media awalnya diklaim sebagai tempat alternatif untuk bersosialisasi, justru beralih fungsi menjadi ajang unjuk diri. Demi jumlah pengikut serta status influencer, tidak jarang manusia-manusia sosmed kelas bawah alias ‘netizen biasa’ terjebak dalam rambu-rambu yang sarat akan persaingan. Menjadi terkenal, banyak pengikut, buka jasa promosi, disewa marketer, terus banyak duit, siapa yang tak mau?

Perkembangan influencer sebenarnya sudah ada dari zaman kodok, hanya saja istilah ini makin sexy di era tsunami data saat ini. Definisinya pun menjadi lebih spesifik. Pemahaman bahwa istilah itu akan berlaku ketika sebuah ‘pengaruh’ hanya disebarkan melalui sosial media, agaknya lazim hari ini.

Masalah tidak datang hanya pada pemahaman soal definisi pastinya saja, melainkan juga bagaimana istilah tersebut bekerja. Sebagaimana perkembangannya yang terlihat, status eksklusif itu memunculkan sebuah batasan khusus. Batas yang memisahkan netizen ke dalam dua kelas yang berbeda. Status yang merupakan sebagai penanda, sekaligus pembeda.

Meski sama-sama pengguna, pada akhirnya sosmed seakan membagi antara mana yang influencer, dan mana yang non-influencer. Anggap saja, influencer adalah kelas atas sebagai puncak pimpinan yang membawahi kelas bawah. Walaupun tidak secara sistematis, kelas bawah yang diisi oleh kaum non-influencer itu terbawa suasana dan terpengaruh oleh daya pengaruh dari kelas yang berada di atasnya.

Namun, batas ini tidak setegas sebuah struktur hierarkis. Sebagaimana watak absurdnya, social media seolah-olah membuang batas partisi tersebut menjadi sesuatu yang tidak jelas dan acak. Siapa yang menindih siapa, tetap masih bisa diperdebatkan. Tapi, yang jelas adalah: keduanya bergerak sebagai bagian dari sebuah keramaian, alias: part of the crowd!

Status influencer, mampu menunjukan sebuah gejala: bagaimana mereka mengatur kendali. Perannya seperti hegemoni yang bergerak. Bagaimana mereka mampu mendominasi jalannya rotasi, dan nyempilin standar-standar baru ke dalam otak orang-orang yang berada di bawah dominasinya.

Dari pola acak tersebut, hegemoni di dalamnya menjadi berlapis-lapis, dan saling tumpang-tindih. Figur-figur dominan ini memiliki komunitas tertentu yang mereka kuasai. Lihat bagaimana Lambe Turah mampu menjaring fanbase besar dengan konten-konten gosip mereka. Atau bagaimana Awkarin, tetap laku keras sebagai endorser meskipun dirinya berada dalam kutub bad influencer.

Masing-masing influencer punya kekuasaan yang berbeda-beda. Kekuasaannya itu berbentuk komunitas yang terdiri dari akun-akun, terlepas apakah akun-akun itu merupakan pengikut yang masuk dalam kolom followers atau pengikut bayangan, alias stalker kalau urat kepo-nya tiba-tiba kumat.

Sementara pebisnis atau marketer yang ingin menggunakan jasa influencer sebagai alat untuk mempromosikan merek mereka, biasanya akan melakukan pemetaan terlebih dahulu sebelum menentukan figur mana yang bakal mereka gunakan. Jasa endorse adalah jembatan bagi sebuah merek bisnis untuk menyentuh pangsa pasar mereka yang berada dalam komunitas jajahan sang figur.

Hegemoni sang figur itulah yang sebenarnya dimanfaatkan oleh para penjual sebagai alat jualan. Hari ini, definisi influencer itu sendiri akhirnya dipertemukan dengan cabang baru, yaitu influencer yang lebih mirip sebagai agen-agen elite yang ditugaskan; apa lagi kalau bukan menjadi elite sales?

Tren endorse adalah titik inti dari istilah influencer itu mengalami pergeseran makna. Apakah arti dari istilah sekeren itu hanya sebatas “kemampuan mempengaruhi orang untuk membeli sebuah produk” saja? Pemahaman tersebut mungkin lazim di era sekarang, yang dianggap aneh justru ketika kita menyamakan derajat influencer dengan para online seller.

Lalu, seperti apa orang yang berhak menyandang status tersebut? Siapapun bisa sebenarnya. Setiap manusia punya daya untuk mempengaruhi orang lain walaupun komunitas jajahannya tidak seluas para selebriti media sosial. Bahkan, binatang pun bisa melakukannya. Ingat bagaimana seekor Gurita memprediksi hasil pertandingan Piala Dunia?

Lewat kolomnya, Andreas Maryoto memberikan salah satu contoh upaya memprovokasi. Paling tidak, mempengaruhi pembaca untuk melihat sudut pandang baru tentang influencer lewat kacamata rekan-rekannya yang berkecimpung di bidang kehumasan. Begitu juga dengan unggahan curahan hati para pebisnis yang mengeluhkan pengalaman kerja samanya dengan─orang-orang yang mengaku sebagai─influencer juga merupakan upaya yang sama.

Boleh dibilang, orang-orang yang disebut sebagai influencer itu adalah pendusta. Eksklusivitas dari status tersebut hanyalah kebohongan yang terdengar lucu. Kita semua adalah influencer itu sendiri. Yang membedakan hanya seberapa berpengaruhnya kita dengan seleb-seleb terkenal itu. Dengan kata lain, cuma kalah terkenal dan kalah jumlah followers.

Popularitas seharusnya bukan penentu seseorang dapat dikatakan influencer. Tapi, yang terjadi hari ini adalah istilah itu mengerucut menjadi sebuah tanda yang seolah-olah eksklusif. Kenapa tidak sekalian saja kita sebut status itu sebagai nabi? Sama-sama mempengaruhi, sama-sama punya daya, dan sama-sama punya umat pengikut, bukan? Beda, tapi mirip-mirip.

Kepentingan promosi agaknya sangat mendorong istilah itu berada dalam lingkaran yang khas seperti sekarang ini. Jumlah follower dan luas jajahan kini menjadi parameter mutlak seseorang disebut sebagai influencer. Hal itu seakan menanggalkan alasan-alasan lain. Sejauh ini, status tersebut seperti tidak membawa aura kapasitas lain selain menjadi alat jual semata.

Sebagai akun yang mengantongi parameter mutlak tadi, dengan begitu mudahnya mengklaim diri sebagai influencer, kemudian membuka jasa endorse untuk mengeluarkan testimoni-testimoni. Pola ini seakan mengumumkan bahwa influencer, tak lain hanyalah status atau profesi eksklusif yang merendahkan eksklusivitasnya sendiri. Budak-budak testimoni yang kesaksiannya dibayar oleh pemodal.

Pengaruh mereka memang bisa dihitung. Tapi, apabila pengaruhnya hanya berkutat pada statistik penjualan saja, apa bedanya dengan sales person biasa? Bagaimana status ini bisa begitu digdaya ketika perannya hari ini pun sebenarnya monoton dan biasa saja? Status influencer seolah menjadi penamaan makna yang membedakan sesuatu yang sama.

Alih-alih saintifik, Influencer kita terima secara takjub hanya karena datang lewat medium yang baru. Dunia maya mengorbitkan artis-artisnya lewat kepolosan fantasi para penggunanya. Semakin individu-individu elit itu dielukan, semakin tinggi pula area dan jumlah jajahannya. Dan, dari situlah posisi tawar mereka menguat, alias lebih mahal.

Ketika sadar bahwa dirinya berada di level itu, pengaruh-pengaruh yang dimiliki mulai (cenderung) diobral. Status elit, yang tidak disadari pula, ikut terjajah oleh iming-iming. Hegemoni yang datang dari ketenaran, diinjak lagi oleh hegemoni lain berbentuk perjanjian transaksional yang melibatkan pundi-pundi upah.

Di atas langit masih ada lapisan langit. Kata-kata itu mungkin pantas dijadikan antitesis bagaimana penyematan status tersebut mestinya tidak seprestis yang ada sekarang. Tapi, pengertiannya itu sudah begitu terlanjur. Kita hanya tinggal memilih; antara meluruskan istilah-istilah─seperti perjuangan Ivan Lanin, sang influencer tata bahasa─itu, atau menunggu ‘rezim status’ tersebut melakukan blunder, sehingga mengalami kejatuhan di masa mendatang.

Di tengah arus kedigdayaannya para selebritis medsos merias dirinya sebagai influencer saat ini, keluh-kesah yang diunggah para pemegang merek di sudut-sudut pelosok lain dunia maya bisa jadi merupakan tanda-tanda kejatuhan tersebut. Gelombang anti-influencer baru-baru ini mulai terjadi, dan ini merupakan isu yang tentu akan berdampak bagi kelangsungan status para budak-budak testimoni itu.

Arus awareness para audiens (netizen kelas bawah) yang menganggap testimoni-testimoni itu adalah testimoni palsu, sekiranya bakal menguatkan gelombang itu. Mungkin, hari ini status itu masih tetap eksklusif, dan berpotensi sebagai ladang uang. Tapi, ketika seorang budak dianggap tidak lagi memberikan ‘sesuatu’ bagi tuannya, mereka bakal dimerdekakan. Kau tahu maksudnya kan, Esmeralda-chan?

Paling tidak, kemerdekaan itu bisa berupa runtuhnya pamor “influencer” itu sebagai diksi yang begitu superior. Kemerdekaan yang meruntuhkan sisi puitisnya menjadi sesuatu yang tak lebih dari “gembel generasi baru”, yang bakal mulai mengemis di emperan toko-toko virtual sambil mengobral kata-kata mutiara yang kurang lebihnya berbunyi: “Berikan saya produk anda secara gratis, dan sebagai gantinya saya akan mempromosikannya lewat Instagram.” Sungguh, proposal yang tidak lebih baik dari para promotor acara─pemburu sponsor.

Seperti layaknya mobil dengan motor, sebutan bagi keduanya berbeda, tapi konsep mereka tetaplah sama, yakni: kendaraan. Apa-apa yang terkesan eksklusif dan prestise, memang selalu menggelikan, ya? Semoga, tulisan ini tidak kalah provokatifnya dibanding selebaran testimoni produk-produk peninggi badan di Instagram.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Colony Collapsed Disorder: Kontribusi Manusia Pada Kepunahannya (1)

Lebah menjadi salah satu serangga yang mungkin kehadirannya tidak dianggap oleh manusia. Sebagian besar juga akan mengetahui lebah sebagai penghasil madu, Tidak banyak yang sadar bahwa kehidupan manusia saat ini sangat disokong oleh serangga bergenus Apis  Ini. Dalam sebuah kutipan, Einstein berkata bahwa jika populasi lebah menurun, manusia pun akan mengikutinya. Perkataan Einstein ini tentu bukan sebuah bualan semata. Jika dilihat lebih jauh, lebah berperan besar dalam 80% polinasi tumbuhan dunia.

Polinasi merupakan suatu peristiwa dimana serbuk sari jatuh di kepala putik bunga. Peristiwa ini bisa dijalankan dengan berbagai cara, seperti dengan bantuan angin, manusia, maupun serangga. Dari seluruh metode diatas, lebah memegang peran probabilitas tertinggi. Efektivitas lebah dalam proses penyerbukan jika dibandingkan dengan manusia akan sangat jauh. Dalam satu koloni, lebah bisa membantu tiga juta polinasi selama sehari. Sedangkan manusia hanya bisa membantu tiga puluh polinasi tumbuhan per harinya. Biasanya, lebah menghinggapi tumbuhan yang berbunga kecil, seperti manga, melon, apel, dan alpukat.

Dalam buku Beternak Lebah oleh Soedjono. Bsc & Ir. Nuryani (1991), untuk persediaan makanan, lebah pekerja mengumpulkan nektar dan serbuk sari kemudian ditimbun dalam sarang. Diuapkan airnya kemudian menental menjadi madu. Penguapan terjadi karena lebah pekerja mengibaskan sayapnya. Jika tidak ada lebah, nektar hanya akan berputar dialam tanpa manusia rasakan. Manusia tidak akan pernah mendapatkan manfaat dari nektar ini, terutama madunya.

Polinasi yang gagal tentu berefek besar pada sektor agrikultural. Polinasi tidak akan menghadirkan buah, sebut saja beras sebagai contohnya. Jika tidak ada beras, rantai makanan yang ada disawah akan terputus, mengingat padi merupakan satu-satunya produsen yang ada pada ekosistem tersebut. Tumbuhan pun lambat laun akan punah dan tentunya manusia pun akan merasakan akibatnya. Tak hanya mengurangi bahan pokok, ketersediaan oksigen di bumi pun pasti akan menurun. Jika tidak ada oksigen maupun makanan, harapan hidup manusia pun tak tertolong.

Menurut penelitian yang berjudul Honey Bee Colony Collapse Disorder (Apis Mellifera L.) – Possible Causes (Bekic B. et al, 2014), penurunan jumlah lebah ini telah terjadi semenjak abad XIX dan muncul kembali pada tahun 2006. Fenomena yang disebut dengan Colony Collapsed Disorder (CCD) ini, pertama kali muncul di USA yang mana dalam satu minggu, para peternak melaporkan 50-90% koloni lebahnya menghilang.  Pada 2009, CCD secara signifikan juga terjadi di negara-negara Eropa, seperti Switzerland, Belgia, Perancis, hingga Nothern Ireland.

Gejala CCD muncul dengan hilangnya sebagian lebah pekerja dalam suatu koloni. Sarang mereka terlantar serta hanya menyisakan ratu lebah dengan jumlah pekerja yang minim. Walaupun seperti itu, di dalam sarang tertinggal sejumlah besar makanan, madu, dan serbuk sari. Lebah pekerja yang hilang tidak pernah sekalipun terlihat kematiannya di lingkungan. Mereka menghilang tanpa sekalipun meninggalkan jejak. Hal inilah yang menyebabkan para peneliti tidak mengetahui penyebab pasti munculnya fenomena tersebut hingga sekarang.  

Banyak asumsi pakar yang bermunculan dan sayangnya manusia memiliki andil besar dalam punahnya serangga berkaki enam tersebut. Penggunaan pestisida pada perkebunan yang menjadi sumber pangan lebah salah satunya. Sejak Perang Dunia ke-II, pemakaian pestisida melonjak drastis sehingga neonicotinoid dalam pestisida pun merebak luas. Neonicotinoid secara kimiawi serupa nikotin dan sangat popular penggunaannya dalam pestisida. 

Hari Purnomo, dosen Universitas Gajah Mada (UGM) yang melakukan penelitian CCD di Indonesia, mengatakan bahwa Neonicotionid mampu merusak saraf lebah. Akibat dari rusaknya saraf ini bisa mengganggu navigasi yang dimilikinya. Navigasi yang terganggu menjadikan lebah tidak mengetahui arah kembali ke koloninya, seolah-olah ia terkena penyakit Alzheimer. Diimbuhkan pula oleh Ravelinta dan Elfediyah Dinansari dari Kelompok Studi Entomologi (KSE) Biologi UGM, bahwa senyawa Neonicotinoid yang telah diserap seekor lebah memiliki efek domino bagi satu koloninya.

“…. polennya (yang telah dimakan lebah) bakal mengandung senyawa itu (re : Neonicotinoid). Nah terus efeknya itu menyebar. Jadi kalau satu individu udah konsumsi itu terus pas dia balik ke sarangnya, itu bakal menyebar ke yang lain…”,terang Ravelinta. 

Menurut mahasiswa biologi tersebut pula, polen yang dibawa dari kaki lebah hingga menjadi madu itu, dapat pula berefek ke individu lain. Madu yang diproduksi dari lebah terkontaminasi neonicotinoid mampu menyebar ke manusia jika dikonsumsi.

Selain pestisida, hadirnya penyakit yang disebabkan virus Varroa destructor mites pun menurunkan jumlahnya. Varroa merupakan sebuah penyakit yang menyerang lebah dewasa serta paling banyak ditemukan di Eropa. Dalam jurnlnya, Becker menyebutkan jika sebuah koloni sudah terinfeksi, varroa mites akan menyebar dan membunuh koloni dengan cepat. Biasanya, tungau akan menyerang sayap lebah pekerja hingga mereka lumpuh, tidak bisa terbang, dan berakhir mati.  Penyebaran virus ini bisa melalui pollen bunga. Saat lebah sehat memakan pollen yang terserang virus varroa, saluran pernapasan lebah pun terinfeksi. 

Hari menerangkan pula bahwa hama dan virus lebah sangat bervariasi bergantung pada morfologi serta lingkungannya. “….ada yang dari protozoa yang disebut nosema bikin mencret (dan) tidak terlalu berdampak signifikan. Ada banyak sekali hama lebah, namanya varroa jacobsoni, dan di Indonesia tidak terpengaruh varroa jacobsoni. Di Eropa dan di Cina berpengaruh (varroa jacobsoni) karena bentuknya berbeda dan morfologinya berbeda. Yang  merusak adalah varroa destructor yang ada di Korea, Cina, dan Jepang…”, jelas dosen Biologi UGM ini. 

CCD pun tak lepas dari dampak besar perubahan iklim yang terjadi di dunia. Lebah madu, Apis mellifera sahariensis yang ditemukan pada oase Africa memiliki mekanisme adaptasi suhu ektrem. Walaupun seperti itu, mereka tetap membutuhkan air untuk mengembangbiakkan larva serta menjaga temperatur tubuh yang berada diantara 34oC dan 35oC. Dalam lingkungan kering, tumbuhan gurun tak mampu menyediakan cukup air bagi lebah. 

Perubahan iklim dalam jurnal Climate change : Impact on honey populations and diseases (Conte Y. L. & Navajas F., 2008) dituliskan mampu mengubah kesetimbangan lebah madu, lingkungannya, dan penyakitnya. Lingkungan yang semakin panas membuat Apis mellifera tidak mampu bertahan hidup, bahkan untuk migrasi sekalipun. Senada dengan jurnal diatas, Hari menyebutkan pula bahwa resiko penyakit lebah yang di alam lebih tinggi dan memiliki variasi lebih banyak. 

Terlepas dari faktor alam, manusia memiliki peran yang cukup mengerikan pada fenomena hilangnya lebah ini. Penggunaan pestisida, perubahan iklim, bahkan rekayasa genetik yang dibuat manusia kepada lebah menjadi boomerang tersendiri bagi keberadaan manusia dimuka bumi.

Kelansungan hidup manusia bergantung dengan kesetimbangan ekosistem, lebah salah satunya. Sebuah ironi tragis terjadi dimana manusia membunuh lebah, maka ia melukai diri sendirinya jua. Semakin maraknya pestisida maupun tak acuhnya manusia pada perubahan iklim, disaat itulah berarti manusia meninggikan kontribusi bagi kematiannya sendiri.

Penulis: Janneta Fildza A.

Reporter: Jannet Fildza A., Ananta Dhia, Ikka Rahmanita, Dadang Puruhita

Editor: Zikra Wahyudi

*Naskah ini merupakan seri pertama dari tiga serial laporan khusus tentang lebah. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Seperti Politik, Hoax Kita Juga Sama

Tidak jauh beda dengan dunia politik, sebaran berita-berita hoax sebenarnya punya similiaritas pola, alias mirip-mirip. Manuvernya bisa sangat tiba-tiba dan mengejutkan—memaksa jantung bergerak separatis dari tubuh.

Seperti yang sudah kita tahu, sepak terjang hoax di era social media sekarang ini jadi semakin ngeri. Sudah seperti mutan yang mampu merasuk ke dalam kepala-kepala masyarakat, terlebih netizen yang maha budiman.

Hoax seakan memiliki watak dan kepribadian yang sangat amat powerfull. Kekuatannya ini mampu menembus sendi-sendi kehidupan, lalu mempengaruhi: bagaimana orang-orang jaman ini menerima suapan informasi.

Bukan sekadar mutan biasa, berita palsu alias hoax ini bergerak macam partikel virus seukuran Particulate Matter (PM) 2,5 yang tidak pandang bulu dalam memilih korbannya. Hoax mampu mencuci otak siapa saja.

Sepanjang musim-musim politik seperti tahun 2019 yang merupakan momentum pemilu juga tak lepas dari bayang-bayangnya. Tidak hanya mirip, politik dan hoax sudah seperti saudara yang selalu berjalan beriringan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan temuannya terkait berita palsu sepanjang Agustus 2018 hingga April 2019. Temuan tersebut mengidentifikasi angka mencapai 1.731 hoax.

Paling tidak ada 486 hoax yang eksis di sepanjang bulan April. Dan lagi-lagi, konten hoax politik mendominasi bulan tersebut dengan 209 hoax. Sejak pertengahan tahun 2018 hingga awal 2019 tersebut total yang diidentifikasi sebagai hoax berjumlah 620 hoax.

Bagaimana kabar-kabar bodong itu ikut-ikutan (atau dilibatkan) nimbrung memerankan diri sebagai senjata politik untuk meruntuhkan para oposan di sudut-sudut oposisi. Hoax dan politik tampaknya memiliki sebuah perjanjian. Sebuah kontrak politik untuk berkoalisi dalam jangka waktu yang abadi sangat lama.

Kita tentu paham betul bahwa hoax ini sendiri adalah sesuatu yang diproduksi masif. Penyebarannya pun kian menguat di era media sosial yang mampu membuat sang produsen tampil anonim. 

Bahkan, segelintir pihak lebih ‘berani’ tampil asli baik sebagai produsen maupun sebagai agen distribusi dengan modal tombol share, re-tweet, screenshot dan metode-metode sejenisnya.

Hal ini juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) bahwa media sosial menjadi saluran favorit bagi konten hoax melancarkan aksi. Menjamur kemana-mana dan dengan mudahnya dipercaya.

Lalu, kenapa konten-konten yang tidak jelas validitasnya ini bisa begitu digdaya? Meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi tahun politik tampak seperti momentum untuk hoax ter-produksi secara massal. Pemilu 2019 sampai momentum demonstrasi mahasiswa kemarin lalu; pun tak luput jadi sasaran agresinya.

Tidak berhenti di hari-hari menjelang tanggal pencoblosan saja, hoax-hoax baru terus bermunculan baik di hari pencoblosan maupun setelah pemilihan. Itupun diperparah lagi ujaran-ujaran kebencian yang terpampang di linimasa dunia maya.

Bagaimana cara kita melihat manuver politik segelintir elit hari ini? Penuh dengan efek kejut, begitu pula hoax menampilkan wataknya. Penuh muatan gosip, kesumbangan yang tampil mampu hadir dengan sensasi fenomenal.

Hoax seringkali dibenarkan untuk dieksploitasi sebagai alat pembenaran dalam membenarkan. Kalaupun kemudian diperdebatkan, perdebatan yang lahir justru lebih cenderung dengan munculnya hoax tandingan. Kabar palsu baru yang naik tayang.

Langkah politik; bukan rahasia lagi jika hitungannya tidak sesederhana step by step yang kasat mata saja. Melainkan jauh daripada itu, selubung di balik selimut penuh dengan ketidakpastian. Blur!

Manuver politik, mungkin tidak dapat mutlak disama-samakan dengan manuver-manuver hoax. Tapi, sebagai alat pembenar, politik dan hoax saling mendukung. Seolah-olah menjalin hubungan karib yang begitu erat. Bisa dibilang kerabat.

Irisan tipis ini menjadikan kedua variabel tersebut mengafirmasi terbentuknya koalisi-koalisi. Politik bukan hanya sekadar pola kaderisasi ataupun keanggotaan orang per orang, melainkan juga bagaimana narasinya dimainkan dengan begitu sexy dan seductive.

Era media sosial yang kian kuat ini membuat hoax ikut menguat. Apalagi, kecepatan sebarnya juga tidak diimbangi oleh ketepatan akurasinya sebagai kebenaran yang benar-benar ada. Sumber-sumbernya tidak mudah dideteksi.

Belum lagi dengan pola sistemisasi algoritma yang memberi kesan: aktif mendukung penyebarannya. Hoax dengan segala watak ‘uniknya’ ini semacam mempunyai ruang dan aksesibilitas untuk menggapai status “viral” kemudian trending topic.

Kebenaran politik seringkali hanya jatuh sebagai janji-janji utopis. Benar-tidaknya, terselubung dalam niat dan tekad yang manipulatif. Definisi salah-benar bisa saja bertukar dalam ruang-ruang politik. Sementara peredaran informasi palsu mengukuhkan asumsi tersebut.

Jauh sebelum era digital seperti saat ini, hoax beserta elemen-elemen kawanannya sendiri bukanlah hal yang baru. Kelas gosip-gosip tetangga sampai sekaliber teori-teori―cocoklogi―konspirasi ataupun propaganda elit global; sama rentannya menjadi medium penyebarannya. Politik praktis, apalagi…

Kita bisa memutar waktu ke belakang dimana Eropa di abad ke 15-18 dulu terhias oleh kasus perburuan penyihir yang timbul cuma karena tuduhan desas-desus. Atau, bagaimana buku-buku dimusnahkan karena ‘kebenarannya’ yang ditakutkan, disalahkan, atau sekadar tak disukai, seperti yang diungkapkan Fernando Báez dalam bukunya: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.

Dan pada era digital yang “serba cepat tersambung-tersebar” zaman ini, terbukti menjadikannya kian lincah merangsek masuk ke dalam rongga-rongga otak para ‘konsumennya’. Lagi-lagi, siapa produsen dan agen-agennya? Seperti apa pola dinamika yang (sebenarnya) bermain?

Tenang, siapapun bisa menjadi apapun. Apalagi jika kita membicarakan tatanan ruang maya. Di jauh sana yang entah di mana itu, aku, kamu, mereka, dan kita semua bisa berubah jadi anonim, orang lain, orang alim, kep*r*t, bahkan tuhan sekalipun!

Sebenarnya, bukan hanya konten unggahan saja yang masuk kategori hoax. Melainkan juga akun. Dunia yang sekarang ini sudah bisa digenggam lewat kepalan ponsel pintar, memberikan kita kebebasan bagaimana kita bermanuver di dalamnya. Ingin tampak asli, atau tampil palsu? Atau, menggabungkan keduanya sekaligus.

Lihat bagaimana akun Twitter Vladimir Putin dipalsukan beberapa waktu lalu. Simaklah para pengobral tombol likes yang mengatasnamakan simpati, dan pakar-pakar komentar bekerja di linimasa. Cermatilah senyum orang-orang yang mengenakan rompi oranye buatan KPK. Perhatikan juga wajah-wajah garang ‘tukang parkir’ birokrasi yang meminta jatah retribusi lebih dengan dalih regulasi itu.

Tidak ada bedanya: online maupun offline, yakinlah bahwa kepalsuan itu sulit dipisahkan dengan jalannya peradaban. Fakta sejarah yang kemudian berubah menjadi mitos, begitu pula sebaliknya; sepertinya memang naluriah. Eksistensi kita ini merupakan konten zaman yang mungkin akan terus merapat pada poros fitnah, hoax, agitasi, dan kawan-kawannya yang lain.

Sebab, kita semua adalah entitas jelmaan dari hoax itu sendiri. Manusiawi sekali, karena, sebagaimana politik, kita sudah menjadi bagian kekerabatannya secara psikologis. Menyalahkan hoax, sama saja dengan menyalahkan diri sendiri. Membenarkan hoax, berarti membenarkan ketidakbenaran, kebohongan, dan kepalsuan itu sendiri. 

Kita bisa bicara soal ruang maya yang berdinding batas tipis dengan dunia nyata. Kita pun boleh saja berkicau tentang bagaimana politik itu bergaya. Antara sertaan idealitas ideal, atau melulu sama seperti anggapan-anggapan yang ada selama ini: kekuasaan dan kelicikan penguasa.

Internet adalah segala ruang tentang realitas virtual yang aduhai. Sementara politik adalah definisi dari definisi-definisi yang apalah namanya. Tapi, keduanya adalah dunia yang sama-sama gaduh karena kebanyakan noise. Membingungkan. Bukan begitu, Esmeralda-chan?

Lalu, mengapa hoax tidak mendapatkan celaan layaknya kebencian otak-otak apolitis kita terhadap politik? Alih-alih apatis, hal tersebut justru begitu mudahnya disenangi, dan dikonsumsi. Kurang rasional, atau mungkin kitanya saja yang terlalu emosional. Padahal, hoax layaknya drama rekaan dan janji-janji bohong para politisi pemburu kursi. 

Eh, tapi… kita juga masih keseringan lupa menagih dan mengkritisi janji-janji klise politisi, lho! Tapi, tapi lagi nih, gimana mau lupa, lha wong ingat saja belum, kok. Haddeuh…

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Takmir Masjid Ulil Albab UII Adakan Kajian Integrasi Islam dan Ilmu Pengetahuan

HIMMAH ONLINE, KAMPUS TERPADU – Sabtu, 12 Oktober 2018, Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam menyelenggarakan Seminar Moderasi Islam untuk ketiga kalinya dengan tema “Integrasi Islam dan Ilmu Pengetahuan”.

Kegiatan ini berlangsung di Masjid Ulil Albab dengan mengundang Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagai pemateri dan dipandu oleh moderator dari dosen UII, Nurkholis serta Rektor UII, Fathul Wahid yang turut serta hadir mengisi acara.

Acara dibuka oleh sambutan Fathul Wahid yang menyampaikan ulasan singkat mengenai sejarah berdirinya UII dan gagasan pendirinya.

“Jadi Islam itu sifat, Indonesia itu sifat, bukan tempat. Sehingga di UII ini nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai keislaman dipadukan. Karena dua nilai itu harus menyatu, kalau perlu dalam satu tarikan napas,” ungkap Fathul.

Selanjutnya UAS di awal pemaparannya menjelaskan apa itu ilmu. Menurutnya, ilmu merupakan keyakinan yang diperoleh sesuai dengan fakta. 

“Oleh karena itu apabila seorang ilmuwan bergerak menyerap ilmunya tidak sesuai dengan fakta maka yang diperolehnya bukanlah ilmu,” terang UAS.

Menurut UAS, orang yang menggunakan akalnya secara benar adalah ketika seseorang tersebut dapat mengkaji ayat secara tersurat maupun tersirat. Sehingga siapa saja yang dapat mengkaji ayat-ayat Alquran tersebut adalah golongan ulil albab. “Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang cerdas spiritualnya, cerdas intelektualnya dan orang yang peduli agama,” jelasnya.

Terakhir, UAS juga menambahkan apabila umat manusia disibukkan dengan ilmu pengetahuan yang digali maupun dieksplorasi di Alquran, maka akan datang kepadanya ilmu-ilmu dari isi Alquran, sains dan bidang keilmuan lainnya. Hal tersebut sesuai dengan standar kelulusan para mahasiswa UII untuk bagaimana kedepannya dapat mengintegrasikan ilmu dengan Islam.

Acara yang dilaksanakan selama dua jam tersebut berlangsung dengan lancar dan dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dari dalam dan luar kota Yogyakarta. Para peserta seminar kajian juga terlihat memadati Masjid Ulil Albab hingga ke lantai tiga. 

Salah satu peserta seminar kajian, Fahrul Hakim mengaku berantusias untuk mengikuti kajian ini, “Ustaz Abdul Somad memiliki retorika dakwah yang khas dan juga dalam penyampaiannya yang tidak membosankan sehingga cocok untuk semua kalangan masyarakat,” ujar salah satu mahasiswa UII tersebut.

Sempat mendapat penolakan

Pada mulanya acara ini sempat dipindahkan dari Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) ke Masjid Ulil Albab UII. Acara ini diinisiasi oleh pihak Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bersama dengan DPPAI untuk menghadirkan UAS ke Yogyakarta. Ajakan tersebut disambut dengan baik oleh pihak UAS dengan meminta untuk dapat dihadirkan ke masjid yang belum pernah dia hadiri. Sehingga dari promotor kemudian mengarahkannya ke Masjid UGM. Namun dibatalkan karena ada permasalahan izin dari pihak rektorat.

“Iya karena memang dari pihak Takmir Masjid UGM menginginkan untuk terus berjuang bahkan dari pihak dosennya, dan kami selalu diinformasikan terkait perkembangan di UGM, begitu pula informasi yang kita punya selalu kami komunikasikan,” papar Ilham Rais selaku pihak Takmir Masjid Ulil Albab UII.

Berdasarkan rilis yang dikeluarkan pada akun Instagram @masjidkampusugm pada Rabu, 9 Oktober 2019 menjelaskan bahwa pihak takmir dipaksa untuk membatalkan acara kuliah umum Abdul Somad dengan alasan ada tekanan dari luar, namun takmir menolak permintaan tersebut karena forum adalah kajian yang bersifat akademik.

Sebelumnya, UAS dijadwalkan untuk mengisi Kuliah Umum bersama dengan Prof. Indra Bastian yang dilaksanakan pada hari dan waktu yang sama. Namun terpaksa tidak bisa dilaksanakan atas desakan Rektorat UGM melalui Surat Nomor 7295/UN1.P1/HMP/KM/2019 seperti yang dilansir pada pemberitahuan dari panitia penyelenggara kuliah umum.

Penulis: Yustisia Andhini L.

Reporter: Alwan Nur Fakhry

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Mosi Tidak Percaya Oleh Mahasiswa Pada DPR Semakin Menguat

Himmah Online, Yogyakarta – Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (FBD) melaksanakan aksi demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY) pada Senin, 30 September 2019. Aksi demonstrasi tersebut merupakan bentuk respon mahasiswa terhadap isu yang selama ini mencuat, sejak Joko Widodo menjabat sebagai Presiden. 

Aksi diawali dengan pembacaan orasi oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta. Mereka mengangkat isu yang banyak menuai kontroversi dari masyarakat mulai dari RUU KPK, RUU Pertanahan, kasus kebakaran hutan, RKUHP, hingga tindakan represif aparat yang terjadi di berbagai daerah. 

Aksi yang dihadiri oleh 400 lebih massa aksi tersebut memiliki beberapa poin utama yang mereka tuntut, antara lain: Mencabut Revisi UU KPK dengan menerbitkan Perppu; Menindaklanjuti terkait pembakaran hutan dan lambatnya penanganan pemerintah; Demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; Segera melaksanakan reforma agraria dan perlindungan sumber daya alam serta tenaga kerja dari ekonomi eksploitatif.

Aksi tersebut berjalan tertib meski sempat terjadi perdebatan perihal aksesibilitas ke anggota DPRD, antara massa aksi dengan beberapa pihak keamanan seperti polisi dan penjaga gedung DPRD.

Namun akhirnya mahasiswa diperkenankan memasuki gedung dan bertemu dengan beberapa anggota DPRD. Terdapat tiga anggota di dalamnya, salah satunya termasuk Wakil Ketua DPRD DIY sementara, Huda Tri Yudiana.

Saat bernegosiasi, massa aksi meminta seluruh anggota DPRD untuk keluar dari gedung untuk mendengarkan orasi dari mahasiswa. Eko Suwanto yang menjadi salah satu dari ketiga anggota dewan yang hadir, sempat keluar gedung dan memberikan tanggapan terkait RUU KPK.

“Untuk memberantas korupsi, harus memiliki tiga poin penting yang harus diperhatikan. Seperti aspek pencegahan korupsi, dari sisi penindakan, dan pemberantasan korupsi tidak dapat diberantas hanya oleh satu kelompok saja. Tapi harus bersama-sama,” ujarnya.

Setelah itu, massa aksi berhenti sejenak melakukan salat Asar. Sebagai bentuk matinya demokrasi di Indonesia, massa aksi juga melakukan salat Gaib berjamaah.

Selepas salat, massa aksi kemudian mempertanyakan hilangnya salah satu anggota DPRD DIY yang berasal dari fraksi PDI Perjuangan, yaitu Eko Suwanto. Eko menghilang beberapa saat setelah para pers melakukan wawancara dengannya. 

Massa aksi pun melakukan negosiasi dengan pegawai DPRD DIY untuk melakukan sweeping terhadap Eko, sekaligus berusaha mencari anggota dewan yang lain selain ketiga dewan yang sudah berada di halaman Gedung DPRD. Usai memasuki gedung, massa aksi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Eko beserta anggota dewan yang lain. 

Terkait hal tersebut, reporter Himmah Online menghubungi Eko melalui media sosial Whatsapp untuk memberikan klarifikasi. Eko membenarkan dirinya memang sudah tidak ada di lokasi setelah salat Asar.

“Saya melihat aksi unjuk rasa mahasiswa berlangsung baik, namun demikian saya tidak menandatangani persetujuan terhadap salah satu isi pernyataan sikap, yakni mendesak pencabutan revisi UU KPK. Menjelang sore, setelah saya melayani wawancara, saya menemui dan pamit kepada Wakil Ketua DPRD DIY, Bapak Huda. Beliau mengizinkan dan  menyampaikan akan menunggu aksi mahasiswa hingga selesai,” jawab Eko melalui pesan daring Whatsapp. 

Menurut Koordinator Umum (Kordum) aksi BEM DIY, Muhamad Asfar Yakib Untung, menjelaskan dia sangat menyesalkan terhadap tindakan yang dilakukan oleh Eko karena memilih untuk menghilang. Anggota DPRD tersebut tidak sesuai kesepakatan ketika menemui Eko beserta dua orang perwakilan dewan lainnya.

“Sangat disayangkan karena itu menjadi salah satu bukti bahwa tidak salah jika kita tidak percaya dengan anggota dewan. Padahal kesepakatan awal adalah mereka duduk bersama di halaman sambil mendengarkan orasi dari para mahasiswa,” tegas Asfar.

Aksi ini menurut Asfar merupakan aksi yang bukan dibuat untuk menandingi aksi Gejayan Memanggil. Tuntutan kedua aksi tersebut menurutnya sama, yaitu menyuarakan suara rakyat. Asfar beranggapan yang membedakan hanya wadahnya, namun substansinya sama. “FBD pun tidak dipayungi oleh BEM SI (red- Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia), karena FBD ini independen,” pungkas Asfar.

Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), juga turut hadir dalam aksi hari itu. Fathul menganggap menyampaikan pendapat sudah dilindungi oleh undang-undang yang berlaku. “Memang kita hidup di negara demokratis. Yang mana ketika ada kekeliruan terhadap sesuatu, itu harus dikritik. Selama tidak anarkistis dan tidak melanggar undang-undang, silakan sampaikan,” ujar Fathul.

Terkait persiapan aksi, Kepala Polres Kota (Kapolresta) Yogyakarta, Kombes Pol Armaini memberikan tanggapan. Armaini menyatakan bahwa aksi ini sudah dipersiapkan jauh hari dan juga sudah berkoordinasi dengan pihak Polresta, jika mahasiswa akan melaksanakan aksi damai.

“Sudah ada koordinasi tiga hari yang lalu, maka dari itu kami sudah membuka gerbang (red- DPRD DIY) karena sudah koordinasi,” jelas Armaini.

Penulis: Ananda Muhamad Ismulia

Reporter: Ika Rahmanita, Ananda Muhamad Ismulia, Alief Faturrcohman

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Menertawakan Tragedi Bersama Joker

Punggung kurusnya membiru akibat dikeroyok para pemuda nakal di kota Gotham. Sebelum mengeroyok, para pemuda itu mengambil dan membawa kabur papan diskon suatu toko yang menyawa jasanya sebagai badut. Dia mengejar papan milik toko. Tidak ada warga yang peduli saat Arthur Fleck meminta tolong. Pada sebuah gang, para pemuda memukulkan papan sampai rusak ke tubuh badut.

Sesampainya di kantor, atasannya meminta Fleck untuk mengganti papan toko yang rusak. “Atau aku potong gajimu.”

Pekerjaan Fleck sebagai badut yang harusnya membuat tertawa orang sering berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya yang tragis. Dia dan ibunya hidup dalam kemiskinan. Setiap hari, ibunya menulis surat kepada Thomas Wayne, mantan bosnya 30 tahun lalu, mencari bantuan. Wayne kini sedang mencalonkan diri sebagai walikota Gotham. Tapi tidak pernah ada jawaban.

Fleck berada dalam pengamatan dinas sosial lantaran penyakit kejiwaan dan sarafnya. Salah satu gejalanya, dia bisa tertawa terbahak-bahak secara tiba-tiba dan dalam waktu yang lama.

Selain menjadi badut, Fleck juga berusaha menjadi komika. Sayangnya gangguan saraf dan selera komedi yang “berbeda” menjadi salah satu halangan.

Tapi dia tetap mencoba membuat orang lain tertawa, setidaknya itu perkataan ibunya yang paling dia yakini. Walaupun sering kali kalah dengan keadaan, dia masih punya orang yang bisa menjadi tempat tumbuhnya rasa semangat seperti ibu, tetangga perempuan serta pembawa acara komedi favoritnya.

Saat itu Gotham dalam masa kekacauan. Para warga protes akan banyaknya sampah, tikus dan para orang kaya yang yang dianggap semena-mena pada masyarakat miskin.

Menonton Joker, seperti menonton Indonesia saat ini, khusunya pada aksi para mahasiswa. Kesamaannya pada reaksi masyarakat yang telah muak dengan para pemimpin (baik pemerintah atau orang berkuasa di luar pemerintah) dan berakhir di jalan.

Ini tentang masyarakat terpinggirkan yang bangkit melawan. Apabila keadilan tidak diberikan (atau sengaja dijauhkan) kepada orang yang membutuhkan, tunggu saja saat keadilan itu diambil secara paksa, damai atau anarkis.

Kemiskinan atau perasaan terpinggirkan bukan saja “salah” si orang yang mengalami. Pemerintah punya andil dalam menentukan sistem dan pelaksanaannya, media punya kuasa untuk menggiring opini, tempat kerja dan lingkungan pertemanan punya pengaruh sebagai dukungan atau bahkan penjerumus dan keluarga sebagai fondasi awal dalam menanam sifat serta perilaku.

Sayangnya, Fleck yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai Joker (pembuat joke), tidak mempunyai itu semua, atau setidaknya malfungsi.

Perkara yang kita anggap kecil, seperti berbohong atau menertawai juga bisa sangat berpengaruh bagi mereka yang merasa berkekurangan atau terpinggirkan.

Menonton Joker layaknya tenggelam dalam pergulatan jiwa Fleck yang asing, sakit, miskin dan ditindas. Bahkan saat logika tidak kita pakai secara penuh, perasaan membenarkan kejahatan Joker bisa sangat mungkin terjadi.

Akting Joaquin Phoenix yang meyakinkan juga poin yang sangat kuat. Tidak heran apabila Todd Phillips ngeyel kalau Joker harus diperankan oleh Poenix. Awalnya Phoenix menolak, sampai Phillips memberikan beberapa penjelasan dan dia setuju. Solidnya cerita, pendalaman karakter serta tensi yang terjaga sangat mungkin membuat Joker menjadi salah satu antihero favorit.

Cerita yang tidak terlalu “tinggi” seperti terbang atau kekuatan super membuat karakter ini sangat relevan dan banyak orang bisa merasakan kesedihannya.

Tidak heran apabila film yang keluar dari pakem komiknya ini mendapat penghargaan Golden Lion, sebagai penghargaan tertinggi ajang Vanice Film Festival 2019. Harusnya film ini juga bisa masuk dalam nominasi Oscar, entah filmnya, entah pemeran utamanya. Tahun 2009 melalui The Dark Knight, si pemain Joker, Heath Ledger juga pernah memenagkan Oscar sebagai pemeran pembantu terbaik. Penghargaan itu menjadikan karakter Joker sebagai satu-satunya karakter dalam superhero yang memenangkan Oscar kategori tersebut.

Menjelang perilisan, ada beberapa hal yang menimpa Joker. Mulai dari surat dari keluarga korban tragedi Aurora sampai pelarangan menggunakan topeng di beberapa bioskop di Amerika.

Sebab musababnya, tragedi Aurora yang merujuk pada penembakan brutal yang terjadi di bioskop daerah Aurora, Colorado, yang menewaskan 12 orang dan 70 orang luka-luka pada 2012. Kejadian tersebut terjadi saat pemutaran film tengah malam The Dark Night Rises. Ada semacam kekhawtiran tragedi itu terulang kembali.

Apapun interprestasi pada karakter Joker, ini bisa jadi salah satu film penting untuk ditonton. Bukan hanya tentang orang jahat dan baik, tapi lebih dalam dari itu. Menyelamatkan jiwa-jiwa tersingkirkan.

Bahtera Negeri Kesatuan Republik Investor

Sebuah bahtera yang bernama NKRI yang bagi sebagian orang dianggap harga mati. Di tingkat paling atas ada segerombolan para elit kekuasaan yang dipimpin oleh kapten yang mengaku sebagai “Satria Piningit”, di era kekuasaannya ia mulai menerapkan sebuah sistem baru yang disebutnya sendiri sebagai “Pembangunan Nilai-Nilai Baru”. Entah apa maksudnya tapi satu hal yang sering didengungkan bahwa kita perlu “nilai-nilai baru” itu dan meninggalkan nilai-nilai lama, kita tinggalkan cara-cara lama. 

Apa yang disebut Si Kapten “Nilai-nilai Baru”, sesungguhnya merupakan kejahilan-kejahilan modern yang dikemas dalam kantong-kantong mayat investasi, dibungkus dengan keelokan narasi-narasi media sebagai sebuah “Orde-yang-Baru”. 

Cara-cara baru yang memberlakukan revolusi ekonomi neoliberal; menancapkan jangkarnya pada karang-karang kesuburan milik rakyat, mencaplok lahan-lahan garapan rakyat, kakus nya mencemari air laut kehidupan rakyat, merubah aturannya demi imunitas kepentingan dan tanpa ampun diterapkan oleh Si Kapten guna mengakhiri reformasi dan redistribusi agraria.

Beberapa waktu belakangan ini, bahtera yang bernama “Negeri Investor” telah menjadi sebuah tempat eksekusi mengerikan terhadap awak-awaknya sendiri. Menjadi kabin-kabin yang menampung darah, membungkam kritik, melarang pendapat, menolak perbedaan, mencederai sistem yang kita sepakati bersama; Demokrasi. 

Sebuah tempat di mana nisan berat penindasan yang telah berlangsung berabad-abad telah remuk dan membolehkan lewatnya arak-arakan manusia-manusia hidup yang baru dan berbeda, terlepas dari arak-arakan pembunuhan yang tiada akhir. 

Sekitar ribuan tentara dan polisi dikerahkan dengan dalih membela dan menegakkan ketertiban umum. Penganiayaan brutal, sistematis, dan membebal oleh kaki-tangan “Si Kapten” yang telah dipersenjatai dan pemilik lahan besar meningkat seiring dengan dan di bawah bayang-bayang kepentingan serta privilese keduanya. 

Para penganiaya ini dengan kejamnya mengusir rakyat dari tempat moyang mereka, samudera, pantai-pantai serta hutan rimba berulang kali menjadi tempat naungan terakhir orang-orang usiran itu. Di sana, di tengah kabut tebal kebakaran hutan-hutan dan lembah-lembah itulah, benih-benih moralitas dan martabat berkecambah.

Di tingkat paling bawah dari bahtera itu bersemayam sebuah semangat untuk segala sesuatu yang orientasinya adalah kebenaran dan keadilan. Di sini, masih ada mereka yang mampu memulihkan utuh-utuh martabat dan harga diri yang memang belum pernah sepenuhnya pupus.

Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang hadir di sini hanya menuntut penghargaan atas hak mereka, bukan cuma sebagai makhluk manusia dan bagian dari umat manusia, tapi juga sebagai rakyat yang ingin terus menjadi pemimpin demokrasi yang berkeadilan dan bermartabat.

Satu mantra pembangkit semangat mereka, yang tertulis dalam kitab alam semesta : 

“Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah? Baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa; Yaa Tuhan kami, keluarkanlah kami dari Negeri ini yang dzalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu” (An-nisaa’ 75).

Mereka bangkit terutama dengan sebuah kekuatan moral yang hanya bisa dilahirkan dan dipupuk semangatnya oleh martabat dan harga diri itu sendiri, meski badan lebam oleh hantaman tongkat-tongkat meliterisme, tubuh menderita lapar, nyawa terusir peluru dari raga dan sengsara-sengsara umum lainnya. 

Tak peduli seberapa besar upaya telah dikerahkan untuk mereduksi permasalahan demokrasi, korupsi, serta pelanggaran HAM menjadi konflik lokal semata, yang solusinya akan ditemukan dalam batasan ketat penerapan undang-undang karet nasional, yang bisa ditarik ulur dan diselaraskan secara hipokrit sebagaimana telah disaksikan sekali lagi (sejak 20 tahun silam reformasi).

Seturut strategi dan taktik kekuasaan ekonomi-politik yang diwakilinya, apa yang sedang dimainkan di setiap tingkat bahtera itu menjangkau melewati tapal batas samudera menuju sanubari sebagian umat manusia yang belum menampik dan takkan pernah menampik impian dan harapan. Menjadi seruan sederhana yang berkumandang dari gubuk demokrasi berkeadilan buat semua penumpang sementara ini (didunia)..

Dari Pulau Rote,

Salam hormatku untuk semua yang menentang kezaliman di bahtera khatulistiwa.

#GejayanMemanggil, Ribuan Mahasiswa Turun ke Jalan

Pukul 09.43, terlihat dua kompi brimob dan aparat kepolisian di jalanan sekitar Universitas Gajah Mada (UGM). Massa aksi belum terlihat melakukan longmarch, jalanan pun masih cukup lengang. Hari itu rencananya akan berlangsung aksi #GejayanMemanggil dari Aliansi Rakyat Bergerak. Aksi ini digadang-gadang akan mengumpulkan ribuan mahasiswa dari seluruh Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia (UII) juga turut hadir menurunkan massa dalam aksi ini.

Sebelum aksi, mahasiswa UII berkumpul di tiga titik kumpul sebelum menuju ke Pascasarjana Hukum UII di Jalan Cik Di Tiro, yaitu Boulevard UII, kantin Fakultas Ekonomi UII, dan kampus Fakultas Hukum UII. 

Pukul 10.29, mahasiswa yang berangkat dari Kampus Terpadu berbondong-bondong menyesaki Jalan Kaliurang menuju Pascasarjana Hukum UII. Warga sekitar mengintip dengan muka berkerut ketika suara raungan sepeda motor dan teriakan menggelegar yang berasal dari arakan mahasiswa.

Seorang laki-laki paruh baya dan mengenakan blangkon khas Jogja terlihat antusias melihat mahasiswa yang akan melakukan aksi. Sambil memegang handycam-nya, ia merekam suasana keramaian tersebut dan berteriak, “Hidup Mahasiswa!”.

Sebelum Zuhur, mahasiswa UII tiba di Pascasarjana Hukum UII. Lokasi tersebut penuh dengan warna biru almamater UII yang mahasiswa kenakan. Tak lama kemudian, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tiba di Jalan Cik Ditiro. Mahasiswa UII pun turut menyambut kedatangan mahasiswa UMY dari pinggir Jalan Cik Ditiro.

Pukul 13.26, massa aksi dari UII mulai menuju lokasi. Di sekitar Jalan Cik Ditiro, setengah bagian jalan ditutup dan dijadikan sebagai tempat parkir mahasiswa. Ratusan mahasiswa memarkirkan motornya di sekitar jalan tersebut.

Ketika salah seorang mahasiswa memarkirkan motornya, Hamis, seorang warga di Gang Puntodewo, membentak mahasiswa yang akan parkir. Ia berteriak lantang, “Mas, pindah! Jangan di sini!”. Akhirnya, mahasiswa tersebut mundur dan memilih tempat parkiran yang lain.

Persoalan parkiran di sepanjang Jalan Cik Ditiro menurut warga tidak ada koordinasi dengan warga setempat, hingga akhirnya menyebabkan warga membentak mahasiswa. Dia bertutur bahwa parkiran yang tidak terkontrol sudah dimulai sejak pukul 11.00.

Di sisi lain, Kokam Pemuda Muhammadiyah membantu mengamankan aset-aset Muhammadiyah. Tofani, salah satu Kokam Muhammadiyah menuturkan bahwa dari Muhammadiyah ikut membantu untuk melancarkan jalannya aksi damai ini. Dia juga mengatakan bahwa Muhammadiyah telah menyiapkan empat ambulans untuk peserta aksi yang membutuhkan. Kokam pun juga membantu mengarahkan parkiran, terutama kepada mahasiswa UMY yang memarkirkan motornya di sekitar Jalan Cik Ditiro.

Sambil menyusuri jalanan menuju titik aksi, terlihat banyak massa aksi yang memadati lokasi aksi. Warna-warni almamater menjadi penanda identitas setiap mahasiswa. Masing-masing membentuk lingkaran dan salah satu orator akan menyerukan aspirasinya terkait tuntutan yang dituangkan dalam aksi. Selain itu, tak luput masyarakat dari berbagai komunitas maupun individu juga turut menyemarakkan aksi tersebut. 

Sepanjang aksi, mahasiswa turut menyanyikan lagu-lagu yang kental akan perjuangan mahasiswa, seperti Darah Juang, Buruh Tani, dan Mars Mahasiswa. Lagu Ibu Pertiwi pun terdengar dinyanyikan dengan lantang oleh mahasiswa. Tak lupa juga teriakan, “Hidup mahasiswa!” kerap terdengar di sepanjang Jalan Colombo. 

Menyusuri Jalan Colombo, terlihat massa aksi yang sangat banyak dan bahkan tidak bisa berjalan ke titik aksi karena padatnya massa. Namun, di tengah hiruk pikuknya mahasiswa menyampaikan orasi, salah seorang siswa berseragam  SMA terlihat berdiri di tengah-tengah massa aksi. 

Dia berdiri sendiri dan mengatakan bahwa kehadirannya dalam aksi itu merupakan inisiatifnya sendiri. Anak SMA berkepala plontos itu mengaku ingin tahu dan ingin mengikuti rangkaian aksi hingga akhir.

Tidak hanya itu, beberapa mahasiswa berlalu lalang di sepanjang lokasi aksi. Mereka berjalan sembari membagikan air minum, kantong sampah, dan mendokumentasikan jalannya aksi. Tak luput juga tim medis yang siap siaga jika ada yang sakit dan sebagainya.

 Di sisi lain, perjalanan menuju simpang tiga Jalan Affandi sesak dipenuhi massa aksi. Bau rokok dan keringat yang pekat di siang hari yang terik bercampur menjadi satu. Massa berdesak-desakan mendengar orator yang sedang menyuarakan aspirasinya  di atas panggung. 

Tidak hanya berorasi, massa aksi pun mengisi panggung orasi dengan teatrikal, nyanyian, dan juga pembacaan puisi. Beberapa mahasiswa pun terlihat naik ke atas baliho iklan untuk melihat jalannya aksi. 

Pukul 14.44, terlihat beberapa orang mengenakan kostum dan berpenampilan menggunakan make up dengan wajah dicat hitam-hitam serta mengenakan caping bersiap untuk melakukan teatrikal. Hingga pukul 16.07  teatrikal masih berlangsung. 

Di sebelah barat titik aksi, pukul 16.05, mahasiswa yang mengenakan almamater biru dari UII mulai beranjak kembali ke Cik Ditiro. Rohidin selaku Wakil Rektor III dan sivitas akademika lain juga turut serta menemani mahasiswa berjalan kembali ke Pascasarjana Hukum UII. Di titik aksi, gerombolan mahasiswa pun membubarkan diri secara bertahap.

Meskipun beberapa mahasiswa telah meninggalkan lokasi, panggung orasi dengan bantuan pencahayaan sinar matahari sore masih dikerumuni massa aksi. Sekitar 20 menit berlalu, massa aksi pun beranjak sedikit demi sedikit meninggalkan titik aksi. 

Aksi damai pun berjalan dengan damai. Sekitar pukul 16.40, jalan yang tadinya tertutup mulai dibuka kembali. Beberapa mahasiswa yang akan meninggalkan lokasi membawa trash bag besar untuk mengambil sampah-sampah yang masih terlihat di sekitar lokasi aksi. Beberapa orang juga masih terlihat menempelkan poster terkait aksi tuntutan di tembok Pemakaman Bethesda.

Aliansi Rakyat Bergerak dengan aksi #GejayanMemanggil menyuarakan tujuh tuntutan, di antaranya adalah; Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 

Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia; 

Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria; Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Respon UII terhadap aksi #GejayanMemanggil

Beberapa jam sebelum aksi dimulai, berbagai universitas yang ada di Yogyakarta mengeluarkan surat edaran, di antaranya adalah Universitas Sanata Dharma, Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, UGM, dan beberapa universitas lain. 

Isi pernyataannya adalah menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam aksi #GejayanMemanggil dan mengatakan bahwa aksi tersebut tidak jelas tujuannya. 

Berbeda dengan beberapa kampus di atas, UII justru tidak melarang mahasiswa untuk mengikuti aksi tersebut. 

Fathul Wahid selaku Rektor UII mengatakan bahwa mengeluarkan pendapat dalam aksi merupakan suatu hal yang biasa. “Kita masih percaya negara kita demokratis. Ya, jangan dilarang, dong,” ucapnya.

Fathul juga menyampaikan bahwa aksi tersebut merupakan salah satu peluang mahasiswa untuk belajar dan ia menilai aksi ini penting untuk pendewasaan politik mahasiswanya. Ia bersyukur bahwa aksi #GejayanMemanggil berjalan dengan lancar. “Demo baik, asal tidak menghujat,” ucapnya.

Penulis: Hana Maulina Salsabila

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Hempasan-hempasan Adel

0

Adel tiba-tiba mengagetkan suasana diskusi di kelasnya. Dosennya pun tersentak dengan kelakuannya ini, seperti biasa. Suara hempasan meja dan lemparan kursi kosong di samping kanan kirinya mengejutkan semua orang. Di dalam maupun di luar kelas menengok ke arahnya. Mendadak terdiam. Menganga. Jejeran jendela penuh dengan pandangan mata penasaran dari luar, apa yang terjadi?

Lagi-lagi, ia sudah membuat masalah bagi dirinya sendiri. Ia sepenuhnya sadar dengan apa yang dibuatnya. Gelegar suara itu membentuk sebuah pola domino di deretan kursi paling belakang. Kursi-kursi tak berpenghuni itu begitu ringan baginya. Ia duduk di kursi tengah, masih tegak sebagai pemisah. Memutus garis rapi dari kursi yang terjungkal. Satu garis rata ke arah kanan dan satunya lagi ke arah kiri.

Sang dosen turut heran, namun tetap maklum. Pasalnya, hempasan dan kursi yang terjungkal itu sudah sangat biasa bagi dirinya. Kepala separuh plontosnya yang silau, tetap tenang memancarkan sikap skeptis. Tak gentar, beliau berencana melanjutkan aktivitas mengajarnya setelah para mahasiswa kembali tenang.

“Perasaan enggak ada gempa deh barusan,” celetuk salah seorang di dalam ruangan itu.

“Kalaupun gempa, nggak mungkin bisa simetris rapi macam itu,” bantah seorang yang lain lagi dengan kritis.

Mahasiswa terpintar beranjak dari tempat duduknya. Badannya yang tidak pernah bisa tegak lagi itu mencoba mencuri perhatian. Kacamatanya yang memperkuat citranya, mencengkeram kuat mukanya yang selalu serius. Ia mendekati kursi kosong yang tegak itu.

Menyentuhnya, lalu merapikan kursi-kursi yang jatuh kembali dalam posisi semula. Adel tetap memperhatikan pria tanggung itu dari kursinya. Menatap sinis ke arahnya. Anak muda yang sungguh punya inisiatif, katanya. Namun, anggapan itu hanya anggapan kosong.

Paling-paling, si pintar ini cuma memanfaatkan momentum demi mendulang pujian.

***

Setelah semua kursi kembali semula dan si pintar kembali duduk, sang dosen yang terhormat merealisasikan rencananya. Melanjutkan kesempatan waktu bagi kegiatannya di depan kelas yang mempunyai pendingin ruangan ini. Pancar proyektor mengikuti arahan mengganti pemandangan suci yang mendandani papan tulis putih.

Adel tahu, sang dosen melihat ke arahnya saat setelah perbuatannya tadi. Menghujamkan perhatian penuh padanya sampai kelas usai di pertengahan hari. Sepanjang waktu, beliau mencuri-curi pandang dan membuat Adel sedikit merasa gusar. “Kita tidak sedang ujian, Pak!” Bentak Adel. “Biasa saja, cukup kepala botak itu saja yang

bikin silau,” lanjutnya.

Sang dosen diam tak menanggapi, begitu juga mahasiswa-mahasiswa lainnya. Adel tersenyum, memaklumi sikap-sikap yang dirasakannya selayaknya aksi diskriminatif paling

lucu. Adel hanya perlu menelantarkan semua itu ke dalam kepalanya. Termasuk dengan suara-suara rundungan yang sumbang untuk dikunyah telinganya hampir setiap hari.

Menertawai semuanya. Kekacauan demi kekacauan sudah sangat sering diperbuat Adel. Hampir semua orang di kampus itu menganggapnya hal biasa. Hal yang paling lumrah. Memang, kelakuannya ini sempat membuat orang-orang risih ketakutan, terlebih bagi orang-orang baru. Mereka hanya perlu beradaptasi agar terbiasa dengan ulahnya ini.

Tidak hanya di dalam kelas, ia juga bikin ulah di luar kelas. Di semua area kampus tidak lepas dari keanehannya ini. Rambut panjang yang diikat, baju kaos putih dan celana jeans panjang disertai sepatu sneakers putihnya, selalu menjadi setelannya melakukan hal-hal itu.

Hempasan demi hempasan itu adalah hobinya. Pernah beberapa kali, ia menghempaskan buku yang sedang dibaca si pintar. Ia juga sering membanting pintu ruangan untuk mengejutkan seseorang yang memasang tampang sok sibuk. Tampang yang membuatnya kesal setengah hidup. Dosen-dosen hingga rektor sekalipun, tak luput dari gangguannya. Akibatnya, umpatan demi umpatan seringkali mendarat untuknya.

Ia senang membuat orang jadi latah terkaget-kaget. Orang-orang kaget dianggapnya telah kejatuhan martabat. Harga diri yang hilang sesaat sebelum akhirnya kembali lagi dengan pikiran-pikiran kritis, sok ilmiah, sok logis dan sistematis, sampai sok-sokan lainnya. Kejutan membuat semua orang kehilangan sisi objektivitas dalam dirinya sendiri. Tolol! Tolol sekali. Salah satu contoh ketololan yang paling ia senangi adalah ketika ia mengejutkan orang- orang yang sedang berada di toilet. Baginya, orang yang tengah buang hajat merupakan sasaran seru untuknya. Lucu melihat konyolnya orang-orang pintar itu tergesa-gesa keluar dari kamar mandi walaupun mereka belum benar-benar selesai dengan urusannya di tempat favorit para hantu; membangun kandang dan berkoloni.

Ah, hantu? Adel sudah seperti pimpinan kekacauan di sana. Sekadar hantu saja mungkin sudah terbirit-birit ketika melihat mukanya yang manis menyeramkan. Adel pandai memainkan raut agar ia disegani, ditakuti, dan dihindari. Semua itu bukanlah bakat alami, itu semua hanyalah keinginan terkuatnya. Persetan dengan anggapan orang-orang. Ia tidak peduli kalau sampai tidak punya teman satu pun. Satu pun! Toh, sejak awal ia berkegiatan di kampus itu ia seperti anak tiri. Makhluk yang tersingkir. Menjadi alien tersubordinasi yang sangatlah nikmat untuk mencari-cari perhatian. Demi mendapatkan popularitas singkat, selain sensasi, kekacauan adalah cara yang paling pantas.

***

Keluar dari kelas, Adel memilih keluar melalui pintu yang sedikit terbuka. Badan rampingnya masih cukup melewati celah sempit. Tanpa suara ia lenyap dari ruang itu. Beberapa saat sebelum kelas benar-benar dibubarkan oleh sang dosen. Ia masih bisa melihat tampang- tampang beloon orang-orang di dalam sana. Lebih tampak seperti napi ketimbang

akademisi, menurutnya.

Hanya perlu beberapa langkah dari tempat itu, ia sudah bisa melihat papan mungil sebagai penanda sebuah tempat bernama perpustakaan. Ia mendongak mengintip dari celah lubang angin. Karena tidak mendapat penampakan yang pas, ia mengalihkan kepalanya menembus pintu agar lebih leluasa.

Melihat gersangnya buku-buku berdebu, Adel kecewa. Bukan karena sepinya pengunjung.

Kekecewaannya justru lebih berujung pada kondisi yang tidak memungkinkan. Tidak cocok untuk menimbulkan kekacauan. Lagipula, buat apa tukang onar bikin onar di tempat sepi?

Bukannya populer, kalian hanya menimbulkan rasa penasaran berskala massal.

Cukuplah penjaga perpustakaan memasang tampang gobloknya setiap hari. Adel tidak tega menghempaskan buku-buku. Susunan indeks bibliofil sentris di rak-rak di dalam sana. Jaring laba-laba dan serangga-serangga lain juga sudah cocok menyimbolkan sebuah ironi yang paling miris.

Tempat-tempat baik yang sepi sudah cukup memuaskannya. Seperti perpustakaan dan musala kampus adalah tempat-tempat yang jarang didatanginya. Untuk apa juga mendatangi tempat kosong. Tempat yang hampir pasti menjadi artefak simbolis macam itu?

Adel hanya masih iri dengan orang-orang yang mampu menelurkan kekacauan di luar ranah realitas. Adel khawatir dengan kondisi manusia-manusia hari ini.

***

“Ngapain lagi kamu di sini?” Kata seseorang yang berdiri membelakanginya. “Orang-orang sudah muak, tapi sudah kadung terbiasa dengan ulahmu.”

Adel terkejut dengan sumber suara itu. Ditengoknya orang itu. Ia heran, sudah banyak ia menemukan orang gila berbicara sendiri. Bahkan, menurutnya orang gila sekarang, kebanyakan sudah melepas kebiasaan kolot ini. Bisa dibilang sudah ketinggalan zaman.

Adel memberhentikan layangan langkahnya. Sumber suara adalah seseorang dengan perut dan lengan gendut yang tengah bersandar di tembok penyangga lorong menuju kantin. Ia berpikir untuk mendorong badan gempal itu supaya terguling-guling membilas keringatnya dengan tanah.

“Aku bicara padamu, bodoh!”

“Oh, wow!” Kata Adel. “Kau masih mengenaliku ternyata.”

“Iya, aku cuma rindu berbicara dengan makhluk asing.”

“Setan!” Tapak tangan Adel mengayun ke arah pipi kanan si gendut, namun tak mengenai

apa pun.

“Kau sudah tahu, kau tidak mampu mengenaiku, bukan?”

Muak dengan si gendut, Adel mendekatkan wajahnya. Ia membalas ingatan itu dengan jawaban bahwa dirinya paham akan hal tersebut. Adel hanya sekadar menunjukan ekspresinya ketika merasa dilecehkan. Terlebih si gendut, yang dianggapnya musuh, segumpal hama pengganggu.

“Beristirahatlah, itu saranku.”

“Apa pedulimu? Apa kau sedang bingung merawat perut gendut ini, hah?” Adel berusaha

mempertahankan tabiatnya.

“Kau masih saja lucu, masih seperti tahun keduaku dulu,” tawa lepas si gendut mengguncang-guncang perutnya.

Adel hanya membalasnya dengan senyum sinis. Si gendut tidak melepaskan kata-kata dari mulutnya, melainkan merogoh ponselnya dan menunduk. Leher pendek si gendut lenyap dari pandangan Adel. Tertutup oleh dagu lebar yang meluber. Tampak seperti jenggot tebal.

“Dietlah, bukan begitu cara menjalankan sunah kepercayaanmu.” Ejekannya berhasil mengalihkan perhatian si gendut untuk kembali mengangkat muka dan melepas

sandarannya. “Jenggot terdiri dari bulu-bulu, bukannya lemak berlebihan seperti itu,” lanjutnya.

“Oh, sepertinya kita sudah terlalu banyak bicara membuang-buang waktu, aku sudah bilang, aku hanya sedikit rindu, itu saja.”

“Dasar, sombong!” Adel membuang muka, meniru gestur meludah. Si gendut membuatnya jijik. Bola daging dengan mulut busuk. Ia tidak rela jika orang itu berbakat mengganggunya secara langsung.

“Tenanglah, aku cukup toleran untuk membiarkanmu beribadah,” katanya. “Saling ejek itu biasa, bukan?” Timbul perasaan setuju dengan pernyataan tersebut. Si gendut beranjak pergi menyeberangi lorong menuju seberang. Kemudian pelan-pelan mengikutinya sembari memperhatikan jarak. Ia paham jika aksi menguntitnya ini jelas disadari oleh si hama gendut ini. Si gendut pemalas—mahasiswa tua yang tak pantas tiru—berjalan menyeimbangkan bobot bokongnya sendiri.

“Sialan, kau mau sok alim di depanku, gendut?”

“Kau sendiri yang mengekor, tolol!” Melihat Adel menunjukkan gelagat minggat, si gendut mencegahnya untuk tidak terburu-buru.

“Tidak, terima kasih.” dijawab ketus. “Aku merasa harus mengerjakan tugasku lagi.”

“Sebentar, memangnya kau tidak ingin masuk sekali lagi?”

“Untuk apa?” Masih ketus. “Untuk melakukan hal yang dipastikan sia-sia, begitu

maksudmu?”

“Cobalah, aku jamin tidak akan berpengaruh buruk untuk keutuhanmu.”

Berbalik badan, Adel penasaran. Apakah bakal sakit jika masuk kembali ke tempat itu. Ia tidak akan tahan di dalam sana barang semenit pun! Ia tahu, ia hanya perlu memberanikan diri. Pura-pura berani juga tidak apa-apa, pikirnya.

“Ayolah, coba saja, tempat ini sudah berubah. Jauh dari bayanganmu di masa lalu,” terang si gendut sambil mengusap-usap basah di tubuhnya.

“Maksudmu aku …” belum sempat Adel menyelesaikan kata, si gendut langsung menjelaskan bahwa tempat simbolis ini kini beralih fungsi. Saban malam, bilik mungil ini menjadi tempat favorit; nyaman dan teraman untuk melakukan transaksi asmara. Kadang, transaksinya sudah lebih cerdik. Beberapa di antaranya, bahkan mengatasnamakan Tuhan hanya untuk diperalat sebagai dalih bermaksiat.

Tidak bisa menahan tawa, penjelasan panjang si gendut dianggapnya sebagai bualan kosong yang lumer ke tanah layaknya liur hewan-hewan penjaga. Gendut yang benar-benar pandai membuang waktu menyumpal otaknya dengan sampah.

“Kau hanya takut, gerak-gerikmu terlihat bodoh sekali.”

Adel melangkah pelan-pelan. Mendekatkan jarak ke bibir pintu masuk. Ia perhatikan karpet- karpet dan plakat—simbol ketuhanan dari salah satu kepercayaan—yang menempel di dinding dalam ruang utama. Ia takut, tapi provokasi melayang-layang kuat di kepalanya.

Salah satu tempat yang dibenci Adel. Tempat yang sepi. Areal pojokan kampus yang kian kehilangan minat para mahasiswa. Si gendut masih menunggu dan melanjutkan penjelasan. Adel beranjak masuk. Tidak ada rasa sakit. Si gendut mengulang-ulang gestur jenggot lemaknya.

“Jadi, kapan kau naik tingkat?” Tanya si gendut lagi.

“Aku sedang melakukannya!” Tak lama setelahnya, mimbar kayu terlempar. Jam dinding jatuh. Bercak cakaran di langit-langit. Bohlam pecah. Kaca retak. Jejer-jejer karpet berantakan ke sana-sini. Semua terhempas bersamaan.

Di tengah Adel menghempas-hempaskan, si gendut lenyap menghilang. Pergi meninggalkan dendamnya. Membenci apa yang dibenci Adel.

“Kau berlaku aneh lagi hari ini,” si pintar menepuk pundak si gendut yang sudah menunggangi motornya. Melamun.

“Latihan monolog, seperti yang kukatakan lewat pesan tadi.”

“Ya, aku membacanya, tapi sekarang si plontos itu mencarimu,” Kata si pintar, diikuti gerakan jari meluruskan kacamatanya.

“Pasti urusan klasik itu lagi,” muka masam si gendut memberikan petunjuk gairahnya. “Di mana dia?” lanjutnya.

“Itu, di sana,” si pintar menunjuk ke arah kerumunan dengan raut terkejut.

Pandangan si gendut mengikuti petunjuk. Si plontos sudah ikut masuk dalam baris kerumunan. Barisan yang meratakan derajat dan kuasa. Apa yang terjadi, mereka penasaran. Adel turut berdiri, membaur dengan orang-orang itu.

Si gendut melihatnya berada tepat di belakang punggung kepala silau itu. Si pintar menjauh, mendekati titik. Di tengah orang yang berdesak-berdesakan itu, Adel memutar kepalanya.

Mengangguk melempar senyum aneh.

“Sama-sama,” balas si gendut, puas. Tersenyum di posisi yang sama.

Pada saat yang sama pula, si pintar sampai tak sengaja menabrak Adel, namun tak menghantam apapun selain menabrak punggung orang di depannya. Adel pun lenyap—tak nampak tiba-tiba saat itu. Satu langkah mundur, si pintar meminta maaf kepada empunya punggung.

Kepala plontos justru meresponnya dengan sebuah tanya, “a … apa …” ia tergagap, “tadi ada gempa bumi, ya?” Heran dengan pertanyaan itu, hanya ada kata 'goblok’ sebagai pilihan satu-satunya di dalam kepala pintarnya. “Goblok”, si pintar teriak tanpa suara dan gerak bibir. Menurutnya, pria itu telah mempertaruhkan martabat dan harga dirinya. Batinnya melanjutkan, “Kau itu hanya ketakutan, wahai Pak Tua.” Goblok! Goblok sekali.