Beranda blog Halaman 22

Cita dan Cerita TPA Piyungan

Seorang petugas sedang membuka terpal untuk menurunkan sampah dari truk. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Buldoser menyerok sampah. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo

Pengerjaan proyek penimbunan sampah Piyungan yang berlangsung di belakang para pemulung. Foto: Himmah/Ika Rahmanita
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Sampah totebag Rumah Sakit JIH. Foto: Himmah/Ika Rahmanita
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Menguap. Foto: Himmah/Ika Rahmanita
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Seorang pemulung memilah sampah plastik. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Seorang pemulung mengambil sampah di puncak timbulan sampah Piyungan. Foto: Himmah/ Muhammad Prasetyo
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Pengerjaan proyek area baru TPST Piyungan. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo
Sapi di atas timbulan sampah. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo
Sapi di atas timbulan sampah. Foto: Himmah/Muhammad Prasetyo

Himmah Online, Yogyakarta – Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan merupakan salah satu tempat yang menjadi pembuangan sampah akhir dari Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul. TPA Piyungan terletak di Dusun Ngablak, Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. TPA Piyungan dibangun pada tahun 1994-1996 dan beroperasi sejak tahun 1996. Sudah hampir 26 tahun menampung sampah, kini TPA Piyungan membuka lahan pembuangan baru guna menampung luapan sampah yang masuk.

Bertambah banyaknya volume sampah yang masuk menjadi salah satu penyebab dilakukannya pembangunan proyek baru di TPA Piyungan dengan skema PPP (Public-Private Partnership) Project Development of Piyungan Landfill. Pada skema pembangunan tersebut, terdapat pembagian zona dalam pengelolaannya. Adi selaku Deputi Proyek Manajer (DPM) yang menangani target proyek hingga bulan Juli 2022 mengatakan bahwa proyek yang dipegangnya berjalan sudah mulai dari November 2020 lalu. Meskipun demikian, pembuangan sampah akhir tetap akan mengarah ke Piyungan. “Rencana (pembuangan sampah akhir) iya, masih di sini,” tutur Adi.

Timbunan sampah yang menumpuk seperti gunung ternyata malah menyimpan bom waktu yang membahayakan. Uap gas metana yang keluar dari pipa yang tertanam di bawah gundukan sampah terkadang membuat pusing para pekerja. “Yang bahaya, ini ‘kan gasnya. Gas dari sampah itu ada beberapa pipa gas yang kita tanam dari bawah, untuk dikeluarkan di atas, soalnya itu yang bom waktu sebetulnya gas. Makanya, ngeri gasnya itu. Kalau malam kelihatan uapnya, atau gasnya keluar itu kelihatan. Itu (gas) yang kadang membuat pusing,” ucap Adi.

Bahkan, air sumur dari warga sekitar juga tercemar oleh limbah dari sampah. “Dikonsumsi tidak bisa, karena tercemar sumurnya itu,” tegas Yani (58) warga sekitar TPA Piyungan yang saat itu sedang mencari pakan lele di TPA Piyungan. TPA Piyungan yang mencemari kualitas air sumur warga akhirnya sempat menimbulkan pro-kontra antarwarga sekitar. Namun, kini sudah mereda. “Udah damai. Cuman nyeritain itu sumur tercemar, bau, terus sama empangnya item di situ,” tambah Daliman (60) warga sekitar TPA Piyungan yang saat itu sedang mencari pakan lele di TPA Piyungan.

Meskipun begitu, masa depan TPA Piyungan akan seperti apa nantinya tetap dikembalikan kepada pihak yang berwenang dalam pengelolaannya. “Jadi kalau udah jadi, ya, nanti entah itu mau dijadikan tempat pariwisata atau apa, ya itu biar menjadi wewenang dari pihak daerah atau pemda (Pemerintah Daerah),” pungkas Adi.

Reporter: Himmah/Eka Ayu Safitri, Ika Rahmanita, Kemal Al Kautsar Mabruri, Muhammad Prasetyo, Selda Qoyyimah

Narasi: Himmah/Eka Ayu Safitri 

Editor Narasi: Himmah/Nadya Auriga D

Jogja Art Weekend: Upaya Pemberdayaan UMKM dan Ekonomi Masyarakat

0

Himmah Online, Yogyakarta – Melalui Jogja Art Weekend, UKM Kepemimpinan AIESEC UGM menggelar festival kesenian dan budaya Yogyakarta. Salah satunya pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) makanan dan kerajinan tradisional. 

Festival tersebut berlangsung selama dua hari pada 5-6 November 2022 di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo, Sleman. Terdapat 19 stan makanan dan 15 stan pernak-pernik tradisional yang memperlihatkan keanekaragaman budaya Indonesia, berasal dari pengembangan dan inovasi dari pemilik stan.

Winda (19) selaku staf Brand and Marketing Cilpa Asa (projek kolaborasi antara AIESEC UGM dan Ambarrukmo) mengatakan, acara Jogja Art Weekend juga dimeriahkan adanya Orkestra Jogja dan kesenian Jatilan.

Selain itu, Winda juga menuturkan pendirian stan yang didirikan oleh pemilik UMKM tidak dikenakan biaya. Namun, diakhir acara tersebut akan ada sistem bagi hasil. 

Nisa (35) selaku pemilik stan Cemilicious, yang memproduksi cemilan, seperti peyek kacang dan kremesan mengatakan, produksi peyek kacang merupakan salah satu misi untuk melestarikan makanan tradisional, agar dapat dinikmati oleh semua kalangan usia.

Ia menyampaikan, untuk mewujudkan misi tersebut, peyek kacang diinovasikan menjadi peyek kacang hijau dan peyek yang ditambahkan cabai. Inovasi tersebut datang dari permintaan para pembeli.

“Ada yang request karena ini (peyek) sudah makanan sejak dulu. Jadi, beberapa orang itu merasa pengen nostalgia,” kata Nisa, Sabtu (5/11).

Selain itu, terdapat pengembangan produk kerajinan batik dari stan Plus Batik. Produk batik yang ditawarkan bermacam-macam, mulai dari baju, selendang, bandana, gantungan kunci, jumpsuit, gelang, dan tas batik sebagai produk terbaru mereka. 

Stan tersebut juga menyediakan pelatihan membatik secara langsung kepada para pengunjung dan upaya pengolahan limbah produksi batik cap. 

“Kita juga buka ini Kak, membatik pakai canting. Kita di batik capnya ada pengolahan limbah juga. Jadi, kita nggak sekadar bikin,” kata Nita sebagai staf Plus Batik.

Winda juga menambahkan adanya Jogja Art Weekend diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Indonesia melalui pengembangan UMKM dan kesenian setelah pandemi. 

“Jadi kayak ciri fokusnya adalah UMKM gitu, karena kita, kan mau memberdayakan ekonomi UMKM. Kami juga ada buklet yang isinya tentang kesenian-kesenian dari Yogyakarta. Harapannya, nanti dari buklet itu ada yang dapat kontak soal keseniannya itu,” jelas Winda.

Reporter: Magang Himmah/Nurhayati, Utami Amalia Sudarman

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

McCartney 3,2,1: Api Kreativitas Paul McCartney yang Tidak Padam

0

Judul: McCartney 3,2,1 (2021)

Genre: Dokumenter

Sutradara: Rick Rubin

Durasi: 27-31 menit per episode

Usia panjang adalah berkah; hanya sedikit orang yang memperolehnya. Lebih sedikit lagi jumlah mereka yang berusia panjang dan berkarya. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Paul McCartney.

Tanggal 18 Juni lalu, ia berumur delapan puluh tahun. Enam puluh tahun lalu ia, John Lennon (gitaris), George Harrison (gitaris), dan Ringo Starr (drummer) bermain musik bersama dalam band bernama The Beatles. 

Dunia pun dalam genggaman mereka. Lagu-lagu mereka bagai mantra, membius dan mengikat pendengar mereka.

Di penghujung dekade 1960-an, mereka tidak lagi ingin bersama. Masing-masing Beatle–sebutan untuk personil The Beatlesingin menapaki jalan mereka masing-masing. The Beatles memang berakhir, tetapi sihir mereka tidak memadam. Ia menguat, meluas, terwariskan, dan diwariskan. Generasi ke generasi masih terikat dan tersihir oleh musik mereka. 

Sebagian sebab tentu karena sihir itu dipelihara dan dirawat. Namun, tidak semata itu: ada keahlian, keterampilan, kecerdasan, kreativitas, permainan, impian, hasrat, keselarasan, dan persahabatan di balik mantra mereka. 

Tidak dipungkiri ada keterbatasan, kelemahan, egoisme, rintangan, hambatan, dan ketidakselarasan, yang akhirnya merapuhkan dan mengoyak kebersamaan empat pemuda dari Liverpool, Inggris ini.

Setiap musisi dan band adalah anak zamannya dan musik era 1960-an memiliki semangat untuk membesarkan ruang kreativitas. Mereka berusaha mendorong mundur sekat-sekat kreativitas beberapa langkah,The Beatles pun demikian. 

Hal yang membedakan mereka dan band-band kontemporer lain adalah mereka melampaui sekat ruang kreativitas itu.

Salah satu motor pendorong kreativitas itu, tidak bisa dipungkiri, adalah Paul McCartney di saat api dalam diri ketiga rekannya mulai padam. 

Film Get Back (2021) menunjukkan peran besar Paul—mungkin terlalu besar mengingat secara de facto Lennon adalah pemimpin band—dalam memantik api kreativitas The Beatles. Sebelum film tersebut dirilis, Paul kerap dianggap sebab dari bubarnya The Beatles.

Paul memang kerap diasosiasikan dengan sifat, karakter, kisah, maupun mitos yang kurang menguntungkan posisinya di dunia musik kontemporer. Selain sebagai sebab bubarnya The Beatles, ia dianggap pencipta lagu-lagu “manis” dan lunak. Untuk lagu seperti ini, “granny song” (lagu nenek-nenek) adalah istilah yang disematkan oleh Lennon untuk Paul.

Sebaliknya, Lennon menikmati posisi yang terhormat: jenius, pemikir, aktivis, wordsmith (terampil dengan mengolah kata). Lagu-lagunya ritmis, keras, pesimistik, dan suram. 

Api kreativitas itu masih terjaga bersama beban bahwa Paul tidak sejenius, sekreatif, dan se-eksperimental Lennon. Paul mungkin masih dihantui olehnya, meskipun dua puluh enam album telah dirilisnya. Album terakhirnya, McCartney III (2020) bertengger di tangga album teratas di Inggris dan mencapai nomor dua di tangga album Amerika Serikat.

Ia pun kini merilis film dokumenter berformat miniseri berjudul McCartney 3,2,1 (2021). Terdiri dari enam episode, McCartney 3,2,1 memperbincangkan musikalitas Paul. Kanal Hulu menjadi mitra tayang dokumenter Paul. 

McCartney 3,2,1 membedah lagu-lagu The Beatles, Wings (band Paul setelah The Beatles),l serta mengungkapkan apa yang bersembunyi di balik bebunyian instrumen-instrumen. 

Dapat dikatakan, McCartney 3,2,1 adalah sejarah teknis rekaman dalam perspektif Paul. 

Seseorang lain dibutuhkan untuk mengungkapkan yang tersembunyi tersebut; seseorang berkaliber yang mengetahui dan mengarahkan proses dan hasil rekaman. Seorang produser musik. Karenanya, Rick Rubin menjadi teman diskusi Paul dalam film ini. 

Rick Rubin adalah produser musik yang dianggap berhasil mengorbitkan Red Hot Chili Peppers, Beastie Boys, Johnny Cash, dan masih banyak lagi. Yang terpenting adalah Rubin penggemar The Beatles.  

Tugas Rubin tidak ringan; ia harus mampu membangun, mengembangkan, dan memandu diskusi sehingga musikalitas Paul terungkap. Rubin pun harus melihat sudut-sudut yang kurang/tidak tersentuh selama ini oleh biografi The Beatles atau Paul dan mengangkatnya. 

Profesinya sebagai produser membantu tugasnya dalam film ini. Dengan menggunakan control board, ia memilah dan memisahkan suara dan instrumen, termasuk menyembunyikan dan mematikan suara serta instrumen tertentu.

Apa yang dilakukannya tentu tidak unik sebagai produser musik, tetapi menjadi berbeda jika ditampilkan sebagai metode dalam suatu film dokumenter musik. Dengan metode ini, penonjolan suara dan instrumen menjadi bidang analisis dan dikonfirmasi langsung oleh subjek (Paul).

While My Guitar Gently Weeps” dalam episode pertama bisa menjadi contoh. Setelah menonjolkan suara bassnya, lagu ini memiliki suara bass yang khas, kasar, dan agresif. Tetapi dengan menimbulkan hanya suara gitar akustik dan vokal Harrison, “While My Guitar Weeps” seperti fusi dari dua lagu berbeda. Ini satu kelebihan dari McCartney 3,2,1. 

Kelebihan lain adalah film dokumenter ini hendak mengungkapkan bahwa karya the Beatles yang abadi itu terkadang bukan persoalan teknis semata. 

David Mason adalah seorang pemain trumpet piccolo yang handal. Ia biasa bermain dalam orkestra yang memainkan musik klasik. Pemain musik klasik biasa bermain musik dalam batas-batas. Musik populer sebaliknya. Ia mempertanyakan batas itu, dan, jika mungkin, meruntuhkannya.

Mason diminta oleh Paul untuk bermain solo dalam “Penny Lane”. Setelah menyimak solo seperti apa yang diinginkan Paul, Mason mencari nada dan melatihnya. Yang ia ragu adalah permintaan Paul mencapai nada tertinggi bisa dicapai oleh piccolo. 

“Itu resminya di luar jangkauan suara trumpet piccolo,” begitu tanggapan Mason. “Kau bisa melakukannya,” desak Paul. Pada akhirnya, nada yang tidak mungkin dimainkan tersebut menjadi nada terakhir dalam solo “Penny Lane”.

Dua puluh enam album plus, sedikitnya tiga ratus lagu direkam oleh The Beatles menjadi wajah-wajah dari diri Paul. Karya-karyanya menjadi kesaksian atas perjalanan kreatif Paul. Dari mana ia berasal, apa saja yang telah ia lakukan, keberhasilan yang telah dicapai, kegagalan yang telah dilewati adalah sejarah kreativitasnya.

Secara esensial, Paul tidak dapat dibatasi dan dipenjara dalam satu karakter, sifat, kisah, genre, aliran, atau keterampilan bermusik. Ia menggunakan instrumen-instrumen musik dan memanipulasinya sedemikian rupa demi harmoni, melodi, dan aransemen yang ingin dicapai. 

Singkatnya, ia telah melakukan semua. Pertanyaan untuknya adalah hendak ke mana ia setelah ini semua?

Pertanyaan ini mungkin tidak dapat dijawab oleh McCartney 3,2,1. Bagaimanapun, film dokumenter adalah film tentang sejarah sesuatu, selonggar apa pun kita menggunakan definisi sejarah.

McCartney 3,2,1 adalah film dokumenter, dan berbicara banyak tentang sejarah Paul. Ia berbicara sejarah dirinya, orang tuanya, pertemuannya dengan Lennon dan Beatle lain. 

McCartney 3,2,1 berbicara tentang The Beatles dan prestasi-prestasi mereka yang tergolong sulit disamai oleh artis dan band lain. Ia juga berbicara tentang periode solo dan Wings.

Selain itu, film tersebut juga berbicara tentang aspek teknis dari karya-karya yang melibatkan Paul. Tidak ketinggalan, ia juga menyinggung permainan bass Paul yang dipandang sebelah mata. 

“[…] Saya adalah penggemar berat permainan bass (bassline)nya (Paul),” ujar Geddy Lee, pemain bass dari Rush dalam satu wawancara.” Beberapa bassline dari The Beatles betul-betul inventif, betul-betul tidak biasa, dan, mempertimbangkan musik mereka adalah musik pop, tergolong “sibuk”.

Meskipun begitu, film dokumenter ini tidak berbicara apa yang hendak Paul lakukan setelah semua yang telah ia lakukan. Ia sepertinya masuk ke dalam jebakan kreativitas berulang. Apa yang ia lakukan adalah pengulangan. 

Misal, secara konseptual, McCartney III yang ide dasarnya adalah merekam lagu-lagu di rumah dengan memainkan sendiri seluruh instrumen. Ide tersebut juga berada di belakang album McCartney (1970), Ram (1971), McCartney II (1980), dan Chaos and Creation in the Backyard (2005). 

Begitu pula film ini. Dengan dirilisnya The Beatles Anthology (1995), bentuk DVD dari proyek kolosal itu memiliki 10 episode. Tidak sedikit topik yang dibahas dalam film ini telah dibahas dalam The Beatles Anthology.

Karena banyak menyinggung The Beatles, dan tentu itu berharga, film ini kurang menyentuh proyek-proyek non-Beatles Paul. Sebagai contoh adalah album ini menyinggung salah satu album terbaik Paul, Band on the Run. Sayangnya, ia tidak membahas salah satu album favorit penggemar Paul, Ram

Tidak juga proyek eksperimental Paul, seperti The Fireman (kolaborasi dengan Youth), atau proyek musik klasik, seperti album Paul McCartney’s Liverpool Oratorio (1991), Standing Stone (1997), Working Classical (1999), dan album sejenis lainnya.

Hal lain yang patut disorot adalah interaksi antara Paul dan Rubin. Rubin memang membawakan perannya dengan sangat baik. Tidak ada keraguan tentang itu. Apa yang menjadi isu di sini adalah bagaimana kamera, latar, dan pembawaan Rubin terhadap Paul membentuk interaksi tidak setara. 

Dalam beberapa adegan yang sejenis, Paul duduk di atas sofa bercerita sembari memeluk gitar akustik. Sementara itu, Rubin bersila di atas lantai. Visualisasi ini seperti seorang kakek sedang mendongengi anaknya. Suara Rubin yang lunak (soft-spoken) serta bahasa tubuh yang menghargai kedudukan Paul juga menyumbang interaksi tidak setara ini.

Paul memang berusia lebih tua daripada Rubin yang lahir 12 hari sebelum album pertama The Beatles, Please Please Me dirilis. Karier Rubin sendiri melejit saat The Beastie Boys melepas album pertama mereka, License to Ill (1986). Karier Paul sendiri dimulai saat single pertama The Beatles, Love Me Do (1962) dirilis. 

Namun, film dokumenter ini membutuhkan karakter kritis terhadap sejarah teknis Paul. Orang-orang dengan karakter seperti George Martin (produser The Beatles) atau Nigel Godrich (produser Radiohead dan album Chaos and Creation) sebenarnya dapat dipertimbangkan,  

Mungkin bukan itu yang dibutuhkan oleh Paul untuk dokumenternya (Paul adalah produser eksekutif untuk dokumenter ini bersama Rubin). Mungkin ia butuh menegaskan perannya di dunia musik kontemporer; wasiatnya bukan sekedar lagu nenek-nenek. 

Paul seorang multi-instrumentalis dan bisa menciptakan musik dengan genre apa pun. Ia sejenius mitra menulis lagu The Beatles, John Lennon. 

Mungkin ia butuh meluruskan sejarah. Mungkin ia butuh wasiatnya diperteguh.

Jika benar, maka akan menariknya reaksi Paul terhadap kabar terbaru di mana satu film biopik tentang John Lennon sedang dipersiapkan. Anthony McCarten, penulis naskah Bohemian Rhapsody (2018), telah menyelesaikan skenarionya.

Jika begitu adanya, api kreativitas Paul kelihatannya belum hendak padam.

Editorial: Saatnya Melipatgandakan Pemberian Hak Kelola Kawasan Hutan untuk Masyarakat

Pada 2016 lalu Presiden Joko Widodo mencanangkan program perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional. Program ini sebenarnya bukan suatu hal baru. Program ini telah dimulai pada pertengahan tahun 1990-an dengan berbagai nomenklatur.

Melalui program ini masyarakat di sekitar hutan diberi kesempatan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui, maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari kawasan hutan tersebut.

Program ini terdiri dari lima skema, yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan.

Seluas 12,7 juta hektare hutan ditargetkan dapat dikelola oleh masyarakat melalui program tersebut. Namun hingga 3 November 2022, ditinjau melalui laman GoKUPS, sebuah sistem informasi real time terkait perhutanan sosial milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hak kelola hutan bagi masyarakat melalui program ini baru menyentuh angka 5.087.754 hektare. Kurang dari separuh dari angka yang ditargetkan Jokowi.

Capaian tersebut juga masih terpaut jauh dengan luasan hak kelola kawasan hutan yang diberikan ke korporasi.

Berdasarkan laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Auriga Nusantara pada September 2022 lalu. Hak kelola kawasan hutan untuk korporasi mencapai 36,8 juta hektare.

Angka tersebut terdiri dari 19 juta hektare diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektare kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit. Sehingga persentase hak kelola kawasan hutan untuk korporasi mencapai 92%, sedang untuk rakyat hanya sebesar 8%. 

Alokasi penguasaan kawasan hutan oleh korporasi mayoritas berada di Pulau Kalimantan dengan persentase mencapai 46% dari total seluruh alokasi pengelolaan kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di Pulau Kalimantan, wilayah hutan yang dikelola korporasi angkanya mencapai 24.735.733 hektare. Sedang pengelolaan kawasan hutan yang diberikan kepada rakyat luasnya hanya 1.070.350 hektare.

Kondisi tersebut menunjukan ketimpangan yang sangat signifikan antara hak kelola kawasan hutan untuk korporasi dengan rakyat.

Meskipun tak semenggiurkan perputaran nilai ekonomi jika hak kelola kawasan hutan diberikan ke korporasi, namun pemberian hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat nyatanya tetap memberikan nilai ekonomi. Utamanya bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, masyarakat yang jarang mendapat sentuhan dari negara.

Per 3 November 2022, GoKUPS mencatat nilai transaksi ekonomi dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pada tahun ini mencapai Rp8.739.050.078.

Tak hanya memiliki nilai ekonomi, pemberian hak kelola kawasan hutan juga membuat masyarakat memiliki kendali untuk memanfaatkan potensi hutan, menjaga wilayah hutannya dari kerusakan hingga serobotan korporasi.

Apalagi, desa yang berada di tepi kawasan hutan atau di dalam kawasan hutan jumlahnya tidak sedikit.

Berdasarkan laporan Identifikasi dan Analisis Desa di Sekitar Kawasan Hutan Berbasis Spasial Tahun 2019 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), hasil matching antara data Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 dan Tumpangsusun/Overlay menunjukan desa yang ada di Indonesia berjumlah 83.724.

Dari total 83.724 desa, terdapat 41.253 desa (49,27 persen) terletak di luar kawasan hutan, lalu sebanyak 39.147 desa (46,76 persen) terletak di tepi kawasan hutan, dan sisanya sebanyak 3.324 desa (3,97 persen) terletak di dalam kawasan hutan.

Sehingga program perhutanan sosial perlu segera digenjot untuk memperluas kebermanfaatan dan melibatkan lebih banyak masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan.

Negara perlu ringan tangan–dengan tetap memperhatikan standar dan pedoman yang telah ada–untuk melipatgandakan hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat. Seringan memberikan hak kelola kawasan hutan untuk para korporasi.

*Editorial ini berkaitan dengan penerbitan naskah laporan utama berjudul Riwayat Masyarakat Tampelas: Dahulu Pembalak Liar, Kini Penjaga Hutan.

Riwayat Masyarakat Tampelas: Dahulu Pembalak Liar, Kini Penjaga Hutan

Tampelas, suatu desa di Pulau Kalimantan dulunya diisi para pembalak liar. Penghuninya bertahan hidup dari kayu yang ditebang secara ilegal. Razia besar-besaran pada 2005 silam mengubah jalan hidup setiap individunya. Kini mereka menjadi garda terdepan menjaga teritorial kepingan paru-paru dunia.

Himmah Online Lantunan adzan subuh bercampur isak tangis menghantar pelarian Bambang April. Pria dengan perawakan sedang tersebut meninggalkan Tampelas dengan perasaan was-was. Namanya dikabarkan masuk target operasi razia pembalakan liar pada 2005 silam.

Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia memberi jalan bagi Kepolisian, TNI hingga BIN melakukan penertiban pembalak liar. Membuat orang seperti Bambang kelimpungan.

“Dikabarkan jadi DPO, masuk target operasi salah satu orang yang dicari di Tampelas karena termasuk cukong kayu,” kenang pria kelahiran Tampelas berumur 43 tahun tersebut (31/08).

Aktivitas pembalakan liar memang subur di wilayah Kalimantan, sehingga banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari menebang pohon. Praktik ini mulai marak setelah Presiden Soeharto kerap memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bagi segelintir korporasi. Korporasi diberi hak untuk merambah hutan, memanfaatkan hasil kayu, dan itu legal.

Sedang orang-orang seperti Bambang, dianggap melakukan pembalakan liar karena tidak mengantongi HPH. Namun hasil kayu yang didapat, pada akhirnya dijual ke korporasi-korporasi pemegang konsesi. Bambang dan masyarakat lain yang terlibat pembalakan liar semacam jadi kaki tangan korporasi menjangkau wilayah hutan di luar konsesi. Bahkan bisa membentuk kelompok untuk menempati wilayah konsesi yang telah kedaluwarsa masa HPH-nya.

Aktivitas yang dilakukan Bambang-lah yang coba dibabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui penerbitan Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Maka terbentuklah tim terpadu untuk menertibkan aktivitas pembalakan liar di Indonesia, tak terkecuali area hutan sekitar Tampelas.

Saat tim terpadu mulai merazia area Sungai Katingan, Bambang mencari perlindungan ke tempat bosnya di Gunung Kaki, sebuah wilayah di Desa Perigi, Mendawai, Katingan. Dari Tampelas, jika ditarik garis lurus menggunakan bantuan Google Earth jaraknya mencapai 37,29 kilometer.

Klotok—perahu bermotor dengan bahan bakar solar/diesel—miliknya ia pacu kencang menyusuri Sungai Katingan yang surut akibat kemarau. “Was-was, berdebar terus,” ucap Bambang. “Cuma bawa uang 200 ribu, untung klotok saya ada bensinnya,” kenangnya.

Tak hanya kekhawatiran kehabisan bahan bakar untuk melarikan diri. Berdasarkan cerita yang masuk ke telinganya, pelaku pembalakan liar tidak diadili melalui sidang, tetapi langsung dijebloskan ke sel tahanan. Kabar itu memenuhi isi kepalanya selama pelarian.

Pasal dirinya dikabarkan masuk target operasi pun sebetulnya tak ia konfirmasi lebih jauh. Perannya sebagai administrator di dalam tim—acapkali terpaksa meninggalkan identitas untuk melewati pungutan liar—mendasari dirinya percaya jika namanya masuk target operasi. Apalagi, setiap mengantar kayu setidaknya ia dan komplotannya akan melewati tiga posko pungutan liar. Minimal satu juta rupiah di tiap pos penjagaan harus ia keluarkan dari kantongnya untuk memuluskan jalan.

Setelah satu pekan berada di Gunung Kaki, akhirnya Bambang pulang ke Tampelas. Namun, nafasnya belum lega sepenuhnya. Ia seperti berpindah dari kegundahan yang satu menuju kegundahan yang lain. Pasalnya, sebelum melarikan diri ia memberi uang muka untuk pembalak di tingkatan lebih bawah. Ratusan juta melayang karena kayu tidak bisa dikeluarkan dari hutan.

“Terlalu beresiko untuk diambil. Saya kadang masih kepikiran sampai sekarang,” ucapnya lirih dengan tatapan kosong menghadap Sungai Katingan di depannya.

Tak hanya Bambang, di tengah maraknya razia, personil lapangan dalam kelompoknya juga tak kalah kocar-kacir. Seluruh kayu yang telah ditebang harus ditinggal di hutan atau dibiarkan hanyut maupun tenggelam. Si empunya memilih menyelamatkan diri. Mereka adalah Juli Kurnain, kakak Bambang, dan Sumber, adiknya.

Tiga dari delapan bersaudara tersebut mulanya mengenyam bangku sekolah menengah atas di daerah Kasongan, sebuah kabupaten di utara Katingan. Selepas lulus, Juli mencari peruntukan di perkebunan karet. Bambang memilih pulang ke Tampelas untuk membantu bapaknya di hutan, melakukan pembalakan liar. Sumber menyusul Bambang setelah lulus.

“Tiba-tiba adik saya Sumber kasih kabar, ‘wilayah hutan kita mau diambil alih orang, pulang aja kita lanjutin lahan bapak, Bang’ gitu,” kenang Juli menirukan ajakan Sumber saat itu (29/08).

Juli muda tak pikir panjang. Jebolan sekolah teknik menengah tersebut bergegas pulang untuk menjadi operator chainsaw dan teknisi dan penarik kayu keluar hutan dan nahkoda kapal pengantar kayu ke cukong.

“Kerja kayu itu capek,” ucap Juli pelan. “Uangnya banyak, tapi badannya juga rusak,” imbuh kepala Desa Tampelas periode 2016-2022 tersebut.

Tampelas Ramai ke Sepi

Tampelas berada di Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dari Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, untuk bisa mendaratkan kaki di Desa Tampelas perlu sekitar 4-5 jam perjalanan darat membelah Kasongan dan sekitar 2-3 jam perjalanan air menyusuri Sungai Katingan. Permukimannya berderet di sisi timur bibir Sungai Katingan.

Setelah razia pembalakan liar pada 2005 silam, zaman kayu—istilah untuk menyebut masa pembalakan liar—di Tampelas mati total. Warga tak berani lagi ke hutan untuk membalak. Kayu yang sebelum razia kadung ditebang dibiarkan tenggelam atau hanyut.

Mayoritas warga kemudian beralih menjadi nelayan tangkap. Aktivitas ini sebetulnya telah dilakukan masyarakat Tampelas jauh sebelum zaman kayu. Hanya saja peminatnya sedikit, karena dinilai kurang prestise. Sebagian yang lain memilih meninggalkan desa.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Katingan (2022), pada tahun 2021 Tampelas dihuni oleh 420 jiwa. Menjadi desa dengan penghuni paling sedikit nomor dua dibanding delapan desa lain di Kecamatan Kamipang.

“Dulu desanya ramai,” ucap Asbut, Ketua RT 01 Tampelas. ”Tapi setelah kerja kayu tutup pada pergi,” lanjut pria kelahiran 1969 saat ditemui di kediamannya (27/08).

Mantan pembalak liar tersebut menceritakan, bahwa saat zaman kayu dulu perputaran uangnya sangat besar. Hal itu diikuti pula dengan tingginya tingkat kriminalitas.

“Depan ini (dulu) ramai, judi hampir tiap malam,” aku Asbut, seraya menunjuk pelataran di depan rumahnya. “Prostitusi juga banyak. Itu [prostitusi] kadang sampai mengunjungi tempat penginapan kita di hutan saat membalak,” tambahnya.

Ia tak ikut beberapa rekannya yang memilih keluar desa. Ia memilih menjadi nelayan tangkap di sungai-sungai sekitar Tampelas setelah berhenti dari aktivitas pembalakan. “Uangnya beda, banyak zaman kayu. Tapi rasanya beda, sekarang justru punya tabungan, dulu cuma lewat,” tutur Asbut sembari mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

Tampelas yang diberkati banyak ikan dan hasil alam membuat sebagian warga memilih bertahan di desa. Mereka percaya alam bisa menghidupi.

Eri Yadi (39), satu dari dua pengepul ikan di Tampelas menuturkan bahwa tangkapan warga Tampelas bisa dibilang banyak. “Jika bukan musim ikan (air pasang), mungkin sehari mereka [para nelayan] dapat puluhan sampai ratusan ribu. Tapi kalo musim ikan (air surut), itu bisa jutaan per hari,” tutur pria yang dahulu sempat menjadi pembalak liar tersebut.

Seakan tak ingin kembali ke zaman kayu. Lalu tak ingin pula bergantung pada ikan yang sewaktu-waktu bisa habis. Masyarakat Tampelas coba membangun kekuatan ekonomi di sektor lain. Budidaya madu hutan dan ternak sapi, misalnya.

Melalui BUMDes “Tampelas Sejahtera”, beberapa warga beternak sapi yang kandangnya disediakan oleh pihak BUMDes di seberang desa. Sari (43) merupakan salah satu warga yang mencoba ikhtiar beternak tersebut. Sepasang sapi miliknya telah beranak satu. “Ini tabungan saya,” ucapnya sembari memberi makan sapi-sapinya, perasaan sumringah turut terlihat di raut mukanya (27/08).

Salahudin (29), salah satu warga Tampelas yang berprofesi sebagai nelayan tangkap sedang mengambil ikan dari pengilar di Sungai Nusa, pada Minggu (28/08). Himmah/Pranoto

Hasil panen madu hutan milik salah satu warga Tampelas. Dalam setahun pembudidaya madu hutan bisa panen sebanyak 2 sampai 3 kali. Dalam sekali panen, madu yang didapat bisa mencapai 3 ember berukuran 25 kilogram, Minggu (07/08). Himmah/Pranoto

Sari (43), salah satu peternak sapi sedang memberi makan sapi-sapinya di bawah kandang sapi milik BUMDes Tampelas, Sabtu (27/08). Himmah/Pranoto
Menjaga Kepingan Paru-paru Dunia

Desa yang telah berdiri sejak tahun 1900 ini luasnya mencapai 57.727 ha, dengan 50.060 ha adalah areal hutan. Sisanya berupa pemukiman dan perkebunan. Letak desanya persis di sebelah barat Taman Nasional Sebangau, sebuah taman nasional terbesar ketiga di Pulau Kalimantan dengan luas 568.700 ha.

Dari total luasan kawasan hutan di Tampelas, pada 17 Desember 2017 masyarakat Tampelas mengajukan 8.404 ha hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan desa.

Hutan desa sendiri termasuk salah satu skema perhutanan sosial yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebagai program prioritas nasional pada 2016 silam. Skema lain dari perhutanan sosial adalah hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

Melalui program perhutanan sosial, masyarakat di sekitar hutan diberi kesempatan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui, maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari kawasan hutan tersebut.

Hingga 31 Oktober 2022, menurut laman GoKUPS milik Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan realisasi perhutanan sosial luasnya mencapai 5.087.754 ha melalui 7.694 surat keputusan. Angka tersebut masih jauh dari target yang dipatok Joko Widodo seluas 12,7 juta ha perhutanan sosial.

Dua tahun berselang pasca pengajuan, melalui surat keputusan bernomor SK. 10381/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2019, akhirnya KLHK memberikan 6.303 ha hak kelola hutan desa ke masyarakat Tampelas.

Merujuk Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup Nomor 16/PSKL/SET/PSL/0/12/2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, maka perlu dibuat suatu lembaga pengelolanya terlebih dahulu. Lembaga tersebut nantinya diperuntukan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD), Rencana Kerja Tahunan (RKT), dan Rencana Kerja Usaha (RKU). Maka dibentuklah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tampelas. Sumber didapuk jadi ketuanya.

Luasan hak kelola hutan yang diberikan ke LPHD Tampelas menjadi yang paling luas dibanding hutan desa lain di Kabupaten Katingan. Dari luas total 19.107 ha hutan desa di seluruh Kabupaten Katingan, Tampelas menyumbang 32,99 persen. Jika dianalogikan, maka luasan hutan desa Tampelas hampir dua kali lipat luas wilayah Kota Yogyakarta.

Analogi luas hak kelola hutan desa Tampelas. Infografik: Himmah/Prasetyo

“Butuh waktu dua tahun untuk mendapatkan SK (surat keputusan) menteri,” ucap Sumber. “Kami hampir menyerah,” lanjut ketua Forum Perhutanan Sosial Gambut Katingan-Sebangau tersebut.

Tertuang dalam surat keputusan, selain mendapatkan hak pemanfaatan, LPHD Tampelas juga berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak oleh pihak lain.

Maka bagi masyarakat Tampelas, diberikannya hak pengelolaan hutan desa berarti diberikannya keleluasaan memanfaatkan potensi hutan serta melindungi hutan dari ancaman kebakaran hingga serobotan kegiatan ekstraktif tambang maupun perkebunan sawit.

Pada 2020, Yayasan Puter Indonesia melakukan survei dan analisa keanekaragaman hayati di kawasan hutan desa Tampelas. Hasilnya, ditemukan 106 jenis tumbuhan yang terdiri dari 38 famili. Beragam habitus ditemukan mulai dari herba, pandan, epifit, liana, palem, dan paku-pakuan.

Sedangkan untuk satwa, ditemukan 82 satwa dari jenis mamalia, burung, dan reptil. Dari 82 satwa, sebanyak 18 satwa masuk dalam kategori dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Selain melalui PerMen LHK Nomor P.106 Tahun 2018, secara global status perlindungan satwa diatur juga dalam hukum internasional, yaitu International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

Dalam IUCN Redlist of Threatened Species kelangkaan satwa dikategorikan menjadi 7 kategori. Yakni (1) Last Concern (LC) atau resiko rendah; (2) Near Threatened (NT) atau hampir terancam; (3) Vulnerable (VU) atau rentan; (4) Endangered (EN) atau terancam; (5) Critically Endangered (CR) atau sangat terancam; (6) Extinct in The Wild (EW) atau punah di alam liar; dan (7) Extinct (EX) atau punah.

Selain itu, perlindungan satwa diatur pula dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973. CITES merupakan perjanjian internasional untuk mengatur perdagangan flora dan fauna.

Kategori status perdagangan menurut CITES dibagi menjadi tiga jenis. Pertama Appendix I (App I), yakni perdagangan secara internasional dilarang. Lalu Appendix II (App II), dalam kategori ini perdagangan secara internasional diperbolehkan, tetapi dengan perizinan ekspor. Terakhir Appendix III (App III), yakni diperjualbelikan secara terbatas.

Ular Viper Borneo (Tropidolaemus subannulatus), salah satu satwa penghuni hutan desa Tampelas terlihat di atas dahan di tepi Sungai Nusa. Dalam IUCN status konservasinya adalah Least Concern atau resiko kepunahan rendah. Ular Viper Borneo merupakan jenis ular yang sangat berbisa, Minggu (28/08). Himmah/Pranoto

Selain memiliki keragaman hayati, hutan desa Tampelas juga memiliki tempat penyimpanan karbon yang besar. Disimpan di tanaman pohon dan tanah gambut.

Yayasan Puter Indonesia menghitung pendugaan rata-rata cadangan karbon dari tegakan pohon. Hasilnya, dari tutupan lahan hutan rawa sekunder berpotensi menyimpan karbon sekitar 111,37 ton/ha, sedang untuk kawasan belukar rawa sekitar 91,39 ton/ha.

Untuk lahan gambut, berdasarkan laporan kajian biofisik lahan gambut yang dilakukan Yayasan Puter Indonesia (2020) di kawasan hutan desa Tampelas, potensi cadangan karbon yang dapat diserap sebesar 25.515 ton/ha.

Dengan keanekaragaman hayati, potensi cadangan karbon yang tinggi, dan luasnya areal gambut di desanya, masyarakat Tampelas menyadari bahwa wilayah hutannya perlu dijaga. Apalagi, mayoritas masyarakat Tampelas memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil alam. Dari ekosistem lingkungan yang sehat.

Salah satunya menjaga dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang beberapa kali menghampiri wilayah Tampelas. Dalam ingatan masyarakat Tampelas setidaknya ada dua karhutla yang terjadi di wilayahnya dalam satu dekade terakhir, yakni karhutla pada 2015 dan 2019.

Peristiwa karhutla pada 2015 sendiri mengantarkan Indonesia menjadi penghasil karbon terbesar keenam di dunia pada tahun itu. Berdasarkan catatan KLHK, seluas 2,61 juta ha hutan dan lahan terbakar pada 2015 di seluruh wilayah Indonesia, 583 ribu ha di antaranya berada di Kalimantan Tengah.

Sedang pada 2019, di Kalimantan Tengah angka karhutla mencapai 317.749 ha, sebesar 26.906 ha berada di Katingan. Menurut pengakuan Sumber, kondisi karhutla di Tampelas lebih parah saat tahun 2015 dibanding 2019. “Seberang sungai itu sampai tidak kelihatan (karena asap),” terangnya sambil menunjuk Sungai Katingan di hadapannya.

Untuk mitigasi kejadian serupa, setidaknya pasca karhutla 2019 dan telah dikantonginya hak kelola hutan desa, masyarakat Tampelas rutin menggelar patroli hutan yang dikoordinir Masyarakat Peduli Api (MPA) Tampelas yang diketuai Asbut dan LPHD Tampelas yang diketuai Sumber.

Di musim kemarau, MPA dan LPHD sama-sama melakukan patroli setiap hari. Titik lokasinya yang dibedakan. Jika bukan musim kemarau, dalam sebulan MPA melakukan patroli sebanyak 6 kali, sedang LPHD 12 kali.

Selain ancaman kebakaran hutan dan lahan, kawasan hutan Tampelas juga terancam kegiatan ekstraktif tambang emas dan perkebunan kelapa sawit.

Rombongan LPHD Tampelas dalam perjalanan menuju lokasi patroli hutan menggunakan kapal ces, pada Senin (08/08). PM LabMa UII/Andi Abdul Afif Alwan
Bertahan dari Godaan Renyahnya Tambang Emas dan Sedapnya Kelapa Sawit

Juandi berjalan pelan. Celananya ia lipat setinggi betis. Sandalnya ia cangking untuk memudahkan langkahnya di atas lahan berair untuk menuju rakitan mesin lanting yang pernah ia gunakan untuk menambang emas.

Pria yang lebih akrab disapa Ugui tersebut merupakan salah satu masyarakat Tampelas yang tidak pernah mengambil jalan hidup sebagai pembalak liar. Pria dengan perawakan ramping itu mengambil jalan sebagai penambang emas ilegal sejak remaja.

“Badan saya kecil, tidak kuat [kerja kayu],” jawabnya singkat diikuti gelak tawa saat ditanya alasan tidak menjadi pembalak liar (28/08).

Berawal dari menjadi karyawan pada 2003, sejak tahun 2011 Ugui coba membuat unit pengeboran sendiri. Pada percobaan pertamanya, ia langsung meraup 32 juta dalam satu hari. Menggiurkan, mendorong ia membuat dua unit pengeboran lagi hingga memiliki karyawan hampir 20 orang. Tak sampai di situ, ia kemudian “membeli” lokasi tambang seluas 400 meter persegi dengan harga 50 juta di sekitar Sungai Klaru, Desa Telaga, sebuah desa di utara Tampelas.

Tak berselang lama razia kerap menghantui para pekerja tambang, tak terkecuali Ugui. “Waktu razia sembunyi, kerja berhenti, hati ini was-was, deg-degan, saya berfikir sampai kapan saya bekerja seperti ini,” tutur pria berumur 31 tahun tersebut.

Hingga pada 2016, ia memutuskan meninggalkan Sungai Klaru dan kembali ke Tampelas. Berniat membangun tambang emas di desanya. Ia percaya ada potensi emas di perut Tampelas. “Sudah coba gali, dan itu dapat [emas],” ungkapnya.

Kebetulan, di tahun yang sama terdapat pemilihan sekretaris desa. Ugui mencalonkan diri, dengan harapan jika ia terpilih akan memudahkan niatnya membuka tambang emas di desanya.

Ia terpilih. Namun rencananya dibatalkan. Ia sadar bahwa rencananya dapat merusak tanah kelahirannya sendiri. “Tambang itu kan mengeluarkan seluruh isi tanah, jadi setelahnya itu [lahannya] jadi rusak, tidak bisa ditanami lagi,” jelasnya dengan senyum bangga.

Gejolak ingin menambang tidak serta-merta hilang dari hati Ugui. Ia merupakan salah satu orang yang turut memperjuangkan hak pengelolaan hutan desa. Saat perizinannya tak kunjung turun, ia berniat kembali membuka tambang. “Namun Bang Juli melarang, dan menyuruh bersabar,” pungkasnya.

Juandi (31), di atas rakitan mesin lanting. Dulu mesinnya digunakan untuk mengeluarkan emas dari perut bumi, saat ini digunakan untuk menyedot pasir, Senin (29/08). Himmah/Pranoto

Pada 2017, delapan desa di Kecamatan Kamipang salah satunya Tampelas menagih janji lahan plasma ke PT Arjuna Utama Sawit (AUS). Menurut pengakuan camat Kamipang Sukarti Alijar waktu itu, “Sudah hampir 20 tahun janji perusahaan terhadap plasma tidak pernah terealisasi.” Dikutip dari PROKAL.co (07/11/2017).

Berbanding terbalik, saat ini masyarakat Tampelas justru secara perlahan menghindari lahan kelapa sawit berada di wilayahnya.

Di Tampelas, menurut laman Forest Watch Indonesia (FWI) PT AUS memiliki hak guna usaha (HGU) seluas 2.792 ha. Namun lahan itu belum kunjung ditanami sawit. “Kami sebetulnya juga berharap agar tidak jadi ditanami,” pinta Juli.

Menurut peta konsesi perusahaan dalam laman FWI, HGU sawit PT AUS di Tampelas berada di wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG). Lalu ditinjau dalam peta sebaran ketebalan gambut milik Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut (PRIMS Gambut), kedalaman gambut di areal HGU tersebut berkisar antara 2-3 meter. Maka, sebagian lahan gambut di HGU PT AUS masuk kategori gambut budidaya (kedalaman kurang dari 3 meter) dan gambut lindung (kedalaman 3 meter atau lebih).

Artinya, jika mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, maka sebagian areal HGU sawit PT AUS di Tampelas yang kedalaman gambutnya mencapai 3 meter hanya diperkenankan untuk (a) penelitian; (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan, dan/atau (d) jasa lingkungan. Tidak untuk ditanami kelapa sawit.

Terbitnya HGU untuk perkebunan sawit tersebut seperti tak ingin diulangi lagi. Juli menceritakan, bahwa beberapa kali perusahaan sawit ingin masuk ke desanya. Namun, selalu mendapat penolakan.

“Dulu pernah ada perusahaan sawit datang, tiba-tiba melakukan survei setuju atau tidak soal tanaman sawit. Untungnya masyarakat yang hadir mengisi survei dengan menuliskan ‘tidak setuju’,” tutur Juli.

Tak hanya itu, cerita lain juga bersambut dari mulutnya. Warga pernah bergiliran membawa patok pengukuran yang didapat di areal hutan belakang kampung ke kediamannya. “Patoknya dianggap mencurigakan, warga membawa pulang patoknya,” tuturnya. “Takut kalau itu milik perusahaan sawit katanya,” imbuh Juli.

Kekhawatiran Juli soal ekspansi perkebunan sawit pun bukan tanpa dasar. Menurut laporan Statistik Perkebunan Indonesia 2019-2021 yang diterbitkan Kementerian Perkebunan, per 2021 luas lahan sawit di Kalimantan Tengah mencapai 1.922.083 ha. Luas tersebut mengalami pertumbuhan 1,54% dari tahun sebelumnya. Pulau Kalimantan dengan luas lahan sawit total mencapai 5.820.406 ha menempati urutan kedua soal luasan lahan sawit terbesar di Indonesia setelah Pulau Sumatera.

Penolakan dan harapan tidak adanya lahan sawit di Tampelas juga datang dari Sumber. Baginya, sikap tersebut adalah upaya menjaga hutan yang masih tersisa saat ini.

“Saya tidak bisa membangun hutan baru, setidaknya saya menjaga yang ada. Saya tidak dalam konteks tidak setuju dengan sawit, tapi saya pikir ya di daerah lain, untuk daerah saya berikan hak untuk mengelola hutan saja,” terang Sumber.

Permintaan Sumber soal hak mengelola hutan senada dengan laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Auriga Nusantara pada September 2022 lalu. Laporan tersebut menunjukan ketimpangan hak kelola hutan yang diberikan negara ke korporasi dan rakyat.

Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia, korporasi mengantongi izin seluas 36,8 juta ha. Terdiri dari konsesi logging, konsesi kebun kayu, izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan perkebunan sawit. Sedang yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta ha yang terdiri dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, hutan tanaman rakyat, izin pemanfaatan perhutanan sosial, dan hutan adat. Artinya, 92% alokasinya diberikan kepada korporasi, sedang untuk rakyat hanya 8%.

Alokasi penguasaan pemanfaatan kawasan hutan oleh korporasi mayoritas berada di Pulau Kalimantan dengan persentase mencapai 46% dari total seluruh alokasi kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di Pulau Kalimantan, wilayah hutan yang dikelola korporasi angkanya mencapai 24.735.733 ha. Sangat timpang dengan hak kelola rakyat dengan luas hanya 1.070.350 ha.

Hal-hal tersebut yang pada akhirnya membuat Sumber dan masyarakat Tampelas memperjuangkan hak kelola hutan desa. Bukan semata-mata hanya menolak kegiatan ekstraktif, namun agar teritorial hutannya tidak rusak apalagi berkurang. Karena masyarakat Tampelas menyadari penuh sesaknya terkena asap kebakaran, ngerinya perubahan iklim, hingga manfaat hutan bagi dunia.

“Apabila benar Indonesia dinobatkan sebagai paru-paru dunia, saya berkomitmen Tampelas bagian dari paru-paru dunia itu. Lalu apa yang bisa dunia berikan untuk kami?” pungkas Sumber.

Reporter: Himmah/Pranoto

Visualisasi Data: Himmah/Pranoto

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

*Liputan ini dikerjakan saat reporter himmahonline.id menjalani program Pengabdian Masyarakat (PM)–seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN)–dari Laboratorium Mahasiswa (LabMa) Universitas Islam Indonesia (UII).

Vereniging van Indonesische Geneeskundige: Perkumpulan Dokter Pribumi Penuntut Kesetaraan

0

Himmah Online Melalui Vereniging van Indonesische Geneeskundige (VIG) atau Asosiasi Dokter Indonesia, dokter-dokter di Hindia Belanda–salah satu sebutan bagi Indonesia sebelum merdeka–memperjuangkan persamaan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda.

VIG sebelumnya bernama Vereniging van Indische Artsen atau Asosiasi Dokter Hindia Belanda, merupakan perkumpulan dokter khusus pribumi yang didirikan pada tahun 1911. JA Kayadu didapuk sebagai ketua pertamanya. Pergantian nama tersebut terjadi lima belas tahun berselang atau tepatnya pada 1926.

Perubahan nama pada kata “indische” menjadi “indonesische” dilatarbelakangi kesadaran nasionalis para dokter pribumi sehingga pergantian nama tersebut memberikan arti bahwa para dokter Indonesia telah mengakui persatuan Indonesia.

Perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda sering digaungkan sepanjang VIG berdiri. Hal ini lantaran dokter pribumi dianggap sebagai dokter kelas dua karena kedudukannya menjadi bagian dari penduduk jajahan Belanda saat itu.

Dokter pribumi acapkali mendapatkan perlakuan dan hak yang berbeda dari dokter Belanda. Soal gaji, misalnya, dokter pribumi mendapatkan gaji sebesar 50 persen dari gaji dokter Belanda. Strata jabatannya pun tidak bisa sejajar dengan dokter Belanda.

Tak hanya itu, dokter pribumi juga mendapatkan pembatasan dalam mengakses bacaan medis. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (GTNI) yang merupakan jurnal kedokteran terkenal, hanya dapat diakses oleh dokter Belanda atau pejabat kesehatan. Pembatasan akses ini menghambat dokter pribumi untuk menambah wawasan. Mereka juga kesulitan dalam berlangganan koran akibat dari minimnya gaji yang mereka dapatkan.

Perjuangan untuk mendapatkan persamaan kedudukan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Salah duanya, yakni peningkatan gaji para dokter Indonesia dari 50 persen menjadi 70 persen dari gaji dokter Belanda. Selain itu, dokter Indonesia mendapatkan prioritas pertama yang dapat diangkat menjadi asisten dokter Belanda.

VIG Menjelang dan Pasca Kemerdekaan

Pada tahun 1940 VIG mengadakan kongres di Solo. Salah satu hasil kongres tersebut adalah diberikannya tugas kepada Prof. Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran.

Namun tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1943 Jepang menduduki Indonesia. Akhirnya VIG dibubarkan dan digantikan perannya oleh Jawa Izi Hokokai atau Himpunan Kebaktian Dokter sehingga langkah VIG terpaksa berhenti. 

Jawa Izi Hokokai merupakan salah satu himpunan dalam organisasi Jawa Hokokai yang didirikan oleh Jendral Kumakichi Harada. Dalam keanggotaanya sendiri Jawa Hokokai meliputi semua golongan masyarakat, baik Cina, Arab, maupun pribumi. Hasyim Asyari dan Ir. Soekarno berperan sebagai penasehat dalam Jawa Hokokai.

Perjuangan para dokter tidak berhenti begitu saja. Pasca kemerdekaan tepatnya pada tanggal 30 Juli 1950, diadakan sebuah rapat antara Pengurus Besar Persatuan Thabib Indonesia (PB Perthabin) dengan Dewan Pimpinan Perkumpulan Dokter Indonesia (DP-PDI).

Dalam rapat tersebut dibentuk panitia Penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI) untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI yang diketuai oleh Bahder Djohan. Muktamar tersebut dilaksanakan dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 22-25 September 1950 di Deca Park (sekarang sebelah utara kawasan Monumen Nasional, Jakarta).

Muktamar tersebut bertujuan mendirikan perkumpulan dokter Indonesia baru yang dapat menjadi wadah representasi dunia dokter Indonesia. Hasilnya, muktamar tersebut melahirkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi ketua umum IDI pertama.

Dikutip dari laman resmi IDI Cabang Bandung, tujuan dari didirikannya IDI ialah untuk memadukan segenap potensi dokter dari seluruh Indonesia, menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat serta kehormatan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Satu bulan setelah muktamar, Panitia Dewan Pusat IDI, Dr. Soeharto, melakukan pertemuan dengan seorang notaris, yakni R. Kadiman. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan dasar hukum dari pendirian perkumpulan dokter Indonesia yang diberi nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut.

Legalitas tersebut akhirnya didapatkan oleh IDI pada 24 Oktober 1950. Setelah mendapatkan legalitas yang sah, maka tanggal pemberian legalitas tersebut diperingati sebagai Hari Dokter Nasional.

Peringatan tersebut memiliki nilai sejarah yang erat kaitannya dengan masa penjajahan. Para dokter pribumi telah ikut serta berjuang membela tanah air di masa penjajahan melalui Vereniging van Indonesische Geneeskundige hingga pasca kemerdekaan melalui Ikatan Dokter Indonesia.

Reporter: Magang Himmah/Jihan Nabilah

Editor: Pranoto

Peristiwa 17 Oktober 1952: Saat Istana Negara Dikepung Moncong Senjata

Himmah Online – Pada 17 Oktober 1952, Kolonel Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Istana Merdeka menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan percepatan pemilihan umum. Aksi ini buntut dari konflik internal di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pembentukan TNI sebagai angkatan bersenjata merupakan proses yang panjang; melalui penggabungan sejumlah gerakan, laskar, dan organisasi militer bekas Jepang ke dalam satu wadah baru. Dampaknya, militer menjadi sebuah kekuatan baru di perpolitikan Indonesia yang kerap mengalami konflik internal lantaran perbedaan pandangan dan latar belakang.

Tahun 1950-an merupakan masa yang disorot serba merosot dan tidak stabil, baik secara politik maupun ekonomi. Saat itu, banyak anggota militer yang menjadi pimpinan politik hingga memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal ini membuat KSAD Kolonel A. H. Nasution merasionalisasi dan mengurangi jumlah tentara.

Ketika masalah itu sedang terjadi, muncul keinginan dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Mayor Jenderal T. B. Simatupang dan KSAD Kolonel A. H. Nasution untuk mengembalikan tentara sesuai fungsinya. Kondisi itu mendapat respons tak baik dari pihak Kolonel Bambang Supeno. Dia tak sependapat dengan Nasution. Bambang Supeno bahkan menganggap kinerja Nasution tak baik.

Kemudian, Supeno mengirimkan surat ke DPRS karena merasa tak puas dengan kepemimpinan Nasution. Menurut Aswab Nanda Pratama (2018) dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, Ketika Tank dan Meriam Mengarah ke Istana, DPRS pun ikut andil dalam masalah yang mengakibatkan internal militer ini terpecah. Beberapa kubu di parlemen kemudian membuat sejumlah mosi dalam menyikapi masalah yang terjadi.

Menurut Fathurrahman dkk. (2018) dalam Jenderal A.H. Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, setelah melalui pemungutan suara, parlemen menerima usul mosi Manai Sophian yang isinya antara lain mendesak pemerintah agar membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota parlemen dan wakil pemerintahan untuk menghadapi masalah-masalah yang timbul mengenai Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.

Usul tersebut lantas ditanggapi kecewa oleh petinggi AD, khususnya Nasution. Militer merasa parlemen telah mencampuri urusan eksekutif (pemerintah), khususnya mengenai masalah internal AD, sehingga AD seolah ditarik ke dalam polemik politik. Pada 16 Oktober 1952, guna mempertahankan keutuhan dan integritas AD, Nasution menyelenggarakan rapat Staf Umum AD (SUAD) dengan para panglima teritorium.

Rapat tersebut kemudian melahirkan petisi yang berisikan empat poin. Pertama, mengenai masa usia kabinet yang pendek sehingga tidak mampu melaksanakan program kerjanya. Kedua, kesulitan kabinet dalam menghadapi parlemen yang dua per tiga anggotanya berasal dari bekas negara-negara federal buatan Belanda. Ketiga, meminta presiden membubarkan parlemen dan secepatnya membentuk parlemen baru. Keempat, menilai mosi Manai Sophian telah mengintervensi urusan AD.

Rapat tersebut memutuskan agar petinggi AD menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan hasil rapat. Namun atas usul KSAP Kolonel Simatupang, inisiatif ini hendaknya dibicarakan dahulu dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah didiskusikan, rombongan pimpinan Nasution pun diizinkan untuk menemui presiden.

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Jakarta menuntut pembubaran DPRS dan percepatan pemilu. Demonstrasi yang sedianya dilakukan oleh 5.000 orang tersebut kemudian bertambah mencapai 30.000 orang. Aksi ini diprakarsai oleh Kolonel Soetoko dan Kolonel S. Parman, lalu Kolonel Dr. Mustopo didapuk menjadi koordinator lapangan.

Demonstrasi bergerak dari gedung DPRS menuju ke Istana Merdeka untuk menyampaikan tuntutan kepada presiden. Sari (2021) dalam 17 Oktober 1952, Saat Para Perwira TNI AD Arahkan Moncong Meriam ke Istana menuturkan, pasukan dengan tank serta artileri muncul di Lapangan Merdeka. Beberapa pucuk senjata tersebut diarahkan ke istana, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kemal Idris yang telah dimandatkan untuk “memamerkan kekuatan”, meski tidak memiliki hak untuk melibatkan pasukannya.

Di hadapan para demonstran, Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak bisa membubarkan parlemen begitu saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu. Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu. 

Sesaat kemudian, Soekarno menemui delegasi militer yang dipimpin Nasution yang sebelumnya juga bermaksud menyampaikan hasil rapat SUAD. Nasution lalu menyerahkan pembicaraan kepada Letnan Kolonel Sutoko selaku juru bicara. Sutoko lalu menuturkan bahwa AD berpendapat, bahaya bagi negara yang masih muda semisal Republik Indonesia ini, apabila tidak ada stabilitas politik di dalam negeri.

Sutoko memaparkan hasil rapat yang diberi nama “Pernyataan Pimpinan Angkatan Darat” tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, Sutoko menuturkan bahwa alat negara seperti angkatan perang akan berada dalam bahaya karena berada dalam pengaruh kesukaan dan kebencian partai. 

Militer menuntut supaya DPRS segera dibubarkan dan presiden membentuk DPRS baru dengan mempertimbangkan kehendak rakyat. Selain itu, para petinggi AD menuntut percepatan proses perbaikan dan penyempurnaan Angkatan Perang, beserta penjagaan ketertiban umum demi menghindari kekacauan. 

Presiden pun berjanji untuk berunding dengan pemerintah untuk segera mengadakan pemilu dalam tempo sesingkatnya. Mengingat banyak demonstran tentara yang berasal dari luar Jakarta, seperti Seksi Intel Divisi Siliwangi, presiden menjamin suara-suara rakyat di luar Jakarta akan diperhatikan.

Setelah peristiwa itu, A. H. Nasution yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti. Perselisihan di kalangan militer, terutama di matra AD sendiri dianggap selesai setelah disepakatinya Piagam Keutuhan AD, sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.

Reporter: Magang Himmah/Jalaluddin Rizqi Mulia

Editor: Pranoto

Djiaw Kiang Lin dan Liaw Ching Lan Bertahan untuk Bercerita

Merawat, menjaga, dan menceritakan rumah bersejarah Djiaw Kie Siong dalam peristiwa Rengasdengklok merupakan sebuah tugas yang harus dikerjakan dengan ikhlas serta penuh rasa bangga. Djiaw Kiang Lin dan Liaw Ching Lan bertahan untuk melakukan itu selama enam tahun terakhir.

Himmah Online – Pada pagi menjelang siang, dengan diantar layanan taksi online, saya menginjakkan kaki di depan rumah milik mendiang Djiaw Kie Siong. Sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah penting bagi bangsa Indonesia di masa lampau. Rumah tersebut terletak di Kampung Bojong, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Djiaw Kie Siong sendiri merupakan salah satu sosok yang sering terlupakan dalam ingatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Seorang keturunan Tionghoa tersebut merupakan sosok yang merelakan rumahnya ditempati Soekarno dan Hatta selama semalam saat diculik dan didesak golongan muda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945 silam.

Rumah Djiaw Kie Siong berukuran kurang lebih lima kali dua belas meter. Menampilkan dua buah kamar dan sebuah ruang tengah yang terdapat meja abu. Lantainya tersusun dari batu bata. Dinding kayu yang dipernis mengkilap menegaskan bentuk maupun karakter asli kayu yang terlihat kuat.

“Eh, silahkan masuk. Ini kamar Bung Karno, kalau yang ini kamar Bung Hatta,” ucap Liaw Ching Lan ramah akhir Juli lalu.

Liaw Ching Lan (73) atau biasa disapa Bu Yanto itu sibuk menjelaskan sejarah mengenai rumah mendiang Djiaw Kie Siong yang kini ditempatinya kepada beberapa pengunjung.

Saat saya memperkenalkan diri, karena sudah membuat janji, ia dengan mudah mengenali. Di sebuah kursi kayu tua, saya duduk berseberangan dengan posisi Bu Yanto, mencoba untuk mengajaknya bercengkrama.

Katanya, dalam beberapa waktu terakhir rumah ini sering kali dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat untuk mengetahui sejarah singkat tentang peristiwa Rengasdengklok. Mereka datang dari berbagai wilayah dan latar belakang instansi, hal itu dapat saya lihat dengan mudah dari buku tamu yang tersedia di sebuah meja di depan meja abu.

Buku tamu di bagian tengah rumah sejarah Djiaw Kie Siong, Selasa (26/07). Foto: Himmah/Intan Yuni Triolita

“Ya begini lah, tadi ada sih satu dua (tamu) yang datang,” jelas Bu Yanto sembari saya menyiapkan kamera untuk memotret beberapa sudut rumah.

Sesekali saya mengamati langit-langit yang terbuat dari bilik serta terali bambu yang memagari jendela di tiap ruangan. Memberikan sebuah gambaran bagaimana bentuk rumah ini di masa lampau.

Bu Yanto bercerita begitu semangat. Layaknya sedang meladeni seorang cucu yang ingin mengetahui banyak informasi tentang hal yang dijumpainya. Mengalir dan lengkap.

”Asli. Sudah seabad. Dulu si engkong bangunnya tahun 1920. Berarti kan udah 102 tahun,” kata Bu Yanto ketika ditanya mengenai keaslian ornamen rumah.

Bu Yanto juga menceritakan bahwa posisi rumah saat ini bukan lah posisi sebenarnya, posisi rumah sudah digeser dari posisi aslinya pada tahun 1957. Hal itu lantaran terkena banjir dari Sungai Citarum.

Pahit-Manis Menjaga Warisan

Liaw Ching Lan atau yang sering disapa Bu Yanto atau Cik merupakan wanita kelahiran Jakarta pada 1949 silam. Ketika saya temui, wanita berambut hitam legam tersebut mengenakan kaos berwarna merah bermotif dedaunan dengan masker berwarna hijau mint.

Di depan kamar Bung Hatta, di samping sebuah lemari, pada sebuah kursi kayu tua yang mengkilap, ia menceritakan riwayat hidup hingga kesan menghuni rumah Djiaw Kie Siong kepada saya.

Bu Yanto bersama sang suami, Djiaw Kiang Lin, menempati rumah Djiaw Kie Siong pada 2016 silam. Sebelum tinggal di rumah warisan Djiaw Kie Siong, ia berjualan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur. Melanjutkan usaha orang tuanya.

“Dulu saya dagang, dagang beras. Di Pasar Induk Cipinang. Banyak langganan saya dari Jawa, Jogja, banyak. Dari Magelang. Dagang beras dari saya masih muda,” kenangnya.

Mereka memutuskan untuk tinggal di Karawang karena sudah tidak ada lagi kerabat yang bisa mengurus rumah bersejarah tersebut. Selain itu, merawat rumah yang sudah berstatus cagar budaya tersebut semacam jadi hal turun-temurun dari para pendahulunya.

Merawat, menjaga, sekaligus sebagai penutur peristiwa sejarah di masa lampau yang terjadi di rumah Djiaw Kie Siong kepada tamu merupakan tugas dari pasutri tersebut semenjak menempati rumah ini.

Liaw Ching Lan atau Bu yanto (73) sedang menunjukkan kursi asli dari rumah sejarah Djiaw Kie Siong, Selasa (26/07). Foto: Himmah/Nadia Tisha Nathania Putri

Cerita yang dituturkan bukan berasal darinya sebagai pelaku sejarah, melainkan dari penuturan mendiang Djiaw Kie Siong, paman, kakak, atau kerabat lain yang menjadi pelaku sejarah saat itu. Meski demikian, ia bersaksi bahwa cerita tersebut tidak ditambah maupun dikurangi.

Wanita berumur tujuh puluh tiga tahun tersebut bukanlah cucu langsung dari Djiaw Kie Song. “Saya mah orang Jakarta. Bapak (suami) yang asli cucunya ini (Djiaw Kie Siong). Bapak yang asli. Saya orang Jakarta,” jelas Bu Yanto mengenai hubungannya dengan mendiang Djiaw Kie Siong.

Masih banyak orang yang belum mengetahui bahwa pemilik rumah sejarah penculikan Bung Karno dan Bung Hatta adalah etnis Tionghoa. Tak jarang terdapat tamu yang datang enggan untuk masuk ke dalam rumah karena melihat meja abu di ruang tengah.

Menurut penuturan Bu Yanto hal semacam ini sering dialami, ia mengaku bahwa masih ada tamu yang datang dengan pandangan miring.

“(Ada) yang datang ke sini, ‘Dih, kok cina sih?’ ‘Iya, saya memang cina. Saya keturunan cina. Emang kenapa?’ (Dia) diem,” katanya.

“Ada yang bilang juga, ‘Kok bisa sih (Bung Karno dan Bung Hatta) ke rumah orang cina?’ ‘Kalo itu mah saya ga paham,’ saya bilang,” lanjutnya.

Namun tak semua orang yang datang demikian, Bu Yanto mengaku masih terdapat orang yang bangga dan berterima kasih atas adanya rumah ini.

“Tapi kalo yang pikirannya nasional, ‘Waduh, hebat ya dulu’ katanya. ‘Wah terima kasih banget nih sama si bapak ini, kalo gak ada rumah ini gak merdeka.’ Kayak gitu-gitu,” tutur Bu Yanto.

Dalam perjalanannya menjaga rumah ini Bu Yanto menceritakan bahwa telah mengorbankan banyak hal. Di usianya yang telah senja, tak jarang ia merasa jenuh.

Enam tahun terakhir waktunya dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang sama setiap harinya. Tanpa ada waktu libur, kecuali ketika sakit atau ada kerabat dekat yang meninggal. 

“Jenuh? Jenuh. Kita kan gak bisa ke mana-mana, kan nggak mungkin rumah ini kita kunci. Kalo jujur, cape, iya. Walaupun cuma duduk, nunggu, ngobrol. Kan cape juga,” kata Bu Yanto layu.

Liaw Ching Lan atau Bu Yanto (73) duduk di kursi ketika diwawancarai reporter himmahonline.id pada Selasa (26/07). Foto: Himmah/Adim Windi Yad’ulah

Aktivitasnya dimulai selepas subuh sebelum rumahnya dibuka untuk tamu. Menyapu bagian dalam dan luar rumah menjadi rutinitasnya setelah ia bangun. Setelah beberes rumah, ia menuju dapur untuk memasak makanan untuknya dan suami.

Ia mengatakan bahwa kegiatan itu akhir-akhir ini dilakukan ketika ia merasa sehat saja. Setelah semua aktivitasnya rampung, baru ia membuka pintu rumah untuk tamu. Pukul delapan pagi menjadi waktu rata-rata jam buka rumahnya, ditutup pukul lima sore.

Dari kegiatan yang dilakukannya setiap hari, tak jarang ia juga ingin merasakan seperti orang-orang pada umumnya: bisa istirahat, bisa berlibur bersama keluarga.

“Wajarlah, namanya juga kita manusia biasa, terus pengen istirahat, terus pengen kayak orang-orang, bisa wisata ke mana lah. Justru kalau hari-hari libur, hari-hari besar kita ga berani ke mana-mana, dek, pasti banyak tamu,” tutur Bu Yanto dengan air muka yang sedih, matanya berkaca-kaca.

Masalah kesehatan juga menjadi hal yang harus mereka jaga dan perjuangkan di usianya yang telah senja. Sudah beberapa bulan terakhir, Pak Yanto jarang menemui tamu yang datang karena sakit jantung. Meski saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik, namun sang istri lah yang akhir-akhir ini lebih sering menemui setiap tamu yang datang.

Sejak mereka memutuskan untuk tinggal di rumah Djiaw Kie Siong, terdapat dua alasan mengapa mereka terus bertahan: rasa bangga dan tulus menjalankan tugas.

“Kita bangga. Selain itu kan kita menjalankan tugas. Yang penting kita ikhlas ngerjainnya, gitu aja,” ungkap Bu Yanto berbinar.

Djiauw Kiang Lin atau Yanto (73) cucu Djiaw Kie Siong sedang bercerita mengenai sejarah rumah Djiaw Kie Siong sambil duduk di ruang utama, Selasa (26/07). Foto: Himmah/Intan Yuni Triolita

Merawat Kebhinekaan

Ketika menjelang siang, sayup-sayup adzan mulai terdengar. Terik matahari mulai terasa menggigit kulit. Ketika itu saya memutuskan untuk menghentikan obrolan untuk salat serta memberikan waktu istirahat untuk Bu Yanto.

“Salat belakang gih, ada musala,” kata Bu Yanto mengarahkan letak musala.

Berjalan menuju bagian belakang rumah, saya terperanjat melihat sebuah surau yang berdiri kokoh. Sebuah bangunan yang nampaknya belum lama berdiri.

Memasuki area dalam surau, saya melihat perlengkapan salat yang lengkap: mukena, sarung, sajadah, bahkan al-quran. Ditambah dengan ornamen-ornamen pelengkap lainnya.

Selepas salat, saya mengungkapkan kekaguman atas apa yang saya lihat dan injak ketika beribadah: sebuah kenyamanan beribadah saya dapatkan. Lalu saya mencoba menanyakan beberapa hal kepada Bu Yanto.

“Gapapa, namanya Bhinneka Tunggal Ika,“ jawab Bu Yanto tertawa ketika saya bertanya perihal kepedulian beliau terhadap kenyamanan beribadah. Padahal, ia bukan seorang muslim.

“Sebenarnya gini, memang saya pengen punya musala  waktu itu, sebelum adanya (musala) itu. Kadang ada tamu yang nanyain tempat wudu di mana, kita bingung masa di kamar mandi, gak lucu,” lanjutnya.

Ia juga menuturkan bahwa pembangunan musala tersebut dilakukan bertahap yang awalnya menggunakan dana pribadi. Setelahnya ada ulur tangan dari salah seorang yang berasal dari Jakarta.

“Setelah kita pengen, sedikit-sedikit kumpulin beli bata atau apa gitu, belakangan ada orang Jakarta sering datang ke sini nanyain apa bener katanya mau bikin ini (musala)? ‘Iya’. ‘Yaudah nanti saya bantu’.”

Bu Yanto juga menuturkan bahwa di musala tersebut biasa digunakan oleh anak-anak sekitar untuk kegiatan mengaji maupun salat berjamaah.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Intan Yuni Triolita, Nadia Tisha Nathania Putri

Editor: Pranoto

*Naskah ini bagian dari serial laporan khusus tentang rumah sejarah Djiaw Kie Siong. Naskah lainnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.