Beranda blog Halaman 25

PESTA Kembali Dilaksanakan Luring, Fathul Wahid: Mahasiswa UII sebagai Duta Kampus di Ruang Publik

0

Himmah Online, Kampus Terpadu Setelah dua tahun Pesona Ta’aruf (PESTA) terlaksana secara daring, rangkaian PESTA 2022 kembali diadakan secara luring. Upacara pembukaan PESTA berlangsung pada Kamis (18/08), mulai pukul 07.3009.00 WIB di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

PESTA tahun ini yang mengusung tema “Muda Berkarya, Muda Berdaya, Menyongsong Indonesia Emas 2045” dibuka dengan sambutan oleh Rektor UII, Fathul Wahid.

Ia menekankan dalam sambutannya bahwa ketika para mahasiswa baru telah menjadi mahasiswa UII, mereka akan memiliki stempel baru, yaitu duta UII di ruang publik. Menurutnya, segala hal yang dilakukan mahasiswa UII di ruang publik dengan menggunakan atribut kampus akan langsung diasosiasikan dengan UII. 

“Atribut UII ini mengandung tanggung jawab dan sekaligus membentengi kita dari hal-hal yang tidak layak ataupun tidak patut untuk dilakukan,” tegas Fathul.

Fathul yang mengawali sambutannya dengan sebait pantun untuk memotivasi para mahasiswa baru juga berpesan, mereka sebaiknya menjadi pribadi yang orisinal, yaitu pribadi yang tidak ikut narasi publik dan pribadi yang sanggup menjadi pemikir mandiri.

“Cobalah untuk selalu berpikir beda, menggunakan kacamata lain untuk melihat sesuatu,” jelasnya di depan Fakultas Kedokteran Gedung Dr. Soekiman Wirjosandjojo, di hadapan sekitar 5.000 mahasiswa baru UII.

Ia kemudian menutup sambutannya dengan menyampaikan agar para mahasiswa baru bisa menikmati acara PESTA dengan gembira.

“Nikmati momen PESTA dengan sukacita dan sepenuh hati, maka insyaallah akan banyak manfaat yang akan Anda dapatkan dalam acara ini,” pungkas Fathul.

Di kesempatan yang sama, sambutan juga diberikan oleh M. Faisal Nur S., ketua Organizing Committee (OC); Damar Seno Prabowo, ketua Steering Committee (SC); Rizki Hendrawan, ketua umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII; serta Ahmad Haikal Amran Nasution, ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII.

Peresmian pembukaan secara simbolis menggunakan pemindaian tangan dari Fathul, Faisal, Damar, Rizki, dan Ahmad menjadi puncak acara. Penampilan tari dari Xaviera Unisi juga turut memeriahkan upacara pembukaan tersebut. 

Reporter: Himmah/Muhammad Prasetyo, Magang Himmah/Qafrawi

Editor: Nadya Auriga D.

*Catatan: Terdapat beberapa penambahan isi paragraf dan perubahan letak paragraf. Diperbarui pada Jum’at (19/08/2022) pukul 11.53 WIB.

Kilas Balik Rumah Bersejarah dalam Peristiwa Rengasdengklok

Himmah Online — Djiauw Kie Siong yang merupakan pemilik rumah bersejarah dalam peristiwa Rengasdengklok adalah keturunan Tionghoa yang lahir di Pisangsambo, Karawang, Jawa Barat, pada tahun 1880. Ia tergabung dalam tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pekerjaannya sebagai petani dan penjual bambu. Djiauw mendirikan rumah pada tahun 1920 di pinggir Sungai Citarum, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Djiauw Kie Siong hidup bersama istri dan sembilan orang anaknya yang juga menggunakan marga Djiauw.

Tanggal 16 Agustus bertepatan dengan peristiwa penculikan Soekarno-Hatta 77 tahun lalu yang dilakukan oleh golongan muda, yakni Sukarni; Aidit; Wikana; dan Chairul Saleh. Mereka membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sehingga peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Tujuan dari penculikan ini  juga untuk menghindari pengaruh Jepang yang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.

Saat itu, golongan muda awalnya membawa Soekarno-Hatta ke markas PETA Karawang, tetapi dirasa tidak cukup aman dari pengawasan Jepang. Lalu, mereka akhirnya menemukan rumah Djiauw Kie Siong di pinggir sungai yang terlihat lebih aman. Menurut penjelasan Liauw Ching Lan, cucu menantu dari Djiauw Kie Siong, alasan mengapa rumahnya dijadikan tempat persinggahan karena menuju rumah tersebut harus melewati semak-semak belukar dan persawahan. Selama rumahnya digunakan untuk persinggahan Soekarno-Hatta, Djiauw Kie Siong dan keluarganya mengungsi ke rumah sanak saudaranya.

Potret rumah bersejarah dalam peristiwa Rengasdengklok pada tahun 1945 yang terpajang di dekat meja abu. Foto: Himmah/Intan Yuni Triolita

Di rumah Djiauw, golongan muda terus mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, Soekarno-Hatta berusaha menenangkan situasi agar tidak bertindak dan mengambil keputusan dengan gegabah. Kemudian, golongan tua di Jakarta tidak mengetahui bahwa Soekarno-Hatta telah dibawa oleh golongan muda, sehingga para golongan tua segera mencari informasi mengenai keberadaan Soekarno-Hatta.

Ahmad Soebardjo, Jusuf Kunto, dan Sudiro dari golongan tua akhirnya pergi ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno-Hatta. Mereka akhirnya kembali tiba di Jakarta saat tengah malam. Keesokan harinya, tepat pada 17 Agustus 1945 proklamasi diumumkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, dan diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Saat Soekarno-Hatta bersama dengan golongan tua dan golong muda telah kembali ke Jakarta, barulah Djiauw Kie Siong sekeluarga kembali ke rumah. Setibanya di rumah, ditemukan banyak sobekan kertas di lantai. Namun, isi dari sobekan kertas tersebut tidak dibaca ataupun dilihat Djiauw Kie Siong.

Menurut penjelasan dari Liauw Ching Lan yang sekarang menempati dan merawat rumah tersebut, sobekan kertas itu langsung dibakar  dan dibuang abunya ke pekarangan belakang rumah, karena pada saat itu Jepang masih berpatroli di sekitar rumah. Djiauw Kie Siong takut terjadi sesuatu pada keluarganya jika Jepang mengetahui rumahnya telah dijadikan tempat singgah Soekarno-Hatta. 

Kemudian, Liauw Ching Lan menceritakan bahwa di tahun 1957, rumah tersebut diperintahkan untuk dievakuasi karena volume air di Sungai Citarum kian naik dan rawan terjadi banjir. Lokasi pemindahan rumah Rengasdengklok sedikit jauh dari lokasi aslinya. 

Pemindahan Lokasi dan Kondisi Rumah Bersejarah Rengasdengklok

Proses pemindahan rumah dilakukan dengan cara melepas satu per satu bagian papan dinding kayu dan semua rusuk-rusuk bagian rumah. Model bangunan yang semi permanen membuat rumah tersebut dapat dibongkar pasang. Begitu pun dengan lantainya yang bisa dilepas pasang dengan mudah, meski cukup rentan terbelah dan rusak karena material lantai dari batu bata merah yang berlapiskan pasir. Bagian atap dalam rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap bagian luar menggunakan genteng geser.

Saat memijakkan kaki di depan rumah Rengasdengklok, pengunjung disuguhkan dengan banyaknya pepohonan di pekarangan rumah dan tampak rumah yang sederhana. Masuk ke bagian dalam, ada sebuah meja yang disebut meja abu yang digunakan untuk sembahyang kepada leluhur yang sudah meninggal bagi penganut agama Konghucu, agama yang mereka anut. Tidak jauh dari meja tersebut, juga ada meja yang digunakan untuk meletakkan buku tamu untuk mendata pengunjung.

Beberapa pengunjung sedang melihat foto-foto yang terpampang di dinding Rumah Rengasdengklok. Foto: Himmah/Nadia Tisha Nathania Putri

Pada dinding yang ada tepat di atas meja abu, terpampang foto Soekarno, Hatta, dan beberapa plakat penghargaan bagi keluarga Djiauw. Kemudian, di bagian kanan dari pintu masuk terdapat kamar yang menjadi tempat istirahat Soekarno dengan keranjang tidur yang dilengkapi kelambu. Sementara di bagian kiri dari pintu masuk adalah kamar yang menjadi tempat singgah Hatta.

Pada tahun 1961 beberapa barang yang digunakan oleh Soekarno-Hatta dibawa oleh pemerintah ke Museum Siliwangi di Bandung, seperti meja segi empat untuk berunding; ranjang yang digunakan oleh Soekarno; dan empat buah bangku yang digunakan pada peristiwa Rengasdengklok. Menurut keterangan Liauw Ching Lan, semua yang ada di rumah Rengasdengklok sekarang adalah barang asli milik Djiauw Kie Siong.

Perawatan Rumah Bersejarah Rengasdengklok, Dulu hingga Sekarang

Pada tahun 1964, Djiauw Kie Siong meninggal dunia di usia 84 tahun dan disemayamkan di pemakaman keluarga yang letaknya tidak jauh dari lokasi rumah saat ini. Setelah Djiauw Kie Siong meninggal, status rumah itu menjadi bangunan cagar budaya yang dapat dikunjungi oleh siapa saja, terutama bagi yang ingin mengetahui peristiwa Rengasdengklok dan sejarah di balik peristiwa tersebut.  

Dulu, rumah itu diurus oleh Tjoa Tjon Nio, anak menantu dari Djiauw Kie Siong yang telah tutup usia pada tahun 2001 di usia 77 tahun. Setelah Tjoa Tjon Nio meninggal, kurang lebih selama lima belas tahun rumah tersebut diurus oleh kakak dan adik dari pengurus rumah yang sekarang, Djiauw Kiang Lin atau biasa disapa Yanto, salah satu cucu dari Djiauw Kie Siong. 

Djiauw Kiang Lin atau Yanto (73) cucu dari pemilik rumah bersejarah dalam peristiwa Rengasdengklok, beserta istrinya Liauw Ching Lan atau Cik (73) sedang berfoto di depan pintu masuk. Foto: Himmah/Adim Windu Yad’ulah.

Yanto bersama istrinya Liauw Ching Lan yang biasa disapa Cik mulai merawat rumah tersebut sejak enam tahun lalu, sembari menjalankan usaha pembuatan lemari kayu yang terbuat dari sisa pabrik kayu dengan dibantu 2-4 orang karyawan. Setiap harinya, mereka menyambut para pengunjung dan memberikan penjelasan terkait peristiwa Rengasdengklok yang dahulu diceritakan oleh kakek atau orang tua mereka. 

Kondisi Rumah Bersejarah Rengasdengklok Saat Ini

Hingga kini, tidak ada yang berubah dari rumah tersebut. Liauw Ching Lan menjelaskan bahwa perubahan yang dilakukan hanya pengecatan ulang dan perbaikan rutin, mengingat usia rumah yang sudah lebih dari satu abad. Tiang-tiang dan atap dari rumah tersebut masih asli.

Pada tahun 1980-an perawatan rumah ini menggunakan kapur sirih. Salah satu perubahan yang dilakukan pada 10-20 tahun terakhir yakni perawatan dinding. Sebelumnya perawatannya menggunakan kapur sirih dan sekarang menjadi menggunakan cat dinding biasa. Selain itu, dinding bagian depan dibubuhi pernis supaya kayunya kokoh dan tidak termakan oleh rayap.

Meski rumah yang menjadi bagian dari sejarah peristiwa Rengasdengklok ini tidak banyak diberi perubahan, kini tidak semua bagian rumah dapat dikunjungi. Hanya bagian ruang tamu saja yang terbuka untuk pengunjung. Ini disebabkan bagian belakang rumah yang sudah direnovasi dari bangunan aslinya, serta kini menjadi tempat tinggal Yanto bersama istri sehingga tidak bisa dikunjungi.

Musala ‘Berdikari’ yang terletak di belakang Rumah Rengasdengklok. Foto: Himmah/ Adim Windu Yad’ulah.

Liauw Ching Lan dan suaminya yang merupakan non muslim sekitar empat tahun lalu berinisiatif untuk membangun musala. Musala itu berdiri di belakang rumah dan diberi nama ‘Berdikari’, yang artinya berdiri di kaki sendiri.  Kondisi musala dirawat dengan baik oleh mereka agar layak digunakan serta yang menggunakan dapat khusyuk beribadah. Tak jarang pula di waktu sore hingga magrib anak-anak di lingkungan sekitar rumah menggunakan musala tersebut untuk mengaji dan berselawat.

Walaupun rumah Rengasdengklok sudah diakui sebagai cagar budaya, tetapi peran pemerintah dalam pendanaan untuk perbaikan rumah tersebut sejauh ini belum ada. Kemudian, dari pihak Yanto dan keluarga pun enggan mengajukan pendanaan untuk perbaikan rumah kepada pemerintah. Alasannya adalah rumah tersebut juga menjadi tempat tinggal dirinya dan istri, yang menurutnya jika berurusan dengan pemerintah sedikit merepotkan baginya. Maka dari itu, apabila ada kerusakan, mereka memilih melakukan perbaikan secara pribadi atau menggunakan dana yang masuk melalui kotak amal dari para pengunjung yang memberikan dengan sukarela.

Reporter: Adim Windi Yad’ulah, Intan Yuni Triolita, Nadia Tisha Nathania Putri

Editor: Nadya Auriga D.

*Naskah ini bagian dari serial laporan khusus tentang rumah sejarah Djiaw Kie Siong. Naskah lainnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Pertunjukan Wayang Kulit

Darnuji girang bukan kepalang. Pasalnya, pria 43 tahun itu berhasil terpilih sebagai anggota DPRD tahun ini. Setelah empat kali nyalon dan selalu gagal, akhirnya pada pencalonan kelima dia berhasil terpilih menjadi salah satu anggota dewan di kota kelahirannya. Dia diusung oleh Partai Gajah Merah yang sebelumnya menjadi partai rivalnya. Itulah dunia politik. Kerap tak terduga. Tak dinyana. Penuh kejutan. Penuh intrik. Sesekali dipoles adegan drama yang bikin penonton merasa melow dan mewek dibuatnya padahal hanya akting belaka. 

Dalam dunia politik, orang yang dulu pernah menjadi musuh bebuyutan, kelak pada suatu saat bisa menjadi sahabat yang sangat erat macam kerabat. Sebaliknya, yang dulu berkarib mesra, pada akhirnya menjadi lawan dan musuh yang tampak nyata di depan mata. Intinya, dalam dunia politik, jangan pernah sekali pun memuja seseorang secara berlebihan. Karena pada suatu hari nanti, terlebih dalam kondisi darurat, watak orang tersebut bisa berbalik ratusan derajat; berubah menjadi sosok menjijikkan. 

Sebagai bentuk tasyakuran, rencananya Darnuji akan menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di halaman rumahnya yang cukup luas. Di daerah kami, pertunjukan wayang kulit memang biasa digelar oleh mereka; orang-orang yang terpilih menjadi anggota dewan, bupati, dan lurah. Bahkan yang baru diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga tak jarang mengadakan syukuran dengan menggelar seni budaya Jawa yang keberadaannya saat ini masih cukup diminati sebagian masyarakat, khususnya para generasi tua. 

“Mas, pertunjukan wayang kulit itu dananya besar, lho. Apalagi kalau ngundang dalang terkenal. Belum segala tetek bengeknya, nyiapin tarub, prasmanan dan kudapan segala macam, itu butuh biaya yang sangat banyak. Mas tahu kan, uang sisa nyalon kemarin tinggal sedikit,” keluh Murniati, istri kedua Darnuji yang masih muda dan cantik saat Darnuji menyampaikan rencananya.

Darnuji memang memiliki istri dua. Istri pertama, Sutirah–sudah berusia tua tentu saja–tepatnya seumuran dengannya dan tinggal di kampung halaman, sekitar 20 kilometer jaraknya dari kediaman mewah Darnuji saat ini. Sementara Murniati, yang baru dinikahinya tiga bulan lalu secara siri, tinggal bersama Darnuji di rumah megahnya di dekat kota. Mereka berdua memastikan dan sangat yakin bila Sutirah tak tahu menahu tentang hal ini. 

Selama ini, mereka yakin telah sukses bermain drama secara profesional. Ya, karena ketika Sutirah bertandang dan menginap di rumah megah Darnuji, Murniati menyamar sebagai pembantu rumah tangga. Selama ini, Sutirah tak pernah sekalipun menampakkan gelagat mencurigai atau mencemburui keberadaan Murniati. Mungkin, tebak Darnuji dan Murniati, karena dia bukanlah satu-satunya pembantu di rumah tersebut. Ada enam orang pembantu Darnuji, tiga perempuan, tiga laki-laki, dengan tugas yang berbeda-beda. Ada yang khusus menyapu dan mengepel lantai rumah, memasak di dapur, merawat kebun, dan sopir pribadi yang akan siap siaga mengantarkan Darnuji pergi sesuka hati. Murniati sendiri pura-pura berperan sebagai pembantu yang bertugas sebagai tukang bersih-bersih rumah, membantu Bik Asih, perempuan sepuh yang sering terlihat kewalahan mengepel dan menyapu rumah Darnuji yang begitu besar setiap hari.       

“Kamu tenang saja, Mur. Aku masih ada dana suntikan dari Partai Gajah Merah,” ujar Darnuji dengan santai sambil mengisap cerutunya.

Eman, Mas. Mending uangnya buat keperluan lain saja, daripada dibuang sia-sia buat pertunjukan wayang kulit,” Murniati berusaha memberi saran. Tentu saja saran tersebut hanyalah bualan alias sekadar basa-basi. Sebab rencana yang tertata rapi di kepala Murniati saat itu adalah bagaimana caranya agar kucuran dana dari partai tersebut sebagiannya dapat dia kuasai. Sudah lama dia ingin membeli perhiasan dan tas branded seperti yang dimiliki oleh beberapa teman wanita sosialitanya yang kerap memamerkan barang-barang mewahnya melalui akun Instagram. Murniati berharap bisa mengeruk sebanyak mungkin harta miliki suaminya yang lebih cocok dijadikan sebagai bapaknya itu. Asal kalian tahu, kalau Darnuji bukan orang berduit, mana mungkin dia sudi menikah dengannya, secara siri pula.

Hahaha. Kenapa harus eman, toh uang tersebut dari partai. Bukan uang milikku. Besok, kalau aku sudah dilantik dan bekerja sebagai anggota dewan, uang puluhan juta itu ndak ada artinya, Mur. Banyak banget proyek yang persenannya bernilai ratusan juta bahkan miliaran dan bisa aku peroleh dengan sangat mudah,” lanjut Darnuji dengan raut meremehkan, sambil menjentikkan jari kelingkingnya.   

“Iya kah, Mas? Wah, baguslah kalau begitu,” kecemasan di wajah Murniati pun berangsur menghilang. Berganti dengan senyum dan raut semringah. Sementara kepalanya semakin disesaki rencana-rencana yang sama busuknya dengan Darnuji. 

***

Singkat cerita, pertunjukan wayang kulit dengan mengundang salah satu dalang andalan dari kota sebelah itu benar-benar digelar. Selepas Magrib, rencananya pagelaran wayang kulit tersebut akan dimulai. Sebelum dimulai, tentu saja ada acara sambutan-sambutan dari wakil tuan rumah dan orang-orang penting yang ada di daerahnya. Seperti sambutan dari bapak kepala desa, pihak aparat, dan juga ketua umum Partai Gajah Merah. 

Tengah malam, ketika pertunjukan wayang kulit sedang seru-serunya, tiba-tiba Darnuji merasakan perutnya sangat melilit. Merasa tak kuat dengan sakit di perutnya, buru-buru dia bangkit dari kursi bagian depan. Sambil memegangi perutnya dan tetap berusaha tersenyum kepada para tamu, dia membelah keramaian menuju salah satu kamar mandi di rumahnya. 

Tanpa Darnuji sadari, di ujung panggung dengan dada berdebar Sutirah memerhatikan setiap gerik suaminya. Senyum samar tersungging di kedua celah bibirnya. Ada kepuasan terpancar dari raut wajahnya yang kini mulai banyak dihiasi keriput. Dia bergumam dalam hati, semoga rencananya malam ini berhasil. Rencana yang telah disiapkan jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit hatinya karena telah dikhianati oleh lelaki yang selama ini dia kira akan setia sehidup semati. 

Darnuji dan Murniati rupanya lengah. Mereka berdua terlalu percaya dan yakin dengan kepolosan Sutirah. Mereka menganggap Sutirah adalah perempuan kampung yang begitu mudah untuk dikelabui. Mereka sama sekali tak mengira bila selama ini Sutirah sudah menaruh curiga dengan hubungan terlarang mereka. Justru Sutirah lebih cerdik. Sejak kali pertama melihat keberadaan Murniati di rumah suaminya, Sutirah langsung berpikir, “Mana mungkin ada perempuan secantik Murniati sudi jadi babu, bodoh sekali aku jika sampai percaya begitu saja dengan alasan perempuan sundal itu”.

Di tengah gema talu gamelan dan para sinden yang sedang khusyuk menembang, Sutirah mendengar suara-suara gaduh di dalam rumah. Gaduh yang berasal dari kepanikan orang-orang yang sedang berusaha menolong Darnuji yang tiba-tiba pingsan sebelum masuk kamar mandi. 

“Racun di cangkir kopi bajingan itu rupanya bekerja dengan baik,” Sutirah bergumam lirih seiring lengkung samar dari kedua sudut bibirnya yang sengaja dipolesi lipstik warna merah darah. 

Sutirah buru-buru menelan senyumnya dan berusaha menampakkan wajah panik. Malam ini, dia harus sukses berakting; memerankan dua tokoh sekaligus; antagonis dan protagonis di depan orang-orang dan suaminya yang bajingan itu. Sambil menaikkan kain jariknya agar bisa leluasa melangkah, dengan raut panik Sutirah berjalan tergesa membelah kerumunan. Memasuki rumah megah itu dan berakting selayaknya istri yang nyaris ditinggal mati oleh suami. Sutirah menjerit histeris sementara hatinya tertawa-tawa saat melihat kondisi tubuh suaminya kejang-kejang dengan mulut bersimbah busa.  

***

Puring Kebumen, 11 September 2019.

Kepentingan Individu Merusak Student Government

Sistem parlementer Student Government (SG) yang diterapkan Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) sejak 1950 bukanlah lagi suatu sistem yang relevan saat ini.

Hal tersebut dapat ditilik dari mekanisme Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) yang berantakan. Ditandai dengan terjadinya pengulangan suara, yang menunjukkan ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) KM UII dalam memberikan sarana bagi mahasiswa untuk melakukan pemilihan.

Ditambah dengan ditayangkannya hasil quick count setiap pukul 00.00 WIB, hal tersebut berpotensi menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tengah keberlangsungan Pemilwa.

Tidak adanya perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun dalam terselenggaranya organisasi internal KM UII dapat pula dijadikan sebagai parameter tidak relevannya SG. Hal tersebut terjadi lantaran sistem SG pada kelembagaan KM UII hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan individu belaka.

Melihat struktur kelembagaan, KM UII acapkali berkaitan dengan golongan tertentu yang selalu menguasai dinamika politik UII. Sehingga tidak ada rotasi kekuasaan oleh orang di luar golongan tersebut.

Rotasi kekuasaan yang dimaksud bukan sekadar pergantian pemegang jabatan demisioner ke pemegang jabatan yang baru. Tetapi juga latar belakang dan keberpihakan pemangku jabatan pada suatu golongan atau organisasi luar kampus (eksternal).

Sehingga tidak heran sistem lobbying selalu disalahgunakan oleh oknum legislatif (Dewan Permusyawaratan/Perwakilan Mahasiswa) yang memiliki kepentingan golongan atau organisasi untuk memberikan posisi strategis kepada calon pemegang kekuasaan eksekutif (Lembaga Eksekutif Mahasiswa).

Hal tersebut berdampak pada mandeknya checks and balances. Lantaran antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif telah dikuasai oleh suatu golongan yang sama, sehingga berpotensi terjadi ”rekayasa politik” dalam lingkungan KM UII.

Hal ini dapat dilihat juga dari jumlah suara hasil pemilihan, calon yang mendapatkan suara terbanyak sama sekali tidak ada jaminan untuk mendapatkan posisi strategis. Sistem lobbying yang diterapkan menjadi sebabnya.

Tahap lobbying hanya dijadikan alat untuk mendapatkan posisi strategis bagi mereka yang membawa kepentingan individu semata bukan kepentingan umum mahasiswa.

Ironi, namun ini terjadi pada dinamika kelembagaan KM UII. Keadaan demikian dirasakan oleh Klimus (bukan nama sebenarnya), anggota DPM tingkat Universitas masa bakti 2021/2022. Hal yang sama juga dirasakan oleh Karla (bukan nama sebenarnya) anggota DPM Fakultas Hukum (FH) UII masa bakti 2021/2022 yang mendapatkan suara cukup banyak.

Hal ini berdampak pada kinerja masing-masing lembaga itu sendiri. Salah satu puncaknya adalah Sidang Umum yang mogok dari waktu yang telah ditentukan. Hal ini berakibat pada proses pergantian kekuasaan yang membutuhkan waktu cukup lama dan terkesan sengaja diperlambat.

Penulis berpendapat jika sistem parlementer SG yang berlaku saat ini masih terus dijalankan (dalam, pada atau oleh) KM UII, maka tidak akan ada perubahan dalam dinamika kelembagaan yang telah usang dan berputar pada dinasti yang itu-itu saja.

Struktur kelembagaan KM UII tidak dapat merepresentasikan suara mahasiswa dalam menunjuk pemangku jabatan pada LEM, mandataris terkesan mengamankan kepentingan golongannya sendiri.

Menurut Aribowo, dkk dalam buku Mendemokratiskan Pemilu, demokrasi bisa berjalan kalau masyarakat (dalam hal ini mahasiswa) sadar bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

Sadar bahwa pencapaian tujuan-tujuan dalam mahasiswa diselenggarakan oleh wakil-wakil mereka, dalam satu representatif government, yang dibentuk berdasarkan hasil satu pemilu. Cara ini menjamin mahasiswa sebagai rakyat ikut serta dalam proses politik tanpa sepenuhnya terlibat dalam proses tersebut.

Selama beberapa tahun terakhir, DPM dan LEM tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai representasi dari mahasiswa. Proses pelaksanaan demokrasi KM UII terkesan lebih menitikberatkan kepada pencapaian tujuan daripada proses pencapaiannya. Lebih menekankan aspek formalitas daripada substansi, sehingga tidak mencapai substantif demokrasi.

Substantif demokrasi dalam ranah KM UII akan tercapai jika LEM sebagai wujud pemerintahan eksekutif di UII telah mewujudkan kebutuhan dan keinginan mahasiswa sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Masalahnya adalah apa yang selama ini dilakukan oleh LEM bukan mewujudkan keinginan mahasiswa. Sebaliknya, mereka hanya mengkhianati mahasiswa karena kepentingan individu belaka.

Hal di atas juga berdampak pada partisipasi mahasiswa dan kesadaran politik pada gelaran Pemilwa. Monotonnya rotasi kekuasaan setiap tahunnya membuat mahasiswa enggan menggunakan hak suaranya.

Hal tersebut akan menjadi sia-sia jika politik praktis semacam ini terus dijalankan, walaupun terus memberikan sosialisasi kesadaran politik kepada mahasiswa. 

Siasat Politik dalam Penggunaan Suara

Secara persentase partisipasi mahasiswa pada Pemilwa tahun ini mengalami kenaikan. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 020/KPTS/KPU II/III/2022 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Periode 2021/2022, Pemilwa tahun ini diikuti oleh 30,55% dari total populasi mahasiswa, artinya meningkat 8,92% dari tahun sebelumnya.

Namun kenaikan 8,92% tidak menjamin adanya perlindungan hak setiap mahasiswa dalam memilih secara langsung. 

Melihat informasi Pemilwa melalui laman pemilwa.uii.ac.id, cara memilih calon wakil mahasiswa cukup menggunakan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan Tempat Tanggal Lahir (TTL) dalam Pemilwa kali ini. Cara seperti ini memiliki potensi besar disalahgunakan.

Sebab, tidak ada jaminan keamanan hak suara mahasiswa apakah digunakan oleh orang yang bersangkutan atau bukan. Selain itu, mudahnya mencari data tersebut menjadi celah adanya pencurian suara bagi mereka yang berkepentingan memenangkan pihak tertentu.

Melalui wawancara, penulis bertanya kepada salah satu mahasiswa menyoal penggunaan NIM dan TTL sebagai data yang digunakan untuk masuk ke sistem Pemilwa.

“NIM dan TTL bukanlah data yang bersifat rahasia. Sehingga sangat tidak aman jika digunakan sebagai akses untuk mahasiswa menggunakan hak pilihnya,” ucap Zhafran, mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2021 saat mengobrol santai dengan penulis pada Kamis (7/7).

Betul dalam kenyataannya, celah ini yang dimanfaatkan oleh calon legislatif dalam perhelatan Pemilwa 2021/2022 seperti tertera dalam artikel himmahonline.id, yang bertajuk Karut-Marut Gelaran Pemilwa 2021/2022.

Pencurian suara dialami oleh 73 mahasiswa Prodi Farmasi angkatan 2021, salah satunya Divani Estafiana.

Divani menceritakan bahwa ia tidak dapat memilih caleg karena suaranya telah digunakan sebelumnya. “Setelah aku mau milih lewat tautan resmi Pemilwa, kan disuruh masukin NIM (Nomor Induk Mahasiswa) dan TTL (Tempat Tanggal Lahir), tapi tiba-tiba tidak bisa dan tulisan di lamannya ‘NIM sudah memilih’,” tutur Divani kepada reporter himmahonline.id pada Jum’at (10/06).

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat Zhafran menyoal penggunaan NIM dan TTL mahasiswa sebagai kunci akses untuk menggunakan hak pilih benar adanya. Bahwa penggunaan NIM dan TTL merupakan hal yang tidak aman dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak.

Oleh karena itu, penulis memberikan pandangan untuk sistem Pemilwa dapat menggunakan ID dan Password, seperti yang digunakan pada UII Gateway.

Pihak KPU semestinya dapat melakukan sinkronisasi pada laman pemilwa.uii.ac.id dengan Internet Datagram Protocol (IDP) UII yang biasa digunakan untuk mengakses Gateway dan Zoom Student dengan berkoordinasi dengan pihak Badan Sistem Informasi (BSI).

Belajar dari bobroknya sistem Pemilwa dan positioning struktur kelembagaan KM UII. Menjadi penting adanya perubahan mendasar terhadap mekanisme Pemilwa serta restrukturisasi kelembagaan dan sistem pemerintahan pada KM UII. 

Reformasi Lembaga Mahasiswa

Matinya demokrasi dalam dinamika politik KM UII dapat dilihat dari rendahnya kesadaran politik mahasiswa UII. Keadaan demikian tidak hanya disebabkan oleh sikap apolitis dari mahasiswa itu sendiri. Namun juga dipengaruhi rotasi kekuasaan yang berputar pada golongan itu-itu saja.

Antusias mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pemilwa dimatikan oleh kenyamanan penguasa yang menduduki empuknya jabatan struktural kelembagaan kampus. Hilangnya kesadaran politik mahasiswa menjadi pelumas bagi para administrator parlemen untuk melegitimasi kekuasaannya. 

Parlemen tidak bersikap netral dalam membentuk kabinet DPM dan/atau LEM. Mereka cenderung memberikan jabatan strategis kepada yang sejalan dengan kepentingan pimpinan parlemen. Cara demikian justru mematikan pesaing-pesaingnya dalam dinamika politik UII sendiri.

Pemilwa saat ini dapat dikatakan identik dengan kata formalitas saja, sebab dijalankan hanya untuk melengkapi syarat materiil setiap tahunnya.

Perubahan harus dilakukan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya, tidak ada toleransi lagi untuk mempertahankan sistem yang digunakan saat ini. Bukan hanya sistem pemerintahan dan sistem pemilihannya saja, tetapi juga hierarki kelembagaan KM UII.

Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dijalankan dengan sistem pemerintahan presidensial akan menciptakan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. DPM tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang sepenuhnya menjalankan kedaulatan mahasiswa.

DPM dan LEM dapat saling kontrol, harapannya dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika hanya mengubah sistem pemerintahan tanpa mengubah konsep pembagian kekuasaan, hal tersebut dapat menjadi distribution of power, DPM akan tetap memiliki kekuatan untuk melakukan reshuffle kabinet dengan mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet.

Dengan berjalannya sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan KM UII, penentuan pemegang tertinggi jabatan dalam LEM harus dipilih secara langsung. Dengan demikian, mahasiswa sebagai pemegang kedaulatan tertinggi benar-benar dapat menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang akan memimpinnya.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Dilema Pendidik kala Pandemi: Menunjang Kompetensi atau Menjaga Kelangsungan Hidup

Pandemi belum memberikan tanda-tanda ingin pergi, sehingga pembelajaran berbasis dalam jaringan menjadi metode yang tak bisa dihindari. Siswa mulai bosan dengan model pembelajaran virtual, sementara tak sedikit juga pendidik yang mulai kehabisan akal.

Perangkat telepon pintar lebih sering menyesakkan hati daripada memberikan solusi. Baru saja beberapa menit memulai kelas virtual menggunakan aplikasi telekonferensi Zoom, sang telepon pintar mendadak “kehilangan nyawa” gegara usia yang sudah terlalu tua.

Ruangnya sangat terbatas untuk diisi aplikasi dengan kapasitas besar. Akibatnya, sang telepon pintar mendadak pingsan tak sadarkan diri selama beberapa saat.

Masalah “pingsan secara tiba-tiba” ini akan bisa teratasi jika pendidik bersedia mengganti perangkat telepon pintar tuanya dengan perangkat yang lebih muda–dengan kapasitas ruang yang lebih luas. Padahal, untuk menghidupi telepon pintar tuanya dengan paket internet saja harus berhemat dengan ketat. Alih-alih mengganti yang tua dengan yang lebih muda.

Akhirnya, pembelajaran virtual “cukup” dilanjutkan melalui percakapan di grup WhatsApp yang notabenenya bisa dilakukan sembari bermain bola di halaman. Materi pembelajaran akhirnya harus bernasib sama dengan percakapan-percakapan ringan di pinggir jalan yang mudah saja terlupakan. Sementara pendidik tak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan segala aspek, mulai dari keterbatasan sumber daya hingga keterbatasan komunikasi.

Hidup di daerah yang jauh dari ingar bingar kemajuan teknologi memang menjanjikan dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi menawarkan ketenangan, sementara di sisi lain menampilkan potret ketertinggalan. Sisi yang terakhir inilah yang mulai dirasakan dampaknya kala pembelajaran di tengah kepungan pandemi seperti saat ini harus ditunjang kemajuan teknologi. 

Berbeda lagi dengan kisah pendidik di belahan daerah lainnya yang jauh lebih beruntung dengan ketersediaan perangkat telepon pintar yang kekinian dan penghasilan yang bisa disebut lumayan. Sayangnya, ketersediaan itu berbanding terbalik dengan kemampuan dalam menggunakan teknologi.

Google Classroom, Zoom, Google Form, dan sejenisnya masih terkesan asing bagi mereka. Telepon pintar yang kekinian itu hanya sering digunakan untuk berbalas pesan, bertelepon, dan mengumpulkan foto selfie terbaik untuk dijadikan foto profil akun WhatsApp-nya.

Namun tak sedikit juga pendidik yang dianugerahi dengan sempurna, yakni ketersediaan sumber daya yang menunjang pembelajaran online, serta memiliki tingkat kemelekan teknologi yang tinggi.

Pada dasarnya untuk kelompok yang kedua dan yang terakhir tidak terlalu menjadi masalah. Kelompok terakhir bahkan bisa disebut tidak memiliki masalah yang berarti karena segala yang dibutuhkan telah terpenuhi.

Kemudian kelompok yang kedua hanya perlu berlatih dan belajar dengan tekun untuk meningkatkan level kompetensi teknologi informasi dan komunikasinya (TIK), karena sarana yang dibutuhkan telah tersedia. Ditambah lagi, pemerintah juga kerap kali mengadakan webinar-webinar tentang peningkatan kompetensi TIK agar para pendidik bisa segera beradaptasi dengan situasi pandemi yang mengharuskan pembelajaran berbasis dalam jaringan.

Justru yang menjadi dilema dalam masalah ini adalah kelompok yang pertama, sebab sarana untuk mencapai tujuan yang tak laik untuk digunakan. Sementara membeli sarana baru sama saja bertaruh dengan kelangsungan hidup mereka selama beberapa bulan. Lalu dalam situasi yang tak menguntungkan ini, apa yang bisa dilakukan oleh kelompok yang pertama?

Sebuah Ironi

Kelompok yang pertama kerap dialami oleh guru berstatus honorer. Dengan gaji yang pas-pasan–bahkan sebenarnya sangat jauh dari kata “pas”–membeli perangkat telepon pintar yang lebih canggih tentu saja menjadi sebuah dilema.

Satu sisi memang harus dilakukan untuk mengefektifkan pembelajaran berbasis dalam jaringan. Sementara di sisi yang lain, uang yang ada hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Para pendidik dengan jenis ini seolah sedang memakan buah simalakama. Artinya, semua pilihan yang ada sama-sama menimbulkan bencana. Tak berlebihan jika ada sebuah ungkapan yang berbunyi: kini guru hanya dituntut untuk berjuang, sementara segala kebutuhannya sama sekali tidak ditunjang.

Sejatinya sangat disayangkan jika guru yang digadang-gadang sebagai tombak kecerdasan bangsa, ternyata justru menjadi pihak yang harus ketar-ketir atas ketersediaan beras di dapur untuk setiap bulannya.

Dalam kondisi seperti ini, satu di antara cara untuk menyelesaikannya adalah rasa solidaritas antarsesama guru. Beberapa guru yang telah memiliki telepon pintar dengan kapasitas mumpuni untuk pembelajaran berbasis dalam jaringan, sudah seyogianya membantu rekan-rekan guru yang masih memiliki telepon pintar dengan kapasitas yang terbatas.

Bantuan yang diberikan dapat dengan cara meminjami telepon pintar untuk sekadar memberikan instruksi lewat aplikasi Zoom. Bisa juga memberikan bantuan dalam skala yang lebih besar, seperti penggalangan dana untuk membeli telepon pintar baru bagi beberapa guru yang telepon pintarnya tidak bisa digunakan untuk pembelajaran berbasis dalam jaringan–bahkan masih ada beberapa guru yang masih menggunakan telepon genggam jadul.

Jadi, jangankan melakukan pembelajaran via Zoom atau sejenisnya, mengirim pesan saja masih menggunakan metode short metode service (SMS), bukan via WhatsApp atau sejenisnya. Memang benar, di tengah badai pandemi yang tak kunjung reda seperti saat ini, hanya sifat dan sikap kemanusiaan yang akan membantu manusia tetap bertahan.

Pendidik Harus Melek Teknologi?

Pandemi telah menyadarkan banyak hal pada dunia pendidikan, satu di antaranya adalah urgensi kemelekan teknologi. Peralihan segala aspek ke dalam model virtual telah menyadarkan segala pihak (khususnya pendidik) bahwa pendidik bidang studi apapun membutuhkan kemampuan olah TIK yang mumpuni.

Senada dengan yang termaktub dalam Kepmendiknas Nomor 16 Tahun 2007, bahwa standar kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogis; kompetensi kepribadian; kompetensi profesional; dan kompetensi sosial. 

Berdasarkan standar kompetensi tersebut, seorang guru yang berkompeten setidaknya menguasai pembelajaran secara teoretis dan praktis serta yang mampu mengelola tugas sehari-harinya–terlebih dengan metode dalam jaringan kala pandemi seperti saat ini.

Oleh sebab itu, secara pedagogis, guru perlu memanfaatkan TIK untuk urusan pembelajaran dan secara profesionalitas, guru memerlukannya untuk berkomunikasi sekaligus mengembangkan diri.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Pusdatin Kemendikbud Ristek) mengadaptasi framework kompetensi TIK milik UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai standar peningkatan kompetensi TIK guru dalam tingkat nasional.

Pusdatin Kemendikbud Ristek membagi kompetensi TIK guru ke dalam 4 level. Pada level 1, guru mulai melek dengan teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian pada level 2, guru mulai mengimplementasikannya ke dalam pembelajaran. Berlanjut pada level 3, guru sudah bisa membuat kreasi ke dalam pembelajaran. Puncaknya pada level 4, guru mampu untuk berbagi dan berkolaborasi.

Guru memang dituntut untuk melek teknologi, namun tak harus melek yang sampai ke taraf “melotot”. Paling tidak, guru sudah berada di level 2 yang berarti sudah mampu mengimplementasikan teknologi ke dalam praktik pembelajarannya.

Hal ini disebabkan oleh tugas guru itu sendiri yang harus mengajarkan bidang studi tertentu. Jika guru hanya berfokus pada TIK, maka dikhawatirkan akan mengganggu penguasaan bidang studi yang diajarkan. Tidak berarti guru dilarang sampai pada level 4.

Jika ada guru yang berhasil sampai pada level 4, tentu saja itu menjadi modal yang lebih baik untuk proses pembelajaran berbasis dalam jaringan. Namun jika ada guru yang hanya bisa sampai di level 2, itu sudah bisa dianggap cukup untuk menunjang proses pembelajaran berbasis dalam jaringan.

Sederhananya, standardisasi capaian level TIK guru adalah level 2. Sementara level 3 hingga level 4 dapat dijadikan sebagai ajang penghargaan. Setiap pendidik yang berhasil mencapai level 3 hingga level 4 mendapatkan apresiasi dari pihak sekolah maupun penyelenggara pendidikan nasional. Hal ini agaknya menjadi terkesan “lebih bersahabat” bagi para pendidik.

Akhir kata, pembelajaran berbasis dalam jaringan tak hanya menjanjikan keamanan, tetapi juga memicu kegamangan bagi beberapa pendidik antara mengembangkan kompetensi dan menjaga kehidupan diri.

Solidaritas antasesama gurulah yang dapat menjadi jalan tengah dalam kondisi dilematis tersebut. Tuntutan melek teknologi untuk para guru di masa pandemi memang perlu, namun guru tak perlu dipaksa untuk “membelalakkan mata”, karena guru hanya perlu “membuka mata” atas urgensi teknologi yang sebelum-sebelumnya cenderung lebih “menutup mata”. 

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Sosok di Balik Bersihnya Taman UII (4)

Nur (59), salah satu petugas kebersihan yang bekerja menyapu area boulevard UII. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Pukul 03:00 WIB Nur menyiapkan sarapan. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Setelah berwudu untuk salat subuh. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Berangkat pukul 05:15 WIB. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Menyapu trotoar. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Terkadang menyapu tanpa alas kaki. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Saat malam Nur rehat dengan menonton televisi. Foto: Himmah/Ika Rahmanita.
Begitu sampai di kampus, Nur bergegas untuk menyapu. Foto: Himmah/Yola Ameliawati Agustin.

Himmah Online – Bekerja dengan ikhlas dan penuh ketulusan hati, adalah hal dasar yang sangat jarang sekali orang perhatikan. Kebanyakan orang jauh lebih mengukur  usaha kerjanya dengan upah gaji yang akan diterima. Namun, berbeda dengan Nur, seorang Petugas Lingkungan di Universitas Islam Indonesia (UII).

Wanita yang berumur 59 tahun tersebut sudah bekerja di lingkungan kampus UII sejak sembilan tahun yang lalu. Di awal tahunnya bekerja, Nur mengikuti proyek pelebaran jalan selama kurang lebih tiga tahun. 

Tugasnya saat menjadi kuli di proyek pelebaran jalan Ia akui sangat tidak mudah. Nur harus menyesuaikan ritme pekerjaan bangunan dengan kondisi umur yang sudah tidak muda lagi.

Setelah proyek tersebut selesai, Nur mendapatkan tawaran untuk menjadi petugas kebersihan di lingkungan kampus terpadu UII. Bersama dengan dua rekan lainnya, Nur mendapat pekerjaan untuk menyapu di area boulevard.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, Nur berangkat menggunakan sepeda motornya dan langsung memulai pekerjaannya begitu sampai ke tempat kerja. Hanya saja, ketika kampus hendak mengadakan acara, Nur harus berangkat lebih awal dari biasanya agar tidak kewalahan nantinya. Belum lagi saat kondisi sedang hujan, akan sangat sulit baginya untuk menyapu daun-daun dan sampah yang basah.

Terlepas dari semua hal itu, Nur sangat menikmati pekerjaannya. Terlebih lagi, hasil upah yang diterimanya sangat berarti untuk kehidupan keluarga sehari-hari. Ia tak pernah mengeluh. Alasan yang ia berikan karena lingkungan kampus yang baik dan juga pekerjaannya tidak terlalu sulit.

Menurutnya, pekerjaan memang sangat penting. Setiap manusia tidak bisa memungkiri bahwa mereka membutuhkan uang. Tapi, tidak kalah pentingnya untuk meniatkan setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai sebuah ibadah.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Narasi: Himmah/Yola Ameliawati Agustin

Editor Narasi: M. Rizqy Rosi M.

*Foto cerita ini sebelumnya telah terbit pada 1 Mei 2021. Direpublikasi sebagai pelengkap serial laporan khusus Pekerja UII.

*Naskah ini merupakan seri keempat dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah sebelumnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Pelestari UII, Pengorganisir Serikat Buruh (3)

“Apa pun yang terjadi, serikat pekerja saat itu hanya simbol, kita hanya jadi boneka. Serikat pekerja dulu bukan dipegang oleh pekerja, tetapi dipegang pengusaha. Nurani saya berontak, saya dengan teman-teman mendirikan serikat tandingan.”

Himmah Online – Dia adalah Mahsun, pekerja lingkungan kampus yang masuk ke dalam salah satu tim lingkungan di bawah kepemimpinan Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) UII. Sudah dua puluh tahun lamanya Mahsun bekerja sebagai pekerja kebersihan di UII sejak 2001.

Ingat sekali saat pertama kali kami bertemu di siang tak terlalu terik. Tak perlu sukar memicingkan mata, terlihat belasan orang berkumpul membersihkan area rumput dan pepohonan di tepi Embung Barat UII. 

Hari itu para pekerja digabung menjadi satu tim usai menyelesaikan kerja di posnya masing-masing yang tersebar dari area Masjid Ulil Albab sampai Kantin Mawar seberang parkiran FTSP. Setelah mendapat perintah untuk membersihkan tepi embung, mereka berkumpul usai istirahat siang sampai habisnya jam kerja pukul tiga sore.  

Ada yang mengumpulkan rumput liar dan lekas menyapu bersih bagiannya. Beberapa yang sudah selesai berteduh mencari tempat duduk di sekitar Embung.

Aku lalu bergabung dengan mandor dan pekerja lainnya yang sedang beristirahat sekaligus mengambil angket. Senyum menyambut kami dari para pekerja yang pernah diajak berbincang tempo lalu. Pekerja lain yang baru dikenal hari itu ikut mendekat untuk berkenalan.

Tak lama setelah menyapa, suara baru yang belum kukenal dari belakang menghampiri.

“Mbak, harusnya kalau mau menghitung upah, ditanyakan secara berkala setiap tahun. Jadi bisa kelihatan perubahan dan kenaikan yang ada,” ucap Mahsun. 

Bengong. Aku lantas mengajaknya duduk bersama untuk berbincang. 

Kami berkenalan, lalu Mahsun menjelaskan kalkulasi upah panjang lebar yang menurutnya sudah sesuai dengan undang-undang yang ada.

Wah bapak ternyata banyak tahu. Makasih lho pak koreksinya, kita memang sedang masih sedikit memahami soal pengupahan hehe,” jawabku malu-malu.

“Iya, dulu saya paham soal beginian.”

“Oh, iya tah?”

“Saya dulu inisiator solidaritas pekerja. Tepatnya, saya bentuk serikat tandingan dari serikat perusahaan sebelum saya bekerja di UII.”

***

Sekitar tahun 1990, resesi global terjadi di berbagai belahan negara. Akibat dari resesi yang terjadi dalam kurun waktu serentak membuat ekonomi dunia merosot begitu tajam. Tak terkecuali Indonesia yang nilai rupiahnya terdevaluasi hingga mencapai 90%. 

Menjelang lonjakan ekonomi global, Mahsun muda yang saat itu berusia 20 tahun dan baru lulus STM mulai melamar kerja. Tepatnya tahun 1986, ia melamar ke salah satu pabrik tekstil tertua di Yogyakarta. 

Pabrik itu bernama Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang beroperasi di Sleman, DIY. Pabrik tersebut memproduksi kain dari bahan baku alami dan juga sintetis yang salah satunya diekspor dari Amerika. 

GKBI sendiri bukanlah satu-satunya pabrik tekstil saat itu. Karena saat Mahsun melamar, pabrik tekstil sudah banyak menjamur dengan persaingan yang cukup ketat. Begitu pula antar calon karyawan, tak terkecuali Mahsun. 

Prasyarat administrasi kemudian dipenuhinya, mulai dari KTP, Surat berkelakuan baik, dan kartu kuning melamar kerja.

Ia bekerja dengan perusahaan sebagai pekerja musiman, sebelum menjadi karyawan kontrak dan tetap. Di perusahaan, Mahsun kemudian dikenal sebagai pekerja yang ulet dan atlet voli. Tak jarang ia mengikuti pertandingan voli mewakili perusahaan. 

Kecakapan tadi membuat Mahsun lantas mudah dikenali para pimpinan. Tak butuh waktu lama, Mahsun menjadi karyawan tetap tanpa masa percobaan, sejak saat itu pula ia ditarik masuk ke dalam serikat pekerja. 

Di dalam serikat, Mahsun tidak mengerti apa pun terkait buruh. Yang ia ingat saat itu, ia datang dan disuruh duduk mendengar Disnaker dan perusahaan menyampaikan materi. Ujug-ujug pulang mendapat sangu.

Dua tiga tahun ia berdiam di serikat buruh dengan siklus yang sama. Ada undangan, rapat, masuk komisi, di akhir dapat sertifikat, yang semua diurus tetek bengeknya oleh perusahaan.

Semakin belajar tentang buruh di serikat, semakin Mahsun merasa tidak beres. Ia paham betul serikat pekerja selamanya milik pekerja. Tetapi perusahaan tempat ia bekerja terlampau jauh mengintervensi. Ia tak habis pikir, ketua serikat pekerja saat itu pun dipegang oleh pihak perusahaan. 

Baginya, serikat pekerja yang diketuai pihak pengusaha sebatas formalitas, tanpa ada upaya serius memihak pekerja. Adanya serikat di perusahaannya bukannya mengubah nasib, tetap saja banyak hak-hak pekerja yang ingin dihilangkan. 

Mahsun muda telah mencapai batas kesabarannya. Ia pergi mengumpulkan beberapa teman-teman sesama pekerja untuk berkonsolidasi. Diawali dari pertemuan kecil-kecilan beranggotakan sekitar sepuluh orang di rumah salah satu pekerja. 

Terdapat satu misi terbesar yang mendasari Mahsun dan teman-teman saat itu terdesak harus berkoloni membuat serikat baru. Mereka ingin tenaga kontrak dihapuskan.

“Saya mendirikan itu gara-gara apa? Gara-gara ada tenaga kontrak satu dua. Akhirnya perusahaan gak ada tenaga kontrak mbak. Percobaan tiga bulan, gak lolos, keluarkan. Jadi jangan memberi harapan kepada karyawan,” jelasnya tegas mengetuk-ngetuk meja makan Kantin Mawar UII.

Dia ingat betul, pembentukannya pun dibahas dengan saling tunjuk. Mahsun dinilai sebagai inisiator dan andil mengorganisir massa lantas ditunjuk sebagai ketua sementara sebelum nantinya resmi bergabung dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). 

Mahsun dan teman-teman lalu menamai dirinya sebagai Forum Solidaritas Sosial (FSS). Sebuah solidaritas yang kelak menjadi serikat tandingan dari serikat yang dibentuk oleh perusahaan.

Sepak Terjang Solidaritas Pekerja

Mengawali perjuangan, Forum Solidaritas Sosial mencoba mendaftarkan dirinya ke Disnaker pada tahun 1998 bergabung ke SPSI. Tak mudah bagi Mahsun dan teman-teman untuk sampai bisa tembus ke Jakarta. 

Mahsun mengakui, pada akhirnya mereka dibantu oleh salah satu partai dan organisasi untuk bisa diakui dan terdaftar secara legal. Lambat laun, anggota yang tergabung sepuluh dua puluh menjadi berjumlah dua ratus anggota.

Mahsun sebenarnya tak terlalu bangga, dia tau persis partai dan orang-orang yang mengantarkan mereka pada akhirnya punya kepentingan politik tersendiri. Dengan menembuskan serikat pekerja, mereka dianggap sebagai tokoh penting dan mendulang suara massa dalam pemilihan. 

Agenda-agenda dalam solidaritas pekerja tandingan yang dikomandoi Mahsun berjalan sembunyi-sembunyi. Pertemuan tidak dilakukan di DIY, melainkan ke Semarang ataupun kota lain yang jauh dari area perusahaan. Itu pun diakuinya tetap saja kedapatan mata-mata.

Meski begitu, suara solidaritas pekerja selalu diperhitungkan. Seperti dihilangkannya kebijakan cuti haid dan cuti melahirkan yang apabila tidak diambil, maka akan diganti dengan uang. Mereka dapat memperjuangkannya, bersama dengan insentif-insentif lain. Mahsun mengenang, keberhasilan terbaik mereka adalah penghapusan tenaga kontrak.

Bener-bener perusahaan itu gak berani ngontrak karyawan. Walaupun serikat kita gak diakui perusahaan, tapi (red- perusahaan) tetap memakai ide-ide kita,” ujarnya. 

Solidaritas pekerja melihat saat tenaga kontrak ada, tidak ada jaminan hidup layak yang didapatkan. Belum lagi ketakutan tidak lanjut kontrak dan tidak mendapat pesangon.

Meskipun begitu, Mahsun tak jarang menghadapi beberapa anggota dikriminalisasi para preman ataupun diculik untuk diinterogasi. Sedangkan dirinya sebagai ketua, acapkali menerima teror.

Mahsun bersikukuh dan tetap melanjutkan serikat. Ia mengingat jelas, satu peristiwa di mana serikatnya gagal memperjuangkan satu kasus pekerja yang dikenakan PHK. 

Solidaritas pekerja mendapati pelanggaran yang dilakukan belum pantas untuk mendapatkan PHK sesuai aturan yang berlaku. Mereka memperjuangkannya sampai pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). 

Hari pengadilan untuk karyawan PHK digelar. Massa buruh solidaritas pekerja telah bersiap membawa arak-arakan untuk berdemo di depan pengadilan. 

Hasil yang dibawa dari pengadilan pun memuaskan, solidaritas pekerja menang. Karyawan tidak jadi di PHK. Namun ternyata ada skenario yang tidak diperhitungkan oleh Mahsun. 

“Sudah direncanakan gini-gini, ternyata direksi sama Disnaker udah ngobrol sebelum kita datang. Saya ditarik sama orang Disnaker, saya kenal kebetulan. Terus dibilang, ‘sangumu piro?’”

Serikat kecolongan. Sekali pun pengadilan memenangkan kasus, karyawan yang sebelumnya di-PHK telah kembali bekerja, malah ditolak masuk. Saat ditanya apakah kemudian perusahaan tidak disanksi, Mahsun menjawabnya dengan santai. 

Owalah zaman dulu mana ada yang ga punya duit tetap menang. Yang ga punya duit ya tetap kalah,” ujarnya sambil nyengir.

Tahun 2001 adalah puncak tekanan terhadap serikatnya dari segala arah. Sebagai inisiator serikat, Mahsun memang tak jarang dilobi oleh perusahaan dengan iming-iming agar tidak bertindak merugikan perusahaan. 

Pertanyaan seputar apa yang dibutuhkan dan berapa sangu yang diinginkan selalu hadir selama sepak terjangnya di serikat. Sehingga sewaktu-waktu Mahsun memutuskan keluar dari perusahaan, banyak kawannya mengira Mahsun telah dilobi untuk mengundurkan diri. 

“Kebetulan 2001 istri saya melahirkan anak yang kedua. Operasinya gagal, di rumah sakit dua bulan. Sementara jatah melahirkan dari perusahaan cuma 250 ribu,” jelasnya. 

Uang jatah melahirkan dari perusahaan nyatanya tak cukup bagi Mahsun saat itu. Karena jumlah yang terlalu besar, biaya operasional sementara ditalangi oleh perusahaan. Mahsun akan mengembalikan setiap bulan, dikurangi dari lima belas persen upahnya. 

Mahsun memperhitungkan dirinya sekeluarga sulit untuk melanjutkan hidup dengan kemampuan finansial yang ada. Anak pertamanya akan masuk SMP dan butuh biaya. Mau tak mau, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan pengunduran diri. 

Pengunduran dirinya pun berlangsung dengan memberikan surat kuasa. Pesangon diambil oleh rekannya. Saat ia keluar, beberapa karyawan datang memadati rumahnya. 

Para karyawan mempertanyakan alasan Mahsun mau keluar dengan pesangon yang tidak seberapa. Justru sebaliknya, Mahsun tahu betul pesangon pengunduran diri memang tidak sebanyak ketika di-PHK. Ia telah menghitungnya matang-matang sebelum pesangon diserahkan kepadanya. 

Mahsun pun resmi keluar dari perusahaan, meninggalkan serikat bersama segala perjuangannya.

***

Setelah bekerja di pabrik, Mahsun menginjakkan kakinya pertama kali mencari nafkah di UII. 

“Awalnya kita dicari lewat takmir masjid, cuma tujuh orang kalo ga salah. Gaji pertama yang diberikan 15 ribu per hari,” terangnya. 

Sudah dua puluh tahun Mahsun bekerja di UII. Ia bertanggung jawab membersihkan bagian luar lingkungan antara FTSP UII, Syar’e Mart, Kantin Mawar, dan sekitar parkirannya. 

Beberapa kali kami bertemu, tampak ia sedang merapikan taman, menyapu halaman, atau pun sedang menyeruput kopinya saat beristirahat di Kantin Mawar. Waktu di mana kami menyempatkan diri untuk bertukar cerita ataupun sekadar berbincang santai dengan para pekerja lingkungan lainnya. 

“Pak, semenjak di UII ga ada niatan untuk buat serikat buruh lagi, kah? Sepertinya keren ya pak kalo ada,” tanyaku suatu waktu. 

“Saya kurang ngerti serikat buruh di kampus itu seperti apa. Saya juga sudah tua, gak punya energi sebanyak dulu. Sekarang sudah pasrah aja, apa lagi yang mau dicari,” jawabnya menyungging senyum.

Aku membalas senyum. Kami sama-sama menghela napas dan mengangguk paham.

“Apa sih pak yang buat bapak waktu itu berani banget dulu ngelakuin semua itu?”

Air mukanya kembali serius. Mahsun menjawab lugas. 

“Saya? Saya udah merasakan kesakitan karyawan yang diinjak-injak perusahaan. Banyak hak dipenuhi tapi ga seratus persen. Kan jelas udah ada peraturannya.”

Dua puluh tahun lebih berlalu sejak perjuangannya di serikat, ia merefleksikan ada rasa kesia-siaan yang merayapi dirinya. 

Semenjak keluar dari hingar bingar serikat, ia masih tak habis pikir sekarang tenaga kontrak bertebaran, bahkan menurutnya jauh lebih banyak dari karyawan tetap. 

“Tapi yo terus kok sak negoro terus jadi tenaga kontrak kabeh. Sampai sak Indonesia, kan? Lah iki piye, aku bingung mbak pas itu,” pungkasnya sambil memegang pelipis kanannya. 

Hehe nggih Pak. Bukan hanya kontrak, pasukan magang pun sekarang bertambah dari mahasiswa hehe,” tambahku lagi. 

Mendengar itu Mahsun menyungging senyum, dahinya sedikit mengernyit. Ia membalikkan badan menatap lurus pepohonan tinggi menjulang yang sedari bibit ia tanam dan rawat di UII. 

Perjuanganku koyo ngono kok dadi mergene yo mbak saiki,” jawabnya pelan. 

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri ketiga dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah sebelum maupun selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Potret Kisah Hidup Pendi (2)

“Di umur saya yang sudah setua ini, apa lagi yang saya perlu kejar lagi.”

Himmah Online – Sunaryo yang biasa disapa Pendi, sangat ramah menyambut saya ketika kali pertama kami bertemu. Tak sungkan ia mempersilakan saya duduk di kursi. Tampak sekali barang-barang konstruksi, alat berat, besi tua, dan masih banyak hal lain yang  memenuhi gudang tempat Pendi bekerja.

Pendi merupakan seorang pegawai lingkungan di bawah naungan Divisi Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) di Universitas Islam Indonesia (UII). Saya sengaja menemui Pendi di tempat kerja untuk mengetahui bagaimana kisahnya selama bekerja di UII. Dalam ceritanya itu ia merasa sangat bersyukur bisa menjadi pekerja di UII.

Pria yang telah memasuki umur 48 tahun ini memiliki kulit yang sawo matang. Di setiap perjumpaan saya dengan Pendi, dia selalu memakai seragam lapangan andalannya.

Seragam bagian lengan yang selalu digulung ke siku, rambut yang selalu ditata rapi ke arah kanan, juga kerutan-kerutan tipis yang menghiasi wajahnya membuat Pendi tampak bersahaja di umur yang tak lagi muda. Saya pun sangat mudah mengenali Pendi meski hanya beberapa kali saja bertemu.

Pendi sangat piawai membuat candaan di sela pembicaraan. Di perjumpaan kami, Pendi terus saja membuat saya tertawa saat ia membicarakan kejadian-kejadian lucu yang pernah ia alami selama bekerja. Saya pun jadi merasa tidak ada penghalang untuk lebih mengenal pribadi Pendi lebih jauh.

Pria berdarah Sleman yang lahir pada Juni 1973 itu sudah sekitar dua belas tahun bekerja di UII. Tak ayal, banyak sekali kelakar yang ia buat saat menceritakan kisahnya bekerja di sini. Di waktu yang cukup lama itu, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan pertama bagi Pendi. Ia pernah beberapa kali memiliki pekerjaan yang berbeda.

Pendi bercerita sukarnya kehidupan yang dia alami sampai akhirnya memutuskan untuk bekerja di UII.

Pendi menjadi Koordinator Divisi Logistik dan Workshop sekaligus, kedua divisi ini selaras satu sama lain. Oleh karenanya wajar jika bisa dikepalai oleh satu orang.

Di bawah koordinasi Pendi, ada dua orang pekerja di tiap divisinya. Divisi Logistik bertanggung jawab untuk mensuplai bahan dan barang kebutuhan divisi lainnya seperti Divisi Lingkungan, MEP (Mechanical Engineering and Plumping), Workshop, dan Bangunan.

Fasilitas-fasilitas yang sering digunakan di kampus seperti bangku, meja, lemari, plang nama, bahkan perihal barang protokol kesehatan seperti wastafel cuci tangan pun diproduksi oleh Divisi Workshop.

Pendi biasa memulai pekerjaannya dengan mengecek bawahannya dan dilanjutkan dengan pekerjaan yang bisa dilakukan di hari itu. Cukup sederhana melihat kegiatan yang ia dan bawahannya lakukan. Namun, Pendi langsung menambahkan pernyataan bahwa pekerjaannya tidak semudah itu.

“Tetap keteteran, kadang pekerjaan itu sudah mengantri dari jauh hari. Apalagi ukuran kampus UII yang besar ini sudah pasti kebutuhannya banyak juga,” lanjut Pendi memaparkan.

Dalam sepekan, Pendi bekerja dari Senin hingga Jumat. Tak jarang, pada hari Sabtu pun ia diminta datang ketika ada pekerjaan tambahan.

Normalnya, ia berangkat kerja di pagi hari. Saat fajar masih di garis ufuk, Pendi sudah melesat bersama motornya menuju kampus tempat ia bekerja. Berbeda ketika ia bekerja di saat pandemi.

Sejak pandemi Covid-19, kebijakan baru dari instansi tempat Pendi bekerja membuat ia punya waktu lebih di pagi hari. Pendi mulai bekerja pukul sembilan pagi, ia biasanya memanfaatkan waktu sebelum bekerja itu untuk mengurus tanaman cabainya di sawah.

“Lumayan to, buat nambah-nambahi pemasukan,” tutur Pendi.

Lain cerita dengan kehidupannya saat ini, Pendi sudah banyak mencoba berbagai macam pekerjaan.

***

Sayup-sayup suaranya terdengar payau. Sangat hati-hati pula dia berbicara saat menceritakan masa lalunya.

Berbeda dari kebanyakan orang, Pendi sudah bisa melihat peluang bisnis di tempat ia tinggal. Pria asli Cangkringan ini memilih untuk menambang pasir daripada harus merantau ke luar kota seperti kebanyakan orang. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak tamat SMA hingga berumah tangga.

Pendi bisa melakukan bisnis itu dengan mudah karena tempat tinggalnya terdapat material bangunan sisa erupsi Gunung Merapi yang melimpah. Orang-orang di sana pun sangat mudah bila diajak untuk berniaga.

Kian waktu menggeluti pekerjaan tersebut, bukan hal mustahil bagi Pendi untuk menghasilkan banyak uang.

Pepatah mengatakan semakin tinggi kamu berdiri, semakin tinggi pula angin akan menerpamu. Nampaknya, peribahasa itu berlaku pula untuk Pendi. Dari penuturan Pendi, sifat istrinya yang muris akan kehidupan seperti juragan menjadi pemicu keretakan rumah tangganya.

Semenjana Pendi dengan kehidupannya yang sejahtera dalam waktu yang singkat ia ditinggal pergi oleh istrinya.

Tak tersisa apa-apa, truk yang dibelinya dengan mencicil untuk modal menambang pasir pun diraup istrinya pergi. Pendi dan anaknya yang masih belia hanya bisa menerima getirnya takdir. 

Hari yang harus terus dijalani membuat Pendi memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Demi menyambung kehidupannya, ia memulai pekerjaan barunya sebagai ‘laden’ atau asisten tukang bangunan.

Mata Pendi sedikit berkaca-kaca saat melanjutkan fase selanjutnya dari kehidupan dia dan anaknya. Jari-jemarinya saling bertaut mengusap bergantian seakan ia ingin mencoba mengingat lebih dalam lagi ingatan akan masa lalunya. Tak lama ia melanjutkan ceritanya.

“Waktu saya dapat pekerjaan ini, saya ndak langsung jadi tukang, saya laden tukang dulu baru jadi tenaga tukangnya,” ujar Pendi.

Pekerjaan barunya yang berurusan dengan material bangunan membuat Pendi melihat peluang bisnis baru lagi. Ketika ada proyek baru, dia berusaha untuk mensuplai bahan-bahan material bangunan dengan skala kecil. Cukup mudah bagi Pendi untuk mencari bahan seperti pasir atau batu kali mengingat material tersebut melimpah di tempat tinggalnya.

“Begitu saya dapat tawaran, saya langsung hubungi orang buat angkut materialnya, saya talangin dulu uangnya untuk bayar uang sewa truk. Baru setelah itu saya dapat upah waktu proyeknya sudah selesai,” tutur Pendi menjelaskan usaha barunya itu.

Lambat laun penghasilan Pendi sudah mulai stabil. Ia juga bisa cukup tenang karena anaknya tinggal dengan anggota keluarga lain di rumah. Sementara itu, Pendi mencoba keuntungan yang lain dengan memperbesar skala usahanya itu.

Pekerjaan sebagai tenaga tukang bangunan ia tinggalkan, Pendi fokus merintis usahanya. Semakin hari usahanya memberikan titik terang bagi kehidupan Pendi.

Kendati demikian, semakin berjalannya waktu Pendi merasa kurang nyaman dengan bisnis yang ia lakukan. Bisnisnya ini tidak bisa langsung membuahkan hasil. Ketika mendapatkan proyek untuk mensuplai barang, Pendi harus sudah siap dengan material dan kendaraan yang mengangkut ke lokasi proyek.

Hal tersebut harus dibayar awal oleh Pendi, sedangkan uang yang diterimanya untuk mensuplai barang baru bisa diterima ketika proyek sudah selesai bahkan kadang tidak sedikit pihak proyek yang mencicil tagihannya.

“Yang punya truk kan gak mau kalau uangnya dibayar di belakang, mereka maunya jalan kalo ada uangnya. Jadi mau gak mau ya saya harus nunggu talangan uang sama hasil upah murni saya di akhir,” ucap Pendi.

Sistem usaha Pendi yang mengharuskan uangnya terus diputar, tidak akan bisa berjalan kalau ada tunggakan yang belum dibayar oleh mandor proyek.

“Kalau uang gak muter, otomatis saya harus nombok sana-sini. Sedangkan, upah yang seharusnya saya dapat belum juga dikasih kan, saya jadi rugi waktu dan material. Jadinya saya gak nyaman sama pekerjaan ini,” keluhnya.

Pendi mengaku ruang lingkup usaha barunya ini memang sangat menjanjikan. Sekali mendapat tawaran, ia sudah bisa menghitung bagaimana kebutuhan hidupnya di beberapa waktu mendatang. Namun, hal itu juga tidak berlaku ketika tidak ada proyek sama sekali yang bisa Pendi dapat untuk di suplai bahan material.

Alasan itulah yang membuat Pendi untuk tidak melanjutkan usahanya tersebut.

Tahun 2006, rekan Pendi menawarkan pekerjaan sebagai pekerja di UII. Mendapat tawaran itu, Pendi tidak ragu untuk mengambil kesempatan itu, ia bekerja langsung di bawah divisi PFK.

Saat mulai menceritakan bagaimana kehidupannya selama bekerja di UII, raut wajah Pendi mulai cerah, kerutan di dahinya pun mengendur.

Pendi tidak munafik ketika di awal mendapat tawaran pekerjaan ini, ia langsung menanyakan seberapa banyak upah yang akan diterimanya nanti.

“Kalau dibandingkan sama pekerjaan-pekerjaan saya yang dulu, jelas beda sekali kalau dilihat dari upahnya,” jelas Pendi.

Upah yang Pendi peroleh dari pekerjaannya, dibayar dengan sistem upah perhari yang nantinya dibayarkan setiap bulannya.

Sekurang-kurangnya enam puluh ribu rupiah per hari, nominal yang Pendi peroleh selama bekerja. Namun, nominal tersebut belum dikalkulasikan dalam sebulan dan ditambah uang lemburan yang kadang Pendi terima tiap bulannya.

Saat ditanya apakah nominal tersebut bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, Pendi langsung menjawab bahwa rezeki bisa datang dari mana saja.

“Kalau dipikir pakai logika, pasti kurang lihat gaji saya per bulan. Tapi emang kuasa Allah, gak disangka-sangka uang segitu ya cukup aja, ” ungkap Pendi dengan santai.

Pendi menambahkan hal yang membuat ia jauh lebih nyaman untuk bekerja di UII adalah rasa kekeluargaan antara pekerja dan pihak PFK.

“Kalau kerja di sini waktunya fleksibel banget. Kadang saya kalau kerja terus mendadak ada urusan keluarga juga gampang izinnya, dari PFK juga ndak terlalu menuntut, kalau misalnya ada pekerjaan ya dikerjakan kalau bisa, nek dirasa gak mampu nanti diambil alih sama vendor,” lanjut Pendi.

Ia juga mengatakan kalau susahnya mencari pekerjaan membuat ia tetap bertahan untuk bekerja di divisi PFK.

“Sekarang tuh cari kerjaan susah mbak. Ya memang kalau dicari kekurangannya jadi pekerja di sini tuh pasti ada. Cuman gak banyak yang bisa nerima orang kayak saya yang cuman lulusan SMA dan bahkan dapat posisi kerja yang nyaman,” ujar Pendi.

Tampaknya memang pekerjaan inilah yang cocok untuk Pendi, ia sama sekali tidak ragu mengatakan kalau ia nyaman bekerja di sini.

“Walaupun gak seberapa gajinya, tapi saya betah di sini, bisa dibilang ini pekerjaan tetap yang saya miliki,” pungkas Pendi.

Masih berada di gudang tempat ia dan pekerja lainnya berkumpul, Pendi dengan semangat menunjukkan barang-barang fasilitas kampus yang diproduksi dari gudang itu. 

Banyak fasilitas kampus yang digunakan oleh mahasiswa dibuat dan dirawat oleh pekerja-pekerja seperti Pendi.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri kedua dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah sebelum maupun selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Kampus Paling Lestari, Berkat Siapa? (1)

Universitas Islam Indonesia (UII) menduduki peringkat ke-8 nasional dalam ajang Universitas Indonesia (UI) Green Metric World University Ranking atau kampus paling hijau dan lestari tahun 2020. Jarang diketahui, terdapat orang-orang yang tak tersorot hingga UII menyabet gelar tersebut.

Himmah Online – Hari itu cuaca pagi cukup cerah berbalut dengan udara sejuk khas Kaliurang kilometer 14,5. Menyuburkan niat saya untuk lari pagi di area kampus. Dengan menumpang bus Trans Jogja, saya tiba di depan boulevard UII.

Jejeran pohon kurma yang tak pernah berbuah menyambut kehadiran saya. Karena masih masa pandemi, salah satu jalur ditutup. Membuat saya leluasa berjalan sembari melakukan peregangan dan pemanasan.

Pemanasan dimulai dari menoleh dan menahan kepala ke kiri sampai hitungan delapan. Pandangan saya tertuju pada tanaman rambat yang menutupi pagar besi di balik tembok pemisah kampus dan rumah warga–daun dan bunganya berguguran.

Pandangan saya beralih ke sebelah kanan, masih tetap berjalan. Pandangan saya tertuju pada trotoar yang memiliki kanopi dan tanaman Bougainvillea di atasnya. Sama seperti sebelumnya, guguran bunga dan daun memenuhi trotoar.

Semakin ke dalam, pepohonan rimbun menghiasi kanan-kiri boulevard. Bisa dibayangkan betapa banyak sampah tanaman yang berguguran.

“Sendiri aja mbak? Mana temen-temennya yang lain?” Sapa Titi (54) salah satu pekerja lingkungan yang menyapu area boulevard. Titi tidak sendiri, ia menyapu bersama dua teman lainnya, Nur (60) dan Rubi (40). Posisi mereka terpencar di tiga titik berbeda.

Nur dan Rubi sudah bekerja sejak awal proyek pembangunan jalan boulevard UII. Tahun 2014, waktu itu mereka bekerja sebagai kuli yang memikul bebatuan material jalan. “Dulu kerjanya berat, pulangnya bisa sampai malam,” ujar Nur dengan mata berkaca-kaca di hari yang berbeda, saat saya temui khusus untuk melakukan wawancara.

Kini sapu lidi taman, pengki seng, dan tong plastik biru yang dibelah dua menjadi senjata utama mereka. Mulai dari menyapu jalan, mencabut rumput, dan mengumpulkan sampah hingga daun kering. Setiap hari kerja, mereka tiba di kampus pukul enam pagi kemudian pulang pukul tiga sore.

Di area boulevard juga terdapat dua pekerja lain, yaitu Sugeng (51) dan Pujianto (35) yang tugasnya lebih fokus untuk merawat tanaman. Seperti memotong rumput, menyiram tanaman, dan memberi pupuk.

Sugeng sudah bekerja sejak proyek pembangunan taman boulevard UII. Hampir sama seperti Rubi dan Nur. Hanya saja, Sugeng khusus bagian tanam-menanam. Mulai dari menanam rumput, tanaman hias, hingga pepohonan. “Sampai pohon yang besar-besar itu, tapi dulu kan masih dua meteran lah,” ujar Sugeng.

Kini selain merawat tanaman, ia diamanahi sebagai koordinator pekerja lingkungan area boulevard. Sugeng memiliki pekerjaan sampingan, hari Minggu biasanya ia dipanggil ke rumah salah satu dosen untuk bekerja merawat tanaman.

Lain halnya dengan Sugeng, Pujianto atau akrab dipanggil Gonjreng memiliki pekerjaan sampingan sebagai driver ojek online. “Kalau ngandelin kerja dari sini cuma mencukupi buat makan aja, belum kebutuhan anak,” ujar Pujianto yang anaknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Agenda lari pagi saya masih berlanjut. Melewati jembatan yang di kanan-kirinya menjuntai tanaman rambat Muccuna bennetti atau bunga Api Irian, pertanda akhir dari area boulevard UII. Sudah berbeda pula petugas lingkungan yang akan saya jumpai.

Jumlahnya ada 13 petugas lingkungan, tersebar ke tengah hingga belakang area Kampus Terpadu UII. Khususnya di jalanan utama yang biasa dilewati civitas akademika dari satu fakultas menuju fakultas lain, perpustakaan, maupun Masjid Ulil Albab.

Tugasnya hampir sama dengan petugas area boulevard, menyapu jalan, mengumpulkan sampah, dan merawat tanaman. Hanya saja ketigabelas petugas itu bisa dibilang memiliki kerja lebih ekstra dibandingkan petugas area boulevard.

Sing dialami temen-temen iki yo memang dari dulu pahit,” tutur Sambudi (57). 

“Tempatnya seperti ini, ada apa-apa mesti kita-kita yang disuruh nangani duluan. Ada pohon tumbang, selokan mampet, kita (petugas lingkungan),” lanjut Purwanto (54). 

“Semuanya, semua kerjaan sini kita yang nge-handle,” tutur Arkodin (44). 

“Ada problem sama kampung, kita (red: juga yang tangani),” timpal Suparno (53) langsung disambut dengan gelak tawa lainnya.

Begitulah cuplikan percakapan dengan empat petugas kebersihan bagian tengah. Keempat petugas itu sudah mulai bekerja jauh lebih lama dibanding petugas boulevard, yaitu dari tahun 2001. Kecuali Arkodin yang baru mulai bekerja dari tahun 2005, itupun tidak dapat dibilang ‘baru’ juga.

***

Tinggal sedikit lagi saya mendapatkan satu putaran berlari, tiba-tiba seseorang mendahului saya dengan sepeda merah muda berkeranjang depan. Lengkap dengan kaos kuning lengan panjang bertuliskan “Lingkungan” di bagian punggung. Ia adalah Rum (55), petugas kebersihan area makam.

Nggeh,” suara Rum yang khas dengan nada tinggi menjawab sapaan saya.

Sejak tahun 2011 Rum bekerja mencabuti rumput liar, menyapu guguran daun, dan merapikan tanah sisa makam. Tidak hanya itu, tugasnya juga membuat papan nama atau semen yang akan dijadikan nisan sebagai tugas lembur.

Rum tidak sendiri, ada Karjo (71) yang juga bekerja di area makam, mengerjakan tugas yang sama seperti Rum.

Di lain kesempatan saya dapat berbicara lebih leluasa dengan Karjo. Saat itu jam istirahat siang, di bawah pohon rindang sebelum jalan menurun menuju makam, saya duduk bersila bersama Karjo. Ia mulai menceritakan sepenggal hidupnya bekerja di UII.

“Awalnya saya 2002 dulu membersihi itu (red: area perpustakaan), sebelum ada gedung itu (perpustakaan) saya kekreki (membersihkan rumput),” ujar Karjo.

Karjo juga menjelaskan rumput yang tadinya dibersihkan, ketika digali lebih dalam ternyata terkubur candi, saat ia masih bekerja sebagai pekerja proyek pembangunan gedung Perpustakaan Pusat UII.

“Candi bego atau candinya mengko nggon suket tak nyak-nyak, candi iku dibego ada candine (Candi bego atau candinya tadinya tempat rumput saya injak-injak, candi dikeruk (menggunakan bego) ada candinya),” terang Karjo saat bekerja di proyek pembangunan gedung perpustakaan dan menemukan Candi Kimpulan.

Barulah pada tahun 2012 Karjo bekerja di bagian kebersihan makam UII hingga saat ini.

Di tengah Karjo menceritakan kisah hidupnya selama bekerja di UII, ia mengutarakan ketidaktahuan akan nasibnya setelah pensiun.

“Saya ini enggak tahu Mbak, besok itu saya bisa dapat pensiun atau enggak,” tutur Karjo dengan intonasi pelan. 

Karjo juga memaparkan jika ia mendapatkan uang pensiun, ia memiliki impian ingin membelanjakan makanan yang enak untuk anak-cucunya.

“Anak putuku ben do mangan lek aku nduwe pensiun ngoten ngunu lo, dadi sak pensiunan tak belanjake putuku tak kon mangan enak,” ujar Karjo.

***

Ketika mengunjungi situs yang menjelaskan mengenai tata ruang kampus, terpampang foto area UII yang diambil menggunakan drone. Terlihat betapa hijau dan asrinya area kampus terpadu seluas 388.924 m2. Di foto itu juga terdapat keterangan persentase area hijau, yaitu 68% meliputi hutan kampus, taman luar, dan taman dalam.

Di laman tersebut juga menjabarkan deretan prestasi Kampus Terpadu UII dari tahun ke tahun sebagai kampus hijau, kampus asri, hingga kampus swasta paling lestari di Indonesia.

Terdapat satu sub judul yang menjelaskan mengenai lingkungan kampus hijau nan asri, paragraf utamanya terlampir seperti ini:

Kondisi tanaman di Kampus Terpadu UII sejatinya adalah hasil dari proses penghijauan yang diawali sekitar tahun 1995. Hampir semua tanaman adalah hasil dari proses penghijauan tersebut. Kampus Terpadu yang hijau dan asri ini telah membawa UII mendapatkan penghargaan Indonesia Green Awards untuk kategori Green Campus dari La Tofi School of CSR pada tahun 2012, 2014 dan 2016.

Sisanya menjelaskan strategi penghijauan kampus UII dengan empat lapisan tanaman dan prestasi baru pada UI GreenMetric World University Rankings pada tahun 2019 & 2020.

Pada akhirnya penghargaan-penghargaan itu tak lepas dari peran petugas lingkungan yang telah merawat hijaunya kampus UII.

“Sering denger untuk kampus penghijauannya sering dapat nomor, tapi kita yang namanya kayak gitu-gitu (red: apresiasi atau bonus) belum pernah dapat sama sekali mbak,” jawab Purwanto (55) saat ditanyai mengenai apresiasi dari UII kepada pekerja lingkungan setelah mendapat penghargaan kampus paling lestari.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri pertama dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.