Beranda blog Halaman 26

Warga Wadas Konsisten Menolak Rencana Penambangan Batu Andesit

Himmah Online, Yogyakarta–Warga Wadas menyatakan sikap untuk konsisten menolak rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh perwakilan warga Wadas dalam konferensi pers di LBH Yogyakarta pada Rabu (06/07).

“Warga wadas hari ini dan seterusnya masih konsisten menolak rencana penambangan yang akan terjadi di Wadas,” ucap Marsono sebagai sesepuh Desa Wadas.

Adapun perwakilan warga Wadas yang menghadiri konferensi pers di antaranya: sesepuh Desa Wadas, Gempadewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas), Wadon Wadas, Kamudewa (Kawula Muda Desa Wadas), dan unsur warga Desa Wadas. 

Marsono melanjutkan bahwa tanah Wadas bukan hanya lahan untuk bercocok tanam yang mayoritas warganya mencari nafkah sebagai petani, tetapi tempat untuk hidup berkelanjutan.

“Warga Wadas sebagian besar petani. Jadi kalo hilang lahan petani, masyarakat Wadas seluruhnya hilang pekerjaan, tempat tinggal, dan peristiwa yang akan terjadi (hilang masa depan),” lanjut Marsono.

Hal serupa juga dikatakan Anis Maghfiroh dari Wadon Wadas yang menyampaikan bahwa jika Wadas tetap ditetapkan sebagai tambang maka dampaknya bukan hanya sekarang tetapi berlangsung hingga ke anak cucu nanti.

“Yang kita pikirkan bukan hari ini, tapi beberapa tahun, 10 tahun, 15 tahun, bahkan 100 tahun yang akan datang,” kata Anis.

Selain itu, Anis menyayangkan atas tindakan pemerintah yang terkesan memecah-belah warga Wadas dengan menyampaikan isu-isu negatif. 

“Sebenarnya masyarakat (Wadas) tidak ingin menjadi pecah-belah, tetapi sekarang pemerintah sengaja menggunakan cara-cara yang tidak patut untuk memecah belah kami (masyarakat Wadas),” kata Anis.

Anis juga menyampaikan bahwa walaupun kondisi yang terjadi di Wadas sangat miris, ia akan tetap terus menolak rencana penambangan karena menyangkut hidup anak cucu nanti.

“Tapi yang pasti kami akan terus menolak rencana pertambangan di desa kami karena ini menyangkut kepentingan hidup bagi anak cucu kami nanti,” tegas Anis. 

Maka Anis berharap kepada Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah untuk segera mencabut izin pertambangan di Desa Wadas dan mencabut IPL (Izin Penetapan Lokasi) Wadas sebagai lokasi tambang.

”Harapannya ya untuk bapak Ganjar, segera cabut IPL, segera cabut (juga) izin pertambangan di Desa Wadas,” pungkas Anis.

Reporter: Himmah/Fachrina Fiddareini, Kemal Al Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Ada Isu Uang Ganti Rugi, Warga Wadas Tegaskan Tidak Akan Jual Tanah Mereka

Himmah Online, Yogyakarta Perwakilan Kawula Muda Desa Wadas (Kamudewa), Ngabdul Mukti (29), menyampaikan munculnya kabar mengenai Uang Ganti Rugi (UGR) dengan jumlah fantastis yang diberikan oleh pemerintah. Ia menyebut hal tersebut sebagai salah satu upaya pemerintah agar warga Wadas mau menjual tanahnya.

“Sebenarnya perlu digarisbawahi bahwa sejak dulu, bahkan kami beraudiensi dengan KSP (Kantor Staf Kepresidenan) atau dengan lembaga-lembaga yang lain, menyampaikan bahwa walaupun berapa pun jumlahnya, dari kami itu tidak akan menjual sejengkal tanah pun,” tutur Mukti dalam konferensi pers yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Rabu (06/07).

Mukti kemudian menjelaskan bahwa nominal UGR yang diterima tiap warga berbeda, “Ada salah satu orang yang mengaku menerima tiga miliar. Ada seorang lagi yang menerima enam miliar. Ada seorang lagi yang menerima, di media, itu sepuluh miliar.”

Meskipun begitu, kebenaran mengenai jumlah UGR yang menyentuh angka miliaran belum bisa dikonfirmasi oleh warga Wadas. Pasalnya, yang mendapat UGR dan diberitakan di media merupakan orang-orang yang hanya memiliki tanah di Desa Wadas, tetapi tidak tinggal di Wadas.

Menurut Mukti, adanya kabar pemberian UGR ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memecah belah masyarakat. Selain janji akan diberi UGR, warga Wadas juga diiming-iming akan dibeli hasil tanamannya. Hal ini cukup meresahkan karena warga Wadas yang sehari-harinya fokus bekerja dan bertani, merasa bahwa ada pihak yang ingin mengganggu kegiatan tersebut.

“Pasca pembayaran ganti rugi, publik banyak mengetahui bahwa warga wadas menerima rencana pertambangan, padahal sesungguhnya berita itu tidak benar,” ungkap perwakilan Wadon Wadas, Anis Maghfiroh (30). Dalam pernyataannya, Anis juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kepentingan hidup anak cucunya esok.

Salah satu warga Wadas yang hadir lewat media telekonferensi Zoom, Siswanto, menyatakan bahwa warga Wadas tidak butuh UGR karena hasil bumi masyarakat Wadas sudah melebihi UGR yang ditawarkan pemerintah. Oleh karena itu, warga Wadas masih tetap konsisten untuk menolak pembangunan tambang andesit.

“Kami hari ini diam karena fokus untuk melanjutkan hidup dan bercocok tanam. Bukan berarti kita diam karena menerima UGR,” tutur Siswanto.

Reporter: Himmah/Fachrina Fiddareini, Kemal Al Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Nadya Auriga D.

HUT Ke-76, BNI Didesak Berhenti Mendanai Perusahaan Batu Bara

Himmah Online, Yogyakarta Bertepatan dengan hari ulang tahun ke-76, PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk (BNI) mendapat desakan dari Fossil Free Jogja, Sasenitala, dan Extinction Rebellion untuk menghentikan pendanaan kepada perusahaan batu bara dalam aksi “Karangan Bunga untuk BNI” di depan gedung BNI Trikora, Yogyakarta, pada Selasa (05/07).

Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap BNI atas pendanaan yang dikucurkan kepada perusahaan batu bara. Ucapan satire yang mengolok-ngolok pun terpampang penuh di sekeliling gedung BNI. 

“BNI adalah salah satu bank yang cukup besar dan cukup tua. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-76, dan sampai sekarang pun dia, tuh, punya agenda green banking, intinya hal-hal yang berbau lingkungan, konon. Tapi, di belakang itu, dia masih mendanai energi kotor seperti batu bara,” ungkap Arami Kasih, Head of Campaigner Fossil Free Jogja.

Fossil Free, sebagai penyelenggara aksi di Yogyakarta menyesalkan langkah yang diambil BNI dalam mendukung dan mendanai perusahaan batu bara di Indonesia. Alih-alih melayani dan menjadi kebanggan negeri seperti yang selalu dibanggakan dalam slogannya, justru malah sebaliknya. 

“BNI itu kan ada slogannya, tuh, ‘BNI melayani negeri, kebanggaan bangsa’. Kalo misalnya kebanggan bangsa, nggak akan jadi kebanggaan bangsa kalo misalnya masih mendanai batu bara. Jadi, BNI melayani negeri tanpa batu bara, harus tanpa batu bara,” tambah Arami.

Uniknya, karangan bunga dan ucapan yang disampaikan pada aksi tersebut menggunakan barang bekas dan tidak terpakai, seperti kardus dan styrofoam. Sasenitala, sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memanfaatkan momen ini untuk mengembalikan limbah karangan bunga yang dikirim BNI pada saat Dies Natalis ISI Yogyakarta ke-38 pada Mei lalu. 

“Ini adalah satu-satunya yang menggunakan styrofoam dan merupakan limbah dari salah satu kampus di Jogja, sebagai ucapan selamat dari BNI, jadi ini dibalikin lagi gitu. Kita balikin limbahnya,” terangnya.

Sekitar pukul 17.30 WIB, pihak satuan pengaman BNI membersihkan karangan bunga dan ucapan selamat yang berjajar di pelataran BNI. Reporter himmahonline.id berusaha meminta tanggapan dari pihak BNI terkait hal tersebut. Namun, pihak yang bersangkutan enggan untuk memberikan tanggapan apa-apa. 

Aksi yang dilakukan Fossil Free ini tak hanya digelar di Yogyakarta saja. Kota Medan, Surabaya, Jakarta, dan Cirebon pun turut serta meramaikan dengan aksi yang beragam. Di samping itu, komunitas kampus dan peduli iklim lainnya turut andil dalam aksi ini.

Reporter: Himmah/Kemal Al Kautsar Mabruri, Farah Azizah, Eka Ayu Safitri, Nawang Wulan

Editor: Nadya Auriga D.

Minim Partisipasi hingga Pencurian Suara dalam Pemilwa, Apakah Student Government Masih Relevan? (3)

Gelaran Pemilwa 2022 diselimuti berbagai persoalan. Mulai dari minim partisipasi, adanya pencurian suara, hingga tidak adanya pengawasan dari pihak eksternal. Pada akhirnya timbul pertanyaan besar mengenai relevansi sistem Student Government yang dianut KM UII.

Himmah OnlineDiikuti oleh 30,55% dari total populasi mahasiswa, Pemilwa 2022 rampung digelar pada 26 Maret lalu. Bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 020/KPTS/KPU II/III/2022 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Periode 2021/2022.

Minim partisipasi hingga pencurian suara masih menyelimuti gelaran Pemilwa 2022. Ini pun memunculkan pertanyaan, apakah sistem Pemilwa hingga sistem dalam menjalankan roda lembaga legislatif dan eksekutif di UII masih relevan.

Sistem Student Government (SG)—sistem yang digunakan sekarang—mulai digunakan KM UII sejak 1950. Menurut Rizaldy Mahendra, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2018, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB), sistem SG tidak relevan di era sekarang.

“Relevan di zaman Slamet Saroyo (aktivis UII tahun 80-an) belum tentu relevan hari ini,” terang pria yang disapa Aldy saat diwawancara reporter himmahonline.id pada Sabtu (23/04) melalui pesan WhatsApp.

Bagi Aldy, penggunaan sistem parlementer (yang dijalankan dalam sistem pemerintahan SG) akan percuma, karena sistem pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem presidensial. “Untuk apa kita belajar parlementer kalo ujung-ujungnya di Indonesia kita pakai presidensial? Kan, percuma,” tambah Aldy. 

Berbeda dari Aldy, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM-U) 2020/2021, Fadli Nur Yusup menilai bahwa sistem SG masih relevan. Namun, ia mengakui bahwa terdapat kelemahan pada kontestasi Pemilwa.

“Itu (SG) masih sangat relevan, tetapi lemahnya sistem parlementer ada pada kontestasi Pemilwa karena tidak ada pengawasan dari partai. Pengawasannya hanya dari internal saja, tidak ada dari eksternal yaitu partai,” tutur Fadli saat diwawancara Rabu siang (01/06) melalui media telekonferensi Zoom.

Di tingkat universitas, terdapat 23 mahasiswa yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Sejumlah 22 caleg tersebut berhasil melebihi ambang batas (threshold) yang sudah ditetapkan (201 suara). Satu dari yang terpilih akan menjadi mandataris Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) yang ditentukan dalam forum tertutup dengan hanya diikuti 22 orang tersebut.

Menimbang Kekurangan dan Kelebihan Student Government 

Fadli yang menilai sistem SG masih relevan pun sempat mengakui kelemahan sistem tersebut. Baginya, itu terlihat pada kontestasi Pemilwa yang tidak ada pengawasan pihak eksternal seperti partai.

Sementara, Aldy menilai bahwa kelemahan sistem SG adalah rawan penyimpangan. “Sistem SG ini sangat rawan penyimpangan. Penentuan eksekutif rawan dengan politik praktis karena mandataris LEM ditunjuk dalam sidang tertutup DPM,” tutur Aldy.

Hal demikian dianggap rancu dalam pelaksanaan Pemilwa, ini dikarenakan saat mencalonkan diri, setiap calon akan berkampanye sebagai legislatif, bukan eksekutif. Namun, pada akhirnya akan ada satu yang jadi ketua eksekutif.

“Lucunya lagi, seseorang yang ingin memegang jabatan eksekutif diharuskan dulu mencalonkan diri menjadi legislatif. Jadi, ketika kampanye ia harus berkampanye sebagai legislatif bukan eksekutif,” ungkap Aldy. “Biar tidak lucu, ya, solusinya eksekutif dipilih langsung (oleh mahasiswa),” tambahnya. 

Selain itu, menurut Fadli, sistem SG berakibat pada dinamika politik di KM UII yang terbatas. Termasuk dalam kontes-kontes perpolitikan, pemilwa, dan sebagainya.

“Itu (dinamika politik) sangat kurang sekali. Makanya banyak aliansi-aliansi seperti UII Bergerak berupaya untuk menggerogoti proses pemilu kita. Saya sangat mengapresiasi, tetapi memberi catatan kepada mereka (bahwa) kurang tajam untuk menjadi orang yang peduli terhadap KM UII. Karena, menurut saya hanya sebatas dilakukan pada saat momen itu, padahal DPM banyak sekali (tugasnya) kalau mau dikaji. Saya sangat mengapresiasi,” ucap Fadli.

Aldy menambahkan, bahwa positifnya Student Government di UII karena berbentuk lembaga dan bukan badan. Sehingga posisinya bukan di bawah rektorat, tetapi sejajar. Namun, ia beranggapan dalam penerapannya masih belum sepenuhnya bisa mandiri.

“Kita belum punya lembaga penegak dan lembaga audit. Jadi investigasi dan lainnya jika tidak buat badan ad hoc, ya, diserahkan ke fakultas atau rektorat,” ungkap Aldy. 

KM UII Perlu Berbenah Diri 

Minimnya partisipasi bukan menjadi hal yang baru dalam gelaran Pemilwa KM UII. Menilik laporan berjudul “Pemilu dan Kebisuan Mahasiswa” yang termuat dalam Majalah Himmah Nomor 03/XXI/1990-Transformasi Pesantren; Mau Kemana?, menampilkan persentase partisipasi mahasiswa dalam memilih Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM)—sekarang DPM-U dan DPM-F.

Di tingkat universitas, hanya 11,8% mahasiswa yang menggunakan hak suaranya, atau sebanyak 1.075 dari total 8.012 mahasiswa.

Pada tingkat fakultas, angka partisipasi paling tinggi dipegang oleh Fakultas Tarbiyah (sekarang FIAI), dengan tingkat partisipasi mencapai 25,6%. Sedang paling minim dipegang oleh Fakultas Ekonomi (sekarang FBE), dengan tingkat partisipasi hanya 6,7%.

Tabel persentase pemilih Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) pada Pemilu 1990 dalam laporan berjudul “Pemilu dan Kebisuan Mahasiswa” yang termuat di Majalah Himmah Nomor 03/XXI/1990-Transformasi Pesantren; Mau Kemana?. Foto: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Fadli berpendapat, minimnya partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa dikarenakan adanya lima tipe mahasiswa di UII. Pertama, ada yang berminat dan aktif dalam organisasi (aktivis). Kedua, semi aktivis atau ikut dalam kegiatan kepanitiaan jangka pendek. Ketiga, aktivis karbitan, yaitu mahasiswa yang tidak minat keduanya tetapi ikut bersuara dan ikut membuat kegaduhan. Keempat, mahasiswa akademisi, mahasiswa yang aktif secara akademik seperti melakukan riset dan pengabdian masyarakat. Kelima, mahasiswa yang tak peduli apapun atau hanya kuliah pulang-kuliah pulang. 

“Tidak bisa kita mengambiuskan (memaksakan) nilai itu—tingkat partisipasi dalam Pemilwa 2022—tanpa mengindahkan lima poin (tipe mahasiswa) yang saya sebutkan. Semakin ke sini yang saya soroti adalah kepercayaan mahasiswa terhadap lembaganya. Saya ambil (contoh) dinamika universitasnya, jangankan mahasiswa terhadap lembaganya, DPM-F ke DPM-U pun tidak memiliki kepercayaan,” tutur Fadli.

Aldy juga mengatakan, bahwa partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa 2022 sebanyak 30,55% tidak bisa dijadikan representatif dari seluruh mahasiswa. “Menurut saya minimnya partisipasi mahasiswa ini dikarenakan iklim di UII tidak kompetitif dan tidak mendukung untuk belajar berpolitik,” papar Aldy.

“SG kita ini tidak memakai sistem multi partai, tapi sebenernya ada partai yang bermain di belakang. Kan sudah tidak fair. Lalu untuk Pemilwa, lebih spesifiknya tidak ada aturan yang mengatur calon yang sedang diinvestigasi tidak boleh mencalonkan diri. Buktinya ada calon yang menjadi terduga kasus pungli tetap bisa menjadi anggota DPM periode ini,” tambahnya. 

Untuk meningkatkan tingkat partisipasi, Aldy berpandangan bahwa caranya adalah dengan menciptakan iklim politik yang kondusif. “Kalau ada aturan pelarangan partai (organ ekstra) ya harus tegas, jangan pilih-pilih untuk menindak,” pungkasnya terkait pencalonan dalam kontestasi Pemilwa.

Selain itu, ia juga menyarankan untuk membuat sistem multi partai. Sama halnya dengan sistem eksekutif yang dipilih langsung oleh mahasiswa. Menurutnya, hal ini akan meningkatkan tingkat partisipasi dalam memilih wakil mahasiswa.

“Itu akan menaikan minat partisipan, jadi suasana politik nanti akan hidup. Lebih lengkapnya bisa dibuat semi presidensial atau presidensil agar ada keseimbangan kekuasaan (power distribution) dengan sistem check and balance antara legislatif dan eksekutif,” tegas Aldy. 

Sementara bagi Fadli, terdapat tiga poin evaluasi untuk sistem kelembagaan SG di UII. Salah satunya mengangkat Badan Audit

Kemahasiswaan (BAK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilwa (PANWASLA), dan Komisi Penyelenggara Sidang Umum (KPSU) menjadi independen.

“Walaupun secara Peraturan Keluarga Mahasiswa (PKM) itu diatur menjadi badan independen sementara, tetapi seharusnya diangkat. Artinya dia bisa memilih (administratif dan hukum) sendiri, regenerasi sendiri,” tutur Fadli.

Selain itu, ia berpendapat bahwa PKM perlu adanya pembaruan undang-undang yang ada di UII. “Terutama PKM. Contoh, yang saya soroti adalah PKM pembagian anggaran triwulan, itu banyak sekali yang perlu diubah dan direvisi, karena sifat lembaga sekarang sudah mulai banyak memperbaharui dan sudah banyak kegiatan program kerjanya,” sambungnya.

“Selanjutnya, SG atau parlemen ini yang harus dibongkar adalah pemikiran mereka yang ada di legislatif, yakni menghilangkan metode berpikir politik dan metode berpikir kepentingan,” ucap Fadli.

Reporter: Himmah/Kemal Al-Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Pranoto, Syahnanda Annisa, Zalsa Satyo Putri Utomo 

Editor: Nadya Auriga D.

*Naskah ini merupakan seri ketiga dari tiga serial laporan khusus tentang Pemilwa KM UII 2021/2022. Naskah sebelumnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Karut-Marut Gelaran Pemilwa 2021/2022 (2)

Perjalanan Pemilwa 2022 tak semulus yang dibayangkan, terdapat pencurian suara hingga terjadi pengulangan pemungutan suara.

Himmah Online Gelaran Pemilwa tahun ini sebetulnya menjadi kesempatan pertama bagi mahasiswa angkatan 2021 untuk turut memilih wakilnya di kursi legislatif. Akan tetapi, justru menghadirkan kekacauan. Terjadinya pengulangan pemungutan suara, contohnya.

Dimulai pada 17-19 Maret, pemungutan suara pertama dilaksanakan. Namun, akhirnya dilakukan pemungutan suara ulang karena Panitia Pengawas Pemilwa (Panwasla) menilai terjadi kecurangan.

Pihak Panwasla menyebutkan, adanya pengulangan pemungutan suara karena pada hari pertama terdapat keluhan dari calon legislatif (caleg). Para caleg mengeluhkan laman web pemungutan suara yang eror saat akan melakukan pemilihan.

“Di hari kedua makin parah, pihak KPU sendiri benar-benar tidak merespon di grup (WhatsApp). Akhirnya pihak Panwasla mencoba melakukan inisiasi melalui pesan grup dengan para caleg, baik di tingkat fakultas maupun universitas,” tutur Fachry Ali, Ketua Panwasla pada Jumat (17/06).

Inisiasi tersebut adalah mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Saat RDP, seluruh caleg hanya meminta laman pemungutan suara segera diperbaiki. Tentunya, perbaikan laman ini akan memakan waktu dalam pelaksanaannya.

Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Keluarga Mahasiswa (KM) UII sendiri memiliki kendala berkaitan dengan tidak adanya landasan hukum yang mengatur penambahan hari dalam pemilihan legislatif. 

Hal ini tertuang dalam Peraturan Keluarga Mahasiswa (PKM) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), di mana pemungutan suara hanya dilaksanakan selama tiga hari. Sedangkan, pihak caleg merasa dirugikan akibat laman pemungutan suara yang eror selama dua hari.

Pada akhirnya, pihak Panwasla mengajukan sidang ajudikasi yang sebelumnya telah dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan para caleg. Kemudian, pihak Panwasla memberi dua pilihan: pemilihan caleg tetap dilanjutkan setelah perbaikan laman selama satu hari, atau diulang dari awal tetapi terdapat pemutihan, yakni penghapusan jumlah suara menjadi nol.

Sedang menurut Muhammad Yusuf Radhika, ketua KPU KM UII, pemungutan ulang diajukan oleh Panwasla melalui sidang ajudikasi bukan hanya lantaran terjadi kecurangan, tetapi adanya kongkalikong antara Panwasla dengan para caleg. 

“Adanya pemilihan ulang dalam pelaksanaan Pemilwa ini karena adanya ajudikasi. Panwasla merasa terdapat kecurangan dalam KPU. Kenyataannya, baik dari Panwasla ataupun pelapor (red–caleg) telah terjadi kongkalikong di belakang. Oleh karena itu, pihak KPU memutuskan untuk walk out saat ajudikasi berlangsung,” tutur Yusuf saat diwawancara reporter himmahonline.id pada Jumat (17/06).

Yusuf melanjutkan bahwa pihak KPU—sebagai penyelenggara Pemilwa 2022—sebenarnya tidak ingin pemungutan suara diulang. Namun, karena pihak Panwasla meminta diulang, maka mereka mengulang pemungutan suara.

“Sebenarnya kami tidak ingin diulang, tapi karena dari pelapor dan Panwasla minta diulang, maka kami ulang,” sambung Yusuf.

Tak cukup sampai di situ, angkatan 2021 juga mengalami kenyataan yang pahit. Beberapa mahasiswa mengalami pencurian suara, salah satunya Divani Estafiana, mahasiswi Prodi Farmasi angkatan 2021.

Divani menceritakan jika ia tidak dapat memilih caleg karena suaranya telah digunakan oleh orang lain. “Setelah aku mau milih lewat tautan resmi Pemilwa, kan disuruh masukin NIM (Nomor Induk Mahasiswa) dan TTL (Tempat Tanggal Lahir), tapi tiba-tiba tidak bisa dan tulisan di lamannya: NIM sudah memilih,” tutur Divani kepada reporter himmahonline.id pada Jumat (10/06).

Tak hanya Divani, 73 mahasiswa Farmasi angkatan 2021 lainnya juga mengalami hal serupa. Suaranya dalam Pemilwa 2022 telah dicuri. Data tersebut didapatkan reporter himmahonline.id pada Rabu (08/06) melalui Ketua LEM FMIPA UII periode 2020/2021, Akmal Fauzan.

Divani mencoba melaporkan hal tersebut ke Panwasla, tetapi akhirnya tetap tidak dapat memilih. “Tidak ada perubahan sama sekali, tetap tidak dapat memilih sampai tenggat waktu pemilihan dari Pemilwa berakhir,” sambung Divani.

Lagi-lagi, Anna (bukan nama sebenarnya), mahasiswi Teknik Kimia angkatan 2020 juga mengalami peristiwa yang sama.

Saat itu, Anna sedang berbincang mengenai Pemilwa 2022 dengan beberapa temannya melalui grup WhatsApp. Di tengah percakapan, salah satu temannya berkata akan menggunakan akun Anna dan lainnya untuk memilih caleg. Penasaran, Anna mencoba melakukan pemilihan sendiri, tetapi gagal karena suaranya telah dicuri.

Merasa tidak adil, Anna bertanya kepada temannya tersebut. Namun, temannya mengklarifikasi jika perkataannya saat itu hanya candaan saja. Kemudian, Anna melaporkan masalah ini melalui Google Form yang disebarkan oleh Panwasla. 

“Setelah itu, ada banyak pesan siaran mengenai pengaduan Pemilwa dengan mengisi form. Aku langsung isi form tersebut. Nggak lama kemudian, aku disuruh milih lagi,” terang Anna.

Anna menyebutkan bahwa akunnya baru dapat digunakan untuk memilih caleg setelah mengisi formulir aduan yang dibagikan dalam pesan siaran grup tersebut.

Pasca pemutihan hingga pemungutan suara kedua rampung, Panwasla telah menerima 10 aduan yang terdiri dari 5 aduan laman pemungutan suara eror, 2 aduan belum memilih sudah terisi, dan 3 aduan melakukan kampanye di luar masa kampanye.

Reporter himmahonline.id mencoba meminta data pengaduan sejak awal gelaran Pemilwa. Namun, ketika ditanya pada Senin (20/06), Fachry hanya memberikan jawaban akan ditanyakan ke Bidang 2 Panwasla yang memegang data terkait aduan.

Padahal, permintaan data sudah diajukan reporter himmahonline.id sejak 4 April 2022 kepada Nayla Rosya, staf Bidang 2 Panwasla. Namun, hingga naskah ini diterbitkan, data yang diminta tersebut belum juga diberikan.

***

Baik Panwasla selaku pengawas, maupun KPU selaku penyelenggara, menilai gelaran Pemilwa tahun ini belum berjalan dengan baik dan optimal.

“Jalannya Pemilwa tahun ini belum berjalan dengan baik, karena adanya ajudikasi yang pertama. Banyak sekali kecacatan administrasi, karena semuanya disiapkan dalam jangka waktu yang mepet,” tutur Fachry.

Meski demikian, Fachry melanjutkan bahwa jika ditilik dari sisi banyaknya caleg yang mendaftar gelaran Pemilwa, tahun ini dianggap sukses. 

“Pemilwa tahun ini sukses secara regenerasi. (Tingkat) univ sendiri 22 orang (red–caleg) yang daftar, dan itu sejarah. Sebenarnya 24, satu orangnya nggak dapat suara, satu orangnya lagi mengundurkan diri. Secara regenerasi bagus, tetapi kalau untuk teknis belum,” lanjut Fachry.

Sedang menurut Yusuf, penyelenggaraan Pemilwa 2022 sudah baik. Akan tetapi, jika berbicara mengenai apakah optimal atau tidak, ia beranggapan kurang optimal.

“Kalau misalkan berbicara tentang optimal atau tidak, saya bicara bahwasanya kurang optimal. Ada beberapa faktor yang menunjang ini tidak maksimal. Pertama, dari internal KPU sendiri. Adanya perombakan rekan-rekan tim (red–struktur KPU) dan dari kesiapan teman-teman caleg yang lama,” tegas Yusuf.

Terkait laman pemungutan suara yang acapkali eror, penggunaan NIM dan tempat tanggal lahir dianggap menjadi pemicu mudahnya penyalahgunaan, seperti Divani dan Anna. Yusuf menuturkan bahwa sebetulnya pihaknya ingin pemungutan suara dilakukan dalam laman UII Gateway.

“Pada awalnya, pihak KPU menginginkan pemilihan dilakukan melalui laman UII Gateway. Karena pada saat itu pelaksanaan Pemilwa bersamaan dengan pelaksanaan key-in, maka pihak KPU berharap mahasiswa dapat diarahkan ke laman Pemilwa terlebih dahulu sebelum ke laman key-in. Akan tetapi, upaya ini belum bisa terlaksana,” tutur Yusuf.

Ditanya mengenai tingkat partisipasi, Yusuf menuturkan bahwa baik dari segi partisipasi caleg maupun pemilih, gelaran Pemilwa 2022 sudah jauh lebih baik dari gelaran sebelumnya.

“Jika berbicara mengenai persentase orang legis-nya (red-caleg), ini sudah 100% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Menurut saya, dari caleg sendiri ketertarikan berlembaga itu sudah tinggi, baik dari tingkat fakultas maupun universitas. Selanjutnya, untuk persentase pemilih tahun ini, kuantitasnya juga sudah lebih banyak dari tahun sebelumnya,” ungkap Yusuf.

Menilik naskah pertama, caleg periode ini memang lebih banyak 22 orang dari Pemilwa periode sebelumnya, lalu naik 8.93% dari segi pemilihnya. Lantas apakah absennya 15.685 mahasiswa dari gelaran tahunan ini dapat disisihkan begitu saja? Apa yang membuat mereka enggan terlibat? Sebetulnya apa yang jadi permasalahan utama?

Reporter: Himmah/Kemal Al Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Pranoto, Syahnanda Annisa, Zalsa Satyo Putri Utomo

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

*Naskah ini merupakan seri kedua dari tiga serial laporan khusus tentang Pemilwa KM UII 2021/2022. Naskah sebelum maupun selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Pemilwa (yang Lagi-lagi) Tidak Menggugah Selera (1)

Partisipasi mahasiswa dalam Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) tahun ini naik, tetapi suara yang masuk bahkan belum mencapai setengah dari jumlah mahasiswa yang boleh menyumbangkan hak suaranya.

Himmah Online Ahmad dan Raihan adalah mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Islam Indonesia (UII) angkatan 2020. Mengecek pesan yang masuk di WhatsApp sudah jadi kebiasaan untuk mereka.

Minggu itu, ada pesan siaran yang beberapa kali muncul di grup angkatan keduanya. Pesan itu berisi ajakan untuk menyumbangkan suara mereka pada ajang Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (Pemilwa KM UII) 2021/2022.

“Bagi teman-teman yang ingin menonton video tutorial dan penjelasan voting, teman-teman dapat mengakses link berikut,” tulis salah satu teman Ahmad dan Raihan yang mengirim pesan ajakan disertai tautan menuju akun Instagram dan kanal YouTube Pemilwa yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) KM UII.

Ahmad hanya membaca sekilas pesan siaran tersebut, kemudian kembali membuka pesan-pesan yang lain. “Sekilas aku buka chat-nya, buat gugurin notifikasi,” tutur Ahmad. Akun Instagram maupun kanal YouTube Pemilwa pun tak ia kunjungi.

Tak jauh berbeda dengan Ahmad, Raihan juga hanya mengabaikan pesan ajakan tersebut. Namun salah satu teman Raihan mengirim pesan pribadi, membujuknya untuk memilih salah satu calon legislatif.

Dimulai pada 3 Maret 2022, rangkaian Pemilwa berakhir dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Nomor 020/KPTS/KPU II/III/2022 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Periode 2021/2022 pada tanggal 26 Maret yang lalu. Hasilnya, 30,55% mahasiswa berpartisipasi pada gelaran tahunan tersebut.

Pada 14-15 Maret, akun Instagram Pemilwa merilis nama-nama calon legislatif baik untuk tingkat fakultas sampai tingkat universitas. Bersamaan dengan itu, diunggah pula video orasi tiap calon berisi pemaparan visi-misi pada kanal YouTube Pemilwa.

Pemaparan visi-misi kemudian dilanjutkan dengan pemungutan suara pada tanggal 23-25 Maret yang diselenggarakan secara daring. Hal ini sudah berjalan selama dua periode gelaran Pemilwa akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan SK yang diterbitkan oleh KPU KM UII, terdapat 78 wakil mahasiswa yang lolos ambang batas (threshold); 22 orang di tingkat universitas dan 56 orang di tingkat fakultas.

Sebanyak 69 orang duduk di bangku legislatif, baik di tingkat universitas (Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas/DPM-U) dan tingkat fakultas (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas/DPM-F). Lalu, 9 sisanya akan duduk di kursi eksekutif (Lembaga Eksekutif Mahasiswa/LEM) untuk tingkat universitas dan fakultas, masing-masing satu orang.

Namun, jumlah legislatif di tingkat universitas berkurang setelah Bimantara Muhammad mengundurkan diri. Selain itu, Rizki Hendrawan yang didapuk menjadi mandataris LEM menjadikan kursi legislatif di tingkat universitas tersisa 20 orang.

Reporter himmahonline.id mencoba menghitung persentase partisipasi mahasiswa dalam gelaran Pemilwa empat tahun terakhir. Penghitungan dilakukan dengan cara membagi suara yang masuk dengan jumlah mahasiswa aktif S1 dan D3, lalu mengalikannya dengan seratus.

Data partisipasi tiap tahun reporter himmahonline.id himpun dari panitia Pemilwa tiap tahunnya, UII News, dan DPM-U yang setelahnya diolah oleh Divisi Penelitian dan Pustaka (Pelita) Himmah UII.

Data pemilih (mahasiswa aktif S1 dan D3) yang digunakan untuk Pemilwa 2018/2019, 2019/2020, 2020/2021, dan 2021/2022 adalah data mahasiswa S1 dan D3 di semester terselenggaranya Pemilwa.

Gelaran Pemilwa pada periode ini sepatutnya diikuti oleh 22.587 mahasiswa aktif yang ada di UII. Namun berdasarkan data yang masuk, hanya 30,55% atau 6.902 mahasiswa yang menyumbangkan hak suaranya. Artinya terdapat 15.685 mahasiswa yang tidak menggunakan hak suaranya, salah satunya Ahmad.

Persentase ini naik 8,93% dari Pemilwa 2020/2021. Meskipun begitu, suara yang masuk bahkan belum mencapai setengah dari jumlah mahasiswa yang boleh menyumbangkan hak suaranya.

Partisipasi tertinggi dalam Pemilwa 2022 dipegang oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA), dengan persentase partisipasi mahasiswa sebanyak 43,71% atau sebanyak 939 mahasiswa. Disusul oleh Fakultas Hukum (FH) dengan partisipasi mahasiswa sebanyak 39,55%. Kemudian Fakultas Kedokteran (FK) dengan angka mencapai 37,16%.

Kemudian Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) serta Fakultas Psikologi dan Seni Budaya (FPSB) menjadi fakultas paling minim tingkat partisipasinya di antara fakultas lain. FBE mempunyai  23,29% partisipasi mahasiswa, sedang FPSB hanya 14,87% saja.

Partisipasi tiap fakultas dalam Pemilwa 2022 cukup meningkat apabila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Kenaikan partisipasi yang cukup signifikan bisa dilihat dari FPSB, di mana pada Pemilwa 2019/2020 hanya memiliki partisipasi mahasiswa sebanyak 1,93%. Sebaliknya, FK malah mengalami penurunan partisipasi sebanyak 47,27%.

Timbul pertanyaan mengenai bagaimana cara pemilih memilih calon legislatif untuk menjadi wakilnya di tingkat legislatif. Video visi-misi yang diunggah pada kanal YouTube Pemilwa mungkin bisa dijadikan pertimbangan.

Dengan data per 31 Maret 2022 (enam hari setelah periode pemungutan suara berakhir) terdapat akumulasi penonton sebanyak 2.513 pada semua video visi-misi yang diunggah pada kanal YouTube Pemilwa. Artinya, jika seluruh penonton video orasi menggunakan hak suaranya, maka hanya 36,40% dari seluruh mahasiswa yang menyumbangkan hak suaranya (6.902 mahasiswa) yang menonton video-video orasi tersebut.

Dari seluruh calon legislatif baik di tingkat universitas maupun fakultas, video orasi milik Bimantara Muhammad menjadi video yang paling banyak ditonton, yakni sebanyak 181 kali. Sedang video milik Abdulah Ibnu (calon legislatif universitas) dan Muhammad Fauzi (calon legislatif FPSB) menjadi video orasi paling minim penonton dengan hanya ditonton sebanyak 7 kali.

Akmal Fauzan memiliki selisih perolehan suara dengan penonton video visi-misi paling besar, yakni sebanyak 719. Sementara itu, Bimantara Muhammad memiliki selisih paling sedikit, yaitu hanya sebanyak 31.

Ada kemungkinan bahwa sekian persen mahasiswa memilih wakilnya secara acak. Mahasiswa lain bisa jadi melihat visi-misi calon legislatif lewat poster cetak, bahkan poster digital yang beredar di media sosial. Atau seperti Raihan, memilih tanpa sedikit pun mengenali calon dan menilik visi-misinya. Hal itu lantaran suaranya ia gunakan untuk memilih salah satu calon karena bujukan kawannya, “Nyoblosnya karena disuruh,” terang Raihan.

Dengan adanya data-data tersebut, serta tidak melupakan fakta bahwa pemungutan suara dilakukan sebanyak dua kali, bagaimana Pemilwa 2022 ini berjalan?

Reporter: Himmah/Kemal Al Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Pranoto, Syahnanda Annisa, Zalsa Satyo Putri Utomo

Visualisasi Data: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

*Naskah ini merupakan seri pertama dari tiga serial laporan khusus tentang Pemilwa KM UII 2021/2022. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Tingginya Kekerasan Terhadap PRT Menunjukan RUU PPRT Perlu Disahkan

Himmah Online, Yogyakarta – Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukan dalam rentang 2005 hingga 2020 terdapat 2.332 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Sedang pada 2021, terdapat 17 kasus. Angka tersebut menunjukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) perlu segera disahkan.

Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan, menuturkan kekerasan yang terjadi terhadap PRT terdiri dari kekerasan ekonomi, fisik, seksual dan psikis.

“Kasus tersebut meliputi kekerasan ekonomi, fisik, seksual dan psikis. Hal ini semakin menunjukan bahwa RUU PPRT semakin dibutuhkan,” tutur Andy dalam diskusi bertajuk “Panggung Ekspresi: Rekatkan Dukungan Sahkan RUU PPRT” pada Selasa (21/06).

Diskusi yang digelar Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES) bersama dengan Komnas Perempuan dan Yayasan Pupa tersebut sebagai dukungan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT yang belum disahkan sejak pertama kali diusulkan pada 18 tahun lalu.

Bagi Andy, daya tawar PRT bergantung pada kebijakan pemerintah. Terkhusus dalam segi ekonomi, penegakan hukum, hingga pendidikan.

“Ada situasi yang justru memungkinkan seseorang khususnya perempuan untuk bekerja menjadi pekerja rumah tangga, baik di dalam maupun di luar negeri. Kondisi ini dipengaruhi oleh kapasitas tata kelola pemerintahan khususnya ekonomi, dan juga dalam hal penegakan hukum termasuk pendidikan,” tutur Andy dalam diskusi yang digelar melalui saluran Zoom tersebut.

Senada dengan Andy, Usin Abdiansyah Putra Sembiring, anggota DPRD Provinsi Bengkulu, mengungkapkan banyak kasus kekerasan terhadap PRT yang belum terungkap.

“Banyak kasus yang belum terungkap dan bahkan terlewatkan sebagai bagian dari perlindungan negara atas nyawa, kesehatan, keselamatan serta martabatnya dalam melaksanakan pekerjaan sebagai PRT,” ungkap Usin.

Usin menambahkan, belum disahkannya RUU PPRT di DPR RI tidak menghalangi pemerintah daerah untuk tetap melaksanakan perlindungan terhadap PRT. Pemerintah daerah dapat menggunakan sejumlah peraturan yang berlaku.

“Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal perlindungan pekerja rumah tangga melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota,” ucap Usin.

Mickael Bobby Hoelman, ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) turut menyatakan sikap dukungan perlindungan dan pemenuhan hak PRT

“DJSN mendukung upaya perlindungan serta pemenuhan hak atas perlindungan yang layak bagi pekerja rumah tangga, salah satunya dilakukan melalui jaminan sosial,” tutur Hoelman.

Ia juga menambahkan, untuk sampai dalam tahap pengakuan, ada dua cara yang bisa dijalankan.

“Ada beberapa peluang yang harus dilakukan atau ditelusuri agar sampai di tahap pengakuan. Yang pertama, adanya UU akan lebih memudahkan pengakuan terutama dari pemberi kerja. Kedua, dalam hal tidak adanya UU, perlindungan di Indonesia tidak sama dengan pekerja migrasi,” pungkas Hoelman.

Reporter: Himmah/Ani Chalwa Isnani

Editor: Pranoto

Eko Riyadi: Tugas Intelektual Memproduksi Pengetahuan dan Membela yang Terzalimi

“Akademisi adalah intelektual. Intelektual itu tugasnya dua, memproduksi pengetahuan dan memberikan pembelaan kepada mereka yang terzalimi.”

Himmah Online – Konflik struktural antara pemerintah dan masyarakat kerap terjadi di Indonesia. Hal tersebut kerap terjadi di sektor agraria. Sepanjang tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terjadi 207 konflik agraria di 32 provinsi. Salah satunya terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.

Di setiap pusaran konflik, pemerintah acapkali menjadikan aparat sebagai kaki tangannya yang justru tidak memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. Namun, seringkali berujung pada kekerasan.

Pada Selasa 8 Februari 2022 lalu di Wadas, misalnya, aparat gabungan yang terdiri dari pihak Kepolisian, TNI, dan Satpol PP datang ke Wadas guna mengawal jalannya pengukuran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengawalan tersebut justru berujung pembatasan akses hingga penangkapan.

Merespons hal tersebut, sebanyak 55 akademisi yang tergabung dalam koalisi Akademisi Peduli Wadas mendesak untuk dilakukannya peninjauan ulang terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener. Salah dua akademisi yang tergabung di dalam koalisi tersebut berasal dari Universitas Islam Indonesia (UII), yakni Eko Riyadi dan Idul Rishan. Keduanya merupakan dosen di Fakultas Hukum.

Reporter himmahonline.id berkesempatan menemui Eko Riyadi untuk melakukan wawancara. Dalam kurang lebih 40 menit wawancara, kami menanyakan keterlibatannya di koalisi Akademisi Peduli Wadas, penyebab konflik struktural yang kerap terjadi di Indonesia, hingga keberpihakan akademisi di setiap konflik struktural.

Dosen dengan fokus studi Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga menjabat sebagai direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII tersebut, kami temui di Kantor PUSHAM UII, Gang Bakung, Nomor 517 A, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa (14/06) lalu.

Mengapa konflik struktural kerap terjadi di Indonesia?

Skema makronya itu negara tidak clear memisahkan antara fully kepentingan publik, dia setengah publik dan setengah privat, ataukah dia fully kepentingan privat.

Jadi, gambaran besarnya ya, kalau di negara-negara yang lebih mapan, negara itu mempunyai standar: ini adalah kepentingan umum, ini kepentingan privat, ini kolaborasi antara kepentingan umum dan kepentingan privat. Dan bagaimana hal itu dikelola, bagaimana rambu-rambunya, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Di Indonesia seringkali tidak jelas pembagian antara tiga hal itu, maka kita sering menemukan data dan kebijakan yang menunjukan bahwa pemerintah mengatakan seakan-akan proyek itu adalah kepentingan umum. Padahal sebenarnya kalau kita telisik lebih dalam, kita bisa membuktikan bahwa proyek itu dibungkus oleh kepentingan publik padahal sebenarnya ada kepentingan privat yang sangat dominan di sana.

Ketika kepentingan privat, saya sebut sebagai kapital, kepentingan kelompok-kelompok modal sudah sangat besar, seringkali pemerintah gagal untuk membendung kepentingan itu dan mengafirmasi kepentingan publik yang lebih luas.

Ending-nya karena pemerintahnya sendiri gagal membendung kepentingan modal, akhirnya pemerintah memanfaatkan aparatur negara yang sebenarnya ia harus berpijak pada kepentingan publik tetapi dimanfaatkan oleh aparatur pemerintah itu.

Sehingga Anda bisa wawancara lebih jauh, misalnya seringkali aparatur yang di daerah tidak setuju dengan kebijakan itu, tetapi mereka tidak punya bahasa lain kecuali ‘siap’, karena mereka bagian dari pemerintah.

Maka dalam konflik-konflik agraria sebenarnya yang terjadi adalah membenturkan antara masyarakat sebagai pemangku hak atas tanah, atas air, dan sebagainya dengan polisi yang bisa jadi polisi juga menjadi korban kebijakan yang sudah didesain di atas, itu kira-kira gambaran besarnya.

Dengan kondisi seperti ini, berarti kemungkinan besar Indonesia mengusung pendekatan yang lebih humanis masih sulit untuk dicapai?

Sepanjang paradigma negaranya tidak digeser menjadi ke demokrasi substantif, menurut saya agak sulit. Demokrasi kita kan prosedural, maka yang dinilai adalah apakah prosedurnya terpenuhi atau tidak.

Nah, demokrasi yang prosedural hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang formal prosedural juga. Jadi mereka seakan-akan mendapat legitimasi dari masyarakat, dari rakyat, tapi legitimasi itu seringkali didapatkan dengan cara membeli saja. Maka demokrasinya harus didorong menjadi demokrasi yang lebih substantif.

Bagaimana cara membedakan demokrasi prosedural dengan demokrasi substantif? Yang paling mudah kalau demokrasi prosedural yang berkuasa adalah elit, sedangkan demokrasi substantif yang berdaulat adalah rakyat. Nah kita sangat punya problem yang sangat serius di situ. Rakyatnya tidak berdaulat, maka demokrasi bukan menjadi partisipasi tetapi mobilisasi, itulah yang terjadi pada negeri ini.

Kami baca di Tempo, Anda bergabung dengan koalisi Akademisi Peduli Wadas. Berkaitan dengan hal tersebut, sebetulnya seberapa besar peran akademisi terhadap konflik struktural yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah?

Saya memaknai akademisi sebagai intelektual. Intelektual itu indikatornya yang paling penting ada dua, yang pertama adalah dia mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya, yang kedua adalah dia menemukan solusi pengetahuan untuk mengatasi itu. Itulah yang disebut sebagai akademisi.

Jadi saya memaknai akademisi adalah intelektual yang indikatornya dua, dia adalah produsen pengetahuan, yang kedua dia harus membela orang yang menderita.

Menderita itu sebenarnya ada dua, menderita secara kultural dan menderita secara struktural. Menderita kultural itu misal miskin karena memang miskin, personally kita harus membantu mereka, tapi itu sangat personal dan tidak ada hubungannya dengan status kita sebagai intelektual.

Tapi ada orang yang menderita karena struktural, kasus Wadas, kasus penggusuran di mana-mana, itu mereka menderita karena problem struktural. Akademisi harusnya hadir di situ, karena akademisi adalah sekelompok orang yang memiliki keistimewaan karena bisa mengakses pengetahuan.

Dalam konstruksi sosial kita, status sosial akademisi cukup tinggi sehingga dia harus mampu menyuarakan kepentingan publik secara jernih dan tidak boleh terkooptasi dengan kepentingan apa pun.

Jadi apakah peran seorang intelektual itu penting? Iya, karena intelektual itu harus menjaga jarak dari kepentingan praktis, dari politik praktis, dan dari modal yang menjarah kepentingan-kepentingan publik itu.

Intelektual harus mempunyai sense of crisis, melihat apa yang dirasakan oleh publik. Nah, maka itulah ada sekelompok akademisi yang selalu turun dalam perkara-perkara struktural. Soal keterlibatannya seperti apa itu bisa bermacam-macam, tapi setidaknya seorang intelektual harus selalu menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai sebuah kezaliman struktural.

Dalam praktiknya, action akademisi di lapangan seperti apa?

Ada banyak peran yang bisa dilakukan oleh seorang intelektual. Satu, memproduksi pengetahuan, misalnya, yang bisa membuktikan bahwa kerusakan alam akan menghasilkan bencana yang lebih dahsyat, itu adalah akademisi.

Akademisi mempunyai kemampuan untuk menilai dan menganalisis apakah tindakan, misalnya eksploitasi pegunungan tertentu itu bisa menyebabkan bencana alam atau tidak, itu akademisi yang bisa melakukan itu. Artinya, pengetahuan digunakan untuk itu. 

Yang kedua, yang bisa dilakukan adalah advokasi. Advokasi itu apa? Advokasi artinya ada dua, pertama mendorong perubahan kebijakan, dan yang kedua membela hak-hak para korban. Nah, akademisi bisa di dua-duanya, dia bisa mengadvokasi agar kebijakan itu berubah. Kita harus buktikan bahwa kebijakan itu keliru sehingga kebijakan itu harus diubah. Di sisi lain kita bisa turun untuk membela hak-hak korban, misalnya melalui mekanisme pengadilan, itu juga bisa.

Nah yang ketiga, saya menyebutnya dengan peran transformatif. Akademisi juga harus mendorong, berperan untuk mengedukasi publik, untuk menyadarkan kepada publik bahwa potensi kerusakan yang akan terjadi dalam ranah yang lebih kecil.

Posisi saya di PUSHAM, misalnya, kita harus membantu masyarakat kita untuk tahu hak-haknya sendiri. Masyarakat kita banyak yang tidak mengerti (kalo mereka) punya hak, sehingga kalo diambil itu ya ngalah aja, padahal itu hak dia.

Misalnya dalam kasus yang terjadi di Wadas, clear bahwa Wadas itu tidak masuk skema Proyek Strategis Nasional (PSN). Jadi Wadas itu tidak ada izin, tidak masuk di skema proyek, tidak masuk di skema PSN, tidak ada izinnya, tidak ada amdalnya. Jadi itu betul-betul yang kebijakan tanpa dasar hukum.

Kalau itu dibiarkan, menurut saya itu mengerikan sekali, di sebuah negara hukum terjadi perampasan hak-hak privat dengan cara seperti itu.

Jadi sekarang apa kabar koalisi Akademisi Peduli Wadas tersebut, apakah masih berlangsung sampai sekarang?

Sekarang kami bekerja pada ruang dan jalurnya masing-masing. Temen-temen yang aktif di Muhammadiyah, mereka bergabung di tim yang dibentuk oleh Muhammadiyah. Policy brief Muhammadiyah itu sudah dibuat, sudah cukup lengkap.

Ada yang bergabung dengan NU (Nahdlatul Ulama) melalui pusat bantuan hukumnya NU. Ada yang mendorongnya ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saya sendiri sekarang sedang menjadi semacam ahli yang dilibatkan Komnas HAM untuk membuat policy brief terhadap kasus Wadas.

Jadi sekarang kita menyebar, memanfaatkan jejaring dan peluang yang kita punya masing-masing. Karena akhir-akhir ini, di negeri ini, suara publik itu sering kali sudah tidak lagi didengar, berapa ribu tanda tangan pun yang kita kirimkan.

Akhir-akhir ini kita punya cerita soal kasus KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kita punya bukti bahwa memang suara publik hari-hari ini tidak mendapatkan penghormatan yang layak.

Jika terjadi konflik struktural, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Kenapa terjadi konflik struktural? Itu karena struktur tidak hadir. Andai kata struktur hadir, tidak akan terjadi konflik itu. Maka kalau saya ditanya siapa yang harus bertanggung jawab? Ya struktur. Struktur itu siapa? Struktur ya penguasa, bahasa hukumnya pemerintah.

Siapa yang memerintahkan polisi untuk pergi ke Wadas? Pemerintah. Pertanyaannya, mereka beralibi bahwa pemerintah akan melakukan pengukuran. Oke, sejak kapan melakukan pengukuran itu membutuhkan 1.500 polisi?

Andai kata proses pembuatan kebijakan itu secara partisipatif dan humanis, serta memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat sejak awal. Tidak perlu polisi yang datang, masyarakat juga akan dengan sukarela, sepanjang mitigasi dilakukan, dan hak-hak mereka dipenuhi. Ini pembicaraan belum selesai, batas-batas tanah belum selesai, skema ganti rugi belum dibicarakan, semua belum dilakukan, tiba-tiba 1.500 polisi datang.

Jadi, betapa mengerikannya kalo kita biarkan itu. Nanti akan banyak masyarakat kita yang selalu menghadapi polisinya sendiri. Polisi ini kan milik rakyat, kan? Seragam polisi, gaji polisi, polisi-polisi itu sendiri kan bagian dari rakyat Indonesia. Tetapi polisi selalu jadi alat untuk kepentingan-kepentingan seperti ini. Itu bahaya sekali.

Anda juga mengajar di kelas, bagaimana Anda menyampaikan hal-hal tersebut di ruang kelas?

Hari ini ya, pengetahuan itu bisa dibaca di mana saja kan? Anda dengan handphone sudah bisa ke mana pun, membaca apa saja yang ada di situ. Pengetahuan dalam makna informasi, itu ada, kita bisa dapatkan di mana-mana.

Maka, kelas itu justru harus digunakan untuk menajamkan spirit pembelaan, menajamkan analisis sosial, memperkuat argumentasi hukum, karena saya mengajar hukum. Maka, kasus itu menjadi penting, studi kasus menjadi penting.

Yang belum berhasil saya lakukan adalah studi lapangan. Dulu beberapa kali, sudah saya lakukan di kelas saya. Mahasiswa menemui langsung korban-korban kasus konflik struktural, kemudian mereka datang ke kelas, kemudian mempresentasikan hasil studi lapangan itu.

Model seperti ini sudah cukup bagus, tetapi masih ada lubangnya karena mereka yang serius bisa mendapatkan spirit. Bahkan saya ketemu beberapa kasus di mana mahasiswa ketika mempresentasikan temuannya, itu bahkan sangat emosional, bahkan ada yang menangis di kelas saat menceritakan ulang apa yang didapatkan dari masyarakat yang diwawancarai.

Itu akan jauh lebih ngena sebenarnya kalau mahasiswa dibawa langsung ketemu dengan masyarakat. Mendengarkan kata perkara dan kasus-kasus yang mereka hadapi. Di situ lah kemudian sebenarnya yang, menurut saya, KKN (Kuliah Kerja Nyata) itu harus didorong ke situ.

Lantas apa hambatannya dalam memaparkan hal-hal tersebut di ruang kelas?

Saya akan jawab apa adanya. Kalian boleh simplifikasi, atau juga boleh tulis apa adanya. Kita ketemu dengan mahasiswa yang, apa ya istilahnya yang lebih tepat, let’s see saya menggunakan istilah mahasiswa kita asosial.

Mereka tidak peduli apa yang terjadi pada orang lain, mereka hanya peduli pada dirinya sendiri. Itu problem mahasiswa kita sekarang. Jadi mereka sibuk dengan gincu dan bedaknya, mereka sibuk dengan mobil dan motornya, tapi mereka tidak ngerti apa yang dihadapi oleh publik, yang dihadapi oleh masyarakat.

Saya berani bertaruh, kita ketemu dengan generasi mahasiswa yang 80-an persen begitu. Ayo kita survei. Silakan survei. Kalian biar bisa kritik ke mahasiswa itu sendiri juga. Berapa sih mahasiswa yang mengerti peristiwa Wadas? Coba, berapa persen? 

Silakan survei mahasiswa Fakultas Hukum (UII) saja deh. Berapa persen mahasiswa Fakultas Hukum itu yang menaruh perhatian dengan peristiwa Wadas, misalnya, saya tidak yakin ada 10 persen. Karena sibuk dengan dirinya sendiri.

Mahasiswa kita itu orang mabuk, dia itu mabuk dengan dengan utopianya sendiri. Mereka sebagian besar tidak menginjak bumi, tapi menginjak mobil dan menginjak motor. Itu tantangan serius, dan kenapa saya sebut itu sebagai sebuah tantangan? Kalo saya cerita kasus, mahasiswa di kelas yang nyambung paling satu atau dua. Kalo dosen cerita kasus, yang mengerti itu satu atau dua dari 70-an mahasiswa. Sakit kepala kita dosen.

Begitu, jadi kita ketemu dengan mahasiswa kayak gitu sekarang. Kalo kita fair, kalian ini kan minoritas? Coba benar tidak, kalian ini minoritas. Ada anak akuntansi ngomong Wadas, kan jangan-jangan satu-satunya. Anak teknik kimia ngomong Wadas, itu satu-satunya.

Jadi, walaupun yang minoritas itu selalu oke, saya sih no problem. Tetapi, kampus kita itu terlalu parah, ketidakpeduliannya kepada urusan publik itu serius banget, itu catatan banget itu.

Apa yang dapat dilakukan untuk membangun kembali kepedulian teman-teman mahasiswa yang asosial?

Hidupkan organisasi, itu alternatif yang paling mungkin. Baik intra maupun ekstra, apa pun, karena pengetahuan yang didapatkan di kelas itu sebenarnya sedikit banget, sedikit banget. Mahasiswa itu, kuliah hanya datang ke kelas, tidak membaca buku, tidak ikut organisasi, dapat apa?

Kenapa kalian tau Wadas? Karena dipaksa oleh organisasi kan? Karena ada perbincangan di organisasi mengenai kasus ini kan? Karena kalian harus keluar dari spektrum sebelumnya. Yang sebelumnya ngitungin 123 kemudian dipaksa untuk melihat ada kasus lain. Akhirnya kamu harus bicara hukum, harus bicara politik, harus bicara psikologi, harus bicara sosiologi, harus bicara antropologi, harus bicara macam-macam.

Ada pesan tersendiri untuk mahasiswa, masyarakat korban konflik struktural, dan bagi pemangku kebijakan?

Satu, saya ingin mengulangi lagi ya, akademisi adalah intelektual. Intelektual itu tugasnya dua, memproduksi pengetahuan dan memberikan pembelaan kepada mereka yang terzalimi, itu fix. Kita bisa pakai dasar apa pun, agama mengajarkan itu, teori-teori sosial juga mengajarkan itu.

Yang kedua, kepada pemangku kekuasaan, mereka harus ingat bahwa daulat itu daulat rakyat, bukan daulat penguasa. Oleh karena itu, semua kebijakan harus didasarkan pada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan elite pemodal, bukan kepentingan elite kekuasaan.

Kepada masyarakat, saya ingin menyampaikan bahwa kalian punya hak yang harus diperjuangkan. Jadi kalau hak-hak itu direnggut secara paksa, maka harus dilawan. Karena, pemilik daulat adalah mereka, mereka juga adalah pemilik hak dan kita harus memperjuangkan hak itu agar tidak diambil secara paksa oleh siapa pun.

Mahasiswa aktiflah di organisasi, keluarlah dari kelas, datanglah ke masyarakat, dengarkan keluh kesah publik, dengarkan keluh kesah mereka yang mengalami kesulitan. Dari situ empati sosial itu akan terbangun.

Dan terakhir, organisasi mahasiswa hidupkan kembali, karena di situlah ruang dialektika, ruang diskursus, bahkan ruang pertarungan. Saya selalu punya filosofi ini: Ronaldo, pemain bola, itu dianggap sebagai pemain keren karena lawannya Messi. Messi juga dianggap pemain keren karena lawannya Ronaldo. Jadi battle seperti ini harus selalu ada.

Untuk mengetahui bahwa kita ini orang keren apa tidak ya harus ada lawannya dong. Nah kalo tidak ada battle, tidak ada pertarungan, kemampuan kita juga tidak naik, klaim kita bahwa kita oke juga tidak bisa dibuktikan. Jadi organisasi harus dikuatkan terus menerus.

Reporter: Himmah/Fawwas Aufa Taqiyyah Prastiwi, Hanifah Dhiya Ulhaq, Nawang Wulan, Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Pranoto

Pondok Pesantren UII Menyelenggarakan Kajian Tokoh Dua Rektor Pertama

Himmah Online, Yogyakarta – Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan kajian tokoh dua rektor pertama UII, yaitu Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (1945-1948 dan 1948-1960) dan Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen (1960-1963). 

“Kajian ini dimaksudkan untuk mengenal sejarah dan mewarisi tokoh-tokoh pendiri UII,” tutur Asmuni, Direktur Pondok Pesantren UII di Aula Pondok Pesantren UII Putra, Condongcatur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Sabtu (11/06). 

Kajian ini diisi oleh Trias Setiawati, selaku pemenang sayembara penulisan Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, berjudul “Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir: Mutiara Nusantara dari Yogyakarta” yang diterbitkan Yayasan Badan Wakaf UII pada 2007; serta Noor Siti Rahmani, selaku putri dari Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen.

Menurut pandangan Trias, sosok Prof. Kahar merupakan sosok yang berpikir dan berkarya besar. “Spirit keilmuannya prima. Belajar dari tokoh-tokoh besar, berpikir besar, berkarya besar,” ujar Trias saat menceritakan Prof. Kahar.

Pada zaman Orde Baru, Prof. Kahar termasuk tokoh yang cenderung dilupakan. “Secara umum itu kalau disebut ya, ada kebencian memang yang tersisa pada tokoh-tokoh Masyumi,” tutur Trias. 

Kondisi ini akhirnya berubah saat Presiden Joko Widodo memberi status Prof. Kahar sebagai Pahlawan Nasional pada 2019 melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 120/TK/Tahun 2019.

Pertimbangan penetapan tersebut berdasarkan rekam jejak Prof. Kahar yang tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam menyusun dasar-dasar negara RI hingga dalam pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia tersebut menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia. Beliau memimpikan Islam Indonesia yang maju melalui tiga lambang: masjid, perpustakaan, dan universitas.

Selepas kepemimpinan Prof. Kahar, estafet kepemimpinan UII dilanjutkan oleh Prof. Kasmat. Berdasarkan ingatan anaknya, Prof. Kasmat dinilai sebagai sosok yang menghargai perbedaan. 

“Beliau itu sangat menghormati perbedaan. Jadi, sangat hormat dengan agama lain, tidak pernah meremehkan orang lain,” ucap Noor berkisah.

Sebelum menjabat sebagai rektor, Prof. Kasmat merupakan Dekan Fakultas Hukum UII. Di kalangan mahasiswa, Prof. Kasmat dikenal sebagai sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswa. 

“Kalau ngajar lucu, terus mahasiswa-mahasiswa itu seneng kuliah sama dia itu, bimbingan pada datang ke rumah,” ungkap Noor.

Selain itu, dua tokoh tersebut pernah ditahan bersama oleh pemerintah Belanda. Hal itu lantaran mereka dituduh melakukan konspirasi yang menyebabkan perang. Saat itu, Prof. Kahar dan Prof. Kasmat pergi ke Jepang untuk menghadiri Tokyo Islamic Exhibition dalam acara pembukaan masjid. 

Namun bersamaan dengan itu, Jepang mengebom Pearl Harbor—pangkalan militer Amerika Serikat (AS). Tindakan tersebut berlandaskan pandangan militer Jepang supaya AS tidak terlalu mengintervensi aksi Jepang di peperangan Asia Pasifik.

“Bapak saya tanggal 8 Desember 1941 itu ditahan oleh Belanda, dimasukkan ke tahanan polisi. Di situ pak Kahar Mudzakkir juga ada. Setelah itu dibawa ke Ambarawa, dipenjara lah intinya. Dibawa ke Sumawarna, terus ke Jakarta, Batavia. Dipenjara waktu itu sebelahan dengan Adam Malik,” ungkap Noor.

Saat menutup rangkaian diskusi, Trias menitip pesan agar para audiens memiliki mimpi. “Nomor satu ya, teman-teman harus punya mimpi, tadi sebagai tokoh ideologis UII. Tidak hanya di UII, tapi di Indonesia dan di dunia,” pungkas Trias.

Reporter: Magang Himmah/Aqila Nuruttazkia Ahsan, Jalaluddin Rizqi Mulia, Muhammad Fahrur Rozi

Penulis: Magang Himmah/Jalaluddin Rizqi Mulia

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri