Beranda blog Halaman 24

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM oleh Aliansi Rakyat Bergerak di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta

Massa aksi Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan long march sembari membawa spanduk penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jalan Mataram, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Rabu (07/09). Foto: Himmah/Pranoto
Massa aksi Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, guna menyampaikan aspirasi penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pada Rabu (07/09). Foto: Magang Himmah/Fahrur Rozi
Salah satu massa aksi Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) sedang berorasi menolak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (07/09). Foto: Magang Himmah/Fahrur Rozi
Beberapa massa aksi membawa poster penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sembari meneriakkan aspirasi penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), di depan gedung DPRD DIY, pada Rabu (07/09). Foto: Himmah/Fahrur Rozi

Massa aksi mulai membakar ban di depan pagar pintu masuk gedung DPRD DIY sebagai wujud protes atas kenaikan harga BBM, pada Rabu (07/09). Foto: Magang Himmah/Fahrur Rozi

Salah satu massa aksi memadamkan api di depan pagar pintu masuk gedung DPRD DIY, pada Rabu (07/09). Foto: Himmah/Pranoto

Massa Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM, ARB: Solusi BLT Dinilai Tidak Tepat

Himmah Online, Yogyakarta — Berbagai organisasi di Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan demonstrasi penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, pada Rabu lalu (07/09).

ARB yang melayangkan beberapa tuntutan, terlebih penolakan kenaikan harga BBM, menilai langkah pemerintah mengalihkan dana subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (BLT) merupakan kebijakan yang tidak tepat.

Harusnya bisa memberikan alternatif-alternatif lain selain bantuan subsidi BLT …. Karena sifat bantuan-bantuan itu hanya sementara dan empat bulan sekali, gitu. Itu nggak bisa untuk memakmurkan masyarakat,” ujar Y selaku humas ARB.

Salah satu perwakilan organisasi yang tergabung dalam ARB pun menyampaikan alasan pemerintah dalam menaikkan harga BBM tidak logis.     

“Pertama, kenaikan harga BBM ini dengan alasan pemerintah karena kenaikan harga minyak dunia. Tapi sekarang harga menurun, jadi alasan yang diberikan oleh pemerintah itu tidak logis,” ungkap Mawar, salah satu massa aksi dari Serikat Pembebasan Perempuan.

Sejumlah mahasiswa di Yogyakarta juga tergabung dalam ARB, selain dari beberapa organisasi di Yogyakarta seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Serikat Pembebasan Perempuan.

“Kegiatan hari ini adalah aksi responsif atas permasalahan di Indonesia, terkhususnya adalah BBM, kenaikan BBM bersubsidi dan BBM yang lainnya,” ujar Haidar Albana (21), salah satu orator dari Universitas Ahmad Dahlan.

Kemudian, Haidar menyampaikan bahwa aksi ARB kali ini harapannya dapat menjadi pemantik bagi aksi yang berkelanjutan, sehingga persatuan masyarakat sipil dari berbagai elemen pun dibutuhkan.

“Itu menandakan bahwasanya persatuan [masyarakat] sipil itu dibutuhkan hari ini … elemen-elemen masyarakat bukan hanya mahasiswa, tapi ada tukang becak, ada petani, ada nelayan … untuk kita membuat sebuah gelombang besar,” ucapnya.

Sejalan dengan itu, Mawar juga menyampaikan bahwa respons pemerintah akan menjadi pertimbangan aksi kemudian hari.

“Fungsi dari aksi ini untuk mendesak pemerintah. Ketika itu tidak didengarkan atau tidak diwujudkan, maka akan dilakukan aksi kembali …. Satu suara untuk menolak kenaikan harga BBM,” tuturnya.

Namun, pihak ARB mengakui bahwa teknis lapangan (teklap) gerakan aksi ini belum tersampaikan ke semua kalangan. Namun, harapannya dapat menjadi tahapan awal untuk membangun gerakan di Yogyakarta yang akan diteruskan hingga tingkat nasional.

“Karena baru terkonsolidasikan [belum ke] semua, [melainkan baru] ke beberapa kampus …. Ini kemudian akan kita dorong agar aksi secara bersama dan serentak dengan kawan-kawan nasional,” ungkap Muhammad, humas ARB.

Pedagang menyampaikan bahwa mereka merasakan dampak dari kenaikan harga BBM, utamanya harga barang-barang sembako yang ikut naik.

“Dampaknya, sih, banyak, kita beli barang-barang sembako atau barang [dan] bahan yang buat jualan rata-rata udah naik semua, kisaran dari 1.500 sampai 2.000 [Rupiah],” ujar Triyono (38), salah satu pedagang yang berada di Jalan Malioboro.

Ia juga berpandangan bahwa kebijakan ini berdampak pada pendapatan yang makin sulit.

“Kita ‘kan jualnya tetap sama … dari pendapatnya [penghasilan] ‘kan udah berkurang, ditambah lagi beban semuanya mahal. Kalau musim sekarang [kenaikan BBM] susah [untuk menaikkan harga]. Orang ‘kan rata-rata ‘kan ekonominya agak susah semua,” imbuhnya.

Triyono sendiri mengaku setuju dengan demonstrasi yang dilaksanakan. Menurutnya, penyampaian aspirasi sudah bagus. “Coba kalau di Yogyakarta banyakan kompak, pasti suara dapat [lebih] didengar,” pungkasnya.

Reporter: Magang Himmah/Jalaluddin Rizqi Mulia, Muhammad Fahrur Rozi, Himmah/Supranoto, Muhammad Kholiqul Ikmal

Editor: Nadya Auriga D.

Merawat Keberagaman dan Persatuan di Dunia Maya

0

Revolusi Industri 5.0 menuntut kita untuk terus bergerak serta beradaptasi. Ketika saya kecil, doktrin dari orang dewasa kala itu adalah bahwa dunia dibagi menjadi dua. Pertama dunia nyata yang saat ini kita tempati sekaligus tempat berinteraksi dengan manusia lainya, kedua dunia akhirat yang akan menjadi lahan kehidupan setelah hari akhir tiba. Rasa-rasanya doktrin itu mulai bergeser, yakni kehidupan kita terbagi antara dunia nyata dan dunia maya. Maka tidak heran jika kakek-nenek, remaja, bahkan balita sudah dikenalkan dengan smartphone bukan smart people ala Deddy Corbuzier.

Patut disayangkan ketika masyarakat Indonesia berbondong-bondong melakukan life and work transformation dari dunia nyata menuju dunia maya, tetapi tidak dibarengi dengan human transformation. Hal itu menjadi penting mengingat ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap media sosial sangat tinggi. Lembaga survei global Ipsos for Reuters News merilis temuannya bahwa pengguna media sosial masyarakat Indonesia adalah yang tertinggi di antara 24 negara dan menyumbang persentase 83%, menyisihkan China dan India.

Di tengah euforia dunia maya, saya akan mengajak melakukan kilas balik terhadap dinamika dunia maya. Ketika masih bekerja di Semarang awal 2017, saya pernah mengikuti kegiatan kajian dakwah. Hampir 95% jamaah adalah anak muda, bahkan anak muda yang populer termasuk didalamnya. Beriringan dengan itu 80% jamaah aktif melakukan dakwah di media sosial, termasuk forum kajian juga melakukan live streaming tentu untuk menjangkau kalangan yang lebih luas.

Saya aktif menjalin komunikasi sekaligus mengikuti perkembangan media sosial beberapa jemaah yang sudah saya kenal. Di sinilah naluri pikiran saya merasakan kejanggalan karena konten dakwah yang disebarkan bernada provokatif. Belakangan saya ketahui bahwa afiliasi komunitas ini adalah Jemaah Islamiyah, yakni gerakan bawah tanah yang menjadikan barat sebagai musuh dan tentu kita bisa menebak komunitas ini mencita-citakan negara apa? Jelasnya bukan negara demokrasi.

Kebalikan dari peristiwa di atas, banyak masyarakat yang terhipnotis dengan supremasi kaum nasionalis populisme, yakni orang-orang berpengaruh yang serampangan dalam menerjemahkan sikap nasionalisnya. Hal itu justru menggiring opini publik menuju diskriminasi rasial. Salah satu contohnya adalah xenophobia. Menurut Cambridge Dictionary, xenophobia adalah ketakutan atau ketidaksukaan terhadap orang asing, adat istiadat, agama, dan lain-lain.

Fenomena xenophobia seringkali menyasar warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa. Salah satu penyebabnya yaitu kebijakan presiden Soeharto, misalnya pelarangan etnis Tionghoa menjadi anggota TNI, melarang tulisan Mandarin di Indonesia, menutup sekolah-sekolah Tionghoa, dan pekarangan melakukan kegiatan keagamaan selain di lingkungannya sendiri.

Warisan Orde Baru, seperti ini pada akhirnya membentuk sikap diskriminasi sejak dalam pikiran. Masyarakat menjadi sulit membedakan antara WNI etnis Tionghoa dan Tiongkok sebagai negara. Ketidaktahuan masyarakat seperti ini yang sering dimanfaatkan oleh kaum nasionalis populisme untuk menyerukan kebencian terhadap etnis asing yang dianggap bukan etnis asli Indonesia.

Akhir-akhir ini kita sering dijamu politik SARA oleh penduduk dunia maya. Sebutan populer dari warganet yaitu buzzer atau seseorang yang aktif menyuarakan pendapatnya dengan identitas pribadi atau identitas yang disembunyikan guna menyatakan suatu kepentingan di media sosial.

Buzzer dibutuhkan untuk mendukung opini seseorang atau sekelompok orang dengan suara yang sama guna mempengaruhi pengguna media sosial lainya. Pasukan buzzer ini terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu pro-pemerintah dan kubu oposisi. Bagaikan kisah Uni Soviet dan Amerika serikat, para buzzer juga terlibat perang dingin di media sosial.

Tentu kita semua ingat dengan orkestrasi Pilpres 2014 antara Jokowi-Jusuf Kalla melawan Prabowo-Hatta dan 2019 antara Jokowi-Ma’ruf melawan Prabowo-Sandi. Dalam konteks ini, politik SARA seringkali menjadi amunisi untuk saling menyerang dan menjatuhkan.

Penduduk dunia maya seolah-olah lupa bahwa integritas, kapabilitas, dan kinerja adalah indikator umum untuk menilai seorang calon presiden. Hal ini dapat kita lihat dari isu radikalisme, intoleran, komunisme, liberalisme serta multikulturalisme seringkali menjadi trending topic di media sosial.

Panasnya pertarungan politik, kurang cermatnya pengguna media sosial, ditambah perang dingin antar buzzer berdampak pada munculnya sentimen politik berbasis agama dan etnis di kalangan masyarakat Indonesia.

Dari dua persoalan di atas, dapat kita simpulkan peran media sosial begitu besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Saya sepakat bahwa golongan ekstrimis beragama masih ada, dan mereka satu langkah lebih maju dalam menyebarkan pahamnya, yakni dengan memanfaatkan media sosial. 

Besarnya pengguna media sosial di Indonesia seharusnya menjadi modal awal untuk mendorong penyebaran konten anti-kekerasan, nilai-nilai toleransi, solidaritas kemanusiaan, sekaligus integritas bernegara. 

Pemuda yang sadar akan hal ini harus mengambil peran untuk melakukan transformasi ini, jangan sampai peran ini diambil alih oleh pasukan buzzer. Jika peran ini diambil pasukan buzzer yang terjadi adalah perkawinan politik SARA. Perkawinan ini akan melahirkan polarisasi dan perpecahan didalam masyarakat Indonesia. Disaat dunia bergerak menuju Revolusi Industri 5.0, akankah kita terus terjebak di lingkaran setan?

Akhir kata, yang saya maksud dengan merawat keberagaman dan persatuan di dunia maya yakni kita harus membangun ekosistem dunia maya yang lebih humanis. Salah satu caranya dengan melakukan human transformation. Human transformation yang saya maksud adalah melakukan perubahan pola pikir dan perilaku manusia dalam memanfaatkan teknologi digital dengan menyuarakan semangat toleransi, keberagaman dan persatuan di dunia maya. Hal ini penting dilakukan guna melawan isu SARA dan isu penebar kebencian yang telah dikonsolidasikan dengan rapi oleh buzzer dan kelompok kelompok garis keras dalam beragama.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id. 

Jokpin dan Bagaimana Kita Melihat Angkringan, Rumah, dan Kesepian

Judul: Sepotong Hati di Angkringan

Penulis: Joko Pinurbo

Penerbit: Diva Press

Terbit: 2021

Tebal: 80 Halaman

ISBN: 9786232933163

Lanskap kota Yogyakarta seperti menjadi atribut yang tidak bisa kita pisahkan dari sajak-sajak Joko Pinurbo. Kita mengenal kalimat terkenal itu datang dari petikan sajak Jokpin (panggilan Joko Pinurbo), bahwa “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”.

Maka kita juga bakal tidak terkejut saat tahun 2021, Jokpin hadir kembali dalam dua buah buku puisi: Sepotong Hati di Angkringan (Diva Press, 2021) dan Salah Piknik (GPU, 2021). Keduanya diterbitkan dalam kurun waktu tak berjauhan. Salah satu di antaranya, yaitu Sepotong Hati di Angkringan, kita pun bisa mendapati nuansa “Kota Pelajar” itu dalam sejumlah puisi-puisi di dalamnya.

Namun, kita mendapati perbedaan dari buku-bukunya terdahulu. Dalam puisi-puisinya itu, selain menampilkan kota Yogya dengan segala keunikannya, Jokpin juga merekam sekian hal yang berhubungan dengan situasi pandemi saat ini. 

Perihal kota Yogyakarta, kita mafhum mendapati penggambaran itu dalam puisi yang dijadikan judul buku ini. Jokpin menampilkan paradoks kisah cinta dengan latar sebuah angkringan. Keduanya melebur dalam satu bait puisi yang menggelitik perut sebab mengandung kekocakan, sekaligus menyentil jiwa-jiwa muda yang mengakrabi kisah cinta.

Kita cerap petikannya yang berbunyi begini:

Pada suatu malam yang nyamnyam/ kau menemukan sepotong hati yang lezat/ dalam sebungkus nasi kucing. Kau mengira/ itu hati ibumu atau hati kekasihmu. Namun,/ bisa saja itu hati orang yang pernah kausakiti/ atau menyakitimu. / Angkringan adalah nama/ sebuah sunyi, tempat kau melerai hati,  /lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi. (Sepotong Hati di Angkringan, hal. 23)

Dari puisi itu, Jokpin memulainya dengan satu baris yang memainkan suara, yang bisa kita duga menggambarkan malam yang asyik dengan obrolan dan kunyahan lezat pengunjung angkringan. Situasi itu menjadi simbol kota Yogyakarta yang komunal, bawah di setiap tempat, terlebih angkringan menjadi latar berkumpul untuk berdiskusi atau sekadar bercengkraman menghabiskan malam.

Lalu, di baris berikutnya kita mendapati hentakan yang bisa diduga sebagai ingatan atau kerinduaan atas seseorang. Kita bisa membayangkan seseorang ketika tengah berada dalam situasi angkringan yang ramai. Bayangan itu tahu-tahu menyeruak dalam pikiran kita.

Namun, Jokpin langsung menandaskan bahwa itu sesuatu yang wajar di tempat-tempat tertentu, terutama di angkringan. Sebab, ingatan akan sesuatu kerap kali tidak mengenal tempat. Jokpin pula memberi petuah yang sedikit menenangkan dengan dua baris terakhirnya, bahwa situasi komunal yang tergelar di angkringan bisa melerai bayangan menyakitkan dan sepi dalam diri kita.  

Masih soal Yogyakarta dan kesepian, Jokpin menggambarkan satu puisi yang melekatkan citra pengarang sebagai sesuatu yang jamak kita dapati di kota tersebut. Ia seperti tengah menggambarkan dirinya yang tiba di fase macet di depan laptop. Kata-kata sulit terangkai, ide mandek, dan saking tak kuatnya, kita cuma bisa meratapinya. Gambaran itu yang ada pada puisi yang berjudul “Sajak Sebutir”. Kita cerap lagi satu baitnya yang berbunyi: 

Berjam-jam suntuk di depan laptop/  cuma mendapat sebutir air mata. Ya tidak / apa-apa, disyukuri saja. Ia akan tumbuh menjadi / sebongkah doa: siap ditempa dalam derita. (Hal. 29)

Dengan pemilihan kalimat yang tak terduga, Jokpin memberi petuah mengenai diri yang mesti siap menghadapi berbagai macam derita, seperti saat pekerjaan kita tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya. Ia seolah memberi tepukan pada punggung kita, bahwa hal-hal yang kita pandang sebagai nestapa baik yang dihadirkan dari perasaan sepi saat di angkringan, ataupun saat kita mendapati kemandekan dalam pekerjaan, kita senantiasa memperolah cara lain untuk melewatinya. Kata syukur dan melihat dengan kacamata yang berbeda menjadi hal yang ingin ditunjukkan oleh Jokpin. 

Napas serupa juga bisa kita lihat dalam puisi-puisinya yang lain. Terutama, ketika ia mengisahkan situasi terkini saat kita masih berperang melawan pandemi Korona. Jokpin merekam situasi yang kita pernah melakukan work from home, study from home, dan pembatasan sosial yang membuat kita hanya bisa tinggal diam di rumah. 

Kesuntukan yang dirasakan sebagian besar dari kita bisa tertangkap dengan baik oleh kacamata penyair ini. Di tangannya, pandemi korona ini dimaknai sebagai jalan panjang yang tak jelas juntrungan, yang menjebak kita, yang ujungnya tidak kelihatan. Seperti yang dikatakan pada puisi “Jalan Korona” berikut ini: 

Pandemi mengantar kita ke sebuah jalan/ yang dinaungi sepi dan senja. Jalan yang terasa/ jauh dan entah akan sampai di mana, padahal/ hanya berputar-putar di sekitar rumah kita. (Hal. 58)

Namun, dari situasi yang menjebak tersebut, Jokpin memberi pilihan alternatif untuk membuat kita mengusir kesepian dan lebih mengenal diri serta lingkungan sekitar kita. Kita tahu, tidak banyak yang bisa kita lakukan saat sedang di rumah, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri dipagut kesepian. 

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di rumah. Seperti dalam puisinya yang berjudul “Berkenalan dengan Rumah”, Jokpin menyikapi rumah bukan saja sebagai benda mati dan tempat tinggal semata, melainkan juga sebagai entitas hidup yang berisi beragam makna. Pada bait pertamanya, ia mengajak kita mengenali setiap sudut dan bagian dari rumah yang, barangkali, selama ini hanya kita anggap sebagai alat semata. 

Padahal, bisa saja dari sebuah daun jendela, kamar tidur, kursi, atau toilet, tersimpan nilai akan sesuatu hal yang pernah berarti bagi kita. Barangkali, pernah kita menciptakan kenangan manis saat di kamar tidur, atau kursi yang ada di ruang tamu dulu kita beli dari hasil gaji pertama kita, atau daun jendela kamar, pernah ada kucing kesayangan kita yang saban sore duduk asyik di sana. 

Semua hal itu mungkin tampak sepele. Namun, Jokpin mengajak kita mengenali setiap sudut rumah dengan kenangan atau nilai historisnya, sehingga, kita bisa menghadirkan kebermaknaan yang lain dalam hidup kita, terutama saat berada di situasi pandemi sekarang ini. 

Sebab, bagi Jokpin, seperti yang digambarkan pada akhir puisinya bahwa: 

Rumah bukan hanya tempat tinggal. Rumah adalah/ teman seiring seperjalanan sepengembaraan/ sebelum kamu benar-benar mendapatkan rumah. (hal. 60) 

Dia menegaskan eksistensi rumah yang bisa kita pandang bukan sebagai tempat tinggal semata, melainkan sebagai teman yang bersamanya kita pernah berjuang bersama dan melewati banyak rintangan, sebelum kita mendapati rumah (atau peraduan terakhir) dari perjalanan hidup kita sebagai manusia. Ya, patut kita duga, bahwa rumah pada baris terakhir puisi ini merujuk pada rumah atau tempat di haribaan Tuhan, yaitu tempat terakhir kita, tempat yang benar-benar menjadi rumah kita kelak. 

Begitulah Jokpin melihat segala sesuatunya dengan perspektif yang berbeda. Dari rumah, angkringan, meja kerja, dan kesuntukan serta kesepian yang menyertai tempat-tempat itu saat kita berada di dalamnya, Jokpin memberi pemaknaan baru atas hal-hal tersebut.

 Ada optimisme yang coba ditiupkan Jokpin untuk menyikapi situasi sulit yang sedang kita jalani saat ini. Ia sadar kalau pandemi memberi dampak psikologis terhadap masyarakat, sehingga membuat kita kehilangan semangat, merasa pesimis, dan tidak yakin bisa melewatinya atau tidak. 

Namun, lewat puisi-puisinya, Jokpin bukan saja menghadirkan parodi dengan lompatan kata dan kalimat-kalimat tak terduga untuk menghibur kita, melainkan juga meniupkan ruh semangat dan optimisme untuk mensyukuri keadaan, juga untuk meyakinkan diri kita bahwa kita bisa melewatinya.

Seperti pada puisinya yang lain lagi, yang berjudul “Lukisan Natal”, Jokpin meyakinkan kita akan satu optimisme itu dengan: 

Sebuah sunyi/ meledak di tengah pandemi./ Sebuah Indonesia/ sedang dilahirkan kembali. (hal. 75) 

Kita, juga seluruh masyarakat Indonesia, barangkali memang sedang menghadapi kesunyian kita masing-masing. Kendari demikian, momen itu bisa kita pandang sebagai ajang mengenali diri kita, menerima situasi kita, dan menjadi kesempatan untuk melahirkan diri kita yang baru, yaitu kita yang lebih kuat dan tangguh lagi.

Konser Penutupan Pesona Ta’aruf UII 2022

Penampilan Unisi Music Community Universitas Islam Indonesia (UMC UII) sebagai pra-penutup rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022 di Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia (UII), D.I. Yogyakarta, Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Nawang Wulan
Seorang panitia Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, Universitas Islam Indonesia (UII), sedang membuat video dokumentasi dari penampilan grup musik Kotak pada rangkaian acara penutupan PESTA 2022, di Kampus Terpadu, UII, D.I. Yogyakarta, Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Farah Azizah
Para mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) antusias bernyanyi pada rangkaian acara penutupan Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, di Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia, D.I. Yogyakarta, pada Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo
Salah seorang mahasiswi baru (miba) diajak bernyanyi bersama Tantri dari grup musik Kotak di atas panggung Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, di Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia, D.I. Yogyakarta, pada Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo

Flash ponsel pintar para mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) menghiasi suasana penutupan Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, di Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia, D.I. Yogyakarta, pada Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo

Anak dari salah satu personel grup musik Kotak turut memeriahkan acara penutupan Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, di Kampus Terpadu, Universitas Islam Indonesia, D.I. Yogyakarta, pada Sabtu (20/08). Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo

Pengenalan UKM, LEM, dan LK Dianggap Kurang Efektif

Himmah Online, Kampus Terpadu–Pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), dan Lembaga Khusus (LK) di hari ketiga Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (PESTA UII) 2022 pada Sabtu (20/08), dianggap kurang efektif. Beberapa pihak menyebutkan bahwa ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh waktu yang diburu-buru.

“Diburu-buru banget, baru lihat sebentar (red–mahasiswa baru) sudah disuruh udahan sama wali jamaahnya karena di belakang sudah pada nunggu (jamaah lainnya),” ungkap Aurellia Wira Anindya selaku Kepala Bidang SDM Marching Band UII. 

Aurellia menambahkan bahwa dari Marching Band sendiri sudah menyiapkan beberapa alat musik sebagai salah satu media untuk lebih mengenalkan Marching Band kepada mahasiswa baru (maba). Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu

Ia juga menyayangkan akan ukuran stan yang kecil sehingga tidak bisa memperlihatkan berbagai alat yang Marching Band miliki.

“Karena ukuran stan yang kecil jadi ada keterbatasan dalam memperlihatkan alat. Jadi, hanya dilihatkan sebagian kecil aja,” tambah Aurellia.

Kurang efektifnya penyelenggaraan expo juga dirasakan oleh PSM Miracle Voice UII. Pengenalan LK dan UKM yang dijadwalkan pada pukul 13.00-15.00 WIB justru telah selesai sekitar pukul 14.30 WIB. 

“Masih ada sisa waktu seharusnya bisa dimanfaatkan lebih lagi, tanpa harus memburu-buru waktu. Mungkin dari mereka (panitia) safety time, tetapi dari kami masih kurang,” keluh Alysia Nurkhalisha selaku Ketua Umum PSM Miracle Voice UII.

Tidak hanya masalah waktu, Alysia juga menyebutkan terdapat hal yang tidak sesuai antara apa yang disebutkan saat technical meeting dan apa yang terjadi di lapangan.

“Saat technical meeting itu katanya panitia bakal nyediain brosur. Tapi H-min berapa jam gitu, ternyata nggak,” tutur Alysia.

Tidak hanya dirasakan oleh pihak UKM dan LK, Sabrina Az Zahra selaku mahasiswa baru (maba) dari Fakultas Hukum juga mengatakan bahwa akan lebih baik kalau mahasiswa baru diberi waktu untuk berbincang dengan pengurus UKM dan LK. Sehingga, informasi bisa lebih tersampaikan.

Sabrina juga menuturkan, bahwa ia kadang tidak sempat untuk meminta brosur karena dari arah depan barisan diminta untuk segera cepat. “Mau minta brosur kadang nggak sempat karena dari depan disuruh cepat biar nggak ketinggalan barisan,” tambah Sabrina

Aurellia juga berharap dengan adanya expo informasi yang ingin disampaikan bisa sampai ke para maba sehingga bisa lebih mengenal dan tertarik dengan UKM dan LK.

“Walaupun informasi yang diberikan kurang, tapi dari kami juga sudah memberikan username IG (red-instagram) supaya maba-miba lebih tertarik,” tutup Aurellia.

Saat diminta keterangan oleh reporter himmahonline.id mengenai tidak efektifnya penyelenggaraan expo, M. Faisal Nur S. selaku Ketua Organizing Committee (OC) tidak merespon pesan yang dikirimkan hingga saat berita diterbitkan.

Reporter: Magang Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari, Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Manajemen Aksi: Mahasiswa sebagai Agen Perubahan

0

Himmah Online, Kampus Terpadu – Maba (mahasiswa baru) Universitas Islam Indonesia (UII) mengikuti kegiatan manajemen dan simulasi aksi dalam rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) pada Jumat (19/08). Urgensi kegiatan manajemen aksi ini tidak lepas dari peran dan fungsi mahasiswa, yaitu agen perubahan.

“Mahasiswa memiliki peran agent of change atau agen perubahan, dengan konsep smart activist atau aktivis cerdas, minimal mahasiswa mengerti dan paham konsep dalam melakukan sebuah aksi,” kata Damar Seno Prabowo selaku Ketua Steering Committee (SC).

Damar menambahkan adanya manajemen dan simulasi aksi dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa, bahwa dalam setiap aksi terdapat mekanisme yang harus dilakukan. Seperti konsolidasi, kajian strategis, dan teknis lapangan.

Pada kegiatan manajemen aksi, setiap tiga hingga empat jamaah maba digabung dan membentuk satu kelompok baru. Total kelompok yang terbentuk yakni 24 kelompok.

Lalu setiap kelompok diberikan satu pemantik yang berasal dari Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) dan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) tingkat Universitas dan Fakultas. Selain itu ada demisioner DPM dan LEM tingkat Universitas.

Materi dimulai pukul 09.45 dan dilaksanakan di sekitar masjid Ulil Albab dan gedung Fakultas Kedokteran, hingga sepanjang jalan humanika (depan gedung FPSB) dan jalan teknika (depan gedung FTSP).

Pukul 10.30 terdapat mobil aksi yang dinaiki oleh beberapa orator dari maba yang dipilih panitia mulai bergerak dan membelah kerumunan di sepanjang jalan humanika dan jalan teknika. Menurut Damar, pemilihan orator dalam simulasi aksi maba upaya melatih teknik public speaking.

Nayla Ilma, salah satu mahasiswi baru Program Studi (Prodi) Ilmu Ekonomi menyampaikan adanya materi manajemen aksi dapat memberikan pemahaman terkait mekanisme aksi. 

“Karena selama ini yang aku tahu, tiba-tiba (massa aksi) udah di jalan gitu ya. Ternyata ada banyak step dan langkah yang harus dilakukan sebelumnya (red–konsolidasi, kajian strategis, dan teknis lapangan),” kata Nayla.

Sementara itu, menurut Irsyad Faradis sebagai maba Prodi Teknik Lingkungan menyampaikan, bahwa selama mendengarkan materi dari pemantik, suara dari pemantik kurang jelas sehingga membuatnya terkendala dalam memahami materi.

“Kalau kendala sih cuma ini (redーpenyampaian materi), suara pemantik kurang keras dan tidak terdengar dengan jelas,” keluh Irsyad.

Nayla juga mengharapkan adanya materi lanjutan seperti materi motivasi yang dapat menggerakkan mahasiswa lain. “Motivasi yang menyadarkan kalau dengan ini kita bisa memberikan perubahan, jadi kita punya semangat yang lebih,” ungkap Nayla.

Reporter: Magang Himmah/Ibrahim, Himmah/Farah Azizah, Siti Tabingah

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

PESTA 2022 Hari Kedua: Pro dan Kontra Berlangsungnya PESTA bagi Maba-miba

Himmah Online, Kampus Terpadu — Di hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022, Jumat (19/08), para mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) masih merasakan suka duka mengikuti rangkaian acara PESTA yang tahun ini terlaksana secara luring di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII).

Mulai dari perasaan senang karena bisa mengikuti OSPEK (orientasi studi dan pengenalan kampus) secara luring dan mendapat wali jemaah (waljam) serta teman-teman yang cepat akrab, hingga tidak kondusifnya acara PESTA.

Seperti menurut Fira Danisswara, salah satu miba Program Studi (Prodi) Farmasi, yang merasa senang karena bisa mengikuti OSPEK secara luring, meski ada beberapa hal yang membuatnya tidak nyaman.

“Perasaan mengikuti ospek offline yang pasti senang. Dukanya (cuaca) panas, jadi tidak kondusif mendengarkan pemateri, karena udah kepanasan jadi kita sibuk ngurusin diri sendiri. Posisi saya di belakang, jadi tambah nggak kedengaran karena jemaah lain yang di depan juga tidak kondusif,” ujarnya.

Fira mengira acara yang berlangsung di lapangan akan ada tenda, atau justru acara berlangsung di ruangan berpendingin udara. Namun, realitanya ia merasa kepanasan saat mengikuti acara talk show di hari pertama PESTA dan tidak bisa fokus mendengarkan materi.

“Ekspektasi saya, tuh, pasti nanti ada tenda atau (acara berlangsung) di ruangan, kayak kelas-kelas biasanya gitu, adem, ber-AC, dan nyaman. …. Eh, ternyata panas, sempit, sumpek, jadi kayak sayang gitu (karena) nggak bisa fokus dengerin materi,” ia menambahkan.

Ada pula Ikma Nur Fa’izah, salah satu miba Prodi Hubungan Internasional International Program (HI IP), teman-teman serta wali jemaah (waljam) yang mudah akrab membuatnya senang selama mengikuti PESTA.

“Senangnya pas OSPEK itu saat pengenalan waljam, karena dapat waljam yang kayak ngajak buat jadi teman gitu. Teman-temannya juga easy going semua, kalau satu ngobrol yang lain ikut nimbrung,” kata Ikma.

Namun, ia menyayangkan hari pertama PESTA yang berjalan kurang kondusif. Mulai dari pemateri yang tidak terlihat, suara pemateri kurang jelas terdengar, hingga kondisi cuaca yang panas menjadi kendala dalam menyimak materi talk show dari depan Masjid Ulil Albab.

“(Maba-miba) yang enak itu, ya, di depan FK (Fakultas Kedokteran), sama yang (berada di) Ulil bagian depan, yang di belakang itu mau gimana pun, ya, nggak bisa kondusif gitu, lo. Mau orangnya serajin apa pun, mau dengerin juga susah. Nggak bisa fokus, orang (cuaca) panas juga ‘kan,” tutur Ikma.

Meski begitu, menurut Ikma, PESTA di hari kedua berjalan dengan lebih baik. Pemberian materi talk show menjadi di dalam ruangan Gedung Kahar Mudzakir dan Gedung Olah Raga (GOR) UII. Hanya pemberian materi di pagi dan sore hari yang dilakukan di luar ruangan.

Ketua Steering Committee (SC) PESTA 2022, Damar Seno Prabowo menyampaikan, tidak dipasangnya tenda selama rangkaian acara PESTA salah satu alasannya karena menyebabkan pembengkakan dana sebab cakupan area yang luas.

“Tratak (tenda) kenapa nggak dipasang, ya, kita (panitia) keterbatasan dana. Jadi, sempat kita ajuin (dana) juga, cuman pas kita ukur luasnya, ‘kan gede banget, tuh, ternyata lumayan (menjadi) bengkak juga (anggaran),” jelas Damar.

Selain itu, konsumsi yang disediakan oleh panitia untuk para maba-miba tidak termasuk camilan, hanya makan siang. Pada hari kedua PESTA, panitia akhirnya menyediakan air minum untuk setiap jemaah.

“Untuk konsumsi memang hanya disediakan makan siang. Oleh karena itu, kami (panitia) menganjurkan para maba-miba untuk membawa snack dan tumbler (tempat minum)  masing-masing,” tutur Damar.

Sebenarnya, telah ada imbauan dari panitia kepada para peserta yang memiliki penyakit bawaan untuk tidak mengikuti rangkaian acara PESTA. Menurut Damar, itu sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kejadian yang tidak diinginkan.

“Namanya acara, pasti ada kendalanya. Kami (panitia) selalu mengevaluasi kendala-kendala yang ada agar dapat lebih baik di hari selanjutnya,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/Fachrina Fiddareini, Farah Azizah, Siti Tabingah

Editor: Nadya Auriga D.

PESTA 2022, Maba-Miba Kepanasan di Panggung Utama

Himmah Online, Kampus Terpadu Pukul 13.10 WIB, terlihat para mahasiswa baru (maba) dan mahasiswi baru (miba) kepanasan di panggung utama, di depan Fakultas Kedokteran saat mengikuti acara talk show di hari pertama Pesona Ta’aruf (PESTA) 2022 pada Kamis (18/08) dengan materi kepemimpinan.

Kondisi maba-miba siang itu terlihat tidak kondusif. Ada yang masih belum selesai melaksanakan ishoma (istirahat, salat, makan); ada yang keluar dari barisan; dan banyak dari maba-miba yang berusaha menutupi tubuhnya di barisan mereka dengan topi, sajadah, payung,  papan nama jamaah, kardus, jas almamater milik wali jamaah mereka, bahkan kantong plastik hitam besar.

Acara talk show kepemimpinan dihadiri oleh dua narasumber yakni Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, Ilya Fadjar Maharika dan Anies Rasyid Baswedan selaku Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pada acara talk show yang diawali oleh narasumber pertama, Ilya, terdapat panitia PESTA dari divisi acara yang berusaha menertibkan maba-miba dengan berteriak agar mereka segera duduk dan tertib di lapangan yang berada di samping Masjid Ulil Albab.

Pukul 13.35 WIB, panasnya cuaca siang itu mulai turun. Meski begitu, masih banyak maba-miba yang menggunakan payung sembari duduk dan mendengarkan talkshow. Lalu, tiba-tiba ada panitia PESTA dari divisi kesehatan yang berteriak untuk meminta jalan. Terlihat ada miba yang terbaring di tandu dengan kondisi kesulitan bernapas dan matanya memerah. Ia lalu dibawa ke kantor Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII.

Ketika sesi talk show yang pertama akan berakhir, ada salah satu maba di depan panggung utama yang berteriak “panas.” Memasuki pukul dua siang, acara talk show dilanjutkan oleh Anies sebagai narasumber kedua melalui telekonferensi Zoom dengan kondisi para maba-miba yang masih menyimak di bawah terik matahari.

Acara talk show pun berakhir pada pukul 14.50 dengan kondisi cuaca yang sudah lebih sejuk dan para maba-miba mulai menyimpan properti yang mereka gunakan untuk melindungi mereka dari sinar matahari.

Respon Maba-Miba terhadap Kondisi Cuaca

Jafier Nadiv Qatrunadha, salah satu maba Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi menyampaikan adanya kegiatan talk show yang dilaksanakan di panggung utama pada waktu siang dirasa terlalu lama dan seharusnya diberikan waktu jeda untuk meneduh.

“Sebenarnya efektif, tapi menurut saya terlalu lama, sih (acaranya). Kalau bisa dikurangi waktunya, (maba-miba) dikasih waktu buat neduh,” keluhnya.

Jafier juga mengatakan bahwa dalam hal menyimak materi talk show, ia merasa kurang fokus dikarenakan panasnya cuaca selama acara berlangsung.

Sementara itu, menurut Khansa Alya Tsabitha, salah satu miba Prodi Pendidikan Dokter, dijemur merupakan hal yang biasa menjadi bagian dari kegiatan OSPEK (orientasi studi dan pengenalan kampus) pada umumnya.

“Sebenarnya kalau ditanya nyaman atau nggak, pastinya kurang nyaman karena panas. Cuman kalau dilihat dari beberapa universitas lain, kayaknya untuk OSPEK panas-panasan, tuh, suatu hal yang wajar gitu, loh. Jadi, walaupun nggak nyaman kita, tuh, tetap merasa seru karena itu termasuk bagian dari acara OSPEK ini, gitu,” kata Khansa.

Ia juga mengharapkan jika besok kegiatan PESTA masih dilakukan di panggung utama dan acara talk show pada siang hari, harapannya akan bisa diganti ke pagi hari. 

“Karena untuk acara pagi tadi, kan, kita di GOR (Gedung Olah Raga), mungkin kalau misalnya diganti jadwal gitu, misalnya mau (acara siang) di lapangan ini dijadikan (ke) pagi hari, terus yang panas kayak tadi dipindah ke GOR, gitu, ditukar jam,” jelasnya.

Saat diminta keterangan oleh reporter himmahonline.id, Naufal Daffa sebagai koordinator Komisi B panitia PESTA yang menjadi perantara dari M. Faisal Nur S. selaku ketua Organizing Committee (OC) menyampaikan, ketua OC sedang tidak bisa melakukan wawancara dikarenakan tengah sibuk dalam mobilitas acara dan melakukan evaluasi kinerja.

Reporter: Himmah/Zumrotul Ina Ulfiati, Alwan Nur Fakhry, Nawang Wulan

Editor: Nadya Auriga D.