Beranda blog Halaman 23

15 Oktober 1978: Lahirnya Hari Hak Asasi Hewan dan Realitas di Indonesia

Himmah Online – Setiap tanggal 15 Oktober dunia memperingati Hari Hak Asasi Hewan Internasional. Peringatan ini berawal dari Universal Declaration of Animal Rights oleh UNESCO pada 15 Oktober 1978 silam. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa semua hewan memiliki hak untuk hidup, berkembangbiak dan manusia tidak memiliki hak untuk memusnahkan spesies hewan, serta perlakuan buruk ataupun tindakan kejam.

Terdapat beberapa hak asasi yang didukung oleh UNESCO, yaitu bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan tertekan; serta bebas mengekspresikan perilaku alami.

Dikutip dari Introduction to Animal Rights: Your Child or the Dog? karya Gary L. Francione, bahwa survei Associated Press Amerika Serikat mengatakan “Hak hewan untuk hidup bebas dari penderitaan harus sama pentingnya dengan hak manusia untuk hidup bebas dari penderitaan.” Dengan kata lain, hewan seharusnya dianggap sebagai “orang” atau makhluk, bukan sekadar sebagai benda.

Hewan memiliki afeksi yang sama seperti manusia: dapat merasakan perasaan sakit, senang, takut, cemas, maupun frustasi. Maka secara pengertian moral, manusia mengukur hal tersebut dalam hak asasi hewan dalam kehidupan serta kesejahteraan hewan.

Tom Regan (2001) mengatakan bahwa hewan yang hidup harus diperlakukan dengan hati-hati karena fakta bahwa mereka dapat merasakan sakit; orang-orang yang baik akan selalu menunjukkan kepedulian itu dan akan bersikeras bahwa hewan yang kita gunakan diberi makan dan ditempatkan dengan benar, ditangani dengan penuh perhatian. Perlakuan manusiawi seperti ini berlaku secara universal.

Bagaimana Kondisi di Indonesia?

Di Indonesia, perlindungan hak asasi hewan salah satunya didukung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 302. Pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana penganiayaan hewan.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa seseorang yang melakukan penganiayaan kepada hewan tanpa tujuan yang patut dan secara melampaui batas, baik ringan maupun berat, dapat dipidana maksimal 9 bulan dan denda maksimal 400 ribu rupiah.

Meskipun telah memiliki instrumen hukum perlindungan dan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan, berdasarkan data Asia for Animal Coalition (AfA) pada rentang Juli 2020 hingga Agustus 2021 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara penghasil konten penyiksa hewan terbanyak di dunia. Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.

Dari angka-angka tersebut menunjukan bahwa praktik penyiksaan hewan menjadi masalah global. AfA juga menuliskan bahwa banyak kerugian yang diderita hewan, sedangkan si pengunggah malah mendapatkan keuntungan.

Mengingat kasus Tayo, kucing seorang perempuan 22 tahun asal Medan bernama Sonia yang dibunuh oleh sang pelaku penjagal kucing dan anjing pada 2021 lalu. Sonia mendapati mayat kucingnya dalam karung di halaman depan rumah sang pelaku. Sonia pun mengunggah penemuannya dan melaporkan kepada polisi setempat.

Akhirnya, pelaku kasus kucing Tayo divonis penjara selama 2,5 tahun pada bulan Agustus 2021 lalu. Kasus ini menjadi salah satu gerbang untuk terbukanya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hak asasi hewan dan kesejahteraannya.

Dalam sebuah diskusi bertajuk “KesmaveTalk #6” yang digelar Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner pada 2021 lalu, Koordinator Substansi Kesejahteraan Hewan Kementerian Pertanian, Hastho Yulianto, menyampaikan sejauh ini pemerintah sudah memiliki instrumen hukum untuk menjerat penyiksa binatang. Namun, ia mengakui hukumannya masih ringan, dan pemerintah masih menunggu revisi KUHP di DPR.

Dilansir dari The Great Projects, jika campur tangan manusia dalam hal kejahatan satwa liar terus berlanjut di Indonesia, maka hewan tidak akan punya tempat untuk pulang.

Hak hewan seringkali diabaikan karena mereka tidak dapat membantah.

Reporter: Magang Himmah/Fatimah Aulia Permata

Visualisasi Data: Magang Himmah/Fatimah Aulia Permata

Editor: Pranoto

Air Kasih Sayang Tuhan dan Puisi Lainnya

0

Bumi Tandus

dalam gelap malam

diri ini mengeja pertanda Sang Kuasa

di langit, laut, dan semesta yang menua

angin kini semakin linglung

gunung juga meraung-raung

lautan muntah pada manusia yang kerap salah

keserakahan terus ditanam

disiram air kesewenang-wenangan

ladang Tuhan mereka  campakkan

bumi yang tandus milik siapa?

jika semesta telah menabur luka

semua hanya tinggal air mata

14 Desember 2021

Aku Berinduk Ular Boa

aku adalah domba kesepian

yang masih memiliki induk ular boa

membelit sebuah pahatan kehidupan

menjadi sebuah awal prahara

dia berekor kesenangan duniawi

menghamba pada seorang lelaki

dan melebur pada bukit kesesatan

semoga langit bisa memaafkanmu

atas dosamu mencemari rumput

hingga kau hilang di kesunyian

melupakan domba kecil ini

14 Desember 2021

Air Kasih Sayang Tuhan

Benih ini diciptakan dari laut terdalam

tumbuh menjadi sawi kebaktian

dalam ruang kecil tempat manusia berdetak

serupa jantung merekah merah

Berbentuk air maha suci

aku melihatnya wujud malaikat

demi Tuhan, aku bangga sekali

terukir beberapa rupa kehidupan

Penyair ini adalah sihir ajaibnya

juga politisi, presiden, guru, atau penjahat sekalipun

tak lupa bersujud pada benih kecil ini

sebab aku melihat mutiara surga tanpa noda

14 Desember 2021

Ibu Dari Dunia Ini

Hujan berlabuh di matamu

saat kau mengais padi dari langit

membungkuk–rukuk dalam tabah

bangkit dengan senyuman paling hangat

Ibu dari dunia ini

izinkan aku menjadi putramu!

agar pesawat-pesawat kecil datang ke mulutku

saat mentari bangun dengan cinta kasih

aku ingin kau pakai mahkotaku

saat terpilih jadi raja Inggris nanti

kau sudah tak perlu berdiri di perempatan

atau mendengar cacian burung-burung

14 Desember 2021

Aivona, Gadis Dari La Cumbre

gadis La Cumbre¹ bermata biru

langit cinta tinggi bertahta

dengan rambut cokelatmu

sepahit perjalanan hidup dunia

aku datang untuk berkunjung

menabur bunga di makammu

tapi kau telah sirna bersama angin

melupakan kepedihan di tanah ini

jika saja waktu itu

kau tidak bercumbu dengan air mata

bersama kekasihmu yang membeku

di Estrela² sedingin salju

mungkin kau tak hipotermia³

menjadi Freya yang acuh diri

melupakan cinta Sang Maha Kudus

lalu mencari kebahagiaan semu

14 Desember 2021

¹’² Nama suatu tempat dalam imajinasi penyair

³ Penurunan suhu tubuh secara drastis

Maraknya Perdagangan Satwa Liar Berdampak pada Kepunahan

Himmah OnlineIndonesia memiliki daftar panjang satwa yang terancam punah. Dihimpun dari Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) per 23 September 2022, sebanyak  379 spesies terancam punah (endangered/EN) dan 199 spesies sangat terancam punah (Critically endangered/CR). Hal tersebut salah satunya akibat perdagangan satwa liar.

Berdasarkan laporan dari United States Agency for International Development (USAID) berjudul Perdagangan Satwa Liar, Kejahatan Terhadap Satwa Liar Dan Perlindungan Spesies Di Indonesia: Konteks Kebijakan Dan Hukum Changes For Justice Project (2015), salah satu penyebab utama dari penurunan spesies di Indonesia adalah eksploitasi berlebihan.

Senada dengan laporan di atas, ProFauna Indonesia, organisasi yang bergerak di bidang konservasi hutan dan perlindungan satwa liar, menyebutkan salah satu penyebab utama satwa di Indonesia terancam punah adalah masifnya perburuan dan perdagangan satwa liar. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar domestik bukan produk hasil penangkaran. Artinya, ia tangkapan langsung dari alam.

Menurut Dwi Nugroho Adhiasto, seorang pemerhati perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, mencontohkan klasifikasi motif perburuan harimau. Menurutnya, “perburuan harimau, motifnya bermacam. Ada yang hobi atau oportunis, biasanya punya pendapatan lain, berburu hanya sambilan. Ada juga profesional poacher, mencari keuntungan dengan menjual sejumlah bagian tubuh harimau,” dikutip dari Mongabay (31/07).

Praktik perdagangan ilegal satwa liar mencakup proses perburuan, pengangkutan, penyiksaan/pembunuhan, pengiriman, pemindahtanganan, penampungan, hingga penerimaan satwa untuk tujuan eksploitasi.

Dari aktivitas perdagangan satwa secara ilegal tersebut, selain menyebabkan kepunahan, juga membuat kerugian untuk perekonomian Indonesia. Menurut USAID, perdagangan ilegal flora dan fauna Indonesia diperkirakan mencapai puluhan juta dolar per tahun.

Indonesia sendiri merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman satwa. ProFauna Indonesia memperkirakan ada sebanyak 300.000 spesies hewan yang menghuni ekosistem di negeri ini. Artinya, sekitar 17% spesies fauna di seluruh dunia berasal dari Indonesia.

Terdapat pula 515 spesies mamalia, yang artinya Indonesia memiliki lebih banyak spesies mamalia dari negara manapun. Juga ada 1.539 spesies burung. Serta terdapat 50% dari spesies ikan seluruh dunia dapat ditemukan dalam sistem air laut dan air tawar Indonesia.

Adapun, perdagangan satwa dikatakan sebagai ilegal jika ia tidak mengantongi izin dari pemerintah serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Tindak pidana perdagangan satwa ilegal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, hingga memperniagakan satwa liar.

Bagi yang melanggar, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Namun, jaringan perdagangan satwa liar seperti tidak pernah terputus. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam rentang waktu 2015 sampai 2020, terjadi 301 kasus perdagangan tanaman dan satwa liar. Kasus paling banyak terjadi di tahun 2019 dengan jumlah 65 kasus.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri mengaku telah melakukan 1.804 operasi pengamanan lingkungan hidup dan kawasan hutan di Indonesia, dengan 430 di antaranya operasi tumbuhan dan satwa liar dalam 5 tahun terakhir. KLHK juga membawa 1.210 kasus ke pengadilan, baik terkait pelaku kejahatan korporasi maupun perorangan. 

Reporter: Magang Himmah/Dian Sastria, Izulhak Gimnastiar, Nizli Nailunni’mah

Visualisasi Data: Magang Himmah/Izulhak Gimnastiar

Editor: Pranoto

Meributkan Kenaikan Harga BBM

*Naskah “Meributkan Kenaikan Harga BBM” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH NOMOR 4/TH XVI/JANUARI/1982 dalam rubrik Laporan Utama halaman 14-17. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini bebarengan dengan momentum kenaikan BBM yang diteken pemerintah pada 3 September 2022 lalu. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Gara-gara menaikkan harga BBM, satu pemerintahan bisa jatuh. Dan itulah yang menimpa Kabinet PM Kriangsak Chamanand ketika ia (pada 1980) menaikan harga bahan penting itu. Parlemen Muangthai mengajukan mosi tidak percaya dan rontoklah Kriangsak.

Di Indonesia, hal seperti itu tentu tidak akan terjadi. Tapi setidaknya, tindakan pemerintah menaikan harga BBM mulai 4 Januari yang lalu itu sedikit banyak akan ada pengaruh politisnya. Apalagi, “selama ini kita diiming-imingi bahwa pemerintah akan bisa bertahan menghadapi resesi dunia dewasa ini,” kata seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pemerintah nampaknya juga menyadari hal ini. Itulah sebabnya mengapa baru sekarang harga BBM itu dinaikkan. Padahal, “seharusnya pemerintah menaikkannya dua bulan yang lalu,” kata Prof. Mubyarto. Karena, menurut penganjur Ekonomi Pancasila itu, dengan demikian tingkat inflasi akan merata (untuk 1980, 1981, dan 1982) yakni sebesar 16%. “Dengan dinaikkannya harga BBM itu sekarang [4 Januari], tingkat inflasi akan mencapai 30% pada 1982,” tambah guru besar UGM itu.

Agaknya pemerintah juga tahu hal itu, tapi karena pertimbangan-pertimbangan politis–apalagi pemilu makin mendekat–langkah tidak simpatik itu selalu berusaha dihindari. Dan sekarang, seperti diakui sendiri oleh Presiden Suharto, akibat resesi dunia yang buruk ikut melanda Indonesia, pemerintah tak sanggup lagi membendungnya.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa, langkah itu diambil juga. Karena kalau harga BBM tidak dinaikkan, menurut Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro, jumlah subsidi pemerintah–untuk bahan bakar BBM–untuk tahun anggaran 1982/1983 akan mencapai Rp2007,2 milyar. Dan itu berarti akan mengganggu kelancaran pembangunan.

Tapi, meski tak bicara soal pengaruh politis, Probosutejo menyesalkan langkah yang diambil pemerintah. Menurut pengusaha raksasa itu, dengan dinaikkannya harga BBM, rakyat banyak yang terkena akibatnya. “Sebaiknya pemerintah mendevaluasikan nilai rupiah,” kata adik Presiden Suharto. Resesi itu misalnya dari sekitar Rp640 seperti sekarang–untuk satu dolar Amerika–menjadi Rp900. Sebab rakyat kecil tidak memerlukan dolar, yang memerlukan hanya pengusaha importir. Namun, tambah Presdir PT Mercu Buana itu, golongan ini pun tidak akan menderita kerugian.

Naskah “Meributkan Kenaikan Harga BBM” di Majalah MUHIBBAH NOMOR 4/TH XVI/JANUARI/1982 dalam rubrik Laporan Utama halaman 14-17. Arsip: Pelita HIMMAH

Permadi, SH Ketua YLK juga tak setuju. Menurutnya, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM untuk membiayai pembangunan, sangat bertolak belakang dengan kehidupan rakyat. “Jadi kalau begini itu, pembangunan bukan untuk rakyat, tapi rakyatlah yang dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan.” Selanjutnya Permadi mempertanyakan sampai seberapa jauh kenaikan harga BBM itu bisa bermanfaat untuk membiayai pembangunan. “Dengan menaikkan harga bahan bakar itu,” ujar Permadi, “rakyat kini hidupnya tentu lebih megap-megap lagi.”

Komentar lebih keras datang dari Drs. Suhardi, MSc. Melalui surat pembaca Harian Merdeka, ia bahkan mengungkit lebih dalam. Menurutnya, ia sependapat dengan Harian Merdeka, “soalnya setelah saya amati,” tulis Suhardi, “pekerjaan mereka itu (para menteri-Red) mulai sejak 1966 hingga sekarang tidak lain hanya cari hutang. Lalu kalau dirasa masih kurang, ya menaikkan (harga) BBM, dan kalau masih kurang lagi ya melakukan dengan valuasi rupiah.” Suhardi melanjutkan, “saya rasa kalau hanya kerja cari utangan, orang bunting pun bisa, tidak perlu profesor-profesoran,” tulisnya.

Sedang ketua MPR/DPR Daryatmo mengatakan bisa memahami tindakan pemerintah itu. Frans Seda juga berpendapat senada. Bahkan, menurut bekas Menteri Keuangan itu, “pengurangan subsidi BBM itu adalah upaya yang terpuji.” Dan, “kenaikan harga itu memang perlu,” tambah pengamat ekonomi itu.

Suara di DPR

Di kalangan para wakil rakyat juga keluar pendapat-pendapat yang beragam. Hamzah Haz dari Fraksi PPP misalnya, mengatakan bahwa yang paling berat menerima keputusan-keputusan pemerintah itu adalah rakyat. Terutama yang berpenghasilan tetap seperti pegawai, juga pengusaha-pengusaha lemah seperti kontraktor-kontraktor kecil yang terlanjur menerima pekerjaan dengan perhitungan harga lama.

Hamzah juga menekankan bahwa dengan langkah pengurangan subsidi untuk menopang pembangunan ini, integritas aparatur pemerintah juga hendaknya ditingkatkan. ”Kebocoran-kebocoran yang katanya saat ini berkisar antara 20 sampai 30 persen hendaknya segera dihapuskan,” kata Hamzah. “Jangan sampai kita berusaha menghapuskan subsidi BBM,” lanjutnya, “tapi masih terus membayar subsidi untuk koruptor-koruptor.”

Sedang Nuddin Lubis, ketua Fraksi PPP, menilai langkah yang diambil pemerintah itu “sangat tidak populer”, meskipun didukung oleh alasan yang rasional. “Mestinya pemerintah memilih jalan lain yang lebih meringankan rakyat,” kata Nuddin. “Jangan mengambil jalan yang lebih meringankan beban para pemikir ekonomi kita saja,” tambahnya.

Dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terdengar suara Suryadi. Tapi ia agak berhati-hati. Sekretaris Fraksi PDI ini “cuma” minta perhatian pemerintah agar mampu mengendalikan akibat dari kenaikkan harga BBM itu. Sedang Hardjantho, ketua fraksi, tidak berkomentar apa-apa mengenai hal ini. Orang nomor satu di Fraksi PDI ini malah tertarik dengan pidato presiden–ketika menyampaikan RAPBN 1982/1983–yang menyangkut soal pemilu.

Bagaimana dengan Fraksi Karya Pembangunan? “F-KP sependapat dengan kebijaksanaan pemerintah itu,” kata Sugiarto. Tapi ketua F-KP ini menyarankan agar pemerintah memberikan gaji ketiga belas kepada pegawai negeri. Ia juga mengatakan bahwa fraksinya menginginkan supaya pemerintah lebih tajam menggarap sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari dikuranginya subsidi BBM. “Bagaimanapun juga, yang jelas, F-KP berdiri di belakang pemerintah,” tegas Sugiarto.

Pemilu

Tanpa perlu menanyai rakyat satu persatu, Presiden Suharto sudah bisa tahu bahwa dengan kenaikan BBM, mereka akan terpukul. Makanya presiden–waktu menyampaikan RAPBN–sampai dua kali minta maaf. Dan menteri Subroto mengakuinya sebagai kenyataan pahit.

Sementara pemilu makin mendekat. Terhitung sejak kenaikan harga itu, pemilihan umum akan berlangsung empat bulan lagi. Barangkali kenyataan pahit ini akan mengganggu pesta demokrasi itu. Atau tegasnya, mungkinkah tindakan pemerintah itu akan mengurangi dukungan rakyat dalam pemilu 5 Mei mendatang itu?

Ilustrasi dalam naskah “Meributkan Kenaikan Harga BBM” di Majalah MUHIBBAH NOMOR 4/TH XVI/JANUARI/1982 dalam rubrik Laporan Utama halaman 14-17. Arsip: Pelita HIMMAH

“Tentu sedikit banyak akan mengurangi,” kata Dahlar Muslim. Artidjo Alkostar, SH juga berpendapat senada. “Sebab rakyat kecil terutama, tidak mau tahu tentang alasan kenaikan itu, meski alasan itu rasional sekalipun,” kata Direktur Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat (LRPM) FH UII itu. “Yang mereka tahu,” lanjut Artidjo “bahwa dengan kenaikkan harga itu mereka terpukul.”

Fraksi Karya Pembangunan, yang berdiri di belakang pemerintah itu, juga memperhitungkan kemungkinan ini. Tapi agaknya wakil Golkar di DPR ini sudah punya resep untuk menanggulanginya. Buktinya, mereka berani menganjurkan kepada pemerintah–sebelum subsidi dihapus–bahwa kalau pemerintah berniat menghapus subsidi itu, sebaiknya dilakukan sebelum pemilu.

Padahal, “jika dilakukan sebelum pemilu sebenarnya kita kan rugi,” kata Johny Simanjuntak, dari fraksi itu. “Sebab para pemilih kami nanti akan bilang: ‘kok sekali ini kami dibebani, tidak dimanjakan lagi’,” tambah Jonny.

Dari kubu F-PPP, Chalik Ali menurunkan komentarnya. Menurutnya, kebijakan yang diambil sebelum musim kampanye Pemilu ‘82 ini merupakan sikap “to be or not to be”, gagal atau berhasil. “Dan penuh resiko,” kata Chalik.

Ramalan-ramalan ini agaknya tidak terlalu mengada-ada. Bahkan Menteri Dalam Negeri pun mempercayainya. Makanya dalam instruksinya kepada para gubernur, Amirmachmud meminta agar mereka mampu mengamankan akibat dari tindakan pemerintah ini, terutama yang bersifat politis.

Kira-kira, bagaimana bentuk pengamatannya itu, ya?

Demonstrasi

Di Muangthai, ketika pemerintah menaikkan harga BBM timbul gelombang-gelombang demonstrasi. Konon ada yang “berkekuatan” sampai 20.000 orang. Tapi di Indonesia, kendati cukup banyak terdengar keluhan-keluhan, masyarakat tenang-tenang saja. Rupanya masyarakat mau menerima permintaan maaf Presiden Suharto–yang sampai dua kali itu–ketika beliau menyampaikan RAPBN 1982/1983. Masyarakat juga agaknya mau mengikuti ajakan Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, untuk secara sadar menerima keputusan pemerintah yang dirasakan pahit ini.

Atau mungkin masyarakat mau bersabar menunggu sampai resesi dunia yang menurut banyak orang–termasuk Daryatmo–akan berakhir pada penghujung tahun 1982. Bukankah sebagai konsekuensi dari berakhirnya resesi dunia itu, harga barang-barang termasuk BBM tentunya–akan menaik lagi? Baramuli, anggota Komisi VII DPR, bahkan berani menjamin bahwa “keprihatinan atau keharusan mengencangkan ikat pinggang hanya akan terjadi pada tahun anggaran 1982/1983.”

Naskah “Meributkan Kenaikan Harga BBM” di Majalah MUHIBBAH NOMOR 4/TH XVI/JANUARI/1982 dalam rubrik Laporan Utama halaman 14-17. Arsip: Pelita HIMMAH

Suara lebih merdu datang dari Prof. Sukadji Ranuwiharjo, MA. Bekas Rektor UGM itu memperkirakan harga-harga akan stabil kembali dalam tiga bulan–sejak 4 Januari. Ramalan-ramalan inilah yang barangkali mampu menentramkan masyarakat. Tapi mahasiswa, bagaimana?

“Saya setuju kalau mahasiswa berdemonstrasi,” kata Supriyanto, 22 tahun. “Tapi,” lanjut mahasiswa Fakultas Hukum UII itu, “mahasiswa agaknya takut untuk melakukannya.” “Karena,” tambah Supriyanto, “pemerintah tentu akan bertindak keras untuk membendungnya.”

“Selain tindakan keras itu, idealisme mahasiswanya sendiri sedang merosot,” kata Dalhar Muslim, seorang aktivis di UII. Sedang sebagai biang keladi kemerosotan idealisme itu, Dalhar menuding konsep NKK.

Tapi Alfitra Sofi Salam tak setuju dengan cara itu. “Mahasiswa yang berdemonstrasi itu goblok,” kata mahasiswa Fakultas Sospol UGM itu. Kenapa goblok, Fitra? Dia tak menjelaskannya.

Mereka yang Khawatir

Kebanyakan dari mereka yang memberi tanggapan tentang kenaikan harga BBM ini, menutup komentarnya dengan harapan atau permintaan supaya pemerintah mengambil langkah-langkah pencegahan atau tegasnya, mengendalikan harga-harga–seperti yang memang sudah dijanjikan oleh Menteri Subroto.

Soalnya, “pengalaman yang lalu menunjukkan kenaikan harga BBM cepat diikuti oleh kenaikan biaya transpor dan lainnya,” kata ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Aryono Abdulkadir.

Benar saja. Tarif angkutan darat, misalnya–kecuali bis kota–langsung “memberikan tanggapan”. Sedang harga barang-barang juga mulai merayap naik. Malah Kamar Dagang Indonesia (KADIN), seraya memuji, telah terang-terangan minta izin kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga secara nyata dan wajar.

Tapi khusus mengenai bahan-bahan kebutuhan pokok, Bustanil Arifin menghembuskan angin sejuk. “Beras, gula, terigu dan kedelai tidak akan dinaikkan,” kata Ka-BULOG berkepala botak ini. Jika pun ada kenaikan, hanya kecil saja. Untuk beras misalnya, Bustanil meramalkan paling-paling hanya akan naik Rp250 per kilogram. Kecil, bukan?

Pendeknya masyarakat tidak usah khawatir. Apalagi Mendagri Amirmachmud sudah mengeluarkan instruksi (nomor 1/1982) yang isinya menghimbau para Gubernur agar mengamankan akibat kenaikan harga BBM ini baik yang bersifat psikologis, sosial, ekonomis dan terutama yang bersifat politis.

Namun yang paling menarik agaknya ini: ternyata, dalam merencanakan kenaikan harga BBM itu pemerintah tidak berunding dengan DPR. Hamzah Has, dari F-PPP, menyesalkan hal ini. Sebab kata Hamzah, secara prinsip tindakan semacam itu harus dibicarakan dulu dengan lembaga ini.

Hamzah lantas mengutip pasal 23 ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala tindakan yang sangat membebani rakyat harus disahkan oleh DPR.

Juga yang perlu kita sesalkan, kenapa pemerintah mengambil kebijakan yang jelas-jelas menyangkut kepentingan rakyat banyak itu sekadar dengan keppres, yang secara yuridis memang tidak perlu dirundingkan dulu dengan lembaga itu.

Mungkin pemerintah tidak menganggap kebijaksanaannya itu bisa membebani rakyat. Misalnya pun pemerintah menganggapnya demikian, tak apalah, biar saja… Kan, demi pembangunan. ** (HB)

Penulis: MUHIBBAH/Hamid Basyaib

Pengalih media: HIMMAH/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Pranoto

Dua Mata Pisau Kenaikan BBM: Beban atau Kebijaksanaan?

0

Himmah Online, Yogyakarta – Presiden Joko Widodo resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar mulai tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB.

Harga BBM jenis pertalite yang semula sebesar Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Sementara harga BBM jenis solar yang semula sebesar Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Sedangkan untuk harga Pertamax yang semula Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM beralasan karena sekitar 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu. 

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, menilai pemanfaatan bahan bakar minyak bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan ataupun kebijaksanaan.

“Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80% pertalite dan 95% solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu. Sehingga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan atau pun kebijaksanaan,” ujarnya dalam diskusi yang digelar melalui saluran Zoom pada Soft Launching Melek APBN Chapter Jabodetabek dan Talkshow, Sabtu (10/9/2022).

Berly mengatakan faktor yang mendorong harga minyak dunia naik hingga menembus angka US$ 100 per barel adalah pemulihan ekonomi setelah Covid-19 mereda dan invasi Rusia ke Ukraina.

Menurutnya, kompensasi yang dianggarkan dalam APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga pertalite dan solar.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Namun angka penambahan tersebut ternyata masih tidak cukup, sehingga ditambah lagi anggaran subsidi BBM sebesar Rp195,6 triliun.

“Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15% dari APBN 2022 alias melebihi semua kategori belanja lain, kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN, yaitu stabilisasi, distribusi, dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitas dalam konteks ini harga pertalite dan solar ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya,” kata Berly.

Berly menambahkan bahwa realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan, sehingga kenaikan harga transportasi publik perlu dihitung seksama supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi.

“Pada pertumbuhan kuartal II-2022 inflasi menembus 5,4% dan terjadi deflasi 0,2% pada Agustus. Saat ini opsi kebijakan yang least worse atau lebih buruk adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak,” terangnya.

Berly meminta pemerintah menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan dan perbaikan transportasi publik di wilayah urban.

Selain itu, dia juga meminta penetapan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40% atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah.

Reporter: Himmah/Siti Tabingah

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Tolak Kenaikan  Harga BBM, Muhammadiyah Yogyakarta: Kebijakan yang Tidak Berpihak kepada Rakyat

Himmah Online, Yogyakarta – Gerakan Muda Muhammadiyah di Yogyakarta menggelar aksi pada Sabtu (10/09) lalu dengan tuntutan utama yakni penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

“Ini memang gerakan secara kolektif dari segala macam elemen yang ada di Muhammadiyah, sama-sama kita merespon, sama-sama kita menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat,” ujar Y selaku humas dari Gerakan Muda Muhammadiyah.

Mereka menilai bahwa subsidi BBM yang saat ini sudah dicabut dan dialihkan akan diproyeksikan untuk pembangunan yang lain. Selain itu, pernyataan pemerintah yang menyebutkan subsidi BBM sudah mencapai 500 trilyun adalah informasi bohong (hoaks), dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih mampu menopang kebutuhan subsidi BBM.

“Kami melihat juga data lain yang dikeluarkan Kementerian Keuangan yaitu nota keuangan yang sudah dikeluarkan untuk logbook tahun 2022, subsidi BBM yang sudah dikeluarkan pemerintah itu cuma sekitar 14,6 atau 14,8 trilyun [Rupiah], yang artinya asumsi [pernyataan] pemerintah telah mengeluarkan subsidi BBM sebesar 500 trilyun [Rupiah] lebih, itu adalah hoaks …. Artinya, subsidi-subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk BBM itu relatif kecil,” tutur Y.

Ratusan massa dari berbagai elemen yang tergabung dalam berbagai organisasi otonom (ORTOM) Muhammadiyah, serta perguruan tinggi Muhammadiyah memulai aksi mereka dengan berjalan kaki (long march) menuju ke Titik Nol Kilometer Yogyakarta, demi menentang kebijakan negara yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.

“ORTOM Muhammadiyah sendiri saat ini sedang melakukan konsolidasi nasional untuk sama-sama bergerak secara serentak, bergerak secara kolektif, menentang kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat,” lanjut Y.

Meski begitu, dari pihak Gerakan Muda Muhammadiyah Yogyakarta belum melakukan audiensi ke DPRD Yogyakarta. Menurut keterangan dari humas Gerakan Muda Muhammadiyah yang enggan menyebutkan namanya, selama pemerintah pusat tidak ingin mengubah kebijakan kenaikan harga BBM, melakukan audiensi dengan DPRD menjadi sia-sia.

“Ketika kita minta statement [beraudiensi] di DPRD dan itu disampaikan kepada pemerintahan pusat, selama [pemerintah] pusat itu tidak menginginkan kebijakan tersebut, maka kita sebenarnya tidak akan mendapatkan apa-apa,” tutur Y.

Mereka pun berpandangan, seharusnya seluruh elemen bergabung dan serentak menyuarakan hal yang sama dengan harapan pemerintah pusat melihat dan menyadari kebijakan yang telah dibuat tidak sesuai dan tidak diharapkan oleh rakyat.

Tidak hanya menolak kenaikan harga BBM, aksi yang mereka lakukan ini demi menyuarakan 6 tuntutan, yakni terkait penolakan kenaikan harga BBM; RUU KUHP; pemindahan ibu kota negara (IKN); pengusutan tuntas pelanggaran HAM berat; penolakan RUU Sisdiknas dan Komersialisasi Pendidikan; serta pembatalan UU Cipta Kerja.

“Nah, kenapa enam tuntutan utama atau enam tuntutan khusus [turunan] itu kami masukkan, karena kami membaca bahwasanya kebijakan yang kemudian di sampai yang dikeluarkan oleh pemerintah kita saat ini itu tidak lepas dari kebijakan-kebijakan lain yang sebenarnya sedang dilaksanakan atau kebijakan kebijakan lain yang sudah dilakukan seperti pemindahan ibu kota negara,” jelas Y.

Gerakan Muda Muhammadiyah yang sejak Senin (05/09) lalu sudah melakukan konsolidasi, sampai saat ini masih mengajak seluruh elemen di Gerakan Muda Muhammadiyah dan elemen masyarakat secara umum untuk menyuarakan tuntutan mereka terkait kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka pun berharap bahwa aksi ini hanya menjadi pemantik awal dan akan ada eskalasi yang lebih besar di seluruh penjuru Nusantara.

“Ke depan kami akan melakukan konsolidasi yang lebih luas lagi, mengajak elemen masyarakat secara lebih luas lagi, dan kami [berencana] jika negara tidak mendengarkan tuntunan kami … tidak mendengarkan aspirasi kami, maka kami akan melakukan aksi-aksi yang lebih besar lagi,” pungkas Y sore itu di Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Reporter: Himmah Magang/Utami Amalia Sudarman, Talitha Nabilah, Himmah/Farah Azizah, Nadya Auriga

Editor: Nadya Auriga D.

Tolak Kenaikan BBM, ARAK Gelar Panggung Rakyat

0

Himmah Online, Yogyakarta – “Jangan salahkan kami jika kami melawan, sebab kami selalu mendapat penindasan,” senandung Syifasativa di Panggung Rakyat dalam aksi damai penolakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) di depan Pasar Beringharjo, DIY, pada Kamis (15/09).

Aksi damai yang digelar oleh Aliansi Rakyat Bergerak (ARAK) dimulai dengan long march dari Bundaran UGM menuju Pasar Beringharjo. Lalu, dilanjut dengan Panggung Rakyat yang diisi dengan nyanyian perjuangan, puisi, dan teatrikal oleh masyarakat maupun pegiat seni.

Brunce, dari tim acara menjelaskan bahwa aksi kali ini menyongsong konsep Panggung Rakyat karena mereka ingin berbaur dengan masyarakat rakyat bawah untuk bersama-sama menyuarakan tuntutan keresahan masyarakat, terutama dalam kenaikan BBM.

“Kita ingin rakyat bersuara karena efek domino kenaikan BBM kan tidak hanya mahasiswa, semua aspek masyarakat juga terkena dampaknya,” ungkapnya.

Kemudian, menurut Brunce, tuntutan isu-isu tidak melulu disampaikan dengan cara yang kaku melalui orasi politik. Namun bisa pula dengan cara yang kreatif, salah satunya melalui seni.

Pasar Beringharjo, sebagai tempat diadakannya Panggung Rakyat dipilih karena pusatnya industri di Yogyakarta sehingga atensi masyarakat akan naik.

“Tempat ini lebih strategis. Apalagi image pasar yang deket dengan masyarakat,” ujar Emi, salah satu tim kajian aksi.

Di sisi lain, sempat terjadi pemindahan Panggung Rakyat ke Alun-Alun Utara oleh aparat kepolisian tanpa persetujuan para demonstran.

“Aku anggap polisi ini manipulatif, karena bahasa yang dikeluarkan adalah dia nggak tau izinnya. Padahal kita sudah memberitahukan kepada Polres Kota maupun Polres Sleman,” jelas K, koordinator acara aksi damai.

Sebagai bentuk Panggung Rakyat, Sutriman, perwakilan masyarakat turut ikut menyuarakan orasi. Ia mengajak semua elemen masyarakat bersama-sama menyampaikan aspirasi, terutama kenaikan BBM. Ia juga memuji aksi damai yang bertajuk Panggung Rakyat ini.

“Ini mahasiswa yang inteligennya luar biasa. Baru kali ini ada demo di Jogja yang aman dan tertib,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/Firly Prestia Anggraeni, Nawang Wulan, Pranoto

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Eksistensi Gerabah di Tengah Gempuran Warna-warni Zaman

Proses pembuatan gerabah dengan teknik putar oleh Pareng (55). Foto: Himmah/Della Syaharani
Mitro (70) sedang meletakkan kayu bakar untuk proses pembakaran gerabah. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu
Salah satu teknik pengelasan yang dilakukan Supriyadi (50) dalam proses pembuatan gerabah. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu
ni (43) sedang mengoles gerabah yang telah selesai pengelasan. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu

Proses pengamplasan gerabah oleh Selo (62) sebagai salah satu tahap menuju finishing. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu

Gerabah yang telah siap untuk dikirim ke Luar Negeri melalui Solo. Foto: Himmah/Ista Setia Pangestu

Ruang pengeringan dan penyimpanan gerabah. Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Ruang pengeringan dan penyimpanan gerabah. Foto: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Revolusi berbagai bentuk gerabah dari bentuk sederhana hingga bentuk manusia. Foto: Himmah/Fathoni Abdul Mukti
Revolusi berbagai bentuk gerabah dari bentuk sederhana hingga bentuk manusia. Foto: Himmah/Fathoni Abdul Mukti

Himmah OnlineGapura bertuliskan “Selamat Datang Sentra Industri Kerajinan Gerabah Kasongan” menyambut kehadiran kami. Menandai perjalanan kami telah sampai di sentra industri gerabah terbesar yang berada di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak hanya pengrajin, di sini juga menjual banyak macam hasil kerajinan gerabah.

Kehadiran kami disambut Eni, salah satu pengrajin gerabah di Kasongan yang telah berkecimpung selama 20 tahun. “Gerabah itu bahan bakunya dari tanah liat dengan bentuk macam-macam. Tapi, awal-awalnya kan cuma untuk alat masak ada kuali, tungku, cowet itu awal-awalnya seperti itu,” tutur Eni.

“Setelah itu, berubah bentuk jadi hiasan rumah hingga untuk pot bunga. Sekarang model itu kan jadi macem-macem tergantung pesanan,” lanjut perempuan berusia 45 tahun tersebut kepada reporter himmahonline.id pada Kamis (4/8).

Berdasarkan catatan buku Sejarah Nasional Indonesia II, gerabah atau tembikar di Indonesia sudah ada sejak zaman neolitikum, yang ditemukan di beberapa tempat di Indonesia dari 5000-3000 SM. Hingga saat ini, gerabah masih eksis di tengah perkembangan zaman.

Dalam pembuatannya, secara turun-temurun bahan baku gerabah berasal dari tanah liat. Namun, seiring perkembangan zaman bahan baku yang semula tanah liat, sekarang merambah menggunakan bahan baku Glass Reinforced Concrete (GRC).

Metode pembakarannya pun saat ini lebih variatif, dari yang sebelumnya menggunakan tungku, saat ini sudah merambah pembakaran menggunakan gas.

Bukan hanya itu, gerabah juga memiliki arsiran atau ukiran yang selalu berevolusi terhadap perkembangan zaman. Mulai dari desain yang tanpa pola, hingga berbentuk manusia maupun hewan.

Di tengah gempuran warna-warni bahan perabot rumah tangga, hingga saat ini gerabah masih eksis. Hal ini terbukti dari penjualan toko milik Eni yang menjangkau sampai ke mancanegara seperti Jepang, Jerman, Australia, dan Perancis.

Reporter: Himmah/Ani Chalwa Isnaini, Della Syahrani, Fathoni Abdul Mukti, Ista Setia Pangestu

Narasi: Himmah/Fathoni Abdul Mukti

Editor Narasi: Monica Daffy

Swara Owa: Menyelamatkan Owa Jawa dengan Mengalihkan Kegiatan Perburuan Ekstraktif menjadi Ekonomi Produktif

“Salah satu hal yang kita lakukan sampai sekarang adalah bagaimana mengalihkan kegiatan ekstraktif perburuan ini dengan kegiatan ekonomi produktif, ini yang kita lakukan untuk beberapa lokasi di Petungkriyono.”

Himmah Online–Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata endemik yang terancam punah. Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), Owa Jawa masuk ke dalam daftar merah dengan kategori endangered (terancam).

Primata yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pepohonan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya, Owa Jawa menjadi penyebar alami biji buah yang ia makan sehingga dapat menumbuhkan pohon baru untuk menunjang kesehatan hutan.

Selain itu, Owa Jawa merupakan hewan yang setia. Jika salah satu pasangannya mati, ia tidak akan mencari pasangan baru. Karena itu, populasi Owa Jawa sulit berkembang.

Primata endemik Pulau Jawa ini masuk ke dalam satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, populasi Owa Jawa hanya tersisa sekitar 2000-4000 ekor yang tersebar di beberapa kawasan konservasi dan hutan lindung di Jawa Barat dan sebagian kawasan hutan lindung di Jawa Tengah.

Berdasarkan buku “Bioekologi dan Konservasi Owa Jawa”, ancaman terbesar yang didapatkan oleh Owa Jawa berasal dari kerusakan habitat dan perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan.

Minimnya populasi dan tingginya ancaman terhadap keberadaan Owa Jawa tersebut mendorong lahirnya Swara Owa, sebuah yayasan yang melakukan konservasi di Hutan Sokokembang, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.

Reporter himmahonline.id berkesempatan mewawancarai Arif Setiawan sebagai Project Director Yayasan Swara Owa. Selama kurang lebih 40 menit, kami menanyakan awal mula lahirnya Swara Owa, upaya yang telah dilakukan dalam kegiatan konservasi dan pelestarian Owa Jawa, hingga tantangan yang akan dihadapi ke depannya.

Pria yang akrab disapa Wawan tersebut kami temui di Owa Coffee yang terletak di Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Senin (18/07).

Sejak kapan Yayasan Swara Owa berdiri?

Secara official legal hukum itu, kita tahun 2017 dapat status yayasan dari Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Tapi sebelum 2017, sebenarnya project atau kegiatan kita sudah mulai dari tahun 2006, itu penelitian, fokus di primata di Jawa. Nah, 2012 kita mulai project kopi dan konservasi primata yang (menjadi) cikal bakal Swara Owa.

Apa yang melatarbelakangi lahirnya Swara Owa?

Swara Owa itu visinya kita ya pengen menyuarakan kelestarian Owa, dan latar belakangnya memang dari jenis primata yang terancam punah di Jawa, Owa Jawa itu. Itu yang jadi inspirasi kita.

Dari banyaknya spesies yang ada di Jawa, mengapa memilih Owa Jawa?

Nah kenapa kita ambil Owa, karena bisa dikatakan jenis Owa ini tidak semua tempat ada. Hanya ada di tempat-tempat tertentu, ia habitatnya juga spesifik di kondisi hutan yang masih alami. Jadi tidak semua hutan itu bisa (menjadi) tempat hidup Owa.

Kenapa kita pilih Owa, karena biasanya kalau ada Owa, semua primata yang lain ada. Jadi ini bisa jadi salah satu indikator spesies juga, atau bisa kita istilahkan umbrella species gitu, jenis yang memayungi yang lain. Atau flagship (spesies yang khas) juga, karena ini (Owa Jawa) karakteristiknya ya unik dan hanya ada di Jawa.

Terus ia juga punya peran penting dalam ekologi sebagai penyebar pohon-pohon hutan alam. Jadi ia pemakan buah, terus salah satu fungsi Owa di hutan ya itu, menyebarkan biji-biji pohon hutan, membantu regenerasi hutan secara alami. Nah itu kenapa kita pilih Owa, karena dia bisa jadi indikator kesehatan hutan, kurang lebih seperti itu.

Mengapa kegiatan konservasi difokuskan di Hutan Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan?

Kenapa pilih di Petungkriyono, karena waktu itu, hasil penelitian kita menunjukkan bahwa populasi Owa di Jawa Tengah di situ paling padat. Dan ancamannya termasuk tinggi karena bukan kawasan yang dilindungi, bukan kawasan konservasi, jadi orang bisa kemanapun masuk tanpa ada pengawasan.

Nah kita pilih lokasi tertinggi populasinya dan  ancamannya tertinggi, di situ kita pilih Petungkriyono.

Apa saja yang telah dilakukan Swara Owa untuk konservasi Owa Jawa?

Kalau ditanya konservasi ya, mulai dari penelitian, edukasi juga ada, yang lebih kita tekankan sekarang melibatkan warga sekitar hutan itu untuk menjaga hutan seperti apa, melalui peningkatan ekonomi sekitar hutan masyarakat sekaligus mendukung upaya pelestarian itu sendiri.

Nah itu yang kita lakukan di sini, jadi ya penelitian ada, edukasinya setiap tahun kita bikin acara short course atau pelatihan, jadi khusus meningkatkan regenerasi peneliti primata lah, seperti itu.

Jadi kita punya kelas khusus untuk mahasiswa yang tertarik penelitian Owa dan primata, nah kita sudah ada pelatihan khusus tentang itu. Terus kemudian kalau community development ya bagaimana menambah nilai dari produk-produk hutan yang ada di sana, itu yang kita lakukan.

Dari mana dana yang didapatkan Yayasan Swara Owa sehingga mampu melaksanakan kegiatan konservasi?

Oke, dana ini sebenarnya cukup penting dalam sebuah gerakan pelestarian alam di Indonesia, dan kita sendiri juga masih terbatas dengan hal ini.

Saat ini kita punya donatur tetap yang berdonasi untuk kegiatan ini, salah satunya ada dari Mandai Nature, itu di Singapura. Terus ada kebun binatang di Amerika, Fort Wayne Children’s Zoom, itu kebun binatang yang punya Owa Jawa juga.

Terus di Ostrava, Republik Ceko, itu donatur tetap kita yang tiap tahun ngasih donasi lah untuk kegiatan. Ada yang kita membuat proposal juga ada, dikirim ke beberapa lembaga seperti Mandai Nature, itu kita kirim proposal.

Mulai tahun 2014, kita mencoba mandiri dalam pendanaan, dan ini yang jadi concern kita saat ini, bagaimana kegiatan kita juga bisa memperoleh dana sendiri selain dari donatur dan membuat proposal.

Ada beberapa produk hutan, misalnya ada Kopi Owa, ini yang kita gunakan untuk fundraising atau sumber pendanaan. Banyak, ada kopi, ada madu, ada gula aren, kita juga bikin merchandise dan buku.

Kendala yang dijumpai selama melakukan konservasi?

Kalau di lapangan ya pasti kendala ada ya. Jadi memang kita mungkin keterbatasan resource misalnya. Ada beberapa warga sekitar hutan itu pengen, ‘Oh ini saya pengen mengolah ini [hasil hutan]’, tapi kita kan enggak tau caranya, enggak tau ahlinya siapa. Sementara kita sendiri background-nya dari peneliti semua.

Jadi kadang hal-hal yang di luar pengalaman kita itu yang benar-benar harus kita improvisasi dan mencari solusi yang praktis itu seperti apa. 

Kalau di lapangan asyik aja. Tapi ya memang komunikasi dengan orang di sekitar hutan itu yang harus kita bangun. Kalau enggak intens, hanya ketemu sekali terus baru tiga bulan datang lagi ya itu kendala. Akan jadi masalah nanti, komunikasinya gak lancar gitu. 

Tapi saya dan teman-teman mencoba kalau berkunjung enggak hanya saat kegiatan project, tapi urusan sehari-hari juga kita sering ke sana. Jadi itu, masalah komunikasi aja sebenarnya.

Bagaimana kondisi perburuan Owa Jawa saat ini?

Kalau bisa dibilang menurun, iya. Tapi belum berhenti seratus persen. Seperti kegiatan-kegiatan semacam penegakan hukum sudah banyak dilakukan oleh instansi pemerintah dan di level paling bawah.

Misalnya, kita ada Owa yang dipelihara pasti kita lapor ke yang berwenang, seperti polisi atau Polhut (Polisi Kehutanan) pasti akan direspon, dan itu juga ada dampaknya sebenarnya, bagus.

Perburuan untuk Owa sendiri yang sampai sekarang masih terjadi ya karena untuk binatang peliharaan karena anaknya lucu, seperti bayi kan. Perburuan Owa biasanya untuk diambil anaknya ini.

Nah untuk ambil anaknya ini, biasanya harus membunuh induknya. Jadi karena anaknya yang masih kecil itu dari 0-3 tahun itu akan selalu digendong, dia enggak bisa kayak langsung jalan sendiri. Owa ini kan kera, kera itu ya hampir sama dengan manusia, evolusinya itu sudah hampir seperti manusia. 

Jadi untuk mendapatkan anak ini bisa dikatakan membunuh satu keluarga Owa, dan ini masih terjadi karena ini hutan di Jawa Tengah terutama, kan enggak ada kawasan konservasinya. 

Sebaran Owa ini semua sangat terbatas sekali perlindungannya, dan orang bisa masuk karena enggak ada jalur patroli khusus. Orang bisa masuk ke hutan dari manapun. Nah ini yang mungkin masih terjadi.

Bagaimana Swara Owa mengedukasi para pemburu di sekitar Hutan Petungkriyono?

Salah satu hal yang kita lakukan sampai sekarang adalah bagaimana mengalihkan kegiatan ekstraktif perburuan ini dengan kegiatan ekonomi produktif, ini yang kita lakukan untuk beberapa lokasi di Petungkriyono.

Awalnya, kita berkomunikasi baik dengan para pemburu itu. Karena saat awal-awal kegiatan, kita memang butuh orang yang tahu hutan itu. Pemburu itu sebagai guide (pemandu) penelitian kita, untuk survei kita. Tapi secara tidak langsung, ini menjadi salah satu pendekatan kita untuk mengalihkan pekerjaan berburu.

Jadi mereka kita gunakan pengetahuannya, pengalamannya untuk ke hutan, tapi tidak dengan memburu, melainkan dengan menjadi penunjuk jalan di hutan untuk penelitian dan identifikasi pohon. Untuk lokasi yang banyak (Owa Jawa) ini kan pemburu tau semua, dari situlah muncul kegiatan yang lebih produktif. 

Selain membantu penelitian, kita coba mencari pekerjaan apa yang sebenarnya terkait dengan hutan, terkait dengan Owa. Tapi  bisa jadi alternatif mata pencaharian untuk mereka. 

Salah satunya ketemu dengan beberapa produk hutan yang sebenarnya itu punya nilai ekonomi, nilai jual yang baguslah di pasar. Kita berangkat dari situ.

Ini yang kita coba dorong beberapa komoditi yang sekitar hutan itu untuk dikelola. Kalau itu sudah diapresiasi oleh orang dari luar, otomatis pemburu-pemburu ini akan berhenti berburu karena sudah ada pekerjaan, sudah ada sumber ekonomi.

Respons para pemburu?

Penolakan pasti ada, karena itu sudah jadi kegiatan yang dilakukan sejak lama. Namun, kita punya cara bagaimana berkomunikasi dengan mereka, lalu solusi apa yang sebenarnya bisa kita peroleh kalo berhenti berburu.

Ini masalah perut gitu kan, kalau orang belum makan ya gimana mau kita ajak menyelamatkan Owa Jawa. Simpelnya seperti itu bahasanya, ya pelan-pelan lah. Kita harus bisa membuktikan kalau misalkan enggak berburu, apa yang menghasilkan kegiatan untuk ekonomi.

Terkait kegiatan perdagangan Owa Jawa, bagaimana Swara Owa menanggulangi hal tersebut?

Karena ini rantainya kadang juga kompleks, kita berfokus bagaimana warga ini selain tinggal, juga sebagai ‘polisi diri’. Nilai penting keberadaan Owa di kandang atau dipelihara di hutan ini seperti apa. Nah, ini yang kita tekankan pada warga kenapa harus menjaga Owa.

Misalnya banyak orang, tamu-tamu dari luar, pengen lihat Owa. Mereka bisa merasakan manfaat Owa itu dari misalkan turis yang melihat Owa. Dia dapat manfaat ketika turis menginap di kampung, ada guide yang digunakan apa membantu pengamatan.

Nah, ini salah satu solusi kita untuk mengatasi hal itu. Jadi, bagaimana supaya warga ini juga merasakan nilai manfaat keberadaan Owa Jawa.

Apakah Swara Owa juga melakukan konservasi terhadap ekosistem tempat tinggal Owa Jawa tersebut?

Nah, ini lebih kalau ekosistem itu mungkin lebih luas lagi ya dari tatanan spesies. Jadi, upaya kita memang ini konservasi pelestarian spesies ini ya memang kita harus melibatkan, meng-include dan memasukkan secara keseluruhan ekosistem itu, atau bisa dibilang landscape

Mulai dari level ketinggian bawah sampai pegunungan. Karena ini satu rangkaian dan sebenarnya kalau di Petungkriyono itu kawasan tangkapan air juga untuk kawasan di bawahnya.

Ekosistem yang luas pasti akan banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan melestarikan itu dan kita juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dengan pihak-pihak terkait untuk yang ngajak sama-sama menjaga dalam level yang lebih luas lagi. Landscape lah istilahnya. 

Tidak hanya di Petungkriyono, tapi sudah melibatkan banyak pihak, banyak dinas, banyak kepentingan di sana kan. Ini yang coba kita dorong juga di sana.

Kerja sama apa yang dilakukan Swara Owa dengan organisasi atau instansi lain dalam konservasi Owa Jawa ini?

Salah satu yang kita tempuh di Petungkriyono ini adalah mendorong terbentuknya satu pengelolaan bersama. Kolaboratif pengelolaan hutan secara bersama-sama dengan banyak pihak yang terkait di sana. 

Bagaimana menerapkan pembangunan yang kira-kira bisa dikatakan ramah terhadap hutan, ramah terhadap Owa. Pihak-pihak ini kita dorong untuk menerapkan kebijakan yang melindungi hutan Owa itu.

Kondisi Owa Jawa di Petungkriyono apakah bisa dikatakan cukup baik dibanding daerah lain?

Kalau dari hasil penelitian kita di seluruh Dieng ini ada 800 individu Owa Jawa itu tahun 2012. Mungkin sekarang ada perbedaan lagi, mungkin ini juga lagi disurvei ulang, tapi hasilnya belum ketemu. 

Tapi dari tren apa yang kita amati di Sokokembang sendiri yang kita fokus ke sana, populasi bisa dibilang relatif stabil. Jadi dari awal yang kita sebut survei tahun 2012 sampai terakhir kita lakukan 2021 itu bisa dikatakan stabil lah, ada kenaikan ada turun gitu, tapi relatif stabil untuk populasi. 

Dari satu kepunahan inikan bisa disebabkan banyak faktor, misalnya kondisi fisik hutannya. Misalnya semakin sempit, semakin berkurang kualitasnya. Mungkin eksternal ada perburuan dan lain-lain.

Ini yang mungkin bisa terjadi, karena ini kawasan Petungkriyono kan kawasan berkembang. Jadi banyak kegiatan atau aktifitas yang sedang dibangun di sana. Salah satunya wisata.

Pasti ada dampaknya ke populasi, apalagi kalau kita tidak hati-hati ke depan akan jadi seperti apa di Petungkriyono. Misalnya wisatanya apa ada yang wisata massal atau mau dibuka semua untuk tempat selfie itu otomatis akan hilang hutannya. Nah, ya ini yang jadi tantangan ke depannya, itu bisa jadi mempercepat kepunahan kalau enggak hati-hati.

Apa pesan Swara Owa kepada masyarakat dan pemerintah untuk mendukung upaya konservasi Owa Jawa?

Secara umum, Owa Jawa itu bisa dikatakan identitas kita juga sebenarnya. Kita dikenal negara lain, kita dikenal oleh orang lain ini tuh tidak hanya karena kita dari mana, tapi juga karena spesies itu sendiri, Owa Jawa itu ya hanya ada di Jawa.

Kita jaga identitas kita selain dia punya peran penting juga di hutan. Keberadaan Owa ini seharusnya bisa jadi nilai tambah untuk apapun yang ada di sana. Tidak hanya produk hutan, tapi juga wisata misalnya. 

Menjaga Owa Jawa di habitat aslinya, kita pasti akan memperoleh nilai tambah secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik, karena ini identitas kita.

Itu salah satu contoh saja hal yang sebenarnya masing-masing dinas-dinas punya peran penting juga untuk mempertahankan hutan dan Owa Jawa.

Reporter: Himmah/Farah Azizah, Firly Prestia Anggraeni, Muhammad Mufeed Al Bareeq, Nisa Widi Astuti

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati