Beranda blog Halaman 49

Menengok Ritual Selasa Wage di Malioboro

Himmah Online, Yogyakarta – Selasa, 23 Juli 2019, bertepatan dengan Selasa Wage, berlangsung kegiatan gotong royong untuk membersihkan Jalan Malioboro. Kegiatan ini sebelumnya merupakan agenda rutin atas kesepakatan yang dilakukan oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Pemerintah Kota Yogyakarta sejak September 2017. Pemerintah Kota Yogyakarta telah membuat program untuk meliburkan para PKL di sepanjang Jalan Malioboro dari kegiatan berjualan.

Mulai bulan Juni tahun ini, suasana Selasa Wage di Malioboro tampak berbeda, ada sebuah ritual baru: Pedestrian Day. Kendaraan bermotor milik pribadi tidak diperbolehkan melewati Jalan Malioboro. Menurut Aziz selaku pihak Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Pedestrian Day sendiri telah dilaksanakan dua kali, pertama pada 18 Juni 2019 dan yang kedua pada 23 Juli 2019. Kendaraan yang boleh melewati Jalan Malioboro hanya becak, delman, bus Trans Jogja, ambulans, kendaraan petugas Pedestrian Day, dan kendaraan VIP seperti mobil kepresidenan.

Keberadaan Pedestrian Day menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, satu di antaranya adalah Andika. Andika mengatakan ia sengaja menikmati Jalan Malioboro yang sedang bebas kendaraan. Andika dapat dengan leluasa bermain sepeda dan berjalan-jalan tanpa adanya kepadatan lalu lintas yang terjadi di hari biasa. “Karena Selasa Wage bisa main sepedaan sepuasnya dan jalan-jalan, karena kan nggak ada kendaraan,” ujar Andika. Selain Andika, tidak sedikit pengunjung yang mengabadikan momen Selasa Wage dengan berfoto di tengah Jalan Malioboro yang sedikit dilalui kendaraan.

Daya tarik lain dari Pedestrian Day adalah terdapat berbagai komunitas kesenian. Mereka memanfaatkan momen ini untuk unjuk gigi dan mempromosikan kegiatan mereka di sepanjang Jalan Malioboro. Seperti penampilan teater musikal oleh KIKH Bridge Project, komunitas seni yang beranggotakan seniman dari lima negara di Asia; Jepang, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan India. “Sengaja Selasa Wage karena ini pas Car Free Day (Pedestrian Day -red). Kita ambil pagi, karena nanti kita masih ada latihan, terus kita pengen lihatin ke publik yang belum biasa nonton pertunjukan,” ujar Rakri, salah satu anggota KIKH Bridge Project. 

Suka cita pada Pedestrian Day tidak hanya dialami oleh para seniman yang dapat dengan leluasa menampilkan pertunjukkan di atas trotoar, namun juga para tukang becak. Salah satu tukang becak yang bernama Parjo mengatakan momen Pedestrian Day membuatnya mendapatkan penghasilan lebih banyak dibandingkan hari biasanya. Hal itu karena tidak adanya kendaraan lain kecuali kendaraan yang diperbolehkan lewat.

Tidak seperti tukang becak dan komunitas seni yang merasakan keuntungan dari Pedestrian Day, para penjaga parkiran Parkir Taman Abu Bakar Ali tidak merasakan perbedaan yang signifikan dari hari biasa. Menurut Wito selaku penjaga parkir, kendaraan yang parkir sama saja dengan hari biasa. Area parkir cenderung lebih ramai hanya saat akhir pekan, “ramainya itu kalau libur, ada banyak pedagang di Malioboro, (pengunjung -red) banyak yang parkir di sini,” jelas Wito. 

Sistem Pedestrian Day yang diberlakukan di Kota Yogyakarta ini merupakan yang pertama di Indonesia. Penggunaan penanggalan Jawa dalam menentukan hari pelaksanaan dan liburnya para PKL menjadi ciri khas yang belum pernah diterapkan di kota lain.(ARK/MP)

Penulis: Muhammad Prasetyo

Reporter: Muhammad Prasetyo, Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Mengurai Benang Kusut di Flowers Day

Himmah Online, Yogyakarta – Flowers Day adalah kegiatan dana usaha (Danus) yang diadakan oleh LEM FK UII pada hari Selasa, 9 Juli 2019 lalu. Kegiatan penjualan bunga ini bertujuan untuk mendapatkan profit bagi LEM FK UII. Flowers Day menjadi kegiatan danus mandiri tanpa meminta modal awal dari DPM FK UII. Namun, setelah acara berakhir, DPM FK UII meminta pembagian profit dari kegiatan tersebut. Pembahasan permasalahan ini secara lanjut dikaji dalam Forum Aspirasi dan Laporan Kinerja (Foraslak) yang diadakan pada Selasa, 16 Juli 2019 di Gedung Fakultas Kedokteran UII.

LEM FK UII telah mengajukan proposal Flowers Day kepada DPM FK UII tanpa meminta modal awal, sehingga tidak ada pembagian sisa hasil usaha untuk kegiatan ini. Namun, setelah Flowers Day selesai dilaksanakan, komisi 2 DPM FK UII menagih sisa hasil usaha dari Flowers Day sebesar 30%. 

Terkait penagihan pembagian sisa hasil profit, mengacu pada TAP SU XII DPM FK UII Pasal 21 ayat 4 yang menyatakan, “Apabila pengeluaran suatu kegiatan lebih kecil daripada dana yang didapat selain dari dana kemahasiswaan, dan dana tersebut merupakan usaha panitia dengan modal wajib dari DPM FK UII, maka uang tersebut wajib dikembalikan 100% modal DPM FK UII, kemudian keuntungan usaha dibagi kepada komisi 2 DPM FK UII sebesar 30% dan lembaga yang mengadakan sebesar 70%.”

Flowers Day sebagai kegiatan danus mandiri yang tidak menggunakan modal dari DPM FK UII tidak dapat dimintai pembagian sisa hasil profit jika mengacu pada TAP SU XII DPM FK UII Pasal 21 ayat 4 tersebut. 

Baca juga: Menengok Dana Abadi dan Aset KM UII

Seno Dwi, sebagai Kepala Departemen Kajian Strategi dan Advokasi LEM FK UII memaparkan bahwa terdapat beberapa kekeliruan pada komisi 2 DPM FK UII. Pertama, pengambilan modal wajib, seharusnya oleh danus proker, bukan danus suatu lembaga. Kedua, setelah LEM FK UII melakukan akad bersama DPM FK UII dan menyetujui bahwa saat akhir kegiatan tidak diadakan pembagian modal.

Pembahasan mengenai permasalahan ini sudah dibahas dan diselesaikan secara internal oleh pihak DPM FK UII dan kemudian diangkat dalam Foraslak. Kesalahan penafsiran aturan tersebut juga telah diklarifikasi dalam forum tersebut.

“Itu memang murni miss dari saya, karena memang saya kurang mengkaji lebih dalam untuk masalah peraturan dari permodalan dana. Setelah saya kaji lebih dalam ternyata memang dia (peraturannya) berfokus pada kepanitiaan,” ungkap Tiar selaku ketua Komisi 2 DPM FK UII.

Fahrizal Mirza, selaku ketua DPM FK UII mengatakan belum ada peraturan terkait pembagian profit untuk danus-an suatu lembaga, “Flowers Day memang belum ada aturan pembagian 30:70 persen, jadi untuk aturan danusan suatu lembaga belum ada aturan yang jelas,” ungkapnya.

“Kesepakatan kita dari DPM, dari saya pribadi meminta bahwa Flowers Day atau danusan dari lembaga sendiri itu tidak diotak-atik oleh DPM,” tambah Fahrizal.

Penjelasan terkait TAP SU XII DPM FK UII Pasal 21 ayat 4 juga ditegaskan kembali dalam Foraslak. Adanya pembagian sisa hasil profit sebesar 30% kepada DPM FK UII, dan 70% kepada lembaga atau kepanitiaan yang bersangkutan, jika kegiatan tersebut menggunakan modal dari DPM FK UII. Pembagian bukan dari keuntungan bersih, namun dari keuntungan bersih yang telah dikurangi biaya operasional kegiatan tersebut. “Bila tidak ada sisa memang tidak ada pembagian sama sekali,” terang Fahrizal.(MP/ZW)

Penulis: Muhammad Prasetyo

Reporter: Hersa Ajeng Priska, Muhammad Prasetyo, Pradipta Kurniawan

Editor: Zikra Wahyudi

Srikandi UII Adakan Workshop Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Himmah Online, Kampus Terpadu – Senin, 15 Juli 2019 komunitas Srikandi Universitas Islam Indonesia (Srikandi UII) bersama dengan Samsara menyelenggarakan diskusi dan workshop dengan mengangkat tema “Mitos dan Fakta Kesehatan Seksual dan Reproduksi.” Kegiatan ini berlangsung di salah satu kedai kopi di jalan Kaliurang, kilometer 9.

Fadillah Adkiras – Ketua Umum Srikandi UII – mengatakan bahwa diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait Sex Education. Menurutnya di Indonesia sangat minim pembahasan terkait hal tersebut.

“Pada dasarnya sih kita ingin memberikan pembelajaran tentang Sex Education kepada teman-teman, karena hal ini masih di anggap tabu oleh orang-orang,” ujar perempuan yang akrap disapa Dila tersebut.

Sejalan dengan pernyataan Dilla, Erni Abdul Haji yang akrab disapa Erni dari Samsara selaku pemateri beranggapan bahwa, pembelajaran tentang pendidikan seksual itu sangatlah penting, sebab mulai banyaknya modus pelecehan seksual hanya dengan pendekatan psikologis. 

Erni menjelaskan, salah satu bentuk pendidikan seksual adalah membantah mitos-mitos seksualitas yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi yang beredar dimasyarakat lalu dipercayai dan dianut oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.

“Pertama kali melakukan hubungan seksual dan tidak keluar darah itu berarti sudah tidak perawan, padahal kan belum tentu seperti itu, itu hanya sebuah Mitos yang masyarakat Indonesia amini saat ini,” jelas perempuan asal Ternate tersebut.

Bahkan menurut Erni pun, keperawanan itu tidak ada. Karena tidak dapat di deteksi seperti apa perawan atau tidak perawan itu. “kalau dalam mitos itu kan untuk yang sudah tidak memiliki selaput dara itu sudah tidak perawan, padahal kan bisa saja kalau dia memang sejak lahir tidak memiliki selaput dara,” jelasnya

Pendidikan Seksual yang Dianggap Tabu.

Selain mitos seksualitas, Erni juga menekan kan tentang pentingnya pendidikan seksual sejak dini. Karena jika anak-anak belum diberikan pemahaman terkait pendidikan seksual, maka mereka akan mencoba untuk mencari tahu bahkan mencoba untuk melakukannya. “Anak-anak sekarang banyak yang sudah hamil diluar nikah karena minimnya pembelajaran tentang Seks Education itu sendiri,” imbuhnya.

Erni menilai, masyarakat kita saat ini beranggapan bahwa ketika anak-anak kita diberikan pemahaman tentang seks, mereka masih belum cukup umur, padahal mereka sudah seharusnya mengetahui bagian mana yang boleh disentuh dan bagian mana yang tidak boleh disentuh.

Itulah mengapa, menurut Erni, pada saat ini banyak anak-anak yang mengalami pelecehan bahkan kekerasan seksual tidak berani mengungkapkan, karena hal tersebut dianggap tabu untuk dibicarakan. “Mereka takut untuk mengungkapkan karena mereka belum mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,” terang Erni.

Selain Erni, pembicara lain dari Samsara; Naris, menyampaikan bahwa dia sangat menyayangkan pada sikap institusi pemberi layanan kesehatan. Menurutnya, ketika seorang perempuan yang berusaha untuk berkonsultasi terkait seksualitas dan reproduksi, malah diberikan pertanyaan yang membuat mental si pasien menjadi tidak baik, seperti “kok umur segini sudah hamil? Atau suaminya kemana?.”

Baca juga: Aksi Diam, Maraknya Pelecehan Seksual Terhadap Anak

Padahal menurut Naris, mereka hanya berusaha untuk melakukan konsultasi terkait terlambatnya datang bulan atau jadwal datang bulan yang berantakan.

“Maka dari itu banyak anak-anak yang enggan untuk mendatangi institusi pemberi layanan kesehatan karna mereka tahu bahwa nantinya hanya memberikan dampak psikologis yang buruk bagi mereka,” tutur perempuan dengan nama asli Woro Narriswari itu.

Setelah sesi diskusi dan workshop selesai, kepada himmahonline.id Dilla mengatakan, bahwa dia berharap para peserta diskusi nantinya dapat lebih menjaga diri mereka dari tindak kekerasan seksual dan juga dengan adanya diskusi ini, mereka bisa lebih membuka wawasan tentang kesehatan reproduksi seksual.

Mengakhir sesi wawancara, Dilla menyampaikan bahwa Srikandi UII merupakan sebuah kelompok yang berfokus pada pemberian pemahaman tentang hak-hak perempuan di lingkungan UII. “Kita mencoba menghadirkan diskusi tentang hak-hak perempuan di kampus,” pungkasnya. (AMS/ZW)

Penulis: Ananda Muhammad Ismulia

Reporter: Ananda Muhammad Ismulia

Editor: Zikra Wahyudi

Fenomena Fobia Feminisme di Universitas Islam Indonesia

“Pak, bagaimana cara kita sebagai generasi muda muslim Indonesia agar bisa terhindar dari pengaruh liberal seperti feminisme?”

Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh salah seorang Mahasiswa UII kepada narasumber pada salah satu acara kuliah umum dalam rangka Milad ke-24 FPSB (Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya). Sontak, sebagian peserta acara yang kaget terlihat cengengesan dan ada juga yang terlihat serius mendengarkan seolah mendukung pertanyaan tersebut.

Kejadian menarik lainnya, ketika adanya pembatalan secara sepihak kajian feminisme yang diadakan oleh WMYK (Women March Yogyakarta) bekerja sama dengan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII yang rencananya akan mengangkat tema isu kekerasan dan pelecehan seksual di kalangan kampus dan masyarakat. Selain itu, juga mendukung pengesahan RUU-PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) sebagai payung hukum bagi korban dan masyarakat dari pelaku tindakan kekerasan seksual. Berdasarkan press release, pihak WMYK mendapatkan kabar jika pihak kampus tidak menyetujui adanya kajian tersebut dan membatalkan secara sepihak satu hari sebelum acara karena tema yang diangkat masih menjadi pro dan kontra di masyarakat

Berdasarkan dua contoh diatas, penulis lalu bertanya, memangnya ada yang salah ya dengan feminisme?

Ketakutan yang tidak mendasar

Secara bahasa, feminisme berasal dari kata femme, yang dalam bahasa Perancis berarti perempuan. Dalam kamus Merriam-Websterfeminism berarti: “the theory of the political, economic, and social equality of the sexes.” Sederhananya, feminisme adalah sebuah teori atau paham yang memperjuangkan kesetaraan dalam dimensi politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Gerakan ini muncul karena dalam sejarah dunia, banyak aspek kehidupan yang selama ini selalu didominasi oleh laki-laki, seperti penulisan teks religius, akses terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dan soal kepemimpinan. Urusan domestik sepenuhnya diserahkan kepada perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki menjadi lebih superior dalam relasinya dengan perempuan sehingga menciptakan lingkungan yang patriarki. Ada glass ceiling atau atap kaca yang menghalangi perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam karirnya, sebuah atap kaca yang dibentuk secara sosial. Feminisme pun muncul guna memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini ditindas.

Terdapat berbagai mitos dan kesalahpahaman terhadap feminisme seperti; feminisme benci laki-laki, feminisme pasti ateis, feminisme melarang perempuan untuk mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya. Feminisme seolah dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya bagi peradaban umat islam. Anggapan ini muncul dikarenakan banyak pihak yang memahami feminisme berasal dari budaya barat yang tidak relevan dengan ajaran Islam. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, Agama Islam memiliki “nafas” yang sama dengan feminisme. Yaitu menciptakan perdamaian dan keadilan setiap insan, baik itu kepada laki-laki maupun perempuan.

Seorang duta besar Uni Emirat Arab untuk Rusia, Omar Saif Ghobash dalam bukunya berjudul “Letters to a Young Muslim” mengatakan bahwa, tidak ada contoh terbaik dalam hal emansipasi perempuan selain sosok Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW. Khadijah juga merupakan seorang pebisnis wanita independen yang kaya raya. Hartanya yang melimpah digunakan untuk membantu proses dakwah Rasulullah.

Maka dari itu, kekhawatiran terhadap feminisme dapat diibaratkan seperti sebuah fobia. Dalam pengertiannya, fobia merupakan ketakutan berlebihan terhadap suatu hal yang berasal dari pemikiran yang irasional. Dalam konteks ini, pemahaman yang keliru terhadap feminisme, menimbukan miskonsepsi yang menakutkan dan diyakini oleh beberapa kalangan.

Perempuan dalam pusaran ketidaksetaraan

Sebagai sebuah institusi pendidikan yang didirikan oleh para tokoh bangsa, UII menamai gedung-gedung yang ada di kampus dengan nama para tokoh nasional. Seperti perpustakaan pusat yang dinamai gedung Moh. Hatta dan gedung auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir. Hal ini merupakan bentuk penghargaan atas perjuangan dan jasa para pahlawan. Penamaan tersebut juga diharapkan mampu menjadi inspirasi dan acuan bagi mahasiswa.

Dari semua gedung yang ada di kampus, apakah kalian sadar, ternyata sama sekali tidak ada nama gedung yang diambil dari nama tokoh perempuan! Apakah memang tidak ada tokoh dari kalangan perempuan yang namanya layak dijadikan nama gedung agar menjadi inspirasi dan acuan bagi mahasiswa?

Berdasarkan pengamatan singkat yang dilakukan penulis, saat ini kampus kita memiliki kondisi dimana dominasi laki-laki sangat mudah ditemui, khususnya dalam aspek kepemimpinan. Jika diperhatikan, dari awal berdiri hingga sekarang, seluruh Rektor UII merupakan laki-laki. Belum ada satupun perempuan yang pernah menjabat. Hal ini tentu berbeda dengan kampus tetangga terdekat kita yaitu UGM, yang pernah memiliki rektor seorang perempuan.

Kondisi yang sama pun terjadi di lembaga mahasiswa, dimana terdapat ketimpangan dalam posisi strategis di suatu organisasi. Pada periode 2018-2019, di tingkat universitas, hanya terdapat 1 orang perempuan dari 12 orang yang menjabat di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U). Di Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM-U), posisi jabatan strategis (ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum serta kepala bidang) mayoritas diisi oleh laki-laki, dimana hanya ada 1 orang perempuan dari 10 orang yang menjabat. Kondisi ini semakin buruk di tingkat fakultas, dimana dari 8 fakultas yang ada, seluruh ketua DPM Fakultas maupun ketua LEM Fakultas adalah laki-laki!

Apakah memang hanya sedikit mahasiswi UII yang memiliki kapabilitas sebagai pemimpin?

Pada kegiatan sehari-hari di kampus misalnya, mungkin kalian pernah mendengar ungkapan seperti; “Ketua organisasi haruslah laki-laki!” atau “Kenapa ngga perempuan aja yang jadi bendaharanya? Kan perempuan lebih teliti!”. Meskipun terkesan sepele, ungkapan tersebut sangatlah diskriminatif karena telah mendiskreditkan peran perempuan.

Penulis yakin bahwa secara struktural di kampus kita memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk menjadi pimpinan instansi maupun ketua organisasi. Namun secara kultural, ada kemungkinan terdapat konstruksi sosial bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin. Sehingga hal ini secara langsung maupun tidak langsung menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin. Belum lagi narasi yang sudah terbangun mapan terkait perjuangan tokoh universitas, hampir semua yang sering kita dengar didominasi oleh tokoh laki-laki.

Secercah harapan itu masih ada

Memang sudah menjadi tempatnya, kampus sebagai ruang untuk mengkaji berbagai fenomena sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Peran utama seorang akademisi juga untuk mempelajari berbagai fenomena sosial dari berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini bertujuan agar kita memiliki kebijaksanaan dalam bersikap. Terlebih sebagai seorang terpelajar, kita harus mampu menjelaskan fenomena sosial kepada masyarakat dengan ilmiah, bukan sekedar berdasarkan prasangka dan emosi belaka.

Kampus seharusnya tidak boleh bersikap eksklusif serta menutup diri dengan berbagai perbedaan pemikiran yang ada. Seorang akademisi juga harus berperilaku adil, tidak boleh bersikap seolah kebenaran itu berasal dari kelompoknya saja. Harus kita sadari, bahwa perbedaan merupakan Sunnatullah. Lagipula, tidak semua hal yang berasal dari luar ajaran islam tidak memiliki nilai kebaikan sama sekali. Dalam Q. S Al-Hujurat ayat 13, telah dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-berbeda, bukan untuk bermusuhan, tapi untuk saling mengenal. Bisa saja Allah menciptakan kita semua sama, namun Allah justru menciptakan kita berbeda-beda, lalu kenapa kita sebagai makhluk-Nya malah sering menuntut untuk sama? 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab seluruh pihak untuk saling bekerjasama guna menciptakan ruang diskusi yang demokratis dalam mengkaji secara ilmiah berbagai fenomena di masyarakat. Peran para pemangku jabatan struktural Universitas maupun kelembagaan mahasiswa haruslah menjamin terpeliharanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat di kampus. 

Penulis yakin, sebenarnya banyak mahasiswi UII yang memiliki potensi terpendam, termasuk dalam kompetensi kepemimpinan. Diperlukan terciptanya lingkungan kampus yang mampu mendukung para mahasiswi untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Peran berbagai organisasi, khususnya kelembagaan mahasiswa sangatlah penting. Lembaga mahasiswa diharapkan mampu menginspirasi para mahasiswi untuk berkontribusi lebih dalam aspek kepemimpinan organisasi. Jika hal ini terlaksana dengan baik, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita dapat melihat semakin banyak perempuan yang terlibat lebih dalam roda organisasi

Hj. Rasuna Said, seorang Ulama perempuan dan Tokoh Nasional pernah berkata: 

“Perempuan haruslah mandiri, bukan hanya pada pendidikan melainkan punya peran besar terhadap apa yang boleh, apa yang tidak boleh untuk negara dan bangsa”

Bukan saatnya lagi kita melihat kompetensi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Maka dari itu, sudah saatnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peranan sentral dalam berbagai aspek kehidupan. Jika lingkungan kampus cenderung bersifat eksklusif, lantas, apakah UII akan tetap menjadi kampus yang rahmatan lil alamin? 

Oleh: Inda N Sembiring dan Kenny Meigar (keduanya merupakan mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia dan juga merupakan akademisi pemerhati isu Hak Asasi Manusia)

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Minggu Tanpa Plastik, Gotong Royong dan Penyuluhan Bahaya Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Himmah Online, Yogyakarta – Proyek Pulau Plastik diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia pada hari Minggu, 14 Juli 2019. Salah satu kegiatannya dilaksanakan di Kota Yogyakarta dalam rangkaian acara Minggu Tanpa Plastik. Bekerja sama dengan Garuk Sampah dan Survive Garage sebagai tuan rumah, kegiatan ini dimulai dengan gotong royong membersihkan kawasan bantaran Kali Code dan berakhir di Alun-alun Utara. Tujuan utama dari kegiatan ini mengajak berbagai komunitas di kota-kota yang mereka kunjungi untuk ikut peduli dan membersihkan sampah plastik.

Bekti Maulana selaku anggota Komunitas Garuk Sampah memaparkan kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 100 orang sukarelawan dari berbagai komunitas dan Mahasiswa Pecinta Alam di Kota Yogyakarta. Kegiatan dimulai pada pukul 07.00, sukarelawan berkumpul di bantaran Kali Code untuk membersihkan sampah plastik. Setelah itu dilanjutkan dengan menyusuri Jalan Malioboro hingga titik 0 KM Yogyakarta dan mengumpulkan sampah tersebut untuk disortir di Alun-alun Utara untuk nantinya dibawa ke Jakarta. Selain itu, di Alun-alun Utara juga diadakan pengujian sampel feses di Yogyakarta untuk melihat kadar mikroplastik dalam feses manusia.

“Sampah hasil kami garuk tadi dari bantaran Kali Code kami pilah, karena kita ingin tau sampah apa aja sih yang paling mendominasi, hasil sampah ini nggak akan kita buang dan kita angkut pakai truk untuk nanti dibawa ke Jakarta,” ucap Bekti.

Robi selaku anggota Proyek Pulau Plastik mengatakan pengiriman sampah ke Jakarta bertujuan mendorong pemerintah untuk menjadikan larangan plastik sekali pakai sebagai regulasi nasional. “Pemerintah harus segera menjadikan sampah plastik sebagai isu prioritas, (dengan alasan -red) bahwa Indonesia menyandang predikat kedua negara di dunia penyumbang plastik ke lautan,” tambah Robi.

Robi menjelaskan sampah yang berada di lautan berasal dari daratan dan sungai merupakan media yang menyalurkannya. Maka dari itu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembersihan Kali Code. Hal serupa juga banyak dilakukan oleh berbagai kelompok yang peduli terhadap lingkungan di tempat-tempat lain seperti yang dilakukan oleh gerakan bersih-bersih sampah di Bali.  

Di akhir rangkaian acara terdapat pengujian sampel feses untuk melihat kadar mikroplastik dalam feses manusia. Berdasarkan penjelasan Andreas selaku peneliti dari Ecological Observation and Wetland Conservation (ECOTON), mikroplastik yang mengendap di tubuh manusia berasal dari berbagai sumber. Mulai dari plastik yang digunakan sebagai wadah makanan atau minuman panas hingga sampah plastik yang termakan oleh ikan di laut. “Botol susu yang dari plastik, tambah susu, tambah air panas, dikocok, dua prinsip pelarutan sudah ada di sana, tanpa sengaja si ibu sudah meracuni anaknya,” jelas Andreas. 

Pihak ECOTON menambahkan jika hasil pengujian dari sampel yang diambil per sepuluh miligram feses manusia di Indonesia rata-rata mengandung 100 mikroplastik, sedangkan penelitian yang dilakukan di Vienna hanya didapatkan sepuluh sampai dua puluh mikroplastik dalam sepuluh gram feses yang diambil sebagai sampel.  

Pada kegiatan Minggu Tanpa Plastik, Robi memaparkan terdapat kekhawatiran besar terhadap kebiasaan penggunaan plastik sekali pakai. Saat ini kebiasaan tersebut telah menjadi bagian dari rantai makanan manusia. Hal tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit di dalam tubuh manusia dan memberi dampak kerusakan besar pada kerusakan alam.

Reporter: Hersa Ajeng Priska, Pradipta Kurniawan, Muhammad Prasetyo

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Di Persimpangan Sebuah Kebun: Kesemena-menaan di Atas Susah Payah

“Bangun! Bangun! Hujan racun!” Teriak si Baco dengan nada yang sangat keras. Teriakannya kali ini bertujuan untuk membangunkan teman-teman serangga yang lain, demi terhindar dari butir-butir air pestisida yang sengaja disemprotkan oleh Pak Tomba.

Pak Tomba adalah salah satu petani jagung di Selatan Surakan, sedangkan Baco adalah tawon yang berhabitat di perkebunan jagung Pak Tomba. Penyemprotan pestisida yang dilakukan Pak Tomba, sangat mengganggu keberadaan serangga yang ada di tanaman jagung, termasuk Baco. 

Hari ini, ternyata Pak Tomba pagi-pagi sekali menyemprotkan pestisida pada tanaman jagungnya. Semua bertujuan agar arus angin tidak mengganggu proses penyemprotannya. Karena jika dilakukan pagi-pagi sekali, kondisi arus angin masih cenderung tenang.

Sementara itu, tak ada cara yang bisa dilakukan Baco dan teman serangga lainnya selain melompat dari tanaman yang satu ke tanaman yang lainnya sembari membangunkan serangga untuk segera menyelamatkan diri. Baco kemudian melihat sebuah pohon yang lumayan besar di pojokan kebun, dengan sigap ia putuskan untuk berlindung di balik pohon besar itu. Baco berhasil kabur bersama Leon, sedangkan serangga yang lain sudah kabur entah ke mana.

Rupanya kali ini tak banyak temannya sesama serangga yang berhasil kabur, banyak di antara mereka sudah terlanjur teracuni pestisida yang disemprotkan Pak Tomba. Mereka mati tak berdaya. Tempat perlindungan Baco dan Leon lumayan tinggi, sehingga membuat mereka dengan mudah melihat bagaimana pembantaian serangga terjadi di kebun tersebut. Baco tidak sanggup untuk melihat bagaimana teman-temannya yang lain meringis kesakitan sebelum mati keracunan.

Baco juga sesekali melihat Pak Tomba tertawa menyaksikan serangga berjatuhan di mana-mana, hal ini memperlihatkan pestisida dan waktu yang dipilihnya berjalan dengan baik. Rupanya melihat gaya Pak Tomba yang sangat bahagia tersebut membuat Tolle selaku tanaman jagung juga ikut kesal. Ternyata pestisida yang disemprotkan Tomba membuat Tolle ikut terkena dampak, ia ikut merasakan pusing karena sebagian batang dan daunnya terkena pestisida.

“Lihat saja, paling besok dia datang lagi membawa seonggok pupuk supaya saya bisa tumbuh subur dan melupakan penderitaan hari ini,” ucap Tolle dengan raut wajah yang tidak bersahabat.

Mendengar apa yang dikatakan Tolle, Baco dengan penuh kesedihan membalas perkataan Tolle, si tanaman jagung. “Kasihan sekali hidupmu, Tolle. Kau membiarkan Tomba dengan mudah mempermainkan tubuhmu. Hari ini dia membuatmu sedih, besok mebuatmu senang, mengambil apa pun yang dia butuhkan darimu. Memberimu obat kuat agar kau bisa bekerja keras untuk menciptakan buah yang besar, namun membuatmu menderita,” sahut Baco.

“Terkadang saya ingin protes, ingin mengamuk, sesekali berpikir tidak ingin menghasilkan buah. Namun hal itu sangat sulit untuk kulakukan, karena jika itu terjadi, maka saya tidak akan bisa hidup dan tumbuh,” jawab Tolle dengan nada protes.

Baco juga antusias, “Ya, saya juga. Saya hanya mengambil bagianku saja dari tubuhmu, menggerogoti kuman-kuman yang menghambatmu tumbuh. Tapi petani-petani itu malah membunuh bangsa kami,” tutupnya.

“Tolong!!! Tolong!!!”

Terdengar terikan meminta pertolongan yang sontak melerai keluh kesah antara Baco dan Tolle. Rupanya teriakan itu milik Maro. Maro ikut terkena tetesan pestisida sehingga membuatnya meringis kesakitan. Tanpa pikir panjang Baco bersama dua temannya menghampiri Maro. 

Mereka memberikan pertolongan pertama dengan cara mengencingi tubuh Maro yang terkena pestisida, hal ini dilakukan dengan tujuan agar pestisida itu hilang dari tubuh Maro, “untung saja tubuhmu yang terkena masih dalam skala sedikit, jadi masih bisa bisa diatasi dengan cara pertolongan pertama,” ucap Baco kepada Maro sembari memperbaiki posisi tidurnya.

Oh iya, perkenalkan, Maro adalah serangga jenis belalang, dia merupakan serangga yang paling nakal di perkebunan jagung ini. Dia lah serangga yang sering jail kepada tanaman jagung, sering mencuri nutrisi tanaman jagung dan bahkan sering bekerja sama dengan petani asing–petani kebun tetangga–untuk meracuni tanaman jagung di kebun ini.

Karena merasa iba dengan kondisi Maro yang sangat rapuh, Tolle sengaja menjatuhkan daun keringnya dan memberikan isyarat bagi Baco dan Leon supaya membaluti tubuh Maro dengan daun tersebut. Tanpa pikir panjang dan dengan bantuan Leon, Baco mengangkat tubuh Maro ke tempat yang rindang dan teduh tepat dibawah batang Tolle, kemudian membungkus Maro dengan daun kering yang tadi agar dia tidak kedinginan sehabis diguyur air kencing. He he he.

“Mengapa kalian masih menolongku, bukankah selama ini saya sudah jahat terhadap kalian?” Tanya Maro dengan raut wajah yang malu-malu kucing.

“Sudah jangan terlalu dipikirkan, bukankah kau melakukan itu hanya dalam posisi terdesak, karena hutan yang selama ini tempat kau mencari nafkah sudah dijajah alias digunduli oleh para petani di daerah ini,” jawab Tolle.

“Iya juga, bukan salah kau juga sepenuhnya, ini cuma karena kondisi dan garis hubungan yang buruk memaksa kita saling menjatuhkan, demi keberlangsungan hidup,” pungkas Baco menanggapi dengan upaya untuk menenangkan Maro agar tidak telalu banyak pikiran.

“Saya juga terkadang heran, sebenarnya mengapa petani-petani itu memperburuk keadaan seperti ini, apakah ada yang memaksanya? Atau memang karna keisengan mereka saja,” ucap Leon yang merupakan jenis tawon yang sama dengan Baco akhirnya ikut berkomentar juga.

Maro kemudian menawarkan solusi dari keresahan teman-temannya. “Itu mungkin bisa kita tanyakan langsung kepada Pak Tomba,” tambah Maro.

“Tapi caranya bagaimana untuk bisa bicara dengan Pak Tomba?” Tanya Baco kebingungan.

“Nah, besok kan Pak Tomba pasti kembali untuk memberi pupuk kepada tanaman jagung. Sebelum menabur pupuk, dia sering saya lihat mencampur-campurkan pupuk yang satu dengan pupuk yang lainnya, mungkin waktu tersebut bisa kita gunakan untuk bertanya-tanya,” jawab Maro. “Tapi kan dia tidak suka dengan keberadaan kami,” Baco kembali mempertanyakan bagaimana cara untuk berinteraksi langsung dengan pak Tomba.

Maro tampak tenang menjawab keresahan itu. “Tenang, saya akrab dengan dengan dia, soalnya saya sering disuruhnya menaburkan penyakit di kebun tetangga. Jadi nanti biar saya saja yang menemuinya, nanti kalian titipkan saja pertanyaan padaku. Tapi tolong awasi saya dari jauh, kali saja pikirannya berubah dan malah balik menyerangku,” jawab Maro dengan sedikit meyakinkan.

“Oke kalau begitu, besok kita semua ketemu di pohon besar dekat rumah kebun milik si petani. Dan kau Tolle, cukup beritahukan kepada teman-temanmu untuk berpura-pura saja tidur nenyak besok pagi, biar kami saja yang bertindak. Tapi sekarang kita harus mengantarkan Maro dulu, pulang ke sarangnya, biar istirahat dulu, mudah-mudahan sudah kembali fit besok,” tutup Baco.

Rupanya sekumpulan serangga yang senasib dan tanaman jagung sudah mulai sepakat untuk melakukan protes terhadap petani. Dengan kondisi yang sama, tertekan, tertindas dan habitat mereka yang terjajah, membuat mereka dengan mudah terorganisasi demi tujuan untuk menyampaikan aspirasi mereka. 

Namun mereka sangat sadar, yang dihadapi adalah sesuatu yang lebih cerdas, lebih kuat, lebih rakus dan lebih-lebih lainnya dari mereka. Jadi untuk langkah pertama hanya mereka-mereka saja yang melakukan pergerakan, dengan maksud menjalankan strategi pendekatan diplomasi terhadap penjajah alias Pak Tomba. Namun, jika langkah ini dirasa tidak berhasil, maka mereka akan menggaet massa yang lebih banyak lagi dengan kondisi yang sama untuk sama-sama berjuang.

***

Keesokan harinya, Leon terlebih dahulu sampai ke tempat yang mereka sepakati kemarin untuk bertemu. Cuaca masih sangat dingin, matahari belum juga menampakkan dirinya di bagian Timur sana. Leon mendengar ada suara yang aneh, seperti suara hembusan angin, tapi kali ini seperti sedikit berbeda bunyinya. Karena merasa curiga ada yang memata-matai pergerakannya, dia akhirnya memilih untuk berkeliling di sekitar pohon besar itu untuk mencari sumber bunyi tersebut. Setelah mengikuti arah bunyi tersebut, akhirnya dia sampai ke sumber bunyi itu, dia melihat ada serangga yang bersembunyi di balik dedaunan pohon besar dan dengan sigap dia sekap dari belakang.

Ha, mau apa kau di sini?” Tanya Leon mengancam.

Eh eh, ini saya, Maro. Sengaja saya tidur disini, biar nanti bisa bangun cepat kalau kalian sudah ribut berkumpul di sini,” jawab Maro dengan kaget.

Oalah saya kira mata-mata Ro, sorry.”

“Baco mana?” tanya Leon.

“Belum datang,” jawab Maro sekenanya.

“Kalau Tomba sudah datang tidak?” tanya Leon lagi.

“Belum juga. Nah itu Baco sudah datang,” jawab Maro sambil menunjuk kehadiran Baco.

Tanpa basa-bassi yang lama, mereka langsung menyusun strategi dan menyarankan pertanyaan kepada Maro. Ternyata Leon sudah membuat kesepakatan lain dengan Ipo, Ipo ini adalah serangga jenis tawon yang memiliki sengatan bisa, mereka sudah bersiap diri sebuah pohon besar tepat disamping kebun Pak Tomba. Mereka sewaktu-sewaktu akan siap menyerang pak Tomba apabila Baco sudah memberikan instruksi. Rupanya Leon menyusun rencana ini sebagai bentuk protes terhadap petani apabila mereka tidak mendapatkan alasan yang jelas dari pak Tomba tentang apa yang dilakukannya kepada teman-temannya. Leon menyusun rencana ini sendiri tanpa memberi tahukan kepada Baco dan Maro, karena menurut Leon satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluh kesah para serangga di perkebunan tersebut hanyalah para petani, dan ‘apabila para petani ini tidak bisa membantu, maka sebaiknya dimusnahkan saja’,” kata Leon menggerutu dalam hati.  

Setelah menunggu lumayan lama akhirnya pak Tomba yang ditunggu-tunggu datang juga. Tidak seperti biasanya, hari ini Pak Tomba datang teralambat, dia membawa sekarung pupuk di atas pundaknya. Maro dengan cepat mengambil posisi tepat di samping tempat Tomba akan mencampur pupuk. Maro sempat kebingungan bagaimana cara untuk memulai percakapan dengan Tomba. Namun dengan pengalaman pencitraan yang baik, dia akhirnya berhasil membuka obrolan, batuk-batuk adalah senjata utamanya.

Ahak ahak ahak …” 

“kau kenapa Ro? Kok batuk-batuk,” akhirnya Pak Tomba bersuara.

“Kurang tau ini, mungkin faktor udara,” sindir Maro.

“Kemarin kau kena juga pestisida itu? Hm, bagaimana lagi ya? Keadaan memaksa begitu,” ucap Pak Tomba sedikit cemas.

Melihat raut muka Pak Tomba yang tiba-tiba berubah seperti sedang bersalah, Maro kemudian menahan niatnya untuk melanjutkan dulu pertanyaanya. Dia lebih memilih untuk mengalah terlebih dahulu sebelum keadaannya jadi kacau. Pak Tomba kemudian hanya diam dan menyibukkan diri mencampur pupuk untuk ditaburi ke tanaman jagung miliknya. 

Di sisi lain, Leon sudah tidak sabar untuk memberikan instruksi kepada Ipo supaya segera menyerang, namun niatnya itu selalu dihalangi oleh Baco.

“Sebenarnya saya sendiri tidak tega dengan apa yang saya lakukan terhadap kebun ini, terutama seluruh daerah sekitar kebun ini, semua hutan sudah digunduli, pohon-pohon ditebang semuannya. Daerah ini yang dulu udaranya sejuk, hutannya yang rimbun, hewan-hewan liar dan serangga seperti kalian bisa hidup tenang dan mendapatkan makanan dengan mudah. Namun semuanya sudah berubah jadi panas, gersang dan semakin hancurlah seperti ini, huft.” tiba-tiba Pak Tomba melanjutkan obrolan.

Mendengar cerita pak Tomba yang seakan-akan sedang curhat tentang permasalahaan petani, akhirnya Maro memutuskan untuk diam saja mendengarkan cerita tersebut. Dan tidak lama kemudian pak Tomba melanjutkan ceritanya.

“Kemarin malam kampung sebebelah kedatangan tamu ular piton, satu ekor kambing milik warga mati ditelan ular itu. Semua itu adalah imbas dari pembukaan lahan pertanian yang melebihi batas ini, Ro. Sebenarnya ya, ular piton itu tidak bisa disalahkan juga, karena tempatnya mencari mangsa sudah jadi kebun semua. Jadi ya mau tidak mau terpaksa harus memangsa ternak milik warga kampung,”lanjut Pak Tomba bercerita.

“Iya kemarin saya dengar cerita itu juga dari teman saya. Tapi sayang ya, ular piton itu mati diamuk warga. Tapi sebenarnya mengapa sih petani pada membuka lahan perkebunan secara besar-besaran?” Maro memancing pertanyaan.

“Saya jelaskan panjang lebar kau juga ga bakalan paham. Tapi begini saja intinya, sebenarnya kalau buat kebutuhan sehari-hari petani di sini itu sudah cukup. Cuma karena banyak juga yang butuh selain petani di sini, jadi kami harus menyiapkan juga buat orang-orang lain yang butuh itu. Istilah gaulnya yang sering diomongin petani di sini itu, untuk kami cukup, lebih malah, tapi untuk orang-orang di kota itu?” Terang Pak Tomba.

“Memangnya di daerah lain tidak ada yang jadi petani juga, mengapa harus daerah ini?” Tanya Maro penasaran.

“Ya ada juga, tapi sekarang petani itu sudah sedikit jumlahnya. Mungkin banyak orang melihat pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang hina, bekerja di bawah terik mata hari yang panas, dan penghasilannya yang sangat sedikit,” jawab Pak Tomba memperlihatkan muka yang sedikit kecewa. “Sudah dulu, kok malah curhat, saya mau menabur pupuk dulu, nanti siang lagi ngobrolnya kalau mau,” tutup pak Tomba sambil bergegas pergi menabur pupuk.

Siyaaaappppp, Komandan!” Teriak Maro bersemangat karena ditawari untuk ngobrol oleh pak Tomba siang nanti.

Setelah Tomba hilang ditelan rimbunnya dedaunan tanaman jagung, Maro juga meninggalkan tempatnya, kemudian menghampiri Baco dan Leon yang sudah menunggu hasil wawancaranya dengan si petani. Tanpa bercerita pun, Baco dan Leon sudah tahu isi percakapan Maro dan Pak Tomba tadi setelah menguping di balik karung pupuk bertuliskan Pupuk Subsidi, Tidak Diperjualbelikan yang baru saja dibeli Pak Tomba pagi ini. 

Tanpa sadar Baco, Tolle, Leon dan Maro secara bersamaan menggerutu dalam hati masing-masing.

Hmmm ternyata di balik penderitaanku, ada juga yang lebih menderita. Dan untuk kau orang-orang yang semena-mena, di balik kesemena-menaanmu, sesungguhnya ada orang-orang yang bersusah payah menderita karena ketamakanmu itu.”

Gakuen Basara: Anime Rasa Debat Pilpres

Judul Anime: Gakuen Basara: Samurai High School

Sutradara: Oohara Minoru

Pengisi Suara: Kazuya Nakai, Soichiro Hoshi, Takehito Koyasu, Tomokazu Seki, Tooru Ookawa, Norio Wakamoto

Produksi: Brain’s Base

Genre: Action, Comedy, School

Musim Tayang: 5 Oktober – 21 Desember 2018

Jumlah Episode: 12 Episode

Durasi: 24 menit/episode

Seri Sengoku Basara sudah cukup familiar bagi sebagian orang. Ada banyak sajian format untuk menyaksikan serial tersebut bergentayangan. Capcom, salah satu game developer terkemuka asal Jepang, mengadaptasi Masamune Date dkk ke dalam sebuah game.

Sebagai sejarah populer dari negeri sakura, Basara sendiri diadopsi dari salah satu periode sejarah perang yang terjadi. Dikenal dengan sebutan zaman Sengoku pada periode sekitar tahun 1493 – 1573, cerita sejarah inipun digarap, tidak hanya game, namun juga serial manga dan anime.

Dan, Gakuen Basara: Samurai High School merupakan salah satu dari rentetan judul anime yang sudah ada. Mulai tayang di penghujung akhir tahun 2018 lalu, otomatis menjadikannya serial terbaru. Seri anime ini sendiri pun tiba dengan sajian yang terbilang jauh lebih sangar segar dari seri-seri terdahulu.

Anime tersebut hadir setelah Studio TMS selesai menayangkan anime Sengoku Basara besutannya pada tahun 2016 lalu. Gakuen Basara sendiri bergerak menjadi sebuah serial spin-off dari Sengoku Basara yang sudah ada.

Sesuai judulnya, kata Gakuen yang berarti sekolah, menempatkan anime ini dalam setting seperti layaknya sekolah modern. Dikemas berbeda dari seri-seri sebelumnya —mengandalkan latar dari masa perang Sengoku Jepang—tapi tetap mempertahankan karakter-karakter yang sudah ada.

Jangan kaget jika kita bakal menyaksikan sosok Masamune Date dan Yukimura Sanada menjadi murid di Sekolah dalam ceritanya. Alur cerita anime 12 episode ini juga disisipi humor yang membuatnya masuk dalam genre komedi. Humor yang sukses mengundang tawa.

Brain’s Base yang mendapat giliran menggarap spin-off ini, bisa dikatakan, sukses ‘menelantarkannya’ sebagai anime alternatif yang pas untuk menemani kita menunggu episode baru dari anime-anime marathon macam One Piece atau Detective Conan misalnya.

Oohara Minoru, selaku sutradara, tampak meleburkan banyak elemen-elemen (termasuk karakter) Sengoku dalam Gakuen Basara. Walaupun tampak jauh berbeda dengan seri pendahulu yang penuh dengan adegan aksi perang overpower, penempatan plot peran setiap karakter Basara disesuaikan dengan apik: sesuai dominasi peran dalam cerita aslinya.

Karakter tersebar menjadi bagian-bagian yang saling mendukung, tanpa harus benar-benar berkhianat pada orisinalitas Sengoku Basara itu sendiri. Masamune Date tetap dibuat bersaing sadis dengan Yukimura Sanada yang sama-sama mengepalai (baca: kepala geng) kegiatan ekstrakurikuler.

Bukan dengan pedang dan tombak, keduanya justru berperang memperebutkan lapangan untuk kepentingan kegiatan ekstrakurikuler olahraga mereka masing-masing. Di awal-awal pertarungan Sanada vs Date berlangsung konyol, sebelum akhirnya fokus cerita mulai berubah ketika gelaran pemilu OSIS di sekolah tersebut mulai.

Sejak awal, Masamune Date adalah tokoh Basara favorit saya. Namun, kali ini saya memuji peran Sasuke Sarutobi yang dikenal sebagai mata-mata di bawah komplotan Yukimura Sanada dan Shingen Takeda (guru olahraga sekolah), kini menjadi semacam informan.

Kecocokan  peran juga ada pada karakter-karakter lain, semisal Oda Nobunaga yang diplot menjadi kepala sekolah, Akechi Mitsuhide menjadi dokter UKS dengan perangai mengerikan seperti biasanya. Beberapa karakter juga mendapat porsinya masing-masing, seperti Motochika Chosokabe, Keiji Maeda, Kojuro Katakura, Kenshin Uesugi sampai Motonari Mouri.

Pemerataan status peran setiap karakternya terbilang cukup memuaskan. Walaupun konyol, tapi masih tetap selaras. Date vs Sanada tetap mewakili rivalitas keduanya di masa lalu. Tampian inilah yang membuat kita yakin bahwa anime ini mencoba menceritakan pergerakan zaman Sengoku ke dalam kemasan yang tidak serius-serius amat.

Konflik utama anime ini ada pada gejolak pemilihan ketua OSIS baru. Hideyoshi Toyotomi yang di dalam Gakuen Basara diplot jadi ketua OSIS non-aktif memunculkan pergolakan politik di sekolah tersebut. Kemunculan rencana gelaran pemilihan Ketua OSIS baru itu sebenarnya muncul berkat gejolak itu juga.

Pemilihan OSIS itu memunculkan dua poros perdebatan politik. Mitsunari Ishida dan Ieyasu Tokugawa yang sama-sama mencalonkan diri, bertarung dalam panggung politik berskala sekolah. Mempertemukan dua poros, pemilihan OSIS menjadi tidak sederhana karena diperkaya dengan intrik politik yang seakan menyindir urusan politik yang skalanya jauh lebih besar.

Anime ini turut menampilkan bagaimana polaritas politik (pemilu) sekolah dan intervensi Oda Nobunaga, sang kepala sekolah. Yukimura Sanada, dan Masamune Date yang muncul sebagai komplotan dominan, mendadak bertransformasi. Bukan sekadar geng ekstrakurikuler, keduanya lebih terasa seperti partai besar yang diperebutkan demi menunjang suara kedua poros politik tadi.

Kerumitan ‘konyol’ itu diperparah lagi dengan komplotan-komplotan lain yang juga terlibat dan dilibatkan. Selain perebutan suara (kampanye), Gakuen Basara juga menampilkan dua perbedaan narasi politik dari kedua calon: Mitsunari dengan loyalitasnya pada ‘ideologi’ Hideyoshi, sementara Tokugawa menawarkan sebuah reformasi tentang ‘persaudaraan’ yang entah seperti apa maksudnya.

Belum lagi, Oda Nobunaga yang terkesan menjadi atau menawarkan diri sebagai poros tengah yang mengandalkan kuasa dominan sebagai pimpinan puncak tertinggi di sekolah Basara.

Gakuen Basara merupakan anime parodi yang bukan sekadar memparodikan Sengoku Basara saja, melainkan juga panggung politik elektoral lewat format kegaduhan yang terjadi sekolah. Unsur-unsur seperti persaingan calon, polaritas dukungan (simpatisan politik), perdebatan politik dan gejolak masa kampanye turut jadi bahan sindiran.

Unsur parodi sejarah besar yang humoris berkolaborasi padu dengan unsur-unsur politis yang kerap terjadi di panggung-panggung politik dunia nyata saat ini, tak terkecuali dengan negara kita tercinta ini.

Anime dengan kualitas visual serta scoring yang biasa ini, masih tetap terasa istimewa karena menghadirkan unsur yang biasanya tersaji dengan alur—layaknya anime Code Geass—yang rumit nan ruwet menjadi kekonyolan yang ramping dan simple.

Gakuen Basara menjadi tontonan yang sekaligus mewakili unsur genre comedy, school, action, dan unsur ‘realitas’ politik ke dalam bentuk suguhan yang utuh untuk disaksikan. Sebuah anime dengan value yang memberikan gambaran tentang bagaimana politik itu sebenarnya layak untuk ditertawai.

Atau mungkin, ini karena: comedy itu sendiri merupakan instrumen dan kekuatan besar yang mampu menyentil urusan-urusan politis sebagaimana sejarahnya yang syarat akan unsur-unsur kritik. Salah satu seni mengkritik dalam balutan candaan yang menggelitik.

Nilai-nilai yang Teruji

Judul Buku : 86

Penulis : Okky Madasari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun : 2017

Tebal : 256 halaman

ISBN : 978-979-22-6769-3

86 merupakan novel yang mengangkat tema besar mengenai budaya korupsi di Indonesia. Pada awalnya, kata “86” sering digunakan polisi untuk menyatakan pekerjaan mereka sudah beres. Namun seiring berjalannya waktu, 86 memiliki arti sendiri di masyarakat luas, yaitu sebuah sandi bagi pihak tertentu dimana seseorang telah menyelesaikan tugasnya dengan uang cuma-cuma, atau kasarannya menyogok.

Diceritakan seorang wanita lugu dari keluarga petani di desa bernama Arimbi yang merantau menjadi juru ketik di Pengadilan Negeri Jakarta. Tak dapat dipungkiri, stigma orang kota dengan banyak uang melekat padanya dan secara tidak langsung mengangkat derajat gadis tersebut. Dari gajinya yang tak seberapa itu, Arimbi bersusah payah untuk menghidupi keluarganya di desa serta kehidupannya sendiri di kota metropolitan.

Pada awal tahun ia bekerja, Arimbi tidak mengerti tentang “dunia kotor” di kantornya. Selama empat tahun, ia hanya datang untuk bekerja lalu pulang tanpa mengurusi hal lain. Kehidupannya hanya berkutat di lingkaran berkas yang harus segera ia ketik, tidak lebih dari itu. Dari juru ketik biasa, Arimbi mulai bertransformasi ketika tawaran-tawaran aneh berdatangan. Sebagai seorang yang polos, tawaran itu langsung ditolak mentah-mentah olehnya, hingga suatu saat Arimbi menyadari bahwa lingkungannya sudah menganggap wajar apa yang ia hinakan itu. Arus dan tekanan ekonomi membawa Arimbi ke jurang 86. Lambat laun, urusan melancarkan sidang dan berkas terkait, pada akhirnya tak luput dari tangannya pula.

Buku ini menyajikan topik yang berat di Indonesia tetapi Okky Madasari mampu membuat segalanya lebih sederhana. Tokoh Arimbi dapat menjadi representasi warga Indonesia pada umumnya, dimana seorang yang polos akan luntur nilai-nilai kehidupannya ketika lingkungan yang baru datang membawa pengaruh lain. Nasihat mengenai karma pun disampaikan dalam novel ini. Sayangnya, karma yang ada, tak urung membuat tokoh Arimbi berhenti melakukan kejahatan.

Karma yang datang di novel ini adalah ditangkapnya serta dijebloskannya Arimbi ke balik jeruji besi. Dari bagian tersebut, Okky Madasari mencoba membuka tabir kehidupan baru yaitu dijalankannya pengedaran narkoba dari dalam sel. Penulis yang seorang wartawan ini pula menceritakan bagaimana barang terlarang itu dapat masuk, diolah, dan dikemas dari balik jeruji. Tokoh Arimbi serta suaminya, Ananta, dijadikan alat selanjutnya untuk mendistribusikan narkoba ke berbagai wilayah nusantara.

Sejak awal mendekam di penjara, Arimbi bertemu Tutik, seorang tahanan senior sekaligus pengedar sabu-sabu. Tutik menawari Arimbi untuk bergabung di bisnis haramnya, spotan Arimbi tak tertarik pekerjaan tersebut namun kembali lagi keadaan memaksa. Ibu Arimbi mengidap penyakit ginjal yang mengharuskan cuci darah seminggu sekali. Arimbi menyadari posisi dirinya tidak memungkinkan untuk menghasilkan uang selagi ia berada di balik jeruji besi, menjadi pengedar narkoba hanyalah opsi yang ia miliki.

Tutik mengajak Arimbi bekerja pada seorang produsen sabu-sabu di dalam penjara bernama Cik Aling. Sipir-sipir penjara dibayar Cik Aling agar segala kebutuhan mengenai ramuan narkoba dapat diselundupkan ke kamarnya lalu diolah dan jual kembali. Urusan mengedarkan narkoba dalam kawasan lembaga pemasyarakatan telah menjadi tanggung jawab Tutik, tersisa dunia luar bagi Arimbi. Arimbi memutar otak menemukan metode tepat membawa barang terlarang itu ke luar lapas. Terbawalah sang suami, Ananta, dalam lingkaran setan ini. Saat Ananta menjenguk Arimbi, tak lagi hanya kerinduan yang dilepas namun narkoba juga dipegangnya sampai ke tangan konsumen Cik Aling. Upah dua ratus ribu Arimbi genggam sesaat Ananta berhasil sekali terbang. Terhitung dalam satu minggu, tiga kali transaksi cukup untuk menutupi biaya pengobatan ibu Arimbi. Ketika ibunya telah sehat, niat berhenti tak terealisasikan karena semua telah menjadi kebiasaan.

Hal yang lumrah terjadi apabila kerinduan melanda seseorang yang terpisah jarak, waktu, serta ruang. Dalam ceritanya, tokoh Arimbi yang lama di balik jeruji serta hanya sesekali dijenguk Ananta, melampiaskan rasa kerinduan dan kenyamanannya bersama Tutik yang notabene seorang wanita pula. Setiap malam, mereka saling memuaskan syahwat ketika penghuni lain telah terlelap dan lampu dimatikan. Waktu tak mungkin abadi, Arimbi mendapat kesempatan terlebih dahulu untuk keluar sel dibanding Tutik. Layaknya pasangan, masalah muncul sebelum mereka diharuskan berpisah. Tutik tak rela ditinggalkan Arimbi seorang diri, Arimbi pun merasa bersalah. Namun dunia luar serta Ananta tak dapat ia hiraukan. Terlalu menyakitkan jika dilepas begitu saja, Arimbi akhirnya tetap menjalin hubungan dengan Tutik menggunakan urusan bisnis Cik Aling sebagai alibi.

Mengangkat isu yang bisa dikatakan menyerempet ke arah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) seperti ini sungguh mencerminkan keberanian yang luar biasa dari penulis. Secara tersirat dan singkat, pesan mengenai bagaimana bisexual menjalani kehidupannya di Indonesia disampaikan Okky Madasari kepada pembaca tanpa menggiring kepada opini tertentu.

86 mengandung konten dewasa, untuk itu novel ini tidak disarankan bagi pembaca di bawah umur. Kasus yang berat pula harus dipahami dengan baik dalam menelaahnya, perlu pemilahan dalam mengambil poin-poin yang disampaikan oleh Okky Madasari. Buku ini juga lebih berat dibanding novelnya Maryam. Dalam Maryam, cerita romansa yang mengharu biru tidak akan disajikan dalam 86. Semua kisah yang ada dituliskan secara tegas dan mengalir cepat.

Secara keseluruhan, buku ini mengajarkan anti penting dari korupsi, komitmen, serta iman. Zaman sekarang, semua orang dapat membuat alasan untuk menyintesis suatu kebenaran. Nilai-nilai yang dikatakan buruk, akan dianggap lumrah saja ketika semua orang menggangpnya biasa, padahal hal yang lumrah belum tentu benar. Keimanan dan komitmen menjadi hal pokok yang tak boleh digoyahkan dalam kasus ini. Mudah memang mencapai suatu hal dengan cara kotor, tetapi cara tersebut tidaklah bermoral. Manusia tidak akan ada bedanya dengan hewan saat tidak memiliki moral dan hanya mengikuti nafsu duniawinya. Tidak ada jalan pintas untuk memperoleh kebahagiaan sejati.

Kecil Berziarah

Potret santri Kiai Imam Zuhdi.
Bersepeda menuju makam Syekh Maulana Baharudin.
Para santri berbaris sebelum masuk makam.
Alas kaki.
Santri Kiai Imam Zuhdi.
Suasana ziarah.
Bangunan makam keramat.
Kiai Imam Zuhdi saat memimpin doa.
Makam Syekh Maulana Baharudin.

“Kring-kring-kring,” bunyi bel sepeda yang dikendarai anak-anak. Mereka memarkirkan sepedanya di halaman Makam Syekh Maulana Baharudin, Desa Setrojenar, Kebumen. Anak-anak tersebut merupakan santri dari Kiai Imam Zuhdi. Kiai Imam merupakan tokoh agama dari Setrojenar yang dikenal aktif melakukan serangkaian pembelaan dan perlawanan non-kekerasan bersama warga Urutsewu.

Terlihat sekitar 40 santri sedang antri untuk masuk ke dalam rumah yang terbuat dari bambu. Di dalamnya terdapat makam Syekh Maulana Baharudin, salah satu tokoh yang melakukan syiar Islam di selatan Pulau Jawa. Satu persatu santri masuk ke dalam makam untuk melakukan kegiatan ziarah.

Kegiatan ziarah ini memang rutin dilakukan oleh Kiai Imam. Tujuannya tak lain adalah untuk memberi contoh teladan yang baik kepada santrinya. Selain itu, Kiai Imam berharap kelak para santrinya dapat meneruskan perjuangan rakyat Urutsewu, khususnya Setrojenar, dalam memperjuangkan hak-hak warga yang tanahnya diklaim oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Hingga saat ini TNI AD masih menggunakan tanah warga sebagai areal ketika latihan.

Foto cerita ini merupakan kolaborasi dengan program “DOCTRINE: Documentary Training”.

Membantah Logika Sesat Kaprodi HI

Kebetulan si bapak sekarang tengah menduduki jabatan sementara yaitu Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (Kaprodi HI UII). Sebut saja namanya, Irawan Jati.

Beberapa hari yang lalu, beberapa mahasiswa HI terbelenggu oleh jabatan dan kewenangan si bapak. Mahasiswa dikasuskan dengan kebijakan sepihaknya bahwa yang gondorong tidak mendapat kartu ujian dalam syarat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS). Niat beliau, sih, baik. Membentuk karakter mahasiswanya, apa tujuannya? Agar mahasiswanya sadar, “menjadi diplomat itu harus rapi”.

Lantas, apakah gondrongers ini berkeinginan menjadi diplomat? Kita perbaiki pertanyaannya yang lebih berkeadilan. Apakah semua mahasiswa HI ingin menjadi diplomat? Saya berani jamin kalau mahasiswa HI tidak semua bercita-cita menjadi diplomat di saat menempuh masa kuliahnya. Sebab, masih banyak preferensi pekerjaan yang bisa dicetak oleh jurusan ini. Bisa berkarir sebagai jurnalis, pemerintahan, wakil rakyat, MNC, NGO, dan sebagainya. Tidak dipungkiri, jurusan teknik elektro pun bisa menjadi diplomat.

Duh, sudah seperti zaman orde baru saja. Memang saat itu gondrong kerap dianggap kriminal. Sering kali dicap tidak baik dan urak-urakan. Berawal pada tahun 1960-an, gondrong bukan sekadar isu kaleng-kaleng. Buktinya, pemerintah secara serius melakukan pembasmian terhadap mereka. Pemerintah menilai dalam proses pembangunan negara, anak muda juga harus ditata. Agar citra negara dalam pembangunan nasional dipandang baik.

Logical Fallacy! Tau ga, Jokowi gondorong loh, semasa beliau menjadi mahasiswa. Berarti, Jokowi pun ikut menentang dari kegawatan doktrin negara tersebut. Sekarang jadi presiden, deh.

Begini ya, Pak! Kata Ali bin Abi Thalib itu, “Wahai Kaum Muslim, didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.

Akan tetapi, si bapak masih terkunci di dalam kerangkeng orba. Mau menata mahasiswa tetapi dengan cara sekolahan. Lebih tepatnya, anak Sekolah Dasar (SD), sih. Mana tahu beliau sekalian mau buat kebijakan yang sama seperti orba, asyik juga.

Coba kita imajinasikan anak SD ini adalah mahasiswa. Bukan SD, sih, kalau di zaman orba, tetapi Sekolah Rakyat (SR). Mula-mula, Sebelum masuk kelas, mahasiswa berbaris dulu. Membentuk empat barisan yang menjulur ke belakang. Kemudian, dipimpin oleh satu mahasiswa yang bertugas mengatur barisan agar rapi.

Seluruhnya, “ASIAPPPP GERAKKKK!” Tegas, sahut keras pemimpin barisan. Lalu, satu per satu mahasiswa maju dan berhenti di bibir pintu, untuk mengecek terlebih dahulu kuku-kukunya. Jika kuku terbukti kotor dan menjulur panjang, maka penggaris berukuran satu meter siap menepuk punggung kedua tangan yang dijajarkan lurus ke depan. Begitu pun penerapan gondrong ini bisa disamakan dengan kuku-kuku tadi. Bedanya, si bapak nantinya membawa gunting.

Si Bapak dan Dasar Hukumnya

Kembali ke persoalan. Apakah teman-teman gondrong ini tidak bisa rapi? Bisa, menurut saya. Subjektif, kan, penilaian ini? Iya, dong! Bahkan, penilaian si bapak pun subjektif terkait mahasiswa gondorong itu tidak bisa rapi. Artinya, ini seharusnya masuk dalam meja perdebatan terlebih dahulu. Alasan beserta kesepakatan nanti dapat disepakati bersama. Jadi, tidak semena-mena kebijakan itu diambil secara sepihak.

Melalui hasil liputan Lembaga Pers Mahasiswa Kognisia, si bapak membantah kewenangan yang beliau ambil itu menyalahi regulasi. Menurut beliau, wewenangnya itu telah tercantum di Peraturan Universitas Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tugas dan Wewenang Ketua serta Sekertaris Program Studi pada pasal 3 poin f. Ada pun bunyi pasal tersebut seperti ini, “melakukan tindakan yang diperlukan untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban suasana akademik dalam lingkup Program Studi”. Maksud dari kebijakan tersebut untuk membentuk karakter, terutama mencetak mahasiswa cendikiawan sekaligus diplomat. Namun, kejanggalan secara hukumnya mulai kelihatan.

Ini bukan pertama kali si bapak asal-asalan dalam kewenangannya. Terkait masalah gondrong, sudah kedua kali ini terjadi. Di tahun pertamanya, pada tanggal 20 Juli 2018, gondrongers ini dipaksa membuat pernyataan secara sepihak di atas materai 3000. Bunyi redaksionalnya berisi akan berjanji untuk memotong rambut. Sanksinya juga sama, tidak diperbolehkan mengikuti UTS dan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) mahasiswa yang gondrong ditahan. Ironisnya, si bapak terkesan mempertontonkan arogansinya sebagai kaprodi. Sebab, beliau lebih dahulu menggelar tikar untuk “menantang” korban malaporkan kasus ini ke dekanat dan lembaga.

Belajar Hukum Bersama Yuk Pak!

Mari kita bahas kejanggalan hukumnya. Muhamad Saleh, salah seorang Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum (PSHK FH) UII, mengatakan rumusan pasal 3 poin f terlalu umum untuk ditafsirkan. Pak Saleh juga mengkritik pasal tersebut. Menurutnya, salah satu syarat rumusan peraturan harus jelas dan tidak multitafsir. Lalu, dari definisi ketenteraman dan ketertiban pun tidak ada. Beliau juga mempertanyakan, apakah rambut itu dapat menyebabkan terwujudnya ketertiban? Menarik untuk dikorek.

Melalui sisi yang mana kah, gondrongers ini dapat menganggu kententraman dan ketertiban akademik? Tergelitik, melihat kesalahpahaman si bapak. Mungkin ini hanya sekedar cocokologi saja. Tidak pernah saya mendengar gondrong menyebabkan kerusakan kesehatan secara fisik, mental, dan pikiran serta terjadinya perselisihan antara kaum laki-laki dan perempuan selama proses perkuliahan.

Lucunya, hal tersebut diperkuat dengan alih-alih pembentukan karakter. Seharusnya beliau mendalami terlebih dahulu, nilai apa saja yang dapat menjadi indikator pembentukan karakter. Jika membaca pernyataan Profesor Muhaimin, dalam bukunya Pemikiran Pendidikan Islam, beliau mengatakan pembentukan karakter tersebut dibutuhkan sistem nilai dalam pelaksanaannya, sehingga berjalan dengan arah yang pasti. Karena berpedoman pada garis kebijaksanaan yang ditimbulkan dari nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas, kecerdasan dan kerajinan. Lalu, apa gondrong sangat fundamental dijadikan indikator pembentukan karakter? No!

Huznudzon, si bapak sepertinya lupa. Jika pengaturan displin mahasiswa sudah diatur di Peraturan Universitas No 460/SK-Rek/Rek/X/2001 tentang Displin Mahasiswa Univesitas Islam Indonesia yang mengatur terkait hak, wewenang dan larangan mahasiswa. Sedangkan, gondrong tidak diatur. Tetapi tidak dipungkiri, hal tersebut dapat diatur di fakultas masing-masing. Contohnya terdapat di Fakultas Kedokteran UII. Aturan lebih lanjut mengenai displin mahasiswa diturunkan dalam peraturan fakultasnya. Hal itu disebabkan karena dekanat punya otoritas untuk mengatur lebih lanjut mengenai persoalan tersebut, diperkuat dengan Keputusan PHBW UII No 02/KPTS/PH/2006, pasal 2 ayat 2 tentang Tugas dan Wewenang serta Hak Dekan. Dalam putusan itu menyatakan, “dekan memiliki wewenang untuk membuat peraturan dan atau keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Catur Dharma”. Artinya, kewenangan dekan di dalam pasal tersebut jelas dan tidak multitafsir, tidak seperti pasal yang dikutip si bapak.

Sedangkan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII (FPSB UII), aturan tidak boleh gondrong tidak dijelaskan di peraturan fakultasnya. Di sinilah, letak asal-asalan kewenangan Kaprodi HI. Beliau, melangkahi otoritas fakultas terutama dekanat. Ketua DPM FPSB UII, Ahmad Turmudzi mengatakan bahwa dekanat telah menegaskan kepada Kaprodi HI, jika aturan tata tertib ujian sepenuhnya tanggung jawab fakultas. Namun tidak tahu, hal tersebut dijalankan atau tidak. Seharusnya dekanat menjelaskan lebih konkret lagi mengenai larangan gondrong juga bukan kewenangan yang diatur oleh kaprodi, tidak hanya berkaitan dengan aturan ujian saja.

Mirisnya, tanpa angin dan hujan gondrongers ini dirampas haknya. Pertama, mereka telah memenuhi syarat pembayaran ujian. Kedua, haknya dirugikan sepihak tanpa duduk persoalan. Jika si bapak punya kewenangan dan ingin membuat kebijakan tanpa kompromi, seharusnya realistis. Misal, merokok di dalam kelas. Tidak ada pembenaran terkait hal ini. Jelas, ini merugikan orang banyak sekaligus menganggu kententeraman serta ketertiban.

Terakhir, karena kita kuliah di kampus islami, lebih baik tulisan ini diperkuat dengan napas Islam. Ternyata, Islam mengaturnya. Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah. Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (HR Muslim Nomor 2337). Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam meniru Rasulullah itu bagus dan dapat dihitung sebagai ibadah. Artinya, kampus kita seharusnya menjamin idealis terhadap mahasiswanya yang juga belandaskan nilai-nilai Islam.

Gondrong sendiri bagian idealis dari kehidupan mahasiswa, terjamin tidak merugikan pihak manapun. Si bapak juga seharusnya tidak sewenang-wenang menyepak, menginjak, atau membuang jauh-jauh idealisme mahasiswa ini. Kita juga harus menjamin, ini akan selesai. Jika jalur audiensi tidak diindahkan, jalur hukum pun tidak diselesaikan, maka ada satu kata, lawan!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.