Beranda blog Halaman 48

Sivitas Akademika UII Menolak Revisi UU KPK

Himmah Online, Yogyakarta — Pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) terus mendapat sorotan tajam, termasuk dari sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII). UII mengadakan siaran pers terkait pernyataan sikap dan penandatanganan untuk menolak revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pernyataan sikap tersebut berlangsung pada Senin, 9 September 2019 di Fakultas Hukum (FH) UII. Fathul Wahid selaku Rektor UII, bersama Wakil Rektor 3; Rohidin, dan Dekan Fakultas Hukum (FH) UII; Abdul Jamil turut hadir dalam siaran pers hari itu.

Dalam pernyataan sikap tersebut, Fathul menyampaikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkesan sembunyi-sembunyi melakukan langkah-langkah sistematis untuk merevisi UU KPK.

“Padahal UU KPK tidak masuk dalam agenda Prolegnas, hal ini membuat publik terkejut dan bertanya-tanya dengan rencana revisi atas UU KPK karena sejauh ini tidak pernah terpublikasikan,” ujar Fathul.

Dalam kajian yang dibuat oleh Pusat Studi Hukum (PSH) dan Pusat Studi kejahatan Ekonomi (PKH) UII yang termaktub dalam siaran pers, mencatat setidaknya ada enam poin yang dianggap bermasalah.

Salah satu di antaranya tentang KPK yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, diawasi oleh Dewan Pengawas KPK berjumlah lima orang. Hal ini dianggap bermasalah, pembentukan dewan pengawas akan mengganggu independensi KPK. Dengan adanya dewan pengawas ini, juga akan menghambat kerja KPK.

Anang Zubaidi, Kepala PSH UII mengatakan pembentukan Dewan Pengawas KPK ini akan menciptakan “matahari kembar”.

“Nanti pegawai KPK juga akan terpecah, ada yang pro pimpinan dan ada yang pro dewan pengawas,” terang Anang.

Dari pernyataan sikap tersebut, UII menyerukan 4 tuntutan yang nantinya akan dikirimkan kepada Presiden dan DPR beserta dengan kain putih yang sudah ditandatangani sebagai bentuk petisi penolakan terhadap revisi UU KPK.

Dalam tuntutannya, UII mendesak DPR untuk membatalkan revisi UU KPK. UII meminta DPR yang di akhir masa jabatannya ini, untuk fokus menyelesaikan agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang sudah dibuat dan disepakati.

Selain itu, pihak sivitas akademika UII juga meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR, sehingga nantinya proses pembahasan UU KPK tidak dapat dilaksanakan.

Rencana perubahan kedua UU KPK diputuskan DPR dalam rapat paripurna pada Kamis, 5 September 2019 yang lalu.

Dari pantauan lini masa, selain UII, terdapat perguruan tinggi lainnya yang menyatakan sikap untuk menolak revisi UU KPK, di antaranya ada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro.

Penulis: Zikra Wahyudi N.

Reporter: Monica Daffy, Rizqy Rosi M.

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Terapi Beres-beres ala KonMari

Semakin ke sini, pekerjaan semakin beragam dan mungkin aneh bagi beberapa orang. Salah satunya konsultan beres-beres. Iya, pekerjaan itu ada dan nyata. Salah satu orangnya yaitu Marie Kondo.

Setelah sukses dengan bukunya The Life-Changing Magic of Tidying Up, yang telah diterjemahkan dengan belasan bahasa dan terjual di 30 negara, Marie merambah dengan acara reality show. Acara bertajuk Tidying Up with Marie Kondo ini berada dalam naungan Netflix. Ada delapan episode yang akan memperlihatkan cara beres-beres rumah dari yang berantakan sampai nyaman untuk ditinggali. Metode ini juga dikenal dengan KonMari.

Awalnya, Marie akan datang bersama asistennya yang bertugas sebagai penerjemah. Acara mengambil latar tempat di Amerika. Setelah berkenalan dengan pemilik rumah dan berkeliling ke semua ruangan, Marie mengajak seluruh rumah untuk duduk bersimpuh di lantai. Marie akan meletakkan tangannya di lantai sebagai cara untuk “menyapa” rumah. Mereka akan memejamkan mata beberapa detik, seperti meditasi.

Tidak jarang setelah ritual itu, beberapa pemilik rumah merasa nyaman bahkan terharu. Setelah “manyapa” rumah, barulah aksi dimulai. Beres-beres dimulai dari pakaian dan sejenisnya, buku-buku dan sejenisnya, kertas-kertas dan sejenisnya, komono (pernak-pernik di kamar mandi, dapur dan garasi) serta yang terakhir barang-barang sentimental.

Kita ambil contoh pakaian. Awalnya semua baju, apa pun itu, diletakkan dalam satu tempat sesuai pemilik. Banyak yang pakaiannya bertumpuk sangat tinggi. Jangankan penonton, bahkan pemilik pakaian itu sendiri kaget dengan pakaian yang dia miliki saking banyaknya.

Setelah itu pakaian dipilah satu per satu. Bagi pakaian yang menimbulkan kebahagiaan atau istilah Marie dengan sparks joy saat dipegang, maka pakaian itu boleh disimpan. Jika tidak menimbulkan kebahagiaan, maka harus dibuang atau disumbangkan. Setelah itu, bagi pakaian yang tersisa akan disimpan dengan beberapa teknik untuk bisa menghemat tempat, awet dan mudah diambil.

Hal yang mirip dilakukan pada sesi lain seperti buku, kertas, komono dan barang sentimental. Barang sentimental memang sengaja diletakkan pada bagian akhir. Hal ini agar acara beres-beres tidak terganggu. Seringnya pada sesi barang-barang sentimental, banyak barang yang membuat pemilik menangis dan terguncang hatinya. Entah teringat akan masa lalu dan cerita barang atau yang lainnya. Jadi misal sesi ini menjadi yang pertama, pemilik rumah tidak akan bisa bertahan sampai sesi selanjutnya, sedih.

Ternyata beres-beres bukan hanya sekadar beres-beres. Dalam kegiatan ini kita jadi bisa memilih mana yang perlu ada dalam hidup kita ataupun tidak. Kita tidak punya banyak energi untuk semua hal-hal yang tidak perlu dan tidak penting. Hidup ini singkat bukan? Jadi lakukan hal yang memang perlu dan penting saja (tentu akan jadi berbeda penting menurut Anda dan menurut saya).

Dalam acara ini kita juga belajar cara hidup minimalis. Gaya hidup yang mencoba untuk salah satunya mengurangi sampah dan benda tidak berguna yang sangat mungkin merusak lingkungan. Dengan memilih dan memilah barang yang penting dan membahagiakan, kita akan belajar juga untuk hanya membeli barang yang serupa. Kita tahu, sangat tidak enak berada di tengah barang-barang yang tidak berfungsi apalagi tidak menyenangkan.

Pada salah satu episodenya, satu keluarga beres-beres bersama. Hal yang membuat si suami menyadari betapa berat tugas istri dalam mengurus rumah. Hal yang menurut Leila S. Chudori dalam ulasannya di Tempo sebagai membongkar susunan tradisional, bahwa lelaki selalu bekerja dan perempuan di rumah.

Beres-beres juga menjadi semacam terapi untuk menghilangkan stres, setidaknya bagi saya. Saat membersihakan ruangan dan menata barang-barang, saya merasa sedang menata perasaan juga. Berlatih berani memilih yang perlu disimpan dan yang perlu dibuang. Sama dengan kondisi dalam hati dan pikiran. Berlatih perlahan memilah yang perlu disimpan dan dibuang. Semua untuk kebaikan masa lalu, masa kini dan juga tentunya masa depan kita.

Tentu tidak semua setuju dengan teknik atau wacana Marie Kondo. Salah satu yang tidak sepakat sepertinya Akhmad Muawal Hasan dalam tulisannya di Tirto.id. Menariknya, setidaknya untuk saya, ada dua ulasan tentang acara Marie Kondo yang saling berseberangan. Ulasan Akhmad Muawal Hasan sebagai pihak yang tidak sepakat, dan ulasan Leila S. Chudori dari Tempo yang cenderung sepakat.

Sebagai penjelas, tulisan ini adalah bagian yang sepakat. Jadi saya ingin “menjawab” hal-hal yang ada dalam ulasan Tirto.id yang bisa jadi disebabkan kurang detail dalam menonton atau membaca buku Marie Kondo.

Dalam ulasannya, Hasan menuliskan bahwa sepertinya tidak begitu perlu menyewa konsultan untuk bersih-bersih. Cukup dengan memotivasi diri dan meluangkan waktu. Katanya, merapikan isi lemari tidak sebimbang seperti saat pindah agama.

Memang benar, bahwa merapikan isi lemari tidak sepenting urusan agama. Namun akan sangat berbeda beres-beres setelah dan sebelum mengetahui metode Marie. Kita juga tidak bisa menyamakan semua orang dengan budaya di Indonesia, yang (mungkin) terbiasa untuk beres-beres. Banyak latar belakang kita yang berbeda-beda, sehingga beres-beres jadi hal yang asing. Saat ada yang menggunakan jasa Marie, bukankah itu menandakan bahwa memang tidak semua orang tahu betul tentang beres-beres?

Poin selanjutnya mengatakan bahwa Marie merupakan seorang kapitalis Jepang, yang merampok uang para pemalas dari berbagai belahan di dunia, baik dengan menyewa jasa konsultasinya, membeli bukunya, atau sekadar menjadi penggemar di akun Instagram.

Saya rasa ini bagian yang konyol. Setiap profesi tentu butuh apresiasi. Saat Marie sudah meluangkan waktu dan ilmunya untuk membantu seseorang, pantas saja dia dibayar. Membeli buku bentuk kapitalisasi Marie? Ayolah, apa ada buku (dalam hal ini informasi) yang tidak berguna sama sekali. Bahkan informasi sampah pun berguna. Agar kita bisa menghindarinya.

“Mengingat Kondo sedang menjual kegembiraan beres-beres, maka wajar ia selalu tersenyum di depan kamera. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa inti dari KonMari adalah penyortiran yang menghasilkan rasa bahagia setelah semuanya tertata—sebagaimana yang dia ungkapkan dalam buku.”

Semakin ke sini menjadi semakin aneh. Sampai orang senyum di depan kamera menjadi permasalahan. Terlepas senyumnya jujur atau tidak, semua punya hak atas tubuhnya. Asalkan tidak merugikan orang lain, maka wajar-wajar saja.

Dalam poin lain, Hasan juga mempermasalahkan indikator kebahagiaan terhadap barang. Dia mengatakan bahwa banyak orang membeli berdasar fungsi, karena mula-mula orang membeli barang karena fungsinya bukan karena senang atau tidaknya.

Tentu sebagian ungkapan itu benar. Pernyataan itu bisa terjawab dari sistem Marie yang tidak otoriter. Dia tidak menentukan barang yang perlu disimpan dan barang yang perlu dibuang. Marie mempersilakan pemilik untuk menentukan sendiri. Salah satu alasannya, karena kebahagiaan itu subjektif.

Kemudian bagaimana dengan barang yang memiliki fungsi? Kita coba lebih cermat lagi. Misal dalam pakaian. Kita membeli pakaian karena fungsinya sebagai pelindung tubuh adalah satu hal. Membeli pakaian yang berlebih, entah karena diskon, lapar mata, atau bahkan diberi, itu sudah melebihi fungsi pakaian sebagai pelindung tubuh. Sudah berlebihan. Hal itulah yang tersirat dari metode ini.

Apabila ada argumen, bagaimana nanti kalau barang ini diperlukan suatu hari nanti? Hal itu selalu menjadi alasan. Tapi apakah Anda benar-benar menggunakannya lagi?

Hasan juga mencantumkan argumen Conctance Grady yang menulis di kanal Vox bahwa Kondo menjual fantasi atas kontrol penuh atas isi rumah. Menurutnya, “Umumnya orang menegosiasikan ruang dengan barang karena barang yang ada punya hak untuk tinggal. Kondo membaliknya: baranglah yang mesti dinegosiasikan hak tinggalnya,” tulisnya. “Si pemilik rumah dipaksa untuk mengurangi jumlah barang karena pada dasarnya barang yang lebih sedikit itu lebih mudah dikontrol. KonMari menimbulkan ilusi kelegaan sementara karena si penghuni rumah hanya mengurus barang yang memicu kegembiraan saat dipegang.”

“Mengapa sementara? Tentu karena aktivitas harian setelah Kondo merampungkan misinya akan membuat isi rumah berantakan kembali. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah satu kali pengorganisiran yang dipandu Kondo sudah cukup untuk mengubah mental si pemilik rumah agar tidak mengulangi kemalasan yang sama di masa depan?”

Argumen bahwa kita perlu menegosiasikan ruang dengan barang yang kita miliki terlihat sangat bersahabat. Namun bagaimana dalam kondisi barang-barang yang semakin banyak dan tidak terkendali. Apakah ruang masih bisa menoleransi barang itu? Mungkin masih. Tapi percayalah, tinggal di ruang yang rapi dengan sedikit barang lebih nyaman daripada di ruang yang banyak barang.

Apakah efeknya dari acara beres-beres ini hanya sementara? Dalam beres-beres, Marie juga menerangkan landasan tentang metodenya. Maka kemungkinan besar, di waktu-waktu selanjutnya, pemilik rumah akan lebih bisa menatanya sendiri. Apabila kita membaca bukunya, tidak hanya menonton serialnya, itu akan lebih membantu. Dan yang paling konkret, kita perlu mencobanya sendiri.

Kemudian dalam ulasan juga Hasan menyatakan bahwa gaya hidup minimalis lebih mahal. Setahu saya memang minimalis bukan perkara lebih murah saja. Lebih penting dari itu adalah memaksimalkan yang kita miliki, lebih lama pemakaian, dan tentunya usaha merawat lingkungan.

Tidak hanya minimalis, ada juga argumen yang mengungkapkan bahwa dalam beres-beres, Marie ujung-ujungnya menjual barang-barang untuk menyimpan. Keputusan untuk membeli barang atau tidak sepenuhnya dalam genggaman kita. Bahkan dalam bukunya, Marie menuliskan bahwa kita bisa memanfaatkan barang bekas sebagai tempat penyimpanan.

Hasan menutup ulasannya dengan kalimat Alexandra Spring dari Guardian, “Marie Kondo, kamu tahu enggak apa yang bisa benar-benar memicu kegembiraan? Beli lebih sedikit barang-barang tak berguna. Sebab barang-barang tak berguna itu tidak akan musnah begitu saja—ya mengotori daratan, ya jadi polusi di lautan!”

Penutup ulasan ini membuat saya tepuk jidat. Hal yang memperlihatkan bahwa kita perlu lebih cermat dalam menonton film atau membaca buku. Justru metode-motode yang Marie terapkan agar lebih bersahabat dengan alam, salah satunya polusi di lautan.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

ARTJOG 2019: Kesenian Sebagai Ruang Pengetahuan Bersama

Foruk | Kekayaan tradisi menyebabkan masyarakat Indonesia hidup dengan berbagai legenda, mitos, dan cerita rakyat. Bukan semata-mata untuk pengantar tidur, cerita-cerita itu bahkan kerap kali dianggap nyata. Agan Harahap menyusun tafsirnya atas sejumlah legenda, mitos, dan cerita-cerita rakyat lokal ke dalam sebuah fiksi. Legenda, mitos, dan cerita rakyat telah terbukti berperan penting dalam memelihara keseimbangan, keteraturan, serta kelarasan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.

Daun Khatulistiwa (Domus Frosiquilo) | Kegemaran menyelam membawa Teguh Ostenrik untuk menciptakan instalasi dalam air. Ia memulai proyek yang disebutnya ARTificial Reef pada 2013. Daun Khatulistiwa yang tampil dalam pameran ini adalah ARTificial Reef Teguh yang ke-9, rencananya akan diceburkan ke wilayah Pantai Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara, sebagai media untuk koral tumbuh dan tempat tinggal berbagai jenis biota laut lainnya. Serupa kubah, patung ini terbangun atas kerangka besi yang bentuk dasarnya dikembangkan dari anatomi daun jati. Baik terumbu karang maupun daun memberikan peran besar untuk kehidupan di bumi, yaitu sebagai penghasil oksigen yang kita hirup.

19101 (Self-Recovery) | Ide dari judul karya ini didapat dari cara alam ini bisa menyembuhkan diri sendiri. Yusra Martunus seniman dari Padang Panjang, Sumatera Barat, dikenal sebagai anggota kelompok seni Jendela yang banyak berkarya melalui medium instalasi. Karya ini berbicara tentang antroposentrik, bagaimana manusia ini menjadi sosok superior dalam skema alam. Ia mencoba untuk mentafsirkan petatah-petitih Minangkabau yang berbicara tentang bagaimana alam itu menjadi guru untuk kita hidup dan belajar. Karya ini merupakan karya interaktif dan menginginkan pengunjung untuk menyentuh dan berinteraksi dengan permukaan karya.

Domain | Tromarama (Febie Babyrose, Ruddy Hatumena dan Herbert Hans), idenya sendiri berangkat dari pengalaman mereka ketika makan di sebuah restoran di Jakarta Barat yang mempunyai akuarium berisi Penguin Humboldt, di mana ditayangkan sebuah proyeksi dari kondisi kutub utara. Bagaimana tidak, hanya manusia yang sekarang ruang-ruang realitasnya sudah bergeser lewat perangkat teknologi tapi juga dunia binatang. Itu mengapa warna-warna yang ditampilkan di karya mereka hanya warna hijau, ungu, dan biru, karena warna-warna ini adalah warna-warna yang biasa dilihat oleh mata penguin. 

Superiorepeatedly | Pengalaman Agung ‘Agugn’ Prabowo memandang tradisi masyarakat kita (Indonesia) di saat hari-hari besar agama. Bagaimana penjagalan binatang terjadi besar-besaran, sementara keperluan konsumsi tidak terlalu dibutuhkan. Bagaimana kita dapat memandang dominasi manusia yang kuat dalam rantai makanan dan lingkungan sosial yang membahayakan manusia sendiri. Dunia hari ini tidak lagi digerakkan oleh relasi alam dan manusia yang harmonis.

Post-Colonial Aphrodisiac | fotografi dari salah seorang model yang terlibat dalam karya Octora Chan. Idenya sendiri berangkat dari bagaimana berbicara tentang kedaulatan atas tubuh. Dari karya ini ia menunjukkan bagaimana laki-laki yang selama ini selalu dikonstruksi menjadi seorang yang punya tubuh kuat, agresif, dan harus melindungi perempuan. Sebenarnya stereotip-stereotip ini dipertanyakan di dalam karya performance ini. Ia juga curiga bahwa sebenarnya konstruksi ini dibangun dari konstruksi kolonial, bagaimana laki-laki harus memiliki sifat yang khusus dan perempuan harus mempunyai sifat yang khusus juga.

Argo-Meru-Api | Manusia telah menciptakan berbagai jenis teknologi preservasi sebagai tendensi alamiah manusia untuk melawan waktu. Konsep karya ini dibuat oleh Arin Dwihartanto Sunaryo, seniman dari Bandung yang mempunyai gaya abstrak kuat. Material dalam karya ini menggunakan resin dan abu vulkanik Gunung Merapi. Arin mencoba menangkap dan mengawetkan momen peristiwa alam yang tak terhindarkan.

Festival Seni Rupa Kontemporer Internasional Yogyakarta, ARTJOG ke-12 kembali digelar pada 25 Juli hingga 25 Agustus 2019. ARTJOG 2019 konsisten mempertahankan Jogja National Museum (JNM) menjadi lokasi penyelenggaraannya. Mulai 2019 hingga 2021, ARTJOG akan dirangkai dengan sebuah tema besar, Arts in Common. Tema tersebut akan menjadi sub tema kedalam tiga edisi festival setiap tahunnya. Tema yang dibawa pada ARTJOG 2019 adalah Common Spaces. Tema tersebut dihadirkan untuk memaknai ARTJOG 2019 menciptakan kesenian sebagai ruang pengetahuan bersama.

Foto dan narasi : Pradipta K

Reporter : Yustisia Andhini, Pradipta K

Redaktur Foto : M. Billy Hanggara

Editor Naskah : Armarizki Khoirunnisa D.

Menjaga Tradisi Gerebeg Besar

Rebutan. Foto: Pradipta Kurniawan
Bersiap. Foto: Monica Daffy
Barisan Terdepan. Foto: Monica Daffy
Mengabadikan Momen. Foto: Pradipta Kurniawan
Menjaga. Foto: Monica Daffy
Bekel Atmo Kasyanto, 38 tahun (kanan) dan Bekel Yuduanto, 52 tahun (kiri) merupakan Satpam Abdi Dalem. Foto: Pradipta Kurniawan
Rebutan. Foto: M. Billy Hanggara

Pada hari Senin Wage tanggal 12 Agustus 2019, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melaksanakan Gerebeg Besar 1952 J/2019 M untuk memperingati Hari Raya Idul Adha. Terdapat tiga lokasi berbeda dalam pelaksanaan Gerebeg. Yakni Masjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, dan Kompleks Kepatihan. Acara dimulai sejak pukul 7 pagi. Kompleks Keraton bagian depan sudah ramai oleh warga yang akan menyaksikan acara tersebut.

Diawali dengan beberapa prajurit yang datang ke Kompleks Inti Keraton untuk mengambil bendera yang melambangkan tiap-tiap prajurit. Para prajurit kemudian masuk kembali ke Kompleks Inti Keraton didampingi dengan adipati untuk meminta restu kepada Ngarsa Dalem agar acara berlangsung dengan lancar. Selanjutnya gunungan diarak menuju Alun-alun Utara. Terdapat tujuh gunungan yang diperebutkan dalam acara tersebut. Gunungan ini dikawal oleh 10 Kesatuan Prajurit Keraton. Setelah didoakan, gunungan tersebut diperebutkan oleh warga. Mereka berharap akan mendapat keberkahan bila berhasil mendapat ubo rampe.

Area Masjid Gedhe Kauman ramai ketika arak-arakan gunungan sampai pada halaman masjid. Warga sangat antusias dalam memperebutkan isi dari gunungan tersebut. Warga pun berlomba-lomba untuk mendapatkan ubo rampe  terbanyak. Gunungan tersebut ludes dalam waktu kurang dari 15 menit.

Narasi oleh: Monica Daffy

Reporter: Pradipta Kurniawan, Monica Daffy, M. Billy Hanggara

Redaktur Foto: M. Billy Hanggara

Editor Narasi: Armarizki Khoirunnisa D.

Mengais Rezeki Lewat Merah Putih

Alan, 38 tahun, berjualan bendera untuk menghidupi istri dan satu orang anaknya di Jalan Dr. Rajiman Kota Surakarta. Sebelumnya ia berkerja di Biro Pajak di Kota Yogyakarta. Foto: Monica Daffy
Solihin, 42 tahun, merantau ke Klaten hanya untuk berjualan bendera di depan SMK 3 Klaten. Sebelumnya ia berkerja sebagai tukang sol sepatu di Bekasi. Foto: Monica Daffy
Hermawan, 32 tahun, adalah penjual es keliling di Garut. Pada bulan Agustus, ia mencari rezeki dengan berjualan bendera di Jalan Mayor Kusmanto, Klaten, untuk menafkahi keluarga kecilnya. Foto: Monica
Edi, 48 tahun, mulanya berjualan gorden keliling di Surakarta. Pada bulan Agustus, ia berjualan bendera di Jalan Slamet Riyadi, Kartasura, Sukoharjo. Foto: Monica Daffy
Hendra, 39 tahun, adalah penjual jajanan ringan di sekolah-sekolah yang ada di Garut. Pada bulan Agustus, ia berjualan bendera di Jalan Cangkringan, Sleman, untuk menafkahi seorang istri dan dua anaknya. Foto: Monica Daffy
Sudah menjadi agenda rutin bagi Kania Edi, 45 tahun, asal Garut, Jawa Barat berlayar ke Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada bulan Agustus. Tepatnya di Jalan A. Yani, Kania berjualan bendera bersama beberapa rekannya. Demi menambah kebutuhan keluarga, penghasilan menjual bendera dapat lebih besar dari kesehariannya yang bekerja sebagai buruh serabutan. Foto: Ika Rahmanita
Asep, 40 tahun, adalah pedagang sayuran di salah satu pasar tradisional di Garut. Pada bulan Agustus, ia berjualan bendera di Jalan Urip Sumahrjo, Bantul, untuk menafkahi seorang istri dan dua anaknya. Foto: Hilmi Fahrul
Aang Rusmana, 24 tahun, adalah buruh di sebuah pabrik bakso di Bandung. Pada bulan Agustus, ia berjualan bendera di Kota Magelang. Foto: Muhammad Rizqi R. M
Dedy, 36 tahun, adalah petani di Garut. Pada bulan Agustus, ia berjualan bendera di depan Gereja Katolik Keluarga Kudus, Sleman. Foto: Hilmi Fahrul
Sumingan, 63 tahun, di usia senjanya ia berjualan bendera sekaligus tukang sol sepatu di bawah Jembatan Krasak, Tempel, Sleman, untuk menghidupi seorang istri dan empat anaknya. Foto: Billy Hanggara

Kemerdekaan ialah hak segala bangsa. 74 tahun yang lalu Indonesia berjuang mendapatkan haknya untuk merdeka. Semua berkat jasa para pahlawan kemerdekaan yang tak kenal lelah dan patah semangat untuk terus berjuang melalui medan perang maupun meja bundar. Tujuannya tidak lain demi berkibarnya bendera Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh ibu negara dari presiden pertama Republik Indonesia, Fatmawati.

Pada zaman sekarang, menjadi pahlawan tidak harus mengangkat senjata serta bergerilya melawan penjajah. Di zaman yang sudah serba modern ini, terdapat orang-orang yang menjadi pahlawan untuk keluarganya demi kesejahteraan kehidupan istri dan anak-anaknya.

Mendekati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-74 tahun, di beberapa tempat di Indonesia terdapat orang-orang yang memanfaatkan momen ini untuk mencari peruntungan dengan menjual berbagai macam dan bentuk bendera merah putih. Latar belakang mereka beragam juga rela merantau ke daerah lain dan mengganti pekerjaan mereka demi mencoba peruntungan mereka mendapat rezeki yang baik untuk keluarga mereka di rumah. Reporter Himmah Online mengabadikan potret mereka di beberapa wilayah di Indonesia. Para penjual bendera ini merupakan contoh pahlawan yang mencoba untuk mendapatkan kemerdekaan finansial yang mencekik kehidupan mereka di zaman yang modern.

Narasi oleh: M. Rizqy Rosi Mahardika

Reporter: M. Rizqy Rosi Mahardika, Monica Daffy, Hilmi Fahrul, Ika Rahmanita, M. Billy Hanggara

Redaktur foto: M. Billy Hanggara

Editor Narasi: Armarizki Khoirunnisa

Fenomena Fobia Islam di Universitas Islam Indonesia

*Tulisan ini adalah respon dari tulisan sebelumnya yang berjudul Fenomena Fobia Fenisme di Universitas Islam Indonesia yang ditulis oleh Kenny Meigar dan Inda N. Sembiring.

“Mas, bagaimana cara kita sebagai generasi muda muslim Indonesia agar lebih inklusif dan menerima berbagai pemahaman seperti liberalisme dan feminisme?”

Pertanyaan semakna tersebut beberapa kali dilontarkan di dalam forum diskusi informal dan formal kampus. Sontak, beberapa mahasiswa muslim pun kaget dengan menunjukkan ekspresi cengengesan dan sekaligus sebagian mahasiswa-mahasiswi tersebut juga terlihat serius menanggapi untuk meluruskan hal tersebut.

Kejadian menarik lainnya, ketika adanya penyelenggaraan acara talkshow feminisme yang diadakan salah satu komunitas baru yang mengatasnamakan UII, yakni Srikandi UII, [1] [WU2] yang sepertinya bekerjasama dengan pihak luar dalam common-issue berupa feminisme, mengangkat kajian berjudul: Peran Media Online dalam Menjembatani Pertentangan Agama dan Feminisme, di ruang GKU UII. Undangan acara tersebut dipublikasi pada 10 Maret 2019 melalui instagram @srikandiuii, dengan mengundang Drg. Dea Safira dan Lembar Dyahayu, S.H., serta Anggiasari Puji Aryatie yang dikenal sebagai aktivis feminis dan caleg perempuan difabel.

Kabar acara tersebut sempat membuat gempar ketika tiba di grup lembaga dakwah dan organisasi pergerakan ke-Islam-an, dan memancing perhatian mereka untuk menghadiri acara tersebut dalam rangka menginvestigasi materi yang disampaikan. Penulis pribadi pun sengaja menghadiri acara itu, untuk mencatat dan merekam apa-apa saja yang dibicarakan, sebagai dokumentasi bilamana diperlukan untuk pengambilan sikap. Seiring dengan terlaksananya acara tersebut, dilaksanakan juga penyelidikan oleh warga kampus yang lain. Penyelidikan dilakukan mulai dari perizinan acara tersebut, hingga menghadap pihak dari rektorat. Kemudian didapati fakta bahwa pihak dari rektorat merasa kecolongan atas terselenggaranya acara talkshow feminisme tersebut di GKU, baik secara prosedural dalam perizinan maupun dalam pemilihan topik yang diadakan. Sebagai catatan, pihak dari rektorat sebelumnya sudah berkomunikasi dengan pihak dari lembaga kemahasiswaan untuk membatasi topik kajian yang cenderung ‘sensitif’, sehingga hal tersebut menjelaskan mengapa pihak dari rektorat merasa kecolongan.

Di sisi lain, tidaklah ada alasan lain bagi mahasiswa muslim UII dalam menolak talkshow seperti itu, melainkan demi utuhnya agama Islam tanpa dicampuri pemahaman yang dapat merusak kemurnian Islam. Realita mahasiswa muslim di UII, utamanya dari lembaga dakwah, insyaAllah berpendapat sama akan hal itu. Sebab, bidang keagamaan merupakan bidang yang secara intensif dan spesifik dikaji dalam lembaga dakwah, sehingga lebih diketahui mana saja yang sesuai dengan Islam maupun yang bukan. Selama ini juga, berdasarkan pengamatan penulis, para mahasiswa muslim di UII tersebut pun sudah merasa tercukupi dengan adanya Islam, dan tidak mencari-cari jawaban permasalahan di luar Islam seperti liberalisme dan feminisme.

Berdasarkan contoh di atas, penulis lalu bertanya, memangnya ada yang salah ya dengan menolak pemahaman di luar Islam seperti liberalisme dan feminisme?

 

Ketakutan yang Tidak Mendasar

Secara bahasa, Islam berasal dari kata aslama – yuslimu, yang dalam bahasa Arab berarti tunduk dan patuh, berserah diri, menyerahkan, memasrahkan, mengikuti, menunaikan, menyampaikan, masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurnian. Dalam kitab Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, Islam berarti: “self-surrender, submission, and obedience to Allah’s command and surrender, also to accept the satisfaction of His provisions and laws.” Sederhananya, Islam adalah suatu agama, yang sekaligus juga sebagai ideologi yang memberikan jalan secara komprehensif kepada mahluk untuk mengikuti jalan yang lurus menuju ketakwaan kepada Allah, yang ketakwaan ini meliputi seluruh dimensi termasuk politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.

Agama ini (baik yang dinamakan sebagai “Islam” seperti sekarang, atau yang belum dinamakan demikian) muncul di Bumi sejak zaman Nabi Adam. Kemudian berlanjut kepada nabi-nabi yang lainnya, hingga kepada Nabi Muhammad. Melalui kenabian beliau, Islam disempurnakan oleh Allah. Agama Islam tidaklah hanya sekadar mengajarkan tentang akhlak saja, melainkan juga Tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah, menerima rububiyah-Nya, serta mengakui nama dan sifat-Nya. Akan tetapi, begitu banyak orang menentang konsep tersebut, terlebih pada turunan-turunan dari konsep Tauhid itu. Hal ini terjadi pada kaum yang menolak Islam secara terang-terangan, secara munafik, maupun orang jahil yang tidak mengetahui konsekuensi ber-Islam. Atas hal itu, maka diutuslah nabi dan rasul kepada umat, yakni untuk menegakkan Tauhid yang dimaksud itu tadi.

Konsep Tauhid ini disalahpahami oleh sebagian muslim sebagai konsep yang hanya menyangkut keimanan dalam hati saja bahwa Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Akhirat itu ada; serta hanya menegakkan syariat yang sebatas memberi keamanan diri dalam perihal rezeki saja. Padahal, Tauhid juga menuntut muslim untuk menegakkan Islam secara utuh, tidak memilih-milih, tidak mengutamakan pemikiran luar Islam daripada Islam itu sendiri, apalah lagi memilih hukum buatan manusia daripada hukum Allah. Hal ini tercerminkan dengan menegakkan hudud daripada hukum selainnya, memilih pemikiran Islam daripada liberalisme dan feminisme, serta bergaya hidup sebagai muslim daripada mengikuti tren yang adakalanya melanggar syariat.

Terdapat berbagai mitos dan kesalahpahaman lainnya terhadap Islam, seperti: Islam tidak adil kepada perempuan, Islam pasti teroris, Islam melarang perempuan untuk mengurus urusan publik, dan lain sebagainya. Islam seolah dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya bagi peradaban umat manusia.

Anggapan tersebut muncul dikarenakan banyak pihak yang memahami Islam dari stigma yang dicapkan oleh orang-orang yang pemahamannya tidak relevan dengan ajaran Islam. Malah, banyak yang berpikiran bahwa Islam belumlah lengkap dan harus diimprovisasi sesuai zaman, hingga memasukkan liberalisme dan feminisme yang justru mengoyak kehormatan Islam.

Padahal, jika kita telusuri lebih lanjut, liberalisme dan feminisme memiliki “nafas” yang sangat berbeda dengan Islam. Yaitu Islam hendak menegakkan penyerahan manusia menuju ketakwaan kepada Allah semata, sedangkan liberalisme dan feminisme tidaklah demikian, meskipun ada yang dengan teledor mengakuinya sebagai sinonim dari Islam; yang kiranya liberalisme dan feminisme bisa membantu muslim untuk mencapai ketakwaan kepada Allah. Padahal dalam sejarah dan praktiknya kini pengikut liberalisme dan feminisme sangat bertolakkan dari apa yang dikehendaki oleh Allah: misal, tidak menggunakan hijab syar’i, membiarkan ikthilath dan khalwat (campur baur pria dan perempuan), bahkan sebagiannya tidak mempersoalkan hubungan antar lawan jenis tanpa ikatan pernikahan.

Harus dipahami, jika antar pemahaman itu diperbandingkan, lalu ditemukan fakta adanya ajaran yang sama, maka bukan berarti berbagai pemahaman yang diperbandingkan itu otomatis kesemuanya sama. Jika misal, hanya karena di liberalisme ditemukan konsep kebebasan intelektual sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, bukan berarti Islam dan liberalisme itu sama. Karena di sisi yang lain, kebebasan intelektual dalam liberalisme tidak didasarkan sebagai ketakwaan kepada Allah; yang dengannya malah bisa membawa pelakunya menuju kesimpulan yang batil dan bertentangan dengan apa yang Allah tetapkan.

Sedangkan Islam tidak demikian. Islam mengembangkan tradisi keilmuan-intelektualistik atas dasar kepatuhan kepada Allah, agar seorang hamba bisa menjadi hamba yang diridhoi oleh Allah. Apabila kesimpulan pelakunya itu salah, maka dikoreksi sesuai al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafusshalih (orang-orang shalih yang otentik dan tidak menyimpang).

Contoh lainnya, jika di feminisme ditemukan hak perempuan untuk memberikan kontribusi dalam kepentingan publik, maka bukan berarti hal tersebut sama dengan Islam. Islam memang memberi hak bagi perempuan untuk berkontribusi pula, asalkan perempuan tersebut tetap menjaga kehormatan dan sifat malunya dalam koridor syariat.

Kontribusi perempuan dalam publik tidak boleh hanya didasarkan pada nafsu dan akal untuk memenangkan kalangan perempuan saja, melainkan harus pada apa yang dikehendaki oleh Allah. Kontribusi perempuan di publik ini juga tidak boleh sekadar karena gengsi demi memenuhi kuota forum publik agar diisi lebih banyak oleh perempuan saja, melainkan harus pada maslahat yang disesuaikan kepentingan dalam keberlanjutan muslimin untuk melaksanakan Islam.

Seorang sahabat Rasul yang bernama Abu Hurairah dalam riwayatnya menuturkan, salah satu contoh terbaik dalam peranannya sebagai perempuan adalah Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad. Dalam riwayat tersebut, Khadijah dititipkan salam oleh Allah, dan diberitahukan kepadanya tentang sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada juga rasa lelah. Khadijah mendapatkan kesemua itu, tentu atas ke-Maha Pemurah-an Allah, yang telah melihat Khadijah sebagai perempuan bertakwa yang sangat membantu Nabi Muhammad dalam dakwahnya sebagai nabi. Khadijah juga merupakan seorang pebisnis wanita yang kaya raya, yang kekayaannya ia gunakan untuk membantu nabi untuk menjaga kelangsungan dakwah Islam, yang tindakan tersebut ia lakukan karena ketakwaannya kepada Allah, serta patuh dan kecintaan ia kepada Rasul; bukan karena keegoisan dirinya pribadi sebagai perempuan yang ingin independen sendiri.

Khadijah melaksanakan ketakwaannya kepada Allah dan berbakti kepada Rasul bukan ditengarai gengsinya ia sebagai perempuan, lantas menghendaki dirinya dan muslimah se-zamannya supaya juga diturut sertakan dalam forum para sahabat. Khadijah cukup menjadi istri bagi Rasul, berbakti kepadanya dengan sepenuh hati, menemaninya ketika Rasul dilanda malang dan sedih. Khadijah juga melaksanakan amal-amal lainnya sebagai muslimah dalam berkehidupan masyarakat, seperti jujur dan mengikuti syariat dalam berdagang.

Adapun muslimah lainnya yang turut serta dalam urusan muslimin seperti perang dan jihad (yang ‘konon’ hanya dilakukan oleh pria saja), mereka melaksanakan amalan-amalan tersebut pun karena kepatuhannya kepada Allah dan untuk maslahat muslimin. Tidak ada urusan soal membangga-banggakan tentang keperempuanannya.

Maka dari itu, kekhawatiran terhadap Islam dapat diibaratkan seperti sebuah fobia. Dalam pengertiannya, fobia merupakan ketakutan berlebihan terhadap suatu hal yang berasal dari pemikian yang irasional. Dalam konteks ini, pemahaman yang keliru terhadap Islam, menimbulkan miskonsepsi yang menakutkan dan diyakini oleh beberapa kalangan.

Perempuan dalam Pusaran Rahmat-Nya.

Sebagai sebuah institusi pendidikan dari umat yang berusaha patuh kepada Allah dan Rasul, sebagaimana fitrahnya yang mengharuskan untuk demikian. UII sangatlah tentu memperhatikan unsur keagamaan di tiap mahasiswanya, dengan memberikan jalan untuk terbentuknya lembaga dakwah di tiap fakultas dan skala kampus, baik yang dibawahi LEM atau yang dibawahi DPPAI. Seperti lembaga dakwah al-Mustanir dan CENTRIS, yang keduanya memiliki basis ilmu teknik yang adakalanya iklim dakwahnya hampir serupa. Hal ini merupakan bentuk upaya nyata dari sivitas UII atas perjuangan dan jasa para pahlawan yang menginginkan kalimat Allah tersyiarkan di negeri tercinta. Pembentukan tersebut juga diharapkan mampu menjadi jalan dan acuan bagi mahasiswa untuk beribadah kepada Allah semata.

Dari semua lembaga dakwah yang ada di kampus, apakah kalian sadar, ternyata di lembaga-lembaga dakwah tersebut rata-rata sudah memiliki departemen Ke-muslimah-an? Departemen Ke-muslimah-an merupakan jawaban atas rasa haus para perempuan akan eksistensinya, yang dalam Islam memang diberi ruang khusus, baik secara fikih maupun kedudukan sosial. Bahkan dituturkan oleh Rasul-Nya: “dan bersikap lembutlah kepada perempuan.”

Kader lembaga dakwah mengadakan departemen Ke-muslimah-an lebih ditujukan untuk menyediakan layanan khusus kepada para muslimah, dengan sebab para muslimah memiliki beberapa fikih agama yang berbeda dari lelaki (semisal hijab dan haid), dan sepemahaman penulis ialah merupakan tabiat perempuan untuk bergerak-beragama secara kolektif.

Terlebih bagi yang belum menikah, tidak ada jalan bagi mereka selain mengajak sesama muslimahnya, yang biasanya juga setelah menikah pun muslimah tetap lebih nyaman bersama sesama muslimah untuk hal yang serupa. Pengkolektifan gerakan agama ini kemudian disusun dalam satu departemen khusus, yang kemudian difungsikan sebagai institusi pelayanan kepada para muslimah itu.

Berdasarkan pengamatan singkat yang dilakukan penulis, saat ini kampus kita memiliki kondisi dimana peran dan eksistensi perempuan tidak sedemikian dibedakan dari para lelaki. Sebutlah, misal di salah satu lembaga dakwah fakultas, ada ketuanya yang dari kalangan perempuan. Atau sebaliknya, jabatan sekretaris yang umum dinilai sebagai jabatan para perempuan, dipatahkan anggapan tersebut dengan adanya lembaga yang menjadikan lelaki sebagai sekretaris; sebut saja LEM Universitas, yang pada masa penulis ini (2019) sekretarisnya laki-laki, dan wakil sekretaris perempuan.

Sejatinya, persoalan lelaki dan perempuan di organisasi tidak begitu menjadi polemik di kalangan mahasiswa, dan umumnya pun di masyarakat juga tidak dipermasalahkan. Dan selama penulis pengalaman berorganisasi di internal maupun di eksternal, polemik lelaki-perempuan sebagai fungsionaris juga tidak pernah penulis dapati, melainkan hanya pada cuap-cuap tulisan beberapa kader yang sebelumnya mengikuti euforia feminisme saja. 

Secercah Harapan itu Masih Ada

Memang sudah menjadi tempatnya, kampus sebagai ruang untuk mengkaji berbagai fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Peran utama seorang akademisi juga untuk mempelajari berbagai fenomena sosial dari berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini bertujuan agar kita memiliki kebijaksanaan dalam bersikap. Terlebih sebagai seorang terpelajar, kita harus mampu menjelaskan fenomena sosial kepada masyarakat dengan ilmiah.

Secara umum, kampus seharusnya tidak boleh bersikap eksklusif serta menutup diri dengan berbagai perbedaan pemikiran yang ada. Akan tetapi, sebagai kampus yang berlandaskan Islam, sudah sepatutnya bagi UII untuk melestarikan pemikiran yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan apa yang dituturkan dalam sunnah Rasul.Seorang akademisi muslim pun harus berperilaku adil, tidak boleh bersikap seolah kebenaran itu berasal dari akal dan nafsunya saja, hingga menafikkan kebenaran dari apa yang telah digali ulama pada sumber rujukan umat muslim seluruhnya.

Harus kita sadari, bahwa perbedaan merupakan Sunnatullah, yang dengannya muslim harus meluruskan segala pemahaman melenceng dengan kebenaran dari Allah semata. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 19, telah dijelaskan bahwa agama yang diterima oleh Allah hanya Islam semata, termasuk juga jalan hidup dan pemikiran yang mendasari tindak aksiologis darinya. Bisa saja Allah mencabut nikmat dari kita saat kita asyik belajar di kampus dan berdialektika dengan sesama kolega, disebabkan kekufuran terhadap agama yang lurus, naudzubillah. Lalu, kenapa kita sebagai mahluk-Nya malah sering menuntut agama Allah supaya sesuai nafsu dan akal kita, lebih-lebih hanya karena kita tersilaukan oleh pemikiran kufur dari peradaban yang bukan Islam?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab seluruh pihak untuk saling bekerjasama guna menciptakan ruang diskusi dan pembelajaran yang sesuai dengan Islam dalam mengkaji secara ilmiah berbagai fenomena di masyarakat. Peran para pemangku jabatan struktural universitas maupun kelembagaan mahasiswa haruslah menjamin terpeliharanya akidah dan kelurusan syariat dari pengemuka pendapat di kampus.

Penulis yakin, sebenarnya banyak mahasiswa UII yang memiliki potensi terpendam, termasuk dalam kompetensi menjadi orang akademisi yang bertakwa. Diperlukan terciptanya lingkungan kampus yang mampu mendukung para mahasiswa-mahasiswi untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Peran berbagai organisasi, khususnya kelembagaan mahasiswa sangatlah penting. Lembaga mahasiswa diharapkan mampu menginspirasi para mahasiswa-mahasiswi untuk berkontribusi lebih dalam pelestarian pemikiran Islam yang lurus. Jika hal ini terlaksana dengan baik, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita dapat melihat semakin banyak muttaqin (orang bertakwa) yang terlibat dalam lingkungan kampus secara keseluruhan.

Allah berfirman dalam surat an-Nisaa’ ayat 32:

”Dan janganlah engkau iri hati kepada karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Bukan saatnya lagi kita melihat kompetensi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Maka dari itu, sudah saatnya lelaki dan perempuan memiliki peranan yang digariskan oleh Allah dalam berbagai aspek kehidupan. Jika lingkungan kampus cenderung bertakwa, insyaAllah UII akan menjadi kampus yang rahmatan lil ‘aalamin. Wallahu a’lam.

Oleh: Rumi Azhari (mahasiswa Teknik Lingkungan 2016 dan juga sebagai Ketua LDK Al-Fath UII 2018-2019)

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Semarak Pawai Malam Takbiran

Peserta pawai takbir. Foto: Pradipta Kurniawan
Mayoret. Foto: Pradipta Kurniawan
Peserta pawai takbir. Foto: M. Billy Hanggara
Peserta pawai takbir. Foto: M. Billy Hanggara
Berbaris. Foto: Pradipta Kurniawan
Mengarak. Foto: Pradipta Kurniawan
Menyaksikan pawai takbir. Foto: M. Billy Hanggara

Kilauan kembang api meledak memecah langit hitam malam hari. Gema takbir, tahmid, dan tahlil saling bersahut-sahutan. Semua kaum muslimin bersuka ria menyambut malam takbiran, salah satunya dengan cara melakukan pawai takbiran. Banyak orang turun ke jalan untuk ikut meramaikan dengan menjadi peserta pawai atau sekadar menonton ramainya malam takbiran. Tidak heran pawai takbiran ini menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada di Yogyakarta. Salah satu kemacetan terjadi di

Jalan Kaliurang KM 10. Jalan tersebut dipakai sebagai jalur pawai malam takbiran Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, pada hari Sabtu (10/8). Pawai yang diadakan setiap tahun di desa itu bertujuan untuk memperingati Hari Raya Idul Adha 1440 Hijriah.

Pawai tersebut diikuti 11 dusun, yaitu dari dusun Baransari, Ngalangan, Gondangan, Bulusan, dan sebagainya. Pawai dimulai dari Dusun Baransari dan berakhir di Dusun Ngalangan. Peserta pawai takbiran turun ke jalan dengan membawa berbagai bentuk benda untuk arak-arakan, seperti masjid, delman, burung garuda, hingga perahu. Agar menambah semarak pawai takbiran, peserta memakai kostum yang serasi, membawa lampu lampion, obor, sound system dan bahkan ada pula peserta yang menampilkan drum band. Peserta terdiri dari ratusan orang, baik yang tua, muda, dan anak kecil pun tidak mau ketinggalan. Belum lagi melihat antusias warga setempat yang menonton ramainya pawai takbiran dari teras rumah hingga bahu jalan. Demi kelancaran pawai dan kondisi arus lalu lintas, pihak kepolisian menurunkan 50 personil yang dibagi di berbagai wilayah dibantu oleh rekan TNI Komando Rayon Militer (Koramil), Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), Barisan Anshor, dan warga sekitar.

Narasi : Pradipta Kurniawan

Reporter : Pradipta Kurniawan, M. Billy Hanggara

Redaktur Foto: M. Billy Hanggara

Editor Narasi: Armarizki Khoirunnisa D.

The Great Hack, Otak Kemenangan Trump dan Brexit

Judul Film: The Great Hack

Genre: Dokumenter

Sutradara: Karim Amer, Jehane Noujaim

Durasi: 113 Menit

Kita kembali ke masa kampanye Donald Trump pada pemilihan presiden tahun 2016. Ada sebuah ruangan khusus untuk Facebook, Google, beserta media sosial lainnya dalam tim kampanye Trump. Namun bukan mereka tumpuan utama kampanye. Otak dari kampanye adalah Cambridge Analytica, sebuah perusahaan analisis data.

Dalam masa kampanye itu, untuk mengiklankan materi kampanye, tim Trump menghabiskan satu juta dolar Amerika Serikat setiap hari. Bisa jadi itu wajar. Sampai sebuah laporan dari The Guardian dan The Obserser muncul. Dalam laporan kedua media tersebut mengatakan bahwa Cambridge Analytica diduga telah menyedot sekitar 50 juta akun Facebook pemilih Amerika secara ilegal pada 2014.

Pada penelusuran selanjutnya, data-data yang diperoleh dijadikan “senjata” untuk menentukan perilaku pemilih presiden, terutama bagi mereka yang masih berpotensi pindah pilihan (bukan pendukung fanatik atau semacamnya). 

Alurnya, Cambridge Analytica mengambil data secara real time, mulai dari nama, lokasi, jenis kelamin, penulisan komentar dan hal-hal yang “di sukai” pengguna. Setelah data masuk, analisis dilakukan agar bisa mengembalikan konten yang sesuai dengan target individu.

Konten-konten tepat sasaran inilah yang akan mengubah perilaku pengguna sesuai arahan tim kampanye. Bisa jadi saat kita bermain Facebook, kemudian ada saran situs, grup atau lainnya, itu salah satu bagian dari proses kampanye.

Cambridge Analytica mengklain bahwa mereka memiliki lima ribu data dari setiap individu di Amerika. Seperti diwartakan Time, awalnya Cambridge Analytica meminta informasi pengguna Facebook untuk kebutuhan penelitian akademik. Dari data itu, mereka bisa mengeksploitasi “kerentanan mental orang” dengan pesan politik yang ditargetkan.

Sasaran yang sering digunakan dalam mengubah perilaku pengguna lebih kepada kebencian dan ketakutan. Konten-konten untuk kampanye, yang juga tidak jarang palsu, paling banyak menyebar melalui aplikasi percakapan WhatsApp. Sementara kita tahu, WhatsApp juga bagian dari Facebook.

Selain menyeret Cambridge Analytica dalam perkara hukum, Facebook juga tidak luput dari masalah. Bos Facebook, Mark Zuckerberg dipanggil ke kongres Amerika untuk menjelaskan perkara ini. Sayangnya, penjelasannya dalam kongres juga tidak cukup memuaskan. Misal dia tidak tahu saat ditanya “Apakah Facebook terlibat dalam tim kampanye Trump?” Zuckerberg hanya mengatakan bahwa dia bisa memberikan hal yang lebih mendetail setelah dai bertemu dengan timnya.

Gambaran besar dalam film The Great Hack kurang lebih tentang keamanan data kita, khususnya sebagai pengguna media sosial. David Caroll, sebagai orang yang menjadi pengikat cerita film dokumenter ini menggugat Cambridge Analytica. Dia meminta pengembalian data diri yang ada di Cambridge Analytica. Caroll mempertanyakan hal mendasar, “Apa saja data yang diambil? Dari mana data itu didapatkan? Bagaimana data itu diproses? Dan untuk siapa data itu diberikan? Apakah bisa untuk tidak berkontribusi dalam penyerahan data ini?”

Sampai batas waktu yang dilakukan, Cambridge Analytica tidak menanggapi permintaan Caroll. Hal ini berarti Cambridge Analytica mengaku bersalah dan masuk ranah pidana.

Sayangnya, kabar buruk ini belum berhenti. Tidak hanya pada kampanye pemilihan presiden Trump di Amerika, Cambridge Analytica juga diduga punya andil besar di kampanye Brexit, atau keluarnya Inggis dari Uni Eropa. Apakah seudah selesai? Ternyata belum. Mereka diduga menjamah ke kampanye pemimpin banyak negara, di antaranya Malaysia, Ghana, Argentina, India, Kenya dan juga Indonesia.

Pemerintah Indonesia membantah apabila Cambridge Analytica juga berperan di Indonesia. Tapi setidaknya dalam film ini, Indonesia masuk dalam daftar rekam jejak Cambridge Analytica. ()

The Great Hack, film arahan sutradara Jehane Noujaim dan Karim Amer ini perlu kita tonton. Susah untuk bisa menghindari pencurian data macam ini. Setidaknya dengan menonton dan mengetahui polanya, ada semacam pertahanan diri dalam melihat dan menilai sebuah konten yang kita dapatkan.

Apabila kita masih pesimis dengan peran pemerintah Indonesia yang tidak setanggap Amerika atau Inggis, dengan langsung membahasnya dalam tataran legislatif, pertahanan dari diri sendiri menjadi hal paling memungkinkan.

Film naungan studio produksi Netflix ini juga berhasil menampilkan sumber dari kedua belah pihak. Terlepas dari ketidakberhasilan mereka mewawancarai orang penting Cambridge Analytica, proporsi dokumenter ini cukup baik. Beberapa kekurangan dalam informasi juga mereka sebutkan dalam akhir film.

Maksimal dengan Minimal

Pandangan beberapa orang tampak waspada. Mereka menyusuri setiap rak baju dan sepatu di salah satu toko di mal. Tangannya lincah memilih dan memilah. Asal dapat yang sekiranya bagus, mereka langsung mengambil. Prinsipnya ambil sebanyak mungkin mumpung diskon. Dari tatapannya, misal saja menusuk orang lain tidak dipidana, antar pembeli bisa saling tusuk untuk berebut barang.

Memang menegangkan berada di sebuah toko saat diskon. Apalagi di beberapa toko dengan merek terkenal. Jangankan bisa memilih, berjalan pun kadang susah.

Saya belum tahu pasti alasan orang mau membeli banyak barang dengan harga yang tidak jarang mahal. Bahkan beberapa kondisi, tidak semua barang yang kita beli saat diskon, kita butuhkan fungsinya. Tapi yang jelas, dalam kondisi seperti ini, iklan mempunyai peranan penting.

“Apa yang kamu pakai ada cerminan dirimu.” Pernah mendengar pernyataan tersebut? Terdengar menarik memang. Terlebih saat kita memakai barang yang sama dengan idola. Misal Justin Bieber memakai pakaian merek Supreme. Maka saat kita memakai barang yang sama, seakan kita sekelas dengan Bieber dalam hal lingkungan dan ketenaran. Nyatanya? Tidak sama sekali saudaraku.

Sadar atau tidak, itu hanya strategi iklan para produsen pakaian. Mereka mensugestikan bahwa kamu bisa menjadi banyak hal dengan pakaianmu. Padahal kita ya kita, bukan yang kita pakai. Seorang dosen akan tetap menjadi dosen walaupun tidak memakai pakaian yang mencerminkan dosen. Ada hal yang lebih esensial dibanding sebatas pakaian.

Belum lagi model pakaian yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Apa tujuannya? Tentu agar kita selalu membeli dan membeli. Siapa yang paling diuntungkan? Anda tahu lah. Tidak hanya dalam pakaian, hal ini juga bisa terjadi dalam barang lainnya, misal mobil, smartphone dan lainnya.

Akan Tetapi saya bisa memahami. Beberapa sahabat saya, terutama mereka yang sudah bekerja, membeli barang sebagai bentuk apresiasi atas kerja yang dilakukan. Kerja yang membuat stres harus diimbangi dengan apresiasi. Jadi beli barang mahal atau makan mahal sebagai apresiasi kerja keras dan penghilang stres.

Kalau kita analisis, ternyata masih perlu kita pertanyakan lagi prinsip itu. Mari kita buat polanya. Orang bekerja, tenaga dan pikiran terkuras, stres, mendapat uang, membeli barang untuk apresiasi, uang berkurang, kerja lagi, dan stres lagi. Seperti ada lingkaran stres.

Bisa jadi orang membeli barang yang tidak dibutuhkan sebagai cara menghilangkan stres untuk sementara. Apakah kita termasuk di dalamnya? Mari kita lihat sekeliling kita. Apakah banyak barang yang jarang atau bahkan tidak digunakan sama sekali dalam waktu yang lama? Bisa jadi kita berada dalam masalah yang serius. Hanya saja kita belum sadar.

Kekosongan hidup pernah dirasakan oleh Ryan Nicodemus. Dia memiliki hidup dan pekerjaan yang bagus serta barang yang tergolong banyak. Namun dia merasa ada lubang besar kehampaan dalam hidup. Dalam film dokumentar The Minimalist: A Documentary About The Important Things, dia melihat Joshua Fields Millburn, temannya yang terlihat hidup dengan ringan dan bahagia.

Merasa penasaran, dia berbincang 20 menit dengan Joshua. Menit-menit tersebut sangat mengubah hidupnya. Joshua memperkenalkan kepada Ryan tentang minimalisme. Secara umum, minimalisme adalah memiliki dan menggunakan barang yang memang penting dan dibutuhkan.

Sebelumnya, Joshua memiliki ratusan buku, DVD, pakaian dan barang lainnya. Kemudian dia mulai melepaskan barang-barang yang dia miliki. Pertimbangannya, apabila barang tersebut tidak menambah nilai pada hidup, maka barang itu akan keluar dari hidupnya.

Sejak dia hidup hanya dengan barang yang menambah nilai hidupnya, dia semakin merasa bebas dan ringan. Dia juga semakin bahagia. Salah satu sebabnya, dia tidak lagi perlu mengurus banyak barang, dan lebih banyak waktu untuk hal yang dia sukai, entah hobi atau orang yang dia sayangi.

Salah satu contoh minimalis dalam pakaian seperti ini. Misal dalam seminggu kita hanya membutuhkan tujuh kaos. Asumsinya bahwa tujuh kaos tersebut digunakan dan dicuci secara rutin. Sehingga bisa dipakai secara bergantian.

Apabila hanya membutuhkan tujuh kaos, mengapa kita perlu memiliki 20 kaos bahkan lebih? Kita sadari atau tidak, hanya sedikit kaos yang kita pakai. Entah karena favorit atau alasan lain. Misal ada pakaian yang tidak kita pakai selama lebih dari 30 hari, maka pertimbangkan lagi keberadaannya dalam hidup kita.

Bisa jadi analisis ini tidak bisa diterima bagi orang yang menganggap bahwa banyak barang membawa banyak kebahagiaan. Atau semakin kaya semain bahagia. Tentu itu tidak salah, tapi juga tidak selalu tepat dalam beberapa kondisi. Saya ingat salah satu kalimat dari aktor dan komedian, Jim Carrey, “I wish everyone could become rich and famous, so they could realize it’s not the answer.”

Selain bisa mengurangi stres dari banyaknya barang, gaya hidup minimalis juga bisa menghemat pengeluaran kita. Dengan membeli barang yang hanya dibutuhkan, banyak uang yang bisa kita simpan untuk kebutuhan lain. Misalnya meningkatkan pengetahuan dengan kursus atau mengembangkan hobi.

Dalam buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay, salah satu hal penting dari minimalis yaitu menyelamatkan bumi dari kerusakan. Bagaimana caranya? Saat kita mengurangi barang yang kita gunakan atau beli, produsen atau perusahaan juga akan mengurangi produksinya. Saat produsen mengurangi produksinya maka polusi dan sampah yang dihasilkan juga semakin sedikit. Saat polusi dan sampah semakin sedikit, pencemaran terhadap lingkungan juga berkurang. Hal tersebut sedikit banyak membantu menyelamatkan bumi yang hari ini semakin mengenaskan.

Banyak referensi untuk mencoba hidup minimalis, dari film, video, buku serta artikel. Kita bisa mempelajarinya lebih dalam. Minimalis hanya salah satu dari berbagai gaya hidup. Kita patut mencobanya. Ini gratis. Apabila kita tidak cocok dengan gaya hidup ini, kita bisa kembali kapan pun. Tidak semua orang harus jadi minimalis, tapi semua orang perlu tahu tentang minimalis. Terutama analisis tentang konsumerisme.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.